PELAJARAN SEJARAH ISLAMISASI MELALUI METODE …/Pelajaran... · selaku atasan saya.Dan segenap...
Transcript of PELAJARAN SEJARAH ISLAMISASI MELALUI METODE …/Pelajaran... · selaku atasan saya.Dan segenap...
PELAJARAN SEJARAH ISLAMISASI MELALUI METODE
RESITASI DENGAN OBJEK “MENARA KUDUS”
(Studi Kasus di SMA NU Al Ma’ruf Kudus)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat
Magister
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh :
Gufron
S860208006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
ii
PELAJARAN SEJARAH ISLAMISASI MELALUI METODE
RESITASI DENGAN OBJEK “MENARA KUDUS”
(Studi Kasus di SMA NU Al Ma’ruf Kudus)
Disusun oleh :
Gufron
S 860208006
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing :
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. Warto, M.Hum .................... ............. NIP. 131633898
Pembimbing II Prof. Dr. Siswandari, M.Stats. .................... ............. NIP:131476622
Mengetahui
Ketua Program Pendidikan Sejarah
Dr. Warto, M. Hum NIP. 131633898
iii
PELAJARAN SEJARAH ISLAMISASI MELALUI METODE
RESITASI DENGAN OBJEK “MENARA KUDUS”
(Studi Kasus di SMA NU Al Ma’ruf Kudus)
Disusun oleh :
Gufron
S 860208006
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua : Prof. HB. Sutopo, M.Sc, M.Sc, Ph.D .................... ............. NIP:130444310
Sekretris : Dr.Suyatno Kartodirjo. .................. ............. NIP: 130324012 Anggota Penguji :
1. Dr. Warto, M. Hum .................... ............. NIP:131633898 2. Prof.Dr.Siswandari,M.Stat .................... ............. NIP: 131476622
Mengetahui Ketua
Direktur PPS UNS Program Studi Pendidikan Sejarah
Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D Dr. Warto, M. Hum NIP:131472192 NIP:131633898
iv
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama : Gufron
NIM : S 860208026
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa Tesis yang berjudul Pembelajaran
Sejarah Islamisasi Melalui Metode Resitasi Dengan Objek “Menara Kudus”
(Studi Kasus di SMA NU Al Ma’ruf Kudus) adalah benar-benar karya saya
sendiri.
Hal-hal yang bukan hasil karya saya sendiri dalam tesis ini diberi tanda citasi
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti peryataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang
saya peroleh dari tesis tersebut.
Kudus, Mei 2009
Yang membuat pernyataan
Gufron
v
MOTTO
“Mempertahankan tradisi dan budaya berarti menghormati karya leluhur dan
mempertahankan jatidiri bangsa.” (anonim)
“Sejarah adalah ilmu tentang waktu dan kehidupan manusia. Waktu mencakup
masa lampau, masa kini, dan masa depan, yang dijadikan pijkan manusia dalam
menjalani kehidupan. Manusia Sejarah akan tetap ada selama pembuat sejarah
masih ada di dunia, yaitu manusia” (Shodiq Mustofa, 2006 : 1).
vi
PERSEMBAHAN
Karya Tesis ini dipersembahkan kepada :
1. Orang tua ku tercinta yang telah mengukir jiwa dan ragaku
2. Istri ku tersayang, Sri Indarti yang penuh setia memberikan
motivasi dan membangkitkan semangat dalam studiku.
3. Alvin dan Romy yang menjadi pelita hatiku.
4. Keluarga besar UPT Pendidikan Kecamatan Dawe Kudus
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih yang telah melimpahkan
berkat, rahmat dan karunia– Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
tesis ini.
Dalam penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan semua pihak sehingga bisa selesai tepat waktu. Untuk itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. HM. Syamsulhadi, Sp.Kj, Rektor Univesitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D Direktur Program Pascasarjana Univesitas
Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. Warto, M. Hum., Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Program
Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret Surakarta; selaku pembimbing satu.
4. Dra. Sutiyah M. Pd., M. Hum., selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan
Sejarah Program Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Dr. Suyatno Kartodirdjo, selaku Penasehat Program Studi Pendidikan
Sejarah Program Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Prof. Dr. Siswandari, M.Stats, selaku pembimbing kedua dalam penyusunan
Tesis.
7. Para dosen pengampu mata kuliah pada Program Studi Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Drs. Slamet Hariyadi, MM, Kepala UPT Pendidikan Kecamatan Dawe
selaku atasan saya.Dan segenap teman kerja kantor.
viii
9. Drs. HM Munawar Cholil selaku Kepala Sekolah dan segenap guru,
khususnya guru sejarah di SMA NU Al Ma’ruf Kudus.
10. Ketua dan pengurus YM3SK (Yayasan Masjid, Menara dan Makam Sunan
Kudus) yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
11. Kedua orang tuaku yang telah membesarkanku dengan penuh kasih
sayang,dan kedua mertuaku yang selalu mendukungku.
12. Anak–anakku dan istri tercinta yang telah banyak membantu serta memberi
motivasi sampai selesainya penyusunan tesis ini.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.
Atas semua bantuan, dorongan, bimbingan dan kritikan, saya
mengucapkan terima kasih, semoga Allah Yang Maha Kuasa memberi limpahan
rahmat dan karuniaNYA.
Kudus, Mei 2009
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………...... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING.………………….. ii
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PENGUJI......…………………….. iii
SURAT PERNYATAAN ........………………………………………...... iv
MOTTO .. ..…………………………………………………………….... v
PERSEMBAHAN........................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....………………………………………………... vii
DAFTAR ISI ....…………………………………………………………. ix
DAFTAR LAMPIRAN .………………………………………………….. xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xii
ABSTRAK …………………………………………………………….... xiii
ABSTRACT ..…………………………………………………………..... xiv
BAB I : PENDAHULUAN ………………………………………….... 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………..................... 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………… 8
C. Tujuan Penelitian …………………………………........... 8
D. Manfaat Penelitian ……………......…………………........ 9
BAB II : KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ………………… 11
A. Kajian Teori ..……………………………………........... 11
1. Pembelajaran Sejarah ......………………..................... 11
2. Islamisasi di Indonesia .………………......................... 19
x
3. Metode Pemberian Tugas atau Resitsi ……………........... 34
4. Menara Kudus .............................................................. 47
B. Penelitian yang Relevan ...…………………………….... 52
C. Kerangka Pikir ..………………………………………... 53
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ...………………………….... 56
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ..……………………........... 56
B. Bentuk dan Strategi Penelitian .....………………….......... 57
C. Sumber Data …………………...………………............. 60
D. Teknik Cuplikan (Sampling) …………………………... 62
E. Teknik Pengumpulan Data .....……………………........... 64
F. Validitas atau Keabsahan Data ..…………………….......... 68
G. Analisis Data .......…………………………….................. 70
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................... 73
A. Deskripsi Latar .................................................................. 73
B. Sajian Data ........................................................................ 87
C. Pokok-Pokok Temuan ................................................... 124
D. Pembahasan ...................................................................... 130
BAB V : SIMPULAN,IMPLIKASI DAN SARAN................................... 138
A. Simpulan .......................................................................... 138
D. Implikasi Hasil Penelitian .................................................. 140
E. Saran-saran ....................................................................... 143
Daftar Pustaka ............................................................................................ 145
LAMPIRAN – LAMPIRAN ....................................................................... 150
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Daftar Nama Informan Penelitian....................................... 150
Lampiran 2 : Catatan Lapangan Hasil Wawancara.................................. 151
Lampiran 3 : Catatan Hasil Observasi...................................................... 201
Lampiran 4 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran................................... 202
Lampiran 5 : Profil dan Peta Kudus......................................................... 211
Lampiran 6 : Profil SMA NU Al Ma’ruf Kudus..................................... 213
Lampiran 7 : Photo Dokumen Penelitian................................................. 215
Lampiran 8 : Ijin Penelitian...................................................................... 219
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Bagan Kerangka Pikir ..................................................... 55
Gambar 2 : Skema Trianggulasi Data.................................................... 69
Gambar 3 : Kema Trianggulasi Metode ................................................ 69
Cambar 4 : Model analisis Interaktif....................................................... 71
xiii
ABSTRAK
Gufron, S860208006, 2009. Pembelajaran Sejarah Islamisasi Melalui Metode Resitasi dengan objek “Menara Kudus” (Studi Kasus di SMA NU Al – Ma’ruf Kudus. Tesis. Program Studi Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Untuk mengetahui pemahaman guru terhadap Menara Kudus kaitannya dengan proses Islamisasi, (2) Untuk mengetahui pelaksanaan metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi di Menara Kudus, (3) Untuk mengetahui kendala yang muncul dalam penggunaan metode resitasi Penelitian ini dilakukan di SMA NU Al – Ma’ruf Kudus dengan bentuk deskriptif kualitatif. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam, observasi dan analisis dokumen. Teknik pengambilan sample yang digunakan adalah (cuplikan sampling) purposive sampling. Guna memperoleh validitas data digunakan triangulasi data/sumber dan triangulasi metode. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisa interaktif dengan komponen utama, reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : Pertama, guru sejarah SMA NU Al-Ma’ruf Kudus telah memahami Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah di Indonesia dengan mengemukakan alasan pemanfaatan, kriteria dan persyatan, prosedur dan langkah-langkah pelaksanaan serta administrasi pembelajaran yang disiapkan yang meliputi : silabus, SK, KD, RPP, Indikator, instrumen penugasan, evaluasi dan Analisis Mata Pelajaran (AMP) serta memahami visi dan misi sekolah. Kedua, implementasi metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi dengan objek Menara Kudus dilaksanakan secara bertahap mulai dari persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut. Ketiga, kendala yang muncul dalam penggunaan metode resitasi adalah kendala teknis maupun non teknis, kendala intern maupun kendala ekstern. Upaya pemecahan dari berbagai kendala yang dihadapi dalam penggunaan metode resitasi baik teknis maupun non teknis, intern maupun ekstern dapat dilakukan dengan jalan membina kerjasama dengan komponen-komponen yang terkait seperti guru, siswa, kepala sekolah, orang tua/ wali murid, komite sekolah, dan YM3SK untuk mencarikan solusi pemecahan / follow up berbagai permasalahan yang muncul dalam penggunaan metode resitasi pada pembelajaran sejarah Islamisasi dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah dapat terwujud sehingga tujuan untuk meningkatkan kualitas dan mutu pembelajaran sejarah dapat tercapai sesuai yang diharapkan.
xiv
ABSTRACT
Gufron, S860208006, 2009. Islamization History Learning Through
Recitation Method With The Objek “Menara Kudus” (Case Study in SMA NU Al – Ma’ruf Kudus). Thesis. History Education Department, Post Graduated program, Sebelas Maret University, Surakarta.
The aim of this research are to describe : (1) how deep the teacher
comprehension toward The Menara Kudus dealing with Islamization process, (2) recitation method applies of Islamization history in The Menara Kudus, (3) the difficulties in the learning process by using recitation method.
The location of this research is SMA NU Al – Ma’ruf Kudus and used descriptive qualitative research. The data were obtained through in – depth interview, observation, and content analysis. They were then analyzed by way of three interactive phases, namely : data reduction, data display and conclusion drawing. The sampling technical used in this research is purposive sampling. To get the data validity, this research used data triangulation and methodological triangulation. The technique of analysis applied in this research in interactive.
The result of this research shows that : (1) First, Holy history SMA NU
Al-Ma'Ruf teacher have comprehended Holy Tower as history study source in Indonesia proposedly reason of exploiting, and persyatan criterion, execution stages;steps and procedure and also the study administration prepared covering : syllabus, SK, KD, RPP, Indicator, assignation instrument, evaluate and Analyse Subject ( AMP) and also comprehend school mission and vision. (2) Second, method resitasi implementation in history Islamisasi study with executed Holy Tower object step by step start from preparation, execution, evaluate and follow-up. (3) Third, constraint which emerge in method resitasi use technical constraint and also non technical, constraint intern and also constraint ekstern. Strive resolving from various constraint faced in technical good method resitasi use and also non technical, intern and also ekstern can be [done/conducted] by way of constructing cooperation with related/relevant component like teacher, student, headmaster, parent/ pupil sponsor, school committee, and YM3SK to look for resolving solution / follow up various problems which emerge in method resitasi use at history Islamisasi study exploitedly Holy Tower as history source can be existed so that the target to increase the quality and quality of history study can be reached as expected.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, baik secara pribadi maupun sebagai modal dasar
pembangunan bangsa. Dalam proses belajar mengajar, guru tidak hanya
menyampaikan materi pelajaran tetapi berupaya untuk menyajikan materi
dengan menyenangkan serta mudah dipahami oleh siswa. Apabila guru tidak
dapat menyampaikan materi dengan tepat dan menarik dapat menimbulkan
kejenuhan serta berkurangnya minat, motivasi dan gairah dalam belajar
sehingga berdampak pada ketidaktuntasan dalam belajar.
Berkaitan dengan masalah pembelajaran sejarah, guru sejarah dapat
menjadi faktor penyebab kurang antusias siswa terhadap mata pelajaran
sejarah apabila guru dalam penyajiannya kurang menarik. Kebanyakan guru
sejarah ketika mengajar hanya bersifat verbalisme karena hanya memberikan
cerita yang diulang-ulang dan membosankan.
Diungkapkan oleh Geoffrey Partington (dalam Widja 1989 : 03)
bahwa praktik-praktik pengajaran yang berlaku selama ini sering dicap
sebagai pelajaran hafalan yang didominasi oleh situasi ''too much chalk and
talk and by a lack of involvement of children in their own learning”. Hal ini
berdampak pada kurangnya pemahaman siswa terhadap materi yang 1
xvi
disampaikan sehingga hasil belajarnya kurang maksimal.
Atmadinata dalam Isjoni dan Arif Ismail (2008 : 148) menyatakan,
pembelajaran sejarah kurang menarik dan membosankan, karena guru–guru
sejarah hanya membeberkan fakta–fakta kering berupa urutan tahun dan
peristiwa belaka, model serta teknik pembelajarannya tidak berubah. Dalam
buku yang sama Dynneson & Gross menyatakan, mata pelajaran sejarah
merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat merangsang pemikiran dan
mengembangkan kognitif serta mempengaruhi tingkah laku siswa, namun
metodologi dan gaya pengajaran yang kurang kondusif tidak membangkitkan
motivasi siswa. Keadaan yang kurang kondusif ini disebabkan oleh masih
banyaknya guru belum memiliki kemampuan dan ketrampilan yang memadai
dalam memilih serta menggunakan berbagai model pembelajaran yang mampu
mengembangkan iklim pembelajaran yang kondusif untuk belajar, dan tetap
menggunakan model pembelajaran konvensional (Osnardi dalam Isjoni dan
Arif Ismail, 2008 : 149).
Realitas yang terjadi dalam proses pembelajaran sejarah ternyata
masih terdapat masalah yang timbul karena guru sejarah kurang optimal dalam
memanfaatkan maupun memberdayakan sumber pembelajaran. Kegiatan
pembelajaran sejarah di sekolahan cenderung masih berpusat pada guru
(teacher centered), textbook oriented, dan monomedia. Oleh karena itu tidak
dapat disalahkan apabila banyak siswa menganggap proses pembelajaran
sejarah sebagai sesuatu yang membosankan, monoton, kurang menyenangkan,
terlalu banyak hafalan, kurang variatif, dan berbagai keluhan lainnya sehingga
xvii
kreativitas siswa tidak muncul. Hal tersebut sepaham dengan apa yang
diutarakan guru sejarah SMA NU AL Ma’ruf Kudus, sebagian besar siswa
beranggapan bahwa pelajaran sejarah adalah pelajaran yang membosankan
dan cenderung bersifat hafalan. Sebagian dari mereka mengalami kejenuhan
dalam proses pembelajaran di kelas. Banyak siswa yang takut untuk bertanya
tentang sesuatu yang belum dimengerti serta mengemukakan pendapat atau
gagasan. Banyak dari mereka yang memilih duduk diam, mencatat, dan
mendengarkan pada saat pembelajaran berlangsung, sehingga proses
pembelajaran terkesan membosankan.
Penyempurnaan kurikulum pengajaran sejarah harus menempatkan
sejarah lokal sebagai materi ajar. Pengembangan kurikulum dilakukan untuk
mewujudkan peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat siswa. Sejarah lokal
memiliki arti khusus, yaitu sejarah dengan ruang lingkup spasial di bawah
sejarah nasional. Sejarah lokal barulah ada setelah adanya kesadaran sejarah
nasional (Abdullah, 2004 : 3). Hal ini untuk membangkitkan kesadaran sejarah
nasional serta menghindarkan siswa tidak tahu atau tidak mengenal nilai
sejarah yang ada di sekitarnya.
Materi sejarah lokal yang paling dekat dengan kondisi psikologis siswa adalah sejarah kontemporer. Kedudukan sejarah lokal kontemporer sangat urgen dalam pengajaran sejarah. Dengan materi sejarah lokal kontemporer, diharapkan ada kesinambungan dalam menyemangati siswa agar dapat merasa bahwa diri dan lingkungannya merupakan bagian dari kehidupan yang lebih jelas yakni NKRI. (http://jtiriialsejarah/ malang2OOla.litiiil)
Guru sejarah harus dapat mengembangkan materi ajar sejarahnya.
xviii
Guru perlu memahami dan mengembangkan serta menerapkan metode atau
strategi yang tepat dalam pelajaran sejarah dengan memperhatikan kelebihan
dan kekurangan suatu metode pembelajaran. Selain itu dalam
mengembangkan materi ajar sejarah, selain materi yang umum terdapat dalam
silabus, para guru dapat mengembangkan sesuai dengan nuansa lokal.
Tujuannya agar siswa dapat belajar secara mandiri dan mampu meningkatkan
motivasi dalam belajar sejarah yang didasarkan pada situasi dunia nyata dan
mendorong siswa menghubungkan antara pengetahuan yang dimiliki dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan pada akhirnya hasil belajarnya
meningkat.
Dari kenyataan itu, dapat dikatakan bahwa kualitas pembelajaran
sejarah perlu dimaksimalkan, utamanya dalam upaya pemahaman nilai-nilai
sejarah lokal dengan pemanfaatan monumen peringatan. Untuk itu diperlukan
model atau strategi yang tepat dalam pembelajaran di kelas agar pembelajaran
menjadi lebih efektif.
Melalui pembelajaran yang aktif, para siswa mengembangkan
pemahaman yang lebih baik tentang prinsip-prinsip yang diajarkan dan
bagaimana menerapkan prinsip-prinsip tersebut kedalam masalah yang
sesungguhnya. Ketrampilan yang tinggi pun dapat dicapai misalnya, analisis,
evaluasi, sintesis, dan pemecahan masalah. Siswa belajar menjadi kreatif
karena mereka juga dapat memperluas serta menjelaskan pandangannya
mengenai cara-cara untuk mencapai tujuan pembelajaran khusus.
KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk
xix
mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. Mulyasa dalam
Isjoni dan Arif Ismail (2008 : 145) menyatakan, KTSP merupakan paradigma
baru pengembangan kurikulum yang memberikan otonomi luas pada setiap
satuan pendidikan dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan
proses belajar mengajar di sekolah. Kurikulum jenis ini lebih difokuskan
karena selama ini kurikulum ditentukan pemerintah, maka sekarang lebih
difokuskan kepada Kepala Sekolah dan tentunya muara dari kebijakan ini
adalah pelaksanaan kurikulum menjadi tanggung jawab guru didalam proses
pembelajaran. Dalam rangka mengimplementasikan berlakunya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), seorang guru khususnya guru sejarah
perlu mengantisipasinya dengan menerapkan model-model pembelajaran yang
tepat dan memberi keefektivitasan kepada siswa. Salah satu model yang dapat
diterapkan dan berkaitan dengan upaya pemanfaatan nilai-nilai sejarah lokal
adalah model pembelajaran kontekstual atau CTL (Contextual Teaching and
Learning). Pembelajaran CTL merupakan konsep pembelajaran yang
menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia
kehidupan nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan
kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran
kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada siswa,
dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru
bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hafalan, tetapi
mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa
belajar (http: //pakguruonline. pendidikan.net).
xx
Kegiatan siswa dalam pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa
melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang
lain. Situasi belajar dibuat menyenangkan dan tidak membosankan sehingga
siswa belajar dengan gairah dan minat yang tinggi. Untuk mata pelajaran
sejarah, model pembelajaran kontekstual sangat mendukung dengan
pemanfaatan monumen peringatan yang ada di lingkungan sekitar siswa.
Pelajaran sejarah hendaknya dimulai dari fakta-fakta sejarah yang
dekat dengan lingkungan tempat tinggal siswa, baru kemudian pada fakta-
fakta yang jauh dari tempat tinggalnya. Dalam satu pembelajaran di dalamnya
dapat terintegrasi dengan materi yang lain. Sebagai bahan acuan belajar, dapat
dipergunakan berbagai sumber sejarah lokal yang ada di lingkungan
sekitarnya, sehingga siswa aktif mencari sumber yang diperlukan. Di sini,
siswa terlatih berdiskusi dengan teman dan terlatih menjalin komunikasi
dengan orang lain atau masyarakat sekitar sedangkan guru lebih berperan
sebagai fasilitator.
Metode pengajaran apa pun juga yang dipakai menjadi prinsip dalam
setiap pembelajaran bahwa siswa harus aktif. Kegiatan pengajaran yang dinilai
baik ialah melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar, di mana siswa
perlu diberi kesempatan dan kemudahan untuk menemukan sendiri
pengetahuannya (Moedjanto, 1989 : 15)
Agar siswa dapat lebih aktif dalam menggali dan menganalisis
peristiwa sejarah, maka guru hendaknya cermat dalam memilih dan
menggunakan metode mengajar terutama metode mengajar yang mempunyai
kadar interaktif cukup tinggi. Salah satu alternatif yang bisa diambil adalah
xxi
melalui metode resitasi, yaitu guru memberikan sejumlah tugas kepada siswa
untuk mempelajari sesuatu kemudian siswa harus dapat
mempertanggungjawabkannya.
Atas dasar pemikiran itu di sekolah sudah sewajarnya apabila
dikenalkan metode penelitian historis secara sederhana, agar menemukan
sendiri suatu fakta sejarah. Sudah pasti hal ini membuat mereka menjadi
tertarik dengan sejarah. Para siswa perlu untuk diberi penjelasan tentang
langkah-langkah dalam penelitian sejarah. Seperti : merumuskan masalah,
mengumpulkan sumber-sumber informasi, mengkaji keabsahan sumber
informasi, menyusun hipotesis yang menjelaskan peristiwa atau simulasi yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, menyimpulkan serta
mentafsirkan hasil penelitian
Guru SMA NU Al Ma’ruf Kudus menyadari akan berbagai
permasalahan yang menyebabkan rendahnya prestasi akademik dan kurang
berminatnya siswa pada mata pelajaran sejarah, dengan harapan agar siswa
lebih termotivasi pada pelajaran sejarah, lebih aktif dalam menggali dan
menganalisis peristiwa sejarah, memahami fakta-fakta sejarah yang dekat
dengan lingkungan tempat tinggal siswa, untuk mempelajari materi
pembelajaran. Kompetensi Dasar: menganalisis pengaruh perkembangan
agama dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat diberbagai daerah di
Indonesia dan menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Budha,
dan Islam di Indonesia; pihak sekolah menerapkan materi sejarah Islamisasi
dengan metode resitasi, memanfaatkan menara Kudus sebagai sumber sejarah.
Menggunakan menara Kudus sebagai sumber sejarah dengan pertimbangan
xxii
dekat dengan sekolah,dan ada keterkaitan dengan sejarah penyebaran Islam di
Kudus.Maka penelitian ini mengambil judul : Pelajaran Sejarah Islamisasi
Melalui Metode Resitasi, dengan Objek Menara Kudus (Studi Kasus di SMA
NU Al Ma’ruf Kudus).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
permasalahan yang perlu dikaji melalui penelitian. Adapun rincian
pertanyaan dalam masalah tersebut adalah:
1. Bagaimana pemahaman guru Sejarah di SMA NU Al–Ma’ruf Kudus
terhadap Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah Indonesia?
2. Bagaimana implementasi metode resitasi dengan objek Menara Kudus dalam
pembelajaran sejarah Islamisasi ?
3. Kendala apa saja yang muncul dan bagaimana upaya pemecahannya dalam
pembelajaran sejarah Islamisasi dengan metode resitasi di Menara Kudus?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Pemahaman guru sejarah SMA NU Al-Ma’ruf terhadap Menara Kudus
kaitannya dengan proses Islamisasi.
2. Pelaksanaan metode resitasi dalam pelajaran sejarah Islamisasi di Menara
Kudus.
3. Kendala yang muncul dan upaya pemecahannya dalam penggunaan metode
resitasi.
xxiii
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan satu
kajian ilmiah tentang permasalahan yang ditemui dalam pengajaran sejarah,
agar hasil belajar meningkat khususnya berkaitan dengan nilai – nilai sejarah
lokal. Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai
bukti proses penyebaran Islam di Tanah Jawa.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharap mampu memberikan manfaat
bagi:
a. Siswa
1) Strategi, agar siswa lebih termotivasi untuk belajar sejarah
2) Siswa lebih kreatif dalam memecahkan masalah yang dihadapi dengan
penerapan berbagai strategi yang dimiliki.
3) Siswa memperoleh pengalaman langsung dari lingkungan belajar
mengenai kebebasan dalam belajar sesuai perkembangan berpikirnya.
4) Siswa lebih mengenal, memanfaatkan, dan melestarikan monumen
bersejarah yang ada di lingkungan sekitar.
b. Guru
1) Memperoleh pengalaman untuk meningkatkan ketrampilan memilih
strategi pembelajaran yang bervariasi.
2) Dapat memperbaiki dan meningkatkan sistem pembelajaran di kelas.
3) Guru termotivasi untuk melakukan analisis sederhana yang
xxiv
bermanfaat bagi perbaikan dalam proses pembelajaran serta
meningkatkan kemampuan diri sendiri.
c. Sekolah
1) Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan bantuan yang
baik pada sekolah dalam rangka perbaikan proses belajar mengajar
khususnya pada mata pelajaran sejarah.
2) Dapat digunakan sebagai masukan dalam usaha meningkatkan
prestasi belajar sejarah.
d. Pemerintah
Memberikan gambaran nyata tentang kondisi pembelajaran sejarah
dan memberikan alternatif pemecahan masalahnya. Serta memberikan
masukan tentang kebijakan pendidikan yang ideal.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Sejarah
xxv
Menurut Akhmad Rohani (1995 : 64). pembelajaran merupakan
serangkaian aktivitas belajar mengajar, yang dimulai dari perencanaan,
pelaksanaan dan diakhiri dengan tindakan evaluasi, yang selanjutnya
diadakan tindakan perbaikan atau pengayaan. Pengajaran juga merupakan
suatu sistem, di mana dalam sistem tersebut ada seperangkat unsur yang
tersusun dalam suatu susunan yang saling berhubungan dan saling
menunjang antara unsur yang satu dengan unsur lainnya dalam suatu
aktivitas guna mencapai suatu tujuan. Rancangan pengajaran akan
mengikuti langkah-langkah yang terdiri dari tujuan, bahan pengajaran,
metode yang digunakan, serta evaluasi dari semua proses pembelajaran yang
telah dilaksanakan.
Menurut I Gde Widja (2002 : 95), pengajaran sejarah merupakan
suatu aktifitas belajar mengajar, di mana seorang guru menerangkan pada
siswanya tentang gambaran kehidupan masyarakat masa lampau yang
menyangkut peristiwa-peristiwa penting dan memiliki arti khusus.
Menurut Sudjatmoko (1984 : 80). pengajaran sejarah hendaknya
diselenggarakan sebagai suatu aktivitas penggambaran bersama dalam
proses belajar mengajar, mulai dari pengajar dan apa yang diajarkan kepada
siswa dengan tujuan untuk mencari kebenaran dari ilmu pengetahuan.
Dalam pengajaran sejarah ada tiga hal yang harus dicapai, yaitu
kawasan kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal ini didasarkan pada teori
Bloom, sedang tujuan pengajaran sejarah itu sendiri pada umumnya untuk
membentuk suatu kepribadian siswa sebagai warga negara yang baik,
11
xxvi
menyadarkan siswa untuk mengenal dirinya sendiri serta dapat memberikan
perspektif sejarah yang baik dan benar. Menurut Sartono Kartodirdjo (1989
: 20), melalui pengajaran sejarah, diharapkan siswa dapat dikembangkan
fungsi genetis dan fungsi didaktis.
Menurut Dudung Abdurrahman (1999 : 1), peristiwa sejarah bukan
hanya kejadian fisik, melainkan peristiwa-peristiwa bermakna yang
terpantul sepanjang waktu, sehingga dapat terungkap segi-segi
pertumbuhan, kejayaan dan keruntuhannya.
Menurut Hans (2000 : 42) melalui pengajaran sejarah, orang dapat
menemukan dirinya sendiri atau identitas dirinya, sehingga dengan
demikian diharapkan akan bisa membawa dirinya ke dalam tatanan
kehidupan yang lebih bagus, serta tidak merugikan kepentingan orang lain.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1993 : 59) makna pengajaran sejarah untuk
mengkaji lebih mendalam bentuk proses pengajaran sejarah yang sesuai
dengan karakteristik sejarah dan kemungkinan fungsi serta tujuan sejarah
tercapai secara maksimal. Fungsi dan tujuan pengajaran sejarah akan
tercapai apabila siswa mampu mendalami dan menghayati secara mendalam
peristiwa – peristiwa sejarah yang ada serta mampu mengambil makna dan
nilai-nilai dari peristiwa sejarah tersebut. Untuk itu dalam proses
pembelajaran sejarah guru harus mampu menghadirkan peristiwa masa lalu
kehadapan siswa, sehingga memungkinkan siswa untuk melakukan
pengamatan secara langsung dan pengkajian secara mendalam terhadap
peristiwa-peristiwa tersebut. Untuk mewujudkan proses pembelajaran
xxvii
tersebut tentunya sangat tidak mungkin, karena terbentur pada sifat dari
peristiwa itu sendiri.
Menanggapi hal tersebut Sudjatmoko (1996 : 53), menganjurkan agar
membuang cara mengajar yang mengutamakan fakta sejarah, karena
pengajaran sejarah yang terbatas pada fakta-fakta sejarah akan mematikan
segala minat siswa terhadap sejarah. Oleh karena itu ia menyarankan agar
pembelajaran disekolah-sekolah dikembangkan metode riset yang
memungkinkan para siswa terlibat langsung sebagai peserta dan pelaku
dalam kegiatan penemuan serta pengkajian sejarah. Pengembangan proses
pembelajaran sejarah dengan metode riset tersebut merupakan proses
pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu-ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya kemajuan pemikiran tentang
pembelajaran sejarah dan upaya memaksimalkan pencapaian tujuannya.
Hamid Hasan (1998 : 37), mengemukakan tiga pandangan tentang
tujuan kurikulum pendidikan sejarah di sekolah, yaitu pandangan
perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksi sosial. Pandangan perenialisme
merupakan pandangan tradisional yang beranggapan bahwa pendidikan
sejarah merupakan wahana untuk ”transmission of culture”. Menurut
pandangan ini pendidikan sejarah hendaknya dapat mengembangkan
kemampuan siswa ke arah penghargaan terhadap hasil karya agung bangsa
di masa lampau, memupuk rasa bangga sebagai bangsa, rasa cinta tanah air,
persatuan dan kesatuan nasional. Pandangan esensial beranggapan bahwa
kurikulum sejarah di sekolah hendaknya mengembangkan pendidikan
xxviii
sejarah sebagai disiplin ilmu dan bukan hanya terbatas pada penyampaian
fakta sejarah, tetapi harus mengembangkan kemampuan intelektual
keilmuannya dan mampu berpikir kritis dan analistis. Sedang pandangan
rekonstruksi sosial menekankan pendidikan sejarah harus dikaitkan dengan
kehidupan masa kini dengan berbagai permasalahannya, diharapkan siswa
dapat menggunakan pengetahuan dan pemahaman kecenderungan-
kecenderungan di masa lampau sebagai pelajaran untuk mengkaji dan
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dan lebih lanjut siswa akan
memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan
masyarakat.
Menurut Samana (1994 : 44) guru IPS sejarah dituntut memiliki
kemampuan-kamampuan yang diperlukan. Secara umum seorang guru harus
memenuhi beberapa kompetensi utama. Kompetensi berarti suatu hal yang
mengembangkan kualifikasi atau kemampuan seseorang baik secara kualitas
maupun kuantitas. Menurut I Gde Widja (1989 : 17 ), guru sejarah
hendaknya menjadi pengabdi perubahan, artinya guru-guru sejarah harus
menyadari bahwa salah satu ciri khas sejarah yaitu adanya perubahan, cara
mengajar yang hanya berkisar pada materi teks saja akan menyebabkan
siswa terasing dari permasalahan masyarakat. Konsekuensinya guru sejarah
perlu mengembangkan apa yang disebut “ History beyond the classroom “
Pelajaran Sejarah di SMA merupakan bagian dari mata pelajaran IPS
yang mempunyai posisi yang sangat penting dengan mata pelajaran yang
lain. Pengajaran Sejarah di tingkat pendidikan menengah berfungsi
xxix
menumbuhkan rasa kebangsaan dan bangga terhadap perkembangan
masyarakat Indonesia sejak masa lalu hingga masa kini, sehingga siswa
memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dan cinta tanah air
(Depdikbud: 1994: 74). Berkaitan dengan ilmu pengajaran sejarah untuk
meningkatkan proses penyadaran kolektif, yaitu strategi pembelajaran,
metode mengajar dan persoalan yang kedua mengenai substansi yaitu
silabus materi yang harus diajarkan.
Sehubungan dengan strategi dan metode penyampaian dalam
pengajaran sejarah, yang masih konvensional serta penggunaan metode
ceramah dengan menceritakan secara naratif masih mewarnai sebagian besar
pengajaran sejarah. Dalam kondisi yang demikian sudah waktunya guru
sejarah membekali diri dengan kemampuan imajinatif untuk melukiskan
peristiwa sejarah dalam melengkapi ceritera naratif serta pemilihan strategi
pembelajaran yang lebih kooperatif dan berpusat pada siswa. Kiranya tetap
diperlukan penekanan pada langkah–langkah mendasar yang merupakan
landasan yang lebih kokoh dalam pengembangan metodologi pengajaran
sejarah.
Landasan dasar yang dimaksud menurut I Gde Widja (2002 : 68-69)
yaitu: (1) Perlu ditekankan strategi dasar berupa penanaman nilai yang
dinamis progresif. Artinya dalam proses pembelajaran tidak sekedar
penanaman nilai – nilai masa lampau sehingga siswa terpesona dan terpaku
atas kegemilangan masa lampau, melainkan nilai-nilai masa lampau
diperlukan untuk menjadi kekuatan motivasi menghadapi tantangan masa
xxx
depan. Untuk itu proses pembelajaran sejarah sehari-hari kita perlu
membiasakan siswa membuat karangan singkat yang bersifat kritis analisis
berisi proyeksi ke masa depan dengan bertolak dari peristiwa masa lampau;
(2) Perlu dikembangkan pembelajaran yang tidak hanya berhubungan
dengan simbol-simbol nilai abstrak, tetapi juga berkaitan dengan
daya/cipta/kreativitas di semua aspek budaya dan bidang iptek. Hal ini
untuk menghilangkan anggapan umum bahwa pelajaran sejarah seperti tidak
ada kaitannya dengan masalah-masalah ilmu dan teknologi yang terus
berkembang; (3) Pengembangan strategi pembelajaran sejarah yang secara
langsung atau tidak langsung mampu menggugah potensi produktif berpikir
siswa yang mengandung antara lain: sikap kritis menerima uraian guru,
mampu berpikir konsep, kreativitas menemukan informasi tangan pertama,
sikap mandiri, dan terbuka; (4) Pengembangan peningkatan kompetensi
profesionalisme guru sejarah, pengetahuan kesejarahan yang luas,
mendalam dan up to date, keterampilan yang tinggi dalam pemilihan
strategi pembelajaran dan kreatif inovatif serta antisipatif tuntutan masa
depan.
Dalam hubungannya dengan didaktik sejarah adalah substansi
pengajaran sejarah. Menurut Sartono Kartodirdjo, (1993 : 256-257), ada
beberapa prinsip dalam pemilihan substansi materi dalam didaktik sejarah;
(1) Pendekatan lokosentris, mulai mengenal lokasi sejarah di sekitarnya; (2)
Pendekatan konsentris, mulai lingkungan dekat meluas ke lingkungan
nasional atau internasional; (3) Temasentris, memilih tema tertentu yang
xxxi
menarik sekitar pahlawan atau monument; (4) Kronologis, uraian kejadian
menurut waktu; (5) Tingkatan presentasi dari yang deskriptif-naratif ke
deskriptif-analitis; (6) Sejarah garis besar dan menyeluruh.
Menurut Joko Suryo, (dalam historika, 1989 : 9) ditinjau dari
penggunaannya, sejarah dapat dibedakan atas sejarah empiris dan sejarah
normatif. Dijelaskan lebih lanjut oleh Joko Suryo:
Sejarah empiris, menyajikan substansi kesejarahan yang bersifat empirik dan akademik untuk digunakan dalam tujuan yang bersifat ilmiah. Sejarah normatif, menyajikan substansi kesejarahan yang dipilih menurut ukuran nilai dan makna yang sesuai dengan tujuan penggunaan yang bersifat normatif. Sebagai sarana pendidikan, pengajaran sejarah termasuk sejarah normatif, karena substansi tujuan dan sarananya lebih ditujukan pada segi-segi normatif yaitu segi nilai dan makna yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Dengan demikian pengajaran sejarah dapat dikatakan pula sebagai sejarah pragmatis, yaitu jenis sejarah yang digunakan untuk tujuan-tujuan praktis atau pragmatis.
Menurut Rooijkkers, (1982 : 15) pengajaran sejarah bukan sekadar
transfer materi, mengingat adanya kecenderungan guru lebih mementingkan
materi pada kurikulum sehingga menghabiskan waktu untuk mengalihkan
materi ke benak siswa, diistilahkan materialisme kurikuler.
Menurut pendapat Daldjoeni (1992 : 80), bahwa dari segi pandangan
paedagogis pengajaran sejarah dapat dikatakan bermanfaat manakala siswa
secara akali dapat menerapkan pengetahuan yang diterimanya untuk
menangani permasalahan yang muncul di sekitarnya. Pandangan esensial
beranggapan bahwa kurikulum sejarah di sekolah hendaknya
mengembangkan pendidikan sejarah sebagai disiplin ilmu dan bukan hanya
terbatas pada penyampaian fakta sejarah, tetapi harus mengembangkan
kemampuan intelektual keilmuannya dan mampu berpikir kritis dan
xxxii
analistis. Sedang pandangan rekonstruksi sosial menekankan pendidikan
sejarah harus dikaitkan dengan kehidupan masa kini dengan berbagai
permasalahannya, diharapkan siswa dapat menggunakan pengetahuan dan
pemahaman kecenderungan-kecenderungan di masa lampau sebagai
pelajaran untuk mengkaji dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
dan lebih lanjut siswa akan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan kehidupan masyarakat.
Dari beberapa pendapat mengenai komponen pengajaran sejarah
dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada dalam proses belajar
mengajar IPS sejarah meliputi: tujuan, siswa, guru, bahan pelajaran dan
sumber bahan, metode, alat dan evaluasi.
Dalam penelitian ini pendidikan sejarah hendaknya dapat
mengembangkan kemampuan siswa ke arah penghargaan terhadap hasil
karya agung bangsa di masa lampau, memupuk rasa bangga sebagai bangsa,
rasa cinta tanah air, persatuan dan kesatuan nasional, serta menumbuhkan
berpikir kritis, logis, rasionalistis, dan analitis.
2. Islamisasi di Indonesia
a. Proses masuknya Islam di Indonesia
Sebelum membahas proses masuknya Islam di Indonesia ada
baiknya apabila diberikan penjelasan tentang pengertian Islamisasi.
Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamization yang berarti
pengIslaman, dan dapat diartikan sebagai “upaya agar seseorang menjadi
penganut agama Islam (muslim)”. Jelas, di dalam kata-kata Islamisasi dan
pengIslaman itu terkandung makna kata kerja (kegiatan atau proses),
xxxiii
dinamis, aktif; bukan kata benda, kemandegan dan fasif. Upaya dimaksud
berwujud seorang muslim menyampaikan ajaran agama Islam kepada orang
lain. Upaya tersebut dapat dilakukan secara individual dan dapat pula
dilakukan secara massal. Hasil kegiatan itu dapat berwujud secara kuantitas
(berupa jumlah orang yang menganut agama Islam) dan dapat pula
berwujud secara kualitas (berupa tingkat keIslaman seorang muslim, baik
yang menyangkut tingkat keimanan, tingkat penguasaan ilmu agama,
maupun tingkat pengamalannya. Karena itu, Islamisasi bukanlah suatu
peristiwa, melainkan suatu proses. Proses tersebut dapat dijabarkan berupa
rangkaian peristiwa yang dapat diklasifikasikan secara vertikal dan juga
secara horisontal. Pelaku Islamisasi adalah muslim, sedangkan sasarannya
adalah non muslim sebagai sasaran utama yang hasilnya menyangkut soal
kuantitas dan juga muslim yang hasilnya menyangkut soal kualitas. Dengan
demikian, kegiatan Islamisasi dapat diklasifikasikan atas :
(1) mengIslamkan orang yang belum muslim (kafir dan non-muslim), dalam
rangka menambah jumlah muslim (kuantitas)
(2) mengIslamkan orang yang sudah muslim, dalam rangka meningkatkan
kualitas muslim (http://pmkuncen.wordpress.com ).
Pada awalnya kehadiran Islam di Indonesia telah cukup banyak
mendapat perhatian dari para sejarawan dan para ilmuwan. Berbagai
pendapat dan teori yang membicarakan persoalan tersebut membuktikan
bahwa tema Islam memang menarik untuk dikaji terlebih di negeri yang
dikenal mayoritas penduduknya muslim. Pengkajian tentang proses
xxxiv
Islamisasi diawali dari studi mengenai latar historis dan proses
perkembangan Islam yang menyangkut berbagai aspek kehidupan baik
idiologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pengkajian ini sangat penting
guna mengikuti perkembangan dan dinamika keberagamaan Islam dalam
konteks kontemporer di Indonesia.
Diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar
pada tiga tema utama, yakni: tempat asal kedatangannya, para pembawanya,
dan waktu kedatangannya. Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah
dimensi proses dari interaksi awal dan lanjutan antara Islam dan penduduk
lokal berikutnya, kepercayaan atau agama yang telah ada sebelumnya
(Taufik Abdullah, 1987 : 64).
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia,
di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur
Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar: Pertama, teori
Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat–India melalui peran
para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori
Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah
melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori
Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang
dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad
ke-13 M Sedangkan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari
Makkah lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa
pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah
xxxv
menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di
pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari
pedagang asal Arab yang diantaranya melakukan pernikahan dengan
perempuan-perempuan lokal. Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind
yang ditulis Al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para
pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya.
Dan di wilayah itu pun telah tumbuh komunitas muslim lokal. Sementara
banyak variasi pendapat lain dikemukakan bahwa Islam nusantara berasal
dari Mesir berdasar kesamaan madzhab (Shafi’i) (Taufik Abdullah, 1987 :
67).
Dari berbagai literatur Islam yang beredar di nusantara sebelum
abad ke-17 M, tidak satupun pengarangnya adalah orang India, tetapi
menurut sarjana Barat bahwa Islam berasal dari Persia dan Arab. Hal ini
dibuktikan dari banyaknya etnis Arab dan Persia serta kultur/ budayanya.
Selanjutnya tentang proses Islamisasi di nusantara, menarik untuk
diperhatikan beberapa pendapat berikut: Pertama, teori perkawinan.
Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kesuksesan Islamisasi di
nusantara lebih karena peran para pedagang muslim. Digambarkan, bahwa
seraya berdagang mereka juga menyebarkan Islam. Di antaranya dengan
cara melakukan perkawinan dengan perempuan lokal sehingga terjadi
konversi agama dan terbentuklah lokus-lokus komunitas muslim setempat.
Selanjutnya, mereka juga berusaha menikahi perempuan bangsawan dengan
harapan anak keturunannya akan memperoleh kekuasaan politik yang dapat
xxxvi
dipakai untuk menyebarkan agama Islam. Segaris dengan pemikiran ini ada
ahli yang mengemukakan adanya motif ekonomi dan politik dalam
persoalan konversi penduduk atau penguasa lokal di nusantara. Penguasa
pribumi yang ingin masuk dan berkembang dalam perdagangan
internasional kala itu yang terbentang dari Laut Merah hingga Laut Cina
akan cenderung menerima Islam karena dominasi kekuatan muslim di sektor
itu. Islamisasi di nusantara telah berlangsung secara signifikan jauh
sebelumnya yakni sejak abad ke-12 atau ke-13 M
(http://peziarah.wordpress.com).
Akhirnya, kita dapat menyimak beberapa hal berikut ini: pertama,
Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua; Islam diperkenalkan oleh para
guru dan penyiar handal, yakni mereka yang memang secara khusus
bermaksud menyebarkan Islam; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah
para penguasa; dan keempat, kebanyakan para penyebar Islam handal ini
datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Jadi dengan
mempertimbangkan berbagai uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa
mungkin benar Islam memang telah diperkenalkan awal mula sejak abad –
abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke-7 M), namun akselerasi persebaran
Islam secara nyata baru terjadi sekitar abad ke-12 M dan masa-masa
selanjutnya.
b. Saluran – saluran Penyebaran Islam
Dalam proses Islamisasi terdapat banyak saluran. Saluran Islamisasi
yang berkembang pertama kali di Indonesia adalah perdagangan. Hal ini
xxxvii
sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke – 7 hingga abad
ke – 16. Pada saat itu pedagang–pedagang muslim (Arab, Persia, India)
turut serta ambil bagian dalam perdagangan dengan pedagang–pedagang
dari negeri–negeri bagian barat, tenggara dan timur benua Asia. Penggunaan
perdagangan sebagai saluran Islamisasi sangat menguntungkan karena bagi
kaum muslim tidak ada pemisahan antara kegiatan berdagang dan kewajiban
menyampaikan ajaran agama Islam kepada pihak–pihak lain. Kecuali itu,
pola perdagangan pada abad–abad sebelum dan ketika Islam datang sangat
menguntungkan, karena golongan raja dan bangsawan umumnya turut serta
dalam kegiatan perdagangan, bahkan di antara mereka menjadi pemilik
kapal dan saham (Nugroho Notosusanto, 1993 : 183).
Proses Islamisasi melalui saluran perdagangan dipercepat oleh
situasi politik dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati–adipati
pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang
mengalami kekacauan dan perpecahan. Mula – mula mereka berdatangan di
pusat – pusat perdagangan dan diantaranya kemudian ada yang tinggal, baik
untuk sementara waktu maupun menetap. Lambat laun tempat tinggal
mereka berkembang menjadi perkampungan, yang disebut Pekojan (Zainuri,
2007 : 92).
Di antara golongan pedagang tersebut tentu ada yang kaya dan
pandai, bahkan seringkali ada pula yang menjadi syahbandar pelabuhan
dalam suatu kerajaan. Dari sudut ekonomi jelas mereka memiliki status
sosial yang tinggi, sehingga orang–orang pribumi terutama anak–anak
xxxviii
bangsawan tertarik untuk menjadi isteri saudagar–saudagar itu. Bagi
pedagang–pedagang asing yang datang ke negeri–negeri lain biasanya tidak
membawa isteri, karena itu mereka cenderung membentuk keluarga di
tempat yang mereka datangi. Untuk memperoleh seorang wanita penduduk
pribumi di sekitar perkampunganmya. Mereka tidak mengalami kesukaran.
Tetapi perkawinan dengan penganut berhala mereka anggap kurang sah,
karena itu wanita–wanita yang mereka inginkan diIslamkan terlebih dahulu
dengan cara mengucapkan syahadat. Hal itu berjalan dengan mudah karena
tanpa pentasbihan atau melalui prosesi upacara yang panjang dan rumit,
sehingga penganut yang bukan Islam tertarik dan senang untuk mengikuti
tata cara dalam proses perkawinan tersebut. Para saudagar-saudagar
termasuk dalam lingkungan penduduk asing, yang dianggap lebih daripada
mereka. Lingkungan pergaulan mereka makin luas, serta pengaruhnya
sangat besar terhadap penduduk pribumi sehingga lambat laun timbul
kampung–kampung, daerah– daerah dan kerajaan muslim (Nugroho
Notosusanto, 1993 : 189).
Dari uraian tersebut di atas, dapat memberikan gambaran bahwa
perkawinan antara pedagang atau saudagar dengan wanita pribumi
merupakan titik awal terjadinya jalinan kekeluargaan dan sangat
berpengaruh terhadap proses Islamisasi. Perkawinan merupakan cara
Islamisasi yang paling mudah, karena ikatan perkawinan itu sendiri sudah
merupakan ikatan lahir–batin, tempat mencari kedamaian di antara individu
yang terlibat, yaitu suami dan isteri, membentuk keluarga yang menjadi inti
xxxix
masyarakat, berarti membentuk inti masyarakat muslim. Kemudian dari
perkawinan itu membentuk pertalian kekerabatan yang lebih besar antara
pihak laki–laki dan keluarga pihak perempuan (Nugroho Notosusanto, 1993
: 190).
Kecuali melalui perdagangan dan perkawinan, tasawuf juga
merupakan salah satu saluran penting dalam proses Islamisasi. Tasawuf
termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa
Indonesia yang meninggalkan bukti–bukti jelas pada tulisan–tulisan antara
abad ke – 13 dan ke – 18. Hal itu bertalian langsung dengan penyebaran
Islam di Indonesia, memegang peranan suatu bagian yang penting dalam
organisasi masyarakat kota – kota pelabuhan (Notosusanto, 1993 : 191).
Selain melalui tasawuf, Islamisasi juga dilakukan melalui pendidik,
baik dalam pesantren maupun pondok – pondok yang diselenggarakan oleh
guru – guru agama, kiai – kiai atau ulama – ulama. Pesantren atau pondok
merupakan lembaga yang penting dalam penyebaran agama Islam, sebagai
tempat pembinaan calon guru – guru agama, kiai – kiai atau ulama – ulama.
Setelah keluar dari suatu pesantren, mereka kembali ke masing – masing
kampung atau desanya. Di tempat – tempat asal, mereka akan menjadi tokoh
agama, menjadi kiai yang menyelenggarakan pesantren lagi. Dengan
demikian, pesantren – pesantren beserta kiai – kiai berperanan penting
dalam proses pendidikan masyarakat. Semakin terkenal seorang kiai,
semakin terkenal pula pesantrennya dan pengaruhnya akan mencapai radius
lebih jauh lagi. Pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, kita mengenal Sunan
xl
Ampel dan Raden Rahmat yang mendirikan pesantren di Ampel Denta,
Surabaya. Sunan Giri, terkenal dengan pesantrennya sampai daerah Maluku.
Orang – orang dari daerah itu, berguru kepada Sunan Giri, bahkan beberapa
kiai yang berasal dari Giri diundang ke Maluku untuk menjadi guru agama.
Mereka ada yang dijadikan khatib, modin, dalam kadi masyarakat Maluku,
dengan upah cengkeh (Nugroho Notosusanto, 1993 : 192)
Saluran dan cara Islamisasi yang lain dapat pula melalui cabang –
cabang kesenian seperti seni bangunan, seni pahat atau ukir, seni tari, seni
musik, dan seni sastra. Hasil – hasil seni bangunan pada zaman
pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid –
masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, masjid
Agung Banten, Baiturrahman Aceh, Ternate dan masih banyak lagi yang
lainnya. Di Indonesia, masjid – masjid kuno menunjukkan keistimewaan
dalam denahnya yang berbentuk persegi empat atau bujur sangkar dengan
bagian kaki yang tinggi serta pejal, atapnya bertumpang dua, tiga, lima atau
lebih, dikelilingi parit atau kolam air pada bagian depan atau sampingnya
dan berserambi. Bagian – bagian lain seperti mihrab dengan lengkung pola
kalamakara, mimbar yang mengingatkan ukir – ukiran pola teratai,
mastaka, atau memolo, jelas menunjukkan pola – pola seni bangunan
tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam.
Beberapa masjid kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi,
menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia Hindu. Ukir – ukiran
seperti mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara, mihrab, bentuk beberapa
xli
mastaka dan memolo menunjukkan hubungan yang erat dengan perlambang
meru, kekayon gunungan atau gunungan tempat kedewaan yang dikenal
dalam cerita – cerita keagamaan Hindu. Beberapa ukiran pada masjid kuno
seperti di Mantingan, Sendang Duwur, menunjukkan pola yang diambil dari
dunia tumbuh – tumbuhan dan hewan yang diberi corak tertentu dan
mengingatkan ke pada pola – pola ukiran yang telah dikenal pada candi
Prambanan dan beberapa candi lainnya. Kecuali itu, pada pintu gerbang,
baik di keratin – keratin maupun di makam orang – orang yang dianggap
keramat yang berbentuk candi – bentar, kori Agung, jelas menunjukkan
corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula nisan –
nisan kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon,
Banten, menunjukkan unsur – unsur seni ukir dan perlambang pra Islam. Di
Sulawesi, Kalimantan, Sumatera terdapat beberapa nisan kubur yang lebih
menunjukkan unsur seni Indonesia pra-Hindu dan pra- Islam (Nugroho
Notosusanto, 1993 : 193).
Dari apa yang dibeberkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
jelas Islamisasi dilakukan pula melalui seni bangunan dan seni ukir.
Berdasarkan berbagai peninggalan seni bangunan dan seni ukir dari masa –
masa tersebut jelas pula bagi kita bahwa proses Islamisasi dilakukan dengan
damai. Kecuali itu, dilihat dari segi ilmu jiwa dan taktik, penerusan tradisi
seni bangunan dan seni ukir pra – Islam merupakan alat Islamisasi yang
sangat bijaksana yang mudah menarik orang – orang bukan Islam utnuk
dengan lambat laun memeluk agama Islam sebagai pedoman hidup barunya.
xlii
Saluran dan cara Islamisasi melalui seni bangunan dan seni ukir sesuai pula
dengan saluran dan cara melalui seni tari, musik dan sastra. Dalam upacara
– upacara keagamaan, seperti Maulud Nabi, sering dipertunjukkan seni tari
atau musik tradisional, misalnya gamelan yang disebut sekaten yang
terdapat di kota Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta dibunyikan pada
perayaan Gerebeg Maulud. Berdasarkan babad dan hikayat, di keraton –
keraton lama terdapat gamelan, tarian seperti dedewan debus, birahi,
bebeksan yang diselenggarakan pada upacara tertentu. Bahkan di antara seni
yang terkenal dijadikan alat Islamisasi adalah pertunjukan wayang. Menurut
cerita, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan
wayang. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia
minta agar para penonton mengikutinya mengucapkan Kalimat Syahadat.
Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari Mahabharata dan
Ramayana, tetapi sedikit demi sedikit nama tokoh – tokohnya diganti
dengan pahlawan Islam. Nama panah Kalimasada, suatu senjata paling
ampuh, dalam lakon wayang dihubungkan dengan Kalimat Syahadat,
ucapan yang berarti pengakuan kepada Allah dan Nabi Muhammad.
Kalimat Syahadat merupakan tiang pertama dalam lima rukun Islam.
Islamisasi melalui seni sastra juga dilakukan secara sedikit demi sedikit
seperti terbukti dalam naskah – naskah lama masa peralihan kepercayaan
yang ditulis dalam bahasa dan huruf daerah, misalnya primbon – primbon
abad ke – 16 yang antara lain disusun oleh Sunan Bonang (Nugroho
Notosusanto, 1993 : 194).
xliii
Babad – babad dan hikayat – hikayat juga ditulis dalam bahasa
daerah, dengan menggunakan huruf daerah dan Arab. Beberapa kitab
tasawuf diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan beberapa lagi ke dalam
bahasa daerah lainnya. Ajaran Hamzah Fansuri disusun dalam bentuk syair
Melayu, merupakan salah satu usaha agar ajaran tersebut dapat dimengerti
oleh orang – orang Indonesia yang tidak mengenal bahasa Arab dan Persi.
Mungkin tersebarnya bahasa Melayu atau Indonesia sebagai lingua franca
pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam, juga melalui
perdagangan. Di Maluku, misalnya, kita kenal Hikayat Hitu yang ditulis
dalam bahasa Melayu, demikian juga Hikayat Banjar dan Hikayat Kutai.
Agama Islam juga membawa beberapa perubahan sosial dan budaya,
memperhalus dan memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian
antara adat dan syariah di berbagai daerah di Indonesia selalu terjadi,
meskipun kadang – kadang dalam taraf permulaan mengalami proses
pertentangan dalam masyarakat (Nugroho Notosusanto, 1993 : 195).
c. Proses masuknya Islam di Jawa
Sejak zaman dahulu, di daerah Indonesia telah terdapat lalu lintas
perdagangan. Hal tersebut dimungkinkan mengingat letak geografis
kepulauan Indonesia yang sangat menguntungkan untuk jalur lalu lintas
perdagangan Internasional. Konsekwensinya Negara kita menjadi daerah
pertemuan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia yang beraneka ragam.
Bangsa Indonesia sendiri aktif merantau ke negeri India, ke pantai
timur tanah Arab hingga pantai timur Afrika. Akibat adanya akulturasi
xliv
kebudayaan bangsa-bangsa tadi dengan kebudayaan Indonesia, maka
kebudayaan Indonesia berkembang maju.
Penelitian sejarah banyak mencatat, bahwa di pesisir barat Sumatera
telah terdapat suatu perkampungan Arab pada akhir abad VII M. Akan
tetapi perkampungan yang di huni oleh ulama yang berwiraswasta, ataupun
wiraswastawan yang ulama itu, bukan saja berasal dari Arab tetapi juga dari
Persia, India dan bahkan dari Cina. Oleh sebab itu jika kita sepakat
mengambil jalan tengah masuk dan berkembang Islam di Indonesia,
kesimpulan yang dapat di pegang adalah hubungan pertama orang Islam
dengan penduduk Indonesia mungkin di mulai sejak abad VII M dan VIII
M. Sedang masa pendudukan orang Islam, berdirinya kerajaaan-kerajaan
Islam dengan kota-kota barunya, mulai berkembang abad XIII M dan
sesudahnya.
Bangsa Indonesia yang sekarang ini mayoritas penduduknya
beragama Islam, sebagian besar populasinya berdiam di pulau Jawa. Semua
ini apabila ditelaah secara teliti adalah merupakan hasil kerja dakwah yang
dilakukan oleh para Walisongo tempo dulu. Mereka adalah orang-orang
yang sangat dihormati masyarakat dan hingga sekarang ini kuburannya
masih tetap merupakan tempat penting bagi peziarah Muslim seluruh
Indonesia.
Sejarah mencatat, bahwa agama Islam disiarkan ke Indonesia oleh
para pedagang serta para ahli sufi yang datang dari gujarat, di India sebelah
Barat. Menurut berita Tionghoa di dalam tahun 1416 M, di tanah Jawa
sudah banyak orang asing beragama Islam.
Kalau berdasarkan inskripsi yang terdapat di batu nisan yang
terletak di Leran, yang bertuliskan huruf kufi, menunjukkan, bahwa jauh
xlv
sebelum permulaan abad ke – 15, kemungkinan agama Islam telah masuk
serta dikenal oleh orang – orang di tanah Jawa. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya sebuah makam dari seorang wanita Islam bernama ”Fatimah
Binti Maimun bin Hibatallah” , yang berangka tahun 475 atau 495 H,
bertepatan dengan tahun 1082/83 atau 1101/02 M (Syafwandi, 1985 : 9).
Menurut pendapat Solichin Salam (1977 : 15) Maulana Malik
Ibrahim yang wafat dalam tahun 822 H atau 1419 M, makamnya terdapat di
Gresik, besar kemungkinan berasal dari Cambay, Gujarat. Inskripsi yang
terdapat pada batu nisan dari makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik
dalam huruf dan Bahasa Arab, terjemahannya di dalam Bahasa Indonesia
kira – kira demikian :
Inilah makam almarhum almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan Pangeran – pangeran, sendi sultan – sultan dan menteri – menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kake Bantal. Allah meliputinya dengan rahmat – Nya dan keridlaan – Nya, dan dimasukkan ke dalam Sorga. Telah wafat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal tahun 822 H. Solichin Salam (1977 : 15).
Di tanah Jawa tersiarnya agama Islam berlangsung dalam suasana
damai disebabkan oleh beberapa hal dibawah ini :
a. Penyiar–penyiar Islam yang datang mula–mula adalah terdiri dari para
pedagang dan ahli sufi.
b. Sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana termaktub di dalam firman
Tuhan dalam Al–Quran yang berbunyi : ”Hendaklah engkau ajak orang
ke jalan Allah dengan HIKMAH (kebijaksanaan), dengan peringatan
yang ramah tamah serta bertukar pikiran dengan mereka yang sebaik–
baiknya” ( An – Nahl, 125).
xlvi
c. Kebijaksanaan dari para muballigh Islam yang datang kemari yang telah
dapat menyelami serta memahami watak dan jiwa bangsa Indonesia.
d. Sifat toleransi dari pada bangsa Indonesia sendiri, yang dapat menerima
kebudayaan yang datang dari luar kemudian disesuaikan dengan
kepribadian sendiri.
e. Penyiaran Islam di Jawa terutama melalui saluran–saluran mistik.
f. Dengan mengawinkan kepercayaan lama dengan kepercayaan baru inilah
yang menyebabkan agama Islam dapat tersiar dengan damai.
Kisah tentang Walisongo yang penuh misteri perlu didudukkan pada
fungsinya yang tepat, sehingga mengandung nilai sejarah yang tinggi. Upaya
ini dapat menguak cakrawala baru tentang kesan orang terhadap Walisongo
yang cenderung tidak bernilai, khususnya di kalangan Muslim modern. Bila
cakrawala baru ini berhasil ditemukan maka gambaran baru tentang
Walisongo akan cenderung seragam dan akan mendekatkan jarak antara
Muslim tradisional dengan Muslim modern.
Keberhasilan Walisongo dalam mendakwahkan Islam di tanah Jawa
didukung oleh beberapa hal: Pertama, karena para Wali itu dapat memenuhi
tuntutan dakwah dari Al Qur’an, Hadist serta tuntutan dari ahli-ahli Dakwah
sebelumnya seperti keihlasan, bersatu dalam ukuwah, berpegang pada dasar
musyawarah, serta faktor sosial psikilogis yang dimiliki mereka. Kedua,
faktor dalam ajaran Islam itu sendiri yang merupakan agama kebudayaan
yang mempunyai daya penetrasi, sederhana, luwes, mudah dan menarik.
Ketiga, karena faktor situasi kondisi masyarakat Jawa saat itu, yaitu
xlvii
runtuhnya kerajaan Majapahit. Masyarakat rindu dan membutuhkan
pembaharuan, dan para Wali berhasil membawa Islam untuk pembaharuan.
Hinduisme mengajarkan adanya kasta serta tingkat derajat manusia, sedang
Islam mengajarkan kesamaan. Islam memberi aspirasi baru dan memperluas
pandangan masyarakat Jawa dan menggugah suasana optimisme.
Demikian keras pergulatan dakwah mereka dengan unsur-unsur
kejawaan selama kurang lebih 15 abad. Sehingga tidak mengherankan
apabila dalam dakwahnya Walisongo tidak meninggalkan pengaruh corak
keIslaman yang kejawaan, keHinduan-Budhaan. Jawa memang tempat yang
penduduknya paling mendalam pengaruh agama Hindu-Budha dibanding
dengan daerah lain di Indonesia, dan Wali Songo berhasil mengIslamkan
tanah Jawa dengan cara yang persuasif (Syafwandi, 1985 : 22).
3. Metode Pemberian Tugas atau Resitasi
Metode pemberian tugas sebagai salah satu metode mengajar yang
bertujuan untuk memperdalam bahan pengajaran sehingga pemberian tugas
merupakan aspek pengajaran yang perlu mendapat perhatian guru, dengan
pemberian tugas dalam bentuk tulisan atau hasil laporan. Tugas yang
diberikan guru dapat memperdalam bahan pelajaran, dapat pula
mengembangkan bahan yang dipelajari. Mempelajari atau memperdalam
bahan pelajaran bisa dalam bentuk menghafal sesuatu, mencari informasi,
menganalisis dan akhirnya akan membuat simpulan tertentu. Tentu hasil yang
didapat dari siswa harus pula di pertanggungjawabkan dan
pertanggungjawaban tersebut disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.
a. Pengertian Metode Resitasi (Pemberian Tugas)
xlviii
Metode resitasi menurut Thoifuri dalam bukunya yang berjudul
”Menjadi Guru Inisiator” (2008 : 66), metode resitasi merupakan
terjemahan dari to cite, berarti mengutip, yakni siswa mengutip atau
mengambil sendiri bagian–bagian pelajaran dari buku–buku tertentu, lalu
belajar dan berlatih sendiri hingga siap sebagaimana mestinya. Atau
resitasi adalah cara menyajikan bahan pelajaran di mana guru memberikan
sejumlah tugas
terhadap siswa untuk mempelajari sesuatu, kemudian mempertanggung-
jawabkannya.
Metode resitasi (penugasan) adalah suatu cara interaksi belajar
mengajar yang ditandai dengan adanya tugas dari guru untuk dikerjakan
siswa di sekolah ataupun di rumah secara perorangan atau berkelompok
(Mulyani Sumartini, 2002: 130).
Metode pemberian tugas adalah metode penyajian bahan di mana
guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar.
Materi tugas yang dilaksanakan oleh siswa dapat dikerjakan di dalam
kelas, di halaman sekolah, di laboratorium, di perpustakaan, di bengkel, di
rumah siswa, atau di mana saja asal tugas itu dapat dikerjakan (Syaiful
Bahri, 2002: 98).
Menurut Abdul Gafur (1989: 106)metode pemberian tugas adalah :
kegiatan belajar yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium, direncanakan untuk seseorang atau sekelompok belajar yang mempelajari bidang studi tertentu termasuk mempraktekkan teori-teori dengan melalui pengamatan, percobaan, riset, drill (latihan) dan praktek.
xlix
Berdasarkan uraian tersebut di atas yang dimaksud metode
pemberian tugas adalah metode penyajian bahan di mana guru memberikan
tugas tertentu kepada siswa di sekolah atau pun di rumah secara
perorangan atau berkelompok melalui pengamatan, percobaan, riset, drill
(latihan) dan praktek.
Dalam penelitian ini tugas yang akan diberikan kepada siswa
adalah membuat laporan hasil penelitian. Oleh karena itu guru
sebelumya harus memperkenalkan metode penelitian historis secara
sederhana. Sehingga dalam pelaksanaaan tugas siswa tidak akan
mengalami kesulitan. Para siswa perlu diberi penjelasan tentang
langkah-langkah dalam penelitian seperti: merumuskan masalah,
mengumpulkan sumber-sumber informasi, mengkaji keabsahan
sumber informasi, menyusun hipotesis yang menjelaskan peristiwa
atau simulasi yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, dan
menyimpulkan serta menafsirkan hasil penelitian.
Berkaitan dengan metode pemberian tugas, guru sebagai
inisiator tentunya cakap menggunakan metode pengajaran resitasi
karena siswa tidak hanya sebagai objek, melainkan subjek yang masih
perlu mendapat arahan. Dengan demikian siswa dapat memperbaiki,
memperdalam, mengecek, mencari informasi, atau menghafal
pelajaran dan membuat simpulan tertentu atas bimbingan guru
tersebut. Dan metode resitasi ini berorientasi pada belajar
mengerjakan tugas di luar kelas.
b. Tujuan Metode Resitasi
l
Menurut Ismail (2003 : 116) tujuan pemberian tugas antara lain
adalah siswa dapat melatih keterampilannya dalam menyelesaikan soal,
lebih memahami dan mendalami bahan ajar yang telah diberikan di sekolah,
menumbuhkan kebiasaan belajar secara mandiri, menumbuhkan rasa
tanggung jawab, dan menumbuhkan sikap positif terhadap pembelajaran.
Metode pemberian tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa
bertujuan agar siswa mengetahui, menghayati, pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar sehingga anak terdorong untuk menguasai bahan pelajaran atau
tugas yang diberikan kepada siswa (Abdul Gafur, 1989: 73). Metode
penugasan memiliki berbagai kegunaan yaitu untuk merangsang anak
kreatif dan aktif belajar baik secara individu maupun kelompok (Syaiful
Bahri, 2002: 130).
Tujuan pemberian tugas menurut pandangan tradisional, pemberian
tugas dilakukan oleh guru karena pelajaran tidak sempat diberikan di kelas.
Untuk menyelesaikan rencana pengajaran yang telah ditetapkan, maka siswa
diberi tugas untuk mempelajari dengan diberi soal-soal yang harus
dikerjakan di rumah. Kadang-kadang juga bermaksud agar siswa tidak
banyak bermain. Sedangkan menurut pandangan modern tugas diberikan
dengan pandangan bahwa kurikulum itu merupakan segala aktivitas yang
dilaksanakan oleh sekolah, meliputi kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler.
Pemberian tugas belajar dan resitasi dikatakan wajar bila bertujuan:
1) Memperdalam pengertian siswa terhadap pelajaran yang telah diterima.
2) Melatih siswa ke arah belajar mandiri.
li
3) Siswa dapat membagi waktu secara teratur.
4) Agar siswa dapat memanfaatkan waktu luang untuk menyelesaikan tugas.
5) Melatih siswa untuk menemukan sendiri cara-cara yang tepat untuk
menyelesaikan tugas.
6) Memperkaya pengalaman-pengalaman di sekolah melalui kegiatan-
kegiatan di luar kelas.
Mengenai tujuan diterapkannya metode resitasi dalam pembelajaran
sejarah adalah :
1) Menghilangkan kejenuhan siswa pada pembelajaran sejarah di kelas
2) Untuk memperluas pengetahuan siswa pada lingkungan sekitar
3) Melatih siswa belajar sendiri dengan penelitian
4) Siswa belajar mencari data-data yang sesuai dengan penelitian
Menurut Wina Sanjaya (2006 : 153) tujuan diterapkannya metode
resitasi dalam pembelajaran sejarah adalah :
1) Memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi guru dan siswa berkaitan
dengan keterbatasan waktu di sekolah.
2) Menambah dan memperluas pengetahuan siswa tentang materi pelajaran
yang sedang dipelajari.
3) Melatih siswa belajar lebih aktif, kreatif dan mandiri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, tujuan dari metode pemberian
tugas adalah untuk merangsang dan mendorong siswa aktif, kreatif, melatih
menggunakan waktu, belajar mandiri, memperdalam dan memperkaya
pengalaman belajar serta menyelesaikan rencana pembelajaran yang tidak
lii
selesai dikerjakan di kelas sehingga siswa dapat menyelesaikan dan
menguasai bahan pelajaran yang diberikan guru kepada dirinya.
c. Alasan Penggunaan Metode Penugasan
Menurut Mulyani Sumantri (2002: 48) bahwa alasan guru
memberikan tugas kepada siswa agar dapat belajar sendiri atau berkelompok
mencapai pengayaannya atau sebagai tindak lanjut dari kegiatan sebelumnya.
Aswan Zain (2002: 173) berpendapat bahwa metode pemberian tugas
diberikan kepada siswa baik secara individu maupun kelompok karena bahan
pelajaran yang diajarkan terlalu banyak sedangkan alokasi waktu yang
tersedia masih kurang seimbang. Agar materi pelajaran dapat selesai sesuai
dengan waktu yang ditentukan maka guru menerapkan strategi pemberian
tugas.
Dalam metode pemberian tugas dipergunakan apabila :
1) Suatu pokok bahasan atau aspek-aspek tertentu yang melakukan
latihan yang lebih banyak di hari jam pelajaran atau memerlukan
penjelasan lebih lanjut melalui eksperimen atau sumber-sumber
informasi lain yang lebih luas.
2) Ruang lingkup terlalu luas, sedangkan waktu yang disediakan
tidak memadai, guru hanya mampu menerangkan bahan
pengajaran tersebut dalam garis besarnya saja. Bahkan sering
terjadi bahan tidak dapat diselesaikan menurut waktu yang telah
ditetapkan.
3) Suatu pokok bahasan perlu pendalaman / perhatian melalui latihan
mandiri. (Depdikbud, 1996: 22)
liii
Berdasarkan uraian tersebut di atas, alasan pemberian penugasan
yaitu suatu pokok bahasan (aspek-aspek) tertentu yang memerlukan
latihan, menyeimbangkan bahan pelajaran dan alokasi waktu yang tersedia
memberikan kesempatan siswa atau kelompok untuk belajar sendiri
sebagai wahana pengayaan / pendalaman materi.
d. Unsur–unsur metode Resitasi
Metode pembelajaran resitasi mengandung tiga unsur ialah :
pemberian tugas, belajar, resitasi. Tugas merupakan suatu pekerjaan yang
harus diselesaikan. Pemberian tugas sebagai suatu metode mengajar
merupakan suatu pemberian pekerjaan oleh guru kepada siswa untuk
mencapai tujuan pengajaran tertentu. Dengan pemberian tugas tersebut
siswa belajar, mengerjakan tugas. Dalam melaksanakan kegiatan belajar,
siswa diharapkan memperoleh suatu hasil ialah perubahan tingkah laku
tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tahap terakhir dan
pemberian tugas ini adalah resitasi yang berarti melaporkan atau
menyajikan kembali tugas yang telah dikerjakan atau dipelajari.
Jadi metode pemberian tugas belajar dan resitasi atau biasanya
disingkat metode resitasi merupakan suatu metode mengajar dimana guru
memberikan suatu tugas, kemudian siswa harus mempertanggung
jawabkan hasil tugas tersebut. Resitasi sering disamakan dengan "home
work" (pekerjaan rumah), padahal sebenarnya berbeda. Pekerjaan rumah
(PR) mempunyai pengertian yang lebih khusus, ialah tugas-tugas yang
diberikan oleh guru, dikerjakan siswa di rumah. Sedangkan resitasi, tugas
liv
yang diberikan oleh guru tidak sekadar dilaksanakan di rumah, melainkan
dapat dikerjakan di perpustakaan, laboratorium, atau di tempat-tempat lain
yang ada hubungannya dengan tugas/pelajaran yang diberikan. Jadi resitasi
lebih luas daripada home work. Akan tetapi keduanya mempunyai
kesamaan ialah : mempunyai unsur tugas, dikerjakan oleh siswa dan
dilaporkan hasilnya.
e. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan metode Resitasi
Menurut Mulyani Sumantri (2002 : 135) berhasil dan tidaknya
dalam menerapkan metode pemberian tugas dipengaruhi oleh beberapa hal
antara lain:
1) tujuan yang akan dicapai
2) Materi yang akan ditugaskan, termasuk buku-buku sumber.
3) Fasilitas dan alat-alat yang tersedia.
4) Melihat kemampuan siswa, apakah materi yang ditugaskan
memberatkan siswa atau tidak.
5) Alokasi waktu
6) Memperhatikan kondisi dan kesanggupan siswa dalam
mengerjakan tugas.
7) Memperhatikan tugas yang diberikan oleh guru-guru bidang
studi lainnya.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan
metode pemberian tugas :
lv
1) Jangan memberikan tugas yang berhubungan dengan bahan
yang belum diajarkan.
2) Tugas hendaknya dirasakan penting oleh setiap anak.
3) Tugas hendaknya jelas batas-batasnya.
4) Usahakan mempersiapkan format atau lembar kerja yang
diperlukan.
5) Guru hendaknya mempelajari dengan sungguh-sungguh, apakah
suatu tugas dapat disesuaikan dengan perbedaan anak secara
perorangan atau tidak.
6) Perhatikan juga waktu, yang ada pada anak-anak.
7) Tugas hendaknya diperiksa sendiri oleh guru agar guru dapat
mengetahui sampai di mana kemampuan anak dalam
memahami/ mendalami materi yang telah diberikan,
(Depdikbud, 1996: 23).
Menurut Muhibbin Syah (1995 : 212) metode pemberian tugas
untuk menambah penguasaan siswa atas materi yang telah disajikan guru
baik bersifat individual maupun kelompok, tergantung kebutuhan, dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Tugas yang diberikan harus berhubungan erat dengan materi yang
diberikan
2) Tugas yang diberikan harus sesuai dengan kemampuan siswa.
3) Tugas yang diberikan harus sesuai atau tidak berlawanan dengan sikap
lvi
dan perasaan hatinya sehingga dapat melaksanakan tugas dengan
senang hati.
4) Tugas yang diberikan harus jelas, baik jenis volume, maupun batas
waktu penyesuaiannya.
f. Langkah-Langkah Penggunaan Metode Penugasan
Metode pemberian tugas dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien maka diperlukan langkah-langkah yang tepat. Menurut Ulih Bukit
Karo-Karo (1984: 48), ada lima langkah yang harus ditempuh agar
pemberian tugas lebih efektif :
1) Guru memberikan tugas kepada siswa
2) Siswa mempelajari/mengerjakan tugas.
3) Siswa mempertanggung jawabkan/melaporkan hasil usahanya
dalam melaksanakan tugas
4) Guru atau bersama siswa menilai hasil yang telah di capai.
Saran dari guru diberikan untuk memperbaiki atau
mengembangkan hasil dari tugas tersebut.
5) Siswa bersama guru mengecek kebenaran atau kesalahan
tertentu menurut sumber aslinya.
Langkah pelaksanaan metode pemberian tugas terdiri tiga tahapan:
1) Pertama, guru memberi tugas. Dalam pemberian tugas guru
perlu memberikan petunjuk dengan jelas dan terencana.
2) Kedua, siswa melaksanakan tugas.
lvii
3) Ketiga, siswa mempertanggung-jawabkan pelaksanaan tugas
baik kepada guru atau teman-teman di kelas (Ismail, 2003 :
211).
Menurut Mulyani Sumantri (2002: 79) langkah-langkah
penggunaan metode penugasan (resistasi) dapat dilakukan secara bertahap
berdasarkan fase-fase sebagai berikut :
1) Fase Pemberian Tugas
Tugas yang diberikan kepada siswa bendaknya mempertimbangkan
:
a) Tujuan yang akan dicapai.
(1) Jenis tugas yang jelas dan tepat sehingga anak mengerti apa
yang ditugaskan tersebut.
(2) Sesuai dengan kemampuan siswa.
(3) Ada petunjuk / sumber yang dapat membantu pekerjaan siswa.
(4) Sediakan waktu yang cukup untuk mengadakan tugas tersebut.
b) Langkah Pelaksanaan Tugas
(1) Diberikan bimbingan/ pengawasan oleh guru.
(2) Diberikan dorongan sehingga anak mau bekerja.
(3) Diusahakan/ dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh
orang lain.
(4) Dianjurkan siswa mencatat hasil-hasil yang yang diperoleh
dengan baik dan sistematik.
lviii
c) Fase Mempertanggungjawabkan tugas
Hal yang harus dikerjakan pada fase ini
(1) Laporan siswa baik lisan / tertulis dari apa yang telah
dikerjakan.
(2) Ada tanya jawab / diskusi kelas.
(3) Penilaian hasil kerja siswa, baik dengan tes maupun nontes atau
cara lainnya.
g. Kelebihan dan Kekurangan Metode Resitasi
1) Kelebihan Metode Resitasi
Kelebihan Metode Resitasi adalah memberi kesempatan
kepada siswa untuk belajar lebih banyak, memupuk rasa tanggung
jawab, memperkuat motivasi belajar, menjalin hubungan antara
sekolah dengan keluarga, mengembangkan keberanian berinisiatif,
memperoleh pengalaman dalam melaksanakan tugas belajar yang
erat kaitannya dengan kehidupan sehari - hari.
Menurut Mulyani Sumantri ( 2002 : 92) kelebihan metode
pemberian tugas adalah :
a) Lebih merangsang siswa dalam malakukan aktivitas belajar
individual maupun kelompok.
b) Dapat mengembangkan kemandirian siswa di luar pengawasan
guru.
c) Dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa.
d) Dapat mengembangkan kreativitas siswa.
lix
Ismail (2003 : 116) berpendapat kelebihan metode
pemberian tugas yaitu : (1) pengetahuan yang diperoleh dengan
belajar mandiri atau kelompok di rumah akan lebih lama diingat; (2)
siswa mempunyai kesempatan memupuk perkembangan dan
keberanian mengambil keputusan, inisiatif, bertanggungjawab dan
mandiri; (3) apabila tugas segera dikoreksi guru dapat lebih cepat
mengetahui jika terdapat kesalahan konsep pada diri siswa.
2) Kekurangan metode Resitasi
Kelemahan metode resitasi adalah: memerlukan pengawasan
yang ketat, baik oleh guru maupun orang tua, sukar menetapkan
apakah tugas dikerjakan oleh siswa sendiri atau atas bantuan orang
lain, banyak kecenderungan untuk saling mencontoh dengan teman-
teman, agak sulit diselesaikan oleh siswa yang tinggal bersama
keluarga yang kurang teratur, dapat menimbulkan frustasi bila gagal
menyelesaikan tugas (http://doni-swa.blog.friendster.com).
Menurut Mulyani Sumantri (2002 : 92) yaitu (1) siswa sulit
dikontrol, apakah benar ia yang mengerjakan tugas ataukah orang
lain; (2) khusus untuk tugas kelompok, tidak jarang yang aktif
mengerjakan dan menyelesaikannya adalah anggota tertentu saja,
sedangkan anggota yang lainnya tidak berpartisipasi dengan baik; (3)
Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan
individu siswa; (4) sering memberikan tugas yang monoton (tak
bervariasi) dapat menimbulkan kebosanan siswa.
lx
Ismail (2003: 117) menyatakan bahwa kelemahan metode
pemberian tugas antara lain:
a) Seringkali siswa melakukan penipuan diri di mana siswa hanya
meniru pekerjaan orang lain, tanpa mengalami proses belajar.
b) Adakalanya tugas itu pengerjaannya dibantu oleh orang lain.
c) Apabila tugas terlalu berlebihan dan sukar dapat mengganggu
mental siswa.
Berdasarkan uraian di atas, terlepas dari kelebihan dan
kelemahan dari metode penugasan keberadaannya mampu
membantu guru dalam meningkatkan pemahaman, kreativitas
dan aktivitas belajar siswa.
4. Menara Kudus
Peninggalan sejarah berupa bangunan-bangunan kuno memegang
peranan penting bagi bersemainya jati diri, karena di bangunan bersejarah itu
menyimpan suatu idea vital dari pemilik atau pendukung kebudayaan
tersebut. Dari dasar pemikiran ini, maka kebudayaan yang didalamnya
terkandung nilai-nilai sejarah dalam pencerminan proses kehidupan
masyarakat memang harus dinamis, sedinamis perkembangan manusia pada
jamannya terutama pada masalah interpretasi.
Media bagi berlangsungnya pembentukan kesadaran sejarah di
masyarakat Kudus adalah monumen – monumen sejarah dan cerita-cerita
lisan tentang monumen-monumen itu. Salah satu monumen yang membuat
Kota Kudus menjadi terkenal adalah Menara Kuno Kudus – predikat kota
lxi
Kudus sebagai kota bersejarah karena adanya monumen ini. Menara Kudus
inilah yang selalu mengingatkan masyarakat Kudus Kulon akan cikal
bakalnya dan obsesinya akan masa silam.
Kata Menara, dari perkataan manara. Adapun kata menara adalah
berasal dari bahasa Arab : ”Manaruh” yang berarti tempat menaruh cahaya
diatas (mercusuar), Awalan “ma” menunjukkan tempat. Jadi perkataan
menara, dari asal kata “nar” (api) atau “nur” (cahaya), menjadi “Al –
Manar” tempat cahaya. Tetapi kemudian mempunyai peringatan yang lain.
Yaitu tempat yang dipergunakan oleh muadzin untuk beradzan menyeru
orang bersembahyang. Bentuk menara masjid Kudus adalah lain daripada
bentuk menara – menara masjid yang lain. Karena bentuk bangunannya jelas
menunjukkan adanya pengaruh seni bangunan zaman pra – Islam Dalam
hubungan ini Flipper dalam Solichin Salam (1977 : 33) mengungkapkan
tentang Menara Kudus, a.l. sebagai berikut :
Orang mengira bahwa menara tertua di Jawa adalah Menara Kudus. Bangunannya yang megah ini adalah semata – mata style Hindu – Jawa, dan sudah dibentangkan secara terperinci oleh Burmund dan oleh Krom dan karenanya saya tidak perlu mengulangnya. Menurut perkiraan Krom Menara ini dibangun pada permulaan abad ke – XVI. Akan tetapi apakah ini tadinya betul – betul Menara, pertama – tama adalah mengherankan bahwa bangunan yang bagus ini jika seandainya ia dibangun sebagai manara dalam abad ke – XVI yang tidak pernah ditiru. Semua menara – menara yang lebih tua dibangun menurut style asing dan tidak menurut style Jawa. Adalah sangat menonjol, bahwa menara Kudus mempunyai sebuah bedug besar, artinya sebuah drum yang dipukul setiap kali menurut kebiasaan kuno untuk memberitahukan bahwa waktu sholat telah tiba, juga sebelum azan diserukan. Kini bedug adalah sesuatu barang kuno di Indonesia, dan bedug sebagai alat untuk memberi tanda. Mula – mula tidak ada hubungannya dengan Islam; bedug ini tadinya tidak ditemukan di manapun juga di menara, karena biasanya dia ditempatkan di serambi. Juga kadang – kadang ditempatkan di bagian
lxii
dalam dari masjid atau ditaruh disebuah bangunan kecil yang terpisah dari masjid.
Menara Kudus dibangun oleh Raden Ja’far Shodiq yang lebih dikenal
dengan Sunan Kudus. Sunan Kudus adalah putra dari Raden Usman Haji
yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan Blora, dari hasil
perkawinannya dengan Syarifah, putri Sunan Ampel.jadi kakek Sunan Kudus
adalah Sunan Ampel. Belum ada sumber yang jelas kapan persisnya Ja’far
Shodiq tiba di Kudus. Pada waktu Ja’far Shodiq menginjakkan kaki di
Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat,
yang mula – mula mengembangkan Tajug adalah Kyai Telingsing (The Ling
Sing) seorang Cina beragama Islam yang telah datang pada tahun 400 – an.
dari Hunan, Tiongkok Selatan bersama teman-teman sekampung yaitu Kyai
Ageng Wajah, Kyai Ageng Kedangeyan dan Nyi Ageng Mlati. Tujuannya
menyebarkan Islam di Kudus. Karena itu tak heran jika terdapat ukiran
burung Hong dan Nagara pada ukiran-ukiran rumah di Kudus. Dengan
demikian pemukiman itu sudah ada sebelum kedatangan Ja’far Shodiq
(Zainuri, 2007 : 91).
Menara Kudus menghadap ke barat dan bentuknya menyerupai
bangunan candi yang terbagi atas tiga bagian, yaitu : bagian kaki, tubuh, dan
puncak. Kaki menara mempunyai denah berbentuk bujur sangkar yang setiap
sisinya berukuran 9,5 meter. Di kaki menara ini terdapat ornamen – ornamen
yang menghiasi kaki menara berupa panil – panil segi empat panjang tanpa
hiasan. Badan menara berdenah bujur sangkar dengan ukuran tiap sisinya
6,30 meter. Pada badan menara terdapat panil – panil segi empat polos,
lxiii
lingkaran dan palang Yunani yang diisi piring – piring porselin. Adapun
puncak menara berupa ruangan mirip pendapa yang berlantaikan papan.
Diatas bangunan tersebut diberi atap tumpang bertingkat dua, yang terbuat
dari sirap. Pada sisi barat terdapat penampil yang menjorok ke depan. Di
kanan kiri penampil itu terdapat tembok yang merupakan sayap tangga.
Tangga itu menghubungkan bagian dasar bangunan dengan kaki dan tubuh
bangunan, sedangkan untuk menuju puncak menara harus melalui tangga lagi
yang terbuat dari kayu.
Para peneliti dari dalam negeri juga sepakat bahwa menara ini jelas
bercorak mirip bangunan candi atau menara Kul – Kul di Bali. Beberapa
peneliti menghubungkan bentuk menara itu dengan candi Jago, terutama jika
dilihat dari arsitektur dan kesamaan ragam hias tumpalnya. Ada pula yang
menyamakan Menara Kudus ini dengan candi di Singosari. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pengaruh Hindu cukup kuat berkembang, sehingga
masih dapat meninggalkan bekas – bekasnya. Bahkan pengaruh ini masih ada
yang dapat bertahan walaupun daerah ini menjadi Islam. Seperti atap
tumpang bertingkat tiga yang menutupi masjid, bangunan Gapura yang
mengelilingi atau terdapat pada tembok penutup kompleks, yang semuanya
mirip dengan pola arsitektur Hindu seperti pada bangunan-bangunan suci di
Bali. Kemudian unsur tradisi tampak pada tembok keliling dengan pintu
gerbang pada kompleks Masjid, merupakan warisan tradisi seni bangunan
pola Jawa-Hindu.
lxiv
Tempat wudhu di Masjid Menara Kudus yang mempunyai delapan
kran air, juga mengingatkan kita pada nilai filosofi kepercayaan agama
Budha. Bahwa manusia, jika ingin sukses harus melalui delapan jalur
kebenaran yang disebut Astasanghikamarga, yaitu : pengetahuan, keputusan,
perkataan, perbuatan, cara penghidupan, daya usaha, meditasi, kontemplasi.
Kebiasaan unik Sunan Kudus dalam berdakwah adalah dengan
berakulturasi dengan peradaban Hindu yang telah berkembang sebelumnya.
Hal ini dibuktikan dengan larangan menyembelih sapi yang disucikan
mereka, tapi makan dagingnya diperbolehkan. Daging yang dimakan, mereka
datangkan dari luar Kudus seperti Jepara, Pati dan sebagainya. Selain itu,
karena Sunan Kudus seorang yang faqih maka masalah penentuan awal
puasa menjadi perhatiannya. Untuk mengundang para jamaah ke masjid,
Sunan Kudus menabuh bedug bertalu – talu. Setelah jamaah berkumpul di
masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Acara ini kemudian dikenal dengan nama Bedhug Dhandang (Zainuri, 2007 :
93).
Tahun pendirian Menara Kudus mungkin berhubungan dengan
inskripsi berbahasa arab diatas mihrab dan tulisan pada tiang di atap
bangunan yang tergores candrasangkala yang berbunyi ”gapuro rusak
ewahing jagad” yang berbobot angka 1685 Masehi. Namun juga ada ahli
yang memperkirakan menara dibangun pada abad ke-16 Sedangkan nama
Kudus sendiri berasal dari kata Al Quds seperti bunyi inskripsi yang terdapat
di atas mihrab Masjid Menara kudus, yang bisa menjelaskan bahwa pendiri
lxv
masjid itu bernama : Ja’far Shodiq. Dan masjid tersebut diberi nama masjid
Al Aqsa atau Al Manar, dan kotanya disebut pula dengan Al Quds (Kudus
yang artinya suci) (Syafwandi, 1985 : 18).
B. Penelitian Yang Relevan
Sri Kusdinah dalam penelitiannya pada tahun 1988/ 1989 dengan
judul Studi Keefektifan Metode Resitasi dan Diskusi Terhadap Prestasi
Belajar IPS Sejarah Ditinjau Dari Tnigkat Kesadaran Sejarahnya Suatu
Eksperimen Pada SMP Swasta di Kota Madya Surakarta, menyimpulkan
bahwa metode ceramah dan resitasi lebih efektif untuk meningkatkan prestasi
belajar IPS sejarah di SMP. Ada interaksi antara metode pengajaran dan
tingkat kesadaran sejarah sehingga ada perbedaan pengaruh efektivitas antara
siswa yang berkesadaran sejarah tinggi dengan yang berkesadaran rendah
terhadap prestasi belajar siswa.
Mauidhatul Khasanah dalam penelitiannya dalam judul Meningkatkan
Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Kelas VIIIc Semester II Smp Negeri 36
Semarang Tahun Pelajaran 2006/2007 Pada Materi Pokok Bangun Ruang
Sisi Datar Melalui Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Dengan
Metode Resitasi, menyimpulkan hasil penelitian bahwa melalui implementasi
model pembelajaran kooperatif dengan metode resitasi dapat meningkatkan
aktivitas siswa kelas VIIIC SMP Negeri 36 Semarang tahun pelajaran
2006/2007 dalam pembelajaran matematika pada materi pokok bangun ruang
sisi datar, dan Melalui implementasi model pembelajaran kooperatif dengan
metode resitasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIIIC SMP
lxvi
Negeri 36 Semarang tahun pelajaran 2006/2007 dalam pembelajaran
matematika pada materi pokok bangun ruang sisi datar.
C. Kerangka Pikir
Masuknya pengaruh Islam ke kebudayaan Nasional, meliputi bahasa,
nama, adat istiadat dan kesenian. Pengaruh kesenian ini yang mencolok pada
kesenian lagu-lagu qasidah, seni baca Al-Qur’an dan seni arsitektur, terutama
dalam bangunan-bangunan sarana peribadatan, seperti terdapatnya tulisan-
tulisan Arab (kaligrafi Islam) yang terpampang pada bangunan masjid dan
surau. Meskipun begitu, unsur kebudayaan agama Hindu / Budha masih ada
dalam corak dan sifat kebudayaan Indonesia.
Salah satu cara untuk mewujudkan pemahaman fakta sejarah proses
Islamisasi adalah dengan pembelajaran sejarah di sekolah. Selain itu, siswa
diajak berkunjung ke tempat-tempat bersejarah seperti di Menara Kudus.
Dengan berkunjung ke Menara Kudus siswa dapat mengamati dari dekat
bentuk bangunan arsitekturnya. Ini berarti Menara Kudus dapat dijadikan
sebagai sumber pembelajaran sejarah proses Islamisasi di Kudus. Dari hasil
pengamatan siswa dapat menggambarkan Islamisasi di kota Kudus dengan
Menara Kudus sebagai objeknya.
Melalui teknik pemberian tugas atau resitasi dalam pembelajaran
sejarah, siswa diberikan tugas untuk membuat laporan. Agar dalam
pemberian tugas dapat terarah maka guru memberikan tema yang ada
kaitannya dengan proses Islamisasi di Kudus dengan objek Menara Kudus
sebagai sumber belajar. Tema yang diangkat dapat berwujud tokoh pendiri
lxvii
Menara Kudus, sejarah Menara Kudus, Arsitektur bangunan Menara Kudus,
peranan Menara Kudus dalam perkembangan proses Islamisasi di Kudus,
Akulturasi Budaya Islam di Kudus, Menara Kudus sebagai Wisata Ritual.
Tema-tema tugas yang diberikan guru kepada siswa bertujuan agar
tugas dapat terarah serta menumbuhkan motivasi dan kreativitas siswa dalam
mengerjakan tugas tersebut. Melalui kreativitas siswa dapat membangun
kesadaran sejarah sehingga berupaya untuk menggali budaya di daerahnya
sendiri. Kesadaran sejarah sendiri merupakan suatu gejala psikologis yang
memperlihatkan taraf kematangan tertentu.
Dalam kesadaran sejarah terkandung 1) pengetahuan tentang fakta
sejarah yang terkait dalam hubungan kausal, 2) logika kesejarahan, 3)
hikmah kebijaksanaan dengan menggunakan masa lampau untuk cermin
membangun kehidupan masa sekarang, 4) sikap menghadapkan diri dengan
kenyataan, 5) adanya dimensi waktu lampau, kini akan datang, yang
memperlihatkan bahwa sejarah adalah suatu proses.
Proses itu di samping menumbuhkan kesadaran sejarah pada diri
siswa juga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk
menghindarkan kebosanan siswa dalam pembelajaran sejarah. Berdasarkan
beberapa uraian yang telah dikemukakan tersebut, maka skema kerangka
pikir dalam penelitan ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1 : Skema Kerangka Pikir
Guru
Pelajaran sejarah
Persiapan guru ·
Pemahaman guru tentang
lxviii
Sumber: Penulis
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Menurut Sartono Kartodirjo (1992 : 29) metodologi merupakan konsep
teoritik yang membahas dan membicarakan berbagai metode atau ilmu metode-
lxix
metode yang digunakan dalam kegiatan penelitian. Berangkat dari pengertian
tersebut maka metode merupakan bagian dari metodologi. Metodologi penelitian
merupakan aktivitas untuk mencari dan memperoleh kebenaran ilmiah dengan
mengaplikasikan multi metode, misalnya pengumpulan data dengan wawancara,
observasi, maupun mencatat dan menganalisis arsip maupun dokumen.
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di SMA NU Al Ma’ruf Kudus. Faktor yang
mendasari SMA NU Al-Ma’ruf dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah:
1. Lokasi tersebut mudah dijangkau karena ketaknya berdekatan dengan
tempat kerja dan rumah peneliti. Hal ini sangat dimungkinkan tidak
terlalu memakan waktu, biaya dan tenaga seperti yang disarankan oleh
Burton dan Moleong (1995 : 86).
2. Lokasi tidak asing bagi peneliti, karena sudah terjalin kerja sama antara
lembaga tempat kerja peneliti dan SMA NU Al-Ma’ruf Kudus. Hal ini
sekaligus sudah terjalin hubungan yang baik dan saling ada kepercayaan
antara peneliti dengan pihak yang diteliti seperti yang disarankan oleh
Burton dan Moleong (1995 : 79).
3. Secara geografis SMA NU Al-Ma’ruf Kudus letaknya ada di pusat kota,
dan dekat dengan bangunan Menara Kudus. SMA NU Al-Ma’ruf Kudus
memiliki ciri bernuansakan keIslaman, serta berlatar belakang budaya
Islam. Pelajaran sejarah dengan objek Menara Kudus berhubungan
dengan materi pelajaran sejarah di kelas XI semester I dengan kompetensi
56
lxx
dasar menganalisis pengaruh perkembangan agama dan kebudayaan
Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
4. Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan, dimulai bulan Oktober
2008 sampai dengan bulan Mei 2009.
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif deskriptif, mengingat penelitian ini lebih menekankan
pada kegiatan maupun informasi tentang keadaan yang sedang berlangsung
dan lebih menekankan pada proses dan makna (H.B Sutopo, 1996 : 38-39).
Berdasar dari tujuan penelitian, jenis penelitian ini adalah penelitian
dasar (basic research). Penelitian ini juga sering disebut sebagai penelitian
akademik atau penelitian murni yang hanya bertujuan untuk pemahaman
mengenai suatu masalah mengarah pada manfaat teoretik, tidak pada manfaat
praktis (H.B. Sutopo, 2006 : 135).
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik
dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
lxxi
konteks khusus yang dialami dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah
(Moleong, 2006 : 6).
Metode penelitian kualitatif deskriptif digunakan dalam penelitian ini
dengan beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif
lebih mudah bila dihadapkan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini
menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan
informan. Metode ini juga lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri
dengan banyak pemahaman dan pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai
yang dihadapi.
Penelitian kualitatif deskriptif yang bersifat deskriptif mengarah pada
pendeskripsian secara rinci dan mendalam baik kondisi maupun proses, dan
juga hubungan atau saling keterkaitannya mengenai hal-hal pokok yang
ditemukan pada sasaran penelitiannya (H.B. Sutopo, 2006 : 179).
Pada dasarnya landasan teoretis dari penelitian kualitatif itu
mendasarkan pada fenomenologi. Karena itu fenomenologi dijadikan sebagai
dasar teoretis utama. Istilah fenomenologi sering juga digunakan sebagai
anggapan umum untuk menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai
jenis dan tipe subjek yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini
mengacu pada penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama
seseorang (Moleong, 2006 : 9). Di sini peneliti berusaha masuk kedalam
dunia para subjek yang diteliti sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa
dan bagaimana sejarah dari peristiwa yang ada di sekitar lingkungan mereka.
lxxii
Dengan pendekatan inilah diharapkan metode resitasi dalam
pembelajaran sejarah Islamisasi pada siswa SMA NU Al Ma’ruf Kudus dapat
dideskripsikan secara lebih teliti dan mendalam.
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan studi kasus. Studi kasus
merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada
suatu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan
komprehensif, studi kasus ini dilakukan terhadap suatu kelompok masyarakat.
Kelompok ini diteliti, dan permasalahannya ditelaah secara menyeluruh,
mendalam dan mendetail, berbagai variabel ditelaah dan ditelusuri termasuk
juga hubungan antarvariabel yang ada.
2. Strategi Penelitian
Penelitian dengan metode kualitatif, bertujuan untuk menggali data
dari perspektif subjek penelitian. Pada penelitian ini subjek diberikan
kesempatan untuk mengungkapkan segala pengetahuan mereka tentang
pembelajaran sejarah Islamisasi melalui metode resitasi dengan objek
“Menara Kudus” di SMA NU Al Ma’ruf Kudus. Strategi penelitian yang
terarah pada satu karakteristik tersebut disebut studi kasus tunggal. Penelitian
ini telah ditentukan terlebih dahulu permasalahan yang akan dicari dan
dibahas sehingga penelitian ini dinamakan juga studi kasus tunggal
terpancang.
Pemilihan strategi penelitian studi kasus tunggal terpancang
didasarkan pada kenyataan bahwa penelitian ini difokuskan pada satu
lxxiii
permasalahan saja yaitu penggunaan objek Menara Kudus sebagai sumber
pelajaran sejarah islamisasi dengan menggunakan metode resitasi di mana
penelitian ini dilaksanakan di SMA SMA NU Al Ma’ruf Kudus.
C. Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland dalam Moleong (2006 : 112) sumber
data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata–kata dan tindakan
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain – lain.
1) Informan
Individu yang memiliki informasi dan tidak sekedar memberikan
tanggapan, tetapi bisa lebih memilih arah dalam menyajikan informasi
yang dimilikinya. meliputi empat unsur yaitu :
a) Kepala Sekolah dan guru sejarah SMA Al Ma’ruf, hal ini berkaitan
dengan metode resitasi yang dipilih seorang guru dalam pembelajaran
sejarah Islamisasi dan metode resitasi dalam pembelajaran sejarah.
b) Siswa, di sini siswa SMA NU Al Ma’ruf Kudus berperan sebagai
objek penelitian di mana dengan pembelajaran menggunakan metode
resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi dengan objek “Menara
Kudus”, siswa diharuskan membuat resume dengan kalimat sendiri.
c) Tokoh masyarakat yang mengetahui tentang sejarah menara Kudus.
d) Pengelola Objek Menara Kudus (YM3SK) Yayasan Masjid, Menara
dan Makam Sunan Kudus yang bertugas memandu para pengunjung
yang membutuhkan informasi tentang Menara Kudus.
lxxiv
2) Tempat dan Peristiwa
Informasi mengenai kondisi lokasi peristiwa, atau tempat dimana aktivitas
di lakukan, bisa digali lewat sumber lokasinya, baik yang merupakan
tempat maupun lokasinya. Lokasi dalam penelitian ini adalah SMA NU Al
Ma’ruf Kudus dan Menara Kudus. Lokasi ini memberikan informasi yang
penting dalam penelitian dalam kaitannya memberikan informasi tentang
kondisi sarana prasarana yang dapat mendukung proses pembelajaran
sejarah islamisasi. Data juga dapat dikumpulkan dari peristiwa sebagai
sumber data yang berkaitan dengan sasaran penelitian. Dari pengamatan
suatu peristiwa secara langsung dapat diketahui bagaimana proses
peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang dimaksud adalah proses kegiatan
pembelajaran sejarah islamisasi dengan objek Menara Kudus dengan
menggunakan metode resitasi.
3) Dokumen
Dokumen dan arsip biasanya merupakan bahan tertulis yang bergayutan
dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu (H.B Sutopo 2006 : 61).
Dokumen/arsip yang berupa nilai akhir kegiatan siswa dalam proses
pembelajaran sejarah, rencana kegiatan pembelajaran atau Satuan
Pelajaran, soal tes, catatan hasil tes dan hasil pemberian tugas laporan
yang menyangkut tema tokoh pendiri Menara Kudus, sejarah Menara
Kudus, Arsitektur bangunan Menara Kudus, peranan Menara Kudus
lxxv
dalam perkembangan proses Islamisasi di Indonesia, Akulturasi Budaya
Islam di Kudus, Menara Kudus sebagai Wisata Ritual, pada SMU NU Al
Ma’ruf Kudus Kelas XI IPS 1 Semester 1 Tahun Pelajaran 2008/ 2009.
D. Teknik Cuplikan
Penelitian tentang proses Islamisasi dan metode resitasi dalam
pembelajaran sejarah ini menggunakan cuplikan yang disebut sebagai internal
sampling. Dalam cuplikan yang bersifat internal, cuplikan diambil untuk
mewakili informasinya bukan populasinya, dengan kelengkapan dan
kedalamannya yang tidak perlu ditentukan oleh jumlah sumber datanya,
karena jumlah informan yang kecil bisa saja menjelaskan informasi tertentu
dengan lebih lengkap dan benar daripada informasi yang diperoleh dari
jumlah narasumber yang lebih banyak, yang mungkin kurang mengetahui dan
memahami informasi yang sebenarnya. Sampling dalam penelitian kualitatif,
dari sifatnya yang internal tersebut mengarah pada kemungkinan generalisasi
teoretis (H.B Sutopo 2006 : 63).
Dalam implementasi metode resitasi pada pelajaran sejarah dengan
objek Menara Kudus, cuplikan informasi diambil dari kepala sekolah, guru,
siswa dan tokoh masyarakat berdasarkan kualitas informasi dan bukan
kuantitas informasinya.
Menurut Sanggar Kanto (dalam Burhan Bungin 2003 : 51) Sampling
adalah proses pemilihan atau penentuan sample (contoh) menunjuk pada
bagian dari populasi. Sampling dilakukan dengan tujuan tertentu. Dalam
prosedur sampling penelitian kualitatif yang terpenting adalah bagaimana
lxxvi
menentukan informan kunci atau situasi sosial tertentu yang sarat informasi
sesuai dengan fokus penelitian.
Sampling di sini adalah cara untuk mengambil sampel penelitian, yaitu
menentukan informan yang dinggap mampu menjawab dan memecahkan
permasalahan yang diajukan. Maksud sampling dalam hal ini adalah untuk
menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber. Dengan
demikian tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan yang
nantinya dikembangkan dalam generalisasi. Tujuannya adalah untuk merinci
kekhususan yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik. Maksud kedua dari
sampling ialah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan
dan teori yang muncul. Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada
sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample).
Sampel bertujuan dapat diketahui ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Rancangan sampel yang muncul tidak dapat ditentukan atau ditarik
terlebih dahulu
2. Pemilihan sampel secara keseluruhan
3. Penyesuaian berkelanjutan dari sampel
4. Pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan
Penelitian ini adalah kualitatif maka teknik sampling tidak
menggunakan probability sampling seperti yang lazim digunakan dalam
penelitian kuantitatif, disini setiap warga populasi mempunyai peluang yang
sama terpilih sebagai sampel. Konsep sampel dalam penelitian kualitatif
berkaitan bagaimana memilih informan atau situasi sosial tertentu yang dapat
lxxvii
memberikan informasi yang mantap dan terpercaya mengenai elemen-elemen
yang ada (karakteristik elemen-elemen yang tercakup dalam fokus/ topik
penelitian). Pada paradigma naturalistik mulai dengan asumsi-asumsi bahwa
konteks itu kritis sehingga masing-masing konteks itu ditangani dari segi
konteksnya itu sendiri (Moleong, 2006 : 165).
E. Teknik Pengumpulan Data
Karakteristik utama dalam penelitian kualitatif adalah sumber data
yang diperoleh dari lapangan. Sudah tentu sumber yang diperoleh dari
lapangan harus lengkap meliputi pengamatan dan wawancara pada objek
penelitian. Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini,
beberapa metode yang digunakan adalah:
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Maksud mengadakan
wawancara seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba dalam Moleong
(2000 : 135) yaitu mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan,
organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, serta merekonstruksi
kebulatan yang dialami masa pada masa lalu untuk diproyeksikan dalam
masa kini dan masa yang akan datang.
lxxviii
Menurut H.B Sutopo (2006 : 56) wawancara mendalam dilakukan
dengan pertanyaan yang ”open ended” dan mengarah pada kedalaman
informasi serta dilakukan tidak secara formal terstruktur, guna menggali
pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat
untuk menjadi dasar bagi penelitian lebih jauh.
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini bersifat open
ended atau berujung terbuka di mana responden dalam memberikan
jawaban tidak hanya terbatas pada satu tanggapan saja tetapi berkaitan
dengan hakekat atau peristiwa yang terjadi sesungguhnya. Dalam
wawancara bersifat open ended responden juga diminta untuk
mengemukakan pengertiannya sendiri tentang suatu peristiwa, yang
kemudian dapat dipakai sebagai sumber informasi untuk mendapatkan
keterangan lebih lanjut.
Dalam penelitian ini wawancara digunakan untuk mendapatkan
informasi tentang pelajaran sejarah Islamisasi melalui metode resitasi
dengan menggunakan objek Menara Kudus sebagai sumber. Informan
yang akan dimintai keterangan meliputi Kepala Sekolah dan guru Mata
Pelajaran Sejarah SMA NU AL Ma’ruf Kudus, siswa kelas XI IPS tokoh
masyarakat, pengelola YM3SK. Wawancara dilakukan di SMA NU Al
Ma’ruf dan lokasi Menara Kudus.
2. Observasi langsung
Selain wawancara Teknik pungumpulan data yang lain adalah
observasi langsung berperan pasif, pada teknik observasi langsung
lxxix
berperan pasif peneliti tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan
sebenarnya, tetapi hanya berperan sebagai penonton (Spradley dalam H.B
Sutopo 1996 : 56). Yaitu dengan melakukan pengamatan langsung tentang
pembelajaran sejarah di sekolah. Observasi langsung ini merupakan
sumber bukti dalam studi kasus. Observasi ini dilakukan secara nonformal
dengan melakukan kunjungan ke lapangan dan melihat apa saja yang
terjadi.
Tahap observasi : (1) melakukan diskusi dengan guru sejarah dan
kepala Sekolah untuk rencana observasi, (2) melakukan pengamatan
terhadap penerapan model pembelajaran resitasi yang dilakukan guru
sejarah, (3) mencatat setiap kegiatan dan perubahan yang terjadi saat
penerapan model pembelajaran resitasi, (4) melakukan diskusi dengan
guru untuk membahas tentang kelemahan atau kekurangan yang dilakukan
guru serta memberikan saran perbaikan untuk pembelajaran berikutnya.
Observasi dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan pembelajaran sejarah (
Pertemuan I, 2x45 menit di dalam kelas, pertemuan II, 3x45 menit,
pembelajaran di lokasi Menara Kudus, pertemuan III, pembahasan, diskusi
dan laporan, di dalam kelas).
3. Mengkaji dokumen dan arsip
Mencatat arsip yang berisi tentang catatan guru dan siswa, meliputi
catatan hasil belajar siswa (arsip daftar nilai siswa), silabus, RPP, dan
pemberian tugas ke Menara Kudus.
lxxx
Studi dokumen dan arsip dilakukan untuk mengumpulkan,
mengidentifikasi dan menganalisis data yang bersumber dari dokumen dan
arsip. Jenis dokumen meliputi : silabus, RPP, dan pemberian tugas ke
Menara Kudus. Sedangkan jenis arsip meliputi daftar nama siswa dan nilai
hasil belajar siswa. Dokumen dan arsip tersebut disimpan di almari arsip
dan dokumen guru sejarah SMA NU AL Ma’ruf.
F. Validitas atau Keabsahan data
Menurut Patton dalam H.B Sutopo (2006 : 92), Trianggulasi
merupakan cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas data
dalam penelitian kualitatif. Trianggulasi merupakan teknik yang didasari pola
pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif. Trianggulasi terbagi
menjadi empat macam, yaitu (1) trianggulasi data (data trianggulation), (2)
trianggulasi peneliti (investigator trianggulation), (3) trianggulasi
metodologis (methodological trianggulation), (4) trianggulasi teoretis
(theoretical trianggulation).
Validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
trianggulasi sumber/data dan trianggulasi metode
lxxxi
a. Trianggulasi sumber/data
Trianggulasi sumber data digunakan untuk mengarahkan agar
dalam mengumpulkan data, menggunakan beragam sumber data yang
berbeda. Data yang sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali
dari beberapa sumber data yang berbeda. Dalam penelitian ini data tentang
proses pembelajaran Islamisasi dengan metode resitasi diperoleh dari
informasi para siswa ditrianggulasi dengan data yang diperoleh dari
informasi guru maupun Kepala Sekolah.
Gambar 2 : Model Trianggulasi Data
Sumber: H. B Sutopo (2006 : 94).
Gambar 3 : Model Trianggulasi Data Bentuk Lain
Sumber: H. B Sutopo (2006 : 94).
Data Wawancara Informan 2
Informan 1
Informan 3
Data
Wawancara
Observasi
Content Analysis
Informan
Dokumen / Arsip
Aktivitas / Perilaku
lxxxii
b. Trianggulasi metode
Trianggulasi metode dilakukan untuk mengumpulkan data yang
sejenis, tetapi dengan cara yang berbeda, dalam hal ini data hasil
wawancara akan ditrianggulasikan melalui teknik observasi, analisis
dokumen dan arsip.
Gambar 4 : Model Trianggulasi Metode
Sumber: H. B Sutopo (2006 : 96).
G. Analisis data
Penelitian mengenai proses Islamisasi dengan metode resitasi dalam
pembelajaran sejarah dapat dianalisa menggunakan interactive model of
analysis. Dalam penelitian kualitiatif ini menggunakan logika induktif
abstraktif. Suatu logika yang bertitik tolak dari khusus ke umum.
Konseptualisasi, kategorisasi, dan deskripsi dikembangkan atas dasar kejadian
yang diperoleh ketika kegiatan lapangan berlangsung. Teoritisasi yang
memperlihatkan bagaimana hubungan antar kategori (atau hubungan
antarvariabel) juga dikembangkan atas dasar data yang diperoleh ketika
kegiatan lapangan berlangsung.
Dalam kegiatan pengumpulan dan analisis data menjadi tidak
mungkin dipisahkan satu sama lain. Keduanya berlangsung secara simultan.
Data Wawancara
Observasi
Sumber data
Dokumen
lxxxiii
Prosesnya berbentuk siklus bukan linier. Jadi sifat koleksi data bersifat
interaktif atau pengumpulan data dengan analisis data (interactive model of
analysis). Pengumpulan data ditempatkan sebagai komponen yang merupakan
bagian integral dari kegiatan analisis data.
Hasil pengumpulan data tersebut perlu direduksi. Istilah reduksi data
dalam penelitian kualitatif dapat disejajarkan maknanya dengan istilah
pengelolaan data (mulai dari editing, koding, hingga tabulasi data), mencakup
kegiatan mengikhtisarkan hasil pengumpulan data secara lengkap dan
memilah – milahnya ke dalam satuan konsep tertentu, kategori tertentu atau
tema tertentu.
Hasil reduksi data perlu diorganisasikan ke dalam suatu bentuk
tertentu (display data) sehingga terlihat secara lebih utuh, semacam sketsa,
sinopsis, matriks, atau bentuk – bentuk lain, sangat diperlukan untuk
memudahkan upaya pemaparan dan penegasan simpulan (conclusion drawing
and verification). Analisis data seperti ini prosesnya tidak sekali jadi,
melainkan berinteraktif secara bolak–balik Perkembangannya bersifat
sekuensial atau bolak–balik (Burhan Bungin, 2003 : 68).
Gambaran tentang proses analisis dapat disajikan dalam bentuk
diagram sebagai berikut:
lxxxiv
Gambar 5. Bagan Siklus Analisis Interaktif
Sumber: H. B Sutopo (2006 : 120).
Analisis penelitian mengenai proses Islamisasi dan metode resitasi
dalam pembelajaran sejarah dengan objek Menara Kudus ini, dimulai dari
pengumpulan data yang meliputi data wawancara, observasi, dokumen dan
arsip.
Proses interaktif dilakukan dengan membandingkan data wawancara
Kepala Sekolah, guru, siswa, tokoh masyarakat, dengan data observasi
implementasi metode resitasi, catatan arsip maupun dokumen. Usaha ini
dilakukan guna pemantapan penarikan simpulan dan validitas data.
Selanjutnya interaksi dilakukan antar komponen analisisnya yang meliputi
reduksi data, sajian data dan penarikan simpulan/verifikasi.
sajian data Reduksi
data
penarikan simpulan/ verifikasi
pengumpulan data (1) (2)
(3)
lxxxv
lxxxvi
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Latar
Salah satu lembaga pendidikan yang ada di kota Kudus adalah
SMA NU Al Ma’ruf. Sekolah yang letaknya sangat strategis ini, berada di
pintu gerbang kota Kudus, jalur utama Semarang – Kudus. Sekolah ini
berdiri cukup megah dan elegan di jalan AKBP R. Agil Kusumadya No. 2
Kudus.
1. Sejarah berdirinya SMA NU Al Ma’ruf Kudus
Untuk mendeskripsikan bagaimana proses berdirinya SMA NU
maka perlu diketahui hal – hal sebagi berikut :
a. Latar Belakang Berdirinya SMA NU
Untuk mengisi kemerdekaan RI yang berdasarkan Pancasila
dengan mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, maka
Pemerintah Daerah Tingkat II Kudus, pada tahun 1965 membuat
kebijaksanaan di bidang pendidikan antara lain : mewujudkan sedikitnya
satu SD dan MI, satu SMP dan satu MTs. Di setiap kecamatan serta
Perguruan Tinggi yang didukung oleh sejumlah SMA dan MA di Kabupaten
Kudus.
73
lxxxvii
Pada waktu itu di Kabupaten Kudus baru berdiri beberapa SMA,
sedangkan siswa lulusan SMP masih banyak yang belum tertampung di
SMA yang sudah ada. Di antara mereka masih banyak yang melanjutkan
sekolah di luar daerah Kabupaten Kudus. Berdasarkan hal – hal di atas
itulah penambahan SMA di Kabupaten Kudus sangat diharapkan oleh
masyarakat.
b. Gagasan Berdirinya SMA NU
Untuk mewujudkan kebijaksanaan pemerintah Daerah Tingkat II
Kudus dengan meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, maka Bapak
Drs. Sunarto Noto Widagdo selaku Bupati KDH Tk. II Kabupaten Kudus
mencetuskan gagasan untuk mendirikan SMA NU di Kudus kepada Bapak
Masyhud selaku Ketua Yayasan Kesejahteraan Daerah (YKD) dan Ketua
DPRD Tk. II Kabupaten Kudus.
Gagasan tersebut di atas dimaksudkan agar ummat Islam
khususnya warga Nahdlatul Ulama’ Kudus berpartisipasi aktif dalam
pembangunan pendidikan. Sebab Nahdlatul Ulama’ merupakan salah satu
organisasi sosial yang dipandang mampu dan potensi untuk mendirikan
SMA yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kemudian gagasan itu
didukung oleh Bapak Masykur AW selaku BPH Kabupaten Kudus dan
Bapak A. Moehaimin Oestman selaku Ketua Fraksi NU DPRD Tk. II
Kabupaten Kudus.
Sebagai tindak lanjut untuk mewujudkan gagasan tersebut di atas
diperlukan persiapan sarana dan prasarana, maka diadakan musyawarah
lxxxviii
yang dipimpin oleh Bapak Drs. Sunarto Noto Widagdo selaku Bupati KDH
Tk. II Kabupaten Kudus dan Bapak Masyhud selaku Ketua YKD/DPRD Tk.
II Kabupaten Kudus dengan mengundang :
1) Bapak H. Zainuri Noor, pengusaha Percetakan Menara Kudus
2) Bapak H. Ambari Noor pengusaha rokok
3) Bapak Masykur AW, anggota BPH Kabupaten Kudus.
4) Bapak A. Moehaimin Oestman, Ketua Fraksi NU DPRD Tk. II
Kabupaten Kudus
Berdasarkan musyawarah tersebut dihasilkan kesepakatan antara lain :
5) Menugaskan Bapak Masyhud selaku Ketua YKD untuk menghadap
Bapak H. Ma’ruf, pengusaha rokok Jambu Bol Kudus guna
menyampaikan gagasan mendirikan SMA NU dan dimohon
bantuannya.
6) Menugaskan Bapak A. Moehaimin untuk mencari tanah yang startegis
untuk lokasi pembangunan gedung.
Akhirnya pada tanggal 12 Maret 1965, di hadapan Bapak R.
Sumarno selaku Camat Jati terjadilah transaksi jual beli tanah antara bapak
Samsuri Kosim, Bapak Djamilun, Bapak Suwarno dan Bapak Tabri yang
kesemuanya selaku pihak penjual sebidang tanah di desa Ploso dengan
Bapak H. Ma’ruf, pengusaha rokok jambu bol selaku pembeli.
Untuk merealisasi terwujudnya SMA NU maka dibentuklah
lembaga berbadan hokum yatu Yayasan Perguruan Islam Nahdatul Ulama’
dengan akte No. 06 tanggal 28 Januari 1965 :
lxxxix
Pelindung/Penasehat : Drs. Soenarto Noto Widagdo, H.A. Ma’roef
Ketua : H. Masykur AW
Wakil Ketua : H. Ambari Noor
Sekretaris : Niam Zuhri, A. Moehaimin Oestman
Bendahara : H. Zaenuri Noor
Setelah terbentuk pengurus Yayasan dan tersedia tanah lokasi
sekolah, maka dimulailah pembangunan gedung SMA NU dengan peletakan
batu pertama oleh Bapak KH. Syaifuddin Zuhri selaku PB NU (pada waktu
itu menjabat sebagai Menteri Agama RI) pada tanggal 28 Agustus 1965.
Selesai persiapan fisik, pengurus Yayasan Perguruan Nahdlatul
Ulama’ membentuk tim yang bertugas mempersiapkan pembukaan SMA
NU, baik tenaga guru, tenaga administrasi maupun segala sesuatu yang
diperlukan. Akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Yayasan Perguruan
Islam Nahdlatul Ulama’ No. 10/YPI/69 tanggal 2 Januari 1970 dipimpin
oleh Bapak Muchtar Effendi, BA sebagai Kepala Sekolah.
2. Dinamika Perkembangan SMA NU Al Ma’ruf Kudus
Perkembangan yang dimaksudkan di sini adalah perkembangan
SMA NU Al Ma’ruf dari waktu ke waktu yang mengandung pengertian
perkembangan sejak lahir hingga sekarang.
a. Pembukaan Pertama SMA NU
Tim yang bertugas mempersiapkan pembukaan SMA NU telah
dapat menunaikan tugasnya dengan baik. Pembukaan SMA NU
xc
dilaksanakan pada tanggal 2 Januari 1970 yang dipimpin oleh Bapak
Muchtar Effendi, BA sebagai Kepala Sekolah dan Bapak Farizi Tz, BA
sebagai Tata Usaha dan dibantu oleh guru – guru sebagai berikut : Muchtar
Effendi, BA, Abdullah Sonhaji, Daenuri, BA, Muslichan Hamid Noor, Drs.
Muh. Jamilun, Baidlowi, BA, Drs. Edi Sardjono, Drs. Ibnu Sudarto,
Soemiyarto, BA, Suwito, BA, Soebarno, BA, Suyoto, Moersodo.
Pada pembukaan pertama, SMA NU menampung 39 siswa. Putra
32 dan putri 7. Pada waktu itu tepatnya setelah Pemilu 1971 terjadi
perubahan dan perkembangan konstalasi yang mendasar. Keadaan ini pun
berpengaruh terhadap dunia pendidikan.
b. Perubahan Nama dari SMA NU menjadi SMA Islam Al Ma’ruf
Konsekuensi logis akibat perubahan dan perkembangan politik
seperti disebutkan di atas sangat terasa pengaruhnya terhadap perkembangan
SMA NU. Di antaranya adalah berubahnya nama Yayasan, yang semula
bernama Yayasan Perguruan Islam Sunan Dja’far Shadiq mengambil nama
dari Sunan Kudus berdasarkan akta No. 07 tanggal 1 Maret 1972 dengan
susunan pengurus sebagai berikut :
Ketua I : H. Ambari Noor, II : H.Moehaimin Oestman, III :
H. Ali Ba’gil
Sekretaris : H. Farizi Tz, BA, H. Abdullah Sonhaji H
Bendahara : H. Bachro Ma’sum; H. Zaenuri Noor,
Adapun susunan pengurus Yayasan Perguruan Islam Sunan
Dja’far Shadiq semula diketuai oleh Bapak H. A. Moehaimin Oestman.
xci
Perubahan nama ternyata tidak hanya pada nama Yayasan, nama SMA pun
mengalami perubahan, semula bernama SMA NU berubah menjadi SMA
Islam Al Ma’ruf. Nama Al Ma’ruf di samping mengandung pengertian yang
baik, juga bermaksud mengabadikan nama salah seorang yang banyak
jasanya terhadap berdirinya sekolah ini, yaitu Bapak H. Ma’ruf pengusaha
rokok Jambu Bol Kudus.
Dalam penataan sekolah lebih lanjut, pada tahun pelajaran
1980/1981 Yayasan memandang perlunya penyegaran personalia sekolah
yang ada. Dengan Surat Kepurusan Yayasan Perguruan Islam Sunan
Dja’far Shodiq No. 040/I-b/VII/1980 tertanggal 1 Juli 1980, pimpinan
sekolah yang lama yaitu Bapak Muchtar Effendi, BA dialih tugaskan kepada
Bapak Drs. H.M Munawar Cholil dan beliaulah yang memimpin sekolah
hingga sekarang ini.
Masih berkaitan dengan nama sekolah, pada tahun pelajaran
1994/1995 kembali mengalami perubahan nama dari SMA berubah menjadi
SMU dan berdasarkan SK PBNU No. 277/a.1.03/7/2002 tentang
Kebijaksanaan umum Penentuan Status Hukum dan Penataan Yayasan, Aset
dan Kekayaan di lingkungan Nahdlatul Ulama’ yang ditindaklanjuti dengan
SK bersama PCNU dan Badan Pelaksana Pendidikan Ma’arif NU tanggal
22 Juni 2003 maka nama Islam diganti dengan NU sehingga menjadi SMU
NU Al Ma’ruf Kudus. Pada bulan Februari 2004, kembali nama SMU
berubah menjadi SMA hingga menjadi SMA NU Al Ma’ruf.
3. Penilaian Status Jenjang Pendidikan
xcii
Untuk mendirikan dorongan agar mutu pendidikan sesuai dengan
yang diharapkan dan untuk memberikan informasi kepada masyarakat
tentang status pendidikan suatu sekolah, maka Depdikbud
menyelenggarakan akreditasi terhadap sekolah – sekolah swasta.
Akreditasi untuk SMA di Kabupaten Kudus dilaksanakan pada
akhir bulan Oktober 1984. Sedangkan untuk SMA NU Al Ma’ruf
dinyatakan sebagai sekolah yang berstatus jenjang diakui. Hal ini sesuai
dengan Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Depdikbud tertanggal 17 Januari 1985 No. 007/C/Kep/I/85.
Pada bulan Oktober 1989 dilaksanakan kembali akreditasi terhadap
sekolah – sekolah swasta, di dalamnya juga adalah SMA NU Al Ma’ruf
yang mampu mempertahankan status Diakui sesuai dengan Surat Keputusan
Dirjen Dikdasmen Depdikbud No. 009/C/Kep/I/90 tanggal 20 Januari 1990.
Akhirnya pada bulan Oktober 19992, Depdikbud
menyelenggarakan akreditasi terhadap SMA NU Al Ma’ruf. Pada tahun ini
pulalah yang merupakan momentum tersendiri bagi SMA NU Al Ma’ruf,
karena dalam akreditasi tahun ini status jenjang SMA NU Al Ma’ruf
mengalami perubahan yaitu dari status Diