Interaksi Obat Dengan Reseptor

17
BAB III INTERAKSI OBAT DENGAN RESEPTOR A. KONSEP RESEPTOR Pada tahun 1970 farmakologi telah memasuki tahap baru yaitu penelitian mengenai reseptor yang meliputi teori reseptor, mekanisme reseptor yang melibatkan eksperimental labeling reseptor. Pendekatan pertama kali adalah diterapkan pada penelitian reseptor asetilkolin nikotinik. Racun ular kobra mengandung polipeptida yang berikatan sangat spesifik terhadap reseptor asetilkolin. Senyawa yang dikenal sebagai a-toksin dapat dilabel dan digunakan untuk assay reseptor pada jaringan atau ekstrak jaringan. Senyawa yang termasuk golongan tersebut adalah α-bungarotoksin, merupakan komponen utama dari racun Bungarus multicinctus. Penanganan otot atau jaringan elektrik dengan suatu detergen non-ionik digunakan untuk membuat protein reseptor terikat membran yang mudah larut. Dengan preparasi berikutnya menggunakan kromatografi afinitas dapat mengisolasi reseptor asetilkolin nikotinik. Hal di atas merupakan salah satu penelitian mengenai reseptor yaitu menyelidiki spesifisitas reseptor. Dari berbagai penelitian mengenai reseptor, terdapat tiga sifat kerja reseptor terhadap agonjs yaitu pertama adalah mempunyai potensi tinggi (sensivitas tinggi). Pada umumnya, obat bekerja pada reseptor spesifik dengan konsentrasi yang sangat kecil misalnya histamin nerinteraksi dengan reseptor H-1 dan dapat menstimulasi kontraksi otot polos trakea marmut pada konsentrasi 10 -6 M. Sifat yang kedua adalah spesifisitas kimiawi. Stereoisomer suatu obat dapat mepengaruhi aktivitas biologi dari obat yang bersangkutan. Kloramfenikol yang mempunyai 4 isomer hanya mempunyai aktivitas biologi pada struktur D(-) treo. Bahkan beberapa obat seperti sotalol, warfarin dan siklofosfamid yang mempunyai stereoisomer tidak hanya berbeda pada efek farmakologi tapi juga berbeda pada jalur metabolismenya. Sifat yang ketiga adalah spesifitas biologi. Efek farmakologi dari suatu obat dapat berbeda pada beberapa jaringan, misalnya efinefrin menunjukkan efek yang kuat pada otot jantung tapi lemah pada otot lurik. Telah disampaikan pada bab sebelumnya bahwa reseptor merupakan suatu komponen spesifik sel yang berinteraksi dengan suatu agonis sehingga menimbulkan peristiwa-peristiwa biokimia yang pada akhirnya menghasilkan

description

farmakologi

Transcript of Interaksi Obat Dengan Reseptor

Page 1: Interaksi Obat Dengan Reseptor

BAB III INTERAKSI OBAT DENGAN RESEPTOR

A. KONSEP RESEPTOR

Pada tahun 1970 farmakologi telah memasuki tahap baru yaitu penelitian

mengenai reseptor yang meliputi teori reseptor, mekanisme reseptor yang

melibatkan eksperimental labeling reseptor. Pendekatan pertama kali adalah

diterapkan pada penelitian reseptor asetilkolin nikotinik. Racun ular kobra

mengandung polipeptida yang berikatan sangat spesifik terhadap reseptor

asetilkolin. Senyawa yang dikenal sebagai a-toksin dapat dilabel dan digunakan

untuk assay reseptor pada jaringan atau ekstrak jaringan. Senyawa yang

termasuk golongan tersebut adalah α-bungarotoksin, merupakan komponen

utama dari racun Bungarus multicinctus. Penanganan otot atau jaringan elektrik

dengan suatu detergen non-ionik digunakan untuk membuat protein reseptor

terikat membran yang mudah larut. Dengan preparasi berikutnya menggunakan

kromatografi afinitas dapat mengisolasi reseptor asetilkolin nikotinik.

Hal di atas merupakan salah satu penelitian mengenai reseptor yaitu

menyelidiki spesifisitas reseptor. Dari berbagai penelitian mengenai reseptor,

terdapat tiga sifat kerja reseptor terhadap agonjs yaitu pertama adalah

mempunyai potensi tinggi (sensivitas tinggi). Pada umumnya, obat bekerja pada

reseptor spesifik dengan konsentrasi yang sangat kecil misalnya histamin

nerinteraksi dengan reseptor H-1 dan dapat menstimulasi kontraksi otot polos

trakea marmut pada konsentrasi 10-6 M. Sifat yang kedua adalah spesifisitas

kimiawi. Stereoisomer suatu obat dapat mepengaruhi aktivitas biologi dari obat

yang bersangkutan. Kloramfenikol yang mempunyai 4 isomer hanya mempunyai

aktivitas biologi pada struktur D(-) treo. Bahkan beberapa obat seperti sotalol,

warfarin dan siklofosfamid yang mempunyai stereoisomer tidak hanya berbeda

pada efek farmakologi tapi juga berbeda pada jalur metabolismenya. Sifat yang

ketiga adalah spesifitas biologi. Efek farmakologi dari suatu obat dapat berbeda

pada beberapa jaringan, misalnya efinefrin menunjukkan efek yang kuat pada

otot jantung tapi lemah pada otot lurik.

Telah disampaikan pada bab sebelumnya bahwa reseptor merupakan

suatu komponen spesifik sel yang berinteraksi dengan suatu agonis sehingga

menimbulkan peristiwa-peristiwa biokimia yang pada akhirnya menghasilkan

Page 2: Interaksi Obat Dengan Reseptor

respon fisiologi. Reseptor merupakan suatu makromolekul yang berupa

lipoprotein, glikoprotein, lipid, protein atau asam nukleat. Sebagian besar dari

reseptor terdapat pada membran sel misalnya reseptor asetilkolin nikotinik,

reseptor insulin, dan sebagian kecil terdapat di dalam sel atau intisel misalnya

reseptor hormon steroid.

Fungsi dari reseptor adalah melalui perubahan permeabilitas membran

sel, pembentukan pembawa kedua (second messenger} misalnya cAMP,

diasilgliserol dan mempengaruhi transkripsi den atau DNA. Dari fungsi tersebut,

reseptor terlibat di dalam komunikasi antar sel. Reseptor menerima rangsang

dengan berikatan dengan pembawa pesan pertama (first messenger) yaitu

agonis yang kemudian menyampaikan informasi yang diterima ke dalam sel

dengan langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan permeabilitas

membran, pembentukan pembawa pesan kedua atau mempengaruhi transkripsi

gen.

B. KINETIKA INTERAKSI OBAT-RESEPTOR

Mengacu pada penelitian Langley dengan menggunakan alkaloid, Erlich

(1909) menduga bahwa aksi alkaloid pada reseptor adalah mudah lepas dan

reversibel, dan tidak melibatkan ikatan kimia yang kuat. Analog! aksi obat pada

reseptor adalah konsep kunci (obat) dengan gembok (reseptor).

Asumsi sederhana mengenai pembentukan kompiek obat dengan

reseptor diekspresikan sebagai reaksi kimia seperti berikut:

→ ←

Kompiek obat-reseptor Obat + Reseptor

Atau,

k1 →

← k2

[D] + [R] [DR]

Dimana, k1 dan k2 merupakan konstanta kecepatan pembentukan dan peruraian

kompleks.

Berdasarkan hukum aksi massa, kecepatan pembentukan dan peruraian

yang direpresentasikan berturut-turut k1 [ D ] [ R ] dan k2 [ DR ]. Konsentrasi obat

atau [ D ] merupakan konsentrasi obat dalam biofase. Dalam percobaan

Page 3: Interaksi Obat Dengan Reseptor

reseptor, biofase tersebut adalah medium dari organ atau jaringan terisolasi.

