Referat Asma Dalam Kehamilan

40
BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Asma merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang sering menjadi penyulit dalam kehamilan. Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa asma bronkiale menjadi penyulit pada sekitar 4% kehamilan. Prevalensi yang sebenarnya bisa lebih tinggi karena sekitar 10% populasi memiliki hiperreaktivitas saluran nafas nonspesifik yang merupakan stigma asma. Lebih lanjut, dalam dekade 80-an, prevalensi, morbiditas, dan mortalitas asma meningkat sampai 60%. Asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi ibu dan janin yang serius. Asma yang tidak terkontrol meningkatkan risiko kematian perinatal, prematuritas, dan atau bayi berat badan lahir rendah serta preeklamsi. Asma dapat terjadi pertama kali atau tereksaserbasi selama kehamilan, dan kehamilan dapat memberikan efek samping untuk perjalanan penyakit asma sendiri pada sekitar sepertiga wanita hamil dengan penyulit asma. Di lain pihak, sebagian besar wanita hamil dengan asma dapat mengontrol asmanya dengan baik dan memiliki bayi yang sehat. Kontrol asma yang baik memberi kesempatan bagi seorang wanita dengan asma untuk mempertahankan kehamilan 1

Transcript of Referat Asma Dalam Kehamilan

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Asma merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang sering menjadi penyulit

dalam kehamilan. Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa asma bronkiale

menjadi penyulit pada sekitar 4% kehamilan. Prevalensi yang sebenarnya bisa lebih

tinggi karena sekitar 10% populasi memiliki hiperreaktivitas saluran nafas nonspesifik

yang merupakan stigma asma. Lebih lanjut, dalam dekade 80-an, prevalensi, morbiditas,

dan mortalitas asma meningkat sampai 60%.

Asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi ibu dan janin yang

serius. Asma yang tidak terkontrol meningkatkan risiko kematian perinatal, prematuritas,

dan atau bayi berat badan lahir rendah serta preeklamsi. Asma dapat terjadi pertama kali

atau tereksaserbasi selama kehamilan, dan kehamilan dapat memberikan efek samping

untuk perjalanan penyakit asma sendiri pada sekitar sepertiga wanita hamil dengan

penyulit asma.

Di lain pihak, sebagian besar wanita hamil dengan asma dapat mengontrol

asmanya dengan baik dan memiliki bayi yang sehat. Kontrol asma yang baik memberi

kesempatan bagi seorang wanita dengan asma untuk mempertahankan kehamilan normal

dengan sedikit atau tanpa adanya risiko untuk wanita tersebut atau janinnya.

Pasien-pasien dengan asma yang hamil memerlukan penanganan terhadap

asmanya. Oleh sebab itu, wanita hamil dan wanita yang ingin hamil seharusnya

mendapatkan penanganan farmakologik dan non-farmakologik untuk menangani

asmanya dan menyejahterakan wanita-wanita tersebut dan bayinya.

Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasaan yang baik.

Penatalaksanaan dari asma pada kehamilan yaitu menghindari faktor pencetus seperti zat-

zat alergan, infeksi saluran napas, udara dingin dan factor psikis. Untuk pengobatan yang

diberikan secara maintenance tetap diberikan sampai kelahiran(2).

1

II. TUJUAN

Tujuan dari penulisan tinjauan kepustakaan ini adalah untuk mengetahui dan

mempelajari mengenai Asma Dalam Kehamilan.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ASMA BRONKIALE

A. DEFINISI

Meskipun sindrom klinis khas asma yaitu batuk-batuk episodik, wheezing, dan

dispneu dengan obstruksi jalan nafas reversibel tidak sulit dikenali, asma dapat timbul

dengan gejala-gejala tidak khas seperti batuk kadang-kadang, rasa tertekan pada dada,

atau dispneu yang dipicu oleh aktivitas. Banyak definisi asma yang diterima secara

luas, salah satunya menurut American Thoracic Society (1987)6. Definisi asma

mungkin tumpang tindih dengan penyakit lain seperti bronkitis asmatis dan bronkitis

infeksi. Definisi asma yang sudah disetujui sebagai definisi kerja adalah sebagai

berikut:

“Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik berikut: (1) obstruksi jalan nafas

reversibel partial atau komplit baik secara spontan atau setelah pengobatan; (2)

inflamasi jalan nafas; (3) respon jalan nafas yang meningkat terhadap berbagai

stimulan.”

B. PREVALENSI

Secara umum asma merupakan penyakit yang seing ditemukan, yaitu sekitar 4-5%

dari seluruh populasi di Amerika. Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5-6%. Hal

tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam

kehamilan.

C. PATOFISIOLOGI

Tanda dari fisiologi asma adalah penurunanan diameter saluran napas yang

diakibatkan oleh kontraksi otot polos, oedem dari dinding bronchial, juga karena

adanya hipersekresi, sehingga terjadi peningkatan resistensi saluran napas, penurunan

FEV (Force Expiratory Volume) dan kecepatan aliran, hiperinflasi dari paru dan

thorax, peningkatan usaha untuk bernapas, peningkatan kerja dari otot-otot

3

pernapasan, berkurangnya elastisistas, distribusi yang abnormal dari aliran darah

fentilasi dan aliran darah paru dengan perubahan rationya, dan perubahan konsentrasi

gas darah. Jadi walaupun asma merupakan penyakit saluran napas tetapi semua aspek

paru mengalami kerusakan selama serangan akut. (7)

D. GEJALA DAN PEMICU ASMA

Pemicu terjadinya serangan asma diantaranya (5,8,9) :

- Infeksi saluran napas baik bacterial maupun infeksi virus.

- Merokok

- Asap dari masakan atau pembakaran kayu

- Emosi

- Alergi makanan

- Rhinitis alergi

- Perubahan cuaca, terutama dingin, udara kering

- Olahraga

- Reaksi akergi pada zat kimia terttentu

- Reaksi alergi terhadap kosmetik, sabun, sampo

- Reaksi alergi terhadap zat iritan seperti debu, kutu, bulu, dan lain-lain.

Serangan asma biasanya bersifat episodic dan dapat berakhir dalam beberapa

menit sampai hari. Diantara serangan pasien biasanya sehat. Serangan akut dapat dimulai

beberapa menit setelah paparan. Pasien akan merasakan sesak napas, diikuti dengan

batuk dan wheezing. Ketika obstruksi pada saluran napas menjadi parah, rhonchi dan

wheezing akan hilang. Kebingungan, letih, sianosis merupakan tanda dari serangan asma

berat dan merupakan indikasi untuk diberikan terapi segera(9) .

E. DIAGNOSIS

Asma dapat timbul pertama kali selama kehamilan sehingga penegakan diagnosisnya

mungkin dikacaukan dengan dispneu fisiologis kehamilan. Diagnosis asma berdasarkan pada

riwayat kesehatan yang cocok, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium. Diagnosis asma terpusat

pada adanya obstruksi jalan nafas episodik dan reversibilitas obstruksi tersebut. Reversibilitas

dinyatakan dari peningkatan 15% FEV1 atau lebih setelah 2 kali menghirup preparat agonis B-

4

adrenergik. Penderita asma biasanya memiliki riwayat episode batuk, dada terasa tertekan,

wheezing, dan dispneu. Asma mungkin timbul dengan gejala-gejala yang tidak khas seperti batuk

terisolasi, nyeri dada, bronkitis berulang, atau dispneu yang timbul karena aktivitas(10).

Selama eksaserbasi akut, pada pemeriksaan fisik didapatkan hiperinflasi, ekspirasi

memanjang, wheezing, dan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Pemeriksaan fisik dapat

kembali normal pada interval eksaserbasi(10).

Tes fungsi paru dapat ditemukan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel pada

spirometri. Kegagalan respon langsung terhadap bronkodilator inhalasi tidak menyingkirkan

diagnosis. Spirometri ulang setelah beberapa minggu perawatan dapat menunjukkan kemajuan.

Pengukuran udara ekspiratoar puncak mungkin menunjukkan peningkatan variabilitas atau

penurunan aliran puncak seiring timbulnya gejala-gejala. Metacholine challenge test dapat

menunjukkan adanya hiperreaktivitas jalan nafas namun tes ini jarang diperlukan untuk

menegakkan diagnosis asma. Tes ini tidak menimbulkan efek samping berlebihan pada wanita

hamil jika dilakukan dengan pemantauan yang baik(10) .

Setelah diagnosis dipastikan, perjalanan penyakit dan efektifitas dari terapi dapat diikuti

dengan pengukuran Peak Expiratori Flow Rate (PEFR) atau FEV1. Untuk mengetahui jenis elergi

yang dimiliki dapat dilakukan test dengan bermacm-macam allergen.(10)

Secara labolatoris dapat ditemukan sel-sel eosinofil dari darah dan sputum dan juga dapat

diukur serum IgE, walupun penemuan tersebut tidak hanya terjadi pada asma. (10)

II. ASMA DALAM KEHAMILAN

Asma khususnya jika berat pada kenyataannya dapat berpengaruh pada

kehamilan. Menurut Clark, dkk (1993) dua penelitian besar epidemiologi mengatakan

bahwa asma berpotensi memberikan efek yang merugikan, diikuti dengan peningkatan

insidensi lahir premature, BBLR, kematian perinatal, dan preeklamsi, gangguan tekanan

darah ini disertai dengan bocornya protein pada urine ibu dan sangat potensial untuk

terjadinya kerusakan ginjal, otak, hepar, dan mata. Lehrer, dkk (1993) melaporkan bahwa

wanita asma memiliki insidensi dua koma lima kali lipat dari kehamilan menimbulkan

hipertensi. (12)

5

Komplikasi yang dapat mengancam hidup yaitu pnemothorax, pnemomediatinum,

akut cor pulmonale, cardiac aritmia, kelelahan otot dengan respiratory arest(12).

Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat

diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60%-70%

wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma(1).

Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan

mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan

mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma

akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya(1).

Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan

memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan kadar IgE

yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan(1).

Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau pada

saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan faktor

hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai faktor

yang memberikan pengaruh(1).

Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi serangan

asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung pervaginam(1).

III. OBAT ASMA DALAM KEHAMILAN

Idealnya semua obat-obatan dihindari selama kehamilan, tetapi yang lebih penting

adalah meyakinkan bahwa janin dalam kandungan mendapat suplai oksigen yang cukup

dan menurunkan resiko yang akan terjadi pada ibu. Dengan kata lain kita harus

mempertimbangkan manfaat dan resiko dari suatu obat (9).

Sumber lain menyebutkan bahwa obat-obatan anti asma dapat digunakan dengan

aman selama kehamilan, walaupun demikian penggunaannya selama trimester pertama

kehamilan harus dengan hati-hati(11).

6

Obat yang tersedia untuk terapi asma dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu

obat-obat bronkodilator dan obat-obat anti inflamasi(9).

1. Golongan bronkodilator

a. βagonis

Agonis β yang mengaktivasi baik reseptor β1 dan β2 misalnya epinefrin

(adrenalin) dan analog isopropilnya yaitu isoproterenol. Dapat dipertimbangkan

pemberian epinefrin subkutan pada eksaserbasi akut berat meskipun terapi awal

lain sudah diberikan. Epinefrin juga didapatkan pada beberapa inhaler asma.

Perhatian timbul pada vasokonstriksi uterus akibat dari efek adrenergik α dari

epinefrin.

β agonis mempunyai keunggulan karena bekerja cepat dan obat yang

masuk ke peredaran darah janin sangan minimal. Obat ini juga sangat efektif

untuk mencegah asma yang disebabkan karena olahraga jika digunakan 15 menit

sebelum aktifitas. Perinhalasi (Albuterol, Pirbuterol, Terbutaline, Metaproterenol,

Biltlterol). Tablet (Albuterol, Terbutaline, Metaproterenol)

b. antikolinergik

Antikolinergik inhalasi menyebabkan bronkodilatasi dengan cara

mengurangi tonus vagal intrinsik pada saluran pernafasan. Beberapa bahan juga

menutup refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi. Alkaloid

beladona seperti atropin merupakan antikolinergik prototip namun mempunyai

efek samping lokal dan sistemik untuk pasien dengan asma. Ipratropium yang

merupakan derivat keempat bentuk inhalan memiliki sedikit efek samping atropin.

Bahan ini telah terbukti efektif untuk mengobati eksaserbasi akut pada

penggunaan dalam bentuk nebulisasi. Efektivitas ipratropium untuk

penatalaksanaan asma sehari-hari belum teruji 6,7.

Merupakan bronchodilator yang bekerja lebih lambat dari B-agonis

inhalasi (Atrovent). Satu-satunya bronchodilator yang digunakan parenteral

adalah Aminophylline. Bahan-bahan antikolinergik sudah banyak digunakan

selama kehamilan tanpa efek samping. Ipratropium memiliki efek sistemik yang

7

lebih sedikit daripada atropin dan tidak dikontraindikasikan pada kehamilan

meskipun umumnya tidak digunakan kecuali pada pasien dengan asma berat 6,7.

c. agonis β2 adrenergik (agonis β2)

Agonis β2 merelaksasi otot polos saluran pernafasan dan menjadi

perantara pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Agonis β2 inhalasi

merupakan obat pilihan untuk pengobatan awal asma eksaserbasi akut dan pencegahan

asma yang diinduksi aktivitas. Agonis β2 juga digunakan secara kronis untuk membantu

kontrol pengecilan saluran pernafasan persisten meskipun laporan terakhir menunjukkan

penggunaan agonis β2 yang terjadwal dengan teratur (berlawanan dengan penggunaan

‘jika diperlukan/prn’) berhubungan dengan menurunnya kontrol asma. Karena asma yang

terkontrol baik membutuhkan penggunaan minimal agonis β2 inhalasi, penggunaan yang

meningkat menunjukkan kegagalan kontrol asma. Metaproterenol (orsiprenalin),

albuterol (salbutamol), pirbuterol, bitolterol, dan terbutalin adalah agonis β2 selektif yang

sering digunakan.

Hasil penelitian agonis β2 pada binatang umumnya negatif meskipun beberapa

bahan menyebabkan kelainan pada dosis tinggi. Pengalaman penggunaan pada manusia

sudah cukup banyak namun umumnya tidak dilakukan pada akhir kehamilan. Tidak ada

bukti adanya jejas pada janin dari penggunaan obat-obat ini secara sistemik atau inhalasi,

dan tidak ada kontraindikasi penggunaannya selama menyusui 6,7.

d. teofilin

Teofilin merupakan penggunaan utama metilsantin dalam terapi asma.

Meskipun mekanisme tepatnya belum diketahui, teofilin berlaku sebagai

bronkodilator ringan-sedang, tergantung dari konsentrasi serumnya. Jika

diberikan dalam bentuk preparat lepas lambat, teofilin memiliki durasi yang

panjang dan karena itu berguna untuk kontrol asma nokturnal. Jika digunakan

bersama dosis umum agonis β2 inhalasi, teofilin dapat menyebabkan

bronkodilatasi. Lebih lanjut,teofilin juga dapat mengurangi kelelahan otot

pernafasan dan memiliki beberapa tingkat aktivitas anti inflamasi 6,7.

8

Penggunaan teofilin selama kehamilan sudah sangat luas dan tanpa adanya

bukti efek samping terhadap neonatus jika dosis dipandu oleh kadar serum yang

cukup (tidak melebihi 12 g/mL) 6,7.

2. Golongan anti inflamasi

a. Cromolyn sodium

Obat ini merupakan bahan anti inflamasi nonsteroid yang digunakan untuk

penatalaksanaan sebagai profilaksis asma kronis, tersedia dalam bentuk inhaler

dan nebulizer. Sodium kromolin yang diberikan sebagai profilaksis menghambat

fase awal dan lebih lanjut pengecilan saluran nafas yang diinduksi alergen seperti

juga pengecilan saluran nafas akut setelah aktivitas dan setelah terpapar udara

dingin kering dan sulfurdioksida. Mekanismenya belum seluruhnya dimengerti

namun diperkirakan sodium kromolin menstabilkan dan mencegah pelepasan

mediator dari sel mast. Penelitian pada binatang dan pengalaman manusia hanya

menunjukkan sedikit ancaman terhadap janin 6,7.

b. Kortikosteroid

Obat anti inflamasi paling efektif untuk pengobatan asma adalah

kortikosteroid. Dapat diberikan peroral ataupun inhaler.(beclomethasone,

betamethasone, prednisone). Mekanisme utama adalah interferensi dengan

metabolisme asam arakidonat dan sintesis leukotrien dan prostaglandin,

pencegahan migrasi langsung dan aktivasi sel-sel radang, dan peningkatan

responsivitas reseptor beta otot polos saluran pernafasan. Kortikosteroid dapat

diberikan secara parenteral (metilprednisolon, hidrokortison), secara oral

(prednison, prednisolon, metilprednisolon), atau dalam bentuk aerosol

(beklometason, flunisolid, dan triamsinolon) 6,7.

Pemberian kronis kortikosteroid secara oral atau parenteral berkaitan

dengan penurunan berat badan lahir. Penelitian pada binatang menunjukkan

adanya celah palatum pada spesies yang sangat sensitif terhadap kelainan ini

tetapi tidak ada peningkatan cacat bawaan pada manusia. Ada tiga jenis bahan

yang tersedia untuk inhalasi: beklometason, triamsinolon, dan flunisolid. Yang

9

banyak dipakai dalam kehamilan adalah beklometason sehingga menjadi

kortikosteroid inhalasi pilihan selama kehamilan karena pengalaman klinisnya

yang meyakinkan. Meskipun dapat timbul absorbsi sistemik dari kortikosteroid

inhalasi, kadar plasma yang rendah dari inhalasi ini menyebabkan kecil

kemungkinan efek terhadap janin. Penggunaan kortikosteroid inhalasi atau

sistemik merupakan kontraindikasi saat menyusui 6,7.

c. Antihistamin

Antihistamin digunakan untuk menahan aksi pelepasan histamin selama

aktivasi sel mast sebagai respon terhadap alergen atau stimulan lain. Antihistamin

banyak didapatkan dalam obat-obat flu dan anti alergi yang dijual bebas. H1

bloker yang lebih baru seperti terfenadin dan astemizol memiliki efek sedatif yang

lebih kecil daripada obat-obat generasi pertama yang lebih tua 6,7.

Antihistamin belum terbukti berbahaya bila digunakan selama awal

kehamilan. Dari penelitian dengan binatang dan manusia didapatkan sangat

sedikit potensi teratogenisitas terhadap manusia. Sangat beralasan memilih

antihistamin yang lebih tua karena sudah ada data percobaan terhadap manusia

yang meyakinkan untuk penggunaan selama kehamilan. Meskipun ada perhatian

tentang efek antihistamin terhadap anak-anak, tidak ada data meyakinkan tentang

efek samping karena penggunaan obat ini selama akhir kehamilan atau menyusui.

Menurut American Academy of Pediatrics Committee on Drugs, antihistamin

disebut-sebut kompatibel dengan masa menyusui 6,7.

d. Dekongestan

Dekongestan merupakan obat adrenergik α yang digunakan untuk

konstriksi pembuluh darah di mukosa hidung. Bahan-bahan yang termasuk dalam

golongan ini misalnya oksimetazolin, fenilefrin, fenilpropanolamin, efedrin, dan

pseudoefedrin. Karena jenis ini memiliki aktivitas adrenergik α, ada perdebatan

tentang potensinya dalam konstriksi suplai pembuluh darah yang terkait dalam

pertukaran udara dan makanan ibu-janin. Akan tetapi, pseudoefedrin tampaknya

tidak menghasilkan efek ini pada dosis terapeutik. Pengalaman pada manusia

10

tidak menghasilkan gambaran pasti adanya cacat bawaan meskipun the National

Collaborative Perinatal Project mempertanyakan tentang fenilefrin dan

fenilpropanolamin 6,7.

IV. PENATALAKSANAAN ASMA SELAMA KEHAMILAN

A. Prinsip terapi pada wanita hamil

Tujuan penatalaksanaan asma pada wanita hamil yang juga berlaku untuk semua

pasien asma adalah6,7: Mempertahankan fungsi paru normal atau mendekati normal,

Mengontrol gejala, termasuk gejala-gejala malam, Mempertahankan tingkat aktivitas

normal, termasuk olahraga, Mencegah asma eksaserbasi akut , Menghindari efek samping

pengobatan asma. Selain itu ada tujuan lebih lanjut penatalaksanaan asma pada wanita

hamil yaitu Melahirkan bayi yang sehat.

Walaupun terapi farmakologi merupakan komponen yang vital dari managemen

yang baik, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan penerangan pada

pasien tentang penyakitnya dan bagaimana cara menghindari serangan asma, sehingga

pasien akan taat terhadap terapi yang dianjurkan dan tujuan untuk mengarah ke

kehidupan yang relative normal dan kehamilan yang normal dapat diharapkan. Tujuan

lainnya adalah agar pasien dapat mengidentifikasi serangan, mengenali dan mengobati

exacerbasi pada tingkat awal. Juga agar pasien mengetahui bahwa terapi asma hanya

mempunyai resiko rendah atau dapat dikatakan sama sekali tidak beresiko(11).

Secara umum langkah yang harus diperhatikan pada managemen asma yaitu(8,11):

1. Sedapat mungkin menghindari serangan.

2. Terapi awal merupakan hal yang sangat penting. Gunkananlah obat saat tanda-tanda

awal dari asma mulai muncul.

3. Penting pada wanita hamil untuk tidak menunda pengobatan lebih lanjut jika

ditemukan hal-hal dibawah ini:

o Obat-obatan tidak menghasilkan perbaikan yang cepat

o Perbaikan tidak terjadi terus-menerus

o Penyakit semakin lama semakin berat

11

o Terdapat kemunduran dari pergerakan fetus

4. yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengobatan yang teratur.

Penatalaksanaan efektif asma untuk wanita hamil berpedoman pada empat komponen

yaitu6,7:

1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan kesejahteraan

janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik yang tepat.

a. Fungsi paru ibu

Tes fungsi paru penting untuk menilai beratnya asma dengan tujuan

memberikan rekomendasi terapeutik yang baik. Asma memiliki karakter obstruksi

aliran udara variabel yang seringnya paling berat saat malam atau pagi hari.

Fungsi paru biasa dinilai dengan spirometri. FEV1 merupakan ukuran

tunggal terbaik fungsi paru untuk menilai beratnya asma. Karena itu, spirometri di

tempat praktek direkomendasikan dalam penilaian awal pasien hamil yang

dievaluasi asmanya dan kemudian dinilai secara periodik sebagaimana

dibutuhkan.

Rasio udara ekspiratoar puncak (peak expiratory flow rate/PEFR)

merupakan kapasitas udara terbesar yang didapat selama ekspirasi paksa yang

dimulai dengan paru mengembang penuh, dan berhubungan erat dengan FEV1.

PEFR dapat diukur dengan peak flow meter yang terpercaya, murah, dan portabel.

Karena PEFR hanya mengukur fungsi saluran pernafasan besar, PEFR bukan

pengukuran obstruksi aliran udara paling sensitif. Maka dari itu, PEFR mungkin

tidak cukup untuk menegakkan diagnosis atau evaluasi penuh gangguan fisiologis

yang berhubungan dengan asma. Namun tidak dapat disangkal bahwa pemantauan

PEFR di rumah sangat berguna dalam menilai variasi sirkadia pada fungsi paru

(sebuah indikasi hiperresponsivitas saluran pernafasan) dan selanjutnya baik

perjalanan asma dan respon terhadap terapi. Pengukuran PEFR juga dapat

membedakan asma dengan penyebab lain dispneu selama kehamilan, menilai

gejala dan meramalkan eksaserbasi asma. Penggunaan PEFR direkomendasikan

sebagai parameter obyektif untuk follow up gejala dan membuat rekomendasi

terapeutik saat rekomendasi semacam itu tergantung pada beratnya obstruksi

12

aliran udara. Pemantauan PEFR terutama bermakna untuk mendeteksi deteriorasi

asma, meramalkan eksaserbasi akut, dan menilai respon terhadap terapi.

Mempertahankan fungsi paru sampai sebisa mungkin mendekati normal sangat

diharapkan selama kehamilan. Pasien-pasien yang memerlukan keberhasilan

tujuan ini sebaiknya disuplai dengan peak flow meter rumah. Secara umum hal ini

termasuk wanita dengan asma sedang sampai berat. Pasien-pasien ini seharusnya

mencatat PEFR pagi hari, siang hari, dan kira-kira 12 jam kemudian lalu

membawa catatan ini setiap kunjungan prenatal.

b. Pemantauan janin

Tujuan penatalaksanaan wanita hamil dengan asma adalah

mengoptimalkan fungsi paru ibu dan mengidentifikasi janin-janin yang berisiko

mengalami hambatan pertumbuhan dan keluaran buruk.

Yang penting ibu hamil penderita asma sebaiknya rajin memeriksakan janinnya

sejak awal. Pemeriksaan dengan USG dapat dilakukan sejak usia kehamilan 12 -

20 minggu untuk mengetahui pertumbuhan janin. USG dapat diulang pada

trisemester ke-2 dan ke-3 terutama bila derajat asmanya berada pada tingkat

sedang - berat. Pemeriksaan janin juga dapat dilakukan dengan electronic fetal

heart rate monitoring untuk memeriksa detak jantung janin.

Pada trimester ketiga, pemantauan janin kadang terlupa selama

eksaserbasi asma. Pada trimester ketiga, jika diperlukan dapat dilakukan

pemantauan denyut jantung janin (nonstress test atau contraction stress test) dan

penentuan tingkah laku janin secara elektronik (biophysical assessment) untuk

meyakinkan kesejahteraan janin. Indikasi penilaian antepartum janin meliputi

hambatan pertumbuhan, asma sedang-berat, eksaserbasi asma, dan penurunan

pergerakan janin.

Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan maka diperlukan

pemantauan janin ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan

pemantauan janin elektronik kontinyu. Penilaian janin dapat dicapai dengan

pemantauan elektronik selama 20 menit yang disebut tes masuk rumah sakit

(admission test). Namun pasien-pasien dengan asma ringan atau sedang yang

13

terkontrol dan tes masuk rumah sakit yang meyakinkan, auskultasi intermiten,

pengukuran PEFR, atau pemantauan denyut jantung janin elektronik mungkin

cukup. Pemantauan janin intensif direkomendasikan untuk pasien yang memasuki

persalinan dengan asma tidak terkontrol atau berat dan memiliki tes masuk rumah

sakit yang tidak meyakinkan atau faktor risiko lain. Hal ini dapat dilakukan

dengan cara pemantauan denyut jantung janin elektronik atau auskultasi

intermiten (setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2). Selama masa

persalinan, pemantauan janin intensif dapat dipikirkan untuk menjadi pedoman

obstetris dan penatalaksanaan asma.

2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di lingkungan pasien.

a. Control lingkungan

Menghapuskan paparan lingkungan yang buruk sangat penting dalam

mengontrol asma selama kehamilan. Iritan dan alergen yang merangsang gejala

akut juga meningkatkan hiperresponsivitas saluran nafas. Iritan nonspesifik

meliputi asap rokok, debu, bau-bauan kuat, dan polutan udara lingkungan.

Khususnya jika pasien sendiri merokok, dia harus dipaksa berhenti dan dirujuk ke

sebuah program berhenti merokok yang baik.

Kutu-kutu rumah tampak memegang peran utama sebagai penyebab asma

alergi. Alergen kutu dapat ditemukan di seluruh rumah, di kasur, bantal, karpet,

furnitur, selimut, pakaian, dan mainan lunak. Kelangsungan hidup binatang ini

tergantung pada kelembaban udara, mereka muncul pada lingkungan dimana

kelembaban relatifnya lebih tinggi dari 50%. Pencetus lain bisa berasal dari

latihan olahraga yang terlalu dipaksakan, infeksi saluran pernapasan (batuk-pilek),

perubahan cuaca, dan emosi.

b. Terapi imun

Terapi imun dapat mencegah inflamasi alergi dan terbukti mengurangi

gejala asma yang dirangsang alergen seperti kutu rumah, kotoran kucing, serbuk

sari rumput, dan alternaria. Terapi imun dapat dipertimbangkan untuk pasien yang

14

tidak mungkin menghindari alergen dan iritan dan jika pengobatan medis gagal

mengontrol gejala asma.

Masalah utama penggunaan terapi imun selama kehamilan adalah

timbulnya reaksi sistemik (anafilaksis). Induksi kontraksi uterus yang timbul

setelah anafilaksis dan menyebabkan abortus disebutkan dalam beberapa laporan

meskipun hal ini jarang sekali terjadi.

c. Vaksin

Sudah umum direkomendasikan pemberian vaksin influenza setiap tahun

kepada pasien asma sedang dan berat. Influenza adalah vaksin mati dan tidak ada

bukti menunjukkan adanya hubungan dengan risiko ibu atau janin meskipun

direkomendasikan pemberiannya setelah trimester pertama.

3. Terapi farmakologis

Prinsip Utama Penatalaksanaan Farmakologis yaitu penyesuaian pedoman terapi

umum sesuai kebutuhan individu pasien. Mengingat asma merupakan penyakit yang

bervariasi diantara penderitanya. Tingkat beratnya asma pada setiap wanita dapat

berubah dari satu bulan atau musim ke bulan lainnya atau selama kehamilan. Karena

itu, regimen farmakologik spesifik harus disesuaikan sesuai keperluan individu dan

keadaan serta diintegrasikan dengan rekomendasi strategi penatalaksanaan

nonfarmakologis.

Salah satu tujuan terapi adalah penggunaan obat minimum yang diperlukan untuk

mempertahankan kontrol dengan risiko efek samping terkecil. Pendekatan bertahap

dimana jumlah obat dan frekuensi pemberian ditingkatkan sesuai keperluan untuk

menetapkan kontrol (step up) dan diturunkan jika mungkin untuk mempertahankan

kontrol (step down) digunakan untuk mencapai tujuan ini.

Secara umum, setiap pasien asma harus memiliki agonis β2 inhalan yang tersedia

untuk penanganan penyelamatan gejala akut. Perawatan penyelamatan ini juga memiliki pola

bertahap. Obat-obatan ditambahkan jika perlu untuk mengontrol gejala. Peningkatan sering

hanya bersifat sementara dan tergantung pada berat dan durasi eksaserbasi asma juga respon

pasien sendiri.

15

Asma merupakan penyakit yang heterogen berdasarkan pada beratnya, riwayat alamiah

dan respon terhadap terapi. Selain itu beratnya gejala pada seorang pasien tidak selalu sama

setiap waktu, sehingga pendekatan managemen tunggal tidak selalu dapat diterapkan. Dengan

kata lain dibutuhkan terapi yang tepat untuk tingkat beratnya penyakit yang terjadi pada saaat

itu(9).

a. Asma intermiten

Menurut pengalaman, banyak asma yang terjadi hanya ringan saja, gejala yang

kadang kala muncul dapat hilang dengan bronchodilator perinhalasi, tanpa

menimbulkan efek samping yang besar. Jika asma terjadi karena keadaan yang dapat

diperkirakan seperti latihan berat pada olah raga, terapi pencegahan dengan B-agonis

inhaler dianjurkan untuk pasien dengan fungsi paru yang normal atau mendekati

normal (FEV1 lebih besar dari 80%) dan sedikit variasi peak flow (kurang dari 20%) (7,8,11)

b. Asma ringan

Penambahan dari preparat control dianjurkan pada gejala ringan yang terjadi

dengan selang waktu yang tidak lama. Walaupun tidak ada konsensus yang

menetapkan berapa frekuensi yang disebutkan sebagai selang waktu yang

tidak lama tersebut. Tetapi sebagai patokan penambahan preparat kontrol

diberikan jika gejala terjadi 1 kali perminggu atau jika gejala pada malam hari

terjadi lebih dari 2 kali perbulan. Sebagai pilihan terapi kontrol digunakan

kortikosteroid. Tujuan dari penggunaan kortikosteroid awal tidak hanya

meringankan gejala yang terjadi saat ini tetapi juga mencegah komplikasi

jangka panjang dari asma. Walaupun belum terbukti tetapi pemikiran tersebut

timbul karena inflamasi saluran napas yang tidak diterapi dapat menimbulkan

perubahan saluran napas dan obstruksi saluran napas kronik persisten(7,8,11).

Kromolin sebagai anti inflamasi non steroid dapat digunakan jika asma

ringan dengan peningkatan gejala dengan frekuensi kurang dari 1 kali perhari.

Pada gejala yang lebih berat dan seing tetap digukana kortikosteroid inhalasi

karena hasilnya lebih baik(7,8,11).

16

c. Asma sedang

Asma sedang ditandai dengan gejala yang hilang dengan menghirup B-

agonis beberapa kali perhari. Asma sedang ini paling baik diobati dengan

kortikosteroid inhalasi untuk mengontrol inflamasi dan B-agonis diberikan

jika perlu untuk menghilangkan gejala(7,8,11)

Pemilihan dosis initial lebih mengarah ke empiris. Terapi dimulai dengan

dosis yang besar 600-1000 mikrogram per hari lalu diturunkan setelah

didapatkan keadaanyang terkontrol. Kebanyakan pasien mencapai control

asma yang adekuat pada dosis dibawah 1000 mikrogram perhari. Pada

sebagian kecil pasien kortikosteroid inhalasi kurang dari 1000 mikrogram

perhari tidak cukup untuk mengontrol gejala. Pada beberapa kasus terapi

ditingkatkan dengan menaikan dosis kortikosteroid inhalasi atau dengan

penambahan obat lain, seperti B-agonis dan theophyllin. Dan menurut

penelitian penambahaan B-agonis lebih bermanfaat daripada meningkatkan

dosis kortikosteroid(8,11)

d. Asma berat

Asma yang ditandai dengan gejala yang menetap walaupun diterapi

dengan kortikosteroid inhalasi dan penambahan terapi dengan B-agonis atau

theophyllin. Asma berat biasanya timbul karena ketidaktaatan terhadap terapi

atau karena terpapar faktor lingkungan yang memicu atau dapat pula karena

mendapat obat yang memicu asma seperti aspirin dan B-bloker(8,11).

Pada asma yang berat pilihan terbatas, termasuk penambahan dosis

kortikosteroid inhalasi, penambahan theopillin dan B-agonis. Pasien yang

tidak terkontrol walaupun diterapi dengan kortikosteroid inhalasi sampai

dengan 2000 mikrogram perhari dan satu atau lebih long acting

bronchodilator, dipertimbangkan untuk mendapat steroid oral(8,11)

e. Terapi eksaserbasi akut

Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara

cepat dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat

17

diruang unit perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan janin dalam

kandungan.

Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut(1):

1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-

80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia.

2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan

penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan

cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau normal saline.

3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan

dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma

sebesar 10-20 mikrogram/ml.

4. pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis 0,25 mg

5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose,

tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5

mg/kgBB/jam

6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang

menyertai

7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus

yang mengancam kehidupan.

8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit

dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus,

pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di unit perawatan intensif.

Selama kehamilan pertimbangan untuk intubasi lebih awal diperlukan jika

fungsi pernapasan ibu terus menurun, meskipun dilakukan penanganan yang

intensif. Melakukan intubasi dan ventilasi mekanis.

f. Penatalaksanaan asma yang diinduksi latihan

Asma yang diinduksi latihan (Exercise-induced asthma/EIA) jika tidak

diterapi dapat membatasi dan mengganggu kehidupan normal. Definisi EIA

adalah istilah untuk pengecilan saluran nafas yang timbul beberapa menit

setelah melakukan aktivitas berat. EIA harus diantisipasi pada semua pasien

18

asma dimana sebagian besar pasien memiliki hiperiritabilitas saluran nafas

yang mengarah pada kondisi ini.

EIA banyak disebabkan oleh kontraksi otot polos. EIA biasanya mencapai

puncaknya 5-10 menit setelah menghentikan aktivitas berat dan kembali

normal dalam 20-30 menit kemudian.

Tujuan penatalaksanaan adalah agar pasien bisa melakukan aktivitas

apapun yang mereka pilih tanpa mengalami gejala asma. Pasien yang

mendapat terapi anti inflamasi dengan jadwal teratur mungkin memiliki

kontrol asma yang cukup dimana asmanya tidak dirangsang oleh latihan. EIA

dapat dicegah dengan inhalasi agonis β2 5-60 menit sebelum latihan. Terapi

awal ini berguna untuk beberapa jam ke depan. Jika pasien masih mengalami

gejala dengan adanya latihan, 2 ‘puffs’ agonis β2 inhalasi dapat melegakan

gejala dan dosisnya harus dinaikkan untuk terapi awal latihan berikutnya.

Kombinasi terapi awal agonis β2 dan kromolin dapat efektif saat tidak ada

salah satu obat ini yang mencukupi.

4. Penanganan asma dalam persalinan

Untuk merawat pasien dengan asma selama persalinan dan kelahiran,

direkomendasikan untuk melanjutkan pengobatan asma yang terjadwal dengan teratur

(kromolin inhalasi, beklometason, dan atau teofilin oral) selama persalinan dan

kelahiran. PEFR harus diukur saat akan bersalin atau melahirkan dan kemudian tiap

12 jam. Jika timbul gejala asma, PEFR diukur setelah pengobatan asma. Pasien harus

dijaga baik hidrasinya dan disiapkan analgesik yang cukup untuk membatasi risiko

bronkospasme. Pasien yang sudah memerlukan kortikosteroid sistemik kronis atau

beberapa kortikosteroid sistemik jangka pendek selama kehamilan harus diberi

hidrokortison 100 mg setiap 8 jam sampai 24 jam postpartum untuk mengobati

kemungkinan supresi adrenal.

Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan, diperlukan pemantauan janin

ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan pemantauan ini. Penilaian

janin dapat diselesaikan dengan pemantauan elektronik selama 20 menit yang disebut

19

tes masuk rumah sakit. Kemudian untuk pasien dengan asma ringan atau sedang yang

terkontrol baik dan tes masuk masuk rumah sakit yang meyakinkan, perlu dilakukan

auskultasi intermiten, pengukuran PEFR, atau pemantauan denyut jantung janin

elektronik. Pemantauan janin secara intensif direkomendasikan untuk pasien-pasien

yang memasuki persalinan dengan asma tidak terkontrol atau asma berat dan tidak

memiliki tes masuk rumah sakit yang meyakinkan atau faktor risiko lainnya. Hal ini

dapat dilakukan dengan pemantauan denyut jantung janin elektronik kontinyu atau

auskultasi intermiten (setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2).

Selama persalinan, pemantauan janin intensif ini dapat djiadikan pedoman untuk

mengambil keputusan dalam pengelolaan asma dan obstetris yang baik.

Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka

persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani

komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita

memberat gejala asmanya pada waktu persalinan(1).

Selama persalinan kala I, pengobatan asma selama masa prenatal harus

diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus

hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila

mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan

serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas(1).

Untuk induksi persalinan, oksitosin merupakan obat terpilih. Penggunaan 15-metil

prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan analog prostaglandin F2-alfa

sintetik yang dilaporkan menyebabkan bronkospasme pada pasien asma. Penggunaan

prostaglandin E2 dilaporkan juga dapat menyebabkan bronkospasme. Namun, sebuah

penelitian terakhir menyebutkan bahwa bahan ini aman untuk abortus terapeutik atau

induksi persalinan janin mati pada pasien dengan asma. Penggunaan jel prostaglandin

E2 intravaginal atau intracervical untuk pematangan serviks sebelum induksi

persalinan tidak dilaporkan menyebabkan bronkospasme.

Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk

penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio

sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada anestesi

umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat(1).

20

Saat memilih analgesik narkotik untuk pasien dengan asma, harus dipertimbangkan

bahan tersebut menyebabkan pelepasan histamin yang mempercepat bronkospasme.

Harus dihindarkan morfin dan meperidin sehingga bahan terpilih adalah fentanil.

Analgesik narkotik menyebabkan depresi pernafasan dan tidak boleh digunakan pada

eksaserbasi asma akut.

Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan

pervaginam, memperpendek kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau

forceps akan bermanfaat(1).

Jika diperlukan anestesi umum, penggunaan atropin dan glikopirolat dapat

memberikan efek bronkodilator. Untuk induksi anestesi, ketamin merupakan obat

terpilih karena menurunkan resistensi jalan nafas dan dapat mencegah bronkospasme.

Anestesi halogen konsentrasi rendah dapat memberikan efek bronkodilatasi,

memberikan jalan untuk oksigen konsentrasi tinggi dan mencegah kecemasan ibu

terhadap pembedahan serta tidak menimbulkan pendarahan pasca salin. Bila

persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka

sebaiknya anestesi cara spinal(1).

Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak

melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau

morfin yang melepas histamine(1).

5. Penangan asma post partum

Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan

dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post

partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan

dengan penyakitnya ini. Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya

kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu

tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini

dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk

menimbulkan pengaruh pada janin(1).

21

Pengobatan farmakologis untuk pendarahan pasca salin pada pasien dengan asma

berbeda karena sebagian besar obat oksitosik untuk atonia uteri dapat memperburuk

bronkospasme. Oksitosin adalah obat terpilih untuk pendarahan pasca salin. Namun

jika diperlukan obat tambahan, metilergonovin dan ergonovin harus dihindari karena

menyebabkan bronkospasme. Jika penggunaannya tidak dapat dihindarkan, sangat

disarankan pengobatan awal dengan metilprednisolon. Penggunaan 15-metil

prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan bronkokonstriktor dan dapat

memperburuk asma. Jika diperlukan pengobatan dengan prostaglandin, analog

teraman adalah E2 yang kurang menyebabkan bronkospasme. Jika ada pendarahan

uterus berat, prostaglandin E2 20 mg supositoria dapat diberikan untuk menghindari

efek washout yang disebabkan pendarahan vagina terus-menerus.

Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika

lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat

menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat(1).

6. Edukasi pasien

Edukasi pasien merupakan senjata ampuh untuk menolong pasien mendapatkan

motivasi, keahlian, dan kepercayaan diri untuk mengontrol asmanya. Edukasi pasien

harusnya dimulai pada saat diagnosis ditegakkan dan diintegrasikan dengan

perawatan kontinyu.

Sebagian besar tanggung jawab penanganan asma sehari-hari ada pada pasien dan

keluarganya. Partisipasi aktif oleh klinisi, pasien, dan keluarga dalam sebuah

kerjasama dapat meningkatkan pendekatan pada rencana perawatan dan merangsang

kemajuan dalam penatalaksanaan asma. Konsep kerjasama ini termasuk komunikasi

terbuka, pengembangan rencana terapi bersama oleh klinisi dan pasien, peningkatan

usaha keluarga untuk dalam pencegahan dan perawatan gejala pasien.

Edukasi pasien termasuk membantu pasien memahami asma, membantu pasien

mempelajari dan mempraktekkan keahlian yang diperlukan untuk mengelola asma,

dan mendukung pasien saat mereka meniru tingkah laku penatalaksanaan asma yang

baik dan menambahkannya ke dalam rencana terapi mereka. Meningkatkan keahlian

22

pasien dalam penatalaksanaan asma dan meyakinkan bahwa mereka dapat

mengontrol asmanya.

7. Dukungan psikologis

Kehamilan merupakan saat stres psikologis karena perubahan-perubahan dalam

bentuk tubuh, gejala-gejala fisik yang menyertai kehamilan, dan ketakutan tentang

kehamilan, persalinan, kelahiran, dan perkembangan janin. Banyak wanita hamil

mengalami labilitas emosi selama kehamilan. Pada pasien yang memiliki asma, ada

masalah tambahan. Stres yang berhubungan dengan kehamilan normal dapat

merangsang asma pada beberapa wanita dengan predisposisi itu. Lebih jauh,

morbiditas asma dapat memperburuk stres kehamilan. Bisa juga didapatkan ketakutan

tambahan tentang efek asma atau pengobatan asma terhadap janin yang sedang

berkembang.

23

BAB III

KESIMPULAN

Asma merupakan penyakit obstruktif paru yang sering terjadi yang ada pada wanita

hamil. Sehingga jika pasien menderita asma kita sebagai dokter harus memberitahu apa saja yang

harus dihindari selama hamil dan pengobatan harus teratur untuk mencegah terserangnya asma,

yang dapat menyebabkan janin kekurangan oksigen.

Pengaruh asma terhadap kehamilan misalnya peningkatan kelahiran preterm dan berat

badan lahir bayi rendah, peningkatan mortalitas neonatal, dan peningkatan hipoksia neonatal,

hiperemesis gravidarum, pendarahan vagina, dan toksemia. Pengaruh kehamilan terhadap asma

bisa meningkat (36%), memburuk (23%), dan tidak mengalami perubahan (41%).

Obat-obat asma yang bisa digunakan adalah anti inflamasi seperti kortikosteroid, sodium

kromolin, sodium nedokromil, bronkodilator seperti agonis β2 adrenergik, agonis β nonselektif,

teofilin, dan anti kolinergik, antihistamin, dekongestan, dan terapi imun.

Penatalaksanaan efektif asma dalam kehamilan berpedoman pada empat komponen yaitu:

1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan kesejahteraan

janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik yang tepat.

2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di lingkungan pasien.

3. Terapi farmakologis

4. Edukasi pasien

Pada saat pasien akan melahirkan baiknya persalinan pervaginam, kecuali atas indikasi

obstetric persalinan dilakukan perabdominal. Jika persalinan perabdominal lebih baik

menggunakan anestesi epidural, karena jika menggunakan anestesi umum resiko terjadinya

bronchospasme lebih besar.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Maternal Physiology dalam Williams Obstetrics. Edisi ke-

22. McGraw-Hills Companies

2. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Pulmonary Disorders dalam Williams Obstetrics. Edisi ke-

22. McGraw-Hills Companies

3. Burrow,Gerard N. dan Duffy,Thomas P. 1999. Medical Complications During Pregnancy.

Edisi ke-5. W.B.Saunders Company

4. Perlow,Jordan H. 2000. Asthma Management During Pregnancy dalam Current Therapy In

Obstetrics And Gynecology. Edisi ke-5. W.B.Saunders Company

5. Kazzi,Amin Antoine dan Marachelian,Araz. 2004. Pregnancy, Asthma.

www.emedicine.com/emerg/topic476.htm diunduh tanggal 26 Desember 2013 pukul

18.00

6. Busse,William W. dkk. 2004. Managing Asthma During Pregnancy: Recommendations for

Pharmacologic Treatment.

www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.htm diunduh tanggal 26 Desember

2013 pukul 20.15

7. Lenfant,Claude. dkk. 1993. Management of Asthma During Pregnancy.

http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.txt diunduh tanggal 27

Desember 2013 pukul 10.00

8. Setiawati,Arini. 1995. Adrenergik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI

9. Sunaryo. 1995. Perangsang Susunan Saraf Pusat dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2.

Jakarta:FKUI

10. Sjamsudin,Udin. 1995. Autakoid dan Antagonis dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2.

Jakarta:FKUI

11. Suherman,Suharti K. 1995. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, dan Kortikosteroid

Sintetik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI

12. Sundaru,Heru. 2001. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi

ke-3. Jakarta:FKUI

25