Bab 5 Anestei Pada Pasien..._83-122 Terjemahan

download Bab 5 Anestei Pada Pasien..._83-122 Terjemahan

of 37

description

asd

Transcript of Bab 5 Anestei Pada Pasien..._83-122 Terjemahan

Bab 5

Bab I

Pendahuluan

Ada tiga sasaran anesthesiologis selain memfasilitasi dapat dilakukan pembedahan untuk membantu ahli bedah dalam operasi bedah saraf yaitu :

- mengendalikan tekanan intrakanial otak dan volume otak.

- melindungi jaringan saraf, dan iskemia dan cidera (brain protection)

- mengurangi perdarahan

Ada interaksi yang kontinyu antara CBF dengan volume darah otak, jaringan otak dan CSF. Neuroanestesi harus selalu waspada, bagaimana obat dan teknik anestesi mempengaruhi hal-hal tersebut tadi. Pengendalian ICP merupakan hal yang paling penting pada tahap permulaan operasi, sebab tekanan Intakranial menjadi sama dengan atmosfir saat otak terbuka. Akan tetapi, bila ketika tulang kepala terbuka, CBF meningkat akibat obat-obatan atau kesalahan teknik anestesi, otak akan menjadi bengkak. Otak yang bengkak memerlukan retraksi oleh operator yang lebih kuat, meningkatkan terjadinya iskemia dan kerusakan akibat tekanan dari retraktor serta meningkatkan risiko edema serebral pascabedah. Pada beberapa kasus, otak menonjol keluar sehingga terjadi kerusakan dan sayatan oleh sisi-sisi tulang tengkorak.

Otak yang "kempis" diperlukan pada saat operasi otak untuk memudahkan ahli bedah saraf bekerja dan mengurangi kerusakan akibat trauma retraktor. Untuk mendapatkan keadaan tersebut diperlukan teknik anestesi dan obat anestesi tertentu.

Prinsip pengelolaan anestesi pasca operasi bedah saraf adalah mengatur Airway, Breathing, Circulation, Drugs, dan Environment yang disebut sebagai ABCDE neuroanestesi :

A : Airway : jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu

B :Breathing : ventilasi kendali untuk mendapatkan oksigenasi adekuat dan sedikit hipokarbia pada operasi tumor otak atau normokarbi pada cedera kepala.

C :Circulation : hindari lonjakan tekanan darah karena bisa memperberat edema serebral dan kenaikan ICP, hindari faktor-faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena serebral, target : normovolemia, normotensi, iso-osmoler, dan normoglikemia.

D :Drugs : hindari obat-obat dan teknik anestesi yang meningkatkan tekanan intrakanial, berikan obat yang mempunyai efek proteksi otak.

E:Environment : suhu mild hipotermia (350C, core temperatur).

Prinsip-prinsip umum

Pengelolaan anestesi pada cedera kepala, secara prinsip sama dengan pasien-pasien peningkatan ICP yang lain. Obat-obatan dan teknik anestesi yang merupakan teknik yang merupakan kontra indikasi pada pasien dengan cedera kepala berat adalah : premedikasi dengan narkotik, nafas spontan, neurolept analgesia, ketamin, N2O bila ada aerocele, halotan, spinal anastesi. Hal ini karena narkotik analgesi mendepresi nafas, ketamin meningkatkan ICP, CMRO2 dan mempresipitasi kejang. Keterbatasan ini bisa dipertimbangkan bila anestesi dilakukan setelah autoregulasi kembali (dimulai hari ke-5, dan maksimal pada hari ke-9 setelah cedera kepala).

Pemasangan pipa nasogastrik merupakan kontra indikasi pada :

Pasen yang tidak sadar sebelum dilakukan intubasi karena bisa merangsang muntah atau regurgitasi yang bisa menimbulkan aspirasi paru.

ICP yang tinggi karena pemasangan pipa nasogastrik bisa menyebabkan straining dan terjadi kenaikan ICP yang lebih hebat.

Fraktur fossa anterior.

Basis fraktur.

Prinsip dasar pengelolaan anestesi pada cedera kepala adalah :

a) mengoptimalkan perfusi otak dengan rumatan hemodinamik sistemik MAP, CPP),

b) menghindari iskemia serebral dengan melihat DO2, PaO2, CPP, CBF

c) menghindari tehnik dan obat yang meningkatkan ICP.

Pemeliharaan Hemodinamik Sistemik

Hipotensi sistemik (tekanan sistolik < 90 mmHg selama 30 menit) memberi outcome yang negatif pada pasien dengan cedera kepala berat. Penyebab hipotensi pada umumnya banyak faktor. Anak-anak kemungkinan bisa menderita hipotensi dan hipovolemia karena perdarahan intrakranial atau luka pada scalp, tetapi hal ini tidak mungkin terjadi pada dewasa, dan adanya hipotensi pada dewasa harus dicari adanya kehilangan darah ditempat lain.

Disebabkan karena pada cedera kepala terjadi stimulasi simpatis yang kuat, kebanyakan pasien berada dalam keadaan hipertensi dan takikardia. Kebanyakan pasien dewasa yang hanya menderita cedera kepala dan terjadi kenaikan ICP yang nyata, terdapat hipertensi dan bila ada kompresi batang otak terjadi bradikardi (Cushing refleks). Disebabkan karena kenaikan tekanan darah adalah mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi otak, maka peningkatan tekanan darah yang sedang (moderat) tidak perlu diterapi. Kenaikan tekanan darah yang ekstrem (melebihi batas atas autoregulasi) harus diterapi sebab akan meningkatkan CBF dan mungkin akan memperbesar kenaikan ICP. Tidak adanya hipertensi dan bradikardi tidak menyingkirkan kemungkinan adanya kompresi batang otak, sebab adanya hipotensi sistemik akan mencegah terjadinya hipertensi dan stimulasi simpatis akan mencegah terjadinya bradikardi. Urine output yang adekuat adalah indikator yang jelek untuk status volume, terutama jika baru diberikan mannitol.

Selama evakuasi epidural hematom atau subdural hematom dengan kompresi otak yang nyata, sering terlihat adanya penurunan tekanan darah yang tiba-tiba pada saat dekompresi.

Bila pasien hipertensi pada saat sebelum cedera, penurunan tekanan darah mungkin akan membawa ke arah level normal. Pasien yang normotensi tapi takikardia, dan dengan hipovolemia yang tersembunyi karena adanya peningkatan resistesi vaskuler sistemik, adanya dekompresi akan menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah yang tiba-tiba atau kolaps kardiovaskuler. Bila terjadi penurunan tekanan darah yang tiba-tiba saat dekompresi, berikan cairan maka pada operasi kraniotomi untuk cedera kepala harus selalu dipasang kanula vena yang besar (minimal nomor 16). Pemberian vasopressor, mungkin diperlukan sampai resusitasi cairan yang adekuat dicapai.

Pemeliharaan Ventilasi dan Okigenasi yang Adekuat

Pasien dengan cedera kepala berat sering mengalami hipoksia dan hiperkapnia, yang keduanya dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan kenaikkan ICP. Walaupun ventilasi sudah dikendalikan dan hiperkapnia dikoreksi, oksigenasi pasien masih merupakan masalah pada pasien dengan kontusio paru, aspirasi, Neurogenic Pulmonary Edema (NPE). Untuk terapi hipoksemia mungkin diperlukan dengan oksigen konsentrasi tinggi dan PEEP.

Pemeliharaan Perfusi Serebral

CBF menurun bila dilakukan hiperventilasi. Reaktivitas CO2 umumnya, tetapi tidak selalu, tetap dipertahankan. Pada pasien dengan reaktivitas CO2 normal dan CBF yang rendah setelah trauma, hiperventilasi bisa menyebabkan penurunan regional CBF ke level dibawah level yang menimbulkan iskemia.

CPP akan diperburuk dengan adanya hipotensi sistemik. Jadi harus selalu diingat bahwa hiperventilasi yang ekstrem mempunyai pengaruh buruk terhadap perfusi otak. Metode lain untuk memperbaiki CPP adalah menurunkan ICP.

Penggunaan Obat Anestesi yang optimalPada umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan efeknya pada sistim kardiovaskuler, tetapi pada pasien bedah saraf harus dipikirkan efeknya terhadap CBF, CBV, ICP, CSF, autoregulasi dsb. Antara anestetika volatil (halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran) semuanya menurunkan tekanan darah, tetapi mekanismenya yang berbeda. Halotan lebih bersifat depresi miokard, sedikit menurunkan resitensi perifer, sebaliknya isofluran terutama karena penurunan resistensi vaskuler sistemik. Enfluran menurunkan tekanan darah karena depresi miokard dan menurunkan resistensi perifer. Efek penurunan tekanan darah pada MAC yang sama, sama antara halotan, isofluran dan enfluran dan hanya setengahnya pada sevofluran (tabel 1.1).

Obat-obat yang menurunkan ICP dan CBF dari golongan obat induksi intravena adalah yang paling menurunkan adalah pentotal lalu etomidat, propofol, midazolam. Jadi pilihan utama adalah pentotal.

Pelemas otot, semuanya meningkatkan CBF, tetapi yang paling sedikit menaikkan CBF adalah vecuronium, sehingga vecuronium merupakan obat relaxant terpilih untuk bedah saraf.

Obat anestesi yang tidak mempengaruhi CBF dan metabolisme serebral mungkin menguntungkan atau merugikan pada pasien cedera kepala. Hasil akhir bukan saja dari pengaruh obat anestesi terhadap CBF dan metabolisme serebral, tetapi juga interaksi dengan hemodinamik sistemik, ICP, reaktivitas CO2, produksi/ absorpsi CSF dan stimulasi bedah.

Tabel 1.1 Efek Kardiovaskuler dari Anestetika Volatil pada 1-1,5 MACVariabelHalotanEnfluranIsofluranSevofluran

Tekanan Darah

Resistensi Vaskuler0

Curah Jantung00

Kontraksi Jantung00

CVP00

Denyut Jantung00

Sensitisasi jantung terhadap epinefrin0?0

0 = tidak ada perubahan ( 1 MAC harus dihindari disebabkan dapat menyebabkan peningkatan ICP.

Sevofluran menunjukkan efek pada hemodinamik serebral sama atau lebih ringan daripada isofluran. Kerugian sevofluran adalah metabolit biodegaradasi mungkin bersifat toksik pada konsentrasi tinggi. Tidak ada bukti efek buruk pada konsentrasi klinis kecuali bila sevofluran digunakan dalam jangka waktu lama pada low-flow anestesi. Keuntungan sevofluran adalah karena bangun cepat sehingga dapat dilakukan evaluasi neurologis pascabedah dengan segera.

Desfluran pada konsentrasi tinggi meningkatkan ICP.

N2O menimbulkan dilatasi pembuluh darah otak, maka meningkatkan ICP. Pasien yang mempunyai tripertensi intrakranial atau penurunan komplians intrakranial jangan diberikan N2O. N2O harus dihindari pada pneumocephalus atau pneumothoraks karena berdifusi ke ruangan yang berisi udara lebih cepat dari difusi nitrogen keluar, karenanya akan meningkatan volume ruangan yang berisi udara.

Infiltrasi lidokain 1% atau bupivakain 0.25% dengan atau tanpa epinephrine pada tempat insisi kulit kepala dan tempat insersi pin menolong mencegah kenaikan tekanan darah sistemik dan ICP dan menghindari pendalaman anestesi yang tidak diperlukan.

Relaksasi otot yang adekuat memberikan fasilitas ventilasi mekanis dan menurunkan ICP. Batuk dan straining dihindari karena dapat dapat menimbulkan pembesaran pembuluh darah serebral. Vecuronium mempunyai efek minimal dan tidak ada efeknya terhadap ICP, tekanan darah, denyut jantung dan efektif pada pasien cedera kepala. Vecuronium diberikan dengan dosis bolus 0,08-0,1 mg/kg dilanjuktan dengan infus 1-1,7 g/kg/menit. Rocuronium berguna untuk intubasi karena mula kerja yang cepat dan sedikit efeknya pada dinamika intrakranial.

Pengelolaan Respirasi dan Sirkulasi Intraoperatif

Ventilasi mekanis untuk mempertahankan PaCO2 sekitar 35 mmHg. FiO2 biasa untuk mempertahankan PaO2 > 100 mmHg. Pasien yang mempunyai kontusio paru, aspirasi, atau neurogenic pulmonary edema (NPE) sentral, mungkin memerlukan PEEP untuk mempertahankan oksigenasi adekuat. Eksesif PEEP harus dihindari karena peningkatan tekanan intratorak dapat mengganggu drainase vena serebral dan meningkatkan ICP.

CPP harus dipertahankan antara 50-70 mmHg. Transduser untuk pemantauan langsung tekanan darah arteri dizero pada level mastoid untuk merefleksikan sirkulasi serebral.

Bila hipotensi menetap walaupun oksigenasi, ventilasi, dan penggantian cairan adekuat, mungkin diperlukan peningkatan tekanan darah dengan hati-hati dengan infus inotrop atau vasopresor. Phenilephrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit dan dopamin 1- l0 mcg/kg/menit adalah obat yang tepat. Dosis bolus vasopresor harus digunakan secara hati-hati disebabkan peningkatan tekanan darah yang kasar dapat meningkatkan ICP ke level berbahaya, terutama pada pasien dengan gangguan autoregulasi.

Hipertensi diterapi secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah dapat merefleksikan kompensasi hiperaktivitas sistim saraf simpatis sebagai respons terhadap peningkatan ICP dan kompresi batang otak (Cushing's refleks). Oksigenasi, ventilasi, penggantian cairan, analgesia yang adekuat harus dinilai lebih dulu dan dikoreksi. Bila diperlukan berikan obat antihipertensi seperti labetalol atau esmolol yang mempunyai efek vasodilatasi serebral minimal. Bila melakukan terapi hipertensi pemeliharaan CPP merupakan pertimbangan utama.

Pengelolaan Peningkatan ICP Intraoperatif

Posisi pasien sedikit head up 10-30o. CPP mungkin tidak ada perbaikan, tetapi hal ini kalau tekanan darah sistemik menurun. Bila dokter bedah menginginkan fleksi atau rotasi kepala dan leher, ahli anestesi harus tetap mempertahankan adekuatnya aliran darah balik (venous return).

PaCO2 dipertahankan sekitar 35 mmHg dan hindari hiperventilasi bila tidak ada monitoring yang menjamin oksigenasi otak yang adekuat. Hipotensi (sistolik < 90 mmHg) dan hipertensi (sistolik > 160 mmHg) harus dkoreksi.

Diuretik mannitol akan menurunkan volume otak dan mengurangi ICP. PAda kasus yang berat dapat ditambahkan furosemid atau furosemid diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi jantung dan kemungkinan gagal jantung. Furosemid 0,1-0,2 mg/kg diberikan l5 menit sebelum mannitol diberikan. Bila diberikan mannitol bersama-sama furosemid harus dipantau volume intravaskuler dengan CVP atau kalau perlu dengan kateter arteri pulmonalis.

Ventilasi, oksigenasi, kedalaman anestesi, dosis terakhir pemberian diuretika harus dinilai bila ada pembengkakan otak setelah kraniotomi. Bila semuanya adekuat, diindikasikan penambahan pentotal atau pentobarbital. Hiperventilasi yang lebih hebat juga suatu opsi dengan pemantauan oksigenasi otak. Bila semua tindakan ini gagal, maka lakukan kraniotomi dekompresif.

Drainase CSF dilakukan melalui kateter Intraventrikuler. Drainase CSF merupakan tindakan yang efektif untuk mengurangi ICP.

d. Pengelolaan pascabedah

Spesialis Anestesiologi sering menerima pesanan untuk membangunkan pasien segera untuk dapat dilakukan evaluasi neurologis yang segera pada periode pascabedah. Pasien yang mempunyai level kesadaran normal sebelum operasi dan dilakukan prosedur pembedahan sederhana dapat dibangunkan dan dilakukan ekstubasi di kamar bedah. Emergens yang lancar dengan pengendalian tekanan darah sistemik dan menghindari batuk diperlukan untuk mencegah edema serebral dan pembentukan hematoma.

Ekstubasi di kamar bedah sebaiknya dihindari untuk pasien dengan penurunan level kesadaran pada periode prabedah dan dengan edema otak intraoperatif atau akan terjadi edema otak pascabedah. Pasien dengan trauma multipel juga merupakan calon untuk dilakukan ventilasi pascabedah. Pasien yang hipotermi saat emergens harus dilakukan ventilasi mekanis pascabedah dan diekstubasi setelah rewarming.

Umumnva bila pasien bangun dan bernafas spontan maka pada periode pascabedah keadaannya harus sama dengan prabedah dan ektubasi dilakukan di kamar operasi. Pada operasi-operasi dengan trauma dada, fraktur muka, trauma leher, atau edema serebri hebat, mungkin pascabedah pasien masih diintubasi untuk dilakukan ventilasi di ICU, mempertahankan jalan nafas dan proteksi jalan nafas. Hiperventilasi yang menetap dan sedasi pascabedah mungkin tanda pertama dari adanya rebleeding dan komplikasi lain yang serius. Bila GCS < 8, sebaiknya dilakukan trakheostomi untuk memudahkan pengelolaan jalan nafas.

Bila intubasi masih perlu dipertahankan untuk transportasi ke ICU, maka dapat diberikan dosis kecil narkotik dan atau pentotal supaya tidak terangsang oleh adanya tube endotrakheal. Kita harus menghindari batuk atau mengejan karena terangsang oleh tube endotrakheal. Pemberian lidokain 1,5 mg/kg, mungkin dapat menolong. Pasien harus dipindahkan dengan posisi kepala flat atau naik 0o- 15o, dengan tetap dimonitor dan diberi oksigen.

Komplikasi

a. Hipotermi

Penurunan temperatur tubuh sampai 33-35oC mempunyai efek proteksi otak. Mekanisme protekasi termasuk penurunan kebutuhan metabolisme, eksitotoksisitas, pembentukan radikal bebas, dan pembentukan edema. Pada model hewan coba yang dibikin iskemia, hipotermia ringan sampai 34-36oC melemahkan cedera iskemik. Pada praktek klinis, kontroversi tentang efektivitas hipoterrmia pada cedera kepala masih berlangsung. Penelitian multi institusi tentang hipotermia pascabedah pada pasien cedera kepala telah dihentikan oleh Safety Monitoring Board setelah dilakukan penelitian pada 392 pasien. Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan pada mortalitas antara pasien dengan hipotermia dan normotermi, dan pasien dengan hipotermi mengalami lebih banyak komplikasi. Analisis subgrup menunjukkan bahwa pasien yang lebih muda ( 45 tahun) yang hipotermi pada saat masuk ke rumah sakit dan dirancang untuk grup hipotermi bertendensi untuk mempunyai outcome yang lebih baik daripada yang dirancang untuk grup normotermi.

Bila induksi hipotermi dipilih, meticoulus care diperlukan untuk menghindari efek samping buruk seperti hipotensi, aritmia jantung, koagulopati, dan infeksi. Rewarming harus dilakukan perlahan-lahan. Pemantauan temperatur dianjurkan dilakukan pada dua tempat atau lebih yaitu membran timpani, nasofaring, esophagus, dan darah.

b. Komplikasi kardiovaskulerRespon kardiovaskuler yang umum adalah hiperaktif simpatis yang akan menyebabkan kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik, curah jantung, konsumsi oksigen, resistensi pembuluh darah sistemik, shunt intrapulmonal dan V/Q mismatch.

Kejadian aritmia terutama disebabkan karena hiperadrenergik central; walaupun demikian penyebab metabolik dan kardiak harus dipertimbangkan pula. Bolus lidokain (l-1,5 mg/kg i.v.) dan titrasi lidokain (1-4 mg/menit) mungkin bisa menolong.

Selama pembedahan, pengobatan hipertensi dapat dengan hidralazin, nitroprusid atau nitrogliserin intravena. Walaupun obat-obat tersebut efektif dalam menurunkan tekanan darah tetapi juga bersifat vasodilator serebral kuat yang menyebabkan obat-obatan tersebut tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien cedera kepala, lebih disukai diberikan beta bloker seperti esmolol, propanolol atau labetalol.

c. Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)

Gambaran karakteristik dari NPE adalah sebagai berikut : yang dihubungkan dengan lesi hebat pada SSP, misalnya cedera kepala, subarachnoid hemorrhage (SAH), tumor. Pada umumnya onsetnya cepat, terjadi dalam beberapa detik atau menit setelah cedera SSP, tapi pada beberapa kasus bisa terjadi lebih lambat. Terjadi akibat pelepasan adrenalin, sehingga dapat dicegah atau ditekan dengan obat blokade adrenergik atau depresant SSP.

Terjadi peningkatan tekanan vena paru yang merupakan suatu komponen dari peningkatan permeabilitas kapiler. Permeabilitas endotel kapiler alveoli dipengaruhi oleh neural out flow otonom dari hipotalamus. Kebocoran kapiler ini menyebabkan terjadinya edema interstitial yang menimbulkan adanya shunting, penurunan komplien, hilangnya volume paru. Onset NPE bisa cepat segera, dan umumnya dihubungkan dengan peningkatan ICP yang hebat. Gejala dan tanda NPE yaitu dispnoe, sianosis, pucat, berkeringat, nadi yang cepat dan lemah, juga gambaran sputum yang merah muda dan frothy.

Terapinya adalah mengambil hematom pada otak dan obat-obatan untuk menurunkan ICP, obat antiadrenergik. Terapi NPE dengan dehidrasi, peningkatan FiO2 untuk mempertahankan PaO2 70-80 mmHg dicapai dengan optimal PEEP (paling minimal meningkatkan ICP dengan minimal penurunan curah jantung) dan mempertahankan PaCO2 25-30 mmHg.

d. Emboli Lemak

Karena salah satu tanda utama dari emboli lemak adalah hilangnya kesadaran, maka sulit mendiagnosanya pada pasien cedera kepala. Etiologinya adalah pelepasan sumsum tulang yang kaya lemak ke dalam sirkulasi dari rusaknya tulang extrimitas atau pelvis. Globul-globul ini akan diam di paru-paru di mana asam lemak bebas dilepaskan menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler paru. Fluffy infiltrat sering terlihat pada foto thorak yang dihubungkan dengan hipoksemia dan edema paru. Komplikasi edema serebral dan DIC mungkin terjadi, umumnya 12-24 jam setelah cedera. Terapinya hanya suportifl mungkin steroid menguntungkan tetapi morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi.

e. Emboli Udara

Emboli udara pada vena sering terjadi bila ada kerusakan sinus nervous atau bila sinus tulang kontak dengan udara. Indikator untuk emboli udara dengan adanya perubahan suara Doppler, perubahan end-tidal Nitrogen, penurunan end-tidal CO2, peningkatan CVP, ahirnya penurunan MAP dan PaO2.

Gambar : Patofisiologi NPE

Dikutip dari : Edwards N. Principles and pratice of neuroanesthesia. London : Chapman and Hall Medical, 1991Trik-Trik Baru dalam Neuroanestesi

Dalam l0 tahun terakhir, telah diperkenalkan obat dan metoda baru untuk pemantauan serebral, yang akan mempengaruhi pilihan kita dalam memberikan anestesi pada pasien. Untuk pertimbangan outcome dari anestesi bedah saraf obat dan alat pantau yang dipakai menjadi pertimbangan kita. Berdasarkan hal tersebut perlu melihat efek dari obat dan teknik terhadap perfusi otak dan metabolisme otak, untuk mempertimbangkan resiko terjadinya iskemia perioperatif.

Hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg ) atau hipoksia NaO2 < 60 mmHg, apnoe atau sianosis) harus betul-betul dihindari, dan segera dikoreksi. Tekanan arteri rerata harus dipertahankan > 90 mmHg untuk mempertahankan tekanan perfusi otak 50-70 mmHg.

Hipertensi, hipotensi?

Tekanan perfusi otak harus dipertahankan 60 mmHlg. CPP=MAP-ICP, sangat erat berhubungan dengan terjadinya iskemia serebral. Berdasarkan penelitian sebelumnya, adanya dokumen bukti nyata vasospasme pascatrauma dan ini jelas menunjukkan bahwa resistensi vaskuler berubah setelah trauma. Tekanan perfusi otak yang rendah mungkin membahayakan otak dengan preexisting iskemi dan memperbesar tekanan hidrostatik intravaskuler dengan meningkatkan tekanan perfusi otak dapat menolong memperbaiki perfusi serebral. Dalam kebanyakan kasus, tekanan perfusi otak menerima terhadap manipulasi klinik dan menaikkan tekanan perfusi otak dapat menolong mencegah terjadinya iskemia global dan regional.

Mengapa perlu menaikkan Tekanan perfusi otak ?Adanya peningkatan jumlah bukti-bukti bahwa aliran darah otak sangat rendah setelah cedera kepala dan pada banyak kasus hampir mendekati ambang iskemia. Rendahnya aliran darah otak ini mungkin disebabkan karena penekanan pembuluh darah serebral oleh massa intrakranial, penurunan metabolisme serebral pada pasien yang koma, serta adanya vasospasme pascatrauma (40%). Outcome klinik lebih buruk pada pasien yang mengalami episode hipotensi sistolik < 90 mmHg pada beberapa jam pertama atau hari setelah cedera. Penurunan CPP < 50 mmHg beresiko terjadinya iskemia serebral. Suatu hubungan yang bertentangan adalah pada keadaan hipotensi terjadi kenaikan tekanan intrakranial pada bagian yang autoregulasinya masih baik. Ada suatu penelitian eksperimental bahwa suatu penurunan tekanan darah bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba, yang dapat dihilangkan bila tekanan darah dinaikkan lagi. Juga ada bukti bahwa autoregulasi vasodilatasi sebagai respons terhadap hipotensi adalah kira-kira 65% dari diameter asal pembuluh darah.

Karena itu sebagai simpulannya, mempertahankan tekanan perfusi otak 50-70 mmHg adalah suatu opsi terapi yang dapat menurunkan mortalitas dan memperbaiki kualitas pasien yang hidup dan memperbesar perfusi pada regio yang iskemik setelah cedera otak berat.

reaktivitas pupil asimetris, motor posturing atau bukti memburuknya neurologis.

Terapi hiperventilasi pertama kali untuk mencapai PaCO2 30-35 mmHg, tetapi bila tekanan intrakranial masih tinggi hiperventilasi dapat diperdalam untuk mencapai PaCO2 < 30 mmHg tetapi harus dilakukan pemantauan SPO2 atau AVDO2 untuk melihat adanya komplikasi iskemia otak.

Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otakBila tidak ada tanda herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus digunakan selama transportasi pasien untuk kemudahan dan keamanan selama transportasi. Agitasi, confus sering terdapat pada pasien cedera kepala dan memerlukan pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh otot mempunyai keterbatasan untuk evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT-scan. Karena itu, penggunaannya pada pasien tanpa tanda herniasi otak adalah bila pemberian sedatif saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dan kemudahan transportasi pasien. Bila akan digunakan pelumpuh otot, pakailah yang masa kerjanya pendek. Tidak perlu mannitol karena dapat menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu dilakukan hiperventilasi tapi asal optimal oksigenasi dan normal ventilasi.

Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otakBila ada tanda herniasi transtentorial atau pembahan progresif dari memburuknya neurologis yang bukan disebabkan akibat ekstrakranial, diindikasikan untuk melakukan terapi agresif peningkatan tekanan intrakranial. Hiperventilasi mudah dilakukan dengan meningkatkan frekuensi ventilasi dan tidak tergantung pada sukses atau tidaknya resusitasi volume. Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan memburuknya neurologis dan hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol hanya bila volume sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi mannitol.

Kapan dimulainya terapi kenaikan Tekanan intrakranial ?Pemantauan tekanan intrakranial perlu dilakukan pada pasien cedera kepala berat dengan kelainan CT-scan misalnya adanya hematom, kontusio, edema atau penekanan sisterna basalis. Pemantauan tekanan intrakranial juga perlu pada pasien cedera kepala berat dengan CT-scan normal bila memenuhi 2 kriteria umur > 40 tahun, sistolik < 90 mmHg atau unilateral atau bilateral motor posturing.

Terapi kenaikan tekanan intrakranial harus dimulai bila ambang atas tekanan 20-25 mmHg akan tetapi herniasi bisa terjadi pada tekanan intrakranial. Pada laporan Marshall disebutkan bahwa pupil abnormal dapat terjadi pada tekanan intrakranial 18 mmHg.

Tekanan perfusi otak yang adekuat secara umum dipertahankan pada tekanan intrakranial > 20-25% mmHg. Tekanan intrakranial di mana pasien mulai menunjukkan adanya herniasi kadang-kadang pada tekanan intrakranial > 20-25 mmHg, karena itu pada kasus tertentu, tekanan intrakranial yang akseptabel adalah dimana tekanan intrakranial masih dapat dipertahankan tekanan perfusi otak yang adekuat.

Herniasi OtakHerniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat penyakit intrakranial misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien cedera yang berkembang menjadi herniasi transtentorial, hanya 18% mempunyai outcome yang baik, didefinisikan sebagai good recovery atau moderate disability.

Patofisiologi herniasi otak menjadi lebih jelas dengan adanya CT-scan dan MRI. Konsep klasik dari ketiga sindroma herniasi timbul sebagai konsekwensi dari bukti hasil otopsi. Tiga sindroma ini, uncal, serebelar dan sentral merupakan perpindahan ke bawah. Tingkatan kesadaran pada sindrom herniasi paling berhubungan dengan pergeseran ke lateral dari glandula pinealis. Pada konteks ini, pergerakan dari batang otak menimbulkan memburuknya kesadaran. Tanpa memperhatikan herniasi disebabkan oleh perpindahan ke lateral atau vertikal dari struktur otak, onset disfungsi batang otak bagian atas (disfungsi pupil dan penurunan kesadaran) adalah tanda adanya ancaman bahaya.

Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial yaitu penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing timbul sebagai konsekwensi adanya massa hemisperic. Tanda pertama dan ketiga akan hilang bila pasien dianestesi dan yang kedua memerlukan pemantauan pupil yang sering.

Tiga sindroma herniasi yang klasik adalah uncal, central dan serebellar. Herniasi uncal diuraikan sebagai adanya pembesaran pupil pada sisi massa yang disebabkan karena regangan atau penekanan nerves tiga. Penekanan pada pedunkulus serebral yang berlawanan kemudian menyebabkan hemiparesis. Kemudian berkembang deserebrasi rigiditas dan akhirnya meninggal.

Herniasi sentral umumnya dimulai dengan penekanan kesadaran disebabkan karena penekanan retikular activating system di talamus. Pupil mula-mula kecil selanjutnya diikuti pernafasan periodik, refleks babinski bilateral, decortikasi, pembesaran pupil dan akhirnya paralisis flasid dengan pupil midpoint dan terfiksir.

Herniasi serebelar ditandai dengan adanya apnoe dan kematian yang tiba-tiba akibat tenaga tekanan pada cerebelar tonsil melalui foramen magnum. Gejala-gejala ini kadang-kadang terjadi bersamaan.

Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan hipertensi intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan volume darah otak yaitu dengan cara: berikan mannitol, hiperventilasi. Tambahan tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi kepala head-up (supaya drainase vena serebral baik), posisi leher netral (untuk menghindari penekanan vena jugularis), pola ventilasi yang tepat, glukokortikoid (hanya untuk tumor atau abses otak, tidak efektif untuk stroke dan kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh otot dan terapi demam (lakukan hipotermi ringan).

Bab II

Manajemen Anestesi pada Cedera Kepala1. Preoperatif

a. Penilaian awal kondisi pasien

1) Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana dan diterima secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan status neurologis pasien dengan trauma kepala. a) Skor GCS 100 mmHg. Pasien dengan kontusio pulmoner, aspirasi, atau edema paru neurogenik, membutuhkan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) untuk menjaga oksigenasi yang adekuat. PEEP yang berlebihan sebiknya dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.

b. Penanganan sirkulasi

CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti cairan, peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau vasopresor.

Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).

Penanganan peningkatan TIK intraoperatif a. Posisi pasien

Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin tidak menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara substansial. Ketika ahli beadh ingin merotasi atau fleksi dari kepala dan leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return.b. Ventilasi

Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat.

c. Sirkulasi

Baik hipotensi (tekanan sistolik 160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan.

d. Diuretik

Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK. Furosemide juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih berat juga pada pasien dengan penurunan fungsi jantung.

e. Drainase CSF

Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF merupakan cara yang efektif dalam menurunkan TIK.

Monitoring a. Monitoring standar termasuk heart rate dan ritme (EKG), pengukuran noninvasif tekanan darah arteri, pulse oximetry, end-tidal CO2, suhu badan, urine output, CVP, dan blokade neuromuskular. AGDA, hematokrit, elektrolit, glukosa, dan osmolaritas serum harus dinilai secara periodik.

b. Monitoring terhadap emboli udara. Deteksi emboli pada vena dengan menggunakan USG Doppler harus dipertimbangkan pada tindakan bedah yang mana vena tempat operasi terletak diatas jantung.

c. Monitoring otak seperti EEG, evoked potential, jugular venous bulb oxygen saturation (SjO2), Laju aliran yang diukur menggunakan Transcranial Doppler (TCD), brain tissue PO2 (btPO2), dan TIK dapat digunakan.

3. Postoperatif

a. Umum

1) Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.

2) Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.

3) Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri rerata > 130 mmHg.

4) Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan koloid. Hematokrit pertahankan 33%.

5) Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.

6) Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb) perlahan lahan selama 1-2 menit.

b. Proteksi serebral dilakukan dengan berbagai jalan, yaitu:

1) Basic Methods

Dapat dilakukan dengan cara jalan nafas yang bebas, oksigenasi yang adekuat, cegah hiperkarbi (selalu dalam normokarbia , hiperventilasi hanya bila ada herniasi otot dan bila PaCO2 < 35 mmHg harus dipasang alat pantau SJO2), pengendalian tekanan darah (harus normotensi, sistolik jangan < 90 mmHg), pengendalian tekanan intraklanial (terapi bila tekanan intraklanial > 20 mmHg, herniasi otak sudah dapat terjadi pada tekanan intraklanial < 20 25 mmHg), mempertahakan tekanan perfusi otak (tekanan peruse otak harus > 70 mmHg), pengendalian kejang. Metode dasar ini yang harus dilakukan pertama kali dalam melakukan proteksi otak.2) FarmakologiPemberian obat yang meningkatkan resistensi pembuluh darah serebral dapat secara cepat mengurangi tekanan intracranial. Jenis-jenisnya adalah a) Pentotal

Menyebabkan kontriksi pembuluh darah serebral, yang menurunkan aliran darah ke otak dan karena itu menurunkan peningkatan tekanan intrakranial.

b) Pentobarbital

Digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial apabila cara terapi lain gagal. Dosis bolus 10 mg/kg selama lebih dari 30 menit dilanjutkan dengan dosis 1-1,5 mg/kg dapat menimbulkan koma.

c) Barbiturat

Memberikan proteksi otak dengan cara menurunkan metabolisme otak. Masalah utama dengan barbiturate adalah adanya penurunan arteri rerata, yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat menurunkan perfusi ke otak. Mekanisme barbiturate dalam menurunkan CMR adalah karena penurunan influks Ca, blockade terowongan Na, inhibisi pembentukan radikal bebas, potensiasi aktivitas GABAergic. Menghambat transfer glukosa melalui barrier darah otak. Rasisonalisasi utama penggunaan barbiturat untuk proteksi melawan iskemi adalah mengurangi kebutuhan energy jaringan dengan menekan fungsi aktivitas listrik sel.

3) Hipotermi

Hipotermia ringan adalah ditujukan untuk mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan cedera kepala dengan menurunkan metabolism otak, memperlambat depolarisasi anoksik/iskemik, memelihara homeostasis ion, menurunkan excitatory neurotransmisi, mencegah atau mengurangi kerusakan sekunder terhadap perubahan biokimia. Obat yang menekan menggigil secara sentral, pelumpuh otot, dan ventilasi mekanis diperlukan bila dilakukan teknik hipotermi. Di dalam OK suhu pertahankan 34-35pascabedah di ICU 36C.

KESIMPULANSasaran utama dari pengelolaan perioperatif pasien dengan cedera kepala adalah untuk mencegah kerusakan sekunder. Tindakan terapeutik berdasarkan pada panduan dan rekomendasi harus dilakukan dengan cepat dan tepat DAFTAR PUSTAKA

1. American College Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh. United States of America.2. Bisri Tatang : Pengelolaan Cedera Kepala Akut,edisi ketiga, Bandung,2004.3. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.4. Bisri, T,. Dasar-dasar Neuro Anestesi. Saga Olahcitra. Bandung. 20085. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthesia. In : Clinical Anesthesiology 5th Edition. 2013. 6. Barash, PG. dkk.Clinical Anesthesia. Edisi ke-4. Lippincott Williams & WilkinsPublishers. Philladelphia. USA; 2001

7. Miller, RD. dkk. Anesthesia. Edisi ke-5. Churchill Livingston. New York. USA; 2000.

Quick assessment

of the patient

Airway Management Teacheal Intubation

Fluid resuscitation

Maintain mean BP>90 mmHg

ICP monitoring

PaCO2 at 30 mmHg low dose isoflurane/desflurane supplement with fentanyl

NO

YES

ICP > 15 mmhG

Head Up

PaCO2 26-30 mmHg thiopental bolus/ infusion fentanyl pra mennitol burosemicle

YES

NO

PaCO2 at 30 mmHg

Isoflurane or Desflurane fentanyl pre

12