sepsis, acute confusional state, hipoglikemi

download sepsis, acute confusional state, hipoglikemi

of 36

description

tinjauan pustaka

Transcript of sepsis, acute confusional state, hipoglikemi

TINJAUAN PUSTAKAA. DEFINISI

SIRS adalah suatu bentuk respon inflamasi terhadap infeksi atau non-infeksi yang ditandai oleh gejala : Fever (oral temperature > 380 ) or hypothermia (24 breaths/minutes)

Tachycardia (heart rat >90 beats/minute)

Leukocytosis (>12000/l) or Leukopenia (40 mmHg dari tekanan darah awal walaupun sudah dilakukan resusitasi caian yang adekuat.(ssc guideline]

Gambar 1. Derajat sepsis 9B. ETIOLOGI

Sepsis berasal dari respon terhadap beberapa mikroorganisme. Faktanya, sekitar 20-40% hasil kultur darah ditemukan bakteri dan jamur sebagai penyebab sepsis berat dan sekitar 40-70% penyebab dari syok sepsis. Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.

Medscape tabel

Tabel 2. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis. (Harrison)Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi dasar predisposisi, penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ atau disingkat menjadi PIRO (predisposing factors, insult, response and organ dysfunction)

Gambar 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis 10

Tabel 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis 10

C. PATOGENESIS

Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat. Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung terus menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan dikatakan peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari peradangan biasa.

Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi adalah alergi dan immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga menciptakan kondisi ketidak harmonisan imunologi yang merusak.

Gambar 4. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis

Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan mengekspresikan imunomodulator.10Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC (Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan perantara T-cell Reseptor. 10Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator akan mengeluarkan IFN-, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1 dan TNF yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1 yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.10 Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas (nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multipel.10

Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-, IL-8, IL-6 menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi.

Gambar 5. Patogenesis sepsis 13

Gambar 6. Pengaktifan komplemen dan sitokin pada sepsis 12

HUBUNGAN INFLAMASI DENGAN KOAGULASI

Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor, dia juga menggangu proses fibrinolisis melalui pengaktifan IL-1 dan TNF dan memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat mengahambat fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated protein C (APC) dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif tetapi karena adanya thrombin dan trombomodulin, dia berubah menjadi enzyme-activated protein C. Sedangkan APC dan kofaktor protein S mematikan produksi trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja plasminogen activator inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan plasminogen menjadi plasmin yang sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan yang dikenal dengan koagulasi intravaskular diseminata yang merupakan salah satu kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa. 14

Gambar. 7. Sepsis menyebabkan suatu kematian organ 14

Gambar 8. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi 14D. GEJALA KLINIS

Umumnya klinis pada sepsis tidak spesifik, biasanya hanya didahului oleh tanda-tanda non spesifik seperti demam, menggigil dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah dan tampak kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering adalah paru-paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan sistem saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan semakin berat pada pendeita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama yang sering diikuti dengan syok.10E. DIAGNOSIS

Dalam mendiagnosis sepsis, diperlukan anamnesa dan pemeriksaan yang menyeluruh.

Variabel umumVariabel InflamasiVariabel HemodinamikVariabel Perfusi Jaringan

Demam (>38,30 C)Leukositosis (WBC >12000/l)Arterial Hypotension (SBP1 mmol/L)

Hipotermia (90x/ menitNormal WBC >10% immature form SBP menurun lebih dari 40 mmhg

TachypnoePlasma CRP > 2 SD above normal (SD above normal (20 ml/kg/ 24 h)

Hiperglikemik (GDS>140 mg/dl) without DM

Tabel 4. SSC guideline

Variabel disfungsi organSepsis Berat

Hipoksemia arteri (PaO2 < 300)Hipotensi

Oliguria Akut ( < 0,5 ml/kgbb/ d)hiperlaktemia

Abnormalitas koagulasi (APTT >60s atau INR >1,5)Urine output < 0.5 ml/kg/jam setelah > 2 jam resusitasi cairan

IleusAcute lung injury (PaO2/ FiO2 < 250 tanpa pneumonia atau < 200 dengan pneumonia

Trombositopenia ( 2 mg/dl

Hiperbilirubinemia (bil.total >40 mg/dl)Bilirubun > 2 mg/dl

Platelet < 100.000l

Coagulopathy (INR >1,5)

