Gangguan Napas Pada Bayi Baru Lahir
-
Upload
ady-tanesia -
Category
Documents
-
view
99 -
download
4
description
Transcript of Gangguan Napas Pada Bayi Baru Lahir
DISKUSI TOPIK
“GANGGUAN NAPAS PADA BAYI BARU
LAHIR”
Pembimbing
dr. Irene Akasia O. Sp.A
Disusun oleh :
Erwin Abadi Tanesia (07120100097)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
GANGGUAN NAPAS PADA BAYI BARU LAHIR
I. PENDAHULUAN
Distres respirasi ata gangguan napas merupakan masalah yang sering dijumpai pada
hari-hari pertama kehidupan BBL, ditandai dengan takipnea, napas cuping hidung, retraksi
interkostal, sianosis dan apnu. Gangguan napas yang paling sering adalah TTN (Transient
Tachypnea of the Newborn), RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau PMH (Penyakit
Membran Hialin) dan Displasia bronkopulmonar.1
Gangguan pernapasan pada bayi baru lahir merupakan kasus terbanyak di ICU
(Intensive Care Unit) pada kegawatdaruratan bayi. Bayi yang baru lahir dalam kesulitan
pernapasan harus dievaluasi segera dan akurat; kadang-kadang, gangguan pernapasan
neonatal dapat mengancam jiwa dan membutuhkan intervensi langsung. Stabilisasi awal
neonatus, melalui penanganan pada airway (jalan napas), breathing (pernapasan), sirkulasi,
dan menentukan diagnosa atau penyebabnya. Pemeriksaan yag lengkap dari anamnesa
termasuk riwayat ibu dan bayi, pemeriksaan fisik, dan penggunaan yang tepat dari tes
diagnostik penting untuk mendiagnosis penyebab gangguan pernapasan.13
Gangguan napas dapat mengakibatkan gagal napas akut yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk memelihara pertukaran gas agar dapat memenuhi kebutuhan tubuh
dan akan mengakibatkan hipoksemia dan/atau hiperkarbia. Mekanisme terjadinya kedua hal
ini mungkin berbeda. Hipoksemia sering terjadi akibat gangguan ventilasi perfusi, pirau
intrapulmonal, gangguan difusi atau hipoventilasi. Gangguan napas hiperkapnik karena
penyebab multifaktor, tapi sering disebabkan depresi pernapasan sentral atau pemompaan
otot pernapasan yang tidak adekuat. Hiperkapnea dapat terjadi akibat obstruksi saluran napas
atas atau bawah, kelemahan otot pernapasan atau biasanya akibat produksi CO2 yang
berlebihan, luka bakar dan pemberian gula yang berlebihan.3
2
II. DEFINISI
Definisi ganggan napas adalah suat keadaan mengikatnya kerja pernapasa yang
ditandai dengan:4
1. Takipnea : frekuensi nafas > 60-80 kali/menit
2. Retraksi : cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal) dan atau di bawah
sternum (sub sternal) selama inspirasi
3. Nafas cuping hidung : kembang kemois lubang hidung selama inspirasi
4. Merintih atau grunting : terdengar merintih atau menangis selama inspirasi
5. Sianosis : sianosis sentral yaitu warna kebiruan pada bibir (berbeda dengan biru
lebam atau warna membran mukosa). Sianosis sentral tidak pernah normal, selalu
memerlukan perhatian dan tindakan segera. Mungkin mencerminkan abnormalitas
jantung, hematologik atau pernafasan yang harus dilakukan tindakan segera.
6. Apnu atau henti nafas : harus segera dinilai dan dilakukan tindakan segera
7. Dalam jam-jam pertama setelah lahir, empat gejala distress respirasi (takipnea,
retraksi, nafas cuping hidung dan grunting) kadang juga dijumpai pada BBL normal
tapi tidak berlangsung lama. Gejala ini disebabkan karena perubahan fisiologik akibat
reabsorbsi cairan dalam paru bayi dan masa transisi dari sirkulasi fetal ke sirkulasi
neonatal.
8. Bila takipnea, retraksi, cuping hidung dan grunting menetap pada beberapa jam
setelah lahir, ini merupakan indikasi adanya gangguan nafas atau distress respirasi
yang harus dilakukan tindakan segera.
III. PATOFISIOLOGI
Perkembangan paru normal
Paru berasal dari pengembangan “embryonic foregut” dimulai dengan perkembangan
bronkhi utama pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan paru kearah kaudal ke
mesenkhim sekitar dan pembuluh darah, otot halus, tulang rawan dan komponen fibroblast
berasal dari jaringan ini. Secara endodermal epitelium mulai membentuk alveoli dan saluran
pernapasan. Di luar periode embrionik ini, ada 4 stadium perkembangan paru yang telah
dikenal. Pada seluruh stadium ini, perkembangan saluran pernapasan, pembuluh darah dan
proses diferensiasi berlangsung secara bersamaan.5
- Pseudoglandular (5-17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan bronkhius dan tubulus asiner
- Kanalikuler (16-26 minggu)
3
Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkhim
- Diferensiasi pneumosit alveollar tipe II sekitar 20 minggu
- Sakuler (24-38 minggu)
Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga udara
Awal pembentukan septum alveolar
- Alveolar (36 minggu – lebih 2 tahun setelah lahir)
Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru.
Surfaktan Paru
Surfaktan dibentuk pada pneumosit alveolar tipe II dan disekresi kedalam rongga
udara kecil sekitar usia kehamilan 22 minggu. Komponen utama surfaktan ini adalah
fosfolipid, sebagian besar terdiri dari dipalmithylphosphatidylcholine (DPPC). Surfaktan
disekresi oleh eksositosis dari lamellar bodies pneumosit alveolar tipe II dan mielin tubuler.
Pembentukan mielin tubuler tergantung pada ion kalsium dan protein surfaktan SP-A dan SP-
B. Surfaktan lapisan tunggal berasal dari mielin tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC.
Fungsinya adalah untuk mengurangi tegangan permukaan, memfasilitasi ekspansi paru dan
mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi dan pemeliharaan sisa volume paru.
Terjadi proses “re-uptake and recycling” secara aktif dari fosfolipid surfaktan (baik
endogenous maupun dari pemberian surfaktan) oleh pneumosit tipe II. Sejak saat ini
pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2-3 kali lebih
lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal,
dengan pembentukan alveoli sejak 32 – 34 minggu.
Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum
mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang
matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan.5,6
Protein surfaktan yang lain
Ada 3 jenis protein utama lain yang dibentuk di dalam pneumosit tipe II dan
disekewai bersamaan dengan komponen fosfolipid surfaktan SP-A mempunyai fungsi imuno
regulator, bersama dengan SP-B diperlukan untuk pembentukan myelin tubuler. SP-A
bersama dengan Sp-B dan SP-C mempertahankan mielin tubuler dan surfaktan lapis tunggal
terhadap pengikisan akibat kontaminasi dengan protein plasma.5,6
4
IV. KLASIFIKASI GANGGUAN NAPAS
Berdasarkan frekuensi napas dan gejala tambahan, Buku Pedomen Manajemen
masalah BBL membagi klasifikasi gangguan napas, menjadi :8
Gangguan Nafas Berat
- frekuensi nafas > 60 kali/menit DENGAN
sianosis central DAN tarikan dinding dada atau
merintih saat ekspirasi
- Frekuensi nafas > 90 kali/menit DENGAN
sianosis central ATAU tarikan dinding dada
ATAU merintih saat ekspirasi
- Frekuensi nafas < 30 kali/menit DENGAN atau
TANPA gejala lain dari gangguan nafas
Gangguan Nafas Sedang - frekuensi nafas 60-90 kali/menit DENGAN
tarikan dinding dada ATAU merintih saat
ekspirasi TANPA sianosis sentral
- Frekuensi nafas > 90 kali/ menit TANPA tarikan
dinding dada atau merintih saat ekspirasi atau
sianosis sentral
Gangguan Nafas Ringan Frekuensi nafas 60-90 kali/menit TANPA tarikan
dinding dada atau merintih saat ekspirasi atau sianosis
sentral
Kelainan
Jantung Kongenital
Frekuensi nafas 60-90 kali/menit DENGAN sianosis
sentral TANPA tarikan dinding dada atau merintih
5
Evaluasi gawat nafas dengan skor Downes9
Pemeriksaan 0 1 2
Frekuensi nafas < 60 kali/menit 60-80 kali/menit > 80 kali/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang
dengan O2
Sianosis menetap
walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan
udara masuk
Tidak ada udara
masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar
dengan stetoskop
Dapat didengar
tanpa alat bantu
Skor total Diagnosis
1-3 Sesak nafas ringan
4-5 Sesak nafas sedang
≥6 Sesak nafas berat
V. PENYEBAB GANGGUAN NAPAS PADA BBL
Penyebab Gangguan napas pada BBL4,10,11
1. Obstruksi jalan napas:
a. Nasal atau nasofaringeal: obstruksi koanae, edema nasalis, ensefalokel. BBL bernapas
dengan hidung dan dapat menunjukkan gejala distres respirasi apabila ada sesuatu
yang menyumbat lubang hidung (mukus atau masker yang menutupi scat dilakukan
terapi sinar)
b. Rongga mulut: makroglosi atau mikrognati
c. Leher: struma congenital dan higroma kistik
d. Laring: laryngeal web, stenosis subglotik, hemangioma, paraliisis medulla spinalis
dan laringomalasia
2. Trakhea: trakheomalasia, fistula trakheoesofagsus, stenosis trakhea dan stenosis
bronkhial.
3. Penyebab pulmonal:
a. Aspirasi mekonium, darah atau susu formula
6
b. Respiarory distress syndrome: RDS = Penyakit membrana hialin
c. Atelektasis
d. Kebocoran udara: Pnemotoraks, pnemomediastinum, emfisema pulmonalis
interstitialis
e. TTN (Transient tachypnea of the newborn)
f. Pnemonia, Pnemonia hemoragik – Kelainan kongenital: hernia diafragmatika, Kista
atau tumor intratorakal, Agenesia atau hipoplasia paru, emfisema lobaris congenital
g. Efusi, silotoraks
4. Penyebab non pulmonal: setiap keadaan yang menyebabkan aliran darah ke paru
meningkat atau menurun, menyebabkan kenaikan kebutuhan oksigen meningkat dan
penurunan jumlah sel darah merah yang menyebabkan distres respirasi
a. Gagal jantung kongestif (congestive heart failure)
b. Penyebab metabolik: asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia
c. Hipertensi pulmonal menetap: persistance pulmonary hypertension
d. Depresi neonatal
e. Syok
f. Polisitemia: jumlah sel darah merah yang berlebihan yang menyebabkan
meningkatnya viskositas darah dan mencegah sel darah merah dengan mudah masuk
ke dalam kapiler paru
g. Hipotermia
h. Bayi dari ibu dengan DM
i. Perdarahan susunan saraf pusat
Faktor predisposisi :
1. Bayi Kurang Bulan : Paru bayi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang
melapisi rongga alveoli
2. Depresi neonatal (Kegawatan neonatal) : aspirasi mekonium, pneumotoraks
3. Bayi dari ibu DM : terjadi respirasi distress akibat kelambatan pematangan paru
4. Bayi lahir dengan operasi sesar : bayi yang lahir dengan operasi sesar dapat
mengakibatkan keterlambatan absorpsi cairan paru (TTN)
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini atau air ketuban
yang berbau busuk dapat terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis
6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium mungkin mengalami aspirasi
mekonium
7
8
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis gangguan napas dapat ditegakkan secara klinis maupun dengan
analisa gas darah (blood gas analysis). Perhitungan indeks oksigenasi akan
menggambarkan beratnya hipoksemia. Bila mengevaluasi dengan gangguan napas
harus hati-hati atau waspada karena dapat terjadi bayi dengan gejala pernapasan yang
menonjol, tetapi tidak menderita gangguan napas (misalnya asidosis metabolik, DKA
= diabetik ketoasidosis dan sebaliknya gangguan napas berat dapat juga terjadi pada
bayi tanpa gejala distres respirasi (hipoventilasi sentral akibat intoksikasi obat atau
infeksi). Penilaian yang hati-hati berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik yang
lengkap dan pemeriksaan penunjang dapat menjelaskan tentang diagnosis. Penilaian
secara serial tentang kesadaran, gejala respirasi, Analisis Gas Darah dan respons
terhadap terapi dapat merupakan kunci yang berarti untuk menentukan perlunya
intervensi selanjutnya.3.11.1
Prioritas dalam evaluasi atau pemeriksaan awal pada bayi dengan gangguan
napas4
1. Langkah awal untuk mencari penyebab:
a. Anamnesis yang teliti
b. Pemeriksaan fisik yang tepat
c. Menilai tingkat maturitas dengan Ballard atau Dubowitz (bila keadaan bayi masih
labil pemeriksaan ini ditunda dulu)
2. Pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan radiologik dada
b. Analisa gas darah
c. Septic work up dan mencari kemungkinan penyebab karena pneumonia: minimal
kultur darah dan jumlah sel.
d. Status metabolik: dilakukan pemeriksaan analisa gas darah, skrining kadar glukosa
darah.
9
Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan intrapartum sangat diperlukan,
antara lain tentang hal:4
Prematuritas, sindrom gangguan napas. sindrom aspirasi mekonium, infeksi:
pneumonia,dysplasia pulmoner, trauma persalinan sungsang, kongesti nasal, depresi
susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf pusat, paralisi nervus frenikus,
takikardia atau bradikardia pada janin, depresi neonatal, tali pusat menumbung, bayi
lebih bulan, demam atau suhu yang tidak stabil (pada pneumonia).
Gangguan SSP: tangis melngking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma, miastenia.
Kelainan congenital: arteri umbilikaslis tunggal, anomali congenital lain: anomali
kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatika, paralisis erb (paralisi
nervus frenikus, atresia khoanae, kongesti nasal obstruktif, meningkatnya diameter
anterior posterior paru, hipoplasia paru, trakeoesofageal fistula).
Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan, partus lama,
kulit ketuban pecah dini, oligohidramnion, penggunaan obat berlebihan.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas seperti:11,12
Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan gejala
menonjol.
Sianosis
Retraksi
Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia koana, ditandai kesulitan
memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung.
Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada tali pusat.
Abdomen mengempis (scaphoid abdomen).
Pemeriksaan penunjang2,7
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Analisis gas darah (AGD):
Dilakukan untuk untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandai
dengan: PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 60mmHg, atau saturasi oksigen arterial <
90%.
Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih dari 20 menit.
darah arterial lebih dianjurkan.
10
Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah dari arteri
umbilikalis atau pungsi arteri.
Menggambarkan gambaran asidosis metabolic atau asidosi respiratorik dan
keadaan hipoksia.
Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau overdistensi
saluran napas bawah.
Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang merupakan
hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme anaerobic.hipoksi terjadi
akibat pirau dari kanan ke kiri melalui pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau
persisten foramen ovale.
Pulse oxymeter digunakan sebagai cara non invasif untuk memantau saturasi
oksigen yang dipertahankan pada 90-95%.
b. Elektrolit:
Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi metabolic untuk
hiperkapnea kronik.
Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia.
Kelainan elektrolit ini dapat juga diakibatkan oleh karena kondisi kelemahan
tubuh; hipokalemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan gangguan kontraksi
otot.
c. Pemeriksaan jumlah sel darah: polisitemia mungkin karena hipoksemia kronik.
2. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologi toraks pada bayi dengan PMH, menunjukkan gambaran
retikulogranular yang difus bilateral atau gambaran bronkogram udara (air
bronchogram) dan paru tidak berkembang.
Gambaran air bronchogram yang menonjol menunjukkan bronkious yang menutup
latar belakang alveoli yang kolaps.
Gambaran jantung yang samar mungkin normal atau membesar.
Kardiomegali mungkin merupakan akibat asfiksia prenatal, maternal diabetes, PDA,
berhubungan dengan kelainan jantung bawaan atau pengambangan paru yang buruk.
Gambaran ini mungkin akan berubah dengan pemberian terapi surfaktan secara dini
atau terapi indometasin dengan ventilator mekanik.
Gambaran radiologik PMH ini kadang tidak dapat dibedakan secara nyata dengan
pneumonia.
11
Pemeriksaan transiluminasi toraks dilakukan dengan cara memberi iluminasi atau
sinar yang terang menembus dinding dada untuk mendeteksi adanya penumpukan
abnormal misalnya pneumotoraks. Pemeriksaan radiologik toraks ini berguna untuk
membantu konfirmasi ada tidaknya pneumotoraks dan gangguan parenkimal seperti
pneumonia atau PMH.
Di samping itu pemeriksaan radiologi toraks juga berguna untuk:
Evaluasi adanya kelainan yang memerlukan tindakan segera misalnya: malposisi
pipa endotrakeal, adanya pneumotoraks.
Mengetahui adanya hal-hal yang berhubungan dengan gangguan atau gagl napas
seperti berikut:
Penyakit fokal atau difus (misal: pneumonia, acute respiratory distress
syndrome (ARDS), hiperinflasi bilateral, pengambangan paru asimetris. Efusi
pleura, kardiomegali)
Bila terjadi hipoksemia tetapi pemeriksaan foto toraks normal, maka harus
dipikirkan kemungkinan penyakit jantung bawaaan tipe sianotik, hipertensi
pulmonal atau emboli paru.
Gambaran pemeriksaan radiologik pada toraks12
Deraja
t
Berat/ringan Temuan pada pemeriksan radiologik toraks
I Ringan Kadang normal atau gambaran granuler, homogen, tidak
ada air bronchogram
II Ringan-Sedang Seperti tersebut di atas ditambah gambaran air
bronchogram
III Sedang-Berat Seperti di atas ditambah batas jantung menjadi tidak jelas
IV Berat “white lung” : paru putih menyeluruh
Berikut ini berdasarkan AAP (American Academy of Pediatrics) perbandingan
penemuan dalam radiografi thoraks gangguan napas pada bayi baru lahir.13
12
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Kelainan sistem respirasi:
a. Obstruksi saluran napas atas: atresia koanae, web laringeal, higroma, gondok,
laringo/trakheomalasia, Sindroma Piere Robin
b. Respiratory distress syndrome = Penyakit membarana hialin
c. Transient tachynea of the newborn
d. Pneumonia
e. Sindroma aspirasi mekonium
f. PPHN = Persistent pulmonary hypertension in newborn
g. Pneumotoraks, atelektasis, perdarahan paru, efusi pleura, palsi nervus frenikus –
Malformasi kongenitalef isalnya: fistula trakheoesofageal, hernia diafragmatika, emfisema
lobaris, malformasi kistik adenomatoid)
h. Proses lambat: displasia bronkhopulmoner
2. Sepsis
3. Sistema kardiovaskular: penyakit jantung bawaan, gagal Jantung kongestip, PDA (Patent
ductus arteriosus), syok
4. Metabolik: keadaan yang dapat menyebabkan asidos, hipo/hipertermia, gangguan
keseimbangan elektrolit, hipoglikemia
5. Sistema hemopoetik: Anemia (termasuk anemia akibat kehilangan darah secara akut, yang
dapat mengakibatkan syok hipovolemik atau kehilangan darah kronik yang dapat menyebabkan
gagal jantung kongestip dan polisitemia)
6. SSP = Sistem Susunan Syaraf Pusat: perdarahan, depresi farmakologik, "drug withdrawal"
malformasi, asfiksia saat lahir/depresi pernapasan
13
Berikut ini adalah perbedaan antara CHD (Cyanotic Heart Disease) dan Pulmonary Disease
pada distres respirasi neonatus.13
14
VIII. MANAJEMEN
Penanganan Di Rumah Sakit (Manajemen Lanjut/Spesifik)8
1. Gangguan Napas Berat
Semakin kecil bayi kemungkinan terjadi gangguan nafas semakin sering dan semakin
berat. Pada bayi kecil ( berat lahir <2500 gram atau umur kehamilan <37 minggu) gangguan
nafas kering memburuk dala waktu 36-48 jam pertama dan tidak banyak terjadi perubahan
dalam satu dua hari berikutnya dan kemudian akan membaik pada hari ke 4-7.
· Tentukan pemberian O2 dengan kecepatan aliran sedang (antara rendah dan tinggi,
lihat terapi oksigen)
· Bila bayi menunjukkan tanda pemburukan atau terdapat sianosis sentral, naikkan
pemberian O2 pada kecepatan aliran tinggi
· Jika gangguan napas bayi semakin berat dan sianosis sentral menetap walaupun
diberikan O2 100%, berikan ventilator mekanik
· Jika gangguan napas masih menetap setelah 2 jam. Pasang pipa lambung untuk
mengosongkan cairan lambung dan udara
· Nilai kondisi bayi 4 kali setiap hari, apakah ada tanda perbaikan
· Jika bayi mulai menunjukkan tanda perbaikan (frekuensi napas menurun, tarikan
dinding dada berkurang, warna kulit membaik)
- Kurangi pemberian O2 secara bertahap
- Mulailah pemberian ASI peras melalui pipa lambung
- Bila pemberian O2 tak diperlukan lagi, bayi mulai dilatih menyusu. Bila bayi tak bisa
menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu alternative cara pemberian
minum
Pantau dan catat setiap 3 jam mengenai:
- Frekuensi napas
- Adanya tarikan dinding dada atau suara merintih saat ekspirasi
- Episode apnea
15
- Periksa kadar glukosa darah sekali sehari setengah kebutuhan minum dapat dipenuhi
secara oral
- Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotika dihentikan. Jika bayi tampak
kemerahan tanpa terapi O2 selama 3 hari, minum baik dan tidak ada masalah lain
yang memerlukan perawatan di RS, bayi dapat dipulangkan.
3. Gangguan Napas Sedang
- Lanjutkan pemberian O2 dengan kecepatan aliran sedang
- Bayi jangan diberi minum
- Jika ada tanda berikut, ambil sampel darah untuk kultur dan berikan antibiotic
(ampisillin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis
- Suhu aksiler <34oC atau >39oC
- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterine, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (>18
jam)
- Bila suhu aksiler 34-36,5oC atau 37,5-39oC tangani untuk masalah suhu abnormal dan
nilai ulang setelah 2 jam
- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan napas belum ada perbaikan, ambil
sampel darah, dan berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar sepsis
- Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan
di atas
- Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam. Apabila
bayi tidak menunjukkan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi
untuk kemungkinan besar sepsis
- Bila bayi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan (frekuensi napas menurun,
tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih berkurang):
- Kurangi terapi O2 secara bertahap
- Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam
- Bila pemberian O2 tak diperlukan lagi, bayi mulai dilatih menyusu. Bila bayi tak bisa
menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu alternative cara
pemberian minum
16
- Amati bayi selama 24 jam, setelah pemberian antibiotika dihentikan. Jika bayi
kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minum baik dan tidak
ada alasan bayi tetap tinggaldi RS, bayi dapat dipulangkan.
4. Gangguan Napas Ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir
tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama
terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri
tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan
merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
- Bila dalam pengamatan gangguan napas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya,
terapi untuk kemungkinan besar sepsis dan tangani gangguan napas sedang atau berat
seperti tersebut diatas
- Berikan ASI bila mampu mengisap. Bila tidak, berikan ASI peras dengan
menggunakan salah satu cara alternative pemberian minum
- Kurangi pemberian O2 secara bertahap, bila ada perbaikan gangguan napas, hentikan
pemberian O2. Jika frekuensi napas antara 30-60 x/menit
- Amati bayi selama 24 jam berikutnya, jika frekuensi napas menetap antara 30-60
x/menit, tidak ada tanda sepsis, dan tidak ada masalah lain yang memerlukan
perawatan, bayi dapat dipulangkan
5. Penanganan Kelainan Jantung Kongenital
Bayi dengan kelainan jantung kongenital sering mengalami sianosis sentral
walaupun telah mendapat O2 100%. Bayi mungkin tidak mempunyai tanda gangguan
napas selain napas cepat. Suara bising dapat terdengar, tetapi diagnosis biasanya
ditegakkan dengan menyingkirkan diagnosis lain.
- Berikan O2 pada kecepatan aliran maksimal
- Berikan ASI Eksklusif. Bila tidak dapat, berikan ASI peras dengan memakai salah
satu alternative pemberian
- Berikan terapi definitive.
17
6. Apnu
Beberapa bayi dapat mengalami periode apnu yang cukup lama yang bisa
menyebabkan sianosis sentral atau frekuensi jantung <80 kali/menit. Apnu merupakan
masalah umum pada bayi sangat kecil (berat lahir < 1500 gram atau umur kehamilan < 32
minggu) tetapi dapat juga merupakan salah satu gejala sepsis.
- Amati bayi secara ketat terhadap periode apnu berikutnya dan bila perlu rangsang
pernapasan bayi dengan mengusap dada atau punggung. Bila gagal, lakukan
resusitasi dengan balon dan sungkup.
- Bila bayi mengalami episode apnu lebih dari sekali, sampai membutuhkan
resusitasi tiap jam:
o Jangan memberi minum. Pasang jalur IV dan berikan cairan IV kebutuhan
rumatan per hari;
o Bila bayi tidak mengalami episode apnu dan tidak memerlukan resusitasi
selama 6 jam, bayi diperbolehkan menyusu. Bila tidak dapat menyusu,
berikan ASI peras dengan salah satu cara alternatif pemberian minum.
- Lakukan perawatan lekat atau kontak kulit bayi dan ibu bila memungkinkan.
Dengan cara ini serangan apnu bayi berkurang dan ibu dapat mengamati bayinya
secara ketat.
- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan kultur dan sensitivitas dan berikan
antibiotika untuk penanganan Kemungkinan besar sepsis.
- Nilai kondisi bayi 4 kali setiap hari.
- Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Jika tak ada
serangan apnu selama 7 hari, bayi minum dengan baik dan tak ada masalah lain
yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan.
- Untuk bayi sangat kecil (berat lahir < 1500 gram atau umur kehamilan < 32
minggu), serangan apnu bisa menetap meskipun cara-cara tersebut diatas telah
dilakukan dan infeksi berat telah teratasi, berikan Teofilin dosis awal 5 mg/kg per
oral dilanjutkan 2 mg/kg tiap 8 jam selama 7 hari.
- Jika teofilin tak tersedia atau pemberian per oral belum memungkinkan, berikan
Aminofilin dosis awal 6 mg/kg IV diteruskan 2 mg/kg IV tiap 8 jam selama 7 hari.
18
Prioritas awal
1. Ventilasi
2. Sirkulasi
3. Koreksi asidosis metabolik
4. Jaga kehangatan suhu bayi sekitar 36,5 – 36,8 (suhu aksiler) untuk mencegah
vasokonstriksi perifer
5. Langkah selanjutnya untuk mencari penyebab distres respirasi
6. Terapi pemberian surfaktan
7. Bila tidak tersedia fasilitas NICU segera rujuk ke RS yang tersedia NICU
IX. PROGNOSIS
- Tergantung pada latar belakang etiologi gangguan nafas
- Prognosis baik bila gangguan nafas akut dan tidak berhubungan dengan
keadaan hipoksemia yang lama
X. PENCEGAHAN
- Perhatian langsung harus diberikan untuk mengantisipasi dan mengurangi
komplikasi dan juga harus diupayakan strategi pencegahan persalinan kurang
bulan semaksimal mungkin.
- Pemberian terapi steroid antenatal harus diberikan kepada ibu yang terancam
persalinan kurang bulan.
- Melakukan resusitasi dengan baik dan benar
- Diagnosa dini dan pengelolaan yang tepat, terutama pemberian surfaktan bila
memungkinkan.
19
XI. DAFTAR PUSTAKA
1. Davis MA. Respiratory disorders of the newborn. Diunduh dari URL:
http//www.Respiratory Disorders of the Newborn Library Med.htm
2. Pramanik A. Respiratory distress syndrome. Diunduh dari URL: http//www.eMedicine
– Respiratory distress Syndrome Article by Arun Pramanik, MD.htm
3. Ranjit S. Acute respiratory failure and oxygen therapy. The Indian Jped 2001; 69(3);
249-55.
4. Nataprawira HM. Garna Herry Ed. Penyakit Membran Hialin (PMH)
(Hyalin Membran Disease) Dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bandung :
IKAUniversitas Padjajaran Dr. Hasan Sadikin, 2005.h.91-93
5. Mitchell S. Neonatal respiratory distress. Neonatal respiratory disease. Diunduh dari
URL: http//www. Respiratory ditress in the neonate Final 5.18.98.pdf
6. Kosim MS. Gangguan Napas Pada Bayi Baru Lahir. Dalam : Kosain MS, YunantoAri,
Dewi Rizalya,penyunting. Buku Ajar Neonatologi IDAI 2012 Edisi
Pertama.Jakarta : IDAI, 2012.h.126-145.
7. Priestly MA. Respiratory failure. Diunduh dari URL : http//www.e-Medicine-
Respiratory failure Article by Margaret A Priestley, MD.htm
8. Departemen Kesehatan RI – UKK Perinatologi IDAI– MNH-JHPIEGO. 2004. Buku
panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
perawat, bidan di rumah sakit. Kosim MS, Surjono
A, Setyowireni D, penyunting.Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
9. McClure PC. Hyaline Membrane Disease Imaging. Diunduh dari URL
:http://emedicine.medscape.com/article/409409-overview#01.
10. Welty S, Hansen TS, Corbet A. Respiratory Distress in Preterm. Dalam : Taeusch HW,
Ballard RA, Gleason CA, penyunting. Avery’s disease of the newborn. New
York:Elsevier Saunders, 2005.h.687-703
11. Greenough A, Milner AD. Pulmonary disease of the newborn. Dalam : Rennie JM,
penyunting. Roberton’s text book of neonatology. New York: Elsevier Saunders, 2005
12. Ballard RA, Hansen TN, Corbet A. Respiratory failure in the term infant. Dalam
Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA, penyunting. Avery’s disease of the newborn.
New York:Elsevier Saunders, 2005.h.705-22.
13. Jamie B. Warren dan JoDee M.Anderson. Newborn Respiratory Disorders. Pediatrics in
Review 2010;31;487.
20