refarat pterigium
-
Upload
hanry-halim -
Category
Documents
-
view
71 -
download
2
Embed Size (px)
description
Transcript of refarat pterigium

BAB I
PENDAHULUAN
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yang berarti sayap.
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pterigium berbentuk membran segitiga dengan puncak di
daerah kornea dan basisnya terletak pada celah kelopak (fissura palpebra) bagian
nasal ataupun temporal dari konjungtiva. Secara umum pterigium lebih sering
terdapat pada bagian nasal daripada temporal.1, 2
Keadaan pada pterigium diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat
sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena
sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan
yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan patologik
pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan
elastik.1,2
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak. Penyakit ini
lebih sering ditemukan di daerah ekuator/katulistiwa dan sekitarnya.3 Berdasarkan
survei dari Departemen Kesehatan RI tahun 1993-1996 menunjukkan bahwa
kasus pterigium menduduki urutan kedua terbesar dari penyakit mata yang
menyebabkan morbiditas.4
1

Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi Konjungtiva
Secara anatomis konjungtiva merupakan membran mukosa yang
transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata
(konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat
erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum
orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini
memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva
sekretorik. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin
bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga
bagian, yaitu :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus.
2

- Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakan dari sklera
dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.1
3

Gambar 1-3. Anatomi Konjungtiva
2.2 Pterigium
2.2.1 Definisi Pterigium
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degenaratif dan invasif. Pertumbuhan pterigium biasanya
terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak
dibagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila
terjadi iritasi, akan berwarna merah dapat mengenai kedua mata.1
Gambar 4. Pterigium
2.2.2 Epidemiologi
Penyakit ini lebih sering ditemukan di daerah ekuator/katulistiwa dan
sekitarnya. Berdasarkan survei dari Departemen Kesehatan RI menunjukkan
4

bahwa kasus pterigium menduduki urutan kedua terbesar dari penyakit mata
yang menyebabkan morbiditas.4,6
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung
pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya
berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-
15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara
peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih
tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka
kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang
bawah.1,5
Insidens pterigium paling tinggi pada pasien berusia 20-40 tahun.
Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren
sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4
kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok,
pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.3,6
2.2.3. Etiologi
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam
perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa
insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat
equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan.
5

2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium
adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu,
polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen
pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-
beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi,
migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis
yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya
jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi
membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 3,6
2.2.4. Faktor Risiko
1. Usia
Pterigium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.
Penelitian lain berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua
dan tiga.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang
sering dengan sinar UV.
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah
distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi
6

banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan
bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang
lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5
tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300
memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan
daerah yang lebih selatan.
4. Herediter
Pterigium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan.
5. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-
partikel tertentu seperti asap rokok, pasir merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya pterigium.7
2.2.5. Klasifikasi Pterigium 3,5,8
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi
berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya
pembuluh darah episklera , yaitu:
a. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada
limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi
meluas < 2 mm dari kornea. Stocker’s line atau
deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
7

kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis,
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien
yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan
lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau
ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik.
Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler
yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4
mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi,
berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan
zona optik. Merupakan bentuk pterygium yang
paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan
tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4
mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan
dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke
forniks dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata serta kebutaan.
b. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium
yaitu:
- Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
8

- Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati
kornea.
- Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi
tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam
keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm).
- Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati
pupil sehingga mengganggu penglihatan.
Gambar 5. Pterigium stadium 1 Gambar 6. Pterigium stadium
2
Gambar 7. Pterigium stadium 3 Gambar 8. Pterigium stadium
4
9

c. Berdasarkan progresifitas tumbuhnya :
1. Stasioner : relatif tidak berkembang lagi (tipis, pucat, atrofi)
2. Progresif : berkembang lebih besar dalam waktu singkat.
2.2.6. Patofisiologi 3,5
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak
dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan
dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini
biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran
pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum
lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di
samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar
ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu
pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium
dibandingkan dengan bagian temporal.
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen
dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik
menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini
juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
10

elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan
oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H
& E . Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti
cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik
dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.
Gambar 9. Histopatologi Pterigium
2.2.7. Gejala Klinis 3
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan
sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang
sering dialami pasien antara lain:
a) Mata sering berair dan tampak merah
11

b) Merasa seperti ada benda asing
c) Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan
pterigium tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun
astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan
d) Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil
dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.
Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya
menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan
stasioner. Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki
kornea dan menggantikan epitel, juga membran bowman, dengan jaringan
elastik dan hialin. Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat pada
orang-orang yang banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama
pelaut dan petani. Kelainan ini merupakan kelainan degenarasi yang
berlangsung lama. Bila mengenai kornea, dapat menurunkan visus karena
timbul astigmat dan juga dapat menutupi pupil, sehingga cahaya terganggu
perjalanannya.
2.2.8. Penegakan Diagnosa
a. Anamnesa
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu
juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak
bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang
tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma.9
12

b. Pemeriksaan Oftalmologis
Pada pterigium pemeriksaan di adanya massa jaringan kekuningan
akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada limbus, berkembang
menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput
lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan
peradangan.
Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah
ke kornea dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan
berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium,
dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson ) :
1) Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2) Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi
tidak lebih dari 2 mm melewati kornea
3) Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm)
4) Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.7,10
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.1
13

2.2.9. Diagnosa 3,6
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada
salah satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau
bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala
dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan
terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda
asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari
biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan
terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Test uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi
terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk
memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan menggunakan sonde di
bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada
pseudopterigium.
2.2.10. Diagnosa Banding
a. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna kekuningan. Keadaan ini tampak sebagai nodul pada kedua
sisi kornea yang kebih banyak di sisi nasal. Pinguekula merupakan
degenaris hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pinguekula sangat
sering pada orang dewasa. 3
14

Gambar 9. Pinguekula
b. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan
kornea yang cacat. Terdapat Suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena
ulkus kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di
antara konjungtiva dan kornea.1,3
Gambar 10. Pseudopterigium
2.2.11. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang
masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu
tetes mata dekongestan. Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati.
15

Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid
tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.
Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau
dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya
astigmaisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media
penglihatan. 3,7
b. Tindakan operatif
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang
dilakukan dengan indikasi:
1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.
2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis
vascular.
3. Mata terasa mengganjal.
4. Visus menurun, terus berair.
5. Mata merah sekali.
6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.
7. Alasan kosmetik.
8. Mengganggu pergerakan bola mata.
16

9. Mendahului operasi intra okuler
Pascaoperasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti
pengggunaan sinar radiasi β atau terapi lainnya untuk mencegah
kekambuhan seperti mitomycin.
c. Jenis Operasi pada Pterigium antara lain :
- Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya
tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
- Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva
relative kecil.
- Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
- Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang
kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
- Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil
dari konjungtiva bulbi bagian superior.
17

Tindakan pembedahan untuk eksisi pterigium biasanya bisa
dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anestesi local,
bila perlu diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi,
mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai
obat tetes mata atau salep mata antibiotik atau antinflamasi.
2.2.12. Komplikasi3
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Dry Eye sindrom
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
- Infeksi
18
Gambar 11. Jenis-jenis operasi pterigium4
a. Bare sclera
b. Simple closure
c. Sliding flap
d. Rotational flap

- Ulkus kornea
- Graft konjungtiva yang terbuka
- Diplopia
- Adanya jaringan parut di kornea
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah
kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi,
sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan
penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion
pada saat eksisi.
2.2.13. Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti
nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet
dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari.3
2.1.14. Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya
prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan
sitotastik tetes mata atau beta radiasi.
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik.
Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa
hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48
jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Pasien dengan
pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan
grafting
19

dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran amnion
pada pasien tertentu.3
BAB III
KESIMPULAN
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini
dikarenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga
banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab
dari pterigium.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara
konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada
pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu
20

bagi penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga
kurang maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat
tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat
dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar
matahari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Pterigium. Dalam: Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2013 : 116-17.
2. Wijaya N. Kelainan Konjungtiva. Dalam: Wijaya N. Ilmu Penyakit Mata.
Cetakan keenam. Jakarta. 1989
3. Laszuarni, Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Medan. Universitas
Sumatera Utara. 2010
4. Hastuti E. Efek desferioxamine topikal pada Pterigium. Dalam
Gondhowiardjo Tj. Ophthalmologica Indonesiana Journal of The Indonesian
Ophthalmologist Association. FKUI. Jakarta, 2002: 125-31.
5. Pterigium. Available from :
http://www.mata-fkui-rscm.org/?page=content.view&alias=edukasi_pasien
6. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23] http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
7. Ilyas, Sidarta, dkk. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Jakarta : Sagung Seto. 2002. Hal. 107-109.
21

8. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher
edisi 17 Jakarta : EGC. 2009. Hal 119
9. Prosedur Standar Diagnostik dan Pengobatan/ Tindakan di Bagian I.P Mata
FKUI/RSCM
10. Wiajaya, Nana. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Abadi Tegal. 1993
22