SSC guidelines

F. DATA LABORATORIUM

Tabel. 5. Data laboratorium yang merupakan indikator pada sepsis G. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi pasien langsung (perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik, pengobatan fokus infeksi dan resusitasi serta terapi suportif apabila telah terjadi disfungsi organ. 10 Perbaikan hemodinamik harus segera dilakukan seperti airway, breathing circulation 3 kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis, yaitu : 6 Terapi cairan

Karena sepsis dapat menyebabkan syok disertai demam, venadilatasi dan diffuse capillary leackage ( inadequate preload sehingga terapi cairan merupakan tindakan utama

Terapi vasopresor

Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure dan perfusi organ tidak adekuat) dapat diberikan vasopresor potensial seperti norepinefrin, dopamine, epinefrin dan phenylephrine

Terapi inotropik

Bila resusitasi cairan adekuat tetapi kontraktilitas miokard masih mengalami gangguan dimana kebanyakan pasien akan mengalami cardiac output yang turun sehingga diperlukan inotropik seperti dobutamin, dopamine dan epinefrin.

Antibiotik

Tabel 6. Antibiotik berdasarkan sumber infeksi (Sepsis Bundle: Antibiotic Selection Clinical Pathway from the Nebraska Medical Centre)

Fokus infeksi awal harus diobati

Hilangkan benda asing yang menjadi sumber infeksi. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang menjadi gangrene, bila perlu dokonsultasikan ke bidang terkait seperti spesialis bedah, THT dll. 10 Terapi suportif, mencangkup :15 Pemberian elektrolit dan nutrisi

Terapi suportif untuk koreksi fungsi ginjal

Koreksi albumin apabila terjadi hipoalbumin

Regulasi ketat gula darah

Heparin sesuai indikasi

Proteksi mukosa lambung dengan AH-2 atau PPI

Transfuse komponen darah bila diperlukan

Kortikosteroid dosis rendah (masih kontroversial)

Recombinant Human Activated Protein C :

Merupakan antikoagulan yang menurut hasil uji klinis Phase III menunjukkan drotrecogin alfa yang dapat menurunkan resiko relative kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut yang terkait sebesar 19,4% yang dikenal dengan nama zovant. 6GRADING SYSTEM (SSC GUIDELINES)

1. Classifies recommendations

Strong (grade 1) ( Highly recommended by Randomized Control Triaalweak (grade 2) ( Recommended by Non-Randomizeded Control Trial2. Classifies quality of evidence

High (grade A)

Moderate (grade B)

Low (grade C)

very low (grade D)SSC GUIDELINE 2012

DIABETES MELLITUS

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau dapat juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon kerja insulin secara efektif. Insulin adalah hormon yang berfungsi untuk meregulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan seringkali mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada sel saraf dan pembuluh daraha. Diabetes Melitus Tipe 1DM tipe I merupakan penyakit yang disebabkan oleh proses autoimun yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel beta pankreas. Keadaan ini akan mengakibatkan pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang dibutuhkan tubuh untuk meregulasi kadar gula darah. Defisiensi insulin yang terjadi akan mengakibatkan peningkatan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia. Hiperglikemia yang terjadi ditandai dengan terdapatnya sejumlah glukosa dalam urin (glukosuria). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran sejumlah cairan dan elektrolit (diuresis osmotik). Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien DM tipe I akan mengalami peningkatan frekuensi berkemih (poliuria) dan timbul rasa haus yang cukup sering (polidipsia). Defisiensi insulin juga akan mengganggu metabolism protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Penurunan berat badan ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah simpanan kalori sehingga akan menambah selera makan (polifagia)b. Diabetes Mellitus Tipe 2DM tipe 2 dapat terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon kerja insulin secara efektif (WHO, 2008). Dua masalah utama yang terkait dengan hal ini yaitu, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Untuk mengatasi resistensi dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada pasien DM, keadaan ini terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dalam darah akan dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin, yang merupakan ciri khas DM tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan badan keton. Karena itu, ketoasidosis metabolik tidak terjadi pada DM tipe 2.c. Diabetes Gestasional

DM tipe ini terjadi ketika ibu hamil gagal mempertahankan euglikemia. Faktor resiko DM gestasional adalah riwayat keluarga, obesitas dan glikosuria. DM tipe ini dijumpai pada 2 5 % populasi ibu hamil. Biasanya gula darah akan kembali normal setelah melahirkan, namun resiko ibu untuk mendapatkan DM tipe II di kemudian hari cukup besar. Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya. DM tipe ini sering juga disebut dengan istilah diabetes sekunder, di mana keadaan ini timbul sebagai akibat adanya penyakit lain yang mengganggu produksi insulin dan mempengaruhi kerja insulin. Penyebab diabetes semacam ini

antara lain : radang pada pankreas, gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis, penggunaan hormone kortikosteroid, pemakaian beberapa obat antihipertensi atau antikolesterol, malnutrisi, dan infeksi.

Gejala-gejala DM

a. Gejala Akut DM

Gejala penyakit DM pada setiap pasien tidak selalu sama. Gejala-gejala di bawah ini adalah gejala yang timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain, antara lain:

- Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan yaitu polifagia, polidipsia, poliuria dan peningkatan berat badan.

- Bila keadaan tersebut tidak segera ditangani, akan timbul gejala yang disebabkan oleh kurangnya jumlah insulin yaitu polidipsia dan poliuria dengan beberapa keluhan lainnya seperti nafsu makan berkurang, banyak minum, banyak berkemih, penurunan berat badan yang signifikan, mudah lelah, timbul rasa mual dan jika tidak segera diatasi akan mengakibatkan koma yang disebut dengan istilah koma diabetes. Koma diabetes adalah koma pada pasien DM akibat kadar gula darah yang melebihi 600 mg/dlKomplikasi Diabetes Melitus

Diabetaes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup, sehingga progesifitas penyakit ini akan terus berjalan dan pada suatu saat akan menimbulkan komplikasi. Penyakit DM biasanya berjalan lambat dengan gejala-gejala yang ringan sampai berat, bahkan dapat menyebabkan kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis.

a. Komplikasi Akut DM

Ada tiga komplikasi akut DM yang penting dan berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar gula darah jangka pendek.

- HipoglikemiaKadar glukosa darah berada di bawah nilai normal. Respon regulasi non-pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar glukosa 63-65 mg% (3,5-3,6 mmol/L). Oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa plasma 63 mg% (3,5 mmol/L). Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad meliputi:a. keluhan yang menunjukan adanya kadar glukosa daraah plasma yang rendah

b. Kadar glukosa darah yang rendah (< 3 mmol/L hipoglikemi pada diabetes)

c. Hilangnya keluhan setelah dilakukan koreksi biokimiawi

Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut

RinganSimtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata

SedangSimtomatik,dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata

BeratSering (tidak selalu) tidak simtomatik, karena gangguan kognitif pasien tidak mampu mengatasi sendiri

1. membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak memerlukan terapi parenteral

2. membutuhkan terapi parenteral (glucagon IM ataau IV)

3. Disertai dengan koma dan kejang

Faktor utama mengapa hipogllikemia mnjadi penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus-menerus. Gangguan asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi sistem saraf pusat (SSP), dengan gejala gangguan kognisi, bingung (confusion) dan koma. Seperti jaringan yang lain, jaringan saraf dapat memanfaatkan sumber energi alternative yaitu keton dan laktat. Pada hipoglikemia yang disebabkan insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan dan mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energy alternative. Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologis terhadap penurunan glukosa darah tidak hanya membatasi makin parahnya perubahan metabolism glukosa, tetapi juga menghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan keluarganya belajar mengenal keluhan dan gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan dapat segera melakukan tindakan-tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral. OtonomikNeuroglikopenikMalaise

BerkeringatBingung Mual

Jantung berdebarMengantukSakit kepala

TremorSulit bicara

LaparInkoordinasi

Perilaku yang berbeda

Gangguan visual

Parestesi

Respon pertama pada saat glukosa darah turun di bawah normal adalah peningkatan akut sekresi hormon counter-regulatory (glukagon dan epinefrin); batas kadar glukosa tersebut adalah 65-68 mg% (3,6-3,8 mmol/L). Lepasnya epinefrin menunjukkan aktivasi sistem simpatoadrenal. Bila glukosa darah tetap turun sampai 3,2 mmol/L, gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi kognisi yang diukur dengan kecepatan reaksi dan berbagai fungsi psikomotor yang lain, mulai terganggu pada kadar glukosa 3 mmol/L. Pada individu yang masih memiliki kesiagaan hipoglikemia, aktivasi sistem simptoadrenal terjadi sebelum disfungsi serebral yang bermakan timbul. Pasien-pasien tersebut tetap sadar dan mempunyai kemampuan kognitif yang cukup untuk melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.Pada saat diagnosis DM dibuat, respon glukagon terhadap hipoglikemia umumnya normal. Pada pasien DM tipe 1 mulai turun sesudah menderita diabetes 1-2 tahun dan sesudah 5 tahun hamper semua passion mengalami gangguan dan kehilangan respon. Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, tetapi tampak tidak berkaitan dengan neuropati otonomik dan kendali glukosa yang ketat. Sel a secara selektif gagal mendeteksi adanya hipoglikemia dan tidak dapat menggunakan hipoglikemia untuk mensekresi glucagon. Hipotesis yang palng meyakinkan adalah gangguan tersebut timbul akibat terputusnya paracrine-insulin-cross-talk di dalam sel islet akibat produksi insulin endogen yang turun. Pada diabetes yang sudah lama sering dijumpai respon simpatoadrenal yang berkurang walaupun dengan tingkatan gangguan yang bervariasi. Pasien diabetes yang respon glukagon dan epinefrin yang berkurang paling rentan terhadap hipoglikemia. Hal itu terkait dengan hipoglikemi yang tidak disadari karena hilangnya glucose-control-regulation dan gangguan simptoadrenal.b. Komplikasi Kronis DM

- Komplikasi Makrovaskular

Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada pasien DM adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia, dan atau kegemukan. Komplikasi ini timbul akibat aterosklerosis dan tersumbatnya pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Komplikasi makrovaskular atau makroangiopati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih sering, dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologi menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular dan diabetes meningkat 4 -5 kali dibandingkan pada orang normal. ACUTE CONFUSIONAL STATE

Delirium adalah suatu kondisi yang dikarakterisasi dengan adanya perubahan kognitif akut (defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) dan gangguan pada sistem kesadaran manusia. Delirium bukanlah suatu penyakit melainkan suatu sindrom dengan penyebab multiple yang terdiri atas berbagai macam gejala akibat dari suatu penyakit dasar. Delirium didefinisikan sebagai disfungsi cerebral yang reversible, akut dan bermanifestasi klinis pada abnormalitas neuropsikiatri. Delirium sering salah diintrepretasikan dengan demensia, depresi, mania, schizophrenia akut, atau akibat usia tua, hal ini dapat terjadi karena gejala dan tanda dari delirium juga muncul pada demensia, depresi, mania, psikosis dll. Kata delirium berasal dari bahasa latin yang artinya lepas jalur. Sindrom ini pernah dilaporkan pada masa Hippocrates dan pada tahun 1813 Sutton mendeskripsikan sebagai Delirium Tremens, kemudian Wernicke menyebutnya sebagai Encephalopathy Wernicke.

PATOFISIOLOGI

Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya. Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguan struktural dan fisiologik.

a. Asetilkolin

Defisiensi neurotransmitter asetilkolin sering dihubungkan dengan sindrom delirium. Penyebabnya antara lain gangguan metabolisme oksidatif di otak yang dikaitkan dengan hipoksia dan hipoglikemi. Faktor lain yang berperan antara lain meningkatnya sitokin otak pada penyakit akut. Gangguan atau defisiensi asetilkolin atau neurotransmiter lain maupun peningkatan sitokin akan mengganggu transduksi sinyal neurotransmitter serta second messenger system. Pada gilirannya, kondisi tadi akan memunculkan gejala-gejala serebral dan aktivitas psikomotor yang terdapat pada sindrom delirium. Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Hal yang mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan bingung, pada pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien post-operatif delirium serum antikolinergik juga meningkat.b. Dopamine

Pada otak, hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik, pengobatan simptomatis muncul pada pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat dopamine.c. Neurotransmiter lainnya

Serotonin; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan encephalopati hepatikum. GABA (Gamma-Aminobutyric acid); pada pasien dengan hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA

juga ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien

hepatic encephalopati, yang menyebabkan peningkatan pada asam

amino glutamate dan glutamine (kedua asam amino ini merupakan

precursor GABA). Penurunan level GABA pada susunan saraf pusat

juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus

benzodiazepine dan alkohol.

d. Mekanisme peradangan/inflamasi

Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti

interleukin-1 dan interleukin-6, dapat menyebabkan delirium.

Mengikuti setelah terjadinya infeksi yang luas dan paparan toksik,

bahan pirogen endogen seperti interleukin-1 dilepaskan dari sel.

Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan

delirium, terdapat hubungan respon otak yang dimediasi oleh

interleukin-1 dan interleukin 6.

e. Mekanisme reaksi stress

Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah

terjadinya delirium.

f. Mekanisme struktural

Pada pembelajaran terhadap MRI terdapat data yang

mendukung hipotesis bahwa jalur anatomi tertentu memainkan

peranan yang lebih penting daripada anatomi yang lainnya. Formatio

reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari bangkitan

delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari formatio

retikularis mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur