DAPUS PTERIGIUM
-
Upload
fita-candra -
Category
Documents
-
view
81 -
download
9
Embed Size (px)
Transcript of DAPUS PTERIGIUM

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22521/4/Chapter%20II.pdf
http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-2010.pdf
http://www.hh.um.es/pdf/Vol_17/17_1/Perra-17-139-149-2002.pdf
http://www.inascrs.org/old/doc/PPM_2_pterigium_rev02.pdf
http://eprints.undip.ac.id/24461/1/Monika.pdf
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/JOI%20Vol%207%20No%205%20Juni%202011%20%28Josefien%29.pdf
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Vol%2013%20No%201%20Jan%202011.pdf

Pterygium
I. DEFINISI
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap (wing). Pterygium
didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh
menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan
kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus.1,2,3
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif
dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterygium akan berwarna merah. 4
II. EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.
Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah
dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai
22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.5
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di
daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara
sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan
prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga
dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di
lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49
tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali

lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat
paparan lingkungan di luar rumah.5,6
III. ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan
mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.3
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata. Dari
kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah.
Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm
dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang
potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara
kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi
dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian
lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:7
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata yaitu
daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat
permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal,
dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper.
Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk
komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan
bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan
translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks.
Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata
terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa
ditemui.

2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai dari
forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan.
Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata
bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup
oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan
sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan
konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara
longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus
rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama
bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi. 7
Gambar 1. Anatomi Konjugtiva penampang sagital
(Gambar dikutip dari kepustakaan 7)
Gambar 2.anatomi konjuntiva penampang depan
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini
beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola
arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe
konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh l imfe
palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.7
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva terdir atas
2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus,
diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel
epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang
mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. 7

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus
dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan
fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung
struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat
papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada
radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius
(kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma.
Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring
terletak di tepi tarsus atas.7
IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor
resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba
atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun
kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan pterygium. Selain
itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif akibat
pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian
besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian
menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.2,5,8
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan bahwa
radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat
menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus
kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan
menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi
seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan
timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal,
menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. 8

Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya atau
kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya
dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula
dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang
sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan
timbulnya pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor
herediter). 8
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya pterygium
terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan meningkatnya
kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea
sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke
area nasal tersebut. 8
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor.
Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi
yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan
apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan yang
mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan degeneratif. 11
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya
pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada
daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan. 8
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia
berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor
supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi
dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya
perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan
jaringan fibrovaskuler. 8

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa
tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade
dua dan tiga. 8
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 8
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini
meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa
negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan
orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki
risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 8
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium. 8
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok ,
pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium. 8
V. KLASIFIKASI PTERYGIUM 5,9

Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:
1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya
saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea
dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien
yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona
optik. Pada tubuh pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea
sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan
menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk pterygium
yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea
> 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan
dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata serta kebutaan
2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea
Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam
keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.
Gambar 2. Pterygium stadium 1 Gambar 3. Pterygium stadium 2
4. ptrygium duplexGambar Pterygium stadium 3
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu:

- Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterygium
(disebut cap dari pterygium)
- Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah
hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa dengan slit lamp
pterygium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
VI. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat
pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan
yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem
sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth
factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.8
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular.
Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan
granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea.
Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini
akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal
atau tipis dan kadang terjadi displasia.5,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem
cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta

proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen
abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan
pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat
khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2,5,6,8
VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Beberapa
keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada
benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium lanjut stadium 3 dan 4
dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. 1,6,8
Gambar 5. Bagian-bagian mata yang terkena pterygium
Pterygium memiliki tiga bagian :
i. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
llkebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada
kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
ii. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis
yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
iii. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut,
merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi
tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan10

VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata
sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah
berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi,
serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.1,2, 6
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium
yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke
kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal. 6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea
untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.6
IX. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif seperti penyuluhan
pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata
anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.8
2 . Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:8
Menurut Ziegler :
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :

1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmeti
5. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone
6. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan operasi. Ada berbagai macam
teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterygium di antaranya adalah:8
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera. Kerugian dari
teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka
pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan
dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti
lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian
superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan
bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Gambar 6. Teknik Operasi Pterygium
(Gambar dikutip dari kepustakaan 8)
Amniotic membrane transplantation
Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane transplantation, yaitu teknik gafting dengan
menggunakan membran amnion, yang merupakan lapisan paling dalam dari plasenta yang mengandung
membrana basalis yang tebal dan matriks stromal avaskular. Dalam dunia oftalmologi, membran amnion
ini digunakan sebagai draft dan dressing untuk infeksi kornea, sterile melts, dan untuk merekonstruksi
permukaan okuler untuk berbagai macam prosedur. Dokumentasi pertama penggunaan membran
amnion ini yaitu yang dilakukan oleh De Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva. Dengan
angka kesuksesan yang rendah. Sorsby pada tahun 1946 dan 1947. Ada juga Kim dan Tseng yang
memperkenalkan kembali ide ini dan mempopulerkannya. Cara kerja teknik ini adalah dimana
komponen membran basalis dari membran amnion ini serupa dengan komposisi dalam konjungtiva.
Untuk alasan inilah teori terkini menyatakan bahwa membran amniotik memperbesar support untuk
limbal stem cells dan cornea transient amplifying cells. Klonogenisitas dipelihara dengan meningkatkan
diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih jauh lagi, hal tersebut dapat menekan diferensiasi
miofibroblast dari fibroblas normal untuk mengurangi scar dan pembentukan vaskuler. Mekanisme ini
membantu penyembuhan untuk rekonstruksi konjungtiva, defek epitel, dan ulserasi stromal. 9
6.1 Indikasi
A.Eksisi pterigium
setelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan menyisakan sebuah defek konjungtival.
Defek ini dapat dibiarkan sembuh sendiri, dijahit secara langsung melalui pendekatan primer, diberikan

graft dengan sebuah autograft konjungtiva, atau diberikan graft dengan membran amniotik. Dengan
injeksi steroid intraoperatif pada defek jaringan yang mengitarinya. 9
B.Rekonstruksi permukaan konjungtiva
selain untuk operasi pterigium, AMT juga digunakan untuk teknik rekonstruksi konjungtiva lainnya.
Untuk pengangkatan tumor-tumor konjungtiva yang meninggalkan defek, maka defek tersebut akan
diperbaiki dengan membran amniotik. Telah dilaporkan penggunaan AMT untuk pembedahan scar dan
symblepharon. AMT juga dapat digunakan untuk merekonstruksi permukaan okuler pada kasus
konjungtivokalasis, scleral melts dengan sklera kadaverik. Satu laporan lainnya menyatakan bahwa
trabeculectomy bleb dapat diperbaiki dengan membran amniotik. 9
C.Defisiensi stem sel Limbal
membran amniotik dapat digunakan pada kasus-kasus defisiensi stem sel Limbal parsial dan total. Pada
kasus-kasus kehilangan stem sel Limbal total, AMT saja tidak mencukupi dan perlu penggunaan
bersamaan dengan transplantasi stem sel allogenik. Untuk kasus-kasus yang parsial, membran amniotik
menunjukkan dapat meningkatkan epitelisasi dan memperbaiki penglihatan dengan dan tanpa
transplantasi sel Limbal allogenik. 9
Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan allogenik yang diolah di laboratorium pada
membran amniotik lalu mentransplantasikan jaringan gabungan ini pada kornea yang rusak berat tanpa
adanya stem-stem sel endogen.9
6.2 Prosedur
Banyak laporan dalam literatur yang menggambarkan penggunaan membran amniotik yang diambil dari
plasenta pada saat operasi sesar dan diawetkan hingga digunakan pada permukaan okuler. Tersedia
teknik pengawetan cryopreserved amniotic membrane dan lazim digunakan dan menjaga sifat histologis
dan morfologis dari jaringan sehat. AMT dapat ditempelkan pada permukaan okuler secara pembedahan
dengan benang absorbable ataupun yang non-absorbable. Adesivitas jaringan biologis juga dapat
digunakan untuk menempelkan AMT pada permukaan okuler.9
6.3 Resiko
Jaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit menular yang tidak terlihat. Secara umum,
membran amniotik didapatkan dari donor potensial yang menjalani operasi sesar yang telah diskrining

untuk penyakit menular, seperti; HIV, hepatitis, dan sifilis. Plasenta kemudian dibersihkan dengan
campuran larutan garam yang seimbang, penisilin, streptomisin, neomisin, dan amfoterisin B. Lalu
amnion dipisahkan dari korion dengan blunt dissection pada kondisi yang steril, ditempelkan pada strip
kertas nitroselulosa dan disimpan dalam larutan gliserol. Jaringan tersebut juga disimpan dalam larutan
itu untuk fresh use atau menggunakan cryopreserved pada suhu -80 derajat celcius. Hingga saat ini tidak
ada laporan mengenai transmisi penyakit menular pada AMT. 9
X. DIAGNOSIS BANDING
Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium. Pseudopterygium terjadi akibat
pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan pterygium, dimana pada
pseudopterygium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera.
Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterygium menyebabkan
nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterygium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi
jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft konjungtiva yang berasal dari
aspek temporal.10, 11
Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang merupakan lesi kuning
keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan
lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak
diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.10,11
Gambar 7. Pinguekula Gambar 8. Pseudopterigium

XI. KOMPLIKASI
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,12
Pra-operatif:
1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena pterygium dapat
menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta
terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya
astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat “tear meniscus” antara
puncak kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat
“with the rule” dan iireguler astigmat.
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan menyebabkan diplopia.
Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan perdarahan
subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi
ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan. 12
Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva longgar, perforasi
mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera dan kornea
3. Pterygium rekuren.

XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat
beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi
ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion6
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010
2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium
3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi Umum: edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
4. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.
5. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.
6. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23] http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
7. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08]. Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
8. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from : http://www.dokter-online.org/index.php.htm .

9. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available from : http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant
10. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York : Thieme Stutgart. 2000
11. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
12. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available from : http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/follow-up/complications.html
http://ferryfawziannor.blogspot.com/2011/07/pterygium.html
ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak
(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.(4,5)
Pterygium

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke
tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat keposterior (pada fornices
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.(4)
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-
kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva
sekretorik. Duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior) kecuali di
limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.(4,5)
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris)
terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang.
Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam
plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran
mukosa.(4)
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder
bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas karunkula,
dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel
skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel
superfisial dan didekat limbus dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat
dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid

tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian
menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan
Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma.
Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah.
Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri pelpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan
bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang
kaya. Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V, saraf
ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.(4)
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat
longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.(5)

Gambar: Skema konjuntiva beserta tempat kelenjar
II. DEFINISI
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan infasif.pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan
puncak di bagian sentral atau tengah kornea.2
Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan, berupa
lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam kornea, dengan puncak segitiganya
di kornea, kaya akan pembuluh darah yang menuju ke puncak pterigium. Pada kornea
penjalaran ini mengakibatkan kerusakan epitel kornea dan membran bowman.3
Pterigium adalah semacam pelanggaran batas suatu pinguecula berbentuk segitiga
berdaging ke kornea, umumnya disisi nasal dan bilateral, dimana lapis bowman kornea diganti
oleh jaringan hialin dan elastis.1

Pterigium adalah pertumbuhan konjuntiva bulbi melimpah keatas kornea dan , biasanya
diikuti adanya jaringan fibrovaskular. Pada potongan yang tegak lurus dengan sumbunya
terdapat bentuk seperti sayap yang pelekatan pada konjuntiva memanjang pada sumbunya.
Kadang konjuntiva bulbi digunakan untuk membuat flap ke kornea, bentuk seperti pterigium,
tetapi tak ada perlekatan kekonjuntiva bulbi sehingga disebut pterigium palsu.6
Pterygium
1
2

3
1. Pterigium awal yang mulai menutup mata
2. Pterigium yang semakin bertambah dan menutupi media penglihatan
3. Pterigium yang tumbuh pada dua sisi
III. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat angka kejadian pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah
di atas 400 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 280-360. Hubungan ini terjadi
untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena
penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini. Secara Internasional
hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relative terjadi
peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara.7
Mortalitas/Morbiditas

Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau
penglihatan bila kasusnya telah lanjut. Mata ini bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan
iritasi okuler dan mata merah.
Jenis Kelamin
Pterygia dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak
dibandingkan wanita.
Umur
Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien
umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang
berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.
IV. ETIOLOGI
Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium juga diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat
debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas. Penyebab paling umum adalah exposure atau
sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun
UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti
zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya.2

Faktor resiko untuk pterygium itu bisa meliputi sebagai berikut :
1. Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang beriklim
subtropics dan tropis.
2. Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah serta orang yang
hidup di daerah dengan banyak sinar matahari, daerah berpasir atau daerah
berangin. Petani, nelayan dan orang-orang yang hidup di sekitar garis
khatulistiwa sering terpengaruh.
Predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu.
Kecenderungan laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan perempuan,
meskipun disini hasil temuan ini lebih banyak disebabkan besarnya paparan sinar ultraviolet
dalam kelompok populasi tertentu.7
Gangguan lain yang mungkin ikut berperan adalah Pseudopterygia (misalnya
disebabkan oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal) dan
Neoplasma (misalnya karsinoma in situ yang menyebabkan konjungtiva perilimbal yang tidak
meluas sampai ke kornea).
V. PATOFISIOLOGI
Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal ini akan
mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan pertumbuhan berlebih
dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah. Pertumbuhan ini biasanya progresif

dan melibatkan sel-sel kornea sehingga menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinat
termasuk sinar atau cahaya tampak dan sinar ultraviolet yang tidak tampak itu sangat
berbahaya bisa mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata diliputi oleh lapisan sel yang
disebut epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian tubuh lain
khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat paparan ultraviolet karena epitel pada
lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan
membran dasar terpapar oleh ultraviolet secara berlebihan maka radiasi tersebut akan
merangsang pelepasan enzim yang akan merusak jaringan dan menghasilkan faktor
pertumbuhan yang akan menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh
ini akan menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu
berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu terhadap
paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya.8
Patofisiologi pterygia ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan
eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.7
Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi epitel gepeng
berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada daerah ini membran
Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi sebagai jaringan
granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam kornea serta
merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas. Pterigium juga dapat muncul
sebagai degenerasi stroma konjungtiva dengan penggantian oleh serat elastis yang tebal dan
berliku-liku. Fibroblas aktif pada ujung pterigium menginvasi lapisan Bowman kornea dan
diganti dengan jaringan hialin dan elastis. Pterigium sering muncul pada pembedahan. Lesi

muncul sebagai luka fibrovaskuler yang berasal dari daerah eksisi. Pterigium ini mungkin tidak
ada hubungannya dengan radiasi sinar ultraviolet, tetapi kadang dikaitkan dengan pertumbuhan
keloid di kulit. Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi
merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan
mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut
atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si
penderita.9
VI. GEJALA KLINIS
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam keluhan, yang
mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah sekali, pembengkakan
mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang
membesar dan kedua mata terserang penyakit ini.7
Penderita biasanya datang untuk pemeriksaan mata lainnya, misalnya untuk
pemeriksaan kacamata dan tidak mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh diatas korneanya,
namun terkadang penderita merasa penglihatannya terganggu misalnya astigmat, dan dapat
pula disertai keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering) dan garis besi (iron
line dari stocker) yang terletak di ujung pterigium.7
Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut :
Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan
penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih dan

pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah
dilakukan eksisi.
Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan
terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygia dalam group ini mempunyai
perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk
setelah dilakukan eksisi.
VII. KLASIFIKASI
Klasifikasi Pterygium:
1. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
2. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.
Grade pada Pterygium :
● Grade 1: tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan konjungtiva sklera masih dapat
dibedakan), pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
● Grade 2: pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
● Grade 3: resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30 tahun), mudah kambuh.

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis akan kita dapatkan keluhan-keluhan pasien seperti
adanya ganjalan pada mata yang semula dirasakan didekat kelopak namun lama-kelamaan
semakin ke tengah (kornea), mata merah dan tidak disertai belek(sekret). Dari anamnesis ini
kita juga akan dapatkan informasi mengenai pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan
kebiasaan hidupnya karena hal ini berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet
yang mengenainya.
Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu lipatan
berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun temporal yang
menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila terkena suatu iritasi maka bagian
pterigium ini akan berwarna merah.
Pemeriksaan penunjang dalam menentukan diagnosis pterigium tidak harus dilakukan,
karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik kadang sudah dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis pterigium. Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada jaringan pterigium
yang telah diekstirpasi. Gambaran pterigium yang didapat adalah berupa epitel yang irreguler
dan tampak adanya degenerasi hialin pada stromanya.3

IX. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit – penyakit yang menyerupai pterigium atau diagnosis banding dari pterigium
antara lain pseudopterigium, pannus dan kista dermoid. Pseudopterigium adalah perlengkatan
konjungtiva dengan kornea yang cacat, biasanya hal ini terjadi pada proses penyembuhan
tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea, dimana letaknya berdekatan dengan
proses tukak kornea sebelumnya. Perbedaannya dengan pterigium adalah letaknya yang tidak
harus dimulai dari celah kelopak atau fissura palpebra, selalu didahului oleh riwayat tukak
kornea sebelumnya, dan pada pseudopterigium ini dapat diselipkan sonde di bawahnya.2
Pannus merupakan salah satu penyebab kekeruhan didaerah kornea yang ditandai
dengan terdapatnya sel radang disertai pembuluh darah yang membentuk tabir pada kornea.
Pembuluh darah ini berasal dari limbus yang memasuki kornea diantara epitel dan membran
bowman.3
Kista dermoid merupakan tumor kongenital yang berasal dari lapisan mesodermal dan
ektodermal. Jaringan tumor ini terdiri atas jaringan ikat, jaringan lemak, folikel rambut, kelenjar
keringat, dan jaringan kulit. Lokasinya dapat berada pada limbus konjungtiva bulbi atau tumbuh
jauh ke orbita posterior dan menyebabkan ptosis.3
X. PENATALAKSANAAN
Pengobatan pterigium tergantung dari keadaan pteriumnya sendiri, dimana pada
keadaan dini tidak perlu dilakukan pengobatan, namun bila terjadi proses inflamasi dapat

diberikan steroid topikal untuk menekan proses peradangan, dan pada keadaan lanjut misalnya
terjadi gangguan penglihatan (refraktif), pterigium telah menutupi media penglihatan (menutupi
sekitar 4mm permukaan kornea) maupun untuk alasan kosmetik maka diperlukan tindakan
pembedahan berupa ekstirpasi pterigium.3
Obat-obatan yang sering digunakan pada kasus pterigium adalah :
- Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) – untuk membasahi
permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air. Obat ini merupakan obat
tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata penyegar, Gen Teal (OTC)—air mata artifisial
akan memberikan pelumasan pada permukaan mata pada pasien dengan permukaan kornea
yang tak teratur dan lapisan permukaan air mata yang tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi
pada keadaan pterygium.
- Salep untuk pelumas topikal – suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan okular. alep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan yang lebih kental ini akan cenderung menyebabkan kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan pada malam hari terkecuali bila pasien merasakan sakit dalam pemakaiannya.
- Obat tetes mata anti – inflamasi – untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygia yang inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya. Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) – suatu suspensi kortikosteroid topikal yang dipergunakan untuk mengu-rangi inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus dibatasi untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak bisa disembuhkan dengan pelumas topikal lain.

Tindakan pembedahan untuk ekstirpasi pterygia biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat
jalan dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai
sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat
memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotika atau antiinflamasi.
Pembedahan pterigium dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain :5
1. Teknik Bare sclera
a. Anastesi : proparacain atau pantokain atau dapat juga menggunakan kokain 4% yang
diteteskan maupun dioles dengan kapas pledget, kemudian diberikan suntikan subkonjungtiva
dengan lidokain 1-2 % .
b. Persiapkan duk steril untuk menutupi derah operasi.
c. Siapkan lid spekulum
d. Lakukan pengujian untuk menunjukkan otot yang terkait dengan pterigium.
e. Lakukan fiksasi dengan benang ganda 6.0 pada episklera searah jam 6 dan jam 12.
f. Posisi mata pada jahitan korset.
g. Buatlah garis demarkasi pterigium dengan cautery.
h. Gunakanlah ujung spons atau kapas untuk membersihkan darah ketika sedang dilakukan
pengikisan pterigium dari apek dengan menggunakan forcep jaringan.
i. Laksanakan pembedahan dari kepala pterigium yang ada di dekat kornea mata dengan
menggunakan scarifier. Traksi dengan forcep ukuran 0.12 mm akan memudahkan
pengangkatan pterigium.

j. Bebaskan sklera dari pterigium.
- Menggunakan westcott gunting untuk memotong sepanjang tanda cautery.
- Kikislah pterigium dengan gunting.
- Pindahkan semua jaringan pterigium dari limbus dengan menggunakan sharp sehingga tampak
jaringan sklera yang telanjang.
- Jika perlu, mengisolasi rektus otot horizontal dengan suatu sangkutan otot untuk menghindari
kerusakan jaringan yang akan membentuk sikatrik.
k. Pindahkan pterigium dilimbus dengan menggunakan gunting.
l. Gunakan cautery untuk menjaga keseimbangan.
m. Menghaluskan sekeliling tepi limbus.
- Dengan menggunakan burr intan
- Dengan tepi punggung mata pisau scarifier.
n. Berikan antibiotik dan steroid topikal.]
o. Kemudian tutup mata dengan kasa steril dan fiksasi.
2. Teknik Mc. Reynolds
Mencangkok dan menguburkan pterigium di dalam konjungtiva dilakukan dengan cara ;
a. Setelah pterigium dipindahkan dari kornea, buatlah goresan di bawah konjungtiva dengan
gunting, antara kornea dan sklera, yang lebarnya disesuaikan dengan lebar dri pertumbuhan

pterigium yang semula, sehingga diharapkan bila terjadi pterigium ulang tidak akan
menyeberang ke kornea.
b. Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut dan masukkan ke dalam celah di bawah
konjungtiva yang terletak di antara kornea dan sklera.
c. Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan bawah antara kornea dan sklera,
kemudian lakukan fiksasi.
Ada berbagai variasi pada teknik Mc. Reynolds. Yaitu:
1. Neher : pterigium dikuburkan di bagian konjungtiva superior, kemudian di fiksasi pada
episklera.
2. Desmarres: Buatlah incisi pada bagian bawah konjungtiva kemudian apek dari pterigium di
transplantasikan ke jaringan di bawah konjungtiva tersebut, kemudian di fiksasi pada
konjungtiva dan tepi kornea sehingga bentuknya seperti sayap.
3. Berens: Pertumbuhan dicangkok di bagian atas konjungtiva tanpa penguburan jaringan
pterigium. Dua goresan kecil parakorneal dibuat untuk menutup konjungtiva yang cacat dan
untuk menutupi area kornea yang terbuka. Kemudian di fiksasi untuk mengamankan pterigium
di tempat yang baru.
4. Knapp: Teknik ini digunakan untuk pterigium yang sangat luas. Pertumbuhannya di pisah
dengan goresan horizontal, masing-masig dipindahkan ke busur konjungtiva atas dan bawah.

5. Callahan: Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai konjungtiva kurang lebih 5-10 mm
sepanjang garis tepi yang menyangkut pada pterigium. Goresan juga dibuat sepanjang garis
tepi bagian atas konjungtiva sebagai penutup. Pencangkokan dibuat pada daerah limbus yang
ditelanjangi atau membiarkan area limbus tersebut terbuka (teknik Bare Sclera).
6. Blaskovics: Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan kambuh, dengan cara konjungtiva
dilipat ke bawah kemudian dijahit.
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi dari pterygia meliputi sebagai berikut:7
Penyimpangan atau penurunan tajam penglihatan
Kemerahan.
Iritasi.
Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea.
Astigmatisme
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan memberi
kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya
menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum dilakukan pembedahan.
Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea
mata akan tetapi sangat jarang terjadi. Komplikasi postooperasi pterygium meliputi : Infeksi,
diplopia, perforasi bola mata, perdarahan vitreous dan yang sering adalah kambuhnya pterigium

post operasi yaitu sekitar 50-80%, namun kejadian ini akan berkurang sekitar 5-15% apabila
menggunakan autograf konjungtiva pada saat proses eksisi. Sesudah operasi, eksisi pterygium,
steroid topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada steroid
topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan intraocular dan katarak.
Untuk mencegah kekambuhan dapat juga dengan pemberian Mitomicin C intraoperatif.10
XII. PENCEGAHAN
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko
berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan
untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet
sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini
bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada
pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet
(misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya
pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.11
XIII. PROGNOSIS
Pterigium merupakan suatu neoplasma konjungtiva benigna, umumnya prognosisnya
baik secara kosmetik maupun penglihatan, namun hal itu juga tergantung dari ada tidaknya
infeksi pada daerah pembedahan. Untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80 %)
sebaiknya dilakukan penyinaran dengan Strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila
residif maka dapat dilakukan pembedahan ulang. Pada beberapa kasus pterigium dapat
berkembang menjadi degenerasi ke arah keganasan jaringan epitel.

DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2002, Oftalmologi Umum, Edisi ke-14, Widya
Medika, Jakarta
2. Ilyas S, 2008, Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
3. Ilyas S, Mailangkay H.B., Taim H, 2002, Ilmu Penyakit Mata, Edisi ke-2, Sagung Seto,
Jakarta
4. Anonim, 2008, Conjungtivitis with Pseudomembrane, www.
Revoptom.com/handbook/SEC14.HTM
5. Wijaya N, 1993, Ilmu Penyakit Mata, Edisi rev, cet ke-16, Abadi Tegal, Jakarta
6. Al-Ghozi M, 2002, Handbook of Ophtalmology ; a Guide to Medical Examination. FK
UMY. Yogyakarta.
7. Fisher J.P., Trattler W, 2001, Pterygium, www. Emedicine.com [Medline]
8. Anonim, 2006, A guide to Pterygium and Pterygium Surgery, www.google.com
9. Anonim, 2006, Pterigium karena Lalai Menjaga Mata, www.google.com
10. Anonim, 2007, Conjungtivitis, www.care foryoureyes.com/article
11. Coroneo M.T., Digerolamo N, Wakefield D,1999, The Pathogenesis of Pterygium, curr
Opin Ophthalmol; 10(4): 282-8 [Medline]
Diposk