Pada ekuilibrium, kecepatan pembentukan dan peruraian kompiek adalah

seimbang :

K1 [D][R] = k2[DR] (1)

Sehingga,

k2 [D][R]

— = KD = ———— (2)

K1 [DR]

Jumlah total reseptor (RT) adalah jumlah reseptor yang berikatan dengan

reseptor membentuk komplek [ DR ] ditambah dengan jumlah reseptor bebas [R].

[R] = [RT] - [DR] (3)

Substitusi [ R ] dengan persamaan 1 akan menghasilkan persamaan

[DR] [D]

——— = r = —————— (4)

[RT] [D]+KD

dimana [ DR ] / [ RT ], proporsi reseptor yang diduduki obat yang

direpresentasikan r. Persamaan berikutnya adalah

r

[D] = -—— [KD] (5)

1 -r

persamaan yang sama diturunkan dari isoterm adsorpsi Langmuir dimana [ D ]

merupakan konsentrasi ligan dan r adalah proporsi sisi potensial dari

pembentukan komplek pada permukaan yang diduduki oleh ligan / agonis,

dimana hubungan antara sisi adsorpsi dengan ligan adalah one-to-one .

r [D]2 = ———— [KD] 1 – r

Page 4: Interaksi Obat Dengan Reseptor

atau secara umum

r [D]n = ———— [KD] (6) 1 –r

dimana n adalah rasio molekular ligan (obat) per sisi adsorpsi (reseptor), dan K

merupakan suatu konstanta yang identik dengan KD.

Gambar 3. Tiga kurva yang menggambarkan hubungan antara pendudukan reseptor dan konsentrasi obat dari persamaan 6 dengan KD = 1 dan nilai n adalah bervariasi; r adalah proporsi sisi reseptor yang diduduki (Bowman dan Rand, 1980).

Page 5: Interaksi Obat Dengan Reseptor

Biofase

Telah disinggung sebelumnya mengenai istilah biofase. Biofase

merupakan suatu lingkungan dimana obat dalam kondisi berinteraksi dengan

ieseptornya tanpa adanya gangguan barter difusinya.

Pada preparat organ atau jaringan terisolasi, konsentrasi obat dalam

biofase merupakan obat dalam larutan garam fisiologi pada kondisi yang jenuh

(ekuilibrium). Pada percoban uji farmakologi dengan organ terisolasi, larutan

dapar Krebs atau Tyrode merupakan biofasenya. Ketika aksi obat dipelajari pada

sistem yang lebih komplek daripada organ terisolasi misalnya pada percobaan in

vivo, faktor absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi menjadi penentu

dalam aksi obat tersebut. Artinya bahwa respon fisiologi tidak secara langsung

dipengaruhi oleh kadar obat karena dipengaruhi oleh farmakokinetika obat

tersebut.

Agonis

Agonis merupakan obat beraksi pada reseptor sehingga menghasilkan

respon fisiologis yang meningkatkan atau menurunkan manifestasi tertentu dari

aktivitas sel atau sel itu sendiri dimana reseptor tersebut berinteraksi. Agonis

tersebut dapat berupa senyawa endogen atau eksogen. Senyawa endogen

adalah suatu senyawa yang dihasilkan oleh tubuh pada sistem homeostatis

tubuh misalnya insulin atau neurotransmiiter, sedangkan senyawa eksogen

adalah senyawa yang berasal dari luar tubuh misalnya parasetamol atau natrium

diklofenak.

Hubungan antara interaksi obat-reseptor dengan respon

Terdapat dua teori utama yang mengenai hubungan tersebut yaitu :

1. Teori pendudukan (occupation theory). Dalam teori tersebut, respon yang

ditimbulkan adalah fungsi dari pendudukan reseptor oleh agonis. Perlu

diingat bahwa jumlah reseptor di dalam tubuh adalah terbatas sehingga

apabila semua reseptor telah diduduki oleh agonis maka akan timbul

suatu respon maksimum (Emaks). Pada kondisi tersebut berapapun

penambahan agonis maka tidak lagi mempengaruhi atau menambah

respon fisiologis tadi.

