Referat Asma Dalam Kehamilan
-
Upload
dewa-ayu-ratna-mahaprawitasari -
Category
Documents
-
view
142 -
download
4
Transcript of Referat Asma Dalam Kehamilan
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Asma merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang sering menjadi penyulit
dalam kehamilan. Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa asma bronkiale
menjadi penyulit pada sekitar 4% kehamilan. Prevalensi yang sebenarnya bisa lebih
tinggi karena sekitar 10% populasi memiliki hiperreaktivitas saluran nafas nonspesifik
yang merupakan stigma asma. Lebih lanjut, dalam dekade 80-an, prevalensi, morbiditas,
dan mortalitas asma meningkat sampai 60%.
Asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi ibu dan janin yang
serius. Asma yang tidak terkontrol meningkatkan risiko kematian perinatal, prematuritas,
dan atau bayi berat badan lahir rendah serta preeklamsi. Asma dapat terjadi pertama kali
atau tereksaserbasi selama kehamilan, dan kehamilan dapat memberikan efek samping
untuk perjalanan penyakit asma sendiri pada sekitar sepertiga wanita hamil dengan
penyulit asma.
Di lain pihak, sebagian besar wanita hamil dengan asma dapat mengontrol
asmanya dengan baik dan memiliki bayi yang sehat. Kontrol asma yang baik memberi
kesempatan bagi seorang wanita dengan asma untuk mempertahankan kehamilan normal
dengan sedikit atau tanpa adanya risiko untuk wanita tersebut atau janinnya.
Pasien-pasien dengan asma yang hamil memerlukan penanganan terhadap
asmanya. Oleh sebab itu, wanita hamil dan wanita yang ingin hamil seharusnya
mendapatkan penanganan farmakologik dan non-farmakologik untuk menangani
asmanya dan menyejahterakan wanita-wanita tersebut dan bayinya.
Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasaan yang baik.
Penatalaksanaan dari asma pada kehamilan yaitu menghindari faktor pencetus seperti zat-
zat alergan, infeksi saluran napas, udara dingin dan factor psikis. Untuk pengobatan yang
diberikan secara maintenance tetap diberikan sampai kelahiran(2).
1
II. TUJUAN
Tujuan dari penulisan tinjauan kepustakaan ini adalah untuk mengetahui dan
mempelajari mengenai Asma Dalam Kehamilan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. ASMA BRONKIALE
A. DEFINISI
Meskipun sindrom klinis khas asma yaitu batuk-batuk episodik, wheezing, dan
dispneu dengan obstruksi jalan nafas reversibel tidak sulit dikenali, asma dapat timbul
dengan gejala-gejala tidak khas seperti batuk kadang-kadang, rasa tertekan pada dada,
atau dispneu yang dipicu oleh aktivitas. Banyak definisi asma yang diterima secara
luas, salah satunya menurut American Thoracic Society (1987)6. Definisi asma
mungkin tumpang tindih dengan penyakit lain seperti bronkitis asmatis dan bronkitis
infeksi. Definisi asma yang sudah disetujui sebagai definisi kerja adalah sebagai
berikut:
“Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik berikut: (1) obstruksi jalan nafas
reversibel partial atau komplit baik secara spontan atau setelah pengobatan; (2)
inflamasi jalan nafas; (3) respon jalan nafas yang meningkat terhadap berbagai
stimulan.”
B. PREVALENSI
Secara umum asma merupakan penyakit yang seing ditemukan, yaitu sekitar 4-5%
dari seluruh populasi di Amerika. Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5-6%. Hal
tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam
kehamilan.
C. PATOFISIOLOGI
Tanda dari fisiologi asma adalah penurunanan diameter saluran napas yang
diakibatkan oleh kontraksi otot polos, oedem dari dinding bronchial, juga karena
adanya hipersekresi, sehingga terjadi peningkatan resistensi saluran napas, penurunan
FEV (Force Expiratory Volume) dan kecepatan aliran, hiperinflasi dari paru dan
thorax, peningkatan usaha untuk bernapas, peningkatan kerja dari otot-otot
3
pernapasan, berkurangnya elastisistas, distribusi yang abnormal dari aliran darah
fentilasi dan aliran darah paru dengan perubahan rationya, dan perubahan konsentrasi
gas darah. Jadi walaupun asma merupakan penyakit saluran napas tetapi semua aspek
paru mengalami kerusakan selama serangan akut. (7)
D. GEJALA DAN PEMICU ASMA
Pemicu terjadinya serangan asma diantaranya (5,8,9) :
- Infeksi saluran napas baik bacterial maupun infeksi virus.
- Merokok
- Asap dari masakan atau pembakaran kayu
- Emosi
- Alergi makanan
- Rhinitis alergi
- Perubahan cuaca, terutama dingin, udara kering
- Olahraga
- Reaksi akergi pada zat kimia terttentu
- Reaksi alergi terhadap kosmetik, sabun, sampo
- Reaksi alergi terhadap zat iritan seperti debu, kutu, bulu, dan lain-lain.
Serangan asma biasanya bersifat episodic dan dapat berakhir dalam beberapa
menit sampai hari. Diantara serangan pasien biasanya sehat. Serangan akut dapat dimulai
beberapa menit setelah paparan. Pasien akan merasakan sesak napas, diikuti dengan
batuk dan wheezing. Ketika obstruksi pada saluran napas menjadi parah, rhonchi dan
wheezing akan hilang. Kebingungan, letih, sianosis merupakan tanda dari serangan asma
berat dan merupakan indikasi untuk diberikan terapi segera(9) .
E. DIAGNOSIS
Asma dapat timbul pertama kali selama kehamilan sehingga penegakan diagnosisnya
mungkin dikacaukan dengan dispneu fisiologis kehamilan. Diagnosis asma berdasarkan pada
riwayat kesehatan yang cocok, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium. Diagnosis asma terpusat
pada adanya obstruksi jalan nafas episodik dan reversibilitas obstruksi tersebut. Reversibilitas
dinyatakan dari peningkatan 15% FEV1 atau lebih setelah 2 kali menghirup preparat agonis B-
4
adrenergik. Penderita asma biasanya memiliki riwayat episode batuk, dada terasa tertekan,
wheezing, dan dispneu. Asma mungkin timbul dengan gejala-gejala yang tidak khas seperti batuk
terisolasi, nyeri dada, bronkitis berulang, atau dispneu yang timbul karena aktivitas(10).
Selama eksaserbasi akut, pada pemeriksaan fisik didapatkan hiperinflasi, ekspirasi
memanjang, wheezing, dan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Pemeriksaan fisik dapat
kembali normal pada interval eksaserbasi(10).
Tes fungsi paru dapat ditemukan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel pada
spirometri. Kegagalan respon langsung terhadap bronkodilator inhalasi tidak menyingkirkan
diagnosis. Spirometri ulang setelah beberapa minggu perawatan dapat menunjukkan kemajuan.
Pengukuran udara ekspiratoar puncak mungkin menunjukkan peningkatan variabilitas atau
penurunan aliran puncak seiring timbulnya gejala-gejala. Metacholine challenge test dapat
menunjukkan adanya hiperreaktivitas jalan nafas namun tes ini jarang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis asma. Tes ini tidak menimbulkan efek samping berlebihan pada wanita
hamil jika dilakukan dengan pemantauan yang baik(10) .
Setelah diagnosis dipastikan, perjalanan penyakit dan efektifitas dari terapi dapat diikuti
dengan pengukuran Peak Expiratori Flow Rate (PEFR) atau FEV1. Untuk mengetahui jenis elergi
yang dimiliki dapat dilakukan test dengan bermacm-macam allergen.(10)
Secara labolatoris dapat ditemukan sel-sel eosinofil dari darah dan sputum dan juga dapat
diukur serum IgE, walupun penemuan tersebut tidak hanya terjadi pada asma. (10)
II. ASMA DALAM KEHAMILAN
Asma khususnya jika berat pada kenyataannya dapat berpengaruh pada
kehamilan. Menurut Clark, dkk (1993) dua penelitian besar epidemiologi mengatakan
bahwa asma berpotensi memberikan efek yang merugikan, diikuti dengan peningkatan
insidensi lahir premature, BBLR, kematian perinatal, dan preeklamsi, gangguan tekanan
darah ini disertai dengan bocornya protein pada urine ibu dan sangat potensial untuk
terjadinya kerusakan ginjal, otak, hepar, dan mata. Lehrer, dkk (1993) melaporkan bahwa
wanita asma memiliki insidensi dua koma lima kali lipat dari kehamilan menimbulkan
hipertensi. (12)
5
Komplikasi yang dapat mengancam hidup yaitu pnemothorax, pnemomediatinum,
akut cor pulmonale, cardiac aritmia, kelelahan otot dengan respiratory arest(12).
Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat
diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60%-70%
wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma(1).
Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan
mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan
mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma
akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya(1).
Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan
memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan kadar IgE
yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan(1).
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau pada
saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan faktor
hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai faktor
yang memberikan pengaruh(1).
Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi serangan
asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung pervaginam(1).
III. OBAT ASMA DALAM KEHAMILAN
Idealnya semua obat-obatan dihindari selama kehamilan, tetapi yang lebih penting
adalah meyakinkan bahwa janin dalam kandungan mendapat suplai oksigen yang cukup
dan menurunkan resiko yang akan terjadi pada ibu. Dengan kata lain kita harus
mempertimbangkan manfaat dan resiko dari suatu obat (9).
Sumber lain menyebutkan bahwa obat-obatan anti asma dapat digunakan dengan
aman selama kehamilan, walaupun demikian penggunaannya selama trimester pertama
kehamilan harus dengan hati-hati(11).
6
Obat yang tersedia untuk terapi asma dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
obat-obat bronkodilator dan obat-obat anti inflamasi(9).
1. Golongan bronkodilator
a. βagonis
Agonis β yang mengaktivasi baik reseptor β1 dan β2 misalnya epinefrin
(adrenalin) dan analog isopropilnya yaitu isoproterenol. Dapat dipertimbangkan
pemberian epinefrin subkutan pada eksaserbasi akut berat meskipun terapi awal
lain sudah diberikan. Epinefrin juga didapatkan pada beberapa inhaler asma.
Perhatian timbul pada vasokonstriksi uterus akibat dari efek adrenergik α dari
epinefrin.
β agonis mempunyai keunggulan karena bekerja cepat dan obat yang
masuk ke peredaran darah janin sangan minimal. Obat ini juga sangat efektif
untuk mencegah asma yang disebabkan karena olahraga jika digunakan 15 menit
sebelum aktifitas. Perinhalasi (Albuterol, Pirbuterol, Terbutaline, Metaproterenol,
Biltlterol). Tablet (Albuterol, Terbutaline, Metaproterenol)
b. antikolinergik
Antikolinergik inhalasi menyebabkan bronkodilatasi dengan cara
mengurangi tonus vagal intrinsik pada saluran pernafasan. Beberapa bahan juga
menutup refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi. Alkaloid
beladona seperti atropin merupakan antikolinergik prototip namun mempunyai
efek samping lokal dan sistemik untuk pasien dengan asma. Ipratropium yang
merupakan derivat keempat bentuk inhalan memiliki sedikit efek samping atropin.
Bahan ini telah terbukti efektif untuk mengobati eksaserbasi akut pada
penggunaan dalam bentuk nebulisasi. Efektivitas ipratropium untuk
penatalaksanaan asma sehari-hari belum teruji 6,7.
Merupakan bronchodilator yang bekerja lebih lambat dari B-agonis
inhalasi (Atrovent). Satu-satunya bronchodilator yang digunakan parenteral
adalah Aminophylline. Bahan-bahan antikolinergik sudah banyak digunakan
selama kehamilan tanpa efek samping. Ipratropium memiliki efek sistemik yang
7
lebih sedikit daripada atropin dan tidak dikontraindikasikan pada kehamilan
meskipun umumnya tidak digunakan kecuali pada pasien dengan asma berat 6,7.
c. agonis β2 adrenergik (agonis β2)
Agonis β2 merelaksasi otot polos saluran pernafasan dan menjadi
perantara pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Agonis β2 inhalasi
merupakan obat pilihan untuk pengobatan awal asma eksaserbasi akut dan pencegahan
asma yang diinduksi aktivitas. Agonis β2 juga digunakan secara kronis untuk membantu
kontrol pengecilan saluran pernafasan persisten meskipun laporan terakhir menunjukkan
penggunaan agonis β2 yang terjadwal dengan teratur (berlawanan dengan penggunaan
‘jika diperlukan/prn’) berhubungan dengan menurunnya kontrol asma. Karena asma yang
terkontrol baik membutuhkan penggunaan minimal agonis β2 inhalasi, penggunaan yang
meningkat menunjukkan kegagalan kontrol asma. Metaproterenol (orsiprenalin),
albuterol (salbutamol), pirbuterol, bitolterol, dan terbutalin adalah agonis β2 selektif yang
sering digunakan.
Hasil penelitian agonis β2 pada binatang umumnya negatif meskipun beberapa
bahan menyebabkan kelainan pada dosis tinggi. Pengalaman penggunaan pada manusia
sudah cukup banyak namun umumnya tidak dilakukan pada akhir kehamilan. Tidak ada
bukti adanya jejas pada janin dari penggunaan obat-obat ini secara sistemik atau inhalasi,
dan tidak ada kontraindikasi penggunaannya selama menyusui 6,7.
d. teofilin
Teofilin merupakan penggunaan utama metilsantin dalam terapi asma.
Meskipun mekanisme tepatnya belum diketahui, teofilin berlaku sebagai
bronkodilator ringan-sedang, tergantung dari konsentrasi serumnya. Jika
diberikan dalam bentuk preparat lepas lambat, teofilin memiliki durasi yang
panjang dan karena itu berguna untuk kontrol asma nokturnal. Jika digunakan
bersama dosis umum agonis β2 inhalasi, teofilin dapat menyebabkan
bronkodilatasi. Lebih lanjut,teofilin juga dapat mengurangi kelelahan otot
pernafasan dan memiliki beberapa tingkat aktivitas anti inflamasi 6,7.
8
Penggunaan teofilin selama kehamilan sudah sangat luas dan tanpa adanya
bukti efek samping terhadap neonatus jika dosis dipandu oleh kadar serum yang
cukup (tidak melebihi 12 g/mL) 6,7.
2. Golongan anti inflamasi
a. Cromolyn sodium
Obat ini merupakan bahan anti inflamasi nonsteroid yang digunakan untuk
penatalaksanaan sebagai profilaksis asma kronis, tersedia dalam bentuk inhaler
dan nebulizer. Sodium kromolin yang diberikan sebagai profilaksis menghambat
fase awal dan lebih lanjut pengecilan saluran nafas yang diinduksi alergen seperti
juga pengecilan saluran nafas akut setelah aktivitas dan setelah terpapar udara
dingin kering dan sulfurdioksida. Mekanismenya belum seluruhnya dimengerti
namun diperkirakan sodium kromolin menstabilkan dan mencegah pelepasan
mediator dari sel mast. Penelitian pada binatang dan pengalaman manusia hanya
menunjukkan sedikit ancaman terhadap janin 6,7.
b. Kortikosteroid
Obat anti inflamasi paling efektif untuk pengobatan asma adalah
kortikosteroid. Dapat diberikan peroral ataupun inhaler.(beclomethasone,
betamethasone, prednisone). Mekanisme utama adalah interferensi dengan
metabolisme asam arakidonat dan sintesis leukotrien dan prostaglandin,
pencegahan migrasi langsung dan aktivasi sel-sel radang, dan peningkatan
responsivitas reseptor beta otot polos saluran pernafasan. Kortikosteroid dapat
diberikan secara parenteral (metilprednisolon, hidrokortison), secara oral
(prednison, prednisolon, metilprednisolon), atau dalam bentuk aerosol
(beklometason, flunisolid, dan triamsinolon) 6,7.
Pemberian kronis kortikosteroid secara oral atau parenteral berkaitan
dengan penurunan berat badan lahir. Penelitian pada binatang menunjukkan
adanya celah palatum pada spesies yang sangat sensitif terhadap kelainan ini
tetapi tidak ada peningkatan cacat bawaan pada manusia. Ada tiga jenis bahan
yang tersedia untuk inhalasi: beklometason, triamsinolon, dan flunisolid. Yang
9
banyak dipakai dalam kehamilan adalah beklometason sehingga menjadi
kortikosteroid inhalasi pilihan selama kehamilan karena pengalaman klinisnya
yang meyakinkan. Meskipun dapat timbul absorbsi sistemik dari kortikosteroid
inhalasi, kadar plasma yang rendah dari inhalasi ini menyebabkan kecil
kemungkinan efek terhadap janin. Penggunaan kortikosteroid inhalasi atau
sistemik merupakan kontraindikasi saat menyusui 6,7.
c. Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk menahan aksi pelepasan histamin selama
aktivasi sel mast sebagai respon terhadap alergen atau stimulan lain. Antihistamin
banyak didapatkan dalam obat-obat flu dan anti alergi yang dijual bebas. H1
bloker yang lebih baru seperti terfenadin dan astemizol memiliki efek sedatif yang
lebih kecil daripada obat-obat generasi pertama yang lebih tua 6,7.
Antihistamin belum terbukti berbahaya bila digunakan selama awal
kehamilan. Dari penelitian dengan binatang dan manusia didapatkan sangat
sedikit potensi teratogenisitas terhadap manusia. Sangat beralasan memilih
antihistamin yang lebih tua karena sudah ada data percobaan terhadap manusia
yang meyakinkan untuk penggunaan selama kehamilan. Meskipun ada perhatian
tentang efek antihistamin terhadap anak-anak, tidak ada data meyakinkan tentang
efek samping karena penggunaan obat ini selama akhir kehamilan atau menyusui.
Menurut American Academy of Pediatrics Committee on Drugs, antihistamin
disebut-sebut kompatibel dengan masa menyusui 6,7.
d. Dekongestan
Dekongestan merupakan obat adrenergik α yang digunakan untuk
konstriksi pembuluh darah di mukosa hidung. Bahan-bahan yang termasuk dalam
golongan ini misalnya oksimetazolin, fenilefrin, fenilpropanolamin, efedrin, dan
pseudoefedrin. Karena jenis ini memiliki aktivitas adrenergik α, ada perdebatan
tentang potensinya dalam konstriksi suplai pembuluh darah yang terkait dalam
pertukaran udara dan makanan ibu-janin. Akan tetapi, pseudoefedrin tampaknya
tidak menghasilkan efek ini pada dosis terapeutik. Pengalaman pada manusia
10
tidak menghasilkan gambaran pasti adanya cacat bawaan meskipun the National
Collaborative Perinatal Project mempertanyakan tentang fenilefrin dan
fenilpropanolamin 6,7.
IV. PENATALAKSANAAN ASMA SELAMA KEHAMILAN
A. Prinsip terapi pada wanita hamil
Tujuan penatalaksanaan asma pada wanita hamil yang juga berlaku untuk semua
pasien asma adalah6,7: Mempertahankan fungsi paru normal atau mendekati normal,
Mengontrol gejala, termasuk gejala-gejala malam, Mempertahankan tingkat aktivitas
normal, termasuk olahraga, Mencegah asma eksaserbasi akut , Menghindari efek samping
pengobatan asma. Selain itu ada tujuan lebih lanjut penatalaksanaan asma pada wanita
hamil yaitu Melahirkan bayi yang sehat.
Walaupun terapi farmakologi merupakan komponen yang vital dari managemen
yang baik, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan penerangan pada
pasien tentang penyakitnya dan bagaimana cara menghindari serangan asma, sehingga
pasien akan taat terhadap terapi yang dianjurkan dan tujuan untuk mengarah ke
kehidupan yang relative normal dan kehamilan yang normal dapat diharapkan. Tujuan
lainnya adalah agar pasien dapat mengidentifikasi serangan, mengenali dan mengobati
exacerbasi pada tingkat awal. Juga agar pasien mengetahui bahwa terapi asma hanya
mempunyai resiko rendah atau dapat dikatakan sama sekali tidak beresiko(11).
Secara umum langkah yang harus diperhatikan pada managemen asma yaitu(8,11):
1. Sedapat mungkin menghindari serangan.
2. Terapi awal merupakan hal yang sangat penting. Gunkananlah obat saat tanda-tanda
awal dari asma mulai muncul.
3. Penting pada wanita hamil untuk tidak menunda pengobatan lebih lanjut jika
ditemukan hal-hal dibawah ini:
o Obat-obatan tidak menghasilkan perbaikan yang cepat
o Perbaikan tidak terjadi terus-menerus
o Penyakit semakin lama semakin berat
11
o Terdapat kemunduran dari pergerakan fetus
4. yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengobatan yang teratur.
Penatalaksanaan efektif asma untuk wanita hamil berpedoman pada empat komponen
yaitu6,7:
1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan kesejahteraan
janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik yang tepat.
a. Fungsi paru ibu
Tes fungsi paru penting untuk menilai beratnya asma dengan tujuan
memberikan rekomendasi terapeutik yang baik. Asma memiliki karakter obstruksi
aliran udara variabel yang seringnya paling berat saat malam atau pagi hari.
Fungsi paru biasa dinilai dengan spirometri. FEV1 merupakan ukuran
tunggal terbaik fungsi paru untuk menilai beratnya asma. Karena itu, spirometri di
tempat praktek direkomendasikan dalam penilaian awal pasien hamil yang
dievaluasi asmanya dan kemudian dinilai secara periodik sebagaimana
dibutuhkan.
Rasio udara ekspiratoar puncak (peak expiratory flow rate/PEFR)
merupakan kapasitas udara terbesar yang didapat selama ekspirasi paksa yang
dimulai dengan paru mengembang penuh, dan berhubungan erat dengan FEV1.
PEFR dapat diukur dengan peak flow meter yang terpercaya, murah, dan portabel.
Karena PEFR hanya mengukur fungsi saluran pernafasan besar, PEFR bukan
pengukuran obstruksi aliran udara paling sensitif. Maka dari itu, PEFR mungkin
tidak cukup untuk menegakkan diagnosis atau evaluasi penuh gangguan fisiologis
yang berhubungan dengan asma. Namun tidak dapat disangkal bahwa pemantauan
PEFR di rumah sangat berguna dalam menilai variasi sirkadia pada fungsi paru
(sebuah indikasi hiperresponsivitas saluran pernafasan) dan selanjutnya baik
perjalanan asma dan respon terhadap terapi. Pengukuran PEFR juga dapat
membedakan asma dengan penyebab lain dispneu selama kehamilan, menilai
gejala dan meramalkan eksaserbasi asma. Penggunaan PEFR direkomendasikan
sebagai parameter obyektif untuk follow up gejala dan membuat rekomendasi
terapeutik saat rekomendasi semacam itu tergantung pada beratnya obstruksi
12
aliran udara. Pemantauan PEFR terutama bermakna untuk mendeteksi deteriorasi
asma, meramalkan eksaserbasi akut, dan menilai respon terhadap terapi.
Mempertahankan fungsi paru sampai sebisa mungkin mendekati normal sangat
diharapkan selama kehamilan. Pasien-pasien yang memerlukan keberhasilan
tujuan ini sebaiknya disuplai dengan peak flow meter rumah. Secara umum hal ini
termasuk wanita dengan asma sedang sampai berat. Pasien-pasien ini seharusnya
mencatat PEFR pagi hari, siang hari, dan kira-kira 12 jam kemudian lalu
membawa catatan ini setiap kunjungan prenatal.
b. Pemantauan janin
Tujuan penatalaksanaan wanita hamil dengan asma adalah
mengoptimalkan fungsi paru ibu dan mengidentifikasi janin-janin yang berisiko
mengalami hambatan pertumbuhan dan keluaran buruk.
Yang penting ibu hamil penderita asma sebaiknya rajin memeriksakan janinnya
sejak awal. Pemeriksaan dengan USG dapat dilakukan sejak usia kehamilan 12 -
20 minggu untuk mengetahui pertumbuhan janin. USG dapat diulang pada
trisemester ke-2 dan ke-3 terutama bila derajat asmanya berada pada tingkat
sedang - berat. Pemeriksaan janin juga dapat dilakukan dengan electronic fetal
heart rate monitoring untuk memeriksa detak jantung janin.
Pada trimester ketiga, pemantauan janin kadang terlupa selama
eksaserbasi asma. Pada trimester ketiga, jika diperlukan dapat dilakukan
pemantauan denyut jantung janin (nonstress test atau contraction stress test) dan
penentuan tingkah laku janin secara elektronik (biophysical assessment) untuk
meyakinkan kesejahteraan janin. Indikasi penilaian antepartum janin meliputi
hambatan pertumbuhan, asma sedang-berat, eksaserbasi asma, dan penurunan
pergerakan janin.
Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan maka diperlukan
pemantauan janin ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan
pemantauan janin elektronik kontinyu. Penilaian janin dapat dicapai dengan
pemantauan elektronik selama 20 menit yang disebut tes masuk rumah sakit
(admission test). Namun pasien-pasien dengan asma ringan atau sedang yang
13
terkontrol dan tes masuk rumah sakit yang meyakinkan, auskultasi intermiten,
pengukuran PEFR, atau pemantauan denyut jantung janin elektronik mungkin
cukup. Pemantauan janin intensif direkomendasikan untuk pasien yang memasuki
persalinan dengan asma tidak terkontrol atau berat dan memiliki tes masuk rumah
sakit yang tidak meyakinkan atau faktor risiko lain. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara pemantauan denyut jantung janin elektronik atau auskultasi
intermiten (setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2). Selama masa
persalinan, pemantauan janin intensif dapat dipikirkan untuk menjadi pedoman
obstetris dan penatalaksanaan asma.
2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di lingkungan pasien.
a. Control lingkungan
Menghapuskan paparan lingkungan yang buruk sangat penting dalam
mengontrol asma selama kehamilan. Iritan dan alergen yang merangsang gejala
akut juga meningkatkan hiperresponsivitas saluran nafas. Iritan nonspesifik
meliputi asap rokok, debu, bau-bauan kuat, dan polutan udara lingkungan.
Khususnya jika pasien sendiri merokok, dia harus dipaksa berhenti dan dirujuk ke
sebuah program berhenti merokok yang baik.
Kutu-kutu rumah tampak memegang peran utama sebagai penyebab asma
alergi. Alergen kutu dapat ditemukan di seluruh rumah, di kasur, bantal, karpet,
furnitur, selimut, pakaian, dan mainan lunak. Kelangsungan hidup binatang ini
tergantung pada kelembaban udara, mereka muncul pada lingkungan dimana
kelembaban relatifnya lebih tinggi dari 50%. Pencetus lain bisa berasal dari
latihan olahraga yang terlalu dipaksakan, infeksi saluran pernapasan (batuk-pilek),
perubahan cuaca, dan emosi.
b. Terapi imun
Terapi imun dapat mencegah inflamasi alergi dan terbukti mengurangi
gejala asma yang dirangsang alergen seperti kutu rumah, kotoran kucing, serbuk
sari rumput, dan alternaria. Terapi imun dapat dipertimbangkan untuk pasien yang
14
tidak mungkin menghindari alergen dan iritan dan jika pengobatan medis gagal
mengontrol gejala asma.
Masalah utama penggunaan terapi imun selama kehamilan adalah
timbulnya reaksi sistemik (anafilaksis). Induksi kontraksi uterus yang timbul
setelah anafilaksis dan menyebabkan abortus disebutkan dalam beberapa laporan
meskipun hal ini jarang sekali terjadi.
c. Vaksin
Sudah umum direkomendasikan pemberian vaksin influenza setiap tahun
kepada pasien asma sedang dan berat. Influenza adalah vaksin mati dan tidak ada
bukti menunjukkan adanya hubungan dengan risiko ibu atau janin meskipun
direkomendasikan pemberiannya setelah trimester pertama.
3. Terapi farmakologis
Prinsip Utama Penatalaksanaan Farmakologis yaitu penyesuaian pedoman terapi
umum sesuai kebutuhan individu pasien. Mengingat asma merupakan penyakit yang
bervariasi diantara penderitanya. Tingkat beratnya asma pada setiap wanita dapat
berubah dari satu bulan atau musim ke bulan lainnya atau selama kehamilan. Karena
itu, regimen farmakologik spesifik harus disesuaikan sesuai keperluan individu dan
keadaan serta diintegrasikan dengan rekomendasi strategi penatalaksanaan
nonfarmakologis.
Salah satu tujuan terapi adalah penggunaan obat minimum yang diperlukan untuk
mempertahankan kontrol dengan risiko efek samping terkecil. Pendekatan bertahap
dimana jumlah obat dan frekuensi pemberian ditingkatkan sesuai keperluan untuk
menetapkan kontrol (step up) dan diturunkan jika mungkin untuk mempertahankan
kontrol (step down) digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Secara umum, setiap pasien asma harus memiliki agonis β2 inhalan yang tersedia
untuk penanganan penyelamatan gejala akut. Perawatan penyelamatan ini juga memiliki pola
bertahap. Obat-obatan ditambahkan jika perlu untuk mengontrol gejala. Peningkatan sering
hanya bersifat sementara dan tergantung pada berat dan durasi eksaserbasi asma juga respon
pasien sendiri.
15
Asma merupakan penyakit yang heterogen berdasarkan pada beratnya, riwayat alamiah
dan respon terhadap terapi. Selain itu beratnya gejala pada seorang pasien tidak selalu sama
setiap waktu, sehingga pendekatan managemen tunggal tidak selalu dapat diterapkan. Dengan
kata lain dibutuhkan terapi yang tepat untuk tingkat beratnya penyakit yang terjadi pada saaat
itu(9).
a. Asma intermiten
Menurut pengalaman, banyak asma yang terjadi hanya ringan saja, gejala yang
kadang kala muncul dapat hilang dengan bronchodilator perinhalasi, tanpa
menimbulkan efek samping yang besar. Jika asma terjadi karena keadaan yang dapat
diperkirakan seperti latihan berat pada olah raga, terapi pencegahan dengan B-agonis
inhaler dianjurkan untuk pasien dengan fungsi paru yang normal atau mendekati
normal (FEV1 lebih besar dari 80%) dan sedikit variasi peak flow (kurang dari 20%) (7,8,11)
b. Asma ringan
Penambahan dari preparat control dianjurkan pada gejala ringan yang terjadi
dengan selang waktu yang tidak lama. Walaupun tidak ada konsensus yang
menetapkan berapa frekuensi yang disebutkan sebagai selang waktu yang
tidak lama tersebut. Tetapi sebagai patokan penambahan preparat kontrol
diberikan jika gejala terjadi 1 kali perminggu atau jika gejala pada malam hari
terjadi lebih dari 2 kali perbulan. Sebagai pilihan terapi kontrol digunakan
kortikosteroid. Tujuan dari penggunaan kortikosteroid awal tidak hanya
meringankan gejala yang terjadi saat ini tetapi juga mencegah komplikasi
jangka panjang dari asma. Walaupun belum terbukti tetapi pemikiran tersebut
timbul karena inflamasi saluran napas yang tidak diterapi dapat menimbulkan
perubahan saluran napas dan obstruksi saluran napas kronik persisten(7,8,11).
Kromolin sebagai anti inflamasi non steroid dapat digunakan jika asma
ringan dengan peningkatan gejala dengan frekuensi kurang dari 1 kali perhari.
Pada gejala yang lebih berat dan seing tetap digukana kortikosteroid inhalasi
karena hasilnya lebih baik(7,8,11).
16
c. Asma sedang
Asma sedang ditandai dengan gejala yang hilang dengan menghirup B-
agonis beberapa kali perhari. Asma sedang ini paling baik diobati dengan
kortikosteroid inhalasi untuk mengontrol inflamasi dan B-agonis diberikan
jika perlu untuk menghilangkan gejala(7,8,11)
Pemilihan dosis initial lebih mengarah ke empiris. Terapi dimulai dengan
dosis yang besar 600-1000 mikrogram per hari lalu diturunkan setelah
didapatkan keadaanyang terkontrol. Kebanyakan pasien mencapai control
asma yang adekuat pada dosis dibawah 1000 mikrogram perhari. Pada
sebagian kecil pasien kortikosteroid inhalasi kurang dari 1000 mikrogram
perhari tidak cukup untuk mengontrol gejala. Pada beberapa kasus terapi
ditingkatkan dengan menaikan dosis kortikosteroid inhalasi atau dengan
penambahan obat lain, seperti B-agonis dan theophyllin. Dan menurut
penelitian penambahaan B-agonis lebih bermanfaat daripada meningkatkan
dosis kortikosteroid(8,11)
d. Asma berat
Asma yang ditandai dengan gejala yang menetap walaupun diterapi
dengan kortikosteroid inhalasi dan penambahan terapi dengan B-agonis atau
theophyllin. Asma berat biasanya timbul karena ketidaktaatan terhadap terapi
atau karena terpapar faktor lingkungan yang memicu atau dapat pula karena
mendapat obat yang memicu asma seperti aspirin dan B-bloker(8,11).
Pada asma yang berat pilihan terbatas, termasuk penambahan dosis
kortikosteroid inhalasi, penambahan theopillin dan B-agonis. Pasien yang
tidak terkontrol walaupun diterapi dengan kortikosteroid inhalasi sampai
dengan 2000 mikrogram perhari dan satu atau lebih long acting
bronchodilator, dipertimbangkan untuk mendapat steroid oral(8,11)
e. Terapi eksaserbasi akut
Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara
cepat dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat
17
diruang unit perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan janin dalam
kandungan.
Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut(1):
1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-
80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia.
2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan
penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan
cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau normal saline.
3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan
dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma
sebesar 10-20 mikrogram/ml.
4. pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis 0,25 mg
5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose,
tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5
mg/kgBB/jam
6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang
menyertai
7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus
yang mengancam kehidupan.
8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit
dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus,
pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di unit perawatan intensif.
Selama kehamilan pertimbangan untuk intubasi lebih awal diperlukan jika
fungsi pernapasan ibu terus menurun, meskipun dilakukan penanganan yang
intensif. Melakukan intubasi dan ventilasi mekanis.
f. Penatalaksanaan asma yang diinduksi latihan
Asma yang diinduksi latihan (Exercise-induced asthma/EIA) jika tidak
diterapi dapat membatasi dan mengganggu kehidupan normal. Definisi EIA
adalah istilah untuk pengecilan saluran nafas yang timbul beberapa menit
setelah melakukan aktivitas berat. EIA harus diantisipasi pada semua pasien
18
asma dimana sebagian besar pasien memiliki hiperiritabilitas saluran nafas
yang mengarah pada kondisi ini.
EIA banyak disebabkan oleh kontraksi otot polos. EIA biasanya mencapai
puncaknya 5-10 menit setelah menghentikan aktivitas berat dan kembali
normal dalam 20-30 menit kemudian.
Tujuan penatalaksanaan adalah agar pasien bisa melakukan aktivitas
apapun yang mereka pilih tanpa mengalami gejala asma. Pasien yang
mendapat terapi anti inflamasi dengan jadwal teratur mungkin memiliki
kontrol asma yang cukup dimana asmanya tidak dirangsang oleh latihan. EIA
dapat dicegah dengan inhalasi agonis β2 5-60 menit sebelum latihan. Terapi
awal ini berguna untuk beberapa jam ke depan. Jika pasien masih mengalami
gejala dengan adanya latihan, 2 ‘puffs’ agonis β2 inhalasi dapat melegakan
gejala dan dosisnya harus dinaikkan untuk terapi awal latihan berikutnya.
Kombinasi terapi awal agonis β2 dan kromolin dapat efektif saat tidak ada
salah satu obat ini yang mencukupi.
4. Penanganan asma dalam persalinan
Untuk merawat pasien dengan asma selama persalinan dan kelahiran,
direkomendasikan untuk melanjutkan pengobatan asma yang terjadwal dengan teratur
(kromolin inhalasi, beklometason, dan atau teofilin oral) selama persalinan dan
kelahiran. PEFR harus diukur saat akan bersalin atau melahirkan dan kemudian tiap
12 jam. Jika timbul gejala asma, PEFR diukur setelah pengobatan asma. Pasien harus
dijaga baik hidrasinya dan disiapkan analgesik yang cukup untuk membatasi risiko
bronkospasme. Pasien yang sudah memerlukan kortikosteroid sistemik kronis atau
beberapa kortikosteroid sistemik jangka pendek selama kehamilan harus diberi
hidrokortison 100 mg setiap 8 jam sampai 24 jam postpartum untuk mengobati
kemungkinan supresi adrenal.
Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan, diperlukan pemantauan janin
ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan pemantauan ini. Penilaian
janin dapat diselesaikan dengan pemantauan elektronik selama 20 menit yang disebut
19
tes masuk rumah sakit. Kemudian untuk pasien dengan asma ringan atau sedang yang
terkontrol baik dan tes masuk masuk rumah sakit yang meyakinkan, perlu dilakukan
auskultasi intermiten, pengukuran PEFR, atau pemantauan denyut jantung janin
elektronik. Pemantauan janin secara intensif direkomendasikan untuk pasien-pasien
yang memasuki persalinan dengan asma tidak terkontrol atau asma berat dan tidak
memiliki tes masuk rumah sakit yang meyakinkan atau faktor risiko lainnya. Hal ini
dapat dilakukan dengan pemantauan denyut jantung janin elektronik kontinyu atau
auskultasi intermiten (setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2).
Selama persalinan, pemantauan janin intensif ini dapat djiadikan pedoman untuk
mengambil keputusan dalam pengelolaan asma dan obstetris yang baik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka
persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani
komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita
memberat gejala asmanya pada waktu persalinan(1).
Selama persalinan kala I, pengobatan asma selama masa prenatal harus
diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus
hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila
mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan
serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas(1).
Untuk induksi persalinan, oksitosin merupakan obat terpilih. Penggunaan 15-metil
prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan analog prostaglandin F2-alfa
sintetik yang dilaporkan menyebabkan bronkospasme pada pasien asma. Penggunaan
prostaglandin E2 dilaporkan juga dapat menyebabkan bronkospasme. Namun, sebuah
penelitian terakhir menyebutkan bahwa bahan ini aman untuk abortus terapeutik atau
induksi persalinan janin mati pada pasien dengan asma. Penggunaan jel prostaglandin
E2 intravaginal atau intracervical untuk pematangan serviks sebelum induksi
persalinan tidak dilaporkan menyebabkan bronkospasme.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk
penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio
sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada anestesi
umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat(1).
20
Saat memilih analgesik narkotik untuk pasien dengan asma, harus dipertimbangkan
bahan tersebut menyebabkan pelepasan histamin yang mempercepat bronkospasme.
Harus dihindarkan morfin dan meperidin sehingga bahan terpilih adalah fentanil.
Analgesik narkotik menyebabkan depresi pernafasan dan tidak boleh digunakan pada
eksaserbasi asma akut.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan
pervaginam, memperpendek kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau
forceps akan bermanfaat(1).
Jika diperlukan anestesi umum, penggunaan atropin dan glikopirolat dapat
memberikan efek bronkodilator. Untuk induksi anestesi, ketamin merupakan obat
terpilih karena menurunkan resistensi jalan nafas dan dapat mencegah bronkospasme.
Anestesi halogen konsentrasi rendah dapat memberikan efek bronkodilatasi,
memberikan jalan untuk oksigen konsentrasi tinggi dan mencegah kecemasan ibu
terhadap pembedahan serta tidak menimbulkan pendarahan pasca salin. Bila
persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka
sebaiknya anestesi cara spinal(1).
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak
melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau
morfin yang melepas histamine(1).
5. Penangan asma post partum
Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan
dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post
partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan
dengan penyakitnya ini. Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya
kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu
tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini
dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk
menimbulkan pengaruh pada janin(1).
21
Pengobatan farmakologis untuk pendarahan pasca salin pada pasien dengan asma
berbeda karena sebagian besar obat oksitosik untuk atonia uteri dapat memperburuk
bronkospasme. Oksitosin adalah obat terpilih untuk pendarahan pasca salin. Namun
jika diperlukan obat tambahan, metilergonovin dan ergonovin harus dihindari karena
menyebabkan bronkospasme. Jika penggunaannya tidak dapat dihindarkan, sangat
disarankan pengobatan awal dengan metilprednisolon. Penggunaan 15-metil
prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan bronkokonstriktor dan dapat
memperburuk asma. Jika diperlukan pengobatan dengan prostaglandin, analog
teraman adalah E2 yang kurang menyebabkan bronkospasme. Jika ada pendarahan
uterus berat, prostaglandin E2 20 mg supositoria dapat diberikan untuk menghindari
efek washout yang disebabkan pendarahan vagina terus-menerus.
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika
lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat
menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat(1).
6. Edukasi pasien
Edukasi pasien merupakan senjata ampuh untuk menolong pasien mendapatkan
motivasi, keahlian, dan kepercayaan diri untuk mengontrol asmanya. Edukasi pasien
harusnya dimulai pada saat diagnosis ditegakkan dan diintegrasikan dengan
perawatan kontinyu.
Sebagian besar tanggung jawab penanganan asma sehari-hari ada pada pasien dan
keluarganya. Partisipasi aktif oleh klinisi, pasien, dan keluarga dalam sebuah
kerjasama dapat meningkatkan pendekatan pada rencana perawatan dan merangsang
kemajuan dalam penatalaksanaan asma. Konsep kerjasama ini termasuk komunikasi
terbuka, pengembangan rencana terapi bersama oleh klinisi dan pasien, peningkatan
usaha keluarga untuk dalam pencegahan dan perawatan gejala pasien.
Edukasi pasien termasuk membantu pasien memahami asma, membantu pasien
mempelajari dan mempraktekkan keahlian yang diperlukan untuk mengelola asma,
dan mendukung pasien saat mereka meniru tingkah laku penatalaksanaan asma yang
baik dan menambahkannya ke dalam rencana terapi mereka. Meningkatkan keahlian
22
pasien dalam penatalaksanaan asma dan meyakinkan bahwa mereka dapat
mengontrol asmanya.
7. Dukungan psikologis
Kehamilan merupakan saat stres psikologis karena perubahan-perubahan dalam
bentuk tubuh, gejala-gejala fisik yang menyertai kehamilan, dan ketakutan tentang
kehamilan, persalinan, kelahiran, dan perkembangan janin. Banyak wanita hamil
mengalami labilitas emosi selama kehamilan. Pada pasien yang memiliki asma, ada
masalah tambahan. Stres yang berhubungan dengan kehamilan normal dapat
merangsang asma pada beberapa wanita dengan predisposisi itu. Lebih jauh,
morbiditas asma dapat memperburuk stres kehamilan. Bisa juga didapatkan ketakutan
tambahan tentang efek asma atau pengobatan asma terhadap janin yang sedang
berkembang.
23
BAB III
KESIMPULAN
Asma merupakan penyakit obstruktif paru yang sering terjadi yang ada pada wanita
hamil. Sehingga jika pasien menderita asma kita sebagai dokter harus memberitahu apa saja yang
harus dihindari selama hamil dan pengobatan harus teratur untuk mencegah terserangnya asma,
yang dapat menyebabkan janin kekurangan oksigen.
Pengaruh asma terhadap kehamilan misalnya peningkatan kelahiran preterm dan berat
badan lahir bayi rendah, peningkatan mortalitas neonatal, dan peningkatan hipoksia neonatal,
hiperemesis gravidarum, pendarahan vagina, dan toksemia. Pengaruh kehamilan terhadap asma
bisa meningkat (36%), memburuk (23%), dan tidak mengalami perubahan (41%).
Obat-obat asma yang bisa digunakan adalah anti inflamasi seperti kortikosteroid, sodium
kromolin, sodium nedokromil, bronkodilator seperti agonis β2 adrenergik, agonis β nonselektif,
teofilin, dan anti kolinergik, antihistamin, dekongestan, dan terapi imun.
Penatalaksanaan efektif asma dalam kehamilan berpedoman pada empat komponen yaitu:
1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan kesejahteraan
janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik yang tepat.
2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di lingkungan pasien.
3. Terapi farmakologis
4. Edukasi pasien
Pada saat pasien akan melahirkan baiknya persalinan pervaginam, kecuali atas indikasi
obstetric persalinan dilakukan perabdominal. Jika persalinan perabdominal lebih baik
menggunakan anestesi epidural, karena jika menggunakan anestesi umum resiko terjadinya
bronchospasme lebih besar.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Maternal Physiology dalam Williams Obstetrics. Edisi ke-
22. McGraw-Hills Companies
2. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Pulmonary Disorders dalam Williams Obstetrics. Edisi ke-
22. McGraw-Hills Companies
3. Burrow,Gerard N. dan Duffy,Thomas P. 1999. Medical Complications During Pregnancy.
Edisi ke-5. W.B.Saunders Company
4. Perlow,Jordan H. 2000. Asthma Management During Pregnancy dalam Current Therapy In
Obstetrics And Gynecology. Edisi ke-5. W.B.Saunders Company
5. Kazzi,Amin Antoine dan Marachelian,Araz. 2004. Pregnancy, Asthma.
www.emedicine.com/emerg/topic476.htm diunduh tanggal 26 Desember 2013 pukul
18.00
6. Busse,William W. dkk. 2004. Managing Asthma During Pregnancy: Recommendations for
Pharmacologic Treatment.
www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.htm diunduh tanggal 26 Desember
2013 pukul 20.15
7. Lenfant,Claude. dkk. 1993. Management of Asthma During Pregnancy.
http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.txt diunduh tanggal 27
Desember 2013 pukul 10.00
8. Setiawati,Arini. 1995. Adrenergik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI
9. Sunaryo. 1995. Perangsang Susunan Saraf Pusat dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2.
Jakarta:FKUI
10. Sjamsudin,Udin. 1995. Autakoid dan Antagonis dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2.
Jakarta:FKUI
11. Suherman,Suharti K. 1995. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, dan Kortikosteroid
Sintetik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI
12. Sundaru,Heru. 2001. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
ke-3. Jakarta:FKUI
25