Pterigium Proposal
-
Upload
tary-nasution -
Category
Documents
-
view
158 -
download
9
Transcript of Pterigium Proposal
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pterigium adalah semacam pelanggaran batas suatu pinguicula berbentuk
segitiga berdaging ke kornea, umumnya disisi nasal, secara bilateral. Keadaan ini
diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan
lingkungan dengan angin banyak, karena sering terdapat pada orang-orang yang
sebagian besar hidupnya berada di lingkungan berangin, penuh sinar matahari,
berdebu dan berpasir. ( Schwab and Dawson, 2000).
Petrigium merupakan penyakit mata yang umum dijumpai serta merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini terjadi diseluruh dunia dan tingkat
prevalensi bervariasi mulai dari 1,2% hingga 23,4% (Feng, et al. 2010).pterigium
lebih sering terjadi pada daerah yang panas dengan iklim kering dimana
prevalensinya dapat mencapai hingga 22 % pada daerah ekuator. Pada beberapa
pulau-pulau tropis di Indonesia dilaporkan memeiliki tingkat prevalensi hingga 17%
dan hal yang sama juga dijumpai di daerah papua niugini. Sehingga dapat
disimpulkan terdapat asosiasi yang kuat antara paparan sinar matahari dengan
terjadinya pterigium. (Meseret, et al. 2008)
Di Indonesia sendiri telah dilakukan penelitian terhadap 1.200 orang dewasa
yang berusia 21 tahun keatas. Dimana penelitian ini dilakukan di provinsi sumatera
dan didapati kejadian petrigium yang tinggi yaitu 14,1%. Kejadian ini meningkat
sesuai dengan usia dan riwayat aktivitas di luar rumah (paparan sinar matahari).
Dimana hal ini sesuai dengan penelitian – penelitian sebelumnya. (Gazzard, et al.
2002).
Ada beberapa faktor resiko terjadinya pterigium antara lain area geografis,
usia, jenis kelamin, status ekonomi, dan tingkat pendidikan, dimana semua factor
resiko ini berhubungan dengan paparan yang lama terhadap sinar matahari dan sinar
2
UV. (Lu and Chen, 2009). Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Vojnikovic pada tahun 2007 yang membandingkan 2 grup nelayan dan petani
dengan grup yang berkerja di ruangan. Pada penelitian ini dijumpai terjadinya
ptrigium pada populasi nelayan dan petani sebanyak 23%, tetapi tidak ada satupun
yang terkena pterigium pada grup lain.
Mengingat tinggi angka kejadian pterigium pada orang-orang yang
beraktifitas di luar ruangan dan berbagai factor resiko yang dapat
menyebababkannya, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan
nelayan dan lingkungan tempat tinggal sekitar pantai terhadap kejadian pterigium.
1.1. Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan nelayan dan penduduk disekitar pantai dengan
pterigium di Kabupaten Langkat
1.2. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan nelayan yang penduduk yang tinggal di sekitar
pantai dengan timbulnya pteregium di Kabupaten Langkat
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui prevalensi pterigium pada nelayan dan penduduk sekitar
pantai di Kabupaten Langkat.
2. Untuk mengetahui pengaruh umur terhadap angka pteregium di Kabupaten
Langkat.
3. Untuk mengetahui perbedaan angka kejadian pteregium antara pria dan
wanita di Kabupaten Langkat.
3
1.3. Manfaat penelitian
1. Bagi penulis penelitian ini bermanfaan sebagai pengetahuan di bidang
opthalmologi, khususnya tentang hubungan faktor risiko paparan terhadap
cahaya Ultraviolet-B, angin dan debu dan prevalensi pterygium di daerah
pantai.
2. Bagi masyarakat penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi tentang
ptergyium serta tindakan preventif yang dapat dilakukan.
3. Bagi peneliti lain penelitian ini dapat memberikan informasi untuk penelitian
sejenis dan berkelanjutan
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Konjungtiva dan Kornea
2.1.1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersatu dengan kulit
pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.6
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat
ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (di
forniks superior dan inferior) dan membungkus episklera dan menjadi konjungtiva
bulbaris. Konjugtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbita di forniks dan melipat
berkali-kali. Lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar
permukaan konjungtiva sekretorik. (Lang and Lang, 2000)
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan epitel silinder
bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas
karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari
sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau
oval yang mensekresikan mukus. Mukus mendorong inti sel golblet ke tepi dan
diperlukan untuk dispersi lapisan airmata secara merata di seluruh prekornea. (Sehu
and Lee, 2005)
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid dan satu lapisan
fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan fibrosa
tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Kelenjar air
mata asesori (kelenjar Krause dan wolfring) yang struktur dan fungsinya mirip
kelenjar lakrimal, terletak didalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause brada di
5
forniks atas dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi atas
tarsus atas (Riordan-Eva, 2000)
Gambar 2.1.1. Anatomi Konjungtiva
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis, kedua arteri ini beranastomosis dan bersama denngan banyak vena
konjungtiva yang umunya mengikuti pola arterinya membentuk jarring-jaring
vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Konjungtiva menerima persarafan dari
6
percabangan (oftalmik) pertama nervus V. saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai
serat nyeri. (Riordan- Eva, 2000)
Gambar 2.1.2 Vaskularisasi Konjungtiva
2.1.2. Anatomi Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan di sklera di limbus,
lekuk melingkar pada sambungan ini sulkus skleralis. Kornea dewasa rata-rata
mempunyai tebal 0,54 mm ditengah, sekitar 0,65mm ditepi dan diameternya sekitar
11,5 mm. (Riordan – Eva, 2002). Dari anterior ke posterior kornea memiliki 5 lapisan
yaitu; (Remington, 2005)
1. Lapisan epitel yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva
bulbaris. Lapisan epitel mempunya 5 atau 6 lapis sel. Berupa stratified
squamous epithelium.
2. Membrane bowman, merupakan lapisan jernih aseluler, yang merupakan
bagian stroma yang berubah.
3. Stroma kornea mencakup 90% dari ketebalan kornea. Bagian ini tersusun
dari lamellae fibril-fibril kolagen yang saling menjalin dan hampir
7
mencakup seluruh diameter kornea. Lamellae ini berjalan sejajar dengan
permukaan kornea dank arena ukuran dan periodisitasnya secara optic
menjadi jernih. Lamellae terletak didalam suatu zat dasar proteoglikan
hidrat bersama dengan keratosit yang menghasilkan kolagen dan zat
dasar.
4. Membrane descement adalah sebuah membran elastik yang jernih yang
tampak amorf pada pemeriksaan mikroskopi elektron dan merupakan
membrane basalin dari endotel kornea.
5. Lapisan endotel
2.2. Pterigium
2.2.1. Definisi Pterigium
Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskular non maligna dari konjungtiva
yang biasanya mencapai kornea dan berbentuk segitiga dimana proses
pertumbuhannya terdiri dari degenerasi fibroelastis dengan proliferasifibrotik yang
dominan. (Lin, et al. 2006)
2.2.2. Faktor Resiko Pterigium
Beberapa factor resiko yang diduga dapat menyebabkan timbulnya pterigium yaitu;
(Lu and Chen 2009)
1. Lokasi geografis, berdasarkan hasil studi epidemiologi dijumpai adanya
asosiasi antara paparan yang lama terhadapa sinar matahari pada daearah-
daearah geografis dengan kejadian pterigium.
2. Paparan sinar matahari dan sinar UV, banyak dokter mata menyatakan
bahwa pterigium merupakan akibat dari paparan sinar Uv disertai adanya
degenerasi elastoid padajaringan ikat subepitel. Penelitian telah
menunjukkan bahwa semakin lama berada di luar rumah memiliki resiko
yang meningkat terjadinya pterigium. Selain itu paparan terhadap radiasi
sinar UV juga memiliki perananan yang penting sehngga dapat di
8
simpulkan pterigium berkaitan erat dengan paparan sinar matahari pada
mata,
3. Usia, penelitian telah dilakukan untuk menentukan prevalensi pterigium
yang meningkat sesuai dengan meningkatnya usia dimana dijumpai
adanya hubungan yang erat dan resiko meningkat dan mencapa puncak
pada usia 70-81 tahun.
4. Kekeringan pada mata, beberapa penelitian menemukan adanya hubungan
yang positif antara mata kering dengan pterigium akan tetapi masih belum
diketahui apakah mata kering menyebabkan pterigium ataupun sebaliknya.
5. Pekerjaan, salah pekerjaan yang memiliki resiko terjadinya pterigium
adalah orang-orang yang berkerja di luar ruangan seperti petani, nelayan
ataupun pelaut. Awalnya diduga pterigium timbul akibat paparan sinar
matahari beserta dengan paparan terhadap debu pasir dan angin.
(Detorakis and Spandidos, 2009)
2.2.3. Morfologi Pterigium
Petrigium terdiri dari tiga bagian, yaitu; (Aminlari, et al. 2010)
1. Kapsul atau puncak yang merupakan zona mendatar pada kornea yang
terdiri dari fibroblast yang menginvasi membrane bowman.
2. Kepala yang merupakan area vascular dibawah kapsul
3. Badan atau ekor yang merupakan bagian pterigium yang mobile di
konjungtiva bulbar.
2.2.4. Patogenesis Pterigium
Mekanisme patologis dari terjadinya pterygium belum diketahui secara
sempurna; hanya terdapat banyak teori yang mencoba mengemukakan tahap patogenesis
dari penyakit ini, dan teori-teori tersebut mencakup;
1. Paparan terhadap sinar UV
9
Paparan terhadap sinar UV terutama UV-B menyebabkan terjadinya
perubahan sel di dekat limbus dan juga terjadi peningkatan produksi dari
interleukin yang signifikan yaitu, IL-I, IL-6, IL-8 dan TNFα. Selain itu,
terdapat peningkatan proliferasi dari jaringan akibat peningkatan pembentukan
enzim metalloproteinase (MMP) dalam kadar yang lebih tinggi daripada tissue
inhibitors. (Feng, et al. 2010). Beberapa teori menyatakan bahwa radiasi sinar
UV menyebabkan mutasi dari supresot gen tumot P53 sehingga terjadi proliferasi
abnormal pada epitel limbus. (Aminlari, et al. 2010).
2. Teori Growth Factor dan Sitokin proinflamasi
Pterigium memiliki komponen vascular yang dapat menginasi kejaringan
mata. Komponen vascular ini timbul melalui proses angiogenesis yang
dirangsang oleh VEGF (Vascular Endithelial Growth factor). Inflamasi kronis
pada pterigium merangsang keluarnya berbagai growth factor dan sitokin
seperti, FGF, PDGF, TGF-β, dan TNF-α serta VEGF yang akan
mengakibatkan proliferasi sel, remodeling matriks ektra sel dan angiogenesis.
Selain meningkatnya growth factor ditemukan menurunnya factor
penghambat pertumbuhan seperti TSP-I. ( Aspiotis, et al. 2006)
3. Teori stem cell
Factor lingkungan ( UV, angin, debu) menyebabkan kerusakn sel basal
limbus dan merangsang keluarnya sitokin proinflamasi. Sitokin ini akan
memproduksi matriks metaloproteinnase untuk meruksak matriks ektrasel,
sehingga pterigium dapat mencapai kornea. Sitokin ini juga dapat merangsang
sumsum tulang untuk mengeluarkan stem sel, dimana stem sel ini juga akan
memproduksi sitokin sambil juga memyembuhkan kornea. Sitokin dan
berbagai growth factor akan mempengaruhi stem sel di limbus sehingga
terjadi perubahan sel fibroblast endotel dan epitel yang akhirnya akan
menimbulkan pterigium. (Ye, et al. 2004)
10
2.2.5. Gejala Klinis Pterigium
Pada keadaan ringan pterigium dapat menyebbakan kekaburan pandang yang
ringan yang dapat diobati menggunakan kaca mata. Pterigium yang lebih dari 3 mm
dapat menimbulkan sedikit astigmat yang masih dapat dikoreksi. Pterigium yang
lebih dari 3.5 mm berarti telah mencapai setengah bahkan menyinggung pupil pada
kornea yang biasanya berukuran 11-12 mm. biasanya dapat menyebbkan astigmat
lebih dari 1 dioptridan menyebabkan mata kabur dan tidak dapat di koreksi lagi,
seiring dengan meluasnnya pterigium maka astigmat akan semakin berat. (Jacobs,
2009)
Derajat keparahan pterigium dinilai berdasarkan lokasinya dan
keterlibatannya dengan kornea, yaitu ; (Zhong, et al. 2012)
1. Grade 0, tidak ada pterigium
2. Grade 1, kepala pterigium mengennai limbus
3. Grade 2, kepala pterigium antara limbus denganbatas pupil
4. Grade 3, kepala pterigium mengenai batas pupil
5. Grade 4, kepala pterigium menutupi pupil
2.2.6. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan penanganan medis dan bedah yang optimal
untuk pterigium. Tatalaksana awal yang digunakan biasanya konservatif , yaitu;
(Aminlari, et al. 2010)
1. Mencegah mata kering dengan lubrikasi
2. Penggunakan obat pelindung mata.
Pengobatan dengan menggunakan dekongestan lokal, NSAID, ataupun steroid
dapat mengurangi gejala akan tetapi sebaiknya dihandari karena pterigium merupakan
penyakit kronis yang tidak dapat dicegah dengan obat-obatan ini dan efek samping
yang dihasilkan cukup besar. (Jacobs, 2009).
Pembedahan pada pterigium di indikasikan pada; (Aminlari, et al. 2010)
1. Astigmatismat yang mempengaruhi penglihatan
11
2. Ancaman mengenai axis visual
3. Iritasi berat
4. Kosmetik.
2.2.7. Pencegahan
Pada dasarnya dengan mengurangi paparan terhadap radiasi UV akan
menurunkan risiko terjadinya pterygium. Pasien disarankan untuk menggunakan topi
yang memiliki pinggiran dan sebagai tambahan menggunakan kacamata pelindung dari
cahaya matahari. Tindakan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah tropis dan
subtropics, atau pada pasien yang kesehariannya beraktifitas di luar ruangan.
12
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Hubungan nelayan dan penduduk
sekitar panatai terhadap kejadian pterigium
3.2. Definisi Operasional
1. Nelayan merupakan seseorang yang kesehariannya berkerja ke alut
mencari ikan
2. Penduduk sekitar pantai merupakan penduduk/masyarakat yang tinggal
di daerah sekitar pantai, ataupun yang tinggal di pinggir laut.
3. Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
intrapalpebra.
Alat ukur pada penelitian ini adalah penlight
Cara ukur melihat langsung dengan bantuan penlight
Skala ukur Nominal
Nelayan,Penduduk sekitar pantai
pterigium
13
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian analitik dengan pendekatan cross
sectional untuk melihat hubungan nelayan dan penduduk sekitar pantai dengan
kejadian pterigium di Kabupaten Langkat.
4.2. Waktu Dan Lokasi Penelitain
Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Langkat. Adapun alas an
pemilihan daerah ini karena Kabupaten Langkat merupakan daerah dataran rendah.
Dimana daerah dataran rendah paparan sinar matahari lebih tinggi sesuai dengansalah
satu factor resiko penyebab pterigium.selain itu di daerah ini sebagian penduduk
bermatapencarian sebagai nelayan. Sehingga dapat dengan mudah mengumpulkan
sampel untuk penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilakukan pada Agustus – September 2012
dan di lanjutkan dengan pengolahan dan analisis data.
4.3. Populasi Dan Sampel
1.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh nelayan dan penduduk sekitar
pantai dengan kriteria sebagai berikut;
1. Kriteria inklusi
a. Nelayan
b. Tinggal di daerah sekitar pantai/laut
c. Berusia 18 tahun keatas
d. Setuju untuk dijadikan sampel penelitian
14
2. Kriteria ekslusi
a. Memakai kaca mata
b. Memiliki penyakit mata lainnya yang telah di diagnosa oleh dokter.
1.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi yaitu nelayan dan penduduk
sekitar pantai yang telah memenuhi kriteria inklusi.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer, yaitu data
yang didapat langsung dari masing-masing sampel penelitian. Data dikumpulkan
dengan cara peneliti mengisi identitas sampel di lembar observasi dan mengisi hasil
pemeriksaan ada tidaknya pterigium. Dimana pemeriksaan ini dilakukan pada sampel
yang telah menyetujui dan menandatangani lembar imform concent.
4.5. Metode Analisis Data
Analisa ini dilakukan untuk melihat hubungan dua variabel, yaitu variabel
independen dan dependen, dengan uji statistik chi square menggunakan hitungan
statistik yang sesuai, dimana derajat kemaknaan α = 0,05. Apabila nilai p value <
0,05, maka Ho ditolak dan apabila p value > 0,05 maka Ho gagal ditolak (Wahyuni,
Arlinda Sari). Analisa data akan dilakukan dengan menggunakan software SPSS.
15
DAFTAR PUSTAKA
Aminlari, A., et al., 2010. Management of Pterygium. Ophthalmic Perals ; 37-38
Aspotise, et al., 2007. Angiogenesis in Pterygium ; Study of Microvessel Density,
Vaskular Endothelial Growth Factor, and Thrombospondin-1. Eye: 21; 1095-
1101
Detorakis, E., F., Spandidos, D., A., 2009. Pathogenetic Mechanisms and Treatment
Options for Ophthalmic Pterygium: Trends and Perspectives. International
Journal of Molecular Medicine. 23; 439-447
Feng, L., Q., et al., 2010. Epidemiology of Pterygium in Aged Rural Population of
Beijing, China. Chinese Medical journal. 123 (13); 1699-1701
Gazzard, G., et al.,2002. Pterygium in Indonesia : Prevalence, Severity and Risk
Factors. Br J Ophthalmol. 86 (12) ; 1341
Jacobs, D., S., 2009. Pterygium. www.uptodate.com
Lang, G., K., dan Lang, G., E., 2000. Ophthalmology a Short Textbook. Newyork;
Thieme; 67-68 dan 117-119
Lin, S.,F., Tsai, R., K., Tung, I., C., Sheu, M., M., 2006. An Epidemiologic Study of
Pterygium in Middle – aged and Elderely Aboriginal Populations of the Tao
Tribe of Orchid Island in Taiwan. Tzu Chi Med J. 18 (4); 283-285
16
Lu, P., Chen, X., M., 2009. Prevalence and Risk Factors of Pterygium. Int J
Ophthalmol 2. (1) ; 82-84
Meseret, A., Bejiga, A., Ayalew, M., 2008. Prevalence of Pterygium in a Rural
Community of Meskan District, Southern Ethiopia. Ethiop J Health Dev. 22
(2) ; 191-194
Remington, L., A., 2005. Clinical Anatomy of The Visual System. Ed 2. Elsevier; 9-24
Riordan – Eva, P., 2000. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughan, D., G.,
Asbury, T., Riordan-Eva, p., Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC; 5-7
Schwab, I., R., Dawson, C., R., 2000. Konjungtiva. Dalam Vaughan, D., G., Asbury,
T., Riordan-Eva, p., Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC ; 123
Sehu, K., W., Lee, W., R., 2005. Ophthalmic Pathology; an Ilustrated Guide For
Clinicans. Oxford: Blacwell Publishing;40
Ye, et al. 2004. Involvement of Bone Marrow – derived Stem and Progenitor cells in
The Pthogenesis of Pterygium. Eye 18; 839-843
Zhong,H., et al., 2012. Prevalence of and Risk Factors for Pterygium in Rural Adult
Chinese Populations of The Bei Nationality in Dali: The Yunnan Minority
Eye Study. Invetstigative Ophthalmology & Visual Science. 53 (10); 6617-
6621