Rino Sinusitis

58
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam dan merupakan salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan sehingga infeksi yang menyerang bronkus, paru dapat juga menyerang hidung dan sinus paranasal (Purnaman dan Rifki, 1990). Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasalis (PERHATI, 2001). Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang sering ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini (Roos, 1999). Rinosinusitis ini sendiri di klasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut, rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronis. Rinosinusitis kronis adalah peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasalis yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Rinosinusitis kronis secara nyata akan menurunkan kualitas hidup akibat obstruksi hidung dan iritasi, gangguan penghidu, gangguan tidur dan gejala pilek yang persisten (Harowi, 2007). Faktor predisposisi timbulnya rinosinusitis kronik ialah obstruksi mekanik seperti deviasi septum, hipertropi konka media, benda 1

description

tht

Transcript of Rino Sinusitis

Page 1: Rino Sinusitis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinosinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam dan merupakan salah satu

penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik. Hidung

dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan sehingga infeksi

yang menyerang bronkus, paru dapat juga menyerang hidung dan sinus paranasal

(Purnaman dan Rifki, 1990).

Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan

sinus paranasalis (PERHATI, 2001). Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang

sering ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat

mengakibatkan gangguan kualitas hidup, sehingga penting bagi dokter umum atau

dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi,

gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini (Roos, 1999).

Rinosinusitis ini sendiri di klasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut,

rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronis.

Rinosinusitis kronis adalah peradangan pada mukosa hidung dan sinus

paranasalis yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki,

2003). Rinosinusitis kronis secara nyata akan menurunkan kualitas hidup akibat

obstruksi hidung dan iritasi, gangguan penghidu, gangguan tidur dan gejala pilek

yang persisten (Harowi, 2007). Faktor predisposisi timbulnya rinosinusitis kronik

ialah obstruksi mekanik seperti deviasi septum, hipertropi konka media, benda

1

Page 2: Rino Sinusitis

asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung yang dibiarkan terus

menerus tanpa penanganan pengobatan. Faktor predisposisi lain seperti

rangsangan yang menahun dari lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering,

yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia. Faktor-

faktor fisik, kimia, saraf, hormonal atau emosional dapat juga mempengaruhi

mukosa hidung yang selanjutnya dapat mempengaruhi mukosa sinus.

Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 14,1 % dari

populasi orang dewasa. Menurut American Academy of Otolaringology, kondisi

ini menghabiskan langsung dana kesehatan sebesar 3,4 milyar dolar per tahun.

Kasus rinosinusitis kronis itu sendiri yang sudah masuk data rumah sakit

berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-kira sejumlah

200.000 orang dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap

tahunnya juga (Ryan, 2006).

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan

sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar

102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan

dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan

PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7

propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus

2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435

pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi

operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional). Karena berbagai kendala dari

jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. Di Bagian THT RS

2

Page 3: Rino Sinusitis

Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar, dilaporkan tindakan BSEF pada periode

Januari 2005-Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi rinoinusitis, 33 kasus pada

polip hidung disertai rinosinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan

septum koreksi atas indikasi rinosinusitis dan septum deviasi.

Saat ini di RSUD Mataram belum ada studi epidemiologi mengenai data pasti

dari kasus rinosinusitis, padahal rinosinusitis kronis tersebut merupakan salah satu

penyakit yang sering dijumpai di poli THT RSUD Mataram, sehingga sangat

diperlukan data yang akurat untuk mengetahui distribusi profil subjek berdasarkan

usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor

predisposisi dari rinosinusitis kronis.

Propinsi NTB merupakan daerah pegunungan dengan iklim berupa udara

yang dingin dan lembab, sebagian besar masyarakat NTB merupakan golongan

menengah kebawah dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan yang rendah

sehingga rata–rata memiliki status gizi yang kurang dan tingkat higiene yang

rendah. Iklim seperti udara dingin dan kering, lembab dengan suhu yang berubah-

ubah, alergi, dan keadaan umum yang buruk (status gizi kurang), merupakan

faktor-faktor yang mempermudah terjadinya rinosinusitis.

Dari uraian diatas dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya, maka

penulis bermaksud mengangkat judul ”Profil Pasien Rinosinusitis Kronis di Poli

THT RSUD Mataram Periode 1 Januari - 31 Desember 2007”. Di NTB khususnya

RSUD Mataram yang merupakan pusat rujukan dari berbagai kabupaten/kodya di

NTB, belum terdapat penelitian yang melaporkan tentang angka kejadian

penderita rinosinusitis kronis.

3

Page 4: Rino Sinusitis

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah profil pasien rinosinusitis kronis yang menjalani pemeriksaan di

bagian Poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007?

1. 3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Mengetahui profil pasien rinosinusitis kronis yang menjalani pemeriksaan di

bagian poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007.

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui rentang usia pasien rinosinusitis kronis.

2. Mengetahui jenis kelamin pasien rinosinusitis kronis.

3. Mengetahui tingkat pendidikan terakhir pasien rinosinusitis kronis.

4. Mengetahui jenis pekerjaan pasien rinosinusitis kronis.

5. Mengetahui keluhan utama pasien rinosinusitis kronis.

6. Mengetahui faktor predisposisi pasien rinosinusitis kronis.

I.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi peneliti:

1. Mengetahui secara lebih mendalam profil pasien rinosinusitis kronis yang

menjalani pemeriksaan di bagian Poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari

– 31 Desember 2007.

2. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram.

4

Page 5: Rino Sinusitis

1.4.2. Bagi RSU Mataram:

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pihak RSUD Mataram

dalam mengambil kebijakan guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

1.4.3. Bagi para pembaca:

Diharapkan bahwa hasil Karya Tulis Ilmiah ini nantinya dapat menjadi sumber

informasi dan bahan bacaan tambahan yang dapat memperluas wawasan

pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa kedokteran, tenaga kesehatan, maupun

masyarakat pada umumnya.

5

Page 6: Rino Sinusitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Rinosinusitis Kronis

Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau

infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis, rinosinusitis dapat

dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa

hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu

sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan

(Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu

maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus

disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut

pansinusitis (Paraswati, 2007).

2.1.1. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat

lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan

akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus

terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding

anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina,

dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding

medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar

orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium

6

Page 7: Rino Sinusitis

sinus maksilaris berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke

hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus

paranasalis yang terbesar, letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga

aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari

anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1

dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar

gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke

atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus

medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat

(Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

2.1.2. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang

tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak

diantara konka media dan dinding medial orbita. Sama halnya dengan sinus

maksilaris, bahwa sinus etmoidalis ini telah ada saat lahir. Ukurannya dari

anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior

dan 1,5 ml cm dibagian posterior. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi

menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid

posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut

resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar

7

Page 8: Rino Sinusitis

disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang

disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila.

Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis

frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina

kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan

membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid

posterior berbatasan dengan dinding anterior sinus sfenoid (Soetjipto dan

Mangunkusumo, 2003).

Berhubungan dengan orbita, sinus etmoid dilapisi dinding tipis yakni lamina

papirasea. Sehingga jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya

pecah maka darah akan masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma

(Ballenger, 1994).

2.1.3. Sinus Frontalis

Sinus frontalis terdiri dari 2 sinus yang terdapat di setiap sisi pada daerah dahi, di

os frontal. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan

dalamnya 2 cm. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada pada

usia 8 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun.

Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang

biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya

ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus

frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-

8

Page 9: Rino Sinusitis

kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk

salah satu sinus (Hilger, 1997).

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang disebut

dengan tulang compacta dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus

frontal mudah menjalar ke daerah ini (Ballenger, 1994).

2.1.4. Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoidalis dibelakang sinus etmoid

posterior. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7

cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Pneumatisasi sinus spenoidalis

dimulai pada usia 8-10 tahun. Biasanya berbentuk tidak teratur dan sering terletak

di garis tengah. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum

intersfenoid. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian lateral

os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak

sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.

Batas-batasnya adalah sebelah anterior dibentuk oleh resesus sfenoetmoidalis

di medial dan oleh sel-sel etmoid posterior di lateral. Dinding posterior dibentuk

oleh os sfenoidale. Sebelah lateral berkontak dengan sinus kavernosus, arteri

karotis interna, nervus optikus dan foramen optikus. Penyakit-penyakit pada sinus

sfenoidalis dapat mengganggu struktur-struktur penting ini, dan pasien dapat

mengalami gejala-gejala oftalmologi akibat penyakit sinus primer. Dinding

medial dibentuk oleh septum sinus tulang intersfenoid yang memisahkan sinus

kiri dari yang kanan. Superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa

dan sebelah inferiornya atap nasofaring (Hilger, 1997).

9

Page 10: Rino Sinusitis

Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus (Hilger, 1997)

Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)

10

Page 11: Rino Sinusitis

1. Sinus frontal

2. Sinus etmoid anterior

3. Aliran dari sinus frontal

4. Aliran dari ethmoid

5. Sinus etmoid posterior

6. Konka media

7. Sinus sphenoid

8. Konka Inferior

9. Hard palate

Gambar 2.3. Dinding lateral hidung (Hazenfield, 2009)

2.2. Etiologi Rinosinusitis Kronis

Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era pra-

antibiotik, rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang

berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia,

saraf, hormonal dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum,

rinosinusitis kronis lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi,

kelemahan tubuh yang tidak bugar, dan penyakit umum sistemik perlu

dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis kronis. Perubahan dalam faktor-

faktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembapan, dan kekeringan, demikian

pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan faktor

predisposisi.

11

Page 12: Rino Sinusitis

Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap

infeksi sebelumnya, misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti

rinitis alergika.

Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit

rinosinusitis kronis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda

asing dan neoplasma.

Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana

virus adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti, rinosinusitis,

faringitis, dan sinusitis akut. Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung,

nasofaring dan juga meluas ke sinus, yang termasuk didalamnya adalah rinovirus,

influenza virus dan parainfluenza virus.

Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang

menyebabkan rinosinusitis akut. Namun, karena rinosinusitis kronik biasanya

berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang

terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri

penyebab rinosinusitis kronis banyak macamnya, baik anaerob maupun yang

aerob, namun yang merupakan proporsi terbesar adalah bakteri anaerob (Munir

dan Kurnia, 2007). Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain

staphylococcus aureus, streptococcus viridians, haemuphilus influenza, neisseria

flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus pneumonia, dan escherichia

coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain peptostreptococcus,

corynebacterium, bacteroides, dan veillonella. Infeksi campuran antara organisme

aerob dan anaerob sering kali juga terjadi (Hilger, 1997).

12

Page 13: Rino Sinusitis

2.3. Patofisiologi Rinosinusitis Kronis

Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, rinitis

kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada

obstruksi anatomis karena edema dan akhirnya efek lanjut gangguan alergenik

kronik, seperti hipertropi mukosa, dan poliposis (Hilger, 1997).

Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung, dan pelapis

sinus merupakan epitelium pernapasan. Patofisiologi dasar penyakit rinosinusitis

kronis ini suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio meatus medius

akibat reaksi radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap infeksi traktus

respiratorius atas biasanya mengenai mukosa sinus, karena epitel sinus merupakan

epitelium kuboid bertingkat bersilia yang mirip dengan epitelium kolumner

bertingkat bersilia pada hidung, sehingga hal-hal yang terjadi di hidung biasanya

terjadi pula di sinus-sinus, karena hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat

menghasilkan superinfeksi bakterial, yang kemudian bakteri tersebut dapat masuk

melalui ostium menuju ke dalam rongga-rongga sinus dan berkembangbiak

didalamnya (Samsudin, 1991).

Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang

letaknya berhadapan akan saling bertemu, dimana sekretnya ini menebal, dan bila

ditunggangi kontaminasi bakteri, mukosanya akan mengandung purulen. Virus

juga memproduksi enzim neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan

mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia, hal ini menyebabkan silianya

menjadi kurang aktif, dan sekret yang dihasilkan mukosa sinus menjadi kental,

sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan terjadi gangguan drenase dan ventilasi

13

Page 14: Rino Sinusitis

di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung berulang atau terus-meneruslah

yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis, dimana akan terjadi hipoksia dan

retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri aerob maupun anaerob.

Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau

pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid

berasal dari edema mukosa dinding lateral cavum nasi, dimana stroma akan terisi

oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila

proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan

kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga

terjadilah polip.

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas

hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus

etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan (Pawankar, 2000

dan Stammberger 1997). Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop,

mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger

didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka media

dan infundibulum. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di

nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus

maksila dan disebut juga polip antro-koana. Menurut Stammberger polip

antrokoana biasanya berasal dari kista yang terdapat pada dinding sinus maksila.

Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid posterior atau

resesus sfenoetmoid (Jareoncharsri dan Stammberger, 1997).

14

Page 15: Rino Sinusitis

Polusi,Zat kimia

Sumbatan Alergi,

Mekanis defisiensi

imun

Sepsis residual

Pengobatan yang tidak memadai

Gambar 2.4. Siklus dari peristiwa yang berulang pada rinosinusitis kronis (Hilger, 1997)

Gambar 2.5. Purulen pada infeksi sinus maksilaris (Cody, 1991)

15

Drenase yg tidak

memadai

Hilangnya silia

Perubahan mukosa

Infeksi

Page 16: Rino Sinusitis

Gambar 2.6. Kista atau polip pada sinus maksilaris sinistra (Hazenfield, 2009)

Gambar 2.7. Polip hidung tampak pada rinoskopi anterior (Nizar dan Mangunkusumo, 2003)

16

Page 17: Rino Sinusitis

Gambar 2.8. Polip hidung dengan tangkainya (Nizar dan Mangunkusumo, 2003)

Gambar 2.9. Nasal polip (Hazenfield, 2009)

17

Page 18: Rino Sinusitis

Gambar 2.10. Polipektomi hidung. Suatu pengait digunakan untuk menjerat dan menarik polip (Hilger, 1997)

2.4. Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis

Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1

kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Kennedy, 1995). Yang merupakan

kriteria mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa:

a. Nyeri atau sakit pada bagian wajah.

b. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal

(post nasal drip).

c. Gejala faring, yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.

d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rhinoskopi anterior ditemukan

sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior, sedangkan

pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke

tenggorok.

18

Page 19: Rino Sinusitis

e. Hyposmia atau anosmia.

f. Gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

g. Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat

menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.

Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:

a. Nyeri atau sakit kepala.

b. Demam.

c. Halitosis.

d. Kelelahan (fatigue).

e. Sakit gigi (dental pain).

f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan

komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial,

sehingga terjadi penyakit sinobronkial.

g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba

eustachius (Ryan, 2005).

Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan

akan berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui

dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus

dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena (Mangunkusumo dan

Rifki, 2003).

19

Page 20: Rino Sinusitis

2.5. Diagnosis Rinosinusitis Kronis

Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak berdasarkan

gambaran klinik, yaitu:

No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitis KronisDewasa Anak Dewasa Anak

1 Lama gejala dan tanda < 12 minggu

< 12 minggu

> 12 minggu

> 12 minggu

2 Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari

< 4 kali / tahun

< 6 kali /

tahun

> 4 kali /

tahun

> 6 kali /

tahun

3 Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari

Dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa

Tidak dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa

Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy, 1995)

Dari gambaran klinik ini, barulah kita dapat menentukan langkah diagnosis

dari rinosinusitis kronis, yang dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat dan

pemeriksaan fisik untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasalis yang

dilakukan dengan inspeksi dari luar, palpasi, perkusi, rinoskopi anterior, rinoskopi

posterior dan transilumetri. Transiluminasi hanya dapat dipakai untuk memeriksa

sinus maksilaris dan sinus frontalis, bila fasilitas radiologis tidak tersedia.

Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi, posisi rutin yang

dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Pungsi sinus maksila, sinoskopi

sinus maksila dengan menggunakan endoskop, pemeriksaan histopatologik dari

jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus

medius dan meatus superior dengan menggunakan nasoendoskopi dan

pemeriksaan CT-Scan (Mangunkusumo dan Rifki). Pemeriksaan CT–Scan,

20

Page 21: Rino Sinusitis

merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada

sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan

mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu

atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik pada kasus-

kasus kronik yang tidak membaik dengan terapi, rinosinusitis dengan komplikasi,

evaluasi preoperatif, dan jika ada dugaan keganasan. Magnetic Resonance

Imaging (MRI) lebih baik daripada tomografi komputer dalam resolusi jaringan

lunak dan sangat baik untuk membedakan rhinosinusitis karena jamur, neoplasma,

dan perluasan intrakanialnya, namun resolusi tulang tidak tergambar baik dan

harganya mahal (FKUI-Kapita Selekta Kedokteran, 2003).

2.6. Komplikasi Rinosinusitis Kronis

Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya

antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada rinosinusitis kronis dengan

eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi ialah osteomielitis dan abses

subperiostal, kelainan orbita, kelainan intrakranial dan kelainan paru.

Osteomielitis dan abses subperiostal penyebab terseringnya pada tulang

frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.

Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil dan biasanya ditemukan

pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.

Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan

mata (orbita). Karena pada hakekatnya mata merupakan struktur yang dikelilingi

pada 3 sisi oleh sinus-sinus, frontalis di atas, etmoidalis di medial dan maksilaris

21

Page 22: Rino Sinusitis

di bawah, maka keadaan yang melibatkan sinus-sinus ini dapat meluas untuk

melibatkan isi orbita. Yang paling sering adalah sinusitis frontal dan maksila.

Penyebaran infeksi terjadi melalui duktus nasolakrimalis, tromboflebitis dan

perkontinuitatum. Selain itu juga, semua sinus mempunyai hubungan sirkulasi di

mata melalui pembuluh pterigodea, serta cabang-cabang arteri yang mempunyai

nama yang sama pada setiap sinusnya yang berjalan berdampingan dengan vena

yang menghubungkannya dengan mata. Seperti cabang sfenopalatina dari arteri

maksilaris interna menyuplai konka, meatus dan septum. Cabang etmoidalis

anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan

etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu

cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri

maksilaris interna, dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan

ke dalam sinus sfenoidalis. Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang

rapat di bawah membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media

dan inferior, serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil.

Drenase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina,

seperti pada vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena

oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Untuk persarafannya yang

terlibat langsug adalah termasuk juga divisi oftalmikus, misalnya bagian depan

dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasolabialis, yang berasal dari

nervous oftalmikus. Pada sfenoid dapat pula timbul gejala pada mata, tetapi hanya

karena hubungannya dengan sinus kavernosus tempat lewatnya saraf otak ketiga

22

Page 23: Rino Sinusitis

(okulomotorius), keempat (troklearis), kelima (trigeminus) dan keenam

(abdusens) (Hilger, 1997). Kelainan yang dapat timbul, antara lain:

a. Selulitis orbita: edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi

isi orbita namun pus belum terbentuk.

b. Abses subperiosteal: pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang

orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

c. Abses orbita: pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi

orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan

unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang

tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita juga

proptosis yang makin bertambah.

d. Trombosis sinus kavernosus: merupakan akibat penyebaran bakteri melalui

saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu

tromboflebitis septik, dan yang selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus

kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Kelainan intrakranial yang dimaksud dapat berupa:

a. Meningitis akut: salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah

meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang

saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding

posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel

udara etmoidalis.

b. Abses dura: adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,

sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga

23

Page 24: Rino Sinusitis

pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu

menimbulkan tekanan intra kranial.

c. Abses subdural: adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau

permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

d. Abses otak: setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi,

maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.

Sedangkan untuk kelainan paru berupa bronkitis kronik dan bronkiektasis,

selain itu dapat pula timbul asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

2.7. Terapi Rinosinusitis Kronis

Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif dan

operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas

sekret, dan mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya,

maka dapat dilakukan tata laksana yang sesuai yaitu dengan penanganan

konservatif, dengan pemberian antibiotika yang sesuai untuk mengatasi infeksinya

serta obat-obatan simptomatis lainnya seperti analgetik berupa aspirin atau

preparat codein, dan kompres hangat pada wajah juga dapat membantu untuk

menghilangkan rasa sakit tersebut. Dekongestan, misalnya pseudoefedrin, dan

tetes hidung poten seperti fenilefrin dan oksimetazolin cukup bermanfaat untuk

mengurangi udem sehingga dapat terjadi drainase sinus. Terapi pendukung

lainnya seperti mukolitik, antipiretik dan antihistamin (Piccirillo, 2004).

Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya

dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

24

Page 25: Rino Sinusitis

Agen Antibiotika DosisSINUSITIS AKUTLini pertamaAmoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3

dosis Dewasa: 3 x 500 mg

Kotrimoxazol Anak: 6 - 12 mg TMP/ 30 – 60 mg SMX/ kg/hari terbagi dlm 2 dosisDewasa: 2 x 2 tab dewasa

Eritromisin Anak: 30-50mg/kg/hari terbagi setiap 6 jamDewasa: 4 x 250-500mg

Doksisiklin Dewasa: 2 x 100 mgLini keduaAmoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2

dosisDewasa: 2 x 875 mg

Cefuroksim 2 x 500 mgKlaritromisin Anak: 15 mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis

Dewasa: 2 x 250 mgAzitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1x250 mg selama

4 hari berikutnya.Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500 mgSINUSITIS KRONIKAmoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2

dosisDewasa: 2 x 875 mg

Azitromisin Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg selama 4 hari berikutnyaDewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250mg selama 4 hari

Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg

Tabel 2.2. Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis (Piccirillo, 2004)

Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra

Short Wave Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini

membantu memperbaiki drenase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit.

Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk

25

Page 26: Rino Sinusitis

sinusitis etmoid, frontal atau sfenoid dilakukan pencucian Proetz. Irigasi dan

pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 – 6 kali tidak ada

perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen, berarti mukosa sinus

sudah tidak dapat kembali normal (perubahan irreversible), maka dapat dilakukan

operasi radikal untuk menghindari komplikasi lanjutan. Untuk mengetahui

perubahan mukosa masih reversible atau tidak, dapat juga dilakukan dengan

pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum (sinus maksila) secara langsung

dengan menggunakan endoskop (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Bila penanganan konservatif gagal, maka dilakukan terapi operatif yaitu

dengan cara mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari

sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc,

sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari

dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) (Mangunkusumo dan Rifki,

2003).

Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan

menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat

operasi kta dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada

rongga-rongga sinus. Jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan

normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar, inilah yang disebut dengan

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya adalah membuka dan

membersihkan daerah kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan

dan infeksi, sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui

26

Page 27: Rino Sinusitis

osteum alami. Dengan demikian sinus akan kembali normal (Mangunkusumo dan

Rifki, 2003).

2.8. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai

berikut:

Gambar 2.11. Kerangka konsep penelitian

BAB III

27

Rinosinusitis kronis

Tingkat pendidikan

Faktor predisposisi

Jenis kelamin

Usia Jenis pekerjaan

Page 28: Rino Sinusitis

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dirancang secara deskriptif, dengan pengumpulan data bersifat

retrospektif yaitu melakukan tinjauan terhadap rentang usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor predisposisi pada pasien

rinosinusitis kronis yang berobat di Poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari –

31 Desember 2007.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di RSUD Mataram NTB pada bulan Oktober 2008. Data

dalam penelitian ini diambil dari kartu rekam medis pada pasien rinosinusitis

kronis yang menjalani pemeriksaan di bagian Poli THT di RSUD Mataram

periode 1 Januari – 31 Desember 2007.

3.3. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rinosinusitis kronis yang

menjalani pemeriksaan di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari – 31

Desember 2007.

3.4. Definisi Operasional

28

Page 29: Rino Sinusitis

1. Rinosinusitis kronis merupakan peradangan pada mukosa hidung dan sinus

paranasalis yang berlangsung lebih dari 3 bulan.

2. Profil pasien rinosinusitis kronis merupakan gambaran umum penderita

yang terdiri dari rentang usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan terakhir, jenis

pekerjaan, keluhan utama, dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis yang

disajikan dalam bentuk tabel, gambar atau ikhtisar lainnya yang mewakili

serangkaian karakteristik secara kuantitatif.

3. Usia pasien rinosinusitis kronis merupakan waktu hidup pasien sejak

dilahirkan sampai datang ke poli THT dengan penyakit rinosinusitis.

4. Jenis kelamin adalah laki –laki dan perempuan.

5. Tingkat pendidikan merupakan pendidikan formal yang telah diselesaikan

6. Pekerjaan merupakan mata pencaharian dari pasien rinosinusitis kronis.

7. Keluhan utama merupakan gejala yang dirasakan oleh pasien rinosinusitis

kronis saat datang berkunjung ke poli THT.

8. Faktor predisposisi merupakan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya

rinosinusitis kronis, seperti: obstruksi mekanik seperti deviasi septum,

hipertropi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam

rongga hidung yang dibiarkan terus menerus, rangsangan menahun dari

lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, faktor fisik, kimia, saraf,

hormonal ataupun emosional.

3.5. Alat dan Cara Pengumpulan Data

29

Page 30: Rino Sinusitis

Sumber data dalam penelitian ini adalah informasi yang tertulis dalam rekam

medis pasien rinosinusitis kronis. Pengumpulan data dilakukan dengan mencatat

informasi-informasi yang penting dalam kartu rekam medis pasien. Data yang

dicatat meliputi:

1. Nomor rekam medis.

2. Tanggal masuk rumah sakit.

3. Nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan alamat pasien.

4. Faktor predisposisi timbulnya rinosinusitis kronis.

5. Keluhan utama.

6. Hasil pemeriksaan penunjang.

3.6. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini, digunakan prosedur penelitian yang sesuai dengan langkah-

langkah berikut:

1. Melakukan pencatatan pasien rinosinusitis dari buku registrasi di poli THT

RSUD Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007.

2. Melakukan pencarian rekam medik pasien rinosinusitis kronis di RSUD

Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007.

3. Mencatat profil semua pasien rinosinusitis kronis di RSUD Mataram periode 1

Januari – 31 Desember 2007.

4. Mengumpulkan data dan melakukan pengentrian data.

5. Melakukan analisa data dengan metode analisis deskriptif sederhana terhadap

data yang sudah terkumpul dalam bentuk tabel dan gambar.

30

Page 31: Rino Sinusitis

6. Membahas dan menginterprestasikan hasil data yang diperoleh yang dikaitkan

dengan variable-variabel penelitian yang digunakan.

3.7. Analisis Data

Data yang diperoleh disusun dan ditabulasi serta disajikan dalam bentuk tabel dan

grafik.

3.8. Rencana Kegiatan

Adapun jadwal penelitian berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan yaitu:

Rencana kegiatan Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar AprPenyusunan judul XPenyusunan proposal X X XPengumpulan data XAnalisis data X XLaporan penelitian X X X X X

Tabel 2.3. Jadwal penelitian berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini pengumpulan data hanya berdasarkan informasi-informasi

yang tertera di lembaran rekam medis pasien rinosinusitis kronis yang menjalani

31

Page 32: Rino Sinusitis

pemeriksaan di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007.

Adapun informasi yang dicatat yaitu nomor rekam medis, tanggal masuk rumah

sakit, nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, keluhan utama,

faktor predisposisi dan hasil pemeriksaan penunjang.

Penelitian mengenai profil rinosinusitis kronis ini dilakukan selama satu

bulan yaitu pada bulan oktober dan berdasarkan hasil pengumpulan data rekam

medis yang dilakukan, maka didapatkan data-data pasien rinosinusitis kronis yang

menjalani pemeriksaan di poli THT RSUD Mataram, yakni sebanyak 241 pasien

rinosinusitis yang diperiksa di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari – 31

Desember 2007, dan diantaranya terdapat 120 pasien yang terdiagnosa

rinosinusitis kronis.

Berikut merupakan gambaran karakteristik subjek penelitian sebanyak 120

kasus yang dijabarkan dalam bentuk tabel dan grafik berdasarkan rentang usia,

jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor

predisposisi pasien rinosinusitis kronis yang diperiksa di poli THT RSUD

Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007.

4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan rentang usia

Tabel 4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan rentang usia

No Rentang usia Frequency Percent (%)1 <5 3 2.502 6-15 8 6.663 16-25 28 23.334 26-35 26 21.66

32

Page 33: Rino Sinusitis

5 36-45 28 23.336 >46 27 22.507 Total 120 100.00

Sumber : rekam medik RSUD Mataram

05

1015202530

< 5 Tahun 6 - 15 Tahun 16 - 25 Tahun26 - 35 Tahun36 - 45 Tahun > 46 Tahun

Gambar 4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan rentang usia

Dari tabel dan gambar 4.1. didapatkan bahwa usia pasien rinosinusitis kronis

paling banyak pada kelompok usia 16-25 tahun dan kelompok usia 36-45 tahun

yang memiliki jumlah pasien yang sama yaitu sebanyak 28 (23,33%) pasien, dan

paling sedikit pada kelompok usia <5 tahun yaitu sebanyak 3 (2,5%) pasien. Dari

keseluruhan data pasien rinosinusitis kronis, usia termuda 2 tahun dan usia tertua

66 tahun. Pada penelitian sebelumnya Massudi (Semarang, 1991) mendapatkan

usia terbanyak adalah 21-25 tahun (38,16%), NW Nizar (Jakarta, 1994) usia

terbanyak 26-30 tahun (47,21%), Moerseto (Jakarta, 1995) usia terbanyak 21-30

tahun (38,95%). Di RS Adam Malik Medan, Rizal A. Lubis (1998) usia terbanyak

18-27 tahun (60%), Alfian Taher (1999) usia terbanyak 15-24 tahun (36,85%),

Elfahmi (2001) usia terbanyak adalah 35-44 tahun (30%) dan Usu (2003)

mendapat usia terbanyak adalah 25-34 tahun. Menurut Hilger (1997) anak-anak

cenderung lebih rentan mengalami infeksi virus dan alergi pada saluran nafas atas

33

Page 34: Rino Sinusitis

dibanding usia dewasa. Namun, berbeda halnya dalam penelitian ini, dimana

jumlah pasien anak yang berkunjung di poli THT RSUD Mataram dalam jumlah

yang kecil jika dibandingkan dengan usia dewasa 16-45 tahun. Penurunan jumlah

kunjungan anak ini bisa terjadi dikarenakan sikap dan perilaku orangtua untuk

memilih usaha preventif terhadap dampak kesehatan, didukung dengan

peningkatan tingkat pengetahuan orangtua yang lebih baik sehingga dapat

dilakukan penanganan sedini mungkin agar tidak mengakibatkan dampak kronis.

Selain itu juga bahwa kunjungan anak usia 0-14 tahun lebih banyak datang ke poli

anak. Sedangkan tingginya kasus rinosinusitis kronis pada usia dewasa 16-45

tahun terjadi akibat aktivitas sosial yang lebih banyak dilakukan diluar rumah

dengan polutan atmosfer termasuk asap rokok dan kendaraan bermotor, sehingga

resiko untuk tertular dengan virus dan bakteri pembawa penyakit rinosinusitis ini

sangat besar dan umumnya mereka memiliki keterbatasan merawat kebugaran

tubuh sehingga mereka rentan terhadap penyakit terutama ISPA. Dan juga faktor

perilaku kaum dewasa ini yang mempunyai kebiasaan merokok yang dapat

meningkatkan resiko terjadinya rinosinusitis kronis.

4.2. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.2.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin

No Jenis kelamin Frequency Percent (%)

1 Wanita 57 47.50

2 Laki-laki 63 52.50

3 Total 120 100.00Sumber : rekam medik RSUD Mataram

34

Page 35: Rino Sinusitis

50556065

Laki - Laki Wanita

Gambar 4.2.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.2.2. Distribusi rentang usia dan jenis kelamin pasien rinosinusitis kronis

No Rentang usiaJenis kelamin pasien

Wanita Laki-laki Total1 <5 0 3 32 6-15 1 7 83 16-25 15 13 284 26-35 19 7 265 36-45 15 13 286 >46 7 20 277 Total 57 63 120

0

5

10

15

20

Jumlah Pasien

< 5 th 6 - 15 th 16 - 25 th 26 - 35 th 36 - 45 th >46 th

Rentang usia

Gambar 4.2.2. Distribusi rentang usia dan jenis kelamin pasien rinosinusitis kronis

Laki-laki Wanita

Dari tabel dan gambar 4.2.1. didapat jenis kelamin terbanyak adalah laki – laki

sebanyak 63 (52,5%) pasien dan wanita sebanyak 57 (47,5%) pasien dengan

35

Page 36: Rino Sinusitis

perbandingan kasus ♂ : ♀ = 1,1 : 1. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian

yang dilakukan oleh Usu (2003) dimana jumlah pasien laki-laki 22 orang dan

wanita 19 orang dengan perbandingan kasus ♂ : ♀ = 1,2 : 1 dan Elfahmi (Medan,

2001) dari 40 penderita maksila kronis didapat laki-laki 21 (52,5%) orang dan

wanita 19 (47,5%) orang dengan perbandingan kasus ♂ : ♀ = 1,1 : 1. Sedangkan

pada penelitian lainnya, Massudi (Semarang, 1991) mendapatkan laki-laki 48,5%

dan wanita 51,5%. Beninger MS (1996) dari 100 penderita sinusitis maksila

kronis didapat laki-laki 45 orang dan wanita 55 orang dan Pramono (Semarang,

1999) mendapatkan 34 laki-laki dan 37 wanita. Jika disesuaikan dengan teori hasil

ini sangat bertentangan, seperti dikutip dalam Falagas ME (2007) menyatakan

bahwa wanita biasanya lebih banyak terkena infeksi saluran nafas atas yaitu

sinusitis, tonsilitis dan otitis eksterna dan laki-laki sebagian besar menderita otitis

media, batuk dan beberapa infeksi saluran nafas bawah. Schachter J, Higgins MW

(1976) juga melaporkan bahwa ISPA pada anak perempuan lebih sering

berkembang pada saat dewasa dibandingkan dengan anak laki-laki, mugkin

pengaruh hormonal. Namun dalam hal ini tidak dapat dipungkiri juga bahwa

struktur anatomi, gaya hidup, kebiasaan dan perbedaan sosial ekonomi antara

wanita dan laki-laki sangat berperan penting. Lebih banyaknya laki-laki yang

menderita rinosinusitis kronis yang melakukan pemeriksaan di poli THT RSUD

Mataram mungkin dipengaruhi oleh gaya hidup dan kebiasaan masyarakat NTB.

Pada umumnya laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas sosial dibanding

wanita yang lebih banyak melakukan aktivitasnya dirumah, maka orang-orang

yang banyak melakukan aktivitas sosial diluar akan lebih beresiko. Selain itu,

36

Page 37: Rino Sinusitis

kebiasaan merokok sebagian besar dilakukan oleh laki-laki, dimana asap rokok

akan menyebabkan iritasi saluran pernafasan yang cukup berat, dan merupakan

salah satu faktor yang berperan penting dalam mencetuskan penyakit rinosinusitis

kronis. Kaum wanita pada umumnya lebih memilih usaha perawatan preventif

terhadap kesehatan sehingga mereka cenderung akan berusaha lebih waspada dan

bergerak cepat untuk mengatasi penyakit yang timbul sehingga tidak berlanjut ke

kondisi yang semakin parah.

Dari distribusi rentang usia dan jenis kelamin pada tabel dan grafik 4.2.2.

diatas didapat paling banyak penderita rinosinusitis kronis adalah dari kelompok

laki-laki dengan rentang usia >46 tahun yaitu sebanyak 20 pasien dan pada wanita

usia <5 tahun tidak ditemukan kasus. Pada kelompok rentang usia 16-45 tahun

kasus rinosinusitis kronis terbanyak ditemukan pada wanita.

4.3. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan tingkat pendidikan

terakhir

Tabel 4.3.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan tingkat pendidikan terakhir

No Tingkat Pendidikan Terakhir Frequency Percent (%)1 Belum/tidak sekolah 5 4.162 TK 3 3.333 SD 14 11.664 SMP 13 10.835 SMA 51 42.506 Tamatan universitas 34 28.337 Total 120 100.00

Sumber : Rekam Medik RSUD Mataram

37

Page 38: Rino Sinusitis

0

10

20

30

40

50

60

Belum/Tidak Sekolah

T K S D S M P S M A Tamatan Universitas

Gambar 4.3.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan tingkat pendidikan terakhir

Tabel 4.3.2. Distribusi rentang usia dan tingkat pendidikan terakhir pasien rinosinusitis kronis

No Rentang usia

Tingkat pendidikan terakhir pasienBelum/tidak

sekolahTK SD SMP SMA Tamatan

universitasTotal

1 <5 3 0 0 0 0 0 32 6-15 0 3 5 0 0 0 83 16-25 0 0 1 4 22 1 284 26-35 1 0 2 5 10 8 265 36-45 0 0 3 4 9 12 286 >46 1 0 3 0 10 12 267 Total 5 3 14 13 51 34 120

38

Page 39: Rino Sinusitis

0

5

10

15

20

25

Jumlah Pasien

< 5 th 6 - 15 th 16 - 25 th 26 - 35 th 36 - 45 th > 46 th

Rentang Usia

Gambar 4.3.2. Distribusi rentang usia dan tingkat pendidikan terakhir pasien rinosinusitis kronis

Tidak/Belum Sekolah TK SD SMP SMA Tamatan Universitas

Dari tabel dan gambar 4.3.1. terlihat bahwa tingkat pendidikan terakhir

penderita rinosinusitis kronis tertinggi pada kelompok SMA sebanyak 51 (42,5%)

pasien dan terendah pada kelompok TK sebanyak 3 (3,33%) pasien. Kelompok

SMA terbanyak pada rentang usia 16-25 tahun dengan jumlah kasus tertinggi

yaitu sebanyak 22 pasien. Untuk distribusi rentang usia dan tingkat pendidikan

terakhir lainnya dapat dilihat pada tabel dan gambar 4.3.2 diatas. Namun

demikian, belum ada penjelasan yang pasti mengenai hubungan antara tingkat

pendidikan dengan kejadian rinosinusitis kronis.

4.4. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis pekerjaan

Tabel 4.4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Frequency Percent (%)1 Belum/tidak bekerja 32 26.66

39

Page 40: Rino Sinusitis

2 Pelajar 15 12.503 Mahasiswa 16 13.334 Swasta 32 26.665 PNS 25 20.83

6 Total 120 100.00Sumber : Rekam Medik RSUD Mataram

05

101520253035

Belum/Tidak BekerjaPelajar Mahasiswa Swasta PNS

Gambar 4.4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis pekerjaan

Tabel 4.4.2. Distribusi rentang usia dan jenis pekerjaan pasien rinosinusitis kronis

No Rentang usia

Jenis pekerjaan pasienBelum/tidak

bekerja Pelajar Mahasiswa Swasta PNS Total

1 <5 3 0 0 0 0 32 6-15 0 8 0 0 0 83 16-25 4 4 15 5 0 284 26-35 13 0 0 7 6 265 36-45 7 2 0 11 8 286 >46 5 1 1 9 11 277 Total 32 15 16 32 25 120

40

Page 41: Rino Sinusitis

0

5

10

15

J umlah Pasien

< 5 th 6 - 15 th 16 - 25 th 26 - 35 th 36 - 45 th > 46 th

Rentang Usia

Gambar 4.4.2. Distribusi rentang usia dan jenis pekerjaan pasien rinosinusitis kronis

Belum/Tidak Bekerja Pelajar Mahasiswa Swasta PNS

Pada tabel dan gambar 4.4.1. didapat jenis pekerjaan terbanyak dari

kelompok belum/tidak bekerja dan kelompok swasta yang memiliki jumlah pasien

yang sama sebanyak 32 (26,66%) pasien. Kelompok belum/tidak bekerja ini

terdiri dari anak usia <5 tahun yang belum bersekolah, IRT dan pensiunan,

sedangkan kelompok swasta antara lain terdiri dari petani, buruh, montir bengkel,

sopir dan tukang ojek. Dan yang merupakan kelompok terkecil adalah kelompok

pelajar sebanyak 15 (12,50%) pasien.

Dalam tabel dan gambar 4.4.2. diatas terlihat bahwa pasien rinosinusitis

kronis yang berkunjung ke poli THT dengan kelompok belum/tidak bekerja

memiliki kasus tertinggi pada rentang usia 26-35 tahun sebanyak 13 pasien,

sedangkan kelompok swasta memiliki kasus tertinggi pada rentang usia 36-45

tahun sebanyak 11 pasien. Untuk kelompok belum/tidak bekerja yang diketahui

26 dari 33 pasiennya adalah IRT, dimana mereka lebih banyak melakukan

aktivitas di rumah, sehingga hal ini berhubungan erat dengan paparan yang terus-

menerus dari alergen yang berada dalam rumah dan lingkungan sekitarnya, seperti

41

Page 42: Rino Sinusitis

debu rumah, apalagi di daerah urban terdapat banyak pemukiman padat penduduk

yang biasanya di huni oleh kalangan menengah bawah, dengan lingkungan yang

buruk pada tempat tinggal mereka, karena pada umumnya rumah-rumah tersebut

memiliki sedikit ventilasi sehingga sirkulasi udara berjalan tidak lancar. Namun

faktor resiko non alergi seperti udara dingin, kerja berat, infeksi virus dan lain-lain

dapat juga berperan dalam mencetuskan rinosinusitis kronis penghuni rumah

tersebut. Kemudian untuk kelompok swasta dengan rata-rata penghasilan rendah

seperti yang telah dijelaskan diatas, dimana mereka lebih banyak melakukan

aktivitasnya di luar rumah yang boleh diprediksikan bahwa kondisi lingkungan

kerja mereka kurang baik, karena mereka akan lebih sering terpapar oleh polusi

udara dari kendaraan bermotor, apalagi masyarakat Indonesia kita ini yang

sebagian besar penduduknya merupakan perokok aktif, sehingga perokok pasif

pun akan terpapar juga oleh asap rokok yang merupakan salah satu alergen yang

dapat mencetuskan rinosinusitis kronis. Kasus rinosinusitis kronis pada PNS juga

cukup banyak, dimana kelompok ini menempati urutan kedua setelah kelompok

belum/tidak bekerja dan kelompok swasta. Jumlah PNS yang tinggi dikarenakan

RSU Mataram menerima pelayanan ASKES, sehingga banyak dari mereka yang

memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan gratis dari ASKES.

4.5. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama

Tabel 4.5.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama

No Jenis keluhan pasien rinosinusitis kronis

Frequency Percent (%)

1 A 85 70.832 B 17 14.163 C 1 0.83

42

Page 43: Rino Sinusitis

4 D 6 5.005 E 77 64.166 F 8 6.667 G 15 12.508 H 18 15.009 I 20 16.6610 J 11 9.1611 K 6 5.0012 L 25 20.8313 M 2 1.6614 N 10 8.3315 O 10 8.3316 P 60 50.0017 Q 4 3.3318 R 7 5.8319 S 15 12.5020 T 4 3.3321 U 3 2.5022 V 8 6.6623 W 7 5.8324 X 2 1.6625 Y 3 5.0026 Z 2 1.6627 Total 120 100.00

Sumber : Rekam Medik RSUD Mataram

Gambar 4.5.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama

43

Page 44: Rino Sinusitis

0102030405060708090

A C E G I K M O Q S U W Y

Frecuencykeluhan utama

Tabel 4.5.2. Distribusi rentang usia dan keluhan utama pasien rinosinusitis kronis

No Rentang

usia

Keluhan utama pasienA B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z

1 <5 2 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 12 6-15 5 0 0 0 6 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 6 0 1 0 0 1 1 1 0 2 03 16-25 22 4 1 0 21 2 3 7 7 2 1 5 0 2 2 12 0 1 0 1 0 1 1 1 0 14 26-35 15 3 0 1 16 0 4 4 4 1 0 6 1 3 2 12 0 3 7 2 1 2 0 0 1 05 36-45 21 3 0 2 19 1 1 5 5 5 2 5 0 1 2 18 3 1 2 0 0 3 4 1 0 06 >46 20 6 0 3 14 4 5 3 3 3 2 8 1 3 4 12 1 0 6 1 1 1 1 0 0 07 Total 85 17 1 6 77 8 15 18 20 11 6 25 2 10 10 60 4 7 15 4 3 8 7 2 3 2

44

Page 45: Rino Sinusitis

0

5

10

15

20

25

J umlah Pasien

< 5 th 6 - 15 th 16 - 25 th 26 - 35 th 36 -45 th > 46 th

Rentang Usia

Gambar 4.5.2. Distribusi rentang usia dan keluhan utama pasien rinosinusitis kronis

A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z

Keterangan :

A= pilek N = nyeri/sakit telinga

B= ingus berbau O = telinga bindeng

C= sulit buang ingus P = pusing

D= penciuman berkurang Q = mata kabur

E = hidung tersumbat R = sulit bernafas

F = benjolan dihidung S = batuk

G= nyeri/sakit hidung T = bersin-bersin

H= hidung bengkak U = mual

I = mimisan V = panas/demam

J = nyeri/sakit pipi W = sakitgigi

K= pipi bengkak X = bau mulut

L = sakit/gatal tenggorokan Y = sakit/nyeri saat menelan

M = pendengaran berkurang Z = nafsu makan berkurang

45

Page 46: Rino Sinusitis

Dari tabel dan gambar 4.5.1. didapatkan keluhan utama pasien terbanyak

adalah pilek sebanyak 85 (70,83%) pasien, diikuti hidung tersumbat sebanyak 77

(64,16%) pasien dan pusing sebanyak 60 (50%) pasien. Sedangkan keluhan utama

terkecil adalah sulit buang ingus sebanyak 1 (0,83%) pasien. Beberapa keluhan

utama terbanyak diatas memang merupakan kriteria mayor dari gejala klinis

rinosinusitis kronis dan keadaan ini sesuai dengan kepustakaan bahwa penderita

rinosinusitis kronis umumnya menderita keluhan gangguan pada hidung,

gangguan pada faring dan sakit kepala (Taufik, Kusno dan Suprihati, 1989). Usu

(2003) dan Benninger (1996) juga mendapatkan keluhan terbanyak penderita

sinusitis maksila kronis berupa hidung tersumbat. Hal yang sama juga didapatkan

pada penelitian yang dilakukan Massudi (Semarang, 1991) dimana keluhan utama

penderita adalah hidung tersumbat 42,4% dan sakit kepala 15,1%. Hidung

tersumbat biasanya akibat edema selaput lendir konka yang disebabkan oleh alergi

serta sekret yang mengental karena infeksi sekunder sebelum terjadi rinosinusitis.

Menurut Kennedy DW, hidung tumpat dihubungkan dengan pembengkakan

dalam celah hidung dan sinus yang menyebabkan gangguan ventilasi dan drenase

sinus.

Untuk keluhan pilek dan hidung tersumbat ditemukan terbanyak pada rentang

usia 16-25 tahun berturut-turut sebanyak 22 pasien dan 21 pasien, sedangkan

pusing terbanyak pada rentang usia 36-45 tahun yaitu sebanyak 18 pasien dan

ketiga keluhan utama terbanyak ini terendah pada rentang usia yang sama yaitu <5

tahun berturut-turut sebanyak 2 pasien, 1 pasien, dan 0 pasien, dikarenakan pada

46

Page 47: Rino Sinusitis

usia tersebut jumlah kasusnya memang sedikit. Untuk distribusi rentang usia dan

keluhan utama lainnya dapat dilihat pada tabel 4.5.2. dan grafik 4.5.2. di atas.

Suatu laporan dari delapan negara Asia-Pasifik yang dilaporkan dalam

Journal of Allergy and Clinical Immunology (2003) menunjukan bahwa

rinosinusitis mengganggu kualitas hidup, seperti gejala hidung tersumbat, pilek,

tenggorokan gatal, wajah terasa bengkak, penciuman dan pendengaran menjadi

terganggu. Dampak rinosinusitis terhadap kualitas hidup pun tidak dapat

diabaikan, hal ini ditunjukkan pula dari laporan tersebut, seperti keterbatasan

dalam berekreasi atau berolahraga 52,7%, aktivitas fisik 44,1%, pemilihan karier

37,9%, aktivitas sosial 38%, cara hidup 37,1% dan pekerjaan rumah tangga

32,6%. Absen dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami

oleh 36,5% anak dan 26,5% orang dewasa.

4.6. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan faktor predisposisi

Tabel 4.6.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan faktor predisposisi

No Faktor Predisposisi Frequency Percent (%)1 A 33 27.502 B 14 11.663 C 6 5.00

4 D 18 15.005 E 7 5.836 F 2 1.667 G 2 1.668 H 2 1.669 I 10 8.3310 J 5 4.1611 K 2 1.6612 L 1 0.8313 M 1 0.8314 N 7 5.83

47

Page 48: Rino Sinusitis

15 O 30 25.00

16 Total 120 100.00Sumber: Rekam Medik RSUD Mataram

Gambar 4.6.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan faktor predisposisi

0

5

10

15

20

25

30

35

A B C D E F G H I J K L M N O

Frecuency faktorpredisposisi

Tabel 4.6.2. Distribusi rentang usia dan faktor predisposisi pasien rinosinusitis kronis

No Rentang usia

Faktor predisposisi pasienA B C D E F G H I J K L M N O

1 <5 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 13 6-15 2 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 33 16-25 8 3 2 1 2 0 0 1 2 2 0 0 0 1 134 26-35 7 3 1 8 1 1 1 0 4 1 1 1 0 0 45 36-45 7 5 0 2 2 0 1 1 1 1 1 0 1 4 46 >46 9 3 2 6 2 0 0 0 1 1 0 0 0 1 57 Total 33 14 6 18 7 2 2 2 10 5 2 1 1 0 30

48

Page 49: Rino Sinusitis

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Jumlah Pasien

< 5 th 6 - 15 th 16 - 25 th 26 - 35 th 36 - 45 th > 46 th

Rentang Usia

Gambar 4.6.2. Distribusi rentang usia dan faktor predisposisi pasien rinosinusitis kronis

A B C D E F G H I J K L M N O

Keterangan:

A = polip I = hipertropi konka

B = rinitis alergi J = deviasi septum

C = rinitis akut K = ca nasofaring

D = rinitis kronis L = tumor septum nasi

E = faringitis kronis M = trauma

F = tonsillitis kronis N = kelainan geligi

G = OMSK O = belum diketahui

H = tinitus

Pada tabel dan gambar 4.6.2. terlihat faktor predisposisi terbanyak adalah

polip sebanyak 33 (27,5%) pasien, diikuti dengan belum diketahuinya faktor

predisposisi penyakit pasien sebanyak 30 (25%), kemudian rinitis kronis sebanyak

18 (15%) pasien dan rinitis alergi sebanyak 14 (11,66%) pasien. Dan faktor

predisposisi terendah adalah tumor septum nasi dan trauma masing-masing

sebanyak 1 (0,83%) pasien.

49

Page 50: Rino Sinusitis

Polip merupakan faktor predisposisi terbesar dari sekian banyak faktor

pencetus rinosinusitis kronis yang ada pada data yang telah diteliti, ini

dikarenakan sebagian besar pasiennya mengalami sumbatan hidung yang

berlangsung terus-menerus. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun

perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut, ini terbukti didapatkannya

polip dalam semua rentang usia kecuali pasien <5 tahun. Polip dapat timbul pada

hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang

mengakibatkan rinosinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis

yang disebabkan oleh hidung dan sinus. Secara makroskopik polip merupakan

massa lunak yang tumbuh didalam rongga hidung dengan permukaan licin,

berbentuk bulat atau lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, dapat tunggal atau

multiple dan bilateral serta tidak sensitif, bila ditekan atau ditusuk tidak terasa

sakit. Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah ke

polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah

menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat

menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat (Lee dan

Larsen, 1997).

Begitu juga dengan faktor predisposisi rinitis kronis dan rinitis alergi yang

cukup banyak kasusnya, dimana yang termasuk dalam rinitis kronis ini antara lain

rinitis hipertropi, rinitis sika dan rinitis spesifik. Meskipun penyebabnya bukan

radang, kadang-kadang rinitis alergi dimasukkan juga dalam rinitis kronis. Aliran

udara hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada

rinitis alergi. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada

50

Page 51: Rino Sinusitis

orang dewasa, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, baik yang

didapatkan dari dalam rumah maupun diluar rumah seperti debu rumah, bulu

binatang, kain yang terlalu sering dipakai serta polen dan jamur, dan juga alergen

ingestan yang sering merupakan penyebab pada anak-anak yang masuk ke saluran

cerna berupa makanan seperti susu, telur, coklat ikan, udang. Seorang perokok

mungkin alergi terhadap tembakau serta juga mengalami iritasi kimia oleh asap

rokok.

Selain itu, banyaknya pasien yang belum diketahui faktor predisposisinya

secara jelas dengan jumlah kasus sebanyak 30 pasien ini dikarenakan pada pasien

tersebut belum dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai anamnesis lanjutan,

seperti pemeriksaan radiologik berupa posisi waters, PA dan bilateral, begitu juga

dengan pemeriksaan mikrobiologiknya yang dilakukan di laboratorium, ini

kemungkinan karena pertimbangan biaya, atau mungkin juga pada saat dilakukan

anamnesis, riwayat pasien tidak ditanyakan secara lengkap sehingga sedikit

informasi yang di dapatkan, padahal ini merupakan hal yang paling penting dalam

membantu menentukan faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau memperhebat

gambaran klinis dari penyakit rinosinusitis kronis tersebut.

51

Page 52: Rino Sinusitis

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa angka

kejadian rinosinusitis kronis di poli THT RSUD Mataram periode 1 Janurai – 31

Desember 2007 adalah 120 kasus (49,79%) dari 241 kasus rinosinusitis dan profil

pasien rinosinusitis kronis yang berkunjung ke poli THT tersebut antara lain

sebagai berikut:

1. Pada profil rinosinusitis kronis berdasarkan rentang usia, kasus tertinggi pada

kelompok usia 16-25 tahun dan kelompok usia 36-45 tahun yang memiliki

jumlah pasien yang sama yaitu sebanyak 28 (23,33%) pasien terendah pada

kelompok usia <5 tahun sebanyak 3 (2,5%) pasien.

2. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin, terbanyak ditemukan

pada kelompok laki-laki sebesar 63 (52,5%) pasien sedangkan pada wanita

sebanyak 57 (47,5%) pasien dengan perbandingan kasus ♂ : ♀ = 1,1 : 1. Dan

bila dihubungkan antara rentang usia dan jenis kelamin didapat laki-laki

terbanyak pada rentang usia >46 tahun sebanyak 20 pasien dan wanita lebih

banyak dijumpai pada rentang usia 16-45 tahun.

3. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, terbanyak

didapatkan pada kelompok SMA yaitu sebanyak 51 (42,5%) pasien dan

paling sedikit pada kelompok TK sebanyak 3 (2,5%) pasien. Bila

52

Page 53: Rino Sinusitis

dihubungkan antara rentang usia dan tingkat pendidikan didapat SMA

terbanyak pada rentang usia 16-25 tahun yaitu sebanyak 22 pasien.

4. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan jenis pekerjaan, terbanyak dari

kelompok belum/tidak bekerja dan swasta masing-masing sebanyak 32

(26,66%) pasien dan terendah adalah kelompok pelajar sebanyak 15 (12,5%)

pasien. Dan bila dihubungkan antara rentang usia dan jenis pekerjaan maka

didapat kelompok belum/tidak bekerja memiliki kasus tertinggi pada rentang

usia 26-35 tahun sebanyak 13 pasien, sedangkan kelompok swasta memiliki

kasus tertinggi pada rentang usia 36-45 tahun sebanyak 11 pasien.

5. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama, terbanyak di

karenakan oleh pilek yaitu 85 (70,83%) pasien, disusul dengan hidung

tersumbat 77 (64,16%) pasien dan pusing 60 (50%) pasien dan terkecil

dengan keluhan sulit buang ingus sebanyak 1 (0,83%) pasien. Bila

dihubungkan antara rentang usia dan keluhan utama didapat pilek dan hidung

tersumbat ditemukan terbanyak pada rentang usia 16-25 tahun berturut-turut

sebanyak 22 pasien dan 21 pasien, sedangkan pusing terbanyak pada rentang

usia 36-45 tahun sebanyak 18 pasien dan ketiga keluhan utama terbanyak ini

terendah pada rentang usia yang sama yaitu <5 tahun berturut-turut sebanyak

2 pasien, 1 pasien, dan 0 pasien.

6. Kasus berdasarkan faktor predisposisi, terbanyak adalah polip yaitu 33

(27,5%) pasien dan terkecil adalah tumor septum nasi dan trauma masing-

masing sebanyak 1 (0,83%) pasien. Polip didapatkan dalam semua usia

kecuali <5 tahun.

53

Page 54: Rino Sinusitis

5.2. Saran

1. Diperlukan penelitian lanjutan agar hasilnya lebih maksimal sehingga

didapatkan gambaran yang lebih luas tentang profil rinosinusitis, khususnya

rinosinusitis kronis.

2. Setiap pasien rinosinusitis yang berkunjung ke poli THT RSUD Mataram

sedapat mungkin untuk dilakukan pencatatan data rekam medik selengkap-

lengkapnya untuk memudahkan dilakukannya penelitian selanjutnya.

54

Page 55: Rino Sinusitis

DAFTAR PUSTAKA

Cody, D.T.R,. Taylor. (1991), Pemeriksaan Hidung dan Sinus-Sinus, Penyakit

Telinga Hidung dan Tenggorokan (Diseases of the ears, nose, and throath),

alih bahasa oleh Samsudin, Sonny, EGC, Jakarta.

(1991), Sinusitis, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan (Diseases

of the ears, nose, and throath), alih bahasa oleh Samsudin, Sonny, EGC,

Jakarta.

Depkes RI. (2006), Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia,_hlm /52,

HTA Indonesia, Available from: http://www. yanmedik depkes. net/hta/

Hasil% 20Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20Endoscopic%20 Sinus%

20Surgery% 20di% 20Indonesia. doc. (Accessed: 2008, September 17).

Dorland, W.A. Newman. (2002), Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, alih

bahasa oleh Setiawan, Andy dkk dalam Kamus Kedokteran DORLAND,

EGC, Jakarta.

Falagas ME dkk. (2007), Sex differences in the incidence and severity of

respiratory tract infections, Respiratory medicine, 10 (9): 1845-63.

Hazenfield, Hugh N., M.D., F.A.C.S., (2009), Endoscopic Sinus Surgery by the

American Board of Otolaryngology, Available from:

www.dochazenfield.com/sinus_surgery.htm (Accesed: 2009, April 3).

Harowi, M. Roikhan. (2007), Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronis

Pasca Terapi Bedah, Thesis Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu

Kedokteran Klinis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Available from:

http://puspasca.ugm.ac.id/files/Abst_(2781-H-2007).pdf. (Accessed: 2008,

July 31).

55

Page 56: Rino Sinusitis

Hilger, Peter. A. (1997), Anatomi dan Fisiologi Terapan Hidung dan Sinus

Paranasalis, Buku Ajar Penyakit THT, BOIES, alih bahasa oleh Wijaya,

Caroline, edisi 6, EGC, Jakarta.

(1997), Penyakit Sinus Paranasalis, Buku Ajar Penyakit THT, BOIES,

alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC,

Jakarta.

Kapita Selekta Kedokteran. (2002), Sinusitis Kronis, Ilmu penyakit Telinga

Hidung dan Tenggorok, edisi ketiga, Media Aesculapius, Fakultas

Kedokteran UI, Jakarta.

Kennedy, DW. (1995), International Conference On Sinus Disease, Terminology,

Staging, Therapy, Ann Otol Rhinol Laryngol; (Suppl. 167):7-30, dalam

HTA Indonesia 2006 Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia

hlm /52; 104, Available from: http://www. yanmedik depkes. net/hta/ Hasil

% 20Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20Endoscopic%20 Sinus%

20Surgery% 20di% 20Indonesia. doc. (Accessed: 2008, September 17).

Mangunkusumo, Endang dan Rifki, Nusjirwan. (2003). Sinusitis, Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima, FKUI.

Jakarta.

Mangunkusumo, Endang. (1999), Sinusitis, dalam Kumpulan Makalah

Simposium Sinusitis, Jakarta, Available from: http:// www. kalbe. co.

id/files/cdk/files/ cdk_155_THT. pdf. (Accessed: 2008, September 17).

Munir, Delfitri dan Kurnia, Beny. (2007), Pola Kuman Aerob Penyebab Sinusitis

Maksila Kronis, Cermin Dunia Kedokteran, No. 155, Poliklinik THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum

Pusat H. Adam Malik Medan, Sumatera Utara, Indonesia, Available from:

http:// www. kalbe. co.id/ files/ cdk/ files/ cdk_155_THT. pdf. (Accessed:

2008, July 31).

56

Page 57: Rino Sinusitis

Nizar, Nuty W. dan Mangunkusumo, Endang. (2003). Polip Hidung, Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima,

FKUI. Jakarta.

Pawankar R., (2000), Nasal Polyposis: A Multifactorial Disease. In: Proceeding

of World Allergy Forum Symposia: Non Allergic Rhinitis and Polyposis.

Sydney Australia: Oct. 17, Available from: http://www.yanmedik-

depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic

%20Sinus%20Surgery % 20di%20Indonesia.doc. (Accessed: 2008,

September 17).

Piccirillo. (2004), Faktor-Faktor Prognosis Kesembuhan Rinosinusitis Kronis

Yang Dengan Terapi Medikamentosa, Available from: http://www.google.

com/search?q= cache: l5m__5v9 WEJ: puspasca.ugm. ac.id/ files(1021-

H2004). pdf+rhinosinusitis&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id&client=firefox-a

(Acessed: 2008, July 31).

PIT, PERHATI. (2001), Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis, dipresentasikan di

Palembang, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil%

20 Kajian%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic%20Sinus%20Surgery

% 20di%20Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17).

Purnaman dan Rifki, Nusyirwan. (1990), Sinusitis, dalam Nurbaiti Iskandar,

Efiaty AS, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung Tenggorok, edisi

pertama, FKUI, Jakarta, Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/

files/cdk_155_THT.pdf. (Accessed: 2008, September 17).

Roos, K. (1999), The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis, In Rhinosinusitis:

Current Issues in Diagnosis and Management. Lund V. Corey J (Eds). The

Royal Society of Medicine Press Limited, London, UK, Round Table Series

67: 3-9, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil% 20

57

Page 58: Rino Sinusitis

Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20 Endoscopic% 20 Sinus% 20

Surgery % 20 di % 20Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17).

Ryan, Matthew. (2006), Management of Chronic Rhinosinusistis. Grand Rounds

Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology.

Samsudin, Sony. (1991), Sinusitis, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan,

EGC, Jakarta.

Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. (1995), Dasar-Dasar Metodologi Penelitian

Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta.

Stammberger, H. dan Jareoncharsri. (1997), Examination and Endoscopy of The

Nose and Paranasal Sinuses. In: Mygind N, Lildholdt T. Nasal Polyposis:

An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard;

120-36, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20

Kajian%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic%20Sinus% 20 Surgery%

0 di %20 Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17).

Taufik, M., Kusno., dan Suprihati. (1986), Faktor Alergi Pada Sinusitis Kronis.

Lab/UPF THT/FK UNDIP, RS Kariadi Semarang Dalam Kumpulan Naskah

Ilmiah Konas VIII Perhati Ujung Pandang, 927-31.

USU digital library. (2003), Profil Sinusitis Maksila Kronis di Poliklinik THT

RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2000 – Februari 2001.

(Accessed: 2009, January 10).

Wiadyana, I.G.P. et al. (1998), Pedoman Upaya kesehatan Telinga dan

Pencegahan Gangguan pendengaran untuk Puskesmas, Departemen

Kesehatan RI, Jakarta.

Yuniandri, Tiara Paraswati. (2007), Sinusitis, November, Friday 30 [04:48:53

UTC] - last modification, FK Universitas Islam Indonesia. (Accessed: 2008,

July 31).

58