Post on 11-Aug-2015
description
Etika Pembangunan
TUGAS MAKALAH AKHIR:
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN
Disusun Oleh:
Alfian Eikman
11/326453/PSP/04298
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2012
Etika Pambangunan Terkait Kemiskinan di Papua
A. Pendahuluan
Kemiskinan dan kesenjangan merupakan salah satu persoalan klasik yang terus
menjadi masalah utama pembangunan di wilayah Papua. Sejak menjadi bagian integral
dari NKRI1, proses pembangunan di Papua telah melewati berbagai tahapan yang
dirumuskan dalam perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang. Proses
pembangunan yang telah berjalan di Papua seharusnya dapat membawa masyarakat
Papua menjadi masyarakat yang sejahtera dan sejajar dengan masyarakat provinsi lain di
Indonesia, mengingat keterlimpahan sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah di
ujung timur wilayah NKRI tersebut. Akan tetapi realitas yang terjadi di Papua dari hasil
proses pembangunan selama ini, masih menempatkan Papua sebagai wilayah dengan
presentase penduduk miskin tertinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di
Indonesia. Menurut data BPS2, presentase kemiskinan di Papua yang pasca reformasi
terbagi menjadi dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat pada tahun 2012 masing
mencapai 31,11 persen dan 28,20 dari total jumlah penduduk disana (BPS Papua, 2012;
BPS Papua Barat, 2012).
Program pembangunan atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
dengan memberikan keleluasaan dan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah
daerah di wilayah Papua, serta mengalokasikan sumber dana yang terbilang cukup besar
untuk mendukung program tersebut, pada kenyataannya tidak dapat dinikmati
manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat disana. Hal ini diindikasikan dari program
otonomi khusus yang telah berjalan selama kurang lebih sepuluh tahun, dari tahun 2002
sampai dengan 2012 dengan jumlah dana yang mengalir secara kumulatif mencapai
sebesar 28,9 triliun rupiah, ternyata belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat
di wilayah Papua yang masih menjadi wilayah dengan presentasi jumlah penduduk
miskin terbesar di Indonesia (ANTARA, 2011).
1 Negara Kesatuan Republik Indonesia.2 Badan Pusat Statistik.
1
Akselerasi pembangunan sebagai dampak globalisasi, mengakibatkan terjadinya
pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan dan mengarah kepada eksploitasi yang
merugikan masyarakat lokal. Permasalahan ini merupakan salah satu persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat di wilayah Papua. Sumber daya alam yang melimpah di Papua
mendatangkan minat pemilik modal untuk berinvestasi disana. Salah satu investor
berbentuk perusahaan asing yang mengelola sumber daya alam disana yaitu Freeport.
Perusahaan asal Amerika Serikat ini telah beroperasi selama kurang lebih empat dekade
mengekstraksi emas dari tambang di Timika Papua yang merupakan salah satu tambang
emas terbesar di dunia. Selain pertambangan, industri ekstraktif lain yang juga
berkembang di wilayah Papua, antara lain perkebunan, pemanfaatan hasil hutan berupa
kayu, dan sebagainya. Permasalahan yang muncul kemudian adalah berbagai macam
proyek pembangunan berupa industri ekstraktif yang mengeksploitasi dan tidak jarang
merusak hutan tersebut mengakibatkan semakin sempitnya ruang akses masyarakat
Papua terhadap sumber daya dari hutan yang ada. Isu ini kemudian menjadi persoalan
yang penting karena, sebagian besar masyarakat pribumi yang ada di wilayah Papua
sangat bergantung kepada hutan sebagai sandaran utama untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan sumber mata pencaharian (BAPESDALH, 2012).
Pembangunan yang seharusnya dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat,
justru sebaliknya malah menimbulkan berbagai macam permasalahan yang bersifat
multidimensional di Papua. Masalah kemiskinan juga memicu terjadinya konflik di
Papua dan memuncukan gerakan-gerakan separatis. Salah satu gerakan separatis yang
mengaku sebagai representasi dari sebagian rakyat yang tidak puas terhadap pemerintah
pusat dan menginginkan untuk memisahkan diri serta membentuk negara baru yaitu
gerakan yang menamakan diri sebagai OPM3.
B. Memahami Kemiskinan
Masalah kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang berhubungan
dengan banyak aspek. Hal ini kemudian menimbulkan banyak perbedaan dalam
mendefinisikan kemisikinan. Menurut Caroline Thomas (2005), perbedaan-perbedaan
3 Organisasi Papua Merdeka.
2
dalam mendefinisikan kemiskinan dalam mendefinisikan kemiskinan disebabkan oleh
perbedaan dalam melihat dan memahami pembangunan (Thomas, 2005: 647). Oleh
karena itu kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari isu pembangunan, sehingga etika
pembangunan menjadi landasan yang penting dalam melihat masalah kemiskinan.
Dalam mendefinisikan kemiskinan Piven dan Cloward (1993) serta Swanson
(2001), mengemukakan bahwa kemiskinan berhubungan dengan tiga dimensi yang
mencakup kekurangan materi, rendahnya penghasilan, dan adanya kebutuhan sosial.
Kekurangan materi, digambarkan sebagai situasi kesulitan yang dihadapi orang dalam
memenuhi barang-barang kebutuhan pokok. Kemiskinan dalam dimensi ini sering
dipahami sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs.
Dimensi rendahnya penghasilan berhubungan dengan jumlah penghasilan yang kurang
memadai. Makna memadai dalam konteks kemiskinan pada dimensi ini dipahami sebagai
standar kemiskinan atau poverty line yang berbeda-beda antara satu negara dengan
negara yang lain. Sedangkan dimensi kebutuhan sosial, dapat dilihat sebagai kurangnya
layanan publik seperti kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya serta rendahnya akses
terhadap layanan-layanan tersebut (Dalam Suharto, 2009: 15; Winarno, 2011: 62).
Sedangkan etika pembangunan melihat masalah kemiskinan dan kesenjangan
disebabkan oleh proses pembangunan yang seringkali tidak merepresentasikan keinginan
masyarakat, Pembangunan yang terjadi hanya menjadikan masyarakat sebagai objek
pembangunan sehingga tidak menyentuh substansi atau arah pembangunan yang
diinginkan oleh masyarakat. Kecenderungan yang terjadi ketika masyarakat hanya
menjadi objek dalam pembangunan adalah minimnya partisipasi masyarakat dalam
proses pembangunan. Minimnya partisipasi masyarakat menyebabkan kurangnya
representasi keinginan masyarakat dalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkait
dengan program pembangunan. Hal ini kemudian seringkali menciptakan permasalahan
terputusnya akses masyarakat terhadap sumber daya yang kemudian menjadi akar
penyebab terjadinya kemiskinan struktural. Sesuai dengan pandangan ekonomi politik
internasional yang melihat masalah kemiskinan dan kesenjangan disebabkan
ketimpangan distribusi akses terhadap sumber daya. Berbeda dengan pemikiran para
ekonom yang menekankan kepada kelangkaan sumber daya, pandangan ekonomi politik
internasional melihat bahwa sebenarnya sumber daya cukup tersedia bagi semua, namun
3
tidak semua orang punya akses terhadap sumber daya itu (Mas'oed, 2003). Keterbatasan
akses terhadap sumber daya menyebabkan masyarakat kesulitan dalam memenuhi
kebutuhannya. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup merupakan salah satu
faktor atau dimensi dari kemiskinan dan kesenjangan.
Oleh karena itu, pembangunan yang dilakukan sebaiknya tidak hanya menjadikan
masyarakat sebagai objek, melainkan subjek, agar masyarakat dapat menentukan
substansi ataupun arah pembangunan seperti apa yang sesuai dengan kearifan lokal dan
kebutuhan masyarakat tersebut, sehingga masyarakat dapat membuka akses kepada
sumber daya yang ada dan tidak menjadikan akses tersebut tertutup bagi masyarakat4.
Persoalan kemisikinan yang dihadapi oleh masyarakat di Papua, bisa jadi disebabkan oleh
kurangnya partisipasi masyarakat dalam menentukan arah dari proses atau tujuan
pembangunan sehingga mengakibatkan tertutupnya akses masyarakat Papua terhadap
sumber daya yang ada.
C. Kemiskinan di Papua
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa angka kemisikinan di Papua
merupakan yang tertinggi diantara daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan pada era orde
baru yang sistem pemerintahannya masih tersentralisasi, presentase kemisikinan di
wilayah Papua (waktu itu masih bernama provinsi Irian Jaya) pada tahun 1997 sebelum
krisis ekonomi Asia terjadi, mencapai di atas 50 persen dan merupakan provinsi dengan
populasi miskin terbesar di Indonesia. Kemudian pasca reformasi, yaitu pada tahun 1999,
presentasi kemiskinan di Papua mencapai 54,75 persen. Setelah terjadi pemekaran
wilayah Papua yang terbagi menjadi provinsi Papua dengan Papua Barat dan
ditetapkannya kebijakan otsus pada tahun 2002, sepuluh tahun setelahnya presentase
kemiskinan di Papua menurun menjadi sekitar 31,11 persen sedangkan di Papua Barat
menjadi sekitar 28,20 persen. Meskipun pasca diterapkannya kebijakan otonomi khusus
setelah era orde baru presentase kemiskinannya berkurang, wilayah Papua masih
merupakan daerah dengan masyarakat miskin terbanyak di Indonesia menurut data Badan
Pusat Statistik.
4 Dikutip dari Catatan Perkuliahan Etika Pembangunan, Kelas KPI Angkatan 19, HI UGM 2012.
4
Disisi lain Badan Pusat Statistik menempatkan Papua dan Papua Barat di urutan
terbawah pada indeks pembangunan manusia dibandingkan dengan provinsi-provinsi
lainnya di Indonesia. Kesehatan, pendidikan, harapan hidup, keamanan, pendapatan, dan
keberlangsungan kehidupan di kedua provinsi tersebut lebih rendah dari provinsi lain di
Indonesia. Untuk lebih memahami kemiskinan dan kesenjangan di wilayah Papua kita
dapat melihatnya dengan menggunakan dimensi-dimensi yang telah dijelaskan dalam
memahami kemiskinan diatas dengan menghubungkannya dengan keterbatasan akan
akses terhadap sumber daya yang meyebabkan kemiskinan menurut kacamata etika
pembangunan dalam ekonomi politik internasional.
Kekurangan materi dapat diartikan sebagai ketidakmampuan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs. Kebutuhan manusia yang paling mendasar
adalah keperluan untuk memenuhi hal-hal pokok seperti makanan, minuman, pakaian,
sanitasi, air bersih dan lain sebagainya. Karakteristik masyarakat pribumi di Papua terdiri
dari banyak masyarakat adat yang sebagian besar tinggal di desa-desa dekat hutan dan
hidup dengan tradisi memanfaatkan hutan sebagai sumber penghasilan dan mata
pencaharian. Hutan Papua merupakan hutan terbesar di Indonesia dengan luas mencapai
kurang lebih 40 juta hektar, dimana 52 persen hasil hutan diperuntukkan bagi keperluan
komersil sedangkan sisanya 48 persen dipergunakan untuk konservasi dan perlindungan.
Hutan dijadikan sember pencarian dengan menjadikannya sebagai lahan pertanian,
menebang pohon untuk menghasilkan kayu, mengambil buah dan sayuran liar untuk
kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagainya (Kayoi, Wells, & Shepherd, 2006). Hal ini
menjelaskan bagaimana kehidupan sebagian besar masyarakat Papua bergantung kepada
hasil hutan yang ada disana.
Sistem pemerintahan orde baru yang sentralistik, melahirkan model pembangunan
yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah pusat. Model pembangunan yang sepenuhnya
diatur oleh pemerintah pusat mengakibatkan tertutupnya ruang bagi masyarakat lokal
Papua untuk berpartisipasi menentukan model pembangunan yang sesuai dengan
konfigurasi masyarakat setempat. Pemanfaatan sumber daya (hutan) di Papua yang
dilakukan oleh pemerintah pusat melalui program pembangunan yang dijalankan pada
saat itu lebih banyak merepresentasikan kepentingan pejabat elit di pusat dan tidak
menyentuh kepentingan masyarakat Papua. Kebijakan pemerintah pusat seperti
5
pengelolaan lahan hutan untuk kepentingan komersial yang mengarah kepada eksploitasi,
pernyebaran penduduk dari jawa melalui transmigrasi, dan pemberian izin pengelolaan
tambang kepada Freeport mengakibatkan masyarakat asli Papua semakin termarjinalisasi
dan kehilangan akses terhadap sumber penghasilan dan mata pencaharian mereka.
Pengelolaan lahan hutan di Papua untuk kepentingan komersial secara masif yang
dilakukan oleh pemerintah pusat mengakibatkan masyarakat pribumi kehilangan akses
kepada lahan hutan yang digunakan oleh pemerintah pusat sebagai tempat untuk
menghasilkan berbagai jenis kayu, rotan, pembukaan lahan transmigrasi, jalan, dan lain
sebagainya. Hutan yang tadinya dipakai oleh masyarakat Papua untuk memenuhi
kebutuhan dasar yang bergantung dari sana menjadi tidak dapat diakses lagi. Areal hutan
di Papua menyusut sebanyak 8,5 juta hektar selama hampir sepuluh tahun dari tahun
2000 yang diakibatkan oleh penggunan hutan untuk kebutuhan pembangunan pemukiman
dan jalan, industri hak pengelolaan hutan, dan ruang pemekaran wilayah (Kompas, 2009).
Alih fungsi hutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk keperluan komersial yang
mengabaikan kepentingan masyarakat lokal Papua mengakibatkan masyarakat setempat
tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Program pembangunan dalam bentuk transmigrasi atau penyebaran penduduk
yang terkonsentrasi di pulau Jawa menjadikan Papua salah satu destinasi yang ditunjuk
pemerintah. Program ini ditujukan untuk melakukan pemerataan jumlah penduduk dalam
rangka pemerataan pembangunan. Pembagian lahan oleh pemerintah yang diperuntukkan
bagi pemukiman khusus dan lahan garap transmigran sama sekali tidak melibatkan
masyarakat Papua dalam penentuannya. Disamping itu, transmigran dalam jumlah besar
dengan penggunaan lahan yang banyak di Papua mengakibatkan eksistesi masyarakat
lokal terancam. Program transmigrasi mengakibatkan masyarakat Papua tersingkir dari
tempat-tempat yang sudah biasa mereka jadikan lahan-lahan sumber penghasilan dan
mata pencaharian.
Salah satu kebijakan pembangunan yang membuka pintu masuk bagi investasi
asing, memberi peluang bagi perusahaan asal Amerika Freeport untuk mengelola hasil
alam Papua berupa emas, perak, dan tembaga selama sekitar empat dekade. Selain
menutup akses bagi masyarakat Papua terhadap sumber daya yang ada, kegiatan
penambangan yang dilakukan oleh Freeport juga mengakibatkan masalah lain yaitu
6
degradasi lingkungan. Pembuangan limbah yang dihasilkan dari aktivitas penambangan
menimbulkan kerusakan hutan dan alam. Kerusakan tersebut semakin menyulitkan posisi
masyarakat Papua dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang bergantung dari alam
terutama pada hasil hutan.
Permasalahan-permasalahan tersebut diatas selain menghadirkan kesulitan bagi
masyarakat Papua untuk memenuhi kebutuhan dasar (sehingga menyebabkan kekurangan
materi), juga berdampak kepada rendahnya penghasilan masyarakat di Papua. Rendahnya
penghasilan masyarakat Papua yang disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap sumber
daya merupakan salah satu penyebab tingginya angka kemiskinan di daerah tersebut.
Selain akses terhadap sumber daya berupa kebutuhan dasar yang bersifat material,
rendahnya pengahasiln juga dapat disebabkan oleh kurangnya akses terhadap yang
sifatnya immaterial atau sosial, seperti layanan publik, pendidikan, kesehatan dan lain
sebagainya yang seharusnya disediakan oleh pemerintah.
Kebutuhan sosial berupa layanan publik juga merupakan salah satu faktor yang
menentukan tingkat kemiskinan di Papua. Pelayanan publik di Papua dapat dikatakan
belum optimal. Hal tersebut ditunjukkan oleh pendidikan yang belum merata dan fasilitas
kesehatan yang kurang memadai. Dalam bidang pendidikan, masih kurangnya fasilitas
sekolah dan akses masyarakat terhadapnya mengakibatkan tingkat pendidikan di Papua
rendah. Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan masyarakat asli Papua kesulitan
mencari pekerjaan karena mereka kalah bersaing dengan kaum pendatang dalam banyak
aspek yang memiliki pendidikan dan tingkat keterampilan yang lebih baik. Sementara itu
dalam bidang kesehatan, jumlah tenaga dan sumber daya yang disediakan oleh
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan kesehatan masih kurang.
Menurut data yang diperoleh dari dinas kesehatan pada September 2009, didapat data
bahwa tenaga dokter di Papua saat ini hanya 294 dokter, 44 dokter gigi, 1.571 orang
bidan, 2.514 orang perawar, 158 petugas kesehatan keliling, 168 orang petugas gizi, 165
petugas analis. Dari data tersebut jika dilihat dari rasio ketersediaannya bisa dikatakan
sudah cukup memadai, namun karena distribusinya yang tidak merata dan luasnya
wilayah Papua menyebabkan layanan masyarakat Papua terhadap kesehatan juga menjadi
timpang (Bintang, 2010).
7
Masih banyaknya permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat Papua
menunjukkan betapa rendah akses masyarakat terhadap pelayanan publik yang sudah
disediakan oleh pemeritah selama ini.Rendahnya akses masyarakat asli Papua terhadap
pelayanan publik juga disimpulkan dalam sebuah survey pendapat umum papua di tahun
2003 yang dilakukan oleh IFES5, misalnya dalam bidang kesehatan masih banyak
ditemui daerah di Papua yang belum terjangkau oleh layanan kesehatan secara baik dan
konsisten (Manufandu, 2010: 4).
D. Respon Stakeholder
Pasca kejatuhan rezim orde baru dan bergulirnya reformasi pada tahun 1998 di
Indonesia, model pembangunan yang tadinya terpusat bergeser polanya menjadi
terdesentralisasi. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan dan kewenangan yang lebih
dalam menentukan arah pembangunannya dan melakukan pengelolaan anggaran yang
mandiri. Perubahan pola ini menjadi salah satu faktor atau latar belakang diberlakukan
kebijakan otonomi khusus di Papua, selain desakan dari masyarakat asli Papua itu sendiri
dan berbagai macam gejolak politik yang terjadi disana. Dasar acuan yang mengatur
tentang kebijakan otonomi khusus adalah Undang-undang No 21 tahun 2001 tentang
otonomi khusus Papua (http://prokum.esdm.go.id/uu/2001/uu-21-2001.pdf) yang pertama
kali diberlakukan pada tahun 2002.
Kebijakan otonomi khusus yang diterapkan di Papua dapat diartikan sebagai
pemberian akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat Papua untuk menentukan arah
pembangunan yang diinginkan melalui kewenangan pemerintah di daerah. Sehingga
dengan diberlakukannya kebijakan ini, masyarakat Papua dapat mendapatkan pemenuhan
kesejahteraan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan yang terjadi
di daerah tersebut. Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah pusat memberikan
insentif dana yang dikelola penuh oleh pemerintah daerah dan dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan akan layanan publik serta menunjang proyek pembangunan yang
dilakukan di Papua. Tujuan lain dari pemberian dana otsus ini adalah untuk mengurangi
kesenjangan antara Papua dengan daerah-daerah lain di Indonesia, meningkatkan standar
5 International Foundation for Electoral Systems.
8
kehidupan masyarakat di Papua, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
penduduk asli Papua. Selama sepuluh tahun pelaksanaan otonomi khusus di Papua,
jumlah dana yang telah mengalir mencapai 28,9 trilyun rupiah, yang terdiri dari 24,8
trilyun rupiah berupa dan otsus Papua dan 4,3 trilyun rupiah berupa dana tambahan
infrastruktur dalam rangka otsus Papua.
Kewenangan masyarakat Papua dalam menentukan arah pembangunan yang
diatur dalam kebijakan otonomi khusus ini meliputi juga kewenangan untuk
memberdayakan potensi sosial-budaya dengan memberikan peran yang memadai bagi
orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Mereka
berperan dengan ikut serta dalam merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi
pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat
Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua.
Adanya ruang advokasi bagi aspirasi masyarakat adat dan desa Papua dalam
menentukan kebijakan melahirkan peraturan khusus terkait dengan pengelolaan hutan.
Pemerintah daerah menetapkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No 21 tahun
2008 tentang pengelolaan hutan berkelanjutan (http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id).
Dalam peraturan tersebut terkandung komitmen untuk mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan hukum adat Papua pada khususnya dan rakyat Papua
pada umumnya serta mewujudkan peningkatan kapasitas ekonomi dan sosial budaya
masyarakat Papua, serta memperluas kesempatan berusaha dan mendapatkan pekerjaan
bagi penduduk asli Papua. Di dalam peraturan itu juga disebutkan bahwa masyarakat
hukum adat di Papua memiliki hak atas hutan alam sesuai dengan batas wilayah adatnya
masing-masing.
Selain respon dari pemeritah terkait dengan permasalahan kemiskinan di Papua,
terdapat juga respon dari NGO6 luar negeri seperti Oxfam yang berasal dari Selandia
Baru. Lembaga ini merupakan lembaga non-profit yang bertujuan untuk mencari solusi
jangka panjang terhadap masalah kemiskinan dan ketidakadilan. Oxfam di Papua
melakukan kerjama dengan masyarakat lokal untuk melaksanakan berbagai program
untuk membantu penduduk asli Papua mengatasi masalah kemiskinan. Tujuan Oxfam
adalah untuk membangun kesempatan hidup yang layak sehingga akan meningkatkan
6 Non Governmental Organization.
9
hak-hak dasar dan standar hidup masyarakat miskin di Papua. Bentuk nyata program
yang dilakukan oleh Oxfam adalah meningkatkan kemampuan pertanian yang berorietasi
pasar dengan menyediakan akses kepada pasar, mengajarkan teknik bertani dan
menawarkan edukasi finansial. Program yang dilakukan oleh Oxfam juga mendorong
warga asli Papua untuk melihat keuntungan dari bekerjasama dalam sebuah forum
kerjasama (http://www.oxfam.org.nz/what-we-do/where-we-work/papua).
E. Isu Etika terkait Kemiskinan di Papua
Etika pembangunan dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk melihat beberapa
aspek yang kurang atau tidak mendapat perhatian sebelumnya dari sebuah proses
pembangunan7. Oleh karena itu, dalam melihat proses pembangunan di Papua yang
belum mampu mengatasi masalah kemiskinan yang terjadi di daerah tersebut, hal yang
perlu diperhatikan adalah melihat aspek-aspek yang kurang mendapat perhatian tersebut.
Masalah kemiskinan juga tidak terlepas dari keterbatasan dalam mengakses sumber daya,
sehingga dalam konteks kemiskinan di Papua aspek-aspek yang kurang atau tidak
mendapat perhatian diatas akan terkait dengan masalah akses terhadap sumber daya.
Pembangunan sekarang dan sebelumnya didasarkan atas progres pertumbuhan
dengan indikator GDP yang bersifat materialistik. Selain itu, pembangunan infrastuktur,
gedung-gedung bertingkat, jalan raya yang lebar, sering dijadikan acuan dari kemajuan
atau keberhasilan pembangunan dalam suatu komunitas masyarakat. Hal ini kemudian
yang mendasari bagaimana banyak negara didunia melaksanakan program pembangunan
di dalam negerinya, tidak terkecuali dengan Indonesia. Program pembangunan yang
dilakukan di Papua terutama pada masa orde baru dapat diasumsukan telah mengabaikan
kepentingan kebutuhan masyarakat adat Papua yang bergantung kepada hutan.
Pembangunan yang dilakukan dengan berfokus kepada hal materialistik seperti
pembangunan pemukiman dan jalan, pengelolaan hutan untuk keperluan industri dan
ruang pemekaran wilayah yang marak terjadi setelah diterapkannya kebijakan otonomi
khusus, menunjukkan kurangnya perhatian proses pembangunan itu sendiri terhadap
kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Proses pembangunan yang terjadi gagal
7 Dikutip dari Catatan Perkuliahan Etika Pembangunan, Kelas KPI Angkatan 19, HI UGM 2012.
10
mengidentifikasi apa yang diperlukan oleh masyarakat asli Papua. Penggunaan lahan
hutan untuk tujuan pembangunan yang bersifat material yang diartikan sebagai kunci
sukses dari proses pembangunan, justru membawa masalah tersendiri bagi masyarakat
asli Papua. Pembangunan yang dilakukan bukannya membawa kebaikan, kesejahteraan,
dan kemajuan, justru sebaliknya, menyebabkan masyarakat tidak dapat memenuhi
kebutuhan dasar karena terputusnya akses terhadap sumber daya. Kultur sosial-budaya
masyarakat adat Papua yang menganggap hutan sebagai suatu tempat yang sangat
berharga dan merupakan sumber penghasilan dan mata pencaharian menjadi salah satu
aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan di Papua.
Kemudian, pembangunan selama ini yang tidak memperhatikan aspek-aspek
selain pertumbuhan, menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap sumber daya alam
yang mengakibatkan degradasi lingkungan. Selama sekitar kurang lebih empat dekade
Freeport beroperasi di Papua dan mengeruk hasil kekayaan alam disana, kontribusinya
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat minim. Hal ini diindikasikan oleh
keadaan masyarakat setempat yang masih mengalami masalah kemiskinan. Selain tidak
memberikan kontribusi, sebaliknya Freeport menyumbang kerusakan lingkungan bagi
masyarakat Papua yang juga menyebabkan kerusakan hutan disana. Kerusakan hutan
juga mengakibatkan terputusnya akses terhadap sumber daya masyarakat Papua yang
sebagian besar menggantungkan sumber penghasilannya dari hutan. Melihat masalah ini
dalam konteks etika pembangunan, masalah lingkungan juga menjadi masalah yang
kurang mendapat perhatian dari proses pembangunan yang ada dan terjadi di Papua.
Isu selanjutnya terkait etika dalam proses pembangunan di Papua mengenai
pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat yang berhubungan dengan pelayanan publik di
daerah tersebut. Permasalahan pelayanan publik ini juga termasuk salah satu aspek yang
kurang mendapatkan perhatian dalam proses pembangunan selain dari aspek-aspekyang
telah diajelskan sebelumnya diatas. Hal ini dapat dilihat dari masih minimnya upaya
pemenuhan akan kebutuhan pendidikan dan kesehatan yang disediakan untuk masyarakat
di Papua. Dalam hal kesehatan, jumlah tenaga medis yang tidak memadai mengakibatkan
pemenuhan masalah kesehatan masyaralat menjadi timpang dan tidak merata. Kemudian
dalam bidang pendidikan, kurangnya akses masyarakat terhadap pendidikan
menyebabkan tingkat pendidikan masyarakat Papua masih rendah. Rendahanya tingkat
11
pendidikan mengakibatkan banyak masyarakat Papua tidak mendapatkan pekerjaan yang
layak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari sehingga masih banyak
masyarakat di Papua yang berada dibawah garis kemiskinan.
Mengingat apa yang dimiliki oleh masyarakat Papua, yaitu sumber daya dan
kekayaan alam yang melimpah seharusnya kemiskinan sudah tidak lagi menjadi masalah
disana dan seharusnya masyarakat Papua hidup sejahtera. Kemudian upaya pemerintah
dalam mengatasi masalah kemiskinan di Papua melalui kebijakan otonomi khusus dengan
menyertakan dana insentif yang cukup besar seharusnya mampu mengatasi masalah
kemiskinan di daerah tersebut. Dengan kebijakan otonomi khusus seharusnya berbagai
aspek-aspek yang kurang atau tidak mendapatkan perhatian dalam proses pembangunan
yang telah dijelaskan diatas, terkait dengan kebutuhan masyarakat Papua yang sebenar-
benarnya dapat dijadikan prioritas utama dalam pembangunan. Dengan demikian proses
pembangunan di Papua dapat dilakukan dengan menjadikan masyarakat sebagai subjek
dari pembangunan sehingga proses pembangunan dapat menciptakan kesejahteraan dan
mengatasi masalah kemiskinan.
F. Kesimpulan
Kemiskinan di Papua terjadi karena proses pembangunan yang dilakukan hanya
menempatkan masyarakat setempat sebagai objek pembangunan. Sehingga aspek-aspek
yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat itu sendiri menjadi terabaikan. Untuk
mengatasi masalah kemiskinan di Papua masyarakat harus dijadikan subjek
pembangunan sehingga menjadikan masyarakat memiliki peluang untuk menentukan
pembangunan sesuai dengan definisi kemajuannya masing-masing. Namun, masalah
kemiskinan di Papua masih ada meskipun kebijakan otsus yang merupakan suatu upaya
untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan telah diterapkan.
Pembangunan yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebagai subjek yang
mengarah kepada penerapan local wisdom masyarakat setempat memiliki jebakan, yaitu
dia bisa dibajak oleh elit lokal yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.
Hal ini mungkin dapat menjelaskan secara dangkal mengapa kebijakan otsus yang
diterapkan oleh pemerintah masih tidak dapat mengatasi masalah kemiskinan di Papua.
12
Daftar Pustaka
ANTARA. Masyarakat Papua Belum Petik Manfaat Dana Otsus. Edited by Suryanto. April 21, 2011. www.antaranews.com (diakses 11 Desember, 2012).
BAPESDALH. Tantangan Pembangunan di Papua dan Langkah Ke Depan di Bawah MP3EI. 2012. www.bapesdalh.papua.go.id (diakses 10 Desember, 2012).
Bintang, Papua. Akses Orang Asli Papua Pada Pelayanan Publik Masih Rendah. April 21, 2010. wartapapuabarat.org (diakses 11 Desember, 2012).
BPS. Berita Resmi Statistik Kemiskinan - Papua. Juli 2, 2012. papua.bps.go.id (diakses 10 Desember, 2012).
—. Berita Resmi Statistik Kemiskinan - Papua Barat. Juli 2, 2012. irjabar.bps.go.id (diakses 10 Desember, 2012).
Kayoi, Martin, Adrian Wells, and Gill Shepherd. "Poverty and Natural Resource Conflict in Indonesia Papua: Reconciling Growth and Social Justice." Indonesian Papua Case Study. September 2006. www.profor.info (diakses 11 Desember, 2012).
Kompas. Areal Hutan di Papua Susut 8,5 Juta Hektar. Desember 4, 2009. regional.kompas.com (diakses 11 Desember, 2012).
Manufandu, J. Septer. "Akses Masyarakat Papua Dalam Pelayanan Publik." Simposium Nasional Papua "Menuju Pembangunan Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan". Jakarta: FOKER LSM Papua, 2010.
Mas'oed, Mochtar. Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Suharto, Edi. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Bandung: Alfabeta, 2009.
Thomas, Caroline. "Poverty, Development, and Hunger." In The GLobalization of World Politics: An Introduction to International Relations, by John Baylis and Steve Smith. New York: Oxford University Press, 2005.
Winarno, Budi. Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarata: CAPS, 2011.
13