Reseptor Sebgai Target Aksi Obat

18
MAKALAH RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT DISUSUN OLEH : INDRA KURNIAWAN TENDEAN 12 14 043 SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI DAN PENGETAHUAN ALAM STIFA-PELITA MAS PALU

description

abcd

Transcript of Reseptor Sebgai Target Aksi Obat

MAKALAH RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT

DISUSUN OLEH :INDRA KURNIAWAN TENDEAN12 14 043

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI DAN PENGETAHUAN ALAMSTIFA-PELITA MASPALU2014

yPendahuluanProtein merupakan reseptor obat yang paling penting (misalnya reseptor fisiologis, asetilkolinesterase, Na+, K+-ATPase, tubulin, dsb). Asam nukleat juga merupakan obat yang penting, misalnya untuk sitostatik. Ikatan obat-reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der waals, atau kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran berbagai ikatan tersebut.Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur-aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesa obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu.Sepanjang sejarah pengobatan, dokter dan ilmuwan sangat tertarik akan keajaiban obat, dimana suatu senyawa dalam waktu yang singkat dapat menghasilkan perubahan yang radikal dalam tingkah laku dan kesehatan manusia. Konsep reseptor telah tersirat sepanjang sejarah. Pada tahun 1685, Robert Boyle mengusulkan bahwa untuk bagian tubuh yang berbeda memiliki tekstur yang berbeda pula, sehingga ikatan substansinya pun akan berbeda; gagasan tersebut menjadi dasar timbulnya interaksi obat-reseptor.Konsep reseptor merupakan rancangan dua ahli fisiologi terkenal, John Newport Langley dan Paul Ehrlich. Pusat studi independen mereka telah memberikan konsep ketergantungan aksi fisiologi pada struktur kimia. Pada tahun 1987, seorang mahasiswa di Cambridge yang bernama Langley menerangkan antagonis pilokarpin oleh atropin. Dalam makalah yang dipublikasikan pada 1878, Langley membayangkan konsep reseptor ....terdapat satu atau beberapa bahan pada ujung saraf atau kelenjar sel dimana atropin dan pilokarpin mampu membentuk suatu campuran.Saat ini, pencarian interaksi obat dan reseptor telah berada pada tahapan yang lebih dalam. Pengukuran yang relatif akurat pada respon obat dapat dilakukan dan hasilnya dibandingkan dengan teori yang ditetapkan oleh Clark. Kasus pertama dari pemilihan ini adalah asumsi bahwa respon jaringan berbanding lurus dengan konsentrasi obat. Untuk menjelaskan perbedaan itu, E.J Ariens memperkenalkan faktor proporsionalitas, dimana konstanta ini digunakan untuk memperhitungkan fakta bahwa beberapa agonis menghasilkan respon maksimal yang berada di bawah respons maksimum agonis lainnya. Ia menyebut konstanta proporsionalitas sebagai aktivitas intrinsik (ditunjukkan ), pencantuman istilah ini memberikan persamaan bahwa efek suatu obat memenuhi persamaan berikut:

Skala untuk adalah satuan unit, dimana nilai 1 untuk agonis penuh dan 0 untuk antagonis yang tidak menghasilkan respon jaringan secara langsung. Bila nilai adalah 0,4 berarti bahwa agonis dapat menghasilkan 40% dari respon maksimal jaringan (agonis parsial). Oleh karena itu, dalam perjalanan membuat model efek obat lebih berhubungan erat dengan hasil percobaan dan ini masih belum menjadi ketetapan untuk observasi beberapa agonis yang menghasilkan respon maksimal dalam nilai yang sangat rendah pada pendudukan reseptor (misalnya 90% respon maksimal akan ditingkatkan untuk obat dimana yang masih memiliki kedudukan hanya 5% atau 10% pada reseptor).Seorang ahli farmakologis Inggris, R.P.Stephenson memperkenalkan istilah stimulus dan mengusulkan bahwa obat yang dihasilkan oleh stimulus/rangsangan sesuai dengan persamaan berikut:

Dimana e merupakan konstanta proporsional yang disebutefficacy. Kekuatan pendekatan ini terjadi pada respon jaringan, sparameter eksperimental yang diobservasi menjelaskan suatu fungsi monotonik pada stimulus:

Fungsi monotonik yang diberi nama hubungan stimulus respon ini sangat penting dalam perkembangan farmakologi reseptor sebagai dasar kerja reseptor (aktivasi reseptor) yang dipisahkan dari kerja jaringan dalam aktifitas fisiologis. Gambar 3, menggambarkan kedudukan reseptor suatu obat dapat didefenisikan pada sumbu absis pada kurva hubungan stimulus dan respon, dan proses tersebut dikontrol oleh jumlah respon jaringan yang diperoleh dari tingkat kedudukan reseptor. Pemisahan ikatan obat reseptor dan hasil respon fisiologis menjadi dasar untuk perkembangan konsep teori reseptor.

Gambar 1.Hubungan Kedudukan reseptor dan respon jaringan yang didefinisikan oleh Stephenson. Pendudukan reseptor oleh agonis yang menghasilkan sejumlah stimulus.

Berdasarkan mekanisme kerja dan interaksinya dengan komponen makromolekul biologis, obat-obat diklasifikasikan dalam golongan-golongan sebagai berikut:1)Sebagian besar obat memberikan efek karena berinteraksi dengan protein, baik yang berada di membran plasma (mediator reseptor, kanal ion, transporter), atau dengan komponen di dalam sel (enzim, reseptor nuklear).2)Sebagian lagi bekerja secara ekstraseluler pada konstituen non-seluler tubuh tanpa melibatkan interaksi obat-reseptor, karena tidak ada komponen makromolekul yang terlibat. Contoh: netralisasi asam lambung oleh antasida, pencegahan koagulasi darah oleh heparin.3)Sebagian lagi bekerja pada sisi seluler dan melibatkan komponen makromolekul, tapi efek biologis yang dihasilkan adalah konsekuensi non-spesifik dari sifat kimiawi obat. Contoh: deterjen, alkohol, oksidator, dan derivat fenol yang bekerja merusak integritas sel dengan cara mengganggu kandungan seluler.4)Sejumlah lain interaksi obat dengan sistem biologis dapat terjadi, seperti ikatan obat pada albumin plasma. Ikatan ini mempengaruhi durasi dan laju aksi obat, tapialbumin tidak dianggap sebagai reseptor obat.

A.Jenis-Jenis ReseptorReseptor merupakan komponen makromolekul sel (umumnya berupa protein) yang berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan (hormon, neurotransmiter, mediator kimia dalam sistem imun, dan lain-lain) untuk menghasilkan respon seluler. Obat bekerja dengan melibatkan diri dalam interaksi antara senyawa kimia endogen dengan reseptor ini, baik menstimulasi (agonis) maupun mencegah interaksi (antagonis). Tipe reseptor, antara lainreseptor yang terhubung kanal ion, reseptor yang terhubung enzim, reseptor yang terhubung protein G, dan reseptor nuklearyang juga ditunjukkan pada gambar berikut :

Gambar 2.Jenis-Jenis Reseptor1)Reseptor terhubung Kanal IonReseptor ini berada di membran sel, disebut juga reseptor ionotropik. Respon terjadi dalam hitungan milidetik. Kanal merupakan bagian dari reseptor. Contoh : reseptor nikotinik, reseptor GABA, reseptor ionotropik glutamat dan reseptor 5-HT3.Reseptor kanal ionmerupakan suatu glikoprotein yang melintasi membran sel dan merupakan suatu kompleks multi subunit yang tersusun membentukporus/kanal. Reseptor ionotropik mengatur permeabilitas kanal ion dan diklasifikasikan berdasarkan permeabilitasnya terhadap ligan. Sifat penting dari reseptor kanal ion ini adalahteraktivasi sebagai respon terhadap ligan spesifik (neurotransmitter, maksudnya neurotransmitter tersebut dilepaskan oleh ujung syaraf sebagai respon dari depolarisasi), memungkinkan ion melalui membran yg semula impermeable (di mana neurotransmitter seperti asetilkolin akan berikatan pada reseptor yang ada pada kanal ion membuat kanal ion terbuka), serta selektif pada ion-ion tertentu, misalnya K, Ca dan Na.

a.Reseptor Nikotinik AsetilkolinReseptor ini ditemukan di otot skeletal, ganglion sistem saraf simpatik dan parasimpatik, neuron sistem saraf pusat, dan sel non neural. Reseptor ini berperan dalam penyaluran sinyal listrik dari suatu motor neuron ke serat saraf otot. Asetilkolin yang dilepaskan oleh neuron motorik berdifusi ke membran plasma sel miosit dan terkait pada reseptor asetilkolin. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan konformasi reseptor dan akan menyebabkan kanal ion membuka. Pergerakan muatan positif akan mendepolarisasi membran plasma yang menyebabkan kontraksi. Pembukaan kanal hanya berlangsung sebentar meskipun asetilkolin masih menempel pada reseptor(periode desensitisasi).Reseptor nikotinik asetilkolin yang matang terdiri atas2 , , , dan . Berbeda dari yang ada di otot, struktur reseptor nikotinik asetilkolin dineuronhanya terdiri atas subunit &(32).Asetilkolinyang disintesis darikolindanasetil ko-A, dibantu oleh enzimasetilkolintransferase.Berperan antara lain dalam regulasi belajar (learning), memori, kontrol gerakan, dan mood (perasaan). Contoh penyakitnya ialah alzheimer (pikun) disebabkan karena degenerasi sistim kolinergik, myasthenia gravis.Asetilkolin (Ach) yang dihasilkan ini nanti akan berinteraksi dengan dua reseptor, yaitu nikotinik dan muskarinik. Yang berkaitan dengan kanal ion adalah respetor nikotinik (terkait dengan kanal Na pada membran sel).Disebut reseptor asetilkolin nikotinik karena selain memiliki daya afinitas untuk berikatan dengan asetilkolin reseptor ini juga memiliki afinitas terhadap nikotin tetapi afinitas lemah terhadap muskarin.Reseptor ini terdiri dari 5 subunit (yaitu subunit A1, @1, B atau C, dan D), yang melintasi membran, membentuk kanal polar (gambar 4a). Masing-masing sub unit terdiri dari 4 segmen transmembran, segmen ke-2 (M2) membentuk kanal ion (gambar 4b). Domain N-terminal ekstraseluler masing-masing sub unit mengandung 2 residu sistein yang dipisahkan oleh 13 asam amino membentuk ikatan disulfida yang membentuk loop, merupakan binding site untuk agonis (gambar 4c) :

Gambar 3.Struktur reseptor nikotik asetilkolinMekanisme transduksi sinyal pada reseptor nikotinik ini ialah : impuls sarafmembuka kanal Ca2+pada presinaptikCa2+memobilisasi Ach untuk lepas dari presinaptikAch berikatan dengan reseptor nikotinikKanal Namembukadepolarisasi parsialmembuka kanal Na yang laindepolarisasi berlanjutmembuka kanal Ca2+di RE/RSCa2+masuk ke sitoplasmaberkontraksi.Akson terbuka yang melebar terletak pada alur permukaan serabut otot yang dibentuk oleh lipatan sarkolema ke dalam (junctional fold= dasar alur dibentuk oleh sarkolema yang membentuk lipatan-lipatan). Junctional fold berfungsi memperluas area permukaan sarkolema yang terletak di dekat akson yang melebar. Di antaramembran plasma akson(aksolemaataumembran prasinaps) danmembran plasma serabut otot(sarkolemaataumembran pascasinaps) terdapatcelah sinaps.

Gambar 4.Mekanisme kerja reseptor nikotinik (agonis : asetilkolin)a.Reseptor GABA (Gamma-Aminobutyric Acid)GABA tidak hanya sebagai inhibitor di otak tetapijuga membantu dalam produksi endorfin yang memberikan rasa kesejahteraan. GABA ini dihasilkan melalui siklus krebs yaitu pada jaringan syaraf, di mana alpha ketoglutarat diubah menjadi glutamate kemudian menjadi GABA.GABAdisintesis dari glutamat dg bantuan enzim glutamic aciddecarboxylase (GAD),dandidegradasi oleh GABA-transaminase. Penghambatan enzim-enzim ini sangat berperan pada pengobatan epilepsi, dimana pada penderita epilepsi mengalami kekurangan GABA. Karena tidak ada yang menekan sistem sarafnya, akibatnya ketika terjadi aktivasi, respon yang diberikan pun berlebihan sehingga terjadi konvulsan atau kejang. Terapi yang bisa diberikana salah satunya adalah dengan meningkatkan GABA, yaitu meningkatkan GAD (enzim yang mengubah glutamat menjadai GABA), contohnya obat gabapentin, menghambatreuptakeGABA atau dengan menghambat GABA transaminase sehingga GABA tidak diubah menjadi metabolitnya, contoh obatnya vigabatrin.

Gambar reseptor GABA >>Reseptor GABA ini terkait dengankanal Cl. Mekanisme yang terjadi pada reseptor ini :GABA lepas dari ujung saraf --> berikatan dengan reseptor GABA --> membuka kanal Cl --> Cl masuk --> hiperpolarisasi --> penghambatan transmisi saraf --> depresi CNS.Adanya berbagai site pada reseptor ini dimanfaatkan sebagai strategi-strategi untuk memanipulasi reseptor GABA. Misalnya obat-obat golongan benzodiazepin, akan meningkatkan afinitas reseptor terhadap GABA sehingga pembukaan kanal Cl lebih lama, begitu pula mekanisme yang terjadi pada obat golongan barbiturat.

a.Reseptor GlutamatGlutamat merupakanneurotransmitter eksitatori.Reseptor glutamat ada 2 jenis, ionotropik dan metabotropik. Ionotropik atau yang terkait kanal ion ada 3,yaitu NMDA, AMPA, dan kainate. Namun, yang sudah banyak diteliti adalah reseptor NMDA. Reseptor NMDA ini banyak ditemukan di otak bagiancortex cerebral dan hippocampussehingga memiliki peranan penting dalamfungsi memori dan belajar.Keunikan dari reseptor NMDA ini adalah dia ter-blok oleh ion Mg2+(mengeblok kanal Na dan Ca) ketika dalam keadaan inaktif, sehingga membutuhkan reseptor non-NMDA untuk mengaktivasinya.

Gambar 5.Jalur NMDAMekanismenya ialahglutamat lepas dari saraf presinaptikberinteraksi dengan reseptor non-NMDAafinitas reseptor NMDA dengan Mg2+ berkurangMg2+ lepasglutamat mengaktivasi NMDAmembukan kanal Na dan CaNa dan Ca masukmenghasilkan efek seluler (memicu signaling dalam learning dan memory).Aktivasi berlebihan dari reseptor NMDA cukup berbahaya. Jika aktivitasnya berlebihan, di mana ion Ca yang masuk dalam sel saraf berlebihan, dapat menyebabkan efek yang dinamakaneksositosis, yaitu kematian sel saraf akibat kelebihan glutamat (apoptosis sel saraf). Fenomena ini banyak dijumpai pada penyakit degeneratif, misalnya alzheimer, stroke, demensia. Oleh karena itu, reseptor ini menjadi salah satu target obat alzheimer, dengan aktivitas sebagai antagonis NMDA. Antagonis NMDA dahulu, contoh obatnya taxoprodil, merupakan antagonis kuat NMDA,

1)Reseptor terhubung EnzimReseptor terhubung enzim merupakan protein transmembran dengan bagian besar ekstraseluler mengandungbinding siteuntuk ligan (contoh : faktor pertumbuhan, sitokin) dan bagian intraseluler mempunyai aktivitas enzim (biasanya aktivitas tirosin kinase). Aktivasi menginisiasi jalur intraseluler yang melibatkan tranduser sitosolik dan nuklear, bahkan transkripsi gen. Reseptor sitokin mengaktifkan Jak kinase, yang pada gilirannya mengaktifkan faktor transkripsi Stat, yang kemudian mengaktifkan transkripsi gen.

Gambar 6.Mekanisme Kerja reseptor faktor pertumbuhanReseptor faktor pertumbuhan terdiri dari 2 reseptor, masing-masing dengan satu sisi pengikatan untuk ligan. Agonis berikatan pada 2 reseptor menghasilkan kopling (dimerisasi). Tirosin kinase dalam masing-masing reseptor saling memposforilasi satu sama lain. Protein penerima (adapter) yang mengandung gugus SH berikatan pada residu terposforilasi dan mengaktifkan tiga jalur kinase. Kinase memposforilasi berbagai faktor transkripsi, kemudian mengaktifkan transkripsi gen untuk proliferasi dan diferensiasi.

a.Reseptor Faktor PertumbuhanReseptorgrowth factormerupakan reseptor yang tergolong reseptor tirosin kinase yang memiliki peran yang sangat penting bagi pertumbuhan sel. Dengan adanya ikatan antara suatugrowth factordengan reseptornya, maka akan terjadi serangkaian peristiwa molekuler yang berujung pada transkripsi gen.Setelah transkripsi gen terjadi, sintesis protein tertentu yang dibutuhkan pun akan diatur untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan poliferasi sel. Banyak obat dikembangkan dengangrowth factorreseptor sebagai target aksi, obat kanker adalah salah satunya. Beberapa obat yang beraksi pada reseptorgrowth factoradalah erlotinib dan gefitinib, suatu inhibitor reseptor EGF. Selain itu, bevasizumab (avastin) juga merupakan obat antibodi monoklonal terhadap VEGF (Vascular Endhotelial Growth Factor), suatu faktor proangiogenesis. Angiogenesis adalah proses pembentukan pembuluh darah baru disekitar tumor untuk menyuplaii kebutuhan nutrisi sel. Penghambatang angiogenesis merupakan salah satu pendekatan terapi kanker dengan cara menghentikan suplai darah ke tempat terjadinya kanker.

b.Reseptor SitokinSitokin adalah senyawa-senyawa endogen yang dilepaskan sel untuk saling berkomunikasi (cross-talk). Contoh sitokin adalah interleukin (IL-1;IL-2, dst.), tumor nekrosis alfa (TNF-), interferron gamma (IFN-), dll. Sitokin berperan dalam berbagai peristiwa biologis terutama pada inflamasi. Sama dengan reseptor EGF tadi, jika sitokin berikatan dengan reseptornya, maka akan terjadi serangkaian peristiwa yang berujung pada transkripsi gen lalu akan menginduksi sintesis protein tertentu misalnya produksi transkripsi gen, lalu akan menginduksi sintesis protein tertentu misalnya produksi antibodi IgF oleh limfosit.Seperti yang telah disebutkan bahwa sitokin banyak terlibat pada proses inflamasi, maka banyak obat yang telah dikembangkan dengan sitokin sebagai target aksi obatnya. Contohnya antagonis IL-5 yang telah dicobakan untuk mengurangi rekrutmen eusinofil ke jaringan nafas yang terinflamasi oleh pasien penyakit asma. Pada penyakit asma kronis lain seperti rhematoidarthritis oleh penyakit Crohns, telah dikembangkan obat dengan target aksi TNF- yaitu infliksimab, dimana TNF- ini merupakan salah satu faktor patoligis dari penyakit Crohns

1)Reseptor Terikat Protein GReseptor yang terikat protein G merupakanfamilyterbesar dari reseptor membran sel. Reseptor ini menjadi mediator dari respon seluler berbagai molekul, seperti ; hormon, neurotransmitter, mediator lokal, dll. Reseptor terikat protein G merupakan suatu rantai polipeptida tunggal, yang keluar masuk sel hingga 7 kali, sehingga dikatakan memiliki 7-transmembran. GPCR, disebut juga reseptor metabotropik, berada di sel membran dan responnya terjadi dalam hitungan detik. GPCR mempunyai rantai polipeptida tunggal dengan 7 heliks transmembran. Tranduksi sinyal terjadi dengan aktivasi bagian protein G yang kemudian memodulasi/mengatur aktivitas enzim atau fungsi kanal.G-protein itu sendiri merupakan protein heterotrimerik yang memiliki aktivitas enzim intrinsik untuk degradasi guanosin trifosfat dan yang juga dapat memisahkan pada saat aktivasi oleh reseptor. Subunit yang dipisahkan bermigrasi ke efektor seperti enzim adenilat siklase atau berbagai kanal ion untuk menginduksi respon sel. Hal ini menjelaskan bahwa respon fisiologis berasal dari aktivasi protein G-reseptor, bukan RaG atau A Ra G. A Ra G adalah kompleks terner antara reseptor, obat, dan G-protein --- maka dinamakan model kompleks terner.

Gambar 7.Struktur reseptor terkopling protein GGDP (Guanin difosfat) akan menempel pada subunit alfa dalam bentuk inaktif, pada kondisi ini semua subunit berada dalam satu kompleks. Jika ada sebuah enzim (adenilat siklase) atau dapat disebut juga adenilat adenylyl yang menempel pada lipid bilayer dan memiliki hasil produknya yaitu cAMP dari ATP. Jika suatu hormon berikatan pada GPCR, G-protein menjadi aktif dan subunit G akan melepaskan GDP dan akan mengikat GTP, sehingga terjadi pertukaran GDP menjadi GTP. Penggantian GDP menjadi GTP menyebabkan perubahan konformasi pada subunit G. Subunit G yang terikat dengan GTP terdisosiasi dari subunit menjadi subunit aktif, yang akan mengaktifkan adenilat siklase (AC) memproduksi cAMP. Rangkaian peristiwa ini akan menghasilkan produk cAMP yang akan mengaktifkan PKA yang akan mengkatalisis fosforilasi berbagai protein targetnya dan menimbulkan aktivitas dalam sel tersebut.Siklik AMP (cAMP) bekerja mengaktivasi Protein Kinase A (PKA) atau A-kinase, yang selanjutnya akan memfosforilasi banyak jenis protein dan mengaktifkannya. Disebut protein kinase A karena aktivasinya diregulasi oleh adanya cAMP. PKA berperan dalam regulasi enzim metabolisme, misalnya metabolisme glukosa, dengan menstimulasi peruraian glikogen dan menghambat sintesis glikogen sehingga meningkatkan/memaksimalkan ketersediaan glukosa dalam sel.

1)Reseptor NuklearReseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear (walaupun beberapa ada di sitosol, merupakan reseptor sitosolik yang kemudian bermigrasi ke nukleus setelah berikatan dengan ligand, seperti reseptor glukokortikoid). Contoh : reseptor kortikosteroid, reseptor estrogen dan progestogen, reseptor vitamin D.

Gambar 8.Mekanisme kerja reseptor glukortikoid

a.Interaksi Obat-ReseptorLigan seperti hormon atau neurotransmiter ibarat sebuah anak kunci yang berikatan pada reseptor spesifik (yang berperan sebagai lubang kunci). Interaksi ini membuka respon sel. Obat mirip ligan, bila berinteraksi dengan resesptor memberikan respon yang sama dengan ligan, merupakan agonis sehingga bisa membuka kunci. Obat lain yang bekerja berlawanan disebut antagonis. Ligan secara umum dapat mengikat salah satu konformasi protein, ikatan tersebut menghilangkan konformasi awal, yakni dari dua bentuk yang mengalami keseimbangan dinamis menjadi bentuk yang lebih khusus.

1)Kurva dosis responHubungan antara interaksi obat-reseptor dengan respon obat dinyatakan dengan persamaan berikut :

pada keseimbangan :

k1/k-1 = konstanta afinitask-1/k1 = konstanta disosiasi (kd)

Semakin rendah kd semakin poten obat.

2)AfinitasAfinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk berikatan pada reseptor. Ikatan kovalen menghasilkan afinitas kuat, interaksi stabil dan ireversibel. Ikatan elektrostatik bisa menghasilkan afinitas kuat atau lemah, biasanya bersifat reversible.

3)Efikasi

Efikasi (atau aktivitas intrinsik) merupakan kemampuan obat terikat untuk mengubah reseptor sehingga memberikan efek; beberapa obat bisa mempunyai afinitas tapi tidak menunjukkan efikasi.

dimana:D = konsentrasi obatDR= konsentrasi kompleks obat-reseptor100 - DR = konsentrasi reseptor bebas

Kurva dosis respon aritmetik (A) vs kurva logaritmik (B)

Skala dosis aritmetik :Laju perubahan efek cepat pada awal dan melambat pada peningkatan dosis. Saat peningkatan dosis tidak lagi mengubah efek, dicapai efek maksimal. Sulit untuk dianalisis secara matematis pada kurva dosis aritmetik.

Skala Log Dosis :Kurva logaritmik mengubah kurva hiperbolik menjadi sigmoid (mendekati garis lurus). Hal ini lebih menguntungkan dibanding skala dosis, karena proporsi dosis setara dengan efek sehingga mudah dianalisis secara matematis.

4)PotensiPotensi merupakan posisi relatif kurva dosis-efek pada sumbu dosis. Namun signifikansi secara klinis kecil, karena obat yang lebih poten belum tentu lebih baik secara klinis. Obat berpotensi rendah tidak menguntungkan hanya jika menyebabkan dosis terlalu besar sehingga sukar diberikan.

Kurva potensi relatif antara L, M, dan N

Contoh : potensi relatif antara berbagai analgesik. Jika hanya dibutuhkan respon analgesic rendah, pemberian aspirin dengan dosis 500 mg masih bisa menjadi pilihan dari pada golongan narkotik. Namun jika dibutuhkan efek analgesik kuat, dipilih golongan narkotik.

Potensi beberapa obat analgetik5)Agonis dan antagonisAgonis adalah obat yang berinteraksi dengan dan mengaktifkan reseptor, mempunyai afinitas dan efikasi (aktivitas intrinsik). Antagonis mempunyai afinitas tapi tanpa aktivitas intrinsik. Ada 2 tipe agonis :-Agonis penuh, adalah agonis dengan efikasi maksimal.-Agonis Parsial, adalah agonis dengan efikasi kurang maksimal.

Agonis penuh dan agonis parsial

Antagonis berinteraksi dengan reseptor tapi tidak mengubah reseptor. Antagonis mempunyai afinitas tapi tidak mempunyai efikasi. Ada 2 tipe antagonis :Antagonis kompetitifAntagonis kompetitif berkompetisi dengan agonis untuk menduduki reseptor. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis agonis. Antagonis menggeser kurva dosis respon agonis ke kanan, mengurangi afinitas agonis.

Antagonis nonkompetitifAntagonis nonkompetitif berikatan pada reseptor dan bersifat ireversibel. Antagonis nonkompetitif menyebabkan sedikit pergeseran ke kanan kurva dosis respon agonis pada kadar rendah. Semakin banyak reseptor diduduki, agonis menjadi tidak mungkin mencapai efek maksimal.

Pengaruh antagonis kompetitif dan non-kompetitif

1)Efektivitas, Toksisitas, LetalitasED50 Dosis efektif tengah; dosis dimana 50% populasi/sampel menunjukkan efek (dari kurva DR kuantal)TD50 Dosis toksis tengah dosis dimana 50% populasi menunjukkan efek toksikLD50 Dosis letal tengah dosis yang membunuh 50% subjek2)Indeks Terapi

Semakin tinggi indeks terapi (IT) semakin baik. IT bervariasi dari 1,0 (beberapa obat kanker) hingga >1000 (penicillin). Obat yang bekerja pada reseptor atau enzim yang sama sering mempunyai nilai IT yang sama.