2. Teori laju (Rafe theory). Respon yang dihasilkan merupakan fungsi dari

Page 6: Interaksi Obat Dengan Reseptor

kecepatan pendudukan reseptor oleh agonis. Antara reseptor dan agonis

ibarat suatiu molekul yang berbenturan dan sebagai konsekuensi dari

benturan tersebut adalah timbulnya suatu respon fisiologi.

C. HUBUNGAN LINIER ANTARA PENDUDUKAN RESEPTOR DAN RESPON

Clark menyatakan bahwa efek yang diamati (E) adalah proposional linier

dengan pendudukan reseptor dan efek maksimum akan tercapai ketika jumlah

reseptor total telah diduduki semuanya.

[D] E

r = ———— = ———— (7) [D] +KD Emaks

Dimana Emaks adalah efek maksimal

Asumsi-asumsi untuk persamaan 4 adalah

1. Interaksi antara molekul agonis dengan reseptor mengikuti konsep stimulus

all or none

2. Terdapat penjumlahan stimulus individu

3. Efek adalah proporsional linier dengan jumlah stimuli

4. Stimulus maksimum terjadi ketika semua sisi reseptor diduduki oleh molekul

agonis

5. Komplek obat-reseptor dibentuk secara cepat dan ikatan kimianya terurai

reversibel secara cepat

6. Pendudukan satu reseptor tidak mempengaruhi kecenderungan reseptor

yang lain untuk diduduki.

Dari persamaan 4 dan 7 maka

E [D]

———— = ———— (8) Emaks [ D ] + KD

Dari persamaan 8 dapat diperkirakan bahwa plot hubungan respon terhadap

konsentrasi agonis adalah kurva hiperbolik yang berawal dari awal hingga

mencapai asimtoat (Emaks). Apabila dibuat suatu plot hubungan antara respon

dengan logaritma konsentrasi agonis akan menghasilkan suatu kurva sigmoid

Page 7: Interaksi Obat Dengan Reseptor

dimana antara 20 % hingga 80 % kurva adalah mendekati linier. Kurva sigmoid

ini di dalam analisa farmakodinamika lebih menguntungkan. Kedua kurva

tersebut disajikan pada gambar4.

Konsentrasi agonis yang digunakan untuk mencapai respon maksimum

dinyatakan dengan KD. Apabila asumsi tersebut valid maka konstanta disosiasi

untuk interaksi obat-reseptor dapat diperoleh dari plot antara E / Emaks terhadap [

D ] atau E / Emaks terhadap log [ D ] seperti disajikan pada gambar 4. Konstanta

disosiasi untuk interaksi agonis dengan sisi reseptor merupakan konsentrasi

yang memproduksi separo dari respon maksimal ([ D ] maks I 2 ).

Gambar 4. Kurva respon-konsentrasi, plotting respon vs. konsentrasi atau logaritma konsentrasi agonis [ D ] (Bowman dan Rand, 1980).

Page 8: Interaksi Obat Dengan Reseptor

Afinitas

Afinitas merupakan kemampuan obat untuk berinteraksi dengan

reseptornya.Sejak nilai [ D ] maks / 2 dalam satuan mol / liter jarang digunakan

dalam penelitian, dan cenderung menggunakan istilah pD2 yang diperkenalkan

oleh Ariens dkk seperti pada persamaan :

pD2 = log (1 / [ D ] maks/2) = - log ([ D ] maks/2) (9)

Dari persaman 8, pD2 = log (I / KD ).

Nilai KD dibedakan dengan nilai K, nilai K adalah k, I k2 = 1/KD atau dinamakan

konstanta asosiasi / pembentukan.

Jika hubungan antara pendudukan reseptor dengan efek / respon adalah

linier maka KD = [ D ] maks/2 yaitu merupakan kadar obat yang menghasilkan 50 %

respon maksimum. Apabila nilai pD2 besar maka afinitas semakin besar dan

sensitivrtas reseptor terhadap obat juga semakin besar.

Harga pD2 merupakan suatu ukuran kemampuan agonis untuk berinterasi

membentuk komplek dengan suatu reseptor. Harga pD2 dapat diperoleh dengan

membuat plot hubungan antara respon dengan logaritma konsentrasi agonis.

Kurva tersebut yang berupa sigmoid dapat ditetapkan harga pD2-nya karena

bagian 20 hingga 80 % kurva mendekati linier.

Aktivitas intrinsik

Selain afinitas syarat agonis agar dapat menghasilkan efek adalah

aktivitas intrinsik. Aktivitas intrinsik adalah kemampuan suatu obat untuk

menghasilkan efek atau respon jaringan. Fungsi dari aktivitas intrinsik adalah

menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh suatu senyawa. Dalam

hal ini yang dimaksud dengan efek adalah dalam skala respon maksimum

jaringan.

Aktivitas intrinsik dinotasikan sebagai a yang merupakan besaran efek

per unit komplek obat-reseptor.

ED = α[DR] atau EDmaks = α[R]T (10)

ED maks

α = ————— (11)

ET maks

Page 9: Interaksi Obat Dengan Reseptor

ED maks adalah efek maksimum obat sedangkan ET maks adalah respon maksimum

jaringan

Hubungan antara dosis dengan respon adalah

αET maks[D]

ED = —————————— (12)

[ D ] + KD

Pada penode 1954-1960 Ariens menyatakan bahwa terdapat suatu senyawa

yang mempunyai aktivitas agonistik dan juga mempunyai aktivitas antagonistik

dimana dapatmenurunkan respon kebanyakan agonis aktif. Senyawa tersebut

dengan dualist. Oleh Stephenson istilah tersebut adalah agonis parsial. Untuk

agonis aktif yang menghasilkan respon potensial maksimum nilai α = 1,

sedangkan untuk dualist nilai 1 > α > 0 dan untuk antagonis yang tanpa aktivitas

intrinsik nilai α = 0.

Gambar 5. Kurva hubungan respon - konsentrasi untuk agonis penuh dan agonis parsial (Bowman dan Rand, 1980).

Page 10: Interaksi Obat Dengan Reseptor

Efikasi

Pada tahun 1956, dari sejumlah penelitian Stephenson menyatakan

bahwa hubungan antara pendudukan reseptor dengan respon adalah non-linear.

Dia membenkan postulat bahwa:

1. Efek maksimum dapat diproduksi oleh agonis ketika jumlah kecil saja dari

reseptor yang diduduki oleh agonis.

2. Respon tidak proporsional tinier terhadap jumlah reseptor yang diduduki.

3. Obat yang berbeda kemungkinan mempunyai kapasitas yang berbeda

untuk menginisiasi respon dan menduduki proporsi yang berbeda dari

reseptor ketika memproduksi respon yang seimbang.

Kemampuan obat untuk menginisiasi suatu respon dinamakan efikasi

(dinotasikan sebagai e). Nilai parameter dapat bervariasi antara not hingga harga

positif yang besar. Efikasi ini berbeda dengan aktivitas intrinsik. Efikasi lebih

cenderung pada kemampuan komplek agonis dan reseptor untuk menghasilkan

stimulus yang pada akhirnya akan menghasilkan respon atau efek, sedangkan

aktivitas intrinsik merupakan kemampuan komplek agonis dan reseptor untuk

menghasilkan respon fisiologi.

Stimulus dinotasikan sebagai S dan hubungan antara S ; e ; pendudukan

reseptor dan persamaan 4 adalah disajikan persamaan berikut:

e[DR] e[D]

S = ————— = —————— (13)

[RT] [D] +KD

Stimulus berbanding langsung dengan fraksi reseptor yang diduduki oleh obat

sehingga efek yang dihasilkan merupakan fungsi dari stimulus. Hubungan antara

stimulus dengan efek tidak selau tinier seperti pa.da persamaan berikut:

[ D ] / KD

S = e.————— dan E = f(S) (14)

[ D ] / KD + 1

Page 11: Interaksi Obat Dengan Reseptor

Hubungan antara stimulus dengan efek / respon bukan merupakan sifat

dari agonis atau obat melainkan sifat dari jaringannya. Untuk agonis kuat

mempunyai nilai e yang besar, dan efek maksimum dapat dicapai tanpa harus

menduduki semua jumlah reseptor yang tersedia. Sisa reseptor tersebut tidak

diperlukan untuk mencapai efek masimum dinamakan spare reseptor atau

reseptor cadangan.

D. ANTAGONISME

Antagonisme merupakan suatu peristiwa pengurangan atau

penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Penggolongan antagonisme adalah

sebagai berikut:

1. Antagonisme fisiologis

2. Antagonisme farmakokinetika

3. Anatgonisme farmakologi

4. Antagonisme kimiawi

Antagonisme fisiologi atau fungsional

Antagonisme ini merupakan peristiwa antagonisme akibat dua agonis

bekerja pada dua macam reseptor yang berbeda dan menghasilkan efek yang

saling berlawanan pada fungsi fisiologik yang sama. Antara antagonisme fisiologi

dan fungsional sebenarnya adalah berbeda. Perbedaannya bahwa pada

antagonisme fungsional, dua macam reseptor yang berbeda tersebut berada

dalam sistem sel yang sama sedangkan antagonisme fisiologi, dua macam

reseptor tersebut berada pada sistem yang berbeda. Contoh dari antagonisme

fungsional adalah antagonisme antara senyawa histamin dengan obat α1-

adrenergik (fenilefrin) pada pembuluh darah, sedangkan antagonisme fisiologi

adalah antagonisme glikosida jantung dengan dihidralazin. Glikosida jantung

dapat meningkatkan pompa jantung lebih lanjut meningkatkan tekanan darah,

sedangkan dihidralazin menghasilkan vasodilatasi perifer sehingga menurunkan

tekanan darah.

Antagonisme farmakokinetika

Antagonisme farmakokinetika disebut juga dengan interaksi

farmakokinetika. Antagonisme atau interaksi tersebut dapat terjadi pada tahapan

Page 12: Interaksi Obat Dengan Reseptor

proses farmakokinetika yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme /biotransformasi,

atau ekskresi (ADME). Terdapat beberapa faktor yang yang mempengaruhi

proses antaraksi farmakokinetika yaitu : (1) pada tahap absorpsi yaitu stabilitas,

kompleksasi dan dissolusi obat, serta fisiologi tubuh, (2) pada proses distribusi,

ikatan obat dengan protein mengambil peran penting dalam suatu antaraksi, (3)

Pada proses metabolisme yaitu induksi atau inhibisi enzim, (4) Pada proses

ekskresi yaitu reabsorpsi tubular dan sekresi tubular.

Perubahan pada level ADME dari obat kedua karena pemberian obat

pertama secara bersamaan mengakibatkan perubahan konsentrasi obat kedua

yang akan berinteraksi dengan reseptornya, dan membawa akibat pada efek

klinik obat tersebut. Sebagai contoh adalah pengaruh fenobarbital yang dapat

meningkatkan metabolisme warfarin sehingga konsentrasinya yang digunakan

untuk berinteraksi dengan reseptornya berkurang, dan akhirnya efek

antikoagulannya berkurang.

Antagomisme farmakologi

Antagonisms ini merupakan antagonisms yang melibatkan kerja atau efek

dari beberapa obat, yang timbul apabila obat dan antagonisnya bekerja pada

tempat kerja atau reseptor sama. Berbeda dengan antagonisms farmakokinetika,

antagonisme ini seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat-obat lain yang

segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat

berdasarkan persamaan efek farmakodinamikanya. Berdasarkan sifatnya,

antagonisme farmakologi dibedakan menjadi dua yaitu (1) kompetitif dan (2) non-

kompetitif.

Antagonisme bersifat kompetitif apabila antagonis mengikat tempat ikatan

agonis pada reseptornya secara reversibel, dan efek tersebut dapat digeser oleh

pemberian agonis pada dosis yang tinggi. Dalam hal ini, penambahan dosis

agonis dapat mengatasi efek penghambatan antagonis tersebut. Dengan kata

lain, diperlukan dosis agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang

sama. Dari skema pada gambar 6, menunjukkan bahwa antagonis [A] dapat

menghambat efek farmakologi agonis [D] dengan berinteraksi secara reversibel

dengan reseptor agonis [R] membentuk komplek [AR]. Dalam hal ini, afinitas

agonis terhadap reseptornya menurun (gambar 7). Contoh dari antagonisme

kompetitif adalah asetilkolin dengan atropin yang bekerja pada reseptor

Page 13: Interaksi Obat Dengan Reseptor

kolinergik muskarinik.

Dari skema pada gambar 6, dapat ditetapkan suatu konstanta disosiasi

komplek antagonis dengan reseptor yaitu

[A]

KA = ———— (15)

[A] [R]

Page 14: Interaksi Obat Dengan Reseptor

Dari persamaan 15 dan gambar 6, keberadaan antagonis mengakibatkan

agonis yang berinteraksi dengan reseptor berkurang sehingga mengakibatkan

efeknya juga berkurang. Pada antagonisme ini, untuk mendapatkan efek

maksimum seperti pada kondisi sebelum ada antagonis adalah penambahan

dosis atau kadar agonis yang lebih besar. Pada kurva logaritma dosis vs. respon

(KLDR) adanya antagonis dapat menggeser kurva sejajar ke kanan dan

mengakibatkan harga pD2 agonis menjadi lebih kecil (gambar 7).

Parameter yang digunakan untuk antagonis adalah pA2 yaitu logaritma

negatif kadar molar antagonis yang mengakibatkan kadar agonis harus dilipatkan

menjadi dua kalinya untuk mendapatkan efek yang sama dengan efek pada

kondisi sebelum adanya antagonis. Nilai pA2 juga merupakan suatu afinitas

antagonis terhadap reseptornya. Nilai dapat ditetapkan dengan menggunakan

formula Schild seperti pada persamaan berikut:

pA2 = -log[A]2 = log(1/[A]2) (16)

pA2 = -log[A]x + log(x-1 ) (17)

dimana x adalah rasio konsentrasi efektif agonis dengan antagonis terhadap

tanpa adanya antagonis, sedangkan [ A ] merupakan konsentrasi antagonis.

Antagonisme bersifat non kompetitif apabila penghambatan efek agonis

oleh antagonis tidak dapat diatasi dengan peningkatan kadar agonis. Sebagai

akibat, efek maksimal yang dicapai akan berkurang, akan tetapi afinitas agonis

terhadap reseptornya tidak berubah (gambar 8). Nampak pada gambar 9,

antagonis tidak mengubah kadar agonis yang terikat oleh reseptor ([DR] +

[DAR]), akan tetapi komplek [DAR] tersebut tidak dapat menimbulkan efek

farmakologi. Sebagai akibat, efek yang ditimbulkan agonis melalui komplek [DR]

akan berkurang. Contoh dari antagonisme non kompetitif adalah

fenoksibenzamin mengikat reseptor a adrenergik secara irevesibel.

Page 15: Interaksi Obat Dengan Reseptor

Parameter yang menerangkan antagonisme ini adalah pD ' 2 yaitu

logaritma negatif kadar antagonis yang mengakibatkan pengurangan efek

maksimum agonis menjadi 50 % efek maksimum sebelum adanya antagonis

atau logaritma negatif tetapan disosiasi kompleks antagonis dengan reseptor.

pD'2 = -log[A']2 = logK'2 (18)

Page 16: Interaksi Obat Dengan Reseptor

Pada KLRD, dengan adanya antagonis kurva sigmoid lebih melandai sebagai

konsekuensi adalah bahwa harga Emaks akan menurun akan tetapi nilai pD2-

nya cenderung untuk tetap.

Antagonisme kimiawi

Anatgonisme kimiawi terjadi manakala dua senyawa mengalami reaksi

kimia pada suatu larutan atau media sehingga mengakibatkan efek obat

berkurang. Sebagai contoh adalah penggunaan agen pengkelat dimerkaprol

yang mengikat pada logam-logam berat sehingga dapat menurunkan toksisitas

logam tersebut, dan penggunaan antibodi yang menetralisasi mediator protein

misalnya sitokin.

E. DESENSITISASI Sering bahwa efek suatu obat mengalami penurunan ketika diberikan

jangka waktu yang lama dan berulang-ulang. Istilah desensitisasi disinonimkan

dengan takipilaksis. Mekanisme yang memperantarai peristiwa desensitisasi

adalah :

Perubahan reseptor

Kehilangan reseptor

Penurunan Mediator

Peningkatan degradasi metabolic

Adaptasi fisiologi

Perubahan reseptor

Diantara reseptor yang langsung berikatan dengan kanel ion,

desensitisasi adalah sering terjadi secara cepat dan nyata. Pada

neuromuscularjunction, terdapat kejadian bahwa desensitisasi disebabkan

karena perubahan lambat konformasi reseptor, menghasilkan ikatan yang kuat

atau rapat dari molekul agonis tanpa dapat membuka kanel ion. Perubahan yang

mirip adalah pada reseptor (β-adrenergik yang tidak dapat mengaktivasi adenilat

siklase. Desensitisasi tersebut diakibatkan karena fosforilasi residu spes'rfik

dalam protein reseptor.

Page 17: Interaksi Obat Dengan Reseptor

Kehilangan reseptor

Penggunaan jangka panjang agonis sering manghasilkan penurunan

bertahap dalam jumlah reseptor. Pada penelitian menggunakan kultur sel, jumlah

(β-adrenergik berkurang hingga 10 % setelah 8 jam pemberian isoprenalin.

Namun, kehilangan reseptor tersebut adalah terbalikkan pada beberapa hari

selanjutnya. Peristiwa ini juga diakibatkan karena fosforilasi residu spesifik dalam

protein reseptor.

Penurunan Mediator

Amfetamin yang beraksi membebaskan noradrenalin maupun amin yang

lainnya dari ujung saraf autonom menunjukkan penekanan pada vesikel tempat

pelepasan noradrenalin untuk melepaskan senyawa tersebut.

Peningkatan degradasi metabolik

Peristiwa ini disebabkan peningkatan sistem metabolisme tubuh terhadap

suatu obat yang diberikan dalam jangka panjang. Sebagai contoh adalah

penggunaan barbiturat dan etanol yang jika digunakan dalam jangka waktu yang

lama akan mengalami pengurangan kadar obat dalam plasma akibat

peningkatan metabolismenya. Sebagai konsekuensi adalah penurunan efek dari

barbiturat dan etanol tersebut.

Adaptasi fisiologi

Peniadaan efek obat dapat terjadi akibat respon homeostatis tubuh. Efek

penurunan tekanan darah oleh diuretik tiazid menjadi terbatas akibat aktivasi

bertahap pada sistem renin-angiotensin.

Pertanyaan

1. Jelaskan perbedaan teori pendudukan dan teori laju dalam

menerangkan hubungan interaksi obat-reseptor dengan efek yang terjadi!

2. Jelaskan perbedaan antara stimulus dengan respon, parameternya

dan hubungan antar keduanya!

3. Apa yang disebut dengan antagonis surmountabel dan antagonis ireversibel

?