Asma Dalam Kehamilan 2

49
ASMA DALAM KEHAMILAN I. PENDAHULUAN Asma adalah suatu gangguan inflamasi kronik saluran pernafasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif terjadi karena adanya bronkokonstriksi dan peradangan. Gambaran klinik asma klasik adalah serangan episode batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Asma yang terkendali dengan baik tidak memiliki efek yang berarti pada wanita yang hamil, melahirkan ataupun menyusui. Asma mungkin membaik, memburuk atau tetap tidak berubah selama masa hamil, tetapi pada kebanyakan wanita gejala-gejalanya cenderung meningkat selama tiga bulan terakhir dari masa kehamilan. Pengaruh kehamilan pada asma bervariasi pada tiap individu, bahkan untuk kehamilan berbeda dari individu yang sama. Frekuensi dan beratnya serangan akan mempengaruhi hipoksia pada ibu dan janin. Penegakan diagnosis serupa dengan asma di luar kehamilan. 1,3,4 Pada kehamilan terjadi perubahan fungsi dan anatomi tubuh termasuk saluran pernapasan. Juga terjadi perbedaan patofisiologi penyakit pada saluran pernapasan selama kehamilan. 2 Perawatan pasien dengan penyakit saluran pernapasan sebaiknya dilakukan bersama dengan dokter spesialis penyakit dalam. Acuan 1

Transcript of Asma Dalam Kehamilan 2

Page 1: Asma Dalam Kehamilan 2

ASMA DALAM KEHAMILAN

I. PENDAHULUAN

Asma adalah suatu gangguan inflamasi kronik saluran pernafasan yang

dihubungkan dengan hiperresponsif terjadi karena adanya bronkokonstriksi dan

peradangan. Gambaran klinik asma klasik adalah serangan episode batuk, mengi,

dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di

dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Asma yang

terkendali dengan baik tidak memiliki efek yang berarti pada wanita yang hamil,

melahirkan ataupun menyusui. Asma mungkin membaik, memburuk atau tetap

tidak berubah selama masa hamil, tetapi pada kebanyakan wanita gejala-gejalanya

cenderung meningkat selama tiga bulan terakhir dari masa kehamilan. Pengaruh

kehamilan pada asma bervariasi pada tiap individu, bahkan untuk kehamilan

berbeda dari individu yang sama.  Frekuensi dan beratnya serangan akan

mempengaruhi hipoksia pada ibu dan janin.  Penegakan diagnosis serupa dengan

asma di luar kehamilan.1,3,4

Pada kehamilan terjadi perubahan fungsi dan anatomi tubuh termasuk saluran

pernapasan. Juga terjadi perbedaan patofisiologi penyakit pada saluran pernapasan

selama kehamilan.2 Perawatan pasien dengan penyakit saluran pernapasan

sebaiknya dilakukan bersama dengan dokter spesialis penyakit dalam. Acuan

penanganan penyakit saluran pernafasan seperti asma sering berubah seiring

dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal

perlu dipahami penyakit saluran pernapasan dan pengaruhnya terhadap kehamilan

serta penatalaksanaannya berdasarkan evidence based selama kehamilan,

persalinan, dan nifas.2

II. INSIDENSI DAN PREVALENSI

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur

pasien, status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Asma mempengaruhi 5-

10% penduduk dunia atau sekitar 23,4 juta orang. Setiap tahun, Organisasi Kesehatan

1

Page 2: Asma Dalam Kehamilan 2

Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 15 juta kecacatan berdasarkan tahun hidup yang

hilang dan 250.000 kematian akibat asma dilaporkan di seluruh dunia.3

Pengamatan di 5 propinsi di Indonesia (Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan oleh Subdit Penyakit

Kronik dan Degeneratif Lain pada bulan April tahun 2007, menunjukkan bahwa pada

umumnya upaya pengendalian asma belum terlaksana dengan baik dan masih sangat

minimnya ketersediaan peralatan yang diperlukan untuk diagnosis dan tatalaksana

pasien asma difasilitas kesehatan.4

Di Amerika Serikat, prevalensi asma, terutama morbiditas dan kematian, lebih

tinggi pada orang kulit hitam dari dalam putih. Meskipun faktor genetik penting

dalam menentukan kecenderungan untuk pengembangan asma, faktor lingkungan

memainkan peran yang lebih besar daripada faktor rasial dalam onset asma. Asma

umum terjadi di negara-negara industri seperti Kanada, Inggris, Australia, Jerman, dan

Selandia Baru, di mana banyak asma data telah dikumpulkan. Tingkat prevalensi

asma parah di negara maju berkisar antara 2-10%. Faktor-faktor yang telah terlibat

termasuk urbanisasi, polusi udara, merokok pasif, dan perubahan paparan alergen

lingkungan.7

Penderita asma di Amerika Serikat berkisar antara 4- 5 % dari populasi. Insidensi

asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5– 1 % dari seluruh kehamilan, dimana

serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24– 36 minggu, jarang pada akhir

kehamilan. Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5 – 6 % dari populasi. Prevalensi

asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut membuat asma menjadi salah

satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.2,3

Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan mempengaruhi hidung , sinus

dan paru. Peningkatan hormon estrogen menyebabkan kongesti kapiler hidung,

terutama selama trimester ketiga, sedangkan peningkatan kadar hormon progesteron

menyebabkan peningkatan laju pernapasan. Ada hubungan antara keadaan asma

sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan 13 % mengalami

serangan pada kehamilan, pada asma moderat 26 %, dan asma berat 50 %. Sebanyak

20 % dari ibu dengan asma ringan dan moderat mengalami serangan intrapartum.2,3

Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya

serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika

tidak segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa

2

Page 3: Asma Dalam Kehamilan 2

abortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur

kehamilan. 2,3

Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu

penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan

bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti

sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur

kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat

menyelesaikan kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi

pada persalinan. Mabie dkk (1992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko

eksaserbasi pada persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam. 2,3

Asma pada kehamilan pada umumnya tidak mempengaruhi janin, namun serangan

asma berat dan asma yang tak terkontrol dapat menyebabkan hipoksemia ibu sehingga

berefek pada janin. Hipoksia janin terjadi sebelum hipoksia ibu terjadi. Asma pada

kehamilan berdampak penting bagi ibu dan janin selama kehamilan dan persalinan.

Dampak yang terjadi dapat berupa kelahiran prematur, usia kehamilan muda,

hipertensi pada kehamilan, abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan seksio sesaria. 2,3,6

III. DEFINISI

Dari waktu ke waktu definisi asma terus mengalami perubahan. Hal ini

menunjukkan bahwa asma bukan penyakit spesifik tetapi suatu sindrom yang berasal

dari mekanisme precipitatory multiple dan menyebabkan kompleks klinis yang sering

seperti obstruksi saluran napas.1 Secara praktis, para ahli berpendapat asma adalah

penyakit paru dengan karakteristik obstruksi saluran napas yang reversible / parsial

baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi saluran napas, dan

peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas).4

Definisi yang menurut National Institute Of Health (Nih) – National Heart, Lung,

And Blood Institute (NHLBI). Menurut NHLBI (Expert Panel Report 3: Guidelines

for The Diagnose and Managemenr of Asthma 2007) asma adalah penyakit inflamasi

kronik saluran napas dimana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit

T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Pada individu rentan, proses inflamasi tersebut

menyebabkan wheezing berulang, sesak napas, dada rasa penuh (chest tightness) dan

batuk terutama malam dan atau menjelang pagi. Gejala tersebut terkait dengan

3

Page 4: Asma Dalam Kehamilan 2

hambatan aliran udara yang luas tetapi variabel yang sering reversibel spontan atau

dengan pengobatan inflamasi juga menyebabkan hiperesponsif saluran napas terhadap

berbagai rangsangan. Reversibilitas hambatan udara bisa inkomplit pada beberapa

pasien asma.1

IV. ETIOLOGI

Sesuatu yang dapat memicu serangan asma adalah sangat bervariasi antara satu

individu dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah allergen, polusi

udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi

emosi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan

eksaserbasi ini adalah rhinitis, sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks

gastroesofageal dan kehamilan.6,7

Asma terdiri dari berbagai fenotip heterogen yang berbeda dalam presentasi,

etiologi, dan patofisiologi. Faktor risiko untuk setiap fenotip termasuk genetik, faktor

lingkungan, dan host. Peningkatan substansial dalam kejadian asma selama beberapa

dekade terakhir dan variasi geografis dalam tingkat dasar prevalensi dan besarnya

peningkatan mendukung tesis bahwa perubahan lingkungan memainkan peran besar

dalam epidemi asma saat ini.1,4

V. GEJALA KLINIK

Penilaian secara subjektif tidak dapat secara akurat menentukan derajat asma.

Gejala klinik bervariasi dari wheezing ringan sampai bronkokonstriksi berat. Pada

keadaan ringan, hipoksia dapat dikompensasi hiperventilasi, ditandai dengan PO2

normal, penurunan PCO2 dan alkalosis respirasi. Namun bila bertambah berat akan

terjadi kelelahan yang menyebabkan retensi CO2 akibat hiperventilasi, ditandai dengan

PCO2 yang kembali normal. Bila terjadi gagal napas, ditandai asidosis, hiperkapnea,

adanya pernapasan dalam, takikardi, pulsus paradoksus, ekspirasi memanjang,

penggunaan otot asesoris pernapasan, sianosis sentral, sampai gangguan kesadaran.

Keadaan ini bersifat reversibel dan dapat ditoleransi. Namun, pada kehamilan sangat

berbahaya akibat adanya penurunan kapasitas residu.2

4

Page 5: Asma Dalam Kehamilan 2

Gambaran klinik asma klasik adalah serangan episode batuk, mengi, dan sesak

napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada

asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa

disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan

sekret, baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien

asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough

variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan

spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan

metakolin.5

Pada asma alergik sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma

tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor

pencetus nonalergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas

ataupun perubahan cuaca. Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya

memburuk pada awal minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang

minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan

kerjanya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan

tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan

diagnosis.5

Pedoman terbaru dari National Asthma Education and Prevention Program

menyoroti pentingnya mendiagnosa asma dengan benar, dengan menentukan yang

berikut:8

Gejala episodik obstruksi aliran udara yang ada

Obstruksi aliran udara atau gejala setidaknya sebagian reversibel

Pengecualian dari diagnosis alternative.

Manifestasi dari Episode akut

Episode akut dapat ringan, sedang berat, berat, atau ditandai dengan serangan

pernapasan dekat.

Manifestasi Nonpulmonary

Tanda rhinitis atopi atau alergi, seperti kongesti konjungtiva dan peradangan, shiners

mata, lipatan melintang pada hidung karena menggosok konstan berhubungan dengan

rhinitis alergi, dan pucat lembayung mukosa hidung karena rhinitis alergi, dapat hadir

dalam ketiadaan episode akut, seperti selama kunjungan rawat jalan antara episode

5

Page 6: Asma Dalam Kehamilan 2

akut. Turbinates mungkin eritematosa atau berlumpur. Polip mungkin hadir.5

Pemeriksaan kulit dapat mengungkapkan dermatitis atopik, eksim, atau manifestasi

lain dari kondisi kulit alergi. Clubbing jari-jari bukan merupakan fitur asma dan

menunjukkan kebutuhan untuk evaluasi yang lebih luas dan hasil pemeriksaan untuk

menyingkirkan kondisi lain, seperti cystic fibrosis.8

Gejala nokturnal

Sebagian besar pasien dengan asma mengalami gejala nokturnal sekali atau dua kali

sebulan. Beberapa pasien hanya mengalami gejala di malam hari dan memiliki fungsi

paru normal di siang hari. Hal ini disebabkan, sebagian, dengan respon berlebihan

terhadap variasi sirkadian normal dalam aliran udara. Bronkokonstriksi tertinggi

antara jam 04:00 dan 06:00 (morbiditas tertinggi dan kematian dari asma yang diamati

selama waktu ini). Pasien-pasien ini mungkin memiliki penurunan yang lebih

signifikan dalam tingkat kortisol atau nada vagal meningkat di malam hari. Studi juga

menunjukkan peningkatan peradangan dibandingkan dengan kontrol dan dengan

pasien dengan asma siang hari.8

VI. PATOFISIOLOGI

Asma ialah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan dengan komponen

herediter mayor, terkait pada kromosom 5, 6, 11, 12, 14, 16, dan reseptor IgE dengan

afinitas tinggi, sitokin, reseptor T-sel antigen. Keadaan ini juga dihubungkan dengan

mutasi gen ADAM-33 pada rantai pendek kromosom 20 pada individu yang terpapar

rokok, influenza (stimulasi alergi akibat lingkungan).2,3

Peningkatan respons inflamasi menyebabkan obstruksi reversibel akibat kontraksi

otot polos bronkus, hipersekresi mukus, dan edema mukosa pada saluran pernapasan.

Adanya iritan, infeksi virus, aspirin, udara dingin, dan olahraga dapat menstimulasi

respons inflamasi ini. Terjadi aktivasi sel mast oleh sitokin mediates bronkokonstriksi

akibat pelepasan histamin, prostaglandin D, dan leukotriens. Prostaglandin F dan

ergonovin harus dihindari karena dapat menyebabkan eksaserbasi asma.2,3

6

Page 7: Asma Dalam Kehamilan 2

Hambatan aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan dalam saluran

napas seperti berikut3:

1. Bronkokonstriksi

Pada asma eksaserbasi bronkospasme akut yang menyebabkan penyempitan saluran

napas sebagai respon terhadap berbagai stimuli seperti alergen atau iritan.

Bronkokonstriksi akut akibat alergen terjadi lewat IgE dependent release of

mediator dari sel mast. Juga ada mekanisme non IgE dalam pelepasan mediator.

1. Edema saluran napas

Jika inflamasi makin progresif ada faktor-faktor lain yang menghambat aliran udara

antara lain : edema, hipersekresi mukus, mukus plug, hipertropi dan hyperplasia otot

polos saluran napas.

2. Hiperesponsif saluran napas

Mekanisme hiperesponsif saluran napas bersifat multipel, termasuk inflamasi,

disfungsi neuroregulasi dan perubahan struktural.

3. Airway remodeling

Airway remodeling menyebabkan perubahan struktural yang meningkatkan

hambatan aliran udara saluran napas dan hiperesponsif saluran napas dan

menyebabkan pasien kurang responsive terhadap pengobatan.

Mekanisme Patofisiologi Timbulnya Inflamasi Saluran Napas

Inflamasi berperan sentral pada patofisiologi asma. Inflamasi saluran napas

melibatkan interaksi banyak sel dan berbagai mediator. Pola inflamasi saluran napas asma

tidak harus bervariasi tergantung pada keparahan, persistensi, dan durasi penyakit.3,6

Sel-sel inflamasi saluran napas meliputi sel mast, eosinofil, sel limfosi T, sel dendritik,

makrofag, dan neurofil. Sel struktural saluran napas yang terlibat patogenesi asma

meliputi sel epitel saluran napas, sel otot polos saluran napas, sel endotel, fibroblast dan

miofibroblast. Mediator asma meliputi kemokin, sitokin, cysteinyl leukotriene, histamin,

nirit oxide, prostaglandin D2.6

7

Page 8: Asma Dalam Kehamilan 2

Gambar 1. Penyebab dan gejala asma. Presentasi antigen oleh sel dendritik dengan

limfosit dan respon sitokin yang menyebabkan peradangan saluran napas dan gejala asma.

(dikutip dari kepustakaan 5)

Expert Panel Report 3 (EPR-3) of the National Asthma Education and Prevention

Program (NAEPP) tahun 2007 mencatat beberapa perubahan kunci dalam memahami

patofisiologi asma.5

o Peran penting inflamasi telah dibenarkan, tetapi bukti-bukti yang muncul untuk

variabilitas yang cukup besar dalam pola peradangan, sehingga menunjukkan

perbedaan fenotipik yang dapat mempengaruhi respon pengobatan.5

o Dari faktor lingkungan, reaksi alergi tetap penting. Bukti-bukti juga menunjukkan

kunci dan peran yang luas infeksi virus pernapasan dalam proses ini.5

8

Page 9: Asma Dalam Kehamilan 2

o Onset asma untuk sebagian besar pasien dimulai pada awal kehidupan, dengan

pola penyakit ditentukan oleh mengenali secara awal faktor risiko termasuk

penyakit atopik, mengi berulang, dan riwayat orang tua asma.5

o Pengobatan asma saat ini dengan terapi anti-inflamasi tidak untuk mencegah

perkembangan penyakit yang mendasari keparahan5

VII. DIAGNOSIS

Asma adalah suatu sindroma klinik, jadi tidak ada gold standard dalam

mendiagnosanya. Diagnose asma ditegakkan secara klinik biasanya berdasarkan

gejala khas dan dipastikan dengan bukti objektif hambatan aliran udara yang

bervariasi.1

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Pemeriksaan faal paru

Tes fungsi paru untuk diagnosis, menilai keparahan penyakit, dan evaluasi

pengobatan. Diagnosis asma dipastikan dengan ditemukan obstruksi saluran napas

pada pemeriksaan spirometri. Ditemukan perbaikan yang bermakna dari FEV1 setelah

terapi bronkodilator atau pada pengulangan di waktu lain. Dikatakan obstruksi saluran

napas reversibel bila ditemukan peningkatan FEV1 > 12% pascabronkodilator.1

Pemeriksaan faal paru yang sering digunakan untuk diagnosis dan pemantauan adalah

pemeriksaan forced expiratory volume 1 second (FEV1) dengan spirometri dan peak

expiratory flow (FEF) dengan alat peak flow meter.1

3. Uji kulit

Uji kulit dengan alergen merupakan alat diagnostik untuk asma alergi. Tujuan uji kulit

adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh. Uji prick

merupakan uji kulit yang sering digunakan. Karakteristik : cepat, mudah, dan

sensitivitas tinggi tetapi bila pelaksanaan tidak tepat akan timbul positif atau negatif

palsu. Pemeriksaan IgE spesifik serum tidak lebih baik dari uji kulit juga harganya

lebih mahal. Kelemahan utama cara pemeriksaan status alergi adalah uji + tidak selalu

berarti penyakitnya bersiifat alergi, seperti beberapa orang mempunyai IgE spesifik

tetapi tidak ada keluhan. IgE total tidak mempunyai nilai diagnostik untuk uji

diagnostik atopi.1,4

4. Pemeriksaan radiologi

9

Page 10: Asma Dalam Kehamilan 2

Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan

adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma, seperti

pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. Pada sebagian besar

menunjukkan normal atau hiperinflasi.1,4

5. Tes provokasi bronkus

Pemeriksaan provokasi bronkus memberi beberapa manfaat antara lain sebagai alat

diagnostik asma. Hiperesponsif bronkus hampir selalu ditemukan pada asma dan

derajatnya berkorelasi dengan keparahan asma. Tes ini sangat sensitif, sehingga kalau

tidak ditemukan hiperesponsif saluran napas harus memacu untuk mengulangi

pemeriksaan dari awal dan memikirkan diagnosis penyakit selain asma.1

Uji provokasi bronkus dapat dibagi 2 kategori, yaitu uji farmakologi (histamin,

adenosine, dan metacholine) dan uji nonfarmakologi (salin hipertonis, exercise).

Demikian juga histamin mempunyai mekanisme kerja yang sama. Pada uji

nonfarmakologi akan terjadi perubahan suhu internal dan homeostasis cairan di

saluran napas. Jadi dengan mempengaruhi sel-sel epitel dan merangsang serabut saraf

dan proses keradangan yang dapat menimbulkan bronkokonstriksi. Sebagai prasyarat

keamanan uji provokasi dianjurkan pada penderita dengan FEV1 > 70%.1

Hasil uji provokasi bronkus dinyatakan dengan parameter PC20 yaitu : konsentrasi zat

inhalasi yang menimbulkan penurunan FEV1 20% dibanding FEV1 sebelum

provokasi. Penurunan FEV1 > 20% umumnya diterima sebagai titik akhir unuk

membedakan antara individu normal dengan hiperakif. Spesifitas tes farmakologi

berkisar 90% bila PC20 ≤ 8 mg/ml digunakan sebagai nilai ambang diagnosis.1

6. Pemeriksaan sputum

Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat

dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, Kristal

Characot-Leyden, dan Spiral-Churschamann, pemeriksaan ini penting untuk melihat

adanya miselium Aspergillus fumigates.1

7. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum

Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi. Pemeriksaan

IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan atau

hasilnya kurang dapat dipercaya.1

8. Analisis gas darah

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan,

terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang

10

Page 11: Asma Dalam Kehamilan 2

lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada

asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan

asidosis respiratorik.2

Diagnosis asma ditegakkan berdasar gejala episodic obstruksi aliran jalan nafas,

yang bersifat reversibel atau reversibel sebagian. Kelompok kerja National Asthma

Education and Prevention Program (NAEPP) berpendapat bahwa pasien asma

persisten harus dievaluasi minimal setiap bulannya selama kehamilan. Evaluasi

termasuk riwayat penyakit (frekuensi gejala, asma malam hari, gangguan aktivitas,

serangan dan penggunaan obat ), auskultasi paru, serta faal paru.2,3

Uji spirometri dilakukan pada diagnosis pertama kali, dan dilanjutkan dengan

pemantauan rutin pada kunjungan pasien selanjutnya, tetapi pengukuran APE dengan

peak flow meter biasanya sudah cukup. Pasien dengan VEP1 60-80% prediksi

meningkatkan risiko terjadinya asma pada kehamilan, dan pasien dengan VEP1

kurang dari 60% prediksi memiliki risiko yang lebih tinggi.

Asma pada kehamilan berhubungan dengan kejadian Intra Uterine Growth

Retardation (IUGR) dan kelahiran prematur, sangatlah penting untuk menegakkan

waktu kehamilan secara akurat melalui pemeriksaan USG pada trimester pertama.

Menurut pendapat kelompok kerja NAEPP, evaluasi aktivitas dan perkembangan

janin dengan pemeriksaan USG rutin dipertimbangkan bagi wanita dengan asma

terkontrol, wanita dengan asma sedang sampai berat, mulai kehamilan minggu ke-32,

dan wanita setelah pulih dari serangan asma berat.2

Analisis gas darah merupakan penilaian objektif oksigenasi maternal, ventilasi,

keseimbangan asam-basa. Pemeriksaan fungsi paru merupakan penanganan rutin pada

semua pasien asma kronis dan akut. Pengukuran FEV sekuensial merupakan gold

standard yang menggambarkan derajat asma. FEV < 20 % menggambarkan asma

berat. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) berkorelasi erat dengan FEV, dan dapat

diukur dengan spirometri dengan mudah.2,3

Stadium PO2 PCO2 pH FEV (%)

Alkalosis respirasi ringan Normal 65 – 80

Alkalosis respirasi 50 – 64

11

Page 12: Asma Dalam Kehamilan 2

Zona Bahaya Normal Normal 35 – 49

Asidosis respirasi < 35

Dikutip dari : Williams Obstetrics 22nd ed, 2005

Tabel 1. Stadium Klinik Asma

( Kepustakaan 2 )

VIII. KLASIFIKASI ASMA

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik

sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2

agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis

obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan

tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya

pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-

ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya.4

Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).

1. Asma saat tanpa serangan

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari:

a. Intermitten

b. Persisten ringan

c. Persisten sedang

d. Persisten berat4

2. Asma saat serangan, terdiri dari:

a. Asma serangan ringan

b. Asma serangan sedang

c. Asma serangan berat

12

Page 13: Asma Dalam Kehamilan 2

Tabel 2. Derajat asma saat tanpa serangan

(dikutip dari kepustakaan 4)

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan

sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative

for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan

tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan

terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma

serangan sedang dan asma serangan berat.4

Tabel 3. Derajat Asma saat serangan

(dikutip dari kepustakaan 4)

IX. PENATALAKSANAAN ASMA DALAM KEHAMILAN

13

Page 14: Asma Dalam Kehamilan 2

Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan kooperatif antara

dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang khusus menangani asma dan ibu

hamil itu sendiri. Tujuan serta terapi pada prinsipnya sama dengan pada penderita asma yang

tidak hamil. Terapi medikasi asma selama kehamilan hampir sama dengan terapi penderita

asma tidak hamil, dengan pelega kerja singkat serta terapi harian jangka panjang untuk

mengatasi inflamasi. Pentingnya pengobatan asma adalah mencegah kematian, kegagalan

pernapasan, status asmatikus, perawatan di ruang emergensi, dan cacat wheezing.1,8,,9

Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal berikut.

Penilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin

Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550 liter/menit. Tiap

pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat disesuaikan.2

Menghindari faktor pencetus asma

Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan kesejahteraan

ibu dengan kebutuhan medikasi yang minimal. Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor

termasuk alergi, infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obat-obatan anti

inflamasi non steroid (NSAID), dan iritan, misalnya: asap rokok, asap kimiawi, kelembaban,

emosi. Di samping itu, pencetus terkemuka serangan asma termasuk serbuk/tepung, tungau,

jamur, amukan hewan, makanan, dan hormone. Pada umumnya kucing merupakan hewan

kesayangan yang menyebabkan asma. Semua hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan

dapat menyebabkan asma, termasuk kecoa.4,7

Gastroesophageal reflux (GER) dikenal sebagai pencetus asma dan terjadi pada

hampir 1/3 wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh GER dapat disebabkan oleh aspirasi isi

lambung ke dalam paru sehingga menyebabkan bronkospasme, maupun aktivasi arkus refleks

vagal dari esofagus ke paru sehingga menyebabkan bronkokonstriksi.

Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari paparan asap

tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang merokok berhubungan dengan

peningkatan risiko wheezing dan kejadian asma pada anaknya.

Edukasi

Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin. Ibu hamil harus

mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang memburuk agar mencegah hipoksia

14

Page 15: Asma Dalam Kehamilan 2

ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan

faktor-faktor pencetus asma.

Terapi farmakologi selama kehamilan

Kelompok kerja NAEPP merekomendasikan prinsip serta pendekatan terapi

farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi. Prednison, teofilin,

antihistamin, kortikosteroid inhalasi, β2 agonis dan kromolin bukan merupakan

kontraindikasi pada penderita asma yang menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma

selama laktasi sama dengan penatalaksanaan asma selama kehamilan. Terapi asma modern

dengan teofilin, kortikostreoid dan beta agonis menurunkan risiko komplikasi kehamilan

menjadi rendah baik pada ibu maupun janin. Farmakoterapi tdak boleh bersifat teratogenik

pada janin atau berbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis, seperti metaproterenol, dan

albuterol, dapat digunakan dalam pengobatan darurat pada asma berat dalam kehamilan,

tetapi penggunaan jangka panjang seharusnya dihindari pada kehamilan muda, terutama

sekali sejak efek pada janin tidak diketahui.

Tahap 1: Asma Intermitten

Bronkodilator kerja singkat, terutama β2 agonis inhalasi direkomendasikan sebagai

pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma intermiten. Aksi utama β2 agonis

adalah untuk merelaksasikan otot polos jalan napas dengan menstimulus β2 reseptor,

sehingga meningkatkan siklik AMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Salbutamol adalah β2

agonis inhalasi yang memiliki profil keamanan baik. Belum terdapat data yang membuktikan

kejadian cedera janin pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja singkat maupun kontra

indikasi selama menyusui.8,9

Tahap 2 : Asma Persisten Ringan

Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma persisten

ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid merupakan terapi preventif

dan bekerja luas pada proses inflamasi. Efek klinisnya ialah mengurangi gejala beratnya

serangan, perbaikan arus puncak ekspirasi dan spirometri, mengurangi hiperresponsif jalan

napas, mencegah serangan dan mencegah remodeling dinding jalan napas. Kortikosteroid

mencegah pelepasan sitokin, pengangkutan eosinofil jalan napas dan pelepasan mediator

15

Page 16: Asma Dalam Kehamilan 2

inflamasi. Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi asma dalam kehamilan dan

merupakan terapi profilaksis pilihan.

Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih banyak

digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa penggunaan

kortikosteroid inhalasi selain budesonid tidak aman selama kehamilan. Oleh karenanya,

kortikosteroid inhalasi selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien yang sudah

terkontrol dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan

formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol.

Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan resiko preeklampsia, kelahiran

prematur dan berat bayi lahir rendah. Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan

asma berat bagi ibu dan janin, penggunaan kortikosteroid oral tetap diindikasikan secara

klinis selama kehamilan. Selama kehamilan, penggunaan prednison untuk mengontrol gejala

asma penting diberikan bila terdapat kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi

janin yang tidak adekuat.

Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa studi

menyebutkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati, kelainan kongenital, reaksi

penolakan janin ataupun kematian neonatus yang disebabkan pengobatan ibu dengan steroid.

Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapi kurang

efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif maupun subjektif bila

dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi. Kromolin sodium memiliki kemampuan anti

inflamasi, mekanismenya berhubungan dengan blokade saluran klorida. Kromolin ialah suatu

terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma persisten ringan.

Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast) digunakan untuk

mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum hamil. Menurut opini kelompok

kerja NAEPP, saat memulai terapi baru untuk asma pada kehamilan, antagonis reseptor

leukotrien merupakan terapi alternatif, dan tidak dianjurkan sebagai terapi pilihan bagi asma

persisten ringan.

Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai sedang pada asma. Konsentrasi

rendah teofilin dalam serum beraksi sebagai anti inflamasi ringan. Teofilin memiliki potensi

toksisitas serius bila dosisnya berlebihan atau terdapat interaksi dengan obat lain (misal

16

Page 17: Asma Dalam Kehamilan 2

dengan eritromisin). Penggunaan teofilin selama kehamilan membutuhkan dosis titrasi yang

hati-hati serta pemantauan ketat untuk mempertahankan konsentrasi teofilin serum 5 – 12

mcg/mL. Penggunaan teofilin dosis rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan

pada asma persisten ringan.8,9

Tahap 3 : Asma Persisten Sedang

Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan β2

agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi sampai dosis

medium. Data yang menunjukkan keefektifan dan atau keamanan penggunaan kombinasi

terapi ini selama kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut data uji coba kontrol acak pada

orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa penambahan β2 agonis inhalasi kerja lama

pada kortikosteroid inhalasi dosis rendah menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada

hanya meningkatkan dosis kortikosteroid.

Profil farmakologi dan toksikologi β2 agonis inhalasi kerja lama dan singkat hampir

sama, terdapat justifikasi bahwa β2 agonis inhalasi kerja lama memiliki profil keamanan yang

sama dengan salbutamol, dan β2 agonis inhalasi kerja lama aman digunakan selama

kehamilan. Contoh β2 agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol dan formoterol. Bracken

dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada berat lahir dan

panjang lahir bayi, kelahiran prematur, maupun preeklampsia, pada penggunaan β2 agonis

inhalasi kerja lama bila dibandingkan dengan Salmeterol selama kehamilan.8,9

Tahap 4 : Asma Persisten Berat

Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih membutuhkan

tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus dinaikkan sampai batas dosis

tinggi, serta penambahan terapi budesonid. Jika cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma,

maka dianjurkan untuk penambahan kortikosteroid sistemik.

Penatalaksaan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut:

Penanganan asma akut pada kehamilan sama dengan non-hamil, tetapi hospitaliyy

threshold lebih rendah. Dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi intravena, pemberian

masker oksigen, pemeriksaan analisis gas darah, pengukuran FEV1 (forced expiratory volume

in one second), PEFR, pulse oximetry, dan fetal monitoring.2,3

17

Page 18: Asma Dalam Kehamilan 2

Penanganan lini pertama adalah β adrenergic agonis (sub-kutan, oral, inhalasi) loading

dose 4 – 6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8 – 1 mg/kgBB/jam sampai tercapai

kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10 – 20 µg/ml, Dan kortikosteroid, metilprednisolon

40- 60 mg I.V. tiap 6 jam. Terapi selanjutnya bergantung pada pemantauan respons hasil

terapi.

Asma berat yang tidak berespons terhadap terapi dalam 30 – 60 menit dimasukkan

dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif, di ICU dan intubasi dini, serta

penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan kelelahan, retensi CO2, dan hipoksemia akan

memperbaiki morbiditas dan mortalitas.2

Sebelum

kehamilan

Konseling mengenai pengaruh kahamilan dan asma, serta

pengobatan. Penyesuaian terapi maintenance untuk optimalisasi

fungsi respirasi,

Hindari factor pencetus, alergen.

Rujukan dini pada pemeriksaan antenatal.

Selama

kehamilan

Penyesuaian terapi untuk mengatasi gejala. Pemantauan kadar

teofilkin dalam darah, karena selama hamil terjadi hemodilusi

sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi.

Pengobatn untuk mencegah serangan dan penanganan dini bila

terjadi serangan.

Pemberian obat sebaiknya inhalasi, untuk menghindari efek

sistemik pada janin.

Pemeriksaan fungsi paru ibu.

Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir trimester

II/awal trimester III.

Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan.

Saat persalinan Pemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan diulang

bila timbul gejala.

Pemberian oksigen adekuat.

Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg i.v. tiap 8 jam)

diberika 4 minggu sebelum persalinan dan terapi maintenance

diberikan selama persalinan.

Anestesi epidural dapat digunakan selama proses persalinan.

18

Page 19: Asma Dalam Kehamilan 2

Pada persalinan operatif lebih baik digunakan anestesi regional

untuk menghindari rangsangan pada intubasi trakea. Penanganan

hemoragi pascapersalinan sebaiknya menggunakan uterotonika

atau PGE2 karena PGE dapat merangsang bronkospasme.

Pascapersalinan Fisioterapi untuk membantu pengeluaran mucus paru, latihan

pernapasan untuk mencegh atau meminimalisasi atelektasis,

mnulai pemberian terapi maintenance.

Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu

mendapat obat antiasma termasuk prednisone.

Tabel 4. Langkah Penanganan Asma Pada Kehamilan

(Dikutip dari: Williams Obstetrics 22nd ed, 2005)

Jenis-jenis obat asma

Pada prinsipnya terapi serangan adalah membuka kembali jalan nafas dengan bronko

dilator dan menghilangkan serta mencegah berlanjutnya reaksi inflamasi dengan anti

inflamasi . Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan

obstruksi saluran nafas, terdiri dari obat controller dan reliever.

OBAT CONTROLLER 

Controller adalah obat yang diminum harian dan jangka panjang dengan tujuan untuk

mencapai dan menjaga asma persisten yang terkontrol. Terdiri dari obat antiinflamasi dan

bronkodilator long acting. Kortikosteroid inhalasi merupakan controller yang paling efektif.

Obat controller juga sering disebut sebagai obat profilaksis, preventif atau maintenance. Obat

controller termasuk Kortikosteroid inhalasi, Kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat dan

sodium nedokromil, teofilin lepas lambat, beta2-agonist long acting inhalasi dan oral, dan

mungkin ketotifen atau antialergi oral lain.

1. Kortikosteroid 

Rute pemberian bisa secara inhalasi ataupun sistemik (oral atau parenteral).

Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti. Beberapa

yang ditawarkan adalah berhubungan dengan metabolisme asam arakidonat, juga sintesa

19

Page 20: Asma Dalam Kehamilan 2

leukotrien dan prostaglandin, mengurangi kerusakan mikrovaskuler, menghambat

produksi dan sekresi sitokin, mencegah migrasi dan aktivasi sel radang dan meningkatkan

respon reseptor beta pada otot polos saluran nafas.

Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki

fungsi paru, mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala,mengurangi

frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Dosis tinggi dan

jangka panjang kortikosteroid inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat

karena dapat menurunkan pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi

efek samping sistemik.

Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman dibanding parenteral. Jika

kortikosteroid oral akan diberikan secara jangka panjang, harus diperhatikan mengenai

efek samping sistemiknya. Prednison, prednisolon dan metilprednisolon adalah

kortikosteroid oral pilihan karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu

paruh yang relatif pendek dan efek yang ringan terhadap otot bergaris. Pendapat lain

menyatakan kortikosteroid sistemik dipakai pada penderita dengan penyakit akut, pasien

yang tidak tertangani dengan baik memakai bronkodilator dan pada pasien yang

gejalanya menjadi lebih jelek walaupun telah diberi pengobatan maintenance yang baik.

Efek samping lokal kortikosteroid inhalasi adalah kandidiasis orofaring, disfonia dan

kadang batuk. Efek samping sistemik tergantung dari potensi, bioavailabilitas, absorpsi di

usus, metabolisme di hepar dan waktu paruhnya. Beberapa studi menyatakan bahwa dosis

diatas 1 mg perhari beclometason dipropionat atau budesonid atau dosis ekuivalen

kortikosteroid lain, berhubungan dengan efek sistemik termasuk penebalan kulit dan

mudah luka, supresi adrenal dan penurunan metabolisme tulang. Efek sistemik pemakaian

jangka panjang kortikosteroid oral adalah osteoporosis, hipertensi arterial, diabetes

melitus, supresi HPA aksis, katarak, obesitas, penipisan kulit dan kelemahan otot.

Global Initiative For Asthma (GINA) memberikan petunjuk pemakaian kortikosteroid

untuk pencegahan jangka panjang berdasarkan beratnya asma pada orang dewasa sebagai

berikut:

20

Page 21: Asma Dalam Kehamilan 2

1. Asma dengan serangan intermitten (step 1) tidak memerlukan steroid preventif, bila

perlu dapat dipakai steroid oral jangka pendek.

2. Asma persisten ringan (step 2) memerlukan inhalasi 200-400 mcg/hari beclometason

dipropionat, budesonid atau ekuivalennya.

3. Asma persisten sedang (step 3) memerlukan inhalasi 800-2000 mcg/hari

4. Asma persisten berat (step 4) memerlukan 800-2000 mcg/hari atau lebih.

Sesuai dengan anjuran ini, pengobatan dengan dosis maksimal (800-1500 mcg/hari) selama

1-2 minggu diperlukan untuk mengendalikan proses inflamasi secara cepat, dan kemudian

dosis diturunkan sampai dosis terendah (200-800 mcg/hari) yang masih dapat mengendalikan

penyakit.

Kortikosteroid 

Macam Potensi

Antiinflamasi

Potensi 

Ekuivalen

(mg)

Potensi

Retensi Na

Waktu Paruh

Biologik

Cortisol 1 20 2+ 8-12

Cortison 0.8 25 2+ 8-12

Prednison 3.5 5 1+ 18-36

Prednisolon 4 5 1+ 18-36

Methylprednisolone 5 4 0 18-36

Triamcinolon 5 4 0 18-36

Parametason 10 2 0 36-54

Betametason 25 0.6 0 36-54

21

Page 22: Asma Dalam Kehamilan 2

Dexamethason 30 0.75 0 36-54

3. Sodium Kromoglikat dan Sodium Nedokromil 

Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang pasti

belum diketahui. Obat ini terutama menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh IgE

dari sel mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain (makrofag,

eosinofil, monosit). Obat ini diberikan untuk pencegahan karena dapat menghambat reaksi

asma segera dan reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen, latihan, udara dingin dan

sulfur dioksida. Pemberian jangka panjang menyebabkan penurunan nyata dari jumlah

eosinofil pada cairan BAL dan penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik. Bisa digunakan

jangka panjang setelah asma timbul, dan akan menurunkan gejala dan frekuensi eksaserbasi.

Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding

sodium kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan

pelepasan mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan begitu asma timbul.

3. Teofilin Lepas Lambat 

Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan asma.

Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin

karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV,

yang berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi.

Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek

antiinflamasi. Teofilin secara bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat segera

setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan teofilin berpengaruh baik

terhadap inflamasi kronis pada asma.

Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas

lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena

mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal

yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.

Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem organ

22

Page 23: Asma Dalam Kehamilan 2

yang berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling

sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek

kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan.

Dosis golongan methyl xantine adalah 5 mg/Kg BB dalam 10-15 menit untuk loading dose

dan 20 mg/Kg BB/24 jam untuk dosis pemeliharaan dengan dosis maksimum 1500 mg/24

jam. Adapun therapeutic dose adalah 10-20 mg/dl.

4. 2 Agonis Reseptor

Pada dosis kecil kerja obat ini pada reseptor 2 jauh lebih kuat dibandingkan kerjanya pada reseptor 1. Tetapi pada dosis tinggi selektifitas ini hilang. Misalnya pada penderita asma salbutamol sama kuat dengan isoproterenol sebagai bronko dilator (bila di berikan sebagai aerosol) tetapi jauh lebih lemah efeknya sebagai simultan jantung. Tetapi jika dosis salbutamol ditingkatkan sampai 10 kali lipat, di peroleh efek stimulasi jantung yang sama kuatnya dengan isoproterenol.

Agonis reseptor 2 menghasilkan stimulasi jantung sangat lemah (1) dan hanya sedikit sekali mempengaruhi tekanan darah sehingga obat-obat golongan ini dikembangkan penggunaannya sebagai anti asma. Selektifitas obat agonis reseptor 2 ini berbeda satu sama lain, misalnya metaproterenol kurang selektif di banding salbutamol. Fenoterol lebih selektif di banding isoprenalin tetapi lebih rendah jika di banding terbutalin dan salbutamol.

Efek agonis reseptor 2 pada saluran nafas :

Relaksasi otot polos.

Agonis reseptor 2 dapat diberikan peroral atau parenteral, pada pemberian secara inhalasi meskipun hanya sedikit saja obat yang dapat mencapai paru tetapi efektif menghasilkan bronko dilatasi dengan efek sistemik yang terkecil. Inhalasi salbutamol dengan dosis 100-400 g memberikan respon bronkodilatasi yang meningkat sesuai dengan peningkatan dosis tetapi dapat terjadi variasi respon yang luas antar individu., pemberian dosis lebih dari 500 g menghasilkan di latasi maksimal, pada keadaan ini tidak ada lagi hubungan antar dosis dan respon. Di duga reseptor 2 pada penderita asma kurang sensitif terhadap salbutamol yang di berikan secara inhalasi tetapi sulit untuk membandingkan respon bronko dilatasi pada bronkus normal dan asmatis karena adanya perbedaan geometri dan pola respon.Kemungkinan lain obat sulit mencapai reseptor 2 karena adanya inflamasi pada mukosa saluran nafas penderita asma.

Menurunkan hiper aktifitas bronkus, menghambat pelepasan mediator.

agonis menghambat pelepasan histamin dari sel paru dari basofil , sel mast, neutrofil chemotactic, platelet derived factor dan eosinofil kationic protein pada latihan fisik dan paparan anti gen in vivo.

23

Page 24: Asma Dalam Kehamilan 2

Menghambat transmisi kolinergik dan meningkatkan klirens mukosiliaris.

agonis menghambat transmisi kolinergik invitro. Bronkokonstriksi pada penggunaan bloker di duga melalui mekanisme ini. 2 agonis juga bermanfaat pada asma karena meningkatkan klirens mukosiliaris.

Menurunkan permeabilitas kapiler, mengurangi odema.

agonis menurunkan permeabilitas kapiler dan edema sebagai respon terhadap mediator-mediator histamin, lekotrien pada binatang tertentu, tetapi hal ini tidaklah konsisten.

Tabel 1. Agonis reseptor 2 yang umum digunakan sebagai bronko dilator(JG Douglas, JS Legge, JAR Frienf & JC Patrie, RespiratoryDeseasein Avery Drug Treatment 4th Edition, p 1027, 1997)

Obat Dosis dewasa Efek samping Short acting Rimiterol MDI : 200-400 g semua obat :

Tremor, kramp,Takikardi, Hipokalemi

Intermediate acting Bilolterol MDI : 370-740 g Fenoterol MDI : 100-200 g Neb : 5 mg Metaproterenol MDI : 750-1500 g (orchiprenalin) Po : 20 mg (3-4x) Pirbuterol MDI : 200-400 g Po : 15 mg (3-4x) Reproterol MDI : 500-1000 g Salbutamol (albuterol) MDI : 100-200 g Neb : 2,5-5 mg

DPD : 200-400 Po : 2-8 mg (3-4x)

Terbutalin MDI : 250-500 gNeb : 5-10 mgDPD : 200-400 gPo : 2,5-5 mg (3-4x)

Tulobuterol Po : 2 mg (2-3x) Long acting Bambuterol Po : 10-20 mg (1x) Formoterol MDI : 12-24 g (2x) sda, sakit kepala Salmeterol MDI : 50 g (2x) DPD : 50 g (2x)

24

Page 25: Asma Dalam Kehamilan 2

Efek Sistemik

Aktivasi reseptor 2 akan mempengaruhi berbagai organ dalam tubuh. Efek akhir pada pembuluh darah di pengaruhi oleh aktivasi reseptor dan , juga anatomi dan inervasi pada pembuluh darah tersebut. Peningkatan tekanan darah mungkin dapat terjadi karena ikut teraktivasinya reseptor 1 akan menimbulkan efek inotropik dan kronotropik positif pada jantung, meningkatkan sekresi renin pada ginjal, dan sekresi ADH dari adenohipofise.

Terjadinya relaktasi otot polos siliaris akan menurunkan daya akomodasi, pada otot polos saluran cerna dan genitourinarius. Pada otot rangka, terjadinya peningkatan glikogenolisis dan ambilan kalium ke dalam sel akan menurunkan kalium plasma, sehingga dapat mencegah peningkatan kalium selama olahraga.Pada hati terjadi peningkatan glikogenesis, akan meningkatkan kadar glukosa darah.

Efek Samping Dan Toksisitas

Efek samping dan toksisitas agonis 2 inhalasi merupakan perluasan dari efek reseptornya pada organ-organ ekstra pulmoner terutama terhadap sistem kardiovaskular. Agonis 2 mungkin mengakibatkan takikardi dan bisa membangkitkan aritmia ventrikel yang serius.

Beberapa studi epidemiologis melaporkan adanya peningkatan resiko kematian karena penggunaan fenoterol di USA juga di New Zealand Karena penggunaan isoprenalin aerosol konsentrasi tinggi di Inggris dan Wales .

Belum dapat di ketahui secara pasti bagaimana mekanismenya, di duga karena sensitisasi miokardium terhadap katekolamin dan hidrofluorokarbon atau takifilaksis pada isoprenalin . Tetapi beberapa studi terakhir menemukan bahwa tidak ada hubungan antara resiko kematian pada asma dengan penggunaan agonis 2 oral maupun inhalasi.

Penelitian lain membuktikan adanya penurunan tekanan oksigen (Pa O2) pada pemakaian agonis 2 inhalasi terutama jika rasio ventilasi-perfusi memburuk. Karena itu di anjurkan untuk memberikan suplai oksigen pada penderita yang mendapat terapi agonis 2 inhalasi. Karena dapat meningkatkan frekwensi dan kuat kontraksi jantung, serta meningkatkan sekresi renin dan ADH maka agonis 2 inhalasi mungkin akan meningkatkan tekanan darah, sehingga dapat memperberat hipertensi. Pemberian agonis 2 inhalasi pada penderita diabetes mellitus juga harus berhati-hati karena dapat meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis. Demikian juga pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal (ekskresi terbesar melalui ginjal) dan wanita hamil (dapat menembus plasenta).

25

Page 26: Asma Dalam Kehamilan 2

Tabel 1. Efek agonis 2 pada berbagai organ(British Journal of Clinical Pharmacology, 1992 vol 33 p 131)

Jaringan Reseptor Efek

Jantung 1, 2 inotropik, kronotropik.Pembuluh darah 2 vasodilatasi.Paru 2 pelepasan mediator inflamasi dari sel

mast menurun.Otot rangka 2 ambilan K+ meningkat, tremor,

Hipokalemia.Uterus 2 relaksasi.Sel-sel darah 2 ?Hati, pankreas 2 peningkatan glukosa, laktosa, piruvat,

Insulin, dan HDL.Ginjal 2 peningkatan ekskresi : Mg, Ca, PO4 .Jar. Lemak 3 lipolisis, thermogenesis.

Agonis 2 inhalasi dapat mengurangi efektifitas obat anti hipertensi, anti angina, anti aritmia

dan anti diabet. Isoproterenol iv meningkatkan klirens teofilin. Pemakaian bitolterol inhalasi

dengan metered dose inhaler pada anak cukup efektif dan aman, meskipun pada anak-anak

eliminasi obat ini lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.Secara farmakologis untuk

kontroler digunakan Beta2-Agonis Long Acting .

Beta2-Agonis Long Acting 

Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi kerja

panjang lebih dari 12 jam. Cara kerja obat beta2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor

beta2-adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan

konsentrasi siklik AMP . Beta2-agonis long acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos

saluran nafas, meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas vaskuler dan

dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Juga menghambat reaksi asma

segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh alergen, dan menghambat peningkatan respon

saluran nafas akibat induksi histamin. Walaupun posisi beta2-agonis inhalasi long acting

masih belum ditetapkan pasti dalam penatalaksanaan asma, studi klinis mendapatkan bahwa

pengobatan kronis dengan obat ini dapat memperbaiki skor gejala, menurunkan kejadian

asma nokturnal, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi pemakaian beta2-agonis inhalasi

short acting. Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler, tremor otot skeletal dan

hipokalemi.

26

Page 27: Asma Dalam Kehamilan 2

5. Reseptor Leukotrien Antagonis

Merupakan suatu reseptor peptida leukotrien antagonis (LTRA) dengan nama kimia 4-(5-

cyclopentyloxy-carbonylamino-1-mathyl-indol-3l methylll) -3-methoxy-N-o-

tolysulfonylbenzizamide, dengan berat molekul 575,7 dengan rumus empiriknya C31H33N3O6S.

Dibuat secara sintetis dengan nama Zafirlikast. LTRA adalah suatu reseptor leukotrien

(LTD4 dan LTE4) antagonis yang selektif dan kompetitif, dimana LTD4 dan LTE4 adalah

komponen dari SRS-A yang berperan besar terhadap patofisiologi terjadinya serangan asma yang

menimbulkan bronkokonstriksi, udema saluran nafas, kontraksi otot polos dan aktivasi sel-sel

radang sehingga terbentuk mediator inflamasi yang menimbulkan keluhan pada penderita asma.

Penderita asma mempunyai kepekaan terhadap LTD4 25 sampai 100 kali disbanding orang

normal. Diserap cepat bila diberikan peroral, konsentrasi dalam darah mencapai puncak setelah 3

jam, 99% terikat pada albumin, disekresi lewat feses setelah melewati proses enzimatik pada

jalur cytocrome P450 2c9 (CYP2C9). Waktu paruhnya 8-16 jam, pada penderita dengan

gangguan faal hati, waktu paruhnya menjadi lebih panjang. LTRA bukanlah bronkodilator dan

digunakan untuk asma kronis disaat bebas keluhan. Kemasan berupa tablet 20 mg dan 10 mg,

diminum 2 kali sehari untuk dewasa dan anak, pagi dan sore hari. Indikasinya untuk pencegahan

dan pengobatan asma kronis. Tidak boleh diberikan pada saat serangan akut dan saat terjadi

status asmatikus, namun boleh diberikan saat terjadi eksaserbasi. Dapat dipakai untuk mencegah

terjadinya exercise induce asthma

.OBAT RELIEVER

Obat reliever bekerja cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan gejala akut lain yang

menyertai. Yang termasuk dalam golongan ini adalah inhalasi beta2-agonis short acting,

kortikosteroid sistemik, antikolinergik inhalasi, teofilin short acting dan beta2-agonis oral short

acting

1. B2 Agonis Inhalasi Short Acting

Seperti beta2-agonis yang lain, obat ini menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas,

meningkatkan klirens mukosilier, mengurangi permeabilitas vaskuler dan mengatur

pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Merupakan obat pilihan untuk asma

eksaserbasi akut dan pencegahan exercise induced asthma. Juga dipakai untuk mengontrol

bronkokonstriksi episodik. Pemakaian obat ini untuk pengobatan asma jangka panjang

27

Page 28: Asma Dalam Kehamilan 2

tidak dapat mengontrol gejala asma secara memadai, juga terhadap variabilitas peak flow

atau hiperrespon saluran nafas. Hal ini juga dapat menyebabkan perburukan asma dan

meningkatkan kebutuhan obat antiinflamasi.

2. Kortikosteroid Sistemik

Walaupun onset dari obat ini adalah 4-6 jam, obat ini penting untuk mengobati eksaserbasi

akut yang berat karena dapat mencegah memburuknya eksaserbasi asma, menurunkan

angka masuk UGD atau rumah sakit, mencegah relaps setelah kunjungan ke UGD dan

menurunkan morbiditas.Terapi oral lebih dipilih, dan biasanya dilanjutkan 3-10 hari

mengikuti pengobatan lain dari eksaserbasi. Diberikan 30 mg prednisolon tiap hari untuk 5-

10 hari tergantung derajad eksaserbasi. Bila asma membaik, obat bisa dihentikan atau

ditappering.

3. Obat Antikolinergik

Obat antikolinergik inhalasi (ipratropium bromida, oxitropium bromida) adalah

bronkodilator yang memblokade jalur eferen vagal postganglion. Obat ini menyebabkan

bronkodilatasi dengan cara mengurangi tonus vagal intrinsik saluran nafas. Juga

memblokade refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi. Obat ini mengurangi

reaksi alergi fase dini dan lambat juga reaksi setelah exercise. Dibanding beta2-agonis,

kemampuan bronkodilatornya lebih lemah, juga mempunyai onset kerja yang lambat (30-

60 menit untuk mencapai efek maksimum). Efek sampingnya adalah menyebabkan mulut

kering dan rasa tidak enak.

4. Teofilin Short Acting

Aminofilin atau teofilin short acting tidak efektif untuk mengontrol gejala asma persisten

karena fluktuasi yang besar didalam konsentrasi teofilin serum. Obat ini dapat diberikan

pada pencegahan exercise induced asthma dan menghilangkan gejalanya. Perannya dalam

eksaserbasi masih kontroversi. Pada pemberian beta2-agonis yang efektif, obat ini tidak

memberi keuntungan dalam bronkodilatasi, tapi berguna untuk meningkatkan respiratory

drive atau memperbaiki fungsi otot respirasi dan memperpanjang respon otot polos

terhadap beta2-agonis short acting.

5. Beta 2 Agonis Oral Short Acting

28

Page 29: Asma Dalam Kehamilan 2

Merupakan bronkodilator yang merelaksasi otot polos saluran nafas. Dapat dipakai pada

pasien yang tidak dapat menggunakan obat inhalasi

Walaupun obat asma yang telah diteliti tidak memiliki efek teratogenik atau efek yang

dapat menimbulkan kecacatan kepada bayi, akan tetapi seorang ibu hamil harus tetap

memperhatikan jenis obat-obatan yang akan dikonsumsinya. Food and Drugs Administration

(FDA) Amerika Serikat membuat sitem klasifikasi obat yang membantu dalam memahami

risk-benefit ratio sebuah obat sesuai kategori klasifikasinya.

Obat Kategori A

Golongan obat yang pada studi (terkontrol) pada kehamilan tidak menunjukkan resiko bagi janin pada trimester 1 dan trimester berikutnya. Obat dalam kategori ini amat kecil kemungkinannya bagi keselamatan janin.

Obat Kategori B

Golongan obat yang pada studi terhadap sistem reproduksi binatang percobaan tidak menunjukkan resiko bagi janin. Belum ada studi terkontrol pada wanita hamil yang menunjukkan adanya efek samping, kecuali adanya penurunan fertilitas pada kehamilan trimester pertama, sedangkan pada trimester berikutnya tidak didapatkan bukti adanya resiko.

Obat Kategori C:

Golongan obat yang pada studi terhadap sistem reproduksi binatang percobaan menunjukkan adanya efek samping bagi janin. Sedangkan pada wanita hamil belum ada study terkontrol. Obat golongan ini hanya dapat dipergunakan jika manfaatnya lebih besar ketimbang resiko yang mungkin terjadi pada janin.

Obat Kategori D

Golongan obat yang menunjukkan adanya resiko bagi janin. Pada keadaan khusus obat ini digunakan jika manfaatnya kemungkinan lebih besar dibanding resikonya. Penggunaan obat golongan ini terutama untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa atau jika tidak ada obat lain yang lebih aman.

Obat Kategori X

Golongan obat yang pada studi terhadap binatang percobaan maupun pada manusia menunjukkan bukti adanya resiko bagi janin. Obat golongan ini tidak boleh dipergunakan (kontra indikasi) untuk wanita hamil, atau kemungkinan dalam keadaan hamil.

X. KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN

29

Page 30: Asma Dalam Kehamilan 2

Asma pada kehamilan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan penurunan asupan

oksigen ibu, sehingga berefek negative bagi janin. Asma tak terkontrol pada kehamilan

menyebabkan komplikasi baik bagi ibu maupun janin.11

Komplikasi asma pada kehamilan bagi ibu

Asma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu. Komplikasi

asma tak terkontrol bagi ibu termasuk :

1. Preeklampsia (11 %), ditandai dengan peningkatan tekanan darah, retensi air serta

proteinuria

2. Hipertensi kehamilan, yaitu tekanan darah tinggi selama kehamilan

3. Hiperemesis gravidarum, ditandai dengan mual-mual, berat badan turun serta

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

4. Perdarahan pervaginam

5. Induksi kehamilan dan atau komplikasi kehamilan.7,11

Komplikasi ini bergantung pada derajat penyakit asma. Status asmatikus dapat

menyebabkan gagal napas, pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, dan

aritmia jantung. Mortalitas meningkat pada penggunaan ventilasi mekanik. Penyulit yang

mengancam nyawa adalah pnemotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia

jantung, dan kelelahan otot disertai henti napas. Angka kematian secara substantive

meningkatkan apabila asmanya memerlukan ventilasi mekanis.11

Komplikasi asma pada kehamilan bagi janin

Kekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah kesehatan janin,

termasuk :

1. Kematian perinatal

2. IUGR (12 %) , gangguan perkembangan janin dalam rahim menyebabkan janin lebih

kecil dari umur kehamilannya

3. Kehamilan preterm (12 %)

4. Hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat bagi sel-sel

5. Berat bayi lahir rendah. 10,11

Satu studi mencatat kematian janin disebabkan oleh asma berat sebagai akibat episode

wheezing yang tidak terkontrol. Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah pada wanita

30

Page 31: Asma Dalam Kehamilan 2

asma masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa faktor yang mendukung seperti

perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma.

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa selain faktor lingkungan, faktor genetik ikut

menentukan kerentanan seseorang terhadap penyakit asma. Penyakit ini dapat dijumpai pada

ibu yang sedang hamil, dan dapat menyebabkan komplikasi pada 7% kehamilan. 10,11

DAFTAR PUSTAKA

31

Page 32: Asma Dalam Kehamilan 2

1. Maranatha, Daniel. Asma bronchial. Dalam: Wibisono, J., eds. Buku ajar ilmu penyakit

paru 2010. Surabaya: departemen ilmu penyakit paru fakultas kedokteran unair – RSUD

dr. soetomo; 2010. h.37-55.

2. Abdul BS, Gulardi HW,eds. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat

Cetakan Ketiga. Jakarta: Pt Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. H.800-813.

3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Pulmonary Disorders. Dalam: Williams

Obstetrics 22nd Edition. New York: McGraw-Hill. 2007. chapter 46, p.1059

4. Lampiran keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor

1023/menkes/sk/xi/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit asma. [tanggal 3

november 2008] URL: http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMKz201023-

pengendalianasma.pdf

5. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Barunwald E, et all. Harrison’s Principles of Internal

Medicine. 17th Edition. New York: McGraw-Hill. 2008. p.1596-1606

6. William C, Shiel Jr, eds. Asthma in Pregnancy. [online]. February 12 th, 2012. [citied

August 3rd, 2011]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/296301.

7. Markus L MD,Pamela L Dyne MD. Asthma in Pregnancy. [online]. March 8, 2012.[citied

March 17, 2007].Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/796274.

8. DeCherney AD, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, eds. Current Diagnosis & Treatment

Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. California: The McGraw-Hill Companies, 2007.

9. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, eds. Obstetrics Normal and Problems Pregnancies,

5th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2007.[chapter 35]

10. Subbarao, Padmaja MD MSc,eds. Asthma: epidemiology, etiology and risk factors. . In:

Canadian medical association journal. [online]. October 27 th, 2009. [citied September, 9th

2011]. Available from URL : http://ecmaj.ca/content/181/9/E181.full.

11. Namazy JA, Schatz M, eds. Pregnancy and Asthma: Recent Developements. [online].

Posted: June 1st, 2005. San Diego: Lippincott Williams & Wilkins. Available from URL:

http://www.medscape.com/viewarticle/496583

32