Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

47
Mekanisme Kerja Obat Mekanisme kerja obat Obat menimbulkan efeknya melalui berbagai cara yang berbeda. Caranya dapat berdasarkan fisikokimia, farmakodinamik atau interaksi farmakokinetik dengan sistem biokimia dan fisiologi. Mekanisme kerja utama obat bukan merupakan satu-satunya yang dapat mempengaruhi zat yang berada dalam tubuh namun terdapat berbagai cara kerjanya. Sebagai contoh, berbagai obat dapat berinteraksi dengan lebih dari satu tipe reseptor dan beberapa obat juga dapat mengubah farmakokinetik dari obat yang diberikan sebelumnya melalui induksi atau hambatan enzim. Mekanisme fisikokimia Mekanisme ini umunya tidak spesifik dan bergantung pada sifat fisikokimia dari setiap obat yang meliputi ukuran molekul dan bentuknya, derajat isonisasi dan nilai pKa dari setiap unsurnya serta daya larut obat dalam lemak dan air. Mekanisme fisikokimia obat yang tidak spesifik meliputi : - Netralisasi (efek pH) - Efek osmotik - Absorpsi - Kelasi Netralisasi Cara kerja obat ini khas pada obat antasida. Natrium sitrat merupakan asam lemah dan jika bergabung dengan asam hidrochlorida yang merupakan asam kuat di lambung akan menghasilkan natrium klorida dan asam sitrat yang merupakan

description

Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

Transcript of Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

Page 1: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

Mekanisme Kerja Obat

Mekanisme kerja obatObat menimbulkan efeknya melalui berbagai cara yang berbeda.  Caranya dapat berdasarkan

fisikokimia, farmakodinamik atau interaksi farmakokinetik dengan sistem biokimia dan

fisiologi.

Mekanisme kerja utama obat bukan merupakan satu-satunya yang dapat mempengaruhi zat

yang berada dalam tubuh namun terdapat berbagai cara kerjanya. Sebagai contoh, berbagai

obat dapat berinteraksi dengan lebih dari satu tipe reseptor dan beberapa obat juga dapat

mengubah farmakokinetik dari obat yang diberikan sebelumnya melalui induksi atau

hambatan enzim.

Mekanisme fisikokimia

Mekanisme ini umunya tidak spesifik dan bergantung pada sifat fisikokimia dari setiap obat

yang meliputi ukuran molekul dan bentuknya, derajat isonisasi dan nilai pKa dari setiap

unsurnya serta daya larut obat dalam lemak dan air.

Mekanisme fisikokimia obat yang tidak spesifik meliputi :

-          Netralisasi (efek pH)

-          Efek osmotik

-          Absorpsi

-          Kelasi

Netralisasi

Cara kerja obat ini khas pada obat antasida. Natrium sitrat merupakan asam lemah dan jika

bergabung dengan asam hidrochlorida yang merupakan asam kuat di lambung akan

menghasilkan natrium klorida dan asam sitrat yang merupakan asam yang cukup lemah

sehingga dapat mengurangi pH dalam lambung. Kalsium bikarbonat juga merupakan antasida

yang cukup efektif namun dapat menghasilkan karbondioksida yang dapat menyebabkan

distensi abdomen dan flatus. Untuk menghindari masalah ini, maka natrium sitrat dapat

diberikan sebelum operasi untuk mengurangi resiko aspirasi lambung pada pasien yang

beresiko tinggi yang memerlukan anestesi umum. Natrium sitrat sebaiknya tidak digunakan

dalam jangka panjang karena kandungan natriumnya cukup tinggi, idealnya obat antasida

sebaiknya tidak digunakan dalam jangka waktu lama. Preparat aluminium hidroxida pada

dasarnya tidak larut dan dapat bertahan lama, sehingga mendekati kategori obat yang ideal

Page 2: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

untuk dikonsumsi, namun dalam pemakaiannya harus tetap berhati-hati terhadap terjadinya

gagal ginjal. Contoh lain dari netralisasi adalah penggunaan protamin dalam melawan efek

heparin (lihat bagian 3, Bab 17, hal 701). Protamin berasal dari protein spermatozoal ikan

yang kandungan argininya cukup tinggi, sehingga kaya akan muatan positif sedangkan

heparin sendiri mengandung muatan negatif. Kombinasi antara protamin dan heparin

menghasilkan suatu kompleks yang tidak menimbulkan efek antikoagulan.

Efek osmotik

Manitol adalah alkohol yang berasal dari gula mannosa. Manitol ini tidak dimetabolisme

tetapi menimbulkan efek osmotik pada plasma, seperti glukosa, yang dapat memicu ekspansi

volume ekstraseluler, mengurangi viskositas darah dan menimbulkan efek diuresis. Manitol

seluruhnya disaring dan direabsorsi secara minimal. Pemberian dosis manitol perlu

diperhatikan untuk menghindari kerusakan fungsi tubular ginjal akibat tingginya osmolalitas

plasma.

Absorpsi

Absorbsi yang tidak spesifik dari berbagai obat bertujuan untuk mengaktivasi charcoal yang

nantinya berguna dalam penanganan overdosis obat dengan cara mengeluarkan obat dari

dalam lambung. Fungsi Charcoal sendiri tidak efektif terhadap keracunan lithium, sianida,

besi, ethanol atau methanol.

Kompleks Kelasi dan inklusi

Logam besi berat seperti timah, arsen, dan tembaga dapat dikeluarkan secara efektif melalui

mekanisme yang melibatkan satu atau lebih bahan kelasi. Bahan ini mengandung atom

oksigen, sulfur atau nitrogen yang membentuk ikatan kordinat dengan ion logam (ligan

menyokong kedua elektron). Bahan kelasi yang ideal adalah bersifat larut dalam air, tidak

mengalami proses biotransformasi, memiliki afinitas yang rendah terhadap kalsium dan

membentuk kompleks logam yang non-toxic yang dapat dieksresi. Edetate calcium disodium

(Ca2+ Na+2 EDTA) dan penicillamine dapat digunakan pada keadaan keracunan,

penicillamin juga dapat digunakan pada keadaan keracunan tembaga dan merkuri.

Secara alamiah, Cyclodextrins alpha, beta dan gamma terbentuk dari bucket-shaped

oligosakarida yang dihasilkan dari pati; siklodestrin-α memiliki enam β dan delapan γ residu

gula. Permukaannya dilapisi oleh suatu lapisan yang bersifat hidrofilik dan bagian dalamnya

bersifat hidrofobik yang dapat memerangkap molekul lain dengan membentuk kompleks

inklusi. Modifikasi siklodestrin digunakan secara luas untuk menyamarkan bau serta untuk

Page 3: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

sistem penghantaran obat, khususnya untuk obat yang kadar kelarutan dalam airnya rendah.

Sebuah bahan siklodestrin- γ yang baru telah dikembangkan secara selektif dalam

membentuk kompleks inklusi dengan rocuronium, tetapi kurang efektif dengan obat

pelumpuh otot  non-depolarisasi lainnya. Obat ini melawan efek obat blokade neuromuskuler

non-depolarisasi tanpa menimbulkan efek yang tidak diinginkan dari penghambatan

asetilkolinesterase.

Radio-opasity

Media kontras mengandalkan bahan absorpsi sinar X untuk fungsinya masing-masing. Media

kontras yang ideal sebaiknya lembam tetapi dapat dipilih untuk memastikan bahwa mereka

terkonsentrasi di daerah tertentu seperti dalam sistem urinarius.

Mekanisme farmakodinamik

Banyak obat menimbulkan efeknya karena adanya interaksi dengan sisi spesifik dan selektif

pada reseptor. Reseptor merupakan sebuah protein yang besar yang berhubungan dengan

struktur seluler seperti membran sel, sitoplasma, membran intraseluler atau nukleus.

Selektivitas ini berasal dari konfigurasi kimia 3D dari obat, yang cocok dengan sisi protein

yang relevan dan memungkinkan terjadinya pengikatan pada tempat tersebut. Efek yang

diamati kemudian dihasilkan secara langsung atau tidak langsung dari interaksi ini. Jenis aksi

ini ditandai dengan adanya mekanisme kunci dan-gembok yang melibatkan gaya kimia yang

berbeda yang memungkinkan obat untuk mendekati bagian yang aktif dan kemudian masuk

ke daerah ikatan. Penarikan awal mungkin disebabkan oleh adanya gaya ion, namun

stabilisasi terjadi karena adanya interaksi van der Waals ketika obat ini berdekatan dengan

bagian perlekatan.

Mekanisme interaksi meliputi :

-          Obat dengan Reseptor membran sel

-          Obat dengan gerbang saluran ion

-          Obat dengan reseptor membran intraseluler

-          Obat dengan mekanisme reseptor sitosolik

Obat dengan Reseptor membran sel

Berbagai obat yang kami gunakan pada tindakan anestesi dengan menganggu pengikatan

neurotransmitter alami ke sisi reseptor pada membran sel. Yang paling penting adalah ligand-

Page 4: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

gated ion channels dan reseptor protein-G. Mekanisme transduksi yang tergantung pada

membran lainnya mungin juga penting misalnya aktivasi reseptor thyrosin kinase oleh

insulin.

Ligand-gated ion channels

Ini sangat penting untuk membedakan saluran ion yang terbuka sebagai akibat dari perubahan

potensial membran di sekitar saluran ion yang berhubungan dengan pengikatan

neurotransmitter. Ligand-gated ion channel umumnya ditemukan di sinaps, yang terkait

dengan membran pre dan postsinaps. Walaupun beberapa voltage-gated ion channel muncul

di presinaps, saluran ini paling sering ditemukan di saraf akson atau di daerah yang tidak

bersinaps dari membran otot polos dan skelet.

Anestesi lokal seperti pada lidokain dan bupivacaine bekerja dengan memblok voltage-gated

sodium channels. Obat ini biasanya diberikan pada lokasi yaang dekat dengan saraf perifer,

aktivitas ini membutuhkan akses ke sisi sitosolik akson sehingga kelarutan dalam lemak

cukup penting, walaupun bentuk yang terionisasi masih aktif. Beberapa antikonvulsan seperti

obat lamotrigin dan carbamazepin bekerja dengan memblok pusat saluran natrium sehingga

mengurangi rangsangan dari saraf. Obat Voltage-gated calcium-channel blockers seperti

nefedipine dan verapamil bekerja dengan memblok saluran kalsium tipe-L: dimana timbulnya

efek antihipertensi dan antiangina dikaitkan dengan aksi otot polos pembuluh darah,

sedangkan efek myokardium menghasilkan aksi antiaritmia. Saluran kalsium tipe-T sentral

diblok dengan obat anticonvulsant ethosuxamide.

Berbagai obat yang kami gunakan untuk menganggu saluran ion neurotransmitter yang

memediasi transmisi informasi yang cepat melalui sistem saraf pusat dan perifer. Aktivasi

ligand-gated channels baik depolarisasi membran postsinaps yang memungkinkan transmisi

sinyal listrik ke depan atau hiperpolarisasi membran, dalam menghambat sinyal. Terdapat

tiga jenis reseptor ligand yang berbeda yang dapat dibedakan dari struktur subunitnya yang

meliputi : reseptor pentamerik, ionotropic glutamat dan purinergic ionotropic. (gambar

MD1)

Reseptor Cys-loop pentamerik

Contohnya yaitu nicotinic acetylcholine receptor (nAChR), γ-aminobutyric acid type A

receptor (GABAA), inhibitory glycine receptors (GlyR) dan  5-hydroxytryptamine (serotonin)

type 3 receptor (5-HT3).

Page 5: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

Setiap subunit dari jenis pentamerik memiliki 4 domain transmembran heliks (TMD)-domain

adalah bagian dari rantai protein yang berperan penting dalam fungsi protein tersebut, sering

tidak berbentuk lipatan 3D (istilah yang digunakan ketika rantai protein melewati membran

dan loop yang melengkung tanpa keluar dari sisi yang berlawanan dari membran). Nama cys-

loop sendiri berasal dari sebuah fakta bahwa di dekat terminal-N eksraseluler terdapat 2

jembatan sistein disulpida yang dapat membuat terminal-N kembali ke struktur loop.

Gambar MD1 skema ilustrasi dari golongan reseptor ionotropik. (A) Golongan pentametrik

ditandai dengan adanya reseptor asetilkolin nikotinik pada neuromuskular junction; (i)

konfigurasi subunit- terdapat 4 domain transmembran dan 2 jembatan sistein di dekat

terminal NH2; (ii) pengaturan subunit seperti yang terlihat di atas- pada tanda panah tersebut

memperlihatkan 2 sisi tempat pengikatan asetilkolin. (B) golongan glutamat ionotropik

ditandai dengan adanya reseptor NMDA dengan tiga domain transmembran dan satu loop

yang melengkung. (C) reseptor P2x ionotropik purinergik dengan dua domain transmembran

sebuah loop ekstraseluler yang besar.

Golongan pentamerik memberikan tempat paling penting dalam kerja obat  penghambat

neuromuskuler (nAChR) dan telah diakui untuk berbagai obat anestesi umum (GABAA):

mekanisme kerja anestesi umum akan didiskusikan lebih detail di bawah ini. Komposisi

subunit dapat bervariasi untuk reseptor asetilkolin nikotinik. Pada daerah neuromuskular

junction, komposisinya adalah αεαβδ, tetapi pada fetus komposisinya αγαβδ, asetilkolin

mengikat hubungan subunit α-ε dan α-δ. Hubungan ikatan dari dua molekul asetilkolin ini

diperlukan untuk menghasilkan perubahan konformasi dan untuk membuka saluran, yang

memerlukan lima kali lebih selektif pada kation monovalen-Na+ dibandingkan kation divalen

seperti Ca2+. Penghambat depolarisasi seperti suksamethonium, mengikat sisi yang sama

seperti asetilkolin transmitter alami dan menyebabkan pembukaan saluran ion dengan

memicu perubahan konformasi yang sama dengan yang diinduksi oleh asetilkolin, walaupun

waktu pembukaan saluran meningkat. Akan tetapi, suksamethonium tidak dapat dihidrolisis

dengan cepat, selama terpisah dengan reseptornya karena ini bukan merupakan substrat untuk

asetilkolin. Akibatnya, reseptor tidak dapat kembali ke bentuk istirahat, namun mengalami

desensitasi dan tidak lagi mampu berespon terhadap agonis. Ini kemudian menghasilkan

blokade neuromuskular. Asetilkolin sendiri juga dapat menghasilkan penghambatan seperti

yang terlihat ketika asetilkolinesterase dihambat oleh organofosfat. Pada kenyataannya, obat

pelumpuh otot non-depolarisasi bersaing untuk menempati tempat yang sama dengan

asetilkolin namun, adanya perubahan konformasi ini dapat mencegah pembukaan saluran ion.

Page 6: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

Sementara itu, peningkatan konsentrasi asetilkolin di celah sinaps oleh penghambatan

asetilkolinesterase akan mengatasi penghambatan ini.

Reseptor nikotinik dapat ditemukan di tempat selain neuromuskuler junction (NMJ),

khususnya di ganglia otonom dan di sistem saraf pusat (CNS). Komposisi subunit di CNS

sangat berbeda dengan di NMJ, yaitu subunit 2α3β atau 5β, yang memberikan perbedaan

sensitivitas reseptor pada obat kolinergik. Selain itu, permeabilitas kalsium jauh lebih besar

pada reseptor nikotinik CNS. Seperti yang dibahas di bawah ini, reseptor nikotinik neuron

cukup sensitif terhadap efek bahan anestesi umum tertentu.  

Reseptor GABAA dan glisin adalah penghambat sinyal transduser utama pada CNS,

sedangkan glisin ditemukan lebih banyak di sumsum tulang belakang dan otak belakang, dan

GABA di supraspinal. Berbeda dengan saluran nACh, saluran GABAA merupakan saluran

anionik yang menyebabkan klorida melewati membran sinaps, sehingga terjadi

hiperpolarisasi dan penghambatan sinyal. Subunit stoikiometri bergantung pada lokasi

anatomisnya namun biasanya ditemukan di 1α:2β:2γ dan 2α:2β:1γ. Sisi reseptor

benzodiazepin dikaitkan dengan reseptor GABAA dan bertanggung jawab terhadap timbulnya

efek sedatif dan antikonvulsan akibat modulasi alosterik positif dari hiperpolarisasi sinyal

yang berhubungan dengan transmisi GABA. Tempat pengikatan benzodiazepin

membutuhkan subunit α dan γ untuk memunculkan modulasi allosterik positif sedangkan

etomidate berikatan dengan reseptor yang afinitasnya lebih tinggi dengan subunit β2 atau β3.

Tempat pengikatan obat pada reseptor GABAA diperlihatkan pada gambar MD2.  

Gambar MD2 sisi aktif dari kompleks reseptor GABAA/Cl− ionophore/

Benzodiazepine terlihat pada gambar di atas. Lingkaran kelabu menunjukkan 2 sisi agonis

pada GABA yang dihambat secara kompetitif oleh gabazine dan bicucullin.

Ondansetron menghambat saluran iontropik 5-hydroxytryptamine type 3 (5-HT3). Seperti

pada saluran nACh, reseptor 5-HT3 merupakan saluran kation yang lebih monovalen

dibanding divalen. Terdapat beberapa tipe reseptor serotonergik nemun hanya subtipe-3 yang

ionotropik, sedangkan yang lainnya merupakan gabungan reseptor protein-G. Mekanisme

anti emetik dikaitkan dengan adanya efek vagolitik, dimana reseptor ini juga ditemukan pada

saraf aferen vagal dari traktus gastrointestinal (GIT). Ondansetron sendiri memiliki efek

sentral dan perifer.

Page 7: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

Reseptor glutamat ionotropik

Terdapat tiga tipe reseptor glutamat ionotropik yaitu NMDA, AMPA dan kainite. Reseptor

glutamat lainnya adalah gabungan reseptor protein-G metabotropik. Reseptor NMDA

memerlukan ko-aktivasi oleh glisin dan glutamat. Reseptor ini terbagi atas 2 subunit, satu

pembentuk pori (NR1) dan satu regulator, yang mengikat glisin (tipe NR2 A-D). Pada in-

vivo, diperkirakan bahwa reseptor dimerisasi membentuk sebuah kompleks dengan 4 subunit.

Setiap subunit NR1 memiliki 3 membran heliks, dua diantaranya dipisahkan oleh loop

pembentuk pori yang melengkung masuk dan keluar dari membran pada permukaan

sitoplasmanya. Terminal-C terdapat sitoplasma dan terminal-N di ekstraseluler. Semua

reseptor glutamat sama-sama permeabel terhadap Na + dan K + namun memiliki

permeabilitas yang tinggi terhadap kation divalen yaitu Ca2+, berbeda dengan saluran

eksitator pentamerik yang telah dibahas di atas. Seorang dokter anestesi lebih tertarik pada

reseptor NMDA karena disinilah tempat ketamin bekerja, sedangkan oksida nitrat dan xenon

merupakan penghambat glutamat yang non-kompetitif. Reseptor NMDA banyak terdapat di

hipokampus dan regio yang berhubungan dengannya, dimana semuanya ini penting dalam

pembentukan dan pengingatan memori. Beberapa bukti menunjukkan bahwa obat

antikonvulsan topiramat bekerja dengan menghambat reseptor kainate, walaupun ini juga

dapat mengurangi hantaran saluran natrium.

Reseptor purinergik ionotropik : subtipe P2X

Golongan reseptor ini memiliki 2 TMD dan tidak memiliki loop pembentuk pori. Keduanya

sama-sama membentuk  saluran kation yang permeabel terhadap Na + dan K + serta Ca2 +.

Reseptor ini tidak segera diaktivasi pada potensial membran yang tinggi,  agak mirip dengan 

voltage-gated Na+ channels dalam membran saraf. Reseptor ini diaktifkan oleh ATP dan

metabolitnya dan kemudian disebarluaskan di neuron sentral dan perifer. Efek analgesik dari

pentobarbital diperkirakan sebagai akibat penghambatan reseptor P2X di pangkal ganglia

dorsalis. Reseptor purinergik ionotropik tidak dapat dikelirukan dengan reseptor protein-G

yang menbentuk reseptor purinergik : semua subtipe P1 (reseptor adenosin) dan P2Y.     

Gabungan Reseptor protein-G (GPCR)

Hampir 1000 gen GPCR telah diidentifikasi, dan beberapa diantaranya memiliki ciri tertentu.

GPCR memiliki TMD heliks yang melingkari membran sel, dimulai pada terminal-N

ekstraseluler dan berakhir pada terminal-C intraseluler. Struktur kuarter pada kelompok

heliks, terjadi akibat keselarasan interaksi antara domain ekstraseluler dan intraseluler. Ketika

Page 8: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

ligand berikatan, struktur heliks diperkirakan akan terputar satu sama lain, sehingga

menyebabkan perubahan konformasi yang ditrasmisikan ke elemen sitoplasma bersama

dengan penggabungan protein-G. Domain transmembran ketiga spesifik pada GPCR dan

tidak memperlihatkan urutan homolog tingkat tinggi antara golongan reseptor, berbeda

dengan TMD lainnya.  Ini akan berkorelasi dengan sisi tempat pengikatan ligand, yang

dikaitkan dengan lengkung ekstraseluler kedua dan ketiga. Lengkung intraseluler kedua dan

ketiga berhubungan dengan ikatan protein-G. Telah diidentifikasi tujuh golongan GPCR yang

berbeda, dan ketujuh golongan ini dibedakan berdasarkan kedekatannya dengan sisi

pengikatan ligan ke domain heliks dalam membran. Jika dibandingkan dengan GPCR lain,

reseptor glutamat metabotropik memiliki komponen ekstraseluler yang lebih besar.

Semua reseptor adrenoreseptor, muskarinik, kolinergik dan opioid bekerja melalui

mekanisme GPCR. Protein-G berhubungan dengan lapisan dalam membran sel dan biasanya

tidak terkait dengan reseptor. Pada pengikatan ligand, perubahan konformasi meningkatkan

kemungkinan reseptor terkait dengan subtipe protein G. Interaksi kinetik protein G-GPCR

memerlukan model yang kompleks untuk menjelaskan respon yang terjadi. Pada dasarnya,

reseptor berada pada sejumlah tempat, yang membedakannya adalah hal afinitasnya untuk

agonist, antagonist atau  kebalikan dari agonist; masing-masing mungkin atau tidak terkait

dengan penggabungan protein-G. Respon  akan membesar ketika bagian agonis berikatan

dengan protein-G. Setelah terjadi ikatan protein G-GPCR, terjadi perubahan konformasi pada

subunit α protein-G yang menyebabkan pemisahan subunit α dari dimer βγ. Ikatan GTP-

subunit α memiliki kekuatan yang cukup untuk berinteraksi dengan enzim intraseluler atau

dengan ikatan saluran ion-membran sel dan mengaktivasi atau menghambat mekanisme

sekunder tersebut. Aktivitas GTP-ase dari subunit α membatasi durasi aktivitas ini dan

setelah GTP dihidrolisis ke GDP, interaksi lebih lanjut tidak dibutuhkan dan subunit α

kemudian dihubungkan kembali dengan dimer βγ yang sebelumnya telah dipisahkan dari

GPCR. Di beberapa situasi, dimer βγ juga dapat bekerja sebagai aktivator mekanisme

sekunder.

Terdapat berbagai tipe protein-G yang berbeda dengan subfamili yang diklasifikasi

berdasarkan aktivitas subunit-α-nya. Berbagai tipe tersebut yaitu subfamili Gs, Gi, Gq dan

G12: dimana protein Gs dan Gi dapat mengaktifkan dan menghambat adenylyl cyclase, Gq

menyebabkan hidrolisis phospolipase C menjadi phosphatidylinositol, yang merupakan

komponen fosfolipid membran sel, untuk menghasilkan diasil gliserol (DAG) dan inositol

trifosfat (IP3) – yang keduanya merupakan pengantar pesan sekunder; protein G12

Page 9: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

berhubungan dengan GPCR yang menyebabkan saluran K+ terbuka pada membran sel.

Semua aksi katekolamin dimediasi melalui GPCR, walaupun subtipe adrenoreseptor yang

berbeda dikaitkan dengan subfamili protein-G yang berbeda. Gambar MD3 merupakan daftar

beberapa GPCR dan hubungannya dengan protein-G yang sangat penting diketahui oleh

seorang dokter anestesi.  

Ligand alami/tipe reseptor Tipe subunit-α

protein-G

Obat agonis/antagonist

Acetylcholine M1, M3 dan M5 Gq Atropine, glycopyrrolate

adalah antagonists

Acetylcholine M2 dan M4 Gi Atropine, ipratropium,

glycopyrrolate antagonists

Noreadrenalin α1 Gq Phenylephrine agonist;

phentolamine antagonist

Noreadrenalin α2 Gi Clonidine agonist;

yohimbine antagonist

Noreadrenalin β1 dan β2 Gs Isoprenaline, salbutamol

agonist (β2); atenolol,

propranolol, labetolol

antagonist

Reseptor opioid (semua tipe) Gi Morphine, fentanyl,

alfentanil, remifentanil (ϥ);

pentazocine (κ)

Reseptor GABAB Gi Baclofen agonist

Reseptor adenosin P1 Gi Adenosine agonist

Reseptor P2Y1 dan P2Y2 Gi ADP agonist; clopidogrel

antagonist yang irreversible

Reseptor histamin H1 Gq Cetirizine antagonist

Reseptor histamin H2 Gs Ranitidine antagonist

Reseptor dopamin D1 dan D5 Gs Dopamine dan dobutamine

Page 10: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

(postsinaps) agonist pada ginjal

Reseptor dopamin D2, D3, dan

D4 (presinaps)

Gi Bromocriptine agonist;

haloperidol, risperidone,

chlorpromazine dan

clozapine (D4 selektif)

antagonists

Reseptor serotonin 5-HT1A Gi Buspirone antagonist

Reseptor serotonin 5-HT2 Gs Ketanserin antagonist

Reseptor angiotensin II AT1 Gq Losartan, valsartan

antagonist

Gambar MD3 beberapa GPCR yang penting beserta agonis dan antagonisnya.

Reseptor tirosin kinase (TRK)

Berbeda dengan GPCR, reseptor TRK tidak bergantung pada protein perantara untuk berkerja

tetapi menggabungkan sisi enzim pada transmembran protein itu sendiri, bagian sitoplasma

dari reseptor merupakan kinase yang diaktivasi oleh ligan yang berikatan dengan bagian

ekstraseluler dari reseptor. Reseptor insulin merupakan tipe TRK dan diperkirakan bahwa 2

reseptor harus bekerja bersama-sama (dimerise) untuk menimbulkan sebuah rangsangan.

Reseptor intraseluler

Reseptor dalam sel dapat dihubungkan dengan sitosol atau berbagai membran intraseluler

tertentu; yang terpenting adalah reseptor pada retikulum sarkoplasmik yang dapat meregulasi

pelepasan kalsium.

Reseptor hormon sitoplasma

Hormon yang larut dalam lemak berinteraksi dengan reseptor sitoplasma intraseluler.

Terdapat sebuah golongan yang besar dari reseptor ini yang meliputi hormon seks,

kortikosteroid, tiroksin dan vitamin D3. Reseptor ini bekerja sebagai faktor transkripsi regulasi

ligan yang berikatan dengan DNA dan dapat mempengaruhi pola RNA dengan meningkatkan

atau menghambat produksi protein spesifik. Dalam sitoplasma, reseptor ini menjadi tidak

aktif akibat berikatan dengan penghambat protein. Pengikatan ligand menyebabkan

Page 11: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

perubahan konformasi yang mengaktivasi reseptor dan memulai translasi ke nukleus dan

bergabung dengan urutan DNA spesifik. Transkripsi gen dipengaruhi oleh pengerahan

protein tambahan yang bekerja sebagai ko-aktivator atau ko-represor untuk remodeling

struktur kuarter DNA. Struktur kromatin dapat terlepas, sehingga mendorong  transkripsi atau

kondensasi kromatin menjadi baik, sehingga menghambat proses transkripsi. Oestrogen-

receptor modulator tamoxifen menghambat transkripsi sel tumor pada kanker tertentu.  Selain

itu, reseptor nukleus lainnya juga dapat mempengaruhi produksi protein : sebuah obat

antidiabetik baru, rosiglitazone merupakan reseptor agonist tipe-γ yang mengaktivasi

proliferasi peroksisom (PPAR-γ) dapat menstimulasi transkripsi protein, memicu aktivitas

sensitasi insulin dalam jaringan lemak.

Hormon steroid adrenal

Terdapat 2 tipe reseptor kortikosteroid yaitu : MR (atau tipe 1) yang merupakan reseptor

mineralokortikoid dan GR (atau tipe 2) yang merupakan reseptor glukokortikoid. Reseptor

MR dan GR terbagi atas 4 daerah protein yang berbeda, meliputi daerah terminal-N sebagai

tempat aktivasi transkripsi, pengikatan DNA-domain, lokalisasi nuklear, dan daerah

pengikatan hormon terminal-C. Pengikatan glukokortikoid menyebabkan perpindahan protein

penghambatan panas dan memicu perubahan konformasi yang menyebabkan translokasi dan

pengikatan ke daerah spesifik pada DNA. Reseptor GR tersebar di dalam sel sedangkan

reseptor MR terbatas di jaringan epitel seperti tubulus kolektivus ginjal. Kortisol dan

aldosteron equipotent terhadap reseptor MR : aktivasi pemicu aldosteron disebabkan oleh

adanya 11β-hydroxysteroid dehydrogenase pada sel epitel, yang memetabolisme kortisol

menjadi bahan campuran yang tidak aktif pada reseptor MR.

Reseptor yang terikat pada membran sel

Membran intrasel memiliki GPCR sebagai reseptor yang merespon pembawa pesan sekunder

yang dihasilkan oleh penggabungan ligand- GPCR pada membran sel. Hal yang penting

adalah pengaturan kalsium intrasel sedangkan pada retikulum endoplasmik, yang paling

penting adalah reseptor IP3 (inositol triphosphate). Dalam retikulum sarkoplasma (SR),

reseptor ryanodine berhubungan erat dengan saluran kalsium tipe-L dengan calmodulin dan

kalsium sebagai modulator, yang memicu pelepasan kalsium melalui mekanisme kontraksi-

eksitasi. Dantrolene bekerja pada reseptor ryanodin untuk menghambat pelepasan kalsium

dari retikulum sarkoplasma. Beberapa keluarga yang mengalami hipertermi malignan

memiliki kelainan genetik yang berkaitan dengan reseptor ryanodine.

Page 12: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

Mekanisme farmakokinetik

Obat dapat memunculkan efeknya dengan mengganggu penyerapan, distribusi dan

metabolisme zat endogen yang terkait dengan sistem biokimia dan fisiologi. Pada bagian ini

kami mempertimbangkan mekanisme obat-enzim dan transpor-obat.

Interaksi obat dengan enzim

Enzim yang relevan dengan anestesi adalah enzim yang memetabolisme neurotransmitter dan

yang menghambat sistem homeostatik non-neuronal seperti unsur imun atau jalur koagulasi.

Interaksi dengan metabolisme neurotransmitter Asetilkolin: acetylcholinesterase

Secara klinis, semua obat pelumpuh otot berguna untuk mengganggu transmisi asetilkolin

pada neuromuskular junction. Durasi aktivitas asetilkolin dibatasi oleh asetilkolinesterase,

sebuah enzim metabolik yang berada pada celah membran sinaps. Beberapa molekul enzim

yang membentuk oligomer akan bermuara pada membran sinaps namun memiliki sisi enzim

yang menghadap ke celah tersebut. Obat pelumpuh otot yang tidak terdepolarisasi seperti

vecuronium dan atracurium, secara kompetitif menghambat penggabungan asetilkolin dengan

reseptor nACh, penghambatan ini merupakan hasil dari penggunaan obat penghambat

asetilkolin seperti neostigmin, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi asetilkolin

pada celah sinaps. Kurva respon-dosis asetilkolin mengalami pergeseran ke kanan oleh

adanya vecuronium, dengan adanya neostigmin konsentrasi asetilkolin meningkat sehingga

menyebabkan kembalinya kontraksi otot (gambar MD4). Ini sangat penting diketahui bahwa

beberapa aktivitas muncul sebelum neostigmin diberikan atau peningkatan konsentrasi

asetilkolin yang relatif tidak cukup untuk mengatasi hambatan yang sempurna.   

Terdapat dua tempat pengikatan pada asetilkolinesterase yaitu pada sisi anionik dan esteratik.

Sisi anionik menarik muatan positif nitrogen kuarter dari asetilkolin, yang memungkinkan

substrat mendekati sisi esteratik. Sisi esteratik mengandung residu serine yang sangat penting

untuk memperbaiki kerusakan dan diasetilasi untuk sementara. Neostigmin berikatan dengan

sisi anionik dan esteratik sehingga terjadi carbamilasi, ini merupakan substrat untuk enzim

dan bukannya metabolisme yang menghasilkan asetilasi enzim. Meskipun kelompok

carbamoyl dapat dipisahkan dari sisi esteratik, angka kejadiannya sangat rendah

dibandingkan pada kelompok asetil.; sisa-sisa enzim  cukup lama  menghambat konsentrasi

sinaps dari obat penghambat neuromuskular untuk berada pada tingkat yang tidak signifikan.

Gambar MD4. Penambahan obat vecuronium menyebabkan kurva respon-dosis-log bergeser

ke kanan. Sedangkan penambahan neostigmin menimbulkan efek pergeseran kurva kembali

Page 13: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

ke arah kiri (ditunjukkan dengan garis panah), selama konsentrasi asetilkolin ditingkatkan

(ditunjukkan oleh panah tebal) pada penghambat asetilkolinesterase.

Neurotransmisi Katekolamin

Obat-obatan seperti metildopa merupakan substrat untuk jalur sintetik alami dan dapat

dikemas ke dalam vesikel sinaps yang sama seperti transmitter endogen.  Selain itu, obat ini

juga kurang aktif jika dibandingkan dengan noradrenalin, dan menyebabkan kontrol otonom

tekanan darah terganggu.

Katekolamin endogen dimetabolisme oleh monoamine oksidase (MAO) dan catechol-O-

methyltransferase; penghambatan MAO terjadi berkaitan dengan mekanisme kerja

antidepresan. Keberadaan MAO tersebar luas namun dapat ditemukan khususnya pada

membran mitokondria pada terminal sinaps dan hepatosit. Terdapat 2 bentuk MAO yaitu

MAO-A dan MAO-B. Penghambat MAO yang non-selektif (MAOI) seperti tranylcypromine

dan phenelzine merupakan obat yang kerja lama (long-acting).  Penghambat MAO-A yang

selektif (misalnya moclobemide) sekarang tersedia dan bersifat kerja pendek (shorter-acting);

penghambat MAO-B misalnya selegile digunakan pada penanganan penyakit Parkinson.

Penggunaan petidine dan katekolamin sintetik kerja tidak langsung seperti ephedrin

kontraindikasi digunakan bersama dengan obat pengghambat MAOI. Ini menunjukkan bahwa

penggunaan obat MAOI harus dihentikan selama 2 minggu sebelum operasi.

Metabolisme GABA

Peningkatan transmisi GABA merupakan sasaran untuk mengembangan obat antikonvulsant.

Baik Sodium valproat maupun vigabatrin dapat menghambat GABA-transaminase, yang

bertanggung jawab terhadap kerusakan GABA.   

Aksi Imunomodulator

NSAID dan parasetamol mengerahkan efeknya dengan menghambat siklo-oksigenase, yang

merupakan enzim yang bertanggung jawab untuk menghasilkan berbagai variasi

prostaglandin dan terkait autosoid. Enzim ini berasal dari asam arakidonat, yang dihasilkan

oleh aktivasi pospolipase C pada membran dalam menanggapi respon terhadap mediator

inflamasi. Terdapat 2 bentuk siklo-oksigenase yang ditentukan secara genetik yaitu : siklo-

oksigenase 1 (COX-1) yang cukup aktif dan siklo-oksigenase 2 (COX-2) yang muncul jika di

induksi. Bentuk terakhir ini dihasilkan sebagai respon terhadap proses inflamasi dan akibat

nyeri inflamasi. Obat aspirin dan NSAID non-selektif bekerja dengan menghambat kedua

Page 14: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

bentuk enzim tersebut, mengurangi kerja bentuk konstitutif yang dianggap bertanggung

jawab terhadap berbagai aksi yang tidak diinginkan dari kelompok obat ini.   

Obat NSAID yang selektif seperti etoricoxib, memiliki afinitas yang lebih besar terhadap

bentuk induksi yaitu COX-2, yang menyebabkan pengurangan berbagai efek yang tidak

diinginkan seperti erosi lambung dan ulserasi. Bukti terbaru menunjukkan bahwa tipe ketiga

dari siklooksigenase, COX-3,  telah ditemukan banyak pada otak, termasuk di hipotalamus. 

Bentuk ini merupakan modifikasi pasca-transkripsi dari produk gen COX-2, yang berada

tidak begitu luas seperti COX-2 itu sendiri. Saat ini, Parasetamol diperkirakan dapat

menghambat COX-3 sebagai bagian dari mekanisme kerja obat. Aspek ini memberikan

kesatuan mekanisme untuk semua obat analgesik minor.

Interaksi obat dengan transport protein

Durasi kerja berbagai neurotransmitter dibatasi oleh proses pengambilan kedalam neuron,

yang diikuti dengan pengemasan ke dalam vesikel atau oleh metabolisme. Transpor protein

berkaitan dengan membran presinaps yang bertanggung jawab terhadap efek ini akan

meningkatkan ketersediaan neurotransmitter pada membran postsinaps. Yang menarik adalah

obat-obat penghambat ambilan serotonin yang selektif (SSRI) seperti paroxetine yang

merupakan obat antidepresan yang efektif memiliki efek samping yang lebih sedikit

dibandingkan dengan obat yang kurang selektif seperti imipramide.

Di tubulus renalis, furosemide menghambat mekanisme Na+/K+/2Cl− symport dalam bagian

ascending yang tebal dari lengkung henle untuk menghasilkan efek diuresis. Thiazide

diuretik menghambat Na + / Cl-symport di tubulus distal, dan efeknya lemah jika konsentrasi

elektrolit pada cairan tubulus distal relatif rendah.  

Mekanisme transpor lainnya yang lebih penting adalah mekanisme pompa proton dalam

lambung, yang bertanggung jawab untuk sekresi ion hidrogen dan mempertahankan pH

lambung. Sistem enzim H+K+ATPase pada permukaan sel parietal lambung merupakan

sasaran untuk penghambat pompa proton seperti pada omeprazole.

Obat antikonvulsan tiagabine merupakan penghambat mekanisme transpor GABA yang

bertanggung jawab terhadap ambilan sel glia pada GABA dari sinaps yang berdekatan.  

Mekanisme kerja anestesi umum

Page 15: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

Mekanisme kerja obat telah dijelaskan sebelumnya pada bab ini, yaitu obat yang relevan

digunakan pada anestesi yang melibatkan fungsi neurotransmitter. Gambar MD5 merangkum

berbagai cara dimana jalur neuron dapat diubah oleh obat-obatan.

Salah satu mekanisme kerja obat yang paling sukar dipahami adalah mekanisme kerja pada

obat anestesi umum itu sendiri. Selama beberapa tahun, diperkirakan obat ini melibatkan

mekanisme yang fisikokimia yang tidak spesifik namun sekarang, diperkirakan bahwa yang

berperan dalam mekanisme ini adalah mekanisme yang berdasar pada reseptor spesifik.

Gambar MD5 diagram skematik yang memeprlihatkan bagaimana obat dapat mengganggu

jalur neuronal.

A.    Penghambatan/aktivasi reseptor postsinaps

B.     Penghambatan ikatan enzime-membran

C.     Penghambatan/ aktivasi reseptor presinaps

D.    Penghambatan ambilan neurotransmiter

E.     Penghambatan metabolisme intraneuronal

F.      Kesalahan Pembentukan transmitter

G.    Penghambatan axonal voltage-gated ion channels

H.    Penghambatan transpor pada sel glial

Salah satu masalah utama dalam  menyelidiki mekanisme yang mendasari kerja anestesi

adalah kurangnya kejelasan defenisi dari anestesi umum. Defenisinya harus mencakup

pengamatan klinis tertentu: yaitu hilangnya kesadaran, hilangnya respon terhadap rangsangan

berbahaya (efek antinosiseptik). Dan yang paling penting adalah efek seharusnya bersifat

reversibel. Pemberian anestesi pada hewan coba dapat memberikan efek antinosiseptif dan

bersifat reversibel namun tidak dapat mengukur tingkat kesadaran.

Hal ini memungkinkan bahwa obat anestesi umum yang berbeda memberikan profil aktivitas

pre dan postsinaps yang berbeda pula pada saluran ligand dalam CNS. Semua efek tersebut

mengakibatkan depresi sinyal dalam mencapai hippocampus dan kortex sehingga berkas

memori tidak dapat ditentukan, proses informasi terganggu dan terjadilah ketidaksadaran.

Efek sedatif nampaknya dimediasi melalui nukleus tuberomammillary dan immobilitas

terjadi lebih tinggi melalui spinal dibandingkan dengan di supraspinal. Sisi molekul sebagai

tempat anestesi bekerja adalah pada sisi lipofilik molekul pada ligand-gated ionic channels,

meskipun begitu kami tidak dapat mengeluarkan efek pada voltage-gated channels. Sebagai

Page 16: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

hasilnya, perubahan konformasi allosterik pada saluran ion dapat meningkatkan

penghambatan atau menghambat arus rangsangan. Bukti terbaik adalah untuk meningkatkan

penghambatan efek GABA pada reseptor GABAA dan/atau penghambatan arus rangsangan

pada reseptor NMDA. Hasil yang dibuat oleh aksi glisin dan reseptor neuronal nikotinik

belum terlalu ditampilkan. Apapun efek dari anestesi umum, anestesi dalam klinis dapat

dicapai dengan adanya keseimbangan kombinasi antara obat yang berperan dalam

menimbulkan efek ini.

Lokasi anatomis dari kerja obat

Lokasi anatomis dari kerja obat anestesi umum adalah di otak dan sumsum tulang belakang

(spinal cord). Di Tempat tersebut terdapat respon fisiologi terhadap nosiseptif dan kesadaran;

yang cukup jelas namun kemungkinan juga terdapat mekanisme memori yang sebaiknya

dihambat. Memori dikaitkan dengan sistem limbik dan derajat kewaspadaan dikaitkan dengan

kedalaman anestesi yang terjadi. Input afferent kortikal dan eferen motorik juga terganggu.

Ini menandakan adanya keterlibatan spinal dan supraspinal.

Pendengaran dan sensori memberikan data untuk  membantu menentukan tempat anatomis

dari aksi obat anestesi yang mudah menguap yaitu di tempat antara batang otak dan korteks,

dengan thalamus sebagai sasaran utamanya. Hal ini sesuai dengan fungsi dari thalamus, tanpa

mengecualikan sistem limbik atau area kortikal tertentu. Adanya bukti telah menunjukkan

bahwa beberapa area di otak dapat dipengaruhi oleh aktivitas anestesi, dimana masing-

masing memediasi komponen anestesi yang berbeda. Efek sedatif anestesi terjadi

berhubungan dengan nukleus tuberomammilary. Penghambatan reseptor GABA pada daerah

ini, dengan menggunakan obat gabazine yang merupakan GABA antagonist, dapat

mengurangi efek sedatif propofol dan pentobarbital, tetapi tidak pada ketamin.

Teori Molekuler

Pada awal abad kesembilan belas, ketika efek anestesi pada sejumlah obat telah diselidiki

pada hewan coba, Overton dan Meyer menggambarkan sebagai hubungan lurus antara

kelarutan lemak dari bahan anestesi (khususnya pada minyak zaitun) dan potensinya (gambar

MD6). Hubungan ini cukup mengesankan, memberikan variasi yang besar dari struktur obat

tersebut, yang menunjukkan bahwa terdapat mekanisme kerja yang tidak spesifik yang

berdasar pada sifat fisikokimia.  Interpretasi selanjutnya menunjukkan  bahwa setiap daerah

yang sangat lipofilik merupakan tempat aksi potensial obat dengan membran sel sebagai

pesaingnya, yang dapat meningkatkan konsentrasi lemak. Tidak semua lemak memberikan

Page 17: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

korelasi kelarutan dan  potensi yang baik. Korelasi yang paling sering terjadi yaitu pada

lecitin, yang merupakan bagian utama dari membran sel. Akan tetapi, terdapat masalah

dengan teori yang berdasar pada interaksi lemak yaitu pada beberapa obat anestesi umum

yang terlalu keras seperti ketamin.  Pasangan stereoisometrik dari obat steroid yaitu

alphaxalone dan betaxalone memiliki kelarutan lemak yang serupa tetapi hanya alphaxalone

yang memiliki sifat anestesi (akan dijelaskan oleh mekanisme sifat agonisme GABAA). Jadi,

kelarutan lemak terlihat cukup relevan namun tidak dapat dijelaskan pada anestesi sendiri.

Membran lipid (lemak)

Hubungan fisikokimia antara kelarutan lemak dan potensinya sebagai obat anestesi dengan

struktur yang berbeda sangat mengesankan. Dalam beberapa hal, penolakan dari berbagai

bahan dengan daya kelarutan lemaknya yang rendah telah  dilakukan dan lebih mengarahkan

dalam mencari sisi reseptor yang spesifik. Terdapat beberapa bagian lipofilik pada membran

sel, yang meliputi lapiran lipid itu sendiri dan lipid yang mengelilingi saluran ion.

Bahan anestesi yang bersifat lipofilik dapat menembus lapisan tersebut dan mengubah

susunan molekul dari fosfolipid dengan cara yang digambarkan sebagai membran

‘fluidising’. Perluasan membran diperkirakan dapat mengganggu fungsi saluran ion pada

membran. Teori ini menjelaskan mengapa bahan anetesi umum dapat mempengaruhi

sejumlah arus ion, karena terdapat perubahan yang tidak spesifik pada struktur membran.

Penghitungan dapat mengidentifikasi volume bahan anestesi yang diperlukan untuk

memperluas membran dan disebut 'hipotesis volume yang kritis'. Hal ini menunjukkan bahwa

anestesi dapat terjadi jika volume dari bahan anestesi masuk ke dalam membran.  Pada teori

tersebut, peningkatan suhu 1°C dapat meningkatkan ketebalan membran sampai batas yang

sama seperti yang terlihat dengan bahan yang mudah menguap, akan tetapi dengan adanya

peninkatan tersebut dapat mengurangi efek dari anestesi yang diberikan. Alasan terakhir

menjelaskan mengapa teori tersebut memegang berbagai aksi yang terjadi karena adanya

tekanan balik dari anestesi. Pada hewan coba, efek anestesi yang mudah menguap dapat

diatasi dengan melakukan penekanan pada faktor lingkungan. Ini adalah salah satu

pengamatan yang belum sepenuhnya dijelaskan dalam mekanisme aksi anetesi.

Akan tetapi, berbagai molekul yang kelarutan lipidnya tinggi yang dapat menginduksi

perubahan pada lapisan lipid bukan merupakan sifat anestesi. Beberapa hidrokarbon

terhalogenasi, termasuk beberapa pengganti fluorin, gagal dalam menimbulkan efek anestesi

dan beberapa diantaranya menimbulkan kejang.

Page 18: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

Karena teori fisikokimia tidak lagi mendukung setiap lingkungan lipid tertentu, maka deviasi

dari garis Overton-Meyer dapat dijelaskan dengan mengidentifikasi bagian lipid tertentu di

mana bahan anestesi dapat memberikan aksi tersebut. Ketidaksesuaian kemudian dapat

dijelaskan dengan adanya perbedaan sterik. Telah diketahui bahwa komposisi fosfolipid di

sekitar saluran ion berbeda dengan lapisan lipid umum, khususnya pada saluran tertentu. Oleh

karena itu, ditentukan bahwa gangguan pada lipid yang mengelilingi saluran ion ini dapat

mengubah fungsi saluran ion spesifik dan oleh karena itu perlu diperhitungkan untuk anestesi

—teori pertubasi.   

Kemajuan yang pesat dalam mengidentifikasi reseptor protein dalam sistem saraf pusat,

bersama dengan pengamatan pada bahan anestesi dapat mengubah fungsi enzim,

menyebabkan timbulnya teori terbaru yang berdasar pada interaksi dengan protein yang

spesifik. Saat ini terlihat bahwa hubungan antara potensi dan kelarutan lipid dapat

mencerminkan sifat lipofilik alamiah dari ikatan protein spesifik.

Protein dalam mekanisme kerja obat

Bukti mengenai bagian protein dalam mekanisme kerja obat

-          konsentrasi tertentu dari obat anestesi umum, dapat menghasilkan efek anestesi,

menghambat enzyme luciferase. Untuk mencapai penghambatan yang efektif memiliki

potensi yang sama bagi setiap obat anestesi.

-          Ikatan jenuh antara halotan dan synaptosomes otak tikus menunjukkan sejumlah pembatasan

tempat ikatan.  Ini tidak akan menjadi contoh kasus untuk interaksi non-spesifik.

-          Para enansiomer dari obat anestesi umum tertentu menunjukkan perbedaan stereolektif

dalam perubahan arus ion.

Jika tempat ikatan tersebut spesifik dan jenuh, maka ini menunjukkan bahwa stereoisomer

dari obat anestesi akan menampilkan ikatan yang berbeda dan ciri khas responnya. Adanya

perbedaan tersebut merupakan bukti yang baik untuk keberadaan tempat ikatan yang spesifik,

khususnya yang berhubungan dengan protein.

Anestesi dapat mencegah sinyal afferen sampai ke otak dengan meningkatkan penghambatan

atau dengan mengurangi jalur eksitasi atau dengan menggabungkan kedua aksi tersebut.

Dalam percobaan, digunakan aksi eksitasi dan hambatan fungsi saluran ion, termasuk

voltage-gated channel dan ligand-gated channels pada obat anestesi.

Diketahui  bahwa obat anestesi dapat mengubah hantaran natrium dan kalsium, walaupun

pengaruh konsentrasi keduanya dapat dipicu sedikit lebih besar daripada yang ditemukan di

Page 19: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

vivo. Kurva respon-dosis-log pada anestesi memperlihatkan tampilan yang lebih curam,

kurva yang bergeser ke kiri dibandingkan pada depresi voltage-gated sodium channels. Ini

menunjukkan bahwa tidak hanya efek anestesi yang terjadi jika konsentrasi obat rendah

namun yang juga berperan adalah adanya mekanisme yang berbeda.

Beberapa ligand-gated ionic channels lebih sensitif terhadap aksi anestesi umum

dibandingkan pada voltage-gated channels. Interaksi antara saluran penghambat (GABAA

dan glycine) dan saluran pengeksitasi (neuronal nikotinik dan NMDA) telah dipelajari

sebelumnya. Gambar MD7 merupakan ringkasan dari aktivitas relatif dari sejumlah obat pada

reseptor tersebut.

Reseptor GABAA

Reseptor GABAa memiliki tempat modulasi pada subunit β untuk benzodiazepin, barbiturat,

propofol dan bahan yang mudah menguap. Pada pemeriksaan stereospesivisitas secara in

vitro pada mekanisme kerja barbiturat dan isofluran mendukung ide tempat ikatan spesifik

dari setiap obat.

-          Etomidate muncul sebagai preparat enantiopure pada isomer R(+); sedangkan bentuk isomer

S(-) tidak aktif. Pada Reseptor GABAa, terdapat 30 kali lipat aktivitas yang berbeda.

-          Stereoisomers pada barbiturates, pentobarbital dan thiopental menunjukkan dua kali

perbedaan peningkatan aktivitas GABA pada reseptor GABAA. Belum ada penelitian

mengenai stereoisomers barbiturate pada manusia, namun pada penelitian menggunakan

hewan coba menunjukkan 2 kali lipat perbedaan potensi, dimana s-barbiturat lebih poten

dibandingkan R-barbiturat.

-          Stereoisomer pada isofluran memiliki 1,5 kali perbedaan efikasinya pada reseptor GABAA,

meskipun belum terdapat bukti klini terhadap perbedaan potensinya.

Gambar MD7 efek obat anestesi intravena pada ligand-gated ion channels

Obat Anestesi dapat memperpanjang waktu pembukaan saluran, sehingga memungkinkan

banyaknya klorida yang masuk sehingga menyebabkan hiperpolarisasi. Efek ini terlihat pada

pemakaian obat etomidate, propofol, barbiturat, alphaxalone sebagai gas anestesi. Reseptor

pentamerik lainnya dipengaruhi oleh beberapa obat tersebut, namun etomidate terlihat

selektif untuk reseptor GABAA. Pada kenyataannya, propofol juga akan meningkatkan waktu

pembukaan dari saluran glisin dan menghambat reseptor neuronal nikotinik dan 5-HT3.

Penelitian mutasi menunjukkan setiap obat menempati sisi yang terpisah, walaupun semua

terlihat terkait dengan subunit-β dan dibedakan dari sisi reseptor benzodiazepin. Sedikitnya

Page 20: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

terdapat 30 tipe reseptor GABAA , dan masing-masing memiliki stoikiometri komposisi

subunit yang berbeda. Bentuk yang berbeda cenderung memiliki sensitivitas yang berbeda

pula. Pada pemeriksaan in-vitro menunjukkan bahwa subunit β2 dan β3 lebih sensitif

terhadap efek etomidate dibandingkan subunit β1. Penggantian asam amino tunggal pada

subunit β2 dapat mengurangi efek etomidate pada penghantaran klorida. Akan tetapi,

percobaan pada hewan dengan tikus yang telah dimodifikasi secara genetik menunjukkan

pemulihan yang cepat dari efek anestesi; perubahan EEG dan hilangnya righting refleks

dimana ini menyerupai tikus tipe liar. Mutasi subunit β2 terjadi dalam mencegah penekanan

hind-limb withdrawal dan righting reflex akibat etomidate. Dengan adanya hewan coba,

dapat memberikan bukti akan pentingnya reseptor GABA dalam menghasilkan tahapan yang

kita sebut anestesi.    

Reseptor glisin

Glisin merupakan transmitter penghambat yang utama pada sumsum tulang belakang (spinal

cord) dan batang otak. Reseptor glisin dihubungkan dengan saluran klorida yang menyerupai

reseptor GABAA. Adanya bukti elektrofisiologis menunjukkan bahwa walaupun spinal cord

bukan merupakan tempat yang utama untuk pelemahan rangsangan dengan memberikan

anestesi intravena, anestesi dengan obat anestesi yang mudah menguap dapat berpotensi

dalam kerja glisin, walaupun belum terdapat bukti mengenai stereolektivitasnya. Ini

menunjukkan bahwa sumsum tulang belakang merupakan tempat yang penting untuk

mekanisme kerja obat anestesi yang mudah menguap (volatil) dibandingkan  dengan obat

anestesi intravena. Efikasinya berhubungan dengan immobilitas dibanding dengan tingkat

keadarannya.

Reseptor NMDA

Sinyal neuron juga dapat dikurangi dengan penghambatan jalur eksitasi. Pengeksitasi asam 

amino glutamat menerima banyak perhatian, namun yang menarik difokuskan pada reseptor

NMDA seperti yang terlibat dalam potensiasi sinyal jangka panjang yang berhubungan

dengan proses belajar dan memori.

Reseptor NMDA diaktivasi oleh glutamat, dimodulasi oleh magnesium dan dihambat oleh

ketamin, oksida nitrat dan xenon melalui mekanisme non-kompetitif. Oleh karena itu

kemungkinan bahwa mekanisme yang dimediasi glutamat merupakan jalur tambahan untuk

terjadinya tahap anestesi. Bebrapa obat anestesi, seperti barbiturat, dapat menguragi

efektivitas glutamat namun potensinya lebih rendah dibandingkan dalam menghambat fungsi

Page 21: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

reseptor GABAA. Oleh karena itu, Berbagai teori anastesi sebaiknya  melibatkan jalur yang

dimediasi oleh NMDA dan GABAA.

Efek samping

Efek samping obat-obatan dapat diprediksikan atau bersifat idiosikrasi, dapat bersifat kecil

atau mengancam jiwa. Faktor genetik mempengaruhi kerentanan terhadap efek samping yang

terjadi. Efek samping yang dapat diprediksi biasanya tergantung pada dosis yang digunakan

dan dapat terjadi pada siapa saja yang menggunakan obat ini. Tingginya dosis obat yang

diberikan maka semakin besar kemungkinan efek samping yang akan terjadi. Akan tetapi,

faktor farmakogenetik dan lingkungan juga berperan dalam luasnya variabilitas antar-

individu dalam terjadinya efek samping tersebut.

Efek fisikokimia

Berbagai obat yang memiliki struktur heterosiklik yang kompleks seperti sulponamide, dapat

difotoaktivasi untuk menimbulkan perubahan warna dan dermatitis. Dermatitis yang

disebabkan oleh fotosensitivitas terlihat dalam bentuk ekstrim dalam porfiria.

Aktivitas kimia dari obat tertentu dapat mengubah valensi ion logam yang berperan dalam

aktivitas enzim. Oksida nitrat dapat menginduksi perubahan kobalt dari bentuk monovalen

menjadi bivalen yang tidak aktif pada sianokobalamin (vitamin B12) yang merupakan ko-

aktivator untuk methionin sintase. Paparan oksida nitrat yang terus-menrus dapat

menyebabkan timbulnya anemia megaloblastik.

Efek farmakodinamik

Efek farmakodinamik biasanya muncul dari tempat obat bekerja selain yang bertanggung

jawab terhadap efek yang dibutuhkan. Ini melibatkan aktivitas pada sasaran protein yang

sama (enzim atau reseptor) tetapi pada lokasi anatomis yang berbeda, aktivitas subtipe yang

berbeda, atau karena obat dapat berinteraksi dengan lebih dari satu target. Efek tersebut

bergantung pada dosis yang diberikan dan dapat diprediksi tetapi terdapat berbagai variasi

antar individu yang bergantung pada faktor pasien seperti umur, patofisiologi dan susunan

genetiknya.

Efek depresi pernapasan dari morfin ditandai pertama kali oleh mekanisme berikut :

analgesik dan depresi pernapasan disebabkan oleh adanya reseptor opioid -μ tetapi pada pusat

lokasi yang berbeda. Efek konvulsi timbul dari tingkat toksisitas dari obat anestesi lokal

Page 22: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

seperti lidokain atau bupivacaine yang disebabkan oleh hambatan dari saluran natrium neuron

: dose-dependent

phenomenon terjadi pada lokasi anatomis yang berbeda.  

Efek gastrointestinal dari aspirin diakibatkan oleh karena hambatan dari bentuk konstitutif

dari siklooksigenase, COX-1, sedangkan efek anti-inflamasinya timbul akibat asetilisasi dari

bentuk induksi, COX-2, sehingga ini merupakan tipe kedua dari efek samping

farmakodinamik. Contoh lainnya adalah terjadinya asma yang dipicu oleh obat antihipertensi

yaitu propanolol, yang disebabkan oleh aksi adrenoreseptor-β2, sedangkan aksi β1

menyebabkan efek penurunan tekanan darah.

Mekanisme ketiga diperlihatkan dengan terjadinya mulut kering dan takikardi akibat

penggunaan obat cyclizine intravena, yang merupakan antihistamin H1 yang digunakan

sebagai obat anti-emetik, yang disebabkan karena adanya efek muskarinik dari reseptor

asetilkolin.

Obat yang diberikan dengan infus di unit perawatan intensif (ICU) seringkali menimbulkan

efek yang tidak diinginkan selama peningkatan durasi infus. Salah satu efek yang dapat

timbul adalah tachypilaksis (penurunan respon sistem fisiologis terhadap obat akibat paparan

yang terus-menerus) yang memerlukan peningkatan dosis dan akhirnya kehilangan respon.

Hal ini dibuktikan dengan adanya agonist dan dikaitkan dengan reseptor down-regulation.

Sebaliknya, reseptor up-regulation dapat menghasilkan peningkatan respon yang dapat

menimbulkan efek samping misalnya jika terpapar dengan suxomethonium selama beberapa

hari setelah cedera denervasi. Regulasi reseptor akan dibahas di bawah ini. Efek samping

lainnya yang dapat terlihat adalah dengan pemakaian obat pelumpuh otot non-depolarisasi

yang jika diberikan secara terus-menerus dapat memicu terjadinya myelopathy dan dengan

pemberian sodium nitroprusside melalui infus secara berlebihan dapat menyebabkan

toksisitas sianida akibat pelepasan fosforilasi oksidatif yang memicu hipoksia jaringan.

Regulasi aktivitas reseptor     

Beberapa mekanisme molekuler dari regulasi reseptor pada GPCR dan reseptor ionotropik

saat ini telah dipahami. Interaksi GPCR dengan agonist meningkatkan reseptor down-regulasi

dan internalisasi. Sejauh mana internalisasi terjadi tergantung pada sistem yang bersangkutan.

Pengikatan agonist dapat mengaktivasi GPCR-kinase (GRK), yang memfosforilasi baik

terminal-C dan domain yang berhubungan dengan ikatan protein-G. Fosforilasi terminal-C

akan meningkatkan afinitas GPCR untuk arrestin-β, yang merupakan sebuah protein yang

Page 23: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

memicu internalisasi reseptor. Aktivitas down-regulation reseptor terlihat pada agonist

adrenoreseptor-β1 seperti dobutamin. Terdapat golongan protein kinase yang meregulasi

aktivitas reseptor—beberapa diantaranya menjadi sasaran sebagai lokasi untuk tindakan

terapi yang potensial.

Peningkatan dan penurunan regulasi juga terlihat pada kelompok reseptor ionotropik. Yang

paling penting adalah adanya perubahan yang terlihat pada motor endplate setelah cedera

denervasi seperti yang terlihat setlah terjadi cedera tulang belakang. Pada keadaan dimana

reseptor tidak tersedia untuk mengaktivasi reseptor postsinaps, maka respon homeostatik

akan aktif untuk menghasilkan lebih banyak reseptor. Sejumlah besar reseptor akan masuk ke

dalam  ekstrajunctional ; dan yang paling penting adalah reseptor tersebut akan

menyesuaikan diri dengan konfigurasi subunit fetus (αγαβδ) dibandingkan dengan reseptor

orang dewasa. Reseptor tipe fetus memiliki waktu pembukaan saluran yang lebih lama, yang

memungkinkan pengeluaran kalium yang lebih besar, yang cukup untuk meningkatkan kadar

potasium plasma dan memicu aritmia. Efek yang sama juga terlihat pada cedera luka bakar

dan penyakit degeneratif akut. Dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk membentuk reseptor

yang baru, suxamethonium dapat aman digunakan segera setelah terjadinya cedera namun

sebaiknya tidak digunakan setelah 48-72 jam setelah cedera.

Efek farmakokinetik

Efek samping yang dihasilkan dari mekanisme farmakokinetik dapat disebabkan oleh

perubahan dalam distribusi, metabolisme atau eliminasi bioagen endogen atau efek tersebut

timbul dari pengaruh biotransformasi dari obat itu sendiri.

Bradikardi yang timbul akibat pemberian neostigmin disebabkan karena adanya peningkatan

konsentrasi asetilkolin pada daerah otonom, khususnya reseptor muskarinik M2 pada jantung,

sama seperti pada neuromuskular junction. Dalam prakteknya, kami mengantisipasi efek ini

dengan sebelumnya telah memberikan obat antimuskarinik seperti glikopyrrolate.

Metabolit obat-obatan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Metabolit parasetamol

sebagian besar diubah menjadi senyawa yang tidak aktif dengan mekanisme konjugasi

dengan sulfat dan glucuronida, tetapi sebagian kecilnya lagi dimetabolisme melalui sistem

enzim sitokrom P450. Enzim ini berperan dalam proses oksidasi parasetamol menjadi

metabolit yang sangat reaktif yaitu N-acetyl-pbenzo-quinone imine (NAPQI). Dalam keadaan

normal, NAPQI mengalami detoksifikasi oleh konjugasi dengan glutathione. Dalam hal

kelebihan jalur konjugasi yang berubah menjadi jenuh, produksi NAPQI mengalami

Page 24: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

peningkatan. Ketika suplai glutation pada hepatoseluler berkurang sebanyak lebih dari 70%,

NAPQI akan bebas bereaksi dengan unsur membran sel dan mneyebabkan nekrosis hepatik

akut dan kematian.

Efek samping idiopatik

Efek samping ini umumnya tidak berkaitan dengan dosis dan seringkali tidak dapat

diprediksi. Beberapa efek melibatkan reaksi hipersensitivitas yang telah diketahui mulai dari

timbulnya ruam kulit yang ringan sampai syok anafilaktik. Baik faktor farmakokinetik dan

lingkungan dapat berkontribusi terhadap respon masing-masing individu. Efek idiosinkrasi

lainnya dapat timbul akibat kelainan keturunan.    

Reaksi hipersensitivitas

Reaksi ini mulai dari timbulnya ruam kulit yang ringan melalui edema angioneurotik sampai

terjadinya serangan anafilaktik. Mekanisme ini melibatkan aktivasi imun dengan (anafilaktik)

atau tanpa (anafilaktoid) paparan sebelumnya dan ini telah dijelaskan pada bagian1, bab 2

(hal. 27-9). Dalam praktek anestesi, obat pelumpuh otot memegang peranan sebanyak 80%

terhadap terjadinya reaksi hipersensitivitas; obat yang utama menyebabkan ini adalah

suxamethonium dan vecuronium. Mekanisme yang dimediasi imun diperkirakan dapat

mendasari terjadinya hepatitis halothan, dimana metabolisme oksidatif dari halothan

menghasilkan zat perantara reaktif yaitu trifluoroacetylchloride yang dapat memicu produksi

protein membran yang ter-trifluoracetylasi yang bekerja sebagai hapten terhadap nekrosis

hepatik fulminan akibat imun pada paparan kedua. Tingkat keparahan meningkat sebanyak

50% walaupun insiden terjadinya masih relatif rendah yaitu sekitar 1 pada 10.000 paparan.

Pengaruh farmakogenetik

Kelainan farmakogenetik dapat berperan dalam menimbulkan beberapa efek samping yang

serius. Hipertermia malignan dapat dipicu oleh suxamethonium dan halogenasi bahan yang

mudah menguap. Morbiditas yang terjadi sekitar 50% pada keluarga terjadi akibat kelainan

reseptor ryanodin, yang erat hubungannya dengan kontrol pelepasan kalsium dari retikulum

sarkoplasma pada otot skelet. Sifat keturunannya adalah autosomal dominan dan juga

berhubungan dengan kejadian myopati kongenital.

Keadaan suxamethonium apnoe bersifat autosomal co-dominan  yang berespon terhadap

kelainan kolinesterase plasma (pseudokolinesterase) (lihat bagian 1, bab 4 hal 63). Keadaan

Homozigot menunjukkan blokade neuromuskular total yang terus-menerus setelah

menggunakan suxamethonium, sehingga memerlukan alat bantu ventilasi. Pada keluarga

Page 25: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

yang rentan, sebaiknya menghindari penggunaan obat suxamethonium dan mivacurium

sehingga dapat mencegah timbulnya berbagai masalah.

Farmakogenetik dari enzim dalam memetabolime obat, melibatkan sistem sitokrom P450,

dapat mempengaruhi tingkat dan lamanya respon. Walaupun bukan merupakan efek yang

merugikan, adanya kelainan isozyme CYP2D6 dapat mencegah efek samping dari analgesik

yang tidak adekuat. Asetilator lemah akan menimbulkan efek obat yang berkepanjangan

seperti pada pemakaian obat hidralazine, khususnya jika digunakan secara intravena untuk

menimbulkan efek antihipertensi jangka pendek.

Mekanisme interaksi obat

Kami dapat menggambarkan mekanisme interaksi antara obat sebagai mekanisme

fisikokimia, farmakokinetik atau farmakodinamik. Interaksi fisikokimia mempengaruhi

farmakokinetik obat yang nantinya dapat mempengaruhi rangsangan. Beberapa interaksi

tersebut (penisillin dan probenecid) dapat digunakan untuk keperluan terapi.

Interaksi obat yang signifikan melibatkan obat antikoagulan, antiaritmia, antikonvulsan dan

obat hypoglikemik, dimana perubahan sedikit dalam konsentrasi plasma akan menimbulkan

efek yang tidak diinginkan, yaitu adanya indeks terapi yang sempit. Selanjutnya, polyfarmasi

akan meningkatkan risiko interaksi obat yang signifikan: pasien yang menggunakan lebih

dari enam obat memiliki 80% kemungkinan interaksi obatnya. Karena orang tua lebih

cenderung menjalani multipel terapi, dan seringkali lebih sensitif terhadap efek obat, maka

mereka lebih mungkin mengalami efek samping dari interaksi obat tersebut.

Fisikokimia

Interaksi kimia dari dua obat dapat menghasilkan produk yang tidak dapat larut atau tidak

dapat diserap oleh tubuh. Yang terpenting adalah interaksi antara obat yang asam seperti

thiopental dan obat yang bersifat basa seperti sodium bikarbonat- ketika diberikan secara

intravena melalui jalur yang sama akan mengalami presipitasi. Maslah yang sama terjadi

pada thiopenthal (asam) dan suxamethonium (basa), dapat digunakan dalam percepatan

induksi—pembilasan dengan larutan garam sebaiknya dilakukan sebelum memberikan obat

pelumpuh otot. Untuk pemberian secara oral, dua obat yang dapat berinteraksi di dalam

lambung, dapat mengurangi penyerapan dan menyebabkan tingkat sub-terapi plasma satu

atau keduanya. Antasida adalah obat yang terkenal dapat mengurangi absorpsi antibiotik di

traktus gastrointestinal, khususnya obat siprofloksasin, ripamfisin dan tetrasiklin.

Ketokonazol yang diberikan secara oral, memiliki dasar kelarutan yang lemah sehingga harus

Page 26: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

diubah ke bentuk garam hidroklorida yang lebih larut dalam asam lambung. Antagonist-H2

(seperti ranitidin) dan penghambat pompa proton (seperti omeprazole) dapat meningkatkan

pH lambung sehingga mengurangi penyerapan ketokonazol di lambung.

Farmakokinetik

Obat yang mengubah penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain dikatakan

berinteraksi secara farmakokinetik. Absorpsi seringkali dipengaruhi oleh interaksi

fisikokimia dan tertundanya absorpsi dapat terjadi pada obat yang mengalami stasis pada

traktus gastrointestnal, seperti opioid, namun pada umumnya, keterlambatan absorpsi tidak

mencegah obat memasuki plasma, yang diperirakan bahwa ini akan mengurangi peninggian

konsentrasi.

Distribusi obat dapat dipengaruhi oleh proses kompetisi protein plasma berikatan pada

tempatnya. Ini dapat memicu peningkatan kadar plasma yang secara teoritis dapat mencapai

kadar toksik. Walaupun berbagai obat merupakan ikatan plasma-protein, perubahan dalam

tingkat pengikatan protein akibat perpindahan jarang terjadi. Peningkatan fraksi bebas dapat

terjadi namun meningkatkan eliminasi dalam melawan efek ini. Interaksi yang melibatkan

persaingan terhadap tempat pengikatan dapat terjadi hanya pada obat yang ikatan proteinnya

cukup besar (lebih dari 95%) dan jika obat ini dieliminasi tanpa melibatkan dosisnya,

misalnya mekanisme kinetika nol (lihat Bagian 3, bab 3, hal 538). Sebagai tambahan,

interaksi yang paling penting adalah yang berkaitan dengan perubahan metabolisme obat

yang mengalami pergantian. Sebagai contoh, obat amiodaron dan warfarin merupakan obat

dengan ikatan protein yang tinggi terhadap albumin (99%); nilai INRnya akan meningkat jika

obat tersebut digunakan bersama yang dianggap sebagai akibat dari penggantian warfarin,

namun amiodaron sendiri juga dapat menghambat metabolisme warfarin-S. Perubahan kecil

pada obat juga menjadi hal yang penting ketika 2 obat bereaksi pada sistem efektor yang

sama namun melalui mekanisme yang berbeda. NSAID menggantikan warfarin, namun salah

satu nya dapat menyebabkan pembekuan darah dengan mengurangi adesi trombosit

sementara yang lainnya mengganggu jalur koagulasi, dan kombinasi dari hal tersebut dapat

meningkatkan risiko terjadinya perdarahan.

Sebagian besar interaksi obat diakibatkan oleh faktor farmakokinetik yang melibatkan

induksi atau hambatan metabolisme. Berbagai obat dimetabolisme oleh sistem enzim

sitokrom P450. Enzim ini berperan dalam proses induksi atau hambatan oleh berbagai obat,

termasuk tembakau, obat-obatan dan jus buah (khusunya buah cranberry dan jeruk). Induksi

Page 27: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

enzim oleh salah satu obat dapat meningkatkan  clearance dari yang lain, sehingga

mengurangi peningkatan konsentrasi dan lamanya aktivitas. Obat antikonvulsan seperti

fenitoin, fenobarbital dan carbamazepin merupakan obat penginduksi sitokrom yang dapat

mempersingkat waktu durasi dari obat aminosteroidal (misalnya vecuronium dan

rocuronium) yang merupakan obat non-depolarising neuromuscular blokade ; sedangkan

obat bisbenzylisoquinoliniums tidak terpengaruh karena metabolisme keduanya berbeda.

Pemberian bersama obat penghambat sitokrom seperti ranitidin, flukonazol, clarithromisin

dan amiodaron dapat memicu toksisitas; dimana kombinasi flukonazol dan terfenidin dapat

meningkatkan resiko aritmia ventrikel (lihat gambar MD8 sebagai interaksi yang penting).

Kolinerterase plasma berperan dalam metabolisme suxamethonium dan terdapat beberapa

obat yang dapat menghambat atau merupakan substrat terhadap enzim ini. Neostigmin dapat

menghambat kolinesterase plasma sama seperti pada asetilkolinesterase; blokade

neuromuskuler oleh suxamethonium diperpanjang dengan pemberian neostigmin.

Ecothiopate, obat yang digunakan pada penanganan glaukoma, merupakan penghambat

kolinesterase plasma yang irreversibel.

Interaksi antara probenesid (obat urikosurik yang digunakan dalam penanganan gout) dan

penisillin dapat digunakan untuk terapi. Kedua obat ini akan berkompetisi untuk

penghantaran protein pada asam lemah (seperti asam urat) pada tubulus renalis, dimana

probenesid dapat mengurangi ekskresi dari penisillin.

Kombinasi obat Obat yang

berpengaruh

Hasil Mekanisme

Simetidin +

theofilin

Theophylline Agitasi SSP,

aritmia, nausea

Penghambatan

CYP1A2

Antidepresan

trisiklik (TCA) +

Paroxetene

TCAs Toksisitas

serotonin; agitasi,

hiperrefleksia,

aritmia

Penghambatan

CYP2D6

Amiodarone +

fenitoin

S-warfarin Peningkatan INR,

risiko perdarahan

Penghambatan

CYP2C9

Fluoxetin +

fenitoin

Fenitoin Toksisitas

fenitoin: ataksia,

Penghambatan

CYP2C19

Page 28: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

nistagmus, slurred

speech, nausea

dan vomitus

Claritromisin +

terfenidin

Terfenidine Aritmia ventrikel Penghambatan

CYP3A4

Carbamazepin +

vecuronium

Vecuronium Pengurangan

durasi blok

neuromuskular

Penghambatan

CYP3A4

Rifampisin +

warfarin-S

S-warfarin Penurunan INR;

risiko kejadian

trombotik

Penghambatan

CYP2C9

Chlorpropamide +

rifampicin

Chlorpropamide Kontrol diabetik

yang buruk,

penurunan level

Penghambatan

CYP2C9

Gambar MD8 interaksi obat terhadap sistem sitokrom P450. CYP2D6 tidak diinduksi tidak

seperti isoform lainnya. Berdasarkan British National Formulary, interaksi ini dianggap

penting dalam klinis.  

Farmakodinamik

Dua obat yang bekerja pada sistem fisiologi tubuh mungkin meyebabkan efek yang sama

(contohnya vecuronium dan suxamethonium yang dapat memblok neuromuskular) atau

menyebabkan efek yang berlawanan (contohnya phenylephrine menyebabkan vasokostriksi

sedangkan nifedipin menyebabkan vasodilatasi). Dalam kombinasinya, Obat yang memiliki

efek fisiologi yang sama akan menghasilkan respon berupa aditif, sinergis atau antagonis.

Aditivitas menunjukkan efek dari mekanisme kerja yang sama, sedangkan sinergistik atau

antagonisme merupakan bukti terhadap adanya mekanisme kerja yang berbeda. Sebagai

contoh, sifat aditif ini dapat terlihat pada penggunaan bersama antara vecuronium dan

rocuronium dan sevofluran dan isofluran. Baik obat antidepresan trisiklik (TCA) maupun

obat penghambat ambilan serotonin yang selektif  (SSRI) dapat menghambat ambilan

biogenik amine pada pusat sinaps. Kombinasi TCA dan SSRI menimbulkan sifat aditif dan

dapat menimbulkan gejala toksisitas serotonin seperti agitasi, hiperrefleksia, dan

Page 29: Mekanisme Kerja Obat- Reseptor

hiperpireksia. Jika konsentrasi serotonin di sinaps meningkat akibat 2 mekanisme yang

berbeda, maka sinergisme dapat menyebabkan sindrom serotonin yang membahayakan. Saat

ini, Interaksi antara petidin dan obat penghambat monoamin oksidase dianggap dapat

menyebabkan sindrom serotonin, dimana petidhine merupakan obat penghambat ambilan

serotonin yang tergantung pada dosisnya.

Sinergisme juga dapat dilihat jika nifedipe dan obat penghambat ACE digunakan bersama

untuk menimbulkan efek antihipertensi; dosis mungkin perlu disesuaikan untuk mencegah

hipotensi yang tidak diinginkan. Demikian pula, efek hipotensi pada bahan anestesi yang

mudah menguap dapat terjadi pada pemakaian obat penghambat ACE. Sinergsime pada

aktivitas trombosit dapat terlihat dengan pemakaian obat aspirin dan clopidogrel, serta aspirin

dan abcizmab. Diuretik dapat meningkatkan pelepasan potasium melalui mekanisme yang

berbeda, misalnya golongan loop diuretik (furosemid) dan thiazide (bendroflumethiazide),

jika digunakan bersama dapat menimbulkan hipokalemia yang berat dengan risiko aritmia

pada pasien yang beresiko. Dalam kenyatannya, pemberian kombinasi diuretik menimbulkan

efek yang berlawanan  berupa pelepasan potasium dapat aman digunakan bersama-sama,

tanpa membutuhkan tambahan potassium seperti bendroflumethiazide dan amiloride yang

secara klinis dapat berguna.

Antagonisme timbul pada pemakaian kombinasi bat penghambat ACE dan obat angiotensin

II receptor (AT1) antagonists : dimana penghambatan reseptor dapat meminimalkan

efektivitas penurunan konsentrasi angiotensin II dan gabungan efek antihipertensi tidak sama

besar seperti yang diperkirakan dari aktivitasnya masing-masing.

You might also like:

SKYDRUGZ: Refarat Mekanisme Kerja Obat http://skydrugz.blogspot.com/2013/04/refarat-mekanisme-kerja-obat.html#ixzz3qaypmHD0