Pterigium Akibat Benda Iritasi Saat Kerja
-
Upload
gerald-lagi-ngantuk -
Category
Documents
-
view
247 -
download
7
description
Transcript of Pterigium Akibat Benda Iritasi Saat Kerja
Pterigium Akibat Benda Iritasi Saat Kerja
Rina Purnawati*
102010073
A6
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6, Jakarta 1150
*Email : [email protected]
Tanggal Pembuatan : 07 Oktober 2013
Pendahuluan
Pterigium adalah pertumbuhan berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi, kelainan ini berupa
pertumbuhan berbentuk segitiga horizotal dari jaringan abnormal yang invasi ke kornea dari
regio canthus pada konjungtiva bulbi. Berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada
pertumbuhan pterigium yang lanjut, serta memerlukan tindakan pembedahan untuk
memperbaiki pernglihatan dari orang sakit. Distribusi pterigium tersebar diseluruh dunia
tetapi lebih sering terjadi pada daerah yang mempunyai iklim kering. Prevalensi pada daerah
ekuator sebanyak 22% dan kurang dari 2% didaerah lintang diatas 400.
1 | P a g e
Tinjauan Pustaka
Skenario
Seorang perempuan, Ny CT, 41 tahun, datang karena penglihatan mata kanan kabur
Mind Map
Tujuh Langkah Diagnosis
Ada 7 langkah untuk mendiagnosis suatu penyakit akbita kerja, yang disebut dengan 7
langkah diagnosis okupasi. Diagnosis penyakit akibat kerja adalah landasan terpenting bagi
manajemen penyakit tersebut promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Diagnosis penyakit
akibat kerja juga merupakan penentu bagi dimiliki atau tidak dimilikinya hak atas manfaat
jaminan penyakit akibat kerja yang tercakup dalam program jaminan kecelakaan kerja.
Sebagaimana berlaku bagi smeua penyakit pada umumnya, hanya dokter yang kompeten
membuat diagnosis penyakit akibat kerja. Hanya dokter yang berwenang menetapkan suatu
penyakit adalah penyakit akibat kerja. Tegak tidaknya diagnosis penyakit akibat kerja sangat
tergantung kepada sejauh mana metodologu diagnosis penyakit akibat kerja dilaksanakan
oleh dokter yang bersangkutan.1
2 | P a g e
Pencegahan
Pria dengan kesemutan pada kedua lengan setelah diberi terapi TBC.
Tata LaksanaFaktor Penyebab
Identifikasi PAK
7 langkah diagnosis
Cara menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja mempunyai kekhususan apabila
dibandingkan terhadap diagnosis penyakit pada umumnya. Untuk diagnosis penyakit akibat
kerja, anamnesis dan pemeriksaan klinis serta laboratoris yang biasa digunakan bagi
diagnosis penyakit pada umumnya belum cukup, melainkan harus pula dikumpulkan data dan
dilakukan pemeriksaan terhadap tempat kerja, aktivitas pekerjaan dan lingkungan kerja guna
memastikan bahwa pekerjaan atau lingkungan kerja adalah penyebab penyakit akibat kerja
yang bersangkutan. Selain itu, anamnesis terhadap pekerjaan baik yang sekrang maupun pada
masa sebelumnya harus dibuat secara lengkap termasuk kemungkinan terhadap terjadinya
paparan kepada faktor mekanis, fisik, kimiawi, biologis, fisiologis/ergonomis, dan mental-
psikologis.
1. Diagnosis Klinis
Anamnesis
Identitas, meliputi : nama, nomor induk pokok, umur, jenis kelamin, jabatan, bagian
kerja, lama bekerja, nama perusahaan, jenis perusahaan dan alamat perusahaan.
Riwayat penyakit : keluhan, RPS (riwayat penyakit sekarang), RPD (riwayat penyakit
dahulu), RPK (riwayat penyakit keluarga)
Riwayat pekerjaan :
o Sudah berapa lama bekerja sekarang
o Riwayat pekerjaan sebelumnya
o Alat kerja, bahan kerja, proses kerja
o Barang yang diproduksi/dihasilkan
o Waktu bekerja sehari
o Kemungkinan pajanan yang dialami
o APD (alat pelindung diri) yang dipakai
o Hubungan gejala dan waktu kerja
o Pekerja lain ada yang menghalami hal sama
Anamnesis tentang riwayat penyakit dan riwayat pekerjaan dimaksudkan untuk mngetahui
kemungkinan salah satu faktor di tempat kerja, pada pekerjaan dan atau lingkungan kerja
menjadi penyebab penyakit akibat kerja. Riwayat penyakit meliputi antara lain awal-mula
timbul gejala atau tanda sakit pada tinggkat dini penyakit, perkembangan penyakit, dan
terutama penting hubungan antara gejala serta tanda sakit dengan pekerjaan dan atau
lingkungan kerja.1
3 | P a g e
Riwayat pekerjaan harus ditanyakan kepada penderita dnegan seteliti-telitinya dari pemrulaan
sekali sampai dengan waktu terakhir bekerja. Jangan sekali-kali hanya mencurahkan
perhatian pada pekerjaan yang dilakukan waktu sekarang, namun harus dikumpulkan
informasi tentang pekerjaan sebelumnya, sebab selalu mungkin bahwa penyakit akibat kerja
yang diderita waktu ini penyebabnya adalah pekerjaan atau lingkungan kerja dari pekerjaan
terdahulu. Hal ini lebih penting lagi jika tenaga kerja gemar pindah kerja dari satu pekerjaan
ke pekerjaan lainnya. Buatlah tabel yang secara kronologis memuat waktu, perusahaan,
tempat bekerja, jenis pekerjaan, aktivitas pekerjaan, faktor dalam pekerjaan atau lingkungan
kerja yang mungkin menyebabkan penyakit akibat kerja. Penggunaan kuesioner yang
direncanakan dengan tepat sangat membantu.1
Perhatian juga diberikan kepada hubungan antara bekerja dan tidak bekerja dengan gejala dan
tanda penyakit. Pada umumnya gejala dan tanda penyakit akibat kerja berkurang, bahkan
kadang-kadang hilang sama sekali, apabila penderita tidak masuk bekerja; gejala dan tanda
itu timbul lagi atau menjaid lebih berat, apabila ia kembali bekerja. Fenomena seperti itu
sangat jelas misalnya pada penyakit dermatosis akibat kerja atau pada penyakit bissinosis
atau asma bronkhiale akibat kerja atau lainnya. Informasi dan dan data hasil pemeriksaan
kesehata khusus sangat penting artinya bagi keperluan menegakkan diagnosis penyakit akibat
kerja. Akan lebih mudah lagi menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja, jika tersedia data
kualitatif dan kuantitatif faktor-faktor dalam pekerjaan dan lingkungan kerja yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja.1
Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan umum dan khusus
Pemeriksaan fisik dimaksudkan untuk menemukan gejala dan tanda yang sesuai untuk suatu
sindrom, yang sering-sering khas untuk suatu penyakit akibat kerja.
Kesadaran
TTV (tanda-tanda vital) berupa tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan frekuensi napas.
Tinggi dan berat badan
Kepala dan muka : rambut, mata (strabismus, refleks pupil, kornea dan konjungtiva),
hidung (mukosa, penciuman, epistaksis, tenggorokan, tonsil, suara), rongga mulut
(mukosa, lidah, gigi), leher (kelenjar gondok), toraks (bentuk, pergerakan, paru,
jantung), abdomen (hati, limpa), genetalia, tulang punggung, ekstremitas
(refleks:fisiologis/patologis, koordinasi otot : tremor, tonus, paresis, paralisis dan lain-
lain).
4 | P a g e
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratoris dimaksudkan untuk mencocokkan benar tidaknya penyebab penyakit
akibat kerja yang bersangkutan ada dalam tubuh tenaga kerja yang menderita penyakit
tersebut. Guna menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja, biasanya tidak cukup sekedar
pembuktian secara kualitatif yaitu tentang adanya faktor penyebab penyakit, melainkan harus
ditunjukkan juga banyaknya atau pembuktian secara kuantitatif. Pemeriksaan laboratoris
berupa pemeriksaan darah, urin, tinja, serta pemeriksaan tambahan /monitoring biologis
berupa pengukuran kadar bahan kimia penyebab sakit di dalam tubuh tenaga kerja misalnya
kadar dalam urin, darah dna sebagainya,
Pemeriksaan rontgen (sinar tembus) sering sangat membantu dalam menegakkan diagnosis
penyakit akibat kerja, terutama untuk penyakit yang disebabkan penimbunan debu dalam
paru dan reaksi jaringan paru terhadapnya sinar tembus baru ada maknanya jika dinilai
dengan riwayat penyakit dan pekerjaan serta hasil pemeriksaan lainnya dan juga data
lingkungan kerja.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah topografi kornea untuk menilai seberapa
besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.
Pemeriksaan tempat kerja
Pemeriksaan tempat dan ruang kerja yang dimaksudkan untuk memastikan adanya faktor
penyebab penyakit di tempat atau ruang kerja serta mengukur kadarnya. Hasil pengukuran
kuantitatif di tempat atau ruang kerja sangat perlu untuk melakukan penilaian dan mengambil
kesimpulan, apakah kadar zat sebagai penyebab penyakit akibat kerja cukup dosisnya atau
tidak untuk menyebab sakit. Meliputi faktor lingkungan kerja yang dapat berpengaruh
terhadap penderita (faktor fisis, kimiawi, biologis, psikososial), faktor cara kerja yang dapat
berpengaruh terhadap sakit penderita (peralatan kerja, proses produksi, ergonomi), waktu
paparan nyata (per hari, perminggu) dan alat pelindung diri.
2. Pajanan yang dialami
Penyakit akibat kerja dapat disebabkan oleh faktor kondisi lingkungan dan manusia. Faktor-
faktor bahaya yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja antara lain adalah :
Faktor fisik, misalnya: penerangan, suara, radiasi, suhu, kelembaban dan tekanan
udara, ventilasi.
Faktor kimia, misalnya : gas, uap, debu, kabut, asap, awan, cairan, abu terbang dan
benda padat.
5 | P a g e
Faktor biologi, misalnya : virus dan bakteri baik dari golongan tumbuhan atau hewan.
Faktor ergonomi atau fisiologis, misalnya : konstruksi mesin, sikap dan cara kerja.
Faktor mental - psikologis, misalnya : suasana kerja, hubungan diantara pekerja dan
pengusaha
Pajanan yang di alami pada kasus ini berupa faktor fisik dan kimia, dimana pajanan faktor
fisik yang berupa radiasi dari sinar UVB, dan pajanan faktor kimia adalah asap dan debu dari
sekitar tempat Ny. CT berdagang.
3. Hubungan pajanan dengan penyakit
Untuk mengetahui hubungan pajanan dengan penyakit dilakukan identifikasi pajanan yang
ada. Evidence based berupa pajanan yang menyebabkan penyakit. Kemudian perlu diketahui
hubungan gejala dan waktu kerja, pendapat pekerja (apakah keluhan/gejala ada hubungan
dengan pekerjaan).
Pterygium memiliki beberapa faktor resiko, yaitu
Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa
tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.
Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.
Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini
meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir
menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih
tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya
pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar
dibandingkan daerah yang lebih selatan.
Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
6 | P a g e
Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.
Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap
rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium.
Dari faktor-faktor resiko tersebut terlihat bahwa terdapat hubungan dari pajanan pada Ny. CT
( radiasi UVB , debu, asap) berhubungan dengan penyakitnya.
4. Pajanan yang dialami cukup besar
Mencari tahu patofisiologis penyakitnya, bukti epidemiologis, kualitatif berupa cara atau
proses kerja, lama kerja, lingkungan kerja. Kemudian dilakukan observasi tempat dan
lingkungan kerja, pemakaian APD, serta jumlah pajanan berupa data lingkungan,
data ,monitoring biologis serta hasil surveilans.
5. Peranan faktor individu
Berupa status kesehatan fisik adakah alergi/atopi, riwayat penyakit dalam keluarga, serta
bagaimana kebiasaan berolah raga, status kesehatan mental, serta higine perorangan.
6. Faktor lain di luar pekerjaan
Adakah hobi, kebiasaan buruk (misalnya merokok) pajanan di rumah serta pekerjaan
sambilan yang dapat menjadi faktor pemicu penyakit yang diderita.
7. Diagnosis okupasi
Diagnosis okupasi dilakukan dengan meneliti dari langkah 1-6, referensi atau bukti ilmiah
yang menujukkan hubungan akibat pajanan & penyakit.
Diagnosis pada Ny. CT merupakan penyakit yang diperberat oleh pekerjaannya.
7 | P a g e
Diagnosis Kerja
Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva yang
bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea. Pterigium (pterygium)
adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila
terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium sering mengenai kedua
mata.
Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya
akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea, sehingga bisa
menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil
maka penglihatan kita akan terganggu. Suatu pterygium merupakan massa ocular eksternal
superficial yang mengalami elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal
dan akan meluas ke permukaan kornea.
Pterygia ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas
sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa
merusakkan topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa
menutupi pusat optik dari kornea.2-5
Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan
meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau
yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau
apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita.
Gambar 1. Pterigium
8 | P a g e
Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi belum diketahui pasti. Namun ada teori yang dikemukakan
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya
pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada
pada daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan. UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya
peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis
yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler
subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia
berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan).
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa
tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada
usia dekade dua dan tiga.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.
9 | P a g e
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini
meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir
menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih
tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya
pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar
dibandingkan daerah yang lebih selatan.
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.2,4
Epidemiologi
Pterigium tesebar diseluruh dunia, tetapi lebh banyak terdapat didaerah iklim panas dan
kering. Prevalensi juga dapat meningkat pada daerah yang berdebu dan berangin. Faktor yang
sering mempengaruhi adalah daerah dekat garis ekuator, yakni daerah <370 lintang utara dan
selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari
2% pada daerah diatas 400 lintang. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi. Prevalensi
meningkat pada dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada usia diantara 20-49
tahun. Rekurensi lebih sering pada umur yang lebih muda. Dan pria lebih berisiko 4x lipat
dari wanita, serta berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat eksposur
lingkungan diluar rumah.1,2
10 | P a g e
Patofisiologi
Etilogi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun keran lebih sering pada orang yang
tinggal di iklim panas, maka gambaran yang paling sering terlihat adalah respon terhadap
faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari
kornea dan konjungtiva pada fissura interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear
film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppresor gene pada limbal basal stem sel.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan menimbukan proses
kolagenesa meningkat, sel-sel bermigrasi dan angigenesis. Lalu terjadi perubahan degenerasi
kolagen dan terlihat jaringan subepitel fibrovaskular. Jaringan sub konjungtiva mengalami
degenerasi elastoid dan proliferasi jaringan granulasi vaskular dibawah epitelium yang
akhirnya menembus kornea. Kerusakan pada korna terdapat pada lapisan membran Bowman
oleh karena pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat
normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem sel adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem
sel, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjugtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronik, kerusakan membran
basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan ada pterigium dan
karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari
defisiensi atau disfungsi localized interpalpebra limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar
ultraviolet terjadi kerusakan stem sel di daerah interpalpebra.
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotip, pertumbuhan
banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding
dengan fibroblas konjungtiva normal. Lapisan fibroblas pada pterigium menunjukkan
proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas pterigium menunjukkan adanya matriks
metalloproteninase, dimana matriks tersebu adalah ekstraselular yang berfungsi untuk
jaringan yang rusak, penyembuhan luka. Matriks ini mengubah bentuk dan fibroblas
pterigium bereaksi terhadap TGF-beta berbeda dengan jaringan konjungtiva normal, bFGF
(basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF-alfa dan IGF II. Hal ini menjelaskan
bahwa pterigium cenderung terus tumbuh, dan menginvasi ke stroma kornea dan terjadi
reaksi dan inflamasi.
11 | P a g e
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein angigrafi ditemukan peningkatan area
nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di bassal limbus selama fase awal pterigium.
Sirkulasi CD 34+ MNCs dan c-kit + MNCs meningkat pada pterigium dibanding dengan
konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik, VEGF (vasvular endothelial growth factor)
dan SCF (stem cell factor) pada pterigium meningkat. Hal ini menunjukkan pada pterigium
terlibat pertumbuhan Endothelial Progenitor Cells (EPCs) dan hipoksia okular yang
merupakan faktor pencetus neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari
sumsum tulang melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.4-6
Manifestasi Klinis
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam keluhan, yang mulai dari
tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah sekali, pembengkakan mata, mata
gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang membesar dan
kedua mata terserang penyakit ini.
Penderita biasanya datang untuk pemeriksaan mata lainnya, misalnya untuk pemeriksaan
kacamata dan tidak mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh diatas korneanya, namun
terkadang penderita merasa penglihatannya terganggu misalnya astigmat, dan dapat pula
disertai keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering) dan garis besi (iron line
dari stocker) yang terletak di ujung pterigium.2
Gambar 2. Mata Iritasi
Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut :
Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan
penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih
dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh
setelah dilakukan eksisi.
12 | P a g e
Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan
terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygigroup ini mempunyai
perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi
untuk setelah dilakukan eksisi
Pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe progresif dan
regresif:
- Progresif pterigium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan
kepala pterigium (cap)
- Regresif pterigium : tipis, atrofi dan sedikit vaskular. Akhirnya menjadi beberapa
membran tetapi tidak pernah hilang
Pada fase awal pterigium tanpa gejala, tetapi terdapat keluhan kosmetik. Gangguan
penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan kornea
astigmatisma. Terkadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan
mata.
Pterigium dibagi kedalam beberapa tipe :
- Tipe 1 : meluas kurang 2 mm dari konea. Stroker line atau deposit besi dapat dijumpai
pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering
mengalami inflamasi sering. Pasien yang menggunakan lensa kontak dapat
mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe 2 : menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi,
berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
- Tipe 3 : mengenai kornea lebih dari 4 mm dan menggangu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren, dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.
13 | P a g e
Pterigium dibagi dalam 4 derajat, yaitu :
Derajat 1 : jika pterigium terbatas pada limbus kornea
Derajat 2 : jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
Derajat 3 : jika pterigium sudah melampai derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mara dalam keadaaan cahaya normal.
Derajat 4 : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga menggangu
penglihatan 6,7
Penatalaksanaan
Keluhan fotopobia dan mata merah dari pterigium ringan dapat ditangani dengan
menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikan, vasokonstriktor serta
kortikosteroid digunakan secara aman dapat menghilangkan gejala terutama pada derajat 1
dan 2 atau tipe 1. Untuk mencegah progresifitas dapat menggunakan kaca mata pelindung
ultraviolet.
Indikasi operasi pada pterigium dapat dilakukan pada rasa ketidaknyamanan yang menetap,
gangguan penglihatan, ukuran lebih dari 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif atau
adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi sendiri bertujuan untuk mencapai keadaan
normal, gambaran permukaan bola mata yang licin.6
Beberapa teknik operasi
1. Bare Sclera : tidak ada jahitan atau menggunakan benang absorbable untuk melekatkan
konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi tendon rektus, meninggalkan area sklera
yang terbuka. (teknik ini menghasilkan tingkat rekurensi 40% – 50%).
2. Simple Closure : tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva
sangat kecil)
3. Sliding flap : insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung
menutup luka tersebut.
14 | P a g e
4. Rotational flap : insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva berotasi pada luka.
5. Conjunctival graft: graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior dieksisi sesuai
ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit.
Pencegahan
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko
berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di
sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap
radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari.
Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis
atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi
terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk
mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata
atau topi pelindung.6
Gambar 3. Kacamata anti-UV
Komplikasi
Komplikasi pterigium dapat berupa :
1. Distorsi dan penglihatan sentral yang berkurang
2. Mata merah
3. Iritasi
4. Jaringan parut kronis pada konjungtiva dan sklera
5. Pada pasien yang tidak melakukan eksisi, dapat terjadi skar pada otot rektus medial
dan dapat terjadi diplopia
6. Malignan degenerasi pada jaringan epitel diatas pterigium yang ada
15 | P a g e
Komplikasi yang dapat terjadi pada pterigium setelah operasi :
1. Infeksi, reaksi benang jahitan, diplopia, skar kornea, konjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarak termasuk perforasi bola mata, vitreous hemoragia atau retinal
detachment
2. Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau melting pada
sklera dan kornea
3. Rekuren pterigium post operasi.
Prognosis
Penglihatan dan kosmetik setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama
post operasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam postoperasi dapat
beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Pasien dengan resiko
tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang
lama dianjurkan memakai kacamata anti UV dan mengurangi terpapar sinar matahari.
16 | P a g e
Kesimpulan
Untuk mendapatkan diagnosis kerja yang terjadi pada Ny. CT berusia 40 tahun harus
dilakukan tujuh langkah diagnosis yang tepat dan cermat, agar kita tahu penyakit yang
diderita oleh Ny. CT ini adalah penyakit akibat kerja, penyakit yang diperberat oleh kerja
atau bukan penyakit akibat kerja. Pada kasus ini didapatkan penyakit akibat kerja yang
disebabkan oleh benda iritan dilingkungan pekerjaan dan menyebabkan pasien menderita
pterigium. Pterigium sendiri adalah suatu penyakit dimana terdapat pertumbuhan jaringan
fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh ke arah konjungtiva menuju kornea pada
daerah interpalpebra.
Daftar Pustaka
1. Suma’mur DR. Higine perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes). Jakarta: CV
Sagung Seto. 2009.
2. Walller GS. Adams PA. Pterigium, Duane’s clinical ophthalmology. Vol 6. Edisi
Revisi. Lippincot Williams & Wilkins, 2004, hal : 1-10
3. Tjahjono DG. Pterigium, Panduan manajemen klinis perdami. Jakarta: CV. Ondo.
2006, hal : 56-58
4. Pterigium in http : //www//e.medicine
5. Nema HV. Disease of the conjunctiva, Text of ophthalmologi. Edisi ke-11. New
Delhi: Jaypee Brothers, hal : 125-126
6. Leo JK. Endothelial progenitor cells in pterigium pathogenesis, in Eye. Volume 21,
Issue 9, Septembe 2007, page : 1186-93
7. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2009.
8. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium. Opthalmic Pearls.2010
17 | P a g e