Post on 11-Jan-2016
description
LAPORAN KASUS BESAR
SEORANG LAKI-LAKI 81 TAHUN DENGANST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI),
INKONTINENSIA URIN, HIPERTENSI STAGE II,INFILTRAT PARU, DAN AZOTEMIA
Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan SeniorBagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh:
NYDIA RENA BENITA22010112210036
Pembimbing :
dr. Charles Limantoro, Sp.PD, K-KV, FINASIM
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG2013
HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Nydia Rena Benita
NIM : 22010112210036
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam RSDK / FK UNDIP
Judul kasus besar : Seorang laki-laki 81 tahun dengan ST elevation myocardial
infarction (STEMI), inkontinensia urin, hipertensi stage II,
infiltrat paru, dan azotemia
Pembimbing : dr. Charles Limantoro, Sp.PD, K-KV, FINASIM
Semarang, 7 Januari 2013
Pembimbing
dr. Charles Limantoro, Sp.PD, K-KV, FINASIM
2
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Tn. Moehadi
Umur : 81 tahun
Alamat : Lemah Gempal IV B No. 25, RT 9 RW 4 Semarang
Pekerjaan : tidak bekerja
Masuk RS : 21 Desember 2012
No. CM : C093388
Status : Jamkesmas
DAFTAR MASALAH
No
.
Masalah Aktif Tanggal Masalah Inaktif Tanggal
1 STEMI anterior 21 Des 2012
2 Inkontinensia urin 21 Des 2012
3 Hipertensi stage II 21 Des 2012
4 Infiltrat paru 21 Des 2012
5 Azotemia 21 Des 2012
DATA DASAR
A. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien dan anak pasien dilakukan
pada tanggal 2 Januari 2013 pukul 16.30 di bangsal C3L2 Penyakit Dalam.
3
Keluhan utama: nyeri dada
Riwayat penyakit sekarang
Onset dan kronologis : Nyeri dada sudah sering dirasakan sejak lebih dari satu
bulan sebelum masuk RSDK, tetapi tidak mengganggu
pasien. Tiga hari sebelum masuk RSDK, nyeri dada
sering muncul kembali dan kemudian pasien dibawa ke
RSDK.
Kualitas : Nyeri dada kiri seperti ditusuk-tusuk, menjalar ke
tengkuk, dada kanan, bahu kiri dan kanan, serta
epigastrium.
Kuantitas : Nyeri hilang timbul dengan durasi 5-15 menit.
Faktor memperberat : Tidak ada
Faktor memperingan : Tidak ada
Gejala penyerta : Sakit kepala (+), berdebar-debar (+), keringat dingin
(+), mual (-), muntah (-), sesak napas (+), terbangun
tiba-tiba di malam hari karena sesak (-), kaki bengkak
(-), kesemutan di tangan dan kaki (-), batuk (+) kurang
lebih 1 bulan, demam (+), nyeri saat buang air kecil (+)
hilang timbul, anyang-anyangan (+), menetes-netes
tanpa keinginan kencing, buang air besar 1 kali/hari,
tidak keras dan tidak hitam seperti petis.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi selama kurang lebih 10 tahun, kontrol tidak rutin
Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat penyakit TB pada tahun 1960an dan sudah berobat
4
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat sosial dan ekonomi
Pasien sudah tidak bekerja, memiliki 4 orang anak yang sudah mandiri, dan
saat ini tinggal bersama anaknya. Biaya pengobatan ditanggung oleh
Jamkesmas.
Kesan: sosial ekonomi kurang
B. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 2 Januari 2013 pukul 16.45 di bangsal C3L2 Penyakit
Dalam.
Keadaan umum : baik, tidak dispneu maupun ortopneu
Kesadaran : compos mentis, GCS 15
Tanda vital : Nadi 92x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR 24x/menit
TD 140/70 mmHg
Suhu 36,6o C aksiler
Kulit : turgor cukup
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : napas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : trakea di tengah, pembesaran limfonodi (-/-), JVP R+0 cm
5
Dada : retraksi (-), angulus costa < 90o, sela iga melebar (-), nyeri
tekan costa (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea midlavicularis sinistra,
tidak kuat angkat maupun melebar, tidak ada thrill, tidak
ada sternal lift, pulsasi epigastrial, dan pulsasi parasternal.
Perkusi : Batas kanan : linea parasternalis kanan
Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas kiri : SIC V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 92x/menit, reguler, suara I dan II murni, tidak ada
bising maupun suara gallop.
Paru depan
Inspeksi : simetris statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan ronkhi basah kasar
pada paru kiri dan kanan
Paru belakang
Inspeksi : simetris statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan ronkhi basah kasar
pada paru kiri dan kanan
6
Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada venektasi
Auskultasi : peristaltik normal
Perkusi : pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), area traube timpani
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Refleks fisiologis +/+ N +/+ N
Refleks patologis -/- -/-
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hematologi 21 Desember 2012
Hemoglobin 13,90 gram% 13,00-16,00
Hematokrit 41,7 % 40,0-54,0
Eritrosit 4,78 juta/mmk 4,50-6,50
MCH 29,00 pg 27,00-32,00
MCV 87,20 fL 76,00-96,00
MCHC 33,30 g/dL 29,00-36,00
Leukosit 12,50 ribu/mmk 4,00-11,00
Trombosit 249,0 ribu/mmk 150,0-400,0
RDW 13,20 % 11,60-14,80
MPV 6,60 fL 4,00-11,00
7
Pemeriksaan Kimia Klinik, 21 Desember 2012
Glukosa sewaktu 121 mg/dL 74-106
Ureum 50 mg/dL 15-39
Creatinin 1,87 mg/dL 0,60-1,30
CK-MB 34,0 U/L 7,0-25,0
Elektrolit
Natrium 138 mmol/L 136-145
Kalium 3,7 mmol/L 3,5-5,1
Chlorida 105 mmol/L 98-107
Calcium 2,15 mmol/L 2,12-2,52
Magnesium 0,85 mmol/L 0,74-0,99
Imunologi:
Troponin T 0,81 ug/L < 0,1
Pemeriksaan Hematologi dan Kimia Klinik, 22 Desember 2012 pukul 10.25
Partial Thromboplastin Time
Waktu Thromboplastin 155,4 detik 23,4-36,8
APTT Kontrol 34,1 detik
Asam urat 5,65 mg/dL 2,60-7,20
Kolesterol 188 mg/dL 50-200
Trigliserida 83 mg/dL 30-150
HDL kolesterol 30 mg/dL 35-60
LDL kolesterol 126 mg/dL 62-130
8
Imunologi:
PSA total 30,48 ng/mL 0,21-6,77
Pemeriksaan Hematologi dan Kimia Klinik, 22 Desember 2012 pukul 21.49
Partial Thromboplastin Time
Waktu Thromboplastin 39,6 detik 23,4-36,8
APTT Kontrol 30,6 detik
Kimia klinik:
CK-MB 98,0 U/L 7,0-25,0
Imunologi:
Troponin T 2,91 ug/L < 0,1
Analisa Gas Darah, 24 Desember 2012
Temperatur 36,8 oC
Hb 13,90 g/dL
FiO2 32,00 %
pH (37o C) 7,340
pCO2 (37o C) 39,0 mmHg
pO2 (37o C) 157,0 mmHg
pH (corrected) 7,340 7,350-7,450
pCO2 (corrected) 39,0 mmHg 35,0-45,0
pO2 (corrected) 156,0 mmHg 83,0-108,0
HCO3 21,0 mmol/L 18,0-23,0
9
TCO2 22,20
Base excess -4,4 mmol/L -2,0-3,0
BE effective -4,80
SBC 21,5 mmol/L
Saturasi O2 99,0 % 95,0-98,0
A-ADO2 23,00
RI 0,10
Pemeriksaan Hematologi, 24 Desember 2012
Partial Thromboplastin Time
Waktu Thromboplastin 36,6 detik 23,4-36,8
APTT Kontrol 30,6 detik
Pemeriksaan Hematologi, 25 Desember 2012
Partial Thromboplastin Time
Waktu Thromboplastin 83,3 detik 23,4-36,8
APTT Kontrol 30,6 detik
Pemeriksaan Hematologi, 26 Desember 2012
Partial Thromboplastin Time
Waktu Thromboplastin 35,5 detik 23,4-36,8
APTT Kontrol 32,8 detik
10
Pemeriksaan Kimia Klinik, 26 Desember 2012
Ureum 44 mg/dL 15-39
Creatinin 1,66 mg/dL 0,60-1,30
Pemeriksaan Kimia Klinik, 1 Januari 2013
Ureum 43 mg/dL 15-39
Creatinin 1,58 mg/dL 0,60-1,30
Natrium 138 mmol/L 136-145
Kalium 3,9 mmol/L 3,5-5,1
Chlorida 100 mmol/L 98-107
Pemeriksaan Elektrokardiografi, 21 Desember 2012 pukul 09.00
HR: 142x/menit
QRS complex: 0,72 detik
Interpretasi:
Supraventricular tachycardia with fusion complexes
Left axis deviation
Inferior infarct, age undetermined
Anterolateral injury pattern
Kesan: Acute MI
11
Pemeriksaan Elektrokardiografi, 21 Desember 2012 pukul 23.45
Irama: sinus rhythm
Frekuensi: 100 x/menit
Axis: left axis deviation, zona transisi V4
Gelombang P: P mitral/P pulmonal (-)
PR interval: 0,16 detik
QRS complex: 0,06 detik, poor R wave progression (+)
Q patologis: -
Segmen ST: ST elevasi pada lead I, aVL, V1-V6, depresi pada lead II, III, aVF
Gelombang T: inverted (-), tall T (-)
Kriteria LVH/RVH: S V1 + R V6 < 35 mm
Kesan: STEMI anterolateral
12
Pemeriksaan Elektrokardiografi, 31 Desember 2012 pukul 05.30
Irama: sinus rhythm
Frekuensi: 88 x/menit
Axis: left axis deviation, zona transisi V4
Gelombang P: P mitral/P pulmonal (-)
PR interval: 0,16 detik
QRS complex: 0,08 detik, poor R wave progression (+)
Q patologis: -
Segmen ST: ST elevasi pada lead V2-V4
Gelombang T: inverted (-), tall T (-)
Kriteria LVH/RVH: S V1 + R V6 < 35 mm
Kesan: STEMI anterolateral dalam evolusi
Pemeriksaan X Foto Thorax AP/Lateral, 22 Desember 2012
Kesan:
Kardiomegali (LV)
Elongatio aorta
Infiltrat pada parakardial kanan-kiri
13
Pemeriksaan X Foto Thorax AP/Lateral, 28 Desember 2012
Kesan:
Kardiomegali (LV)
Elongatio aorta
Gambaran TB paru lama dengan fibrosis
Pemeriksaan USG Abdomen, 28 Desember 2012
Kesan:
Soliter simple cyst pada pole bawah ren dextra (ukuran 3,5 cm)
Pembesaran prostat (volume transabdominal 68,7 ml)
Tak tampak kelainan secara sonografi pada organ-organ intraabdomen
lainnya
Pemeriksaan funduskopi, 22 Desember 2012
Kesan: ODS retinopati hipertensi grade II dengan arteriolosclerosis grade II
14
DAFTAR ABNORMALITAS
1. Nyeri dada
2. Sakit kepala
3. Berdebar-debar
4. Keringat dingin
5. Sesak napas
6. Batuk ± 1 bulan
7. Demam
8. Nyeri saat buang air kecil
9. Anyang-anyangan
10. Inkontinensia urin
11. Riwayat hipertensi
12. Riwayat TB paru
13. Hipertensi
14. Palpasi ictus cordis pada SIC V linea midclavicularis sinistra
15. Leukositosis
16. Peningkatan kadar ureum
17. Peningkatan kadar kreatinin
18. Peningkatan CK-MB
19. Peningkatan Troponin T
20. Peningkatan waktu tromboplastin
21. Gambaran EKG STEMI anterior
22. Gambaran kardiomegali
23. Gambaran infiltrat pada parakardial kanan-kiri
24. Gambaran TB paru lama dengan fibrosis
15
25. Soliter simple cyst pada pole bawah ren dextra
26. Pembesaran prostat
27. ODS retinopati hipertensi grade II dengan arteriolosclerosis grade II
ANALISIS SINTESIS
1. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) 1, 3, 4, 14, 18, 19, 20, 21, 22
2. Inkontinensia urin 8, 9, 10, 25, 26
3. Hipertensi grade II 2, 11, 13, 14, 22, 27
4. Infiltrat paru 5, 6, 7, 12, 15, 23, 24
5. Azotemia 16,17
RENCANA PEMECAHAN MASALAH
1. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
Assessment : Kegawatan (aritmia, gagal jantung akut, syok kardiogenik,
sudden death)
Tempat dan derajat oklusi koroner
Diagnosis : Ekokardiografi
Terapi : Oksigen 2 lpm
Infus RL 20 tpm
Diet lunak 1800 kkal
Heparinisasi bolus 4000 U/jam, dosis @ 750 U/jam (telah
diberikan di UGD)
Clopidogrel 300 mg loading dose (telah diberikan di UGD)
Aspilet 1x80 mg
ISDN 3x5 mg
16
Evaluasi : nyeri dada, tanda vital/6 jam, EKG/hari, PTTK/12 jam, BC/24
jam
Edukasi : komplikasi, laporkan bila nyeri dada terasa
2. Inkontinensia urin
Assessment : Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Karsinoma prostat
Infeksi saluran kemih
Diagnosis : Pemeriksaan patologi anatomi
Urin rutin
Kultur urin
Terapi : Dilatation Catheter (DC) untuk membantu pengeluaran urin
Evaluasi : Urin/24 jam
Edukasi : jangan menahan kencing, laporkan apabila perlu ganti kateter
3. Hipertensi stage II
Assessment : Faktor risiko penyakit jantung koroner
Diagnosis : Kolesterol total, trigliserida, HDL, LDL
Terapi : Captopril 3x25 mg
Diet rendah garam
Evaluasi : tekanan darah/ 6 jam
Edukasi : mencari faktor risiko, kurangi konsumsi makanan tinggi garam
4. Infiltrat paru
Assessment : Pneumonia
17
TB paru
Diagnosis : sputum BTA 3 kali, pengecatan Gram, jamur, kultur sputum
Terapi : injeksi Ceftriaxone 1x2 gram IV
Paracetamol 3x500 mg apabila suhu tubuh ≥ 38oC
Ambroxol 3x30 mg
Evaluasi : Keadaan umum, tanda vital, keluhan sesak
Edukasi : menjelaskan pada penderita dan keluarga mengenai
kemungkinan penyakit dan komplikasinya
5. Azotemia
Assessment : Mencari etiologi (pre renal, renal, post renal)
Diagnosis : ureum kreatinin ulang, urin rutin
Terapi : rehidrasi sesuai kebutuhan
Evaluasi : kegawatan uremik, balance cairan
Edukasi : menghabiskan diet dari rumah sakit
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Infark Miokard Akut
Infark miokard akut (IMA) adalah manifestasi penyakit jantung iskemik yang
berpotensi mengancam nyawa. IMA disebabkan oleh adanya nekrosis iskemik
miokardium akibat oklusi mendadak pada arteri koronaria. Hal ini umumnya
terjadi karena adanya pembentukan trombus dari plak aterosklerotik, yang
terlepas, mengalami ulserasi, atau telah mengalami perdarahan. Meskipun
perkembangan manajemen IMA semakin maju, tingkat mortalitas pada penyakit
ini berkisar 10-30%, dan hampir separuhnya terjadi sebelum penderita sampai ke
rumah sakit. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction – STEMI) merupakan salah satu bagian dari spektrum
sindrom koroner akut yang terdiri atas angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa
elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi bila aliran
darah koroner mendadak menurun karena adanya oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus yang mendadak ini terjadi
pada lokasi jejas vaskuler, yang dicetuskan oleh faktor-faktor seperti akumulasi
lipid dan hipertensi. Pada lokasi ruptur plak tersebut, akan timbul aktivasi
trombosit yang selanjutnya melepaskan vasokonstriktor tromboksan A2. aktivasi
trombosit ini pun menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kemudian,
terbentuk kaskade koagulasi dan arteri koronaria yang terlibat akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.
19
Diagnosis
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas,
elevasi segmen ST persisten atau left bundle branch block pada gambaran
elektrokardiografi, peningkatan petanda nekrosis miokardium CK-MB dan
troponin, serta ekokardiografi untuk menyingkirkan kemungkinan etiologi nyeri
dada lainnya.
Pada anamnesis, pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu ditanyai
dengan jelas untuk memastikan nyeri dada tersebut benar-benar disebabkan oleh
infark miokard atau tidak. Hal-hal yang perlu ditanyakan meliputi:
1. Apakah pasien memiliki faktor risiko penyakit koroner atau aterosklerotik?
2. Di manakah lokasi nyeri dada tersebut?
3. Apakah nyeri menjalar ke bagian tubuh lainnya?
4. Bagaimana sifat nyeri dada yang dialami?
5. Adakah faktor yang memperberat atau memperingan nyeri?
6. Bagaimana bentuk onset nyeri tersebut?
7. Berapa lama durasi nyeri yang dirasakan?
8. Adakah gejala penyerta?
Pada umumnya, nyeri dada khas infark miokard terletak retrosternal dan
bersifat difus. Rasanya sering dideskripsikan seperti tertusuk-tusuk, ditekan,
terbakar, dipelintir, atau tertindih. Nyeri dapat menjalar ke bahu kiri, leher,
lengan kiri dan kanan, punggung, rahang, dan epigastrium. Nyeri sering muncul
pada saat istirahat dan lebih sering pada waktu pagi. Apabila nyeri muncul di saat
sedang beraktivitas, nyeri tidak berkurang dengan penghentian aktivitas tersebut.
Gejala lain yang menyertai nyeri dada meliputi mual, muntah, sulit bernapas,
lemas, berkeringat, dan sakit kepala.
20
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan kepucatan pada ekstremitas disertai
akral dingin. Umumnya tekanan darah dan denyut nadi tetap dalam batas normal,
namun seperempat pasien dapat menunjukkan takikardi atau bradikardi. Tanda
fisik lainnya yang dapat ditemukan yaitu bunyi jantung 3 dan 4 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua.
Pada pemeriksaan penunjang dengan elektrokardiografi, temuan yang
bermakna meliputi elevasi segmen ST lebih dari 2 mm minimal pada 2 sandapan
prekordial yang berdampingan, atau lebih dari 1 mm pada 2 sandapan
ekstremitas; peninggian puncak T, hilangnya gelombang R, inversi T, dan
gelombang Q.
Peningkatan segmen ST pada lead V1 hingga V4 mengindikasikan infark pada
dinding anterior. Infark dinding lateral ditunjukkan dengan adanya peningkatan
segmen ST pada lead I, aVL, dan V5-V6, sedangkan peningkatan di lead II, III,
atau aVF menunjukkan infark pada dinding inferior jantung. Adanya peninggian
gelombang T dan inversinya mengindikasikan kondisi iskemi, sedangkan
munculnya gelombang Q menunjukkan keadaan infark.
Enzim yang meningkat juga menjadi penanda keadaan infark miokardium.
Creatinine Kinase-MB meningkat setelah 3 jam jika ada infark, dan mencapai
puncaknya dalam 10-24 jam, kemudian kembali normal dalam 2-4 hari. Troponin
T meningkat setelah 2 jam dan mencapai puncak pada 10-24 jam, serta masih
dapat terdeteksi setelah 5-14 hari.
Tatalaksana
Tatalaksana yang dilakukan pada STEMI meliputi tatalaksana pra rumah sakit,
hal ini meliputi:
- pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
21
- memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan resusitasi
- transportasi ke Rumah Sakit dengan fasilitas ICCU/ICU dengan tenaga terlatih
- melakukan terapi reperfusi
Tatalaksana secara umum dilakukan dengan:
1. Oksigen
Diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen kurang dari 95%, dapat
dilakukan selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg sampai 3 dosis,
dengan interval 5 menit. Terapi ini harus dihindari pada pasien dengan
tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg atau pada kecurigaan infark ventrikel
kanan. Dalam pemberian nitrogliserin, maupun jenis nitrat lainnya seperti
isosorbid dinitrat (ISDN), fungsi ginjal perlu diperhatikan sebab obat ini
memiliki jalur ekskresi renal.
3. Morfin
Merupakan analgesik pilihan dalam mengatasi nyeri dada STEMI. Morfin
diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
hingga total dosisnya 20 mg. Efek samping yang harus dipantau yaitu
konstriksi vena dan arteriol yang dapat menurunkan curah jantung dan
tekanan arteri, serta efek vagotonik yang menyebabkan bradikardi. Hal ini
dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg intravena.
4. Aspirin
Aspirin dapat diberikan secara bukkal dengan dosis 160-325 mg di instalasi
gawat darurat. Selanjutnya, aspirin diberikan per oral dengan dosis 75-162
mg.
22
5. Beta blocker
Beta blocker intravena yang dapat diberikan yaitu metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit dengan syarat: frekuensi jantung lebih dari 60 per menit, tekanan
sistolik lebih dari 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Pada 15 menit setelah dosis IV terakhir,
dilanjutkan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam,
dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
6. Reperfusi
Terapi reperfusi diindikasikan pada pasien dengan nyeri dada kurang dari 12
jam dan dengan elevasi segmen ST yang persisten atau adanya left bundle
branch block yang baru terjadi. Reperfusi dapat dilakukan secara mekanis
dengan percutaneous coronary interventions (PCI) atau secara farmakologis.
Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
PCI merupakan tatalaksana pilihan segera setelah kontak dengan tim medis,
apabila dilakukan oleh tenaga yang terlatih. Waktu sejak pertama
mendapatkan bantuan medis hingga inflasi balon tidak boleh lebih dari 2 jam
dan pada pasien dengan infark luas yang memiliki risiko perdarahan rendah,
harus dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 90 menit. Adapun terapi
pendukungnya berupa terapi antiplatelet dan antithrombin.
Terapi antiplatelet meliputi:
- Aspirin (dosis oral 150-325 mg atau dosis IV 250-500 mg)
- Clopidogrel loading dose (300 mg, atau 600 mg)
Terapi antithrombin meliputi:
- Heparin
- Bivalirudin
23
- Fondaparinux
Terapi fibrinolitik
Apabila terapi dengan PCI tidak dapat dikerjakan, maka dapat dilakukan
terapi fibrinolitik, dengan pemberian agen spesifik fibrin (alteplase, reteplase,
tenecteplase, streptokinase) serta terapi antiplatelet dan antithrombin sebagai
berikut:
- Aspirin oral atau IV
- Clopidogrel oral loading dose pada pasien usia < 75 tahun, maintenance
dose pada pasien > 75 tahun.
- Enoxaparin IV bolus, diikuti dosis subcutan pertama 15 menit kemudian,
pada usia > 75 tahun tanpa dosis intravena dan setengah dosis subcutan
pertama.
- Heparin bolus IV sesuai berat badan diikuti infus IV sesuai berat badan,
dengan kontrol aPTT pertama 3 jam setelah pemberian.
Terapi fibrinolitik memiliki beberapa kontraindikasi, seperti stroke
hemoragik, stroke iskemik, trauma atau neoplasma sistem saraf pusat, riwayat
cedera atau trauma kepala dalam 3 minggu sebelumnya, riwayat perdarahan
gastrointestinal dalam 1 bulan sebelumnya, dan riwayat penyakit kelainan
darah.
2. Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin adalah keluarnya kemih di luar kemauan tanpa dapat
dikendalikan. Aliran urin saat berkemih teratur, sebab vesika urinaria mengalami
penyesuaian volume isian, dengan tekanan yang tetap, sedangkan pada uretra
terdapat tahanan yang memiliki tekanan yang lebih besar daripada tekanan di
24
vesika urinaria. Apabila mekanisme tahanan uretra terganggu, dapat terjadi
inkontinensia pada saat peningkatan tekanan vesika urinaria, hal ini disebut
inkontinensia stres. Sedangkan pada peningkatan aktivitas otot detrusor di
dinding vesika urinaria, dapat terjadi keinginan berkemih yang sangat mendesak,
yang disebut inkontinensia urgensi.
Pada inkontinensia urgensi, penyebabnya tidak begitu jelas. Terkadang dapat
ditemukan kelainan urologis atau kelainan neurologis. Pada kelainan urologis,
infeksi saluran kemih, stenosis uretra, dan pembesaran kelenjar prostat
merupakan pencetus sensitivitas yang berlebihan pada otot detrusor. Kelainan
neurologis dapat ditemukan juga pada inkontinensia urgensi. Inkontinensia
urgensi sering disaertai dengan polakisuria dan enuresis nokturna. Inkontinensia
urgensi dapat ditatalaksana dengan mengatasi kelainan penyebab, atau secara
simptomatis dengan pemberian parasimpatolitik.
Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) dibagi menjadi dua kategori, yaitu infeksi saluran
bawah (urethritis dan sistitis), dan infeksi saluran atas (pielonefritis akut,
prostatitis, dan abses intrarenal dan perinefrik). Pada usia lanjut, infeksi saluran
kemih bersama dengan retensi urin menjadi salah satu kegawatan genitourinarius.
ISK merupakan infeksi terbanyak kedua pada pasien geriatri setelah pneumonia.
Dari segi mikrobiologi, infeksi saluran kemih ditegakkan bila terdapat
mikroorganisme lebih dari 105 per ml dari urin pancar tengah. Etiologi ISK
meliputi bakteri Eschericia coli, Proteus, Klebsiella, dan Enterobacter. Faktor
predisposisi ISK yaitu:
a. Jenis kelamin dan aktivitas seksual
25
Uretra wanita lebih mudah terkolonisasi kuman karena jaraknya lebih dekat
dengan anus, lebih pendek, dan terletak dekat dengan labia. Pada pria, jarang
terdapat ISK di usia < 50 tahun tanpa riwayat hubungan seksual per rektal,
tetapi kejadian ISK meningkat pada pria dengan obstruksi uretra yang
disebabkan oleh hipertrofi prostat.
b. Kehamilan
c. Obstruksi
Adanya hambatan aliran urin pada kondisi tumor, striktur, batu saluran
kemih, atau hipertrofi prostat menimbulkan hidronefrosis dan meningkatkan
frekuensi kejadian ISK.
d. Disfungsi neurogenik vesika urinaria
e. Refluks vesikoureter
Tanda dan gejala ISK tergantung pada lokasi infeksi. Pada ISK atas, gejala
yang sering muncul yaitu demam tinggi disertai menggigil dan sakit pinggang.
Pada ISK bawah, didapatkan nyeri suprapubik, polakisuria, nokturia, disuria, dan
stranguria. Tanda non spesifik meliputi inkontinensia urin, malaise, dan
kelemahan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan yaitu urin rutin, pemeriksaan
mikroskopis urin, kultur urin, serta jumlah kuman/mL urin.
Tatalaksana infeksi saluran kemih bagian bawah meliputi intake cairan yang
cukup, antibiotika yang adekuat, dengan pilihan tunggal seperti ampisilin 3 gram
atau trimetoprim 200 mg. Pada ISK atas, dianjurkan pemberian antibiotik
intravena sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum mikroorganisme
penyebabnya diketahui, yaitu fluorokuinolon, aminoglikosida dengan atau tanpa
ampisilin, dan sefalosporin dengan spektrum luas atau tanpa aminoglikosida.
26
3. Hipertensi
Hipertensi menggandakan risiko penyakit kardiovaskuler, seperti penyakit
jantung koroner (PJK), gagal jantung kongestif (congestive heart failure – CHF),
stroke iskemik dan hemoragik, gagal ginjal, dan penyakit arteri perifer.
Hipertensi sering terkait dengan faktor risiko tambahan pada penyakit
kardiovaskuler. Walaupun terapi antihipertensi telah terbukti menurunkan risiko
penyakit ginjal dan kardiovaskuler, sebagian besar populasi penderita masih tidak
tertangani atau belum cukup tertangani.
Tekanan darah pada dewasa usia 18 tahun ke atas diklasifikasikan oleh JNC 7
sebagai berikut:
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Pre Hipertensi 120 – 139 atau 80 – 89
Hipertensi stage I 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi stage II ≥ 160 atau ≥ 100
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi
esensial. Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktor yang muncul karena
adanya interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu, seperti:
1. Diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, genetis
2. Sistem saraf simpatis (tonus simpatis, variasi diurnal)
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin,
angiotensin, dan aldosteron
27
Evaluasi hipertensi
Tujuan evaluasi hipertensi adalah untuk menilai gaya hidup dan
mengidentifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskuler lainnya, atau menilai adanya
penyakit penyerta. Anamnesis yang dilakukan meliputi lama pasien menderita
hipertensi dan derajat tekanan darah, indikasi hipertensi sekunder, faktor-faktor
risiko, gejala kerusakan organ, dan pengobatan antihipertensi sebelumnya.
Dalam pemeriksaan tekanan darah, dilakukan pada posisi duduk di kursi
setelah pasien istirahat selama 5 menit, kaki dan lengan pada posisi setinggi
jantung. Untuk orang usia lanjut, diabetes dan kondisi lain yang diduga hipotensi
ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran pada saat berdiri. Pemeriksaan
penunjang pada pasien hipertensi terdiri dari:
- tes darah rutin
- glukosa darah
- kolesterol total serum
- kolesterol HDL dan LDL serum
- trigliserida serum
- asam urat serum
- kreatinin serum
- kalium serum
- hemoglobin dan hematokrit
- urinalisis
- elektrokardiogram
Evaluasi juga dibutuhkan untuk menentukan adanya penyakit sistemik yang
menyertai, misalnya aterosklerosis lewat pemeriksaan profil lemak, diabetes
28
dengan pemeriksaan gula darah, atau fungsi ginjal melalui pemeriksaan
proteinuria, kreatinin serum, dan memperkirakan laju filtrasi glomerulus.
Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target, meliputi
jantung, pembuluh darah, otak, mata, dan fungsi ginjal juga dapat
dipertimbangkan.
Pengobatan
Tujuan pengobatan hipertensi adalah:
- menurunkan tekanan darah menjdai < 140/90 mmHg, dan pada individu
berisiko tinggi mencapai < 130/80 mmHg.
- Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
- Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
Pengobatan pada pasien hipertensi meliputi terapi nonfarmakologis dan
farmakologis. Terapi nonfarmakologis perlu dilakukan oleh semua pasien, terdiri
dari:
- penghentian merokok
- penurunan berat badan yang berlebih
- pengurangan konsumsi alkohol
- latihan fisik
- pengurangan asupan garam
- peningkatan konsumsi buah, sayur, dan penurunan asupan lemak
Menurut JNC 7 terdapat beberapa jenis obat antihipertensi yang
direkomendasikan sebagai terapi farmakologis:
- diuretika golongan thiazide atau aldosteron antagonist
- beta blocker (BB)
- calcium channel blocker (CCB)
29
- angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor
- angiotensin receptor blocker (ARB)
Berikut merupakan tabel indikasi dan kontraindikasi jenis obat antihipertensi
menurut ESH.
Jenis Obat IndikasiKontraindikasi
MutlakKontraindikasi Tidak Mutlak
Diuretika thiazide
gagal jantung kongestif, usia lanjut, hipertensi isolated systolic
gout kehamilan
Diuretika loop insufisiensi ginjal, gagal jantung kongestif
Diuretika anti aldosteron
gagal jantung kongestif, pasca infark miokardium
gagal ginjal, hiperkalemia
Beta blocker angina pektoris, pasca infark miokardium, gagal jantung kongestif, kehamilan, takiaritmia
asma, PPOK, AV block derajat 2 atau 3
penyakit pembuluh darah perifer, intoleransi glukosa, atlit atau pasien yang aktif secara fisik
Calcium antagonist dihydropiridine
usia lanjut, hipertensi isolated systolic, angina pektoris, penyakit pembuluh darah perifer, aterosklerosis karotis, kehamilan
takiaritmia, gagal jantung kongestif
Calcium antagonist (verapamil, diltiazem)
angina pektoris, aterosklerosis karotis, takikardia supraventrikuler
AV block derajat 2 atau 3, gagal jantung kongestif
ACE inhibitor gagal jantung kongestif, disfungsi ventrikel kiri, pasca infark miokardium, non-diabetik nefropati, nefropati DM tipe 1, proteinuria
kehamilan, hiperkalemia, stenosis arteri renalis bilateral
Angiotensin II receptor antagonist
nefropati DM tipe 2, mikroalbuminuria diabetik, proteinuria, hipertrofi ventrikel kiri
kehamilan, hiperkalemia, stenosis arteri renalis bilateral
α- blocker hiperplasia prostat (BPH), hiperlipidemia
hipotensi ortostatis
gagal jantung kongestif
Terapi kombinasi dapat diterapkan untuk mencapai target penurunan tekanan
darah, dan kombinasi yang dapat ditoleransi pasien dan memiliki efektivitas baik
yaitu:
- diuretika dan ACEI atau ARB
30
- CCB dan BB
- CCB dan ACEI atau ARB
- CCB dan diuretika
- AB dan BB
Pengobatan anti hipertensi umumnya dilakukan seumur hidup. Untuk itu perlu
adanya pemantauan agar dapat mengatur dosis obat hingga target tekanan darah
tercapai.
4. Pneumonia
Istilah pneumonia digunakan untuk mendefinisikan terjadinya peradangan
oleh proses infeksi akut. Saat ini dikenal dua kelompok utama yaitu pneumonia di
rumah perawatan (Healthcare Associated Pneumonia – HAP) dan pneumonia
komunitas (Community Associated Pneumonia – CAP). CAP adalah pneumonia
yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan HAP adalah pneumonia
yang terjadi > 48 jam setelah dirawat di RS, baik di ruang rawat umum maupun
ICU, tetapi yang tidak menggunakan ventilator.
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang
jelas, tetapi pada kebanyakan pasien dewasa, dapat ditemukan adanya penyakit
dasar yang mengganggu daya tahan tubuhnya. Pneumonia semakin sering
dijumpai pada orang-orang usia lanjut dan sering terjadi pada penderita penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK). Selain itu pneumonia juga dapat ditemukan pada
penderita diabetes melitus, payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan,
insufisiensi renal, penyakit saraf kronik, dan penyakit hati kronik.
31
Etiologi pneumonia berbeda-beda sesuai dengan pola kuman di tempat pasien
tertular. Pada CAP, etiologi umumnya adalah S. pneumoniae, H. influenzae, dan
M. pneumoniae. Setiap jenis kuman memiliki bentuk terapi tertentu.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda-tanda klasik seperti demam,
sesak napas, tanda konsolidasi paru (perkusi paru pekak, ronkhi nyaring, suara
pernapasan bronkial). Gejala yang tidak khas dapat dijumpai pada CAP sekunder
ataupun HAP. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan yaitu pemeriksaan
X foto thorax, dengan gambaran air bronkhogram, bronkopneumonia, maupun
pneumonia interstitial, serta adanya distribusi infiltrat pada segmen-segmen paru.
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis, dan faal hati
mungkin terganggu. Pemeriksaan bakteriologis perlu dilakukan untuk
menentukan kuman yang predominan pada sputum penderita, dan kultur
merupakan pemeriksaan yang bermanfaat untuk evaluasi selanjutnya.
Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA), terdapat beberapa hal
yang perlu dievaluasi saat pasien dengan kecurigaan pneumonia datang ke rumah
sakit, yang disebut CURB-65. Hal ini berkaitan dengan peningkatan mortalitas
atau komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien tersebut. CURB-65 meliputi:
- Confusion atau penurunan kesadaran
- Uremia dengan kadar urea > 7 mmol/L
- Respiratory rate > 30 kali/menit
- Blood pressure atau tekanan darah sistolik < 90 mmHg dan diastolik < 60
mmHg
- Usia di atas 65 tahun.
Terapi empiris untuk pneumonia yang belum ditentukan jenis kumannya
dibagi atas tiga kategori:
32
1. Pasien rawat jalan
Diberikan per oral, dengan pilihan antibiotik golongan makrolida, doksisiklin
untuk pasien tanpa komorbid. Pada pasien dengan komorbid, dapat diberikan
fluorokuinolon, atau makrolida dengan beta laktam.
2. Pasien rawat inap non ICU
Antibiotik pilihan yaitu fluorokuinolon, makrolida dengan beta laktam, dan
cephalosporin generasi kedua. Terapi diberikan secara intravena.
3. Pasien rawat inap ICU
Digunakan antibiotik beta laktam dengan azitromisin atau fluorokuinolon
secara intravena.
Terapi antimikroba sesuai dengan kuman etiologi pneumonia terdapat pada
tabel berikut:
Kuman Etiologi Antimikroba
S. pneumoniae nonresisten penicilin
S. pneumoniae resisten penicilin
Penicilin G, Amoxicilin
Cefotaxim, Ceftriaxone, Fluoroquinolone
H. influenzae non beta laktamase
H. influenzae beta laktamase
Amoxicilin
Cefalosporin gen. 2 atau 3, Amoxicilin +
asam klavulanat
M. pneumoniae / C. pneumoniae Fluoroquinolone, Azithromisin
Durasi terapi minimal selama 5 hari, dengan kondisi sebelum pulang harus
afebris selama 48-72 jam. Pasien dianggap stabil secara klinis apabila suhu tubuh
≤ 37,8o C, denyut nadi ≤ 100 kali/menit, laju napas ≤ 24 kali/menit, tekanan darah
sistolik ≥ 90 mmHg, saturasi oksigen ≥ 90%, dan pO2 ≥ 60 mmHg.
33
5. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru (TB) merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Pada dewasa, umumnya terjadi
tuberkulosis pasca primer di mana kuman yang dorman pada tuberkulosis primer
dapat muncul sebagai infeksi endogen, dengan mayoritas reinfeksi mencapai
90%. Hal ini dapat terjadi karena adanya penurunan imunitas seperti pada
keadaan malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, HIV/AIDS, diabetes, dan gagal
ginjal. Tuberkulosis pasca primer dimulai dengan sarang dini di regio atas paru
dan invasi ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Selanjutnya dapat terbentuk tuberkel, yaitu granuloma yang terdiri dari sel
histiosit dan datia-langhans yang dikelilingi limfosit dan jaringan ikat.
Selanjutnya, sarang ini dapat menjadi sembuh kembali karena adanya reabsorbsi
tanpa meninggalkan cacat, atau dapat menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis, dan meninggalkan kalsifikasi. Hal ini tergantung pada jumlah kuman,
virulensi, dan imunitas pasien. Berdasarkan terapi, WHO membagi TB dalam 4
kategori:
Kategori I untuk kasus baru dengan sputum positif dan dengan bentuk TB
berat;
Kategori II untuk kasus kambuh dan kasus gagal dengan sputum BTA
positif;
Kategori III untuk kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak
luas, dan kasus TB ekstra paru selain pada kategori I;
Kategori IV untuk TB kronik.
Gejala yang dapat dijumpai adalah demam subfebril, batuk atau batuk darah,
sesak napas, nyeri dada, malaise, dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan
34
fisik sering terjadi kondisi asimtomatik, bila ada infiltrat paru yang luas,
didapatkan perkusi redup dan suara napas bronkial. Dapat juga dijumpai suara
napas tambahan berupa ronkhi basah kasar yang nyaring. Pada pemeriksaan
radiologis dapat ditemukan gambaran lesi kavitas, sarang-sarang TB berupa
bercak-bercak dengan batas tidak tegas, dan pada TB lama dapat ditemukan
gambaran bercak kalsifikasi dengan densitas tinggi.
Pemeriksaan sputum penting untuk dikerjakan karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis TB dapat ditegakkan. Kriteria sputum BTA positif adalah
apabila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan,
atau sekitar 5000 kuman dalam 1 ml sputum. Namun WHO memberikan kriteria
diagnosis TB dari sputum, yaitu:
- pasien dengan sputum BTA positif: ditemukan BTA secara mikroskopis
sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan, atau satu sediaan
sputumnya positif dengan gambaran radiologis sesuai TB aktif, atau satu
sediaan sputumnya positif dengan biakan yang positif
- pasien dengan sputum BTA negatif: pasien yang tidak ditemukan BTA
pada 2 kali pemeriksaan mikroskopis tetapi memiliki gambaran radiologis
sesuai TB aktif, atau pasien yang tidak ditemukan BTA pada pemeriksaan
sputum mikroskopis tetapi biakannya positif.
Terapi pada TB paru sesuai dengan kategori yang telah disebutkan di atas
tersusun pada tabel berikut:
Kategori Pasien TB Resimen fase awal Resimen fase lanjut
1 TB positif baru, TB berat, TB
ekstra paru berat
2 SHRZ (ERHZ)
2 SHRZ (ERHZ)
2 SHRZ (ERHZ)
6 HE
4 HR
4 H3R3
2 Relaps, kegagalan pengobatan 2 SHZE/ 1 HRZE 5 H3R3E3
35
2 SHZE/ 1 HRZE
5 HRE
3 TB sputum negatif, TB ekstra
paru
2 HRZ atau 2 H3R3E3
2 HRZ atau 2 H3R3E3
2 HRZ atau 2 H3R3E3
6 HE
2 HR/4H
2 H3R3/ 4H
4 Kasus kronis tidak dapat diaplikasikan (pertimbangkan
obat-obatan lini kedua)
S: streptomisin, H: isoniazid, R: rifampisin, Z: pirazinamid, E: etambutol
Evaluasi pengobatan dilakukan secara klinis, bakteriologis, dan radiologis.
Secara klinis, pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya tiap 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir
pengobatan. Secara bakteriologis, evaluasi sputum dilakukan pada akhir bulan ke
2, 4, dan 6. Bila sudah negatif, pemeriksaan BTA tetap dilanjutkan sedikitnya
sampai 3 kali berturut-turut. Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis
dan radiologis tidak, harus dicurigai penyakit selain TB paru.
36
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini dilaporkan seorang laki-laki usia 81 tahun dengan ST Elevation
Myocardial Infarction (STEMI), inkontinensia urin, hipertensi stage II, infiltrat paru,
dan azotemia. Pasien datang 21 Desember 2012 dengan keluhan nyeri dada kiri,
menjalar ke tengkuk, dada kanan, bahu kiri dan kanan serta epigastrium, hilang timbul
dan tidak berkurang dengan istirahat. Pasien juga mengeluhkan nyeri saat kencing,
anyang-anyangan dan kencing menetes tidak dapat ditahan, sesak napas, sakit kepala,
berdebar-debar, batuk, keringat dingin, dan demam.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 2 Januari 2013 (12 hari setelah pasien masuk
RSDK) didapatkan keadaan umum baik, dengan nadi 92 kali per menit, laju
pernapasan 24 kali/menit, tekanan darah 140/70 mmHg, dan suhu 36,6o C aksiler.
Pada paru didapatkan suara dasar vesikuler dengan suara tambahan ronkhi basah
kasar di lapangan paru kiri dan kanan, baik depan maupun belakang. Pada jantung
didapatkan ictus cordis berada pada SIC V linea midclavicularis sinistra.
Hasil pemeriksaan hematologi pada tanggal 21 Desember 2012 menunjukkan
leukositosis (12.500/mmk), pemeriksaan kimia klinik menunjukkan peningkatan
ureum, kreatinin, CK-MB, dan troponin T. Pada pemeriksaan elektrokardiografi
didapatkan hasil kesan STEMI anterolateral, dan hasil foto thorax pada tanggal 22
Desember 2012 menunjukkan gambaran kardiomegali dan infiltrat pada parakardial
kanan dan kiri. Dari USG didapatkan kesan pembesaran prostat, dan funduskopi
didapatkan hasil ODS retinopati hipertensi grade II dengan arteriolosclerosis grade II.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang di atas,
didapatkan beberapa diagnosis. Diagnosis STEMI pada kasus ini didasarkan pada
37
anamnesis nyeri dada yang khas, gambaran elevasi segmen ST pada
elektrokardiografi, dan peningkatan petanda nekrosis miokardium CK-MB dan
troponin. Penatalaksanaan STEMI pada pasien ini meliputi pemberian oksigen 3 lpm
nasal kanul, aspirin per oral (aspilet) dengan dosis 80 mg, ISDN 5 mg sebanyak 3 kali
sehari dan terapi antithrombin dengan heparinisasi bolus 4000 U, diberikan 750
U/jam. Terapi pendukung dilakukan dengan pemberian antiplatelet Clopidogrel
loading dose sebesar 300 mg. Evaluasi dilakukan dengan pemeriksaan PTTK per 12
jam. Pasien diberikan edukasi untuk melapor jika kembali terjadi nyeri dada.
Diagnosis inkontinensia urin didasarkan pada keluhan kencing menetes-netes
dan tidak dapat ditahan, faktor risiko usia lanjut, dengan adanya urgensi serta disuria,
dan gambaran pembesaran prostat pada USG abdomen, diambil diagnosis banding
inkontinensia urgensi akibat hiperplasia prostat (BPH) dan infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan lebih lanjut meliputi pemeriksaan patologi
anatomi, urin rutin, dan kultur urin.
Diagnosis hipertensi didasarkan pada riwayat sakit darah tinggi kurang lebih
10 tahun dengan pengobatan yang tidak rutin dijalankan, hasil pemeriksaan tekanan
darah 140/70 mmHg, serta retinopati hipertensi grade II pada hasil funduskopi. Perlu
dievaluasi apakah temuan hipertrofi ventrikel kiri berkaitan dengan hipertensi yang
diderita oleh pasien. Penatalaksanaan hipertensi pada pasien ini adalah dengan
pengaturan diet rendah garam dan kombinasi terapi ACE inhibitor (Captopril) dan
aldosterone receptor blocker/ARB (Spironolakton). Hal ini sesuai dengan kondisi
pasien pasca infark miokardium dan dengan hipertrofi ventrikel kiri. Edukasi pada
pasien meliputi edukasi diet sehat dan perbaikan gaya hidup, serta konsumsi obat dan
kontrol teratur sesuai jadwal.
38
Adanya gejala demam, sesak napas, dan batuk, temuan ronkhi basah kasar
pada pemeriksaan fisik, dan hasil X foto thoraks yang mengesankan adanya gambaran
infiltrat parakardial kanan-kiri dan TB paru dengan fibrosis memunculkan masalah
infiltrat paru dengan diagnosis banding pneumonia dan tuberkulosis. Keduanya
merupakan infeksi oleh bakteri, dan penanganan awal dari masalah ini adalah dengan
pemberian antibiotik spektrum luas yaitu Ceftriaxone, sambil menunggu hasil
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan sputum BTA, pengecatan Gram, jamur,
dan kultur sputum. Apabila ditemukan pneumonia beserta kuman etiologinya, terapi
segera disesuaikan dengan kuman etiologi yang didapat. Jika diagnosis yang
diperoleh adalah tuberkulosis paru, pengobatan mengikuti resimen yang telah
direkomendasikan.
Pada pemeriksaan hematologi, didapatkan peningkatan ureum dan kreatinin
yang mengarah pada azotemia. Penyebab azotemia dapat berasal dari pre renal
(adanya dehidrasi, kurangnya intake cairan), renal (pada gagal ginjal, nefritis akut)
maupun pada post renal (infeksi saluran kemih, obstruksi saluran kemih). Untuk
menentukan etiologinya, diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya berupa urin rutin.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Tessy A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai penerbit FK
UI. 2006: 1079-1085.
2. Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai penerbit FK UI.
2006: 1741-1754.
3. Dahlan Z. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Balai penerbit FK
UI. 2006: 2196-2210.
4. Amin Z, Bahar A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai
penerbit FK UI. 2006: 2230-2247.
5. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Harrison’s Manual of Medicine 16th ed. Boston: McGraw-Hill International
Edition. 2002.
6. Gardjito W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit EGC. 2005: 792-793.
7. ESC Task Force. ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart
Journal (2012) 33, 2569–2619.
8. Banerjee AK, Kumar S. Guidelines for management of acute myocardial
infarction. Supplement to JAPI volume 59. 2011.
9. Infectious Diseases Society of America. Infectious Diseases Society of
America/ American Thoracic Society consensus guidelines on the
management of community-acquired pneumonia in adults. Clinical infectious
diseases. 2007; 44: S27-72.
40
CATATAN KEMAJUAN
Tanggal Problem Subyektif / Obyektif Assessment Terapi Program
22
Desember
2012
1. STEMI
2. Inkontinensia
urin
3. Hipertensi
stage II
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
S: pasien mengeluh sesak napas, nyeri dada (-)
O: elektrokardiografi, X foto thorax, funduskopi
Irama: sinus rhythmFrekuensi: 100 x/menitAxis: left axis deviation, zona transisi V4Gelombang P: P mitral/P pulmonal (-)PR interval: 0,16 detikQRS complex: 0,06 detik, poor R wave progression (+)Q patologis: -Segmen ST: ST elevasi pada lead I, aVL, V1-V6, depresi pada lead II, III, aVFGelombang T: inverted (-), tall T (-)Kriteria LVH/RVH: S V1 + R V6 < 35 mmKesan: STEMI anterolateral
EKG: STEMI
anterolateral
X Foto Thorax:
infiltrat pada
parakardial
kanan-kiri
Funduskopi:
retinopati
hipertensi grade
II
- Oksigen 3 lpm
- Diet lunak 1800
kkal rendah garam
- Infus RL 20 tpm
- Heparinisasi bolus
4000 U (750
U/jam)
- Clopidogrel 300
mg
- Aspilet 1x80 mg
- ISDN 3x5 mg
- Captopril 3x25 mg
- Inj. Ceftriaxone
1x2 gram IV
- Ambroxol 3x30
mg
- Rawat subbag
kardio
- KUTV/6 jam
- BC/24 jam
- PTTK/12 jam
- EKG/ hari
- Profil lipid,
asam urat, PSA
- Urin rutin
- Ureum
kreatinin
- Sputum BTA,
Gram, jamur,
kultur sputum
- Ekokardiografi
- Pertahankan
oksigenasi
24
Desember
2012
1. STEMI
2. Inkontinensia
urin
3. Hipertensi
stage II
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
S: sesak napas, sulit BAK
O: elektrokardiografi
Irama: sinus rhythmFrekuensi: 100 x/menitAxis: left axis deviation, zona transisi V4Gelombang P: P mitral/P pulmonal (-)PR interval: 0,16 detikQRS complex: 0,08 detik, poor R wave progression (+)Q patologis: V1-V2
Segmen ST: ST elevasi pada lead I, aVL, V2-V6
Gelombang T: inverted (-), tall T (-)Kriteria LVH/RVH: S V1 + R V6 < 35 mm
Kesan: STEMI anterolateral dalam evolusi
- Oksigen 3 lpm
- Diet lunak 1800
kkal rendah garam
- Infus RL 20 tpm
- Heparinisasi bolus
4000 U (750
U/jam)
- Clopidogrel 300
mg
- Aspilet 1x80 mg
- ISDN 3x5 mg
- Captopril 3x25 mg
- Inj. Ceftriaxone
1x2 gram IV
- Ambroxol 3x30
mg
- Furosemide 2
ampul
- KUTV/6 jam
- BC/24 jam
- PTTK/12 jam
- EKG/ hari
- BGA cito
- Nebul
lengkap/4 jam
- Diuresis/6 jam
- Pasang DC
42
26
Desember
2012
1. STEMI
2. Inkontinensia
urin
3. Hipertensi
stage II
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
S: sesak napas berkurang
O: elektrokardiografi
Irama: sinus rhythmFrekuensi: 94 x/menitAxis: left axis deviation, zona transisi V4Gelombang P: P mitral/P pulmonal (-)PR interval: 0,12 detikQRS complex: 0,08 detik, poor R wave progression (+)Q patologis: -Segmen ST: ST elevasi pada lead II, aVF, V1-V4
Gelombang T: inverted (-), tall T (-)Kriteria LVH/RVH: S V1 + R V6 < 35 mmKesan: STEMI anterolateral
- Oksigen 3 lpm
- Diet lunak 1800
kkal rendah garam
- Infus RL 20 tpm
- Aspilet 1x80 mg
- ISDN 3x5 mg
- Captopril 3x25 mg
- Inj. Ceftriaxone
1x2 gram IV
- Ambroxol 3x30
mg
- Furosemide injeksi
2x20 mg IV
- Simvastatin
- KUTV/6 jam
- BC/24 jam
- Stop heparin
- EKG/hari
43
28
Desember
2012
1. STEMI
2. Inkontinensia
urin
3. Hipertensi
stage II
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
S: sesak semakin berkurang
O: X foto thorax
- Diet lunak 1800
kkal rendah garam
- Infus RL 20 tpm
- Aspilet 1x80 mg
- ISDN 3x5 mg
- Captopril 3x25 mg
- Inj. Ceftriaxone
1x2 gram IV
- Ambroxol 3x30
mg
- Spironolakton
1x25 mg
- KUTV/6 jam
- BC/24 jam
- Stop
furosemide
- EKG/hari
44
3 Januari
2013
1. STEMI
2. Inkontinensia
urin
3. Hipertensi
stage II
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
S: sesak (-), batuk (-)
O: elektrokardiografi (hasil tgl 1 Jan 2013)
Irama: sinus rhythmFrekuensi: 88 x/menitAxis: left axis deviation, zona transisi V4Gelombang P: P mitral/P pulmonal (-)PR interval: 0,16 detikQRS complex: 0,08 detik, poor R wave progression (+)Q patologis: -Segmen ST: ST elevasi pada lead V2-V4
Gelombang T: inverted (-), tall T (-)Kriteria LVH/RVH: S V1 + R V6 < 35 mmKesan: STEMI anterolateral dalam evolusi
- Diet lunak 1800
kkal rendah garam
- Infus RL 20 tpm
- Aspilet 1x80 mg
- ISDN 3x5 mg
- Captopril 3x25 mg
- Inj. Ceftriaxone
1x2 gram IV
- Ambroxol 3x30
mg
- Spironolakton
1x25 mg
Boleh pulang.
Obat yang
dibawa:
- Levofloxacin
1x1
- Aspilet 1x80
mg
- ISDN 3x5 mg
- Ambroxol
3x30 mg
- Captopril 3x25
mg
- Spironolakton
1x25 mg
45
46