DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS...
Transcript of DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS...
-
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
Laporan Kasus : Tatalaksana Pterigium Rekuren dengan Simblefaron
Penyaji : Ade Triyadi
Pembimbing : dr. Angga Fajriansyah, Sp.M
Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh:
Pembimbing
dr. Angga Fajriansyah, Sp.M
Jumat 13 Februari 2020
Pukul 13.00 WIB
-
1
Management of Recurrent Pterygium with Symblepharon
ABSTRACT
Introduction: Pterygium is a wing-shaped growth of fibrovascular tissue on the
superficial cornea. One of the complication from pterygium is symblepharon.
Formation of symblepharon may occured from post operative procedure, ocular
chemical injury, and another traumatic ocular lesion.
Purpose: To report the management of recurent pterygium with symblepharon.
Case Report: A seventy-six years old woman came to Cicendo Eye Hospital with a
recurrent of reddish membrane on her left eye and foreign body sensation on her eye
as a chief complaint since 2 years ago. She underwent pterygium surgery on her left
eye 15 years ago in Cicendo Eye Hospital. Ophthalmological examination revealed
visual acuity right eye 0.03 PH 0.08, visual acuity of left eye 1/300 and restriction of
left eye movement. From the anterior segment examination of her left eye revealed
symblepharon, fibrovascular membrane extended from conjungtiva to medial area of
cornea, shortening of the fornix, scaring cornea of left eye and opacity of the lens. The
patient diagnosed as pterygium grade III + symblepharon + scaring cornea of left eye
+ senile immature cataract of both eye. The patient treated with pterygial excision with
conjungtival autograft + 5FU + symblepharectomy + amniotic membrane graft +
tarsoraphy of left eye. Topical eye drops are applied combination from polymicin B
sulphate, neomycin sulphate and dexamethason eye drop 6x of left eye. Artificial tears
6x of left eye. Mefenamif acid 3x500 miligram tablet per oral. Application of bandage
contact lens of left eye.
Discussion: Pterygium may occur with symblepharon as complication from post
surgical excision of pterygium. Reccurency of pterygium could be different based on
history of surgical technique of pterigyum excision before.
Conclusion: Symblepharectomy combined with conjungtival autograft and amnion
membrane graft in management of symblepharon with reccurent pterygium could be
performed to reduce the chance of recurrent of the disease.
-
2
Pendahuluan
Pterigium adalah pertumbuhan dari jaringan konjungtiva dan jaringan fibrovaskular
pada kornea mata yang berbentuk sayap. Komplikasi daripada pterigium salah satunya
adalah simblefaron. Simblefaron merupakan perlengketan pada konjungtiva tarsal
terhadap konjungtiva bulbar. Keadaan ini terjadi akibat dari komplikasi penyakit yang
terjadi sebelumnya pada mata. Perlengketan tersebut terjadi dengan faktor risiko
berupa luka pasca trauma maupun pasca tindakan operasi. Pada laporan kasus ini
terdapat dua kondisi yaitu terdapat pterigium rekuren pada mata kiri disertai dengan
simblefaron pada mata kiri, dengan riwayat operasi eksisi pterigium 15 tahun yang lalu.
Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan tatalaksana kasus pada pasien
pterigium rekuren dengan komplikasi simblefaron pada mata kiri.
Laporan Kasus
Pasien Ny. E usia 76 tahun datang ke unit Infeksi dan imunologi PMN RS Mata
Cicendo Bandung pada tanggal 10 Februari 2020 dengan keluhan utama terdapat
selaput kemerahan pada mata kiri sejak 2 tahun yang lalu, disertai sensasi mengganjal
pada mata, keluhan disertai penglihatan buram pada kedua mata sejak lebih dari 2 tahun
yang lalu. Saat ini pasien tidak bekerja, aktivitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga,
memiliki riwayat pekerjaan sebagai petani sebelumnya, pasien bekerja tanpa
mengunakan pelindung mata. Riwayat operasi eksisi pterygium mata kiri sebelumnya
di PMN RS Mata Cicendo 15 tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat diabetes
mellitus maupun hipertensi.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis.
Tekanan darah 120/80, nadi 92x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,4 0C. Pemeriksan
oftalmologis didapatkan visus dasar mata kanan adalah 1/60 pinhole 0,08. Visus dasar
mata kiri 1/300 pinhole tetap. Tekanan intraokular mata kanan 18 (nct), palpasi mata
kiri normal. Gerakan bola mata kiri -2 (superonasal, superotemporal, temporal dan
-
3
inferotemporal), -1 (inferonasal dan medial). Gerakan bola mata kanan dalam batas
normal.
Pemeriksan segmen anterior mata kanan dan kiri palpebra tenang. Konjungtiva mata
kanan tenang, mata kiri terdapat pterygium grade III dan simblefaron anterior pada
region inferonasal. Kornea mata kanan jernih, mata kiri terdapat sikatrik, head of
pterygium dan simblefaron. Bilik mata depan pada mata kanan dan kiri VH grade III,
flare/sel -/-. Pupil mata kanan dan kiri bulat, reflek cahaya +/+. Iris mata kanan dan kiri
tidak terdapat sinekia. Lensa mata kanan dan kiri agak keruh. segmen posterior mata
kanan reflek fundus menurun, media agak keruh, papil bulat, batas tegas, c/d rasio 0,3.
Pasien didiagnosis dengan pterygium grade III OS rekuren + simblefaron anterior OS
+ katarak senilis imatur ODS. Pasien direncanakan untuk tindakan simblefarektomi OS
yang dikombinasikan dengan eksisi pterygium + CAG + 5FU dalam NU pada tanggal
14 Januari 2020.
Gambar 1 Simblefaron pada pasien sebelum tindakan operasi
Pasien menjalani operasi pada tanggal 17 Februari 2020 dengan prosedur eksisi
pterigium dengan simblefarektomi yang dimulai dengan jahitan traksi sebanyak 2 buah
pada palpebra superior dan palpebra inferior. Dilakukan simblefarektomi dengan
mengangkat konjungtiva dan dilakukan eksisi sehingga konjungtiva terpisah dari
jaringan parut yang mendasarinya disertai dengan pengangkatan jaringan parut
subkonjungtiva. Eksisi kepala pterigium dari kornea serta mengangkat badan
-
4
pterigium, memisahkan konjungtiva menjadi 2 bagian membentuk flap masing-masing
untuk membuat flap penutup sklera dan flap untuk membuat fornix.
Aplikasi 5FU selama 3 menit pada subkonjungtiva bagian inferonasal, dilakukan
rekonstruksi subkonjungtiva area inferonasal, fiksasi flap rotasi di fornix superonasal
dan pemasangan sponge pada jaringan palpebra inferonasal. Pengambilan graft pada
bagian konjungtiva superotemporal dengan ukuran 5x5 mm, lalu pemasangan graft
pada area eksisi pterigium pada inferonasal dengan penjahitan pada graft secara
interupted. Dilakukan pemasangan amnion membrane graft dengan ukuran 7x6 mm
satu lapis dengan penjahitan interupted, dilakukan pemasangan bandage contact lens,
dilakukan pemasangan tube pada palpebra inferior dan superior dengan fiksasi
penjahitan secara interupted.
Gambar 2 Pasca tindakan hari ke-1
Pemeriksaan oftalmologis POD I tanggal 18 Februari 2020 didapatkan visus dasar
mata kanan adalah 1/60 pinhole 0,08. Visus dasar mata kiri 1/300 pinhole tetap.
Tekanan intraokular mata kanan 19 (nct), palpasi mata kiri normal. Gerakan bola mata
kanan dalam batas normal, gerakan bola mata kiri -1 (superonasal, superotemporal,
temporal, inferotemporal, inferonasal dan nasal). Pemeriksaan palpebra kanan tenang,
palpebra kiri blefarospasme, terdapat tube pada palpebra inferior dan superior dengan
struktur intak dan hekting intak. Konjungtiva bulbar mata kanan tenang, mata kiri
terdapat injeksi konjungtiva dan injeksi siliar, subkonjungtival bleeding minimal,
-
5
terdapat graft intak, AMG intak, hecting intak, bandage contact lens (+), tube (+)
palpebra inferior dan superior intak. Pada kornea mata kanan jernih, mata kiri
didapatkan sikatrik. Pemeriksaan bilik mata depan kedua mata VH grade III, flare/sel -
/-. Pupil bulat, tidak terdapat sinekia. Lensa kedua mata agak keruh. segmen posterior
kedua mata didapatkan reflek fundus menurun, media agak keruh, papil bulat batas
tegas, c/d rasio 0,3. Pasien didiagnosa dengan post eksisi pterigium + CAG + 5FU +
simblefarektomi + AMG OS + KSI ODS.
Gambar 3 Dokumentasi intra operasi. Membelah konjungtiva menjadi 2 flap (A).
pembebasan simblefaron (B). Pemasangan AMG (C). Pemasangan tube
tarsorafi (D).
Pasien mendapat terapi tetes mata kombinasi dexamethasone, polimiksin B serta
neomisin sulfat 8 x 1gtt OS, air mata artifisial 1 gtt/jam, tetes mata sodium hyaluronate
4 x OS serta ciprofloxacin 2x 500 mg per oral, pemasangan bandage contact lens.
Pasien saran rawat jalan dan kontrol ke polikinik Infeksi dan Imunologi 1 minggu yang
akan datang.
Pemeriksaan oftalmologis POD 8 tanggal 25 Februari 2020 didapatkan visus dasar
mata kanan adalah 1/60 pinhole 0,08. Visus dasar mata kiri 1/300 pinhole tetap.
-
6
Tekanan intraokular mata kanan 18 (nct), palpasi mata kiri normal. Gerakan bola mata
kanan dalam batas normal, gerakan bola mata kiri 0 (superonasal, superotemporal,
temporal, inferotemporal, inferonasal dan nasal). Pemeriksaan palpebra kanan tenang,
palpebra kiri blefarospasme, terdapat tube pada palpebra inferior dan superior dengan
struktur intak dan hekting intak. Konjungtiva bulbar mata kanan tenang, mata kiri
terdapat injeksi konjungtiva dan injeksi siliar, subkonjungtival bleeding minimal,
terdapat graft intak, AMG intak, hecting intak, bandage contact lens (+). Pada kornea
mata kanan jernih, mata kiri didapatkan sikatrik. Pemeriksaan bilik mata depan kedua
mata VH grade III, flare/sel -/-. Pupil bulat, tidak terdapat sinekia. Lensa kedua mata
agak keruh. Segmen posterior kedua mata didapatkan reflek fundus menurun, media
agak keruh, papil bulat batas tegas, c/d rasio 0,3. Pasien didiagnosa dengan post eksisi
pterigium + CAG + 5FU + simblefarektomi + AMG OS + KSI ODS.
Pasien mendapat terapi tetes mata kombinasi dexamethasone, polimiksin B serta
neomisin sulfat tappering off minggu ke-1 6 x 1gtt OS, minggu ke-2 5 x1 gtt OS, air
mata artifisial 6x 1 gtt OS, serta penggantian bandage contact lens. Dilakukan aff tube
palpebra inferior dan superior dengan gunting di ruang tindakan. Pasien saran kontrol
ke polikinik Infeksi dan Imunologi 2 minggu yang akan datang.
Diskusi
Pterigium adalah pertumbuhan dari jaringan konjungtiva dan jaringan fibrovaskular
pada kornea mata yang berbentuk sayap, berasal dari bahasa Yunani “pteros” yang
berarti sayap. Patogenesis pterigium berawal dari radiasi sinar ultraviolet ataupun
pemicu iritasi kronis lainnya, kelainan berawal dari gangguan pada stem sel limbus.
Sel pterigium yang dipicu oleh sitokin inflamasi, mengekspresikan growth factor yang
memicu pertumbuhan jaringan fibrovaskular. Berdasarkan kondisi stem sel limbus
yang mengalami gangguan, yang mana bagian tersebut sebagai barier daripada
pertumbuhan jaringan luar kornea, dikarenakan barier tersebut mengalami gangguan
-
7
sehingga pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva akan melewati batas hingga
mencapai struktur kornea.1-3
Faktor risiko dari pterigium berkaitan erat dengan paparan terhadap sinar matahari
atau sinar ultraviolet. Faktor lain yang dapat berkontribusi terhadap munculnya
pterigium adalah paparan trauma kecil terhadap angin, debu, atau benda lainnya yang
memicu iritasi kronis terhadap mata. Area pada kornea yang paling sering muncul
pterigium adalah pada region nasal. 1-5 Pada pasien ini sesuai dengan faktor risiko yaitu
paparan sinar matahari dan pekerjaan di luar ruangan.
Prevalensi dari pterigium meningkat pada daerah tropis, usia terbanyak pada 20 –
30 tahun, lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan, faktor pekerjaan di luar
ruangan meningkatkan risiko pterigium. Pasien ini berasal dari area tropis dan
diperberat dengan aktivitas sebagian besar terpapar sinar matahari. Silindris reguler
maupun ireguler dapat dipicu oleh timbulnya pterigium. Keluhan lain dapat berupa
mata sensasi mengganjal, penglihatan semakin buram seiring dengan perluasan
pterigium yang menutup axis visual. 1-6 Keluhan pada pasien ini sesuai dengan gejala
sensasi mengganjal pada mata, penglihatan semakin buram. Kondisi diperberat dengan
terbatasnya pergerakan bola mata kiri dikarenakan terdapat komplikasi simblefaron.
Gambar 4 Grading pterigium beradasarakan klasifikasi Tan. Dikutip dari : Tan DTH
Pterigium memiliki tingkatan atau grading berdasarkan morfologi jaringan
fibrovaskular yang ditunjukkan berdasarkan parameter dari pembuluh darah episklera
menurut klasifikasi Tan. Grade T1 (atropi) apabila pembuluh darah episklera dibawah
badan pterigium dapat terlihat jelas (A), grade T2 (intermediate) apabila pembuluh
-
8
darah episklera dibawah badan pterigium dapat terlihat namun agak sulit untuk
dibedakan secara detail(B), atau tertutup sebagian, grade T3 (fleshy) apabila pembuluh
darah episklera tertutup secara total oleh badan pterigium(C). Penentuan grade lainnya
berdasarkan area invasi dari struktur fibrovaskular terhadap kornea. Pterigium terdiri
atas 4 grade, grade I jaringan fibrovaskular mencapai limbus, grade II jaringan
fibrovaskular mencapai kornea sejauh 2 mm dari limbus, grade III jaringan
fibrovaskular mencapai tepi pupil, sedangkan grade IV jaringan fibrovaskular telah
menutup visual axis atau menutup pupil. Pada pasien ini termasuk dalam grade III
dikarenakan jaringan fibrivaskular telah mencapai tepi pupil dengan jarak melebihi
2mm dari limbus.1-3, 6 Grading morfologi pterigium pada pasien ini termasuk pada
grade T1 berdasarkan klasifikasi Tan dikarenakan pembuluh darah episklera masih
dapat terlihat jelas. Berdasarkan invasi terhadap kornea termasuk pada grade III
dikarenakan telah mencapai tepi pupil dan melebihi 4 mm dari kornea.
Gambar 5 Teknik penutupan eksisi pterigium. Bare sclera (A). Simple closure (B).
Sliding flap (C). Rotational flap (D). Conjungtival autograft (E).
Tatalaksana utama pada pterigium adalah pembedahan. Indikasi untuk tindakan
pembedahan adalah rasa mengganjal yang menyebabkan ketidaknyamanan pada
pasien. Penurunan tajam penglihatan dikarenakan adanya astigmat atau penutupan
visual axis. Pertumbuhan pterigium yang signifikan lebih dari 3-4 mm dari batas
limbus. Terbatasnya pergerakan bola mata. Pada pasien ini terdapat keluhan tidak
-
9
nyaman karena sensasi mengganjal pada mata, penurunan visus dan terbatasnya
pergerakan bola mata.1-3, 7
Terdapat beberapa teknik pembedahan pterigium, bare sclera dengan cara eksisi
dengan membiarkan sklera terekspose, biasa mengunakan jahitan dengan benang
absorbable untuk mengaproksimasi konjungtiva dan sklera pada area insersi tendon
otot rektus, teknik ini memiliki tingkat rekurensi paling tinggi. Teknik conjungtival
limbal graft dengan angka rekurensi paling rendah. Teknik ini digunakan dengan
menggunakan graft dari mata yang sama, diambil dari area superior untuk dipasangkan
pada area post eksisi pterigium pada regio nasal atau temporal. Penambahan amnion
membrane graft, aplikasi 5-fluorouracil atau MMC sebagai anti metabolit terbukti
dapat menurunkan rekurensi dan mempercepat proses penyembuhan bahkan pada
pasien dengan komplikasi simblefaron.1, 7-12
Gambar 6 Grading simblefaron Dikutip dari Tseng CG
Komplikasi dari pterigium maupun pasca tindakan pada pterigium salah satunya
adalah simblefaron. Simblefaron merupakan perlekatan abnormal antara permukaan
konjungtiva bulbar dan konjungtiva tarsal yang dapat terjadi akibat pasca tindakan
-
10
operasi, reaksi radang maupun pasca trauma. Simblefaron dapat terjadi akibat proses
penyembuhan permukaan antara konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi.
Penyebab umumnya ditimbulkan dari komplikasi trauma kimia mata, konjungtivitis
membran, ulserasi konjungtiva, Steven-Johnson Syndrome dan dapat terjadi pada anak
dengan kondisi infeksi kronis keratokonjungtivitis. Gambaran klinis yang dikeluhkan
oleh pasien pada simblefaron adalah terdapatnya sensasi mengganjal pada mata,
pergerakan bola mata terbatas, diplopia dan lagopthalmos.13-16
Simblefaron memiliki pembagian berdasarkan luasnya adhesi dan letak adhesi yang
terjadi. Berdasarkan lokasi yaitu simblefaron anterior, simblefaron posterior, dan
simblefaron total yang mencakup dari area margo hingga ke forniks konjungtiva.
Lokasi simblefaron menggunakan kode upper lid (U), lower lid (L), nasal (N), middle
(M) atau T (temporal).6, 14-16
Tingkat keparahan dinilai berdasarkan tiga parameter. Pertama yaitu parameter
panjang simblefaron vertikal terpendek diukur dari limbus ke lid margin dari
pemendekan forniks, dinyatakan mild apabila panjangnya lebih besar dari konjungtiva
palpebral (A); moderate apabila panjangnya lebih besar dari konjungtiva tarsal tetapi
lebih pendek dari konjungtiva palpebra(B); severe apabila panjangnya lebih pendek
dari konjungtiva tarsal normal(C). Lebar horizontal terpanjang simblefaron
dibandingkan dengan panjang kelopak mata. Dikatakan sebagai mild jika lebarnya
kurang dari sepertiga(D); moderate apabila lebarnya lebih besar dari sepertiga tetapi
kurang dari dua pertiga(E); severe apabila lebih lebar dari dua pertiga tutupnya(F).
Tingkat keparahan dan lokasi inflamasi aktif simblefaron. Inflamasi dinilai nol apabila
tidak terdapat tanda inflamasi(G); +1 apabila mild inflamasi(H); +2 apabila moderate
inflamasi(I); +3 apabila severe inflamasi dengan ditandai vaskularisasi beserta ada atau
tidaknya jaringan parut(J).6, 14-16 Pada pasien ini termasuk pada grading panjang
simblefaron vertikal termasuk mild, lebar horizontal kurang dari 1/3 sehingga masuk
pada kategori mild, kemudian untuk tanda inlamasi termasuk pada grading +1 atau
mild. Tatalaksana pada pasien ini menggunakan tindakan operasi dengan prinsip
-
11
membagi dua konjungtiva pada simblefaron dengan potongan pertama digunakan
untuk flap pada sclera pasca tindakan eksisi pterigium, lalu potongan pertama
digunakan untuk pembentukan fornix.
Simpulan
Penanganan simblefaron disertai dengan rekuren ptrerigium memiliki banyak teknik
operasi yang dapat dilakukan, dengan tingkat rekurensi dan kemungkinan komplikasi
yang bervariasi. Pilihan tatalaksana pada kasus ini adalah simblefarektomi beserta
eksisi pterigium dengan graft konjungtiva, aplikasi 5-fluoroluracil, amnion membran
graft mata kiri dan tarsorafi palpebra mata kiri, menunjukkan kondisi pada pasien
sampai pada hari ke-14 pasca operasi memiliki perkembangan yang baik.
-
12
Daftar Pustaka
1. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Clinical approach to deposition and degeneration of the conjungtiva, cornea and sclera. Dalam: American Academy
of Ophthalmology. Basic clinical science course section 8: External disease and
cornea. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2016. Hlm.
252-3.
2. Bowling B. Pterygium. Dalam: Kanski’s clinical ophthalmology, 8th editions. New South Wales: Elsevier; 2016. Hlm. 162 – 4.
3. Chu WK, Choi HL, Bhat AK, Jhanji V. Pterygium: New insight. Eye. 2020; 10:782 – 6.
4. Rezvan F, Khabazkoob M, Hooshmand E, Yekta A, Saatchi M, et. al. Prevalence and risk factors of pterygium: a systematic review and meta-
analysis. Survey of ophthalmology. 2018; 63: 719 – 35.
5. Tan DTH, Chee SP, Dear KBG, Lim ASM. Effect of pterygium morphology on pterygium recurrence in a controlled trial comparing conjungtival
autografting with bare sclera excision. Arch Ophthalmol. 1997; 115: 1235 – 40.
6. Tseng CG, Blanco G, Criopreserved amnion grafts for fornix reconstruction. The ocular surface research and education foundation. 2006; 1(6).
7. Campagna, Giovani BS, Matthew A, Li W, Sumitra K, et. al. Comparison of pterygium recurrence rates among different races and ethnicities after primary
pterygium excision by surgeons in training. The journal of cornea and external
disease. 2018; 37(2): 199 – 204.
8. Clearfield E, Muthappan V, Wang X. Conjungtival autograft for pterygium. Cochrane library. 2016; 10(2).
9. Toker E, Eraslan M. Recurrence After Primary Pterygium Excision: Amniotic Membrane Transplantation with Fibrin Glue Versus Conjunctival Autograft
with Fibrin Glue. Current eye research. 2015; 1 – 8.
10. Bekibele CO, Sarimiye TF, Ogundipe A, Olaniyan S. 5-Fluorouracil vs avastin as adjunct to conjunctival autograft in the surgical treatment of pterygium. Eye.
2016; pages 515 – 21.
11. Hamal D, Singh SK, Lamichhane B, Sharma A, Anwar A, et. al. Amniotic membrane transplantation: Current indications in a tertiary eye hospital of
eastern Nepal. Nepalese journal of ophthalmology. 2016; 8(16): 151-60.
12. Abdi P, Latifi G, Ghassemi H. Oral mucosal grafting in ophthalmology. Application of biomedical engineering in dentistry. 2019; 329 – 38.
13. Patel SY, Phil WH, Vuppala S. Complications of pterygium excision. UT Southwestern medical center. 2017; 2: 152 – 5.
14. Akkaya S, Ozkurt YB, Persistent symblepharon in an infant following epidemic keratoconungtivitis. Med hypothesis discov innov ophthalmol. 2016; 5(3): 74-
77.
15. Lee WW, Portalou D, Sayed MS, Kankariya S. Diplopia and Symblepharon Following Mueller’s Muscle Conjunctival Resection in Patients on Long-Term
-
13
Multiple Antiglaucoma Medications. Ophthalmic Plastic and Reconstructive
Surgery. Volume 33, Supplement 1, May/June 2017; 79 - 82(4).
16. Srinivasan B, Agarwal S, Iyer G. Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Other Mucocutaneous Syndromes. Emergencies of
the Orbit and Adnexa. 2016; 217 – 24.
https://www.ingentaconnect.com/content/wk/iop;jsessionid=d4kryfnmccie.x-ic-live-03https://www.ingentaconnect.com/content/wk/iop;jsessionid=d4kryfnmccie.x-ic-live-03https://link.springer.com/book/10.1007/978-81-322-1807-4https://link.springer.com/book/10.1007/978-81-322-1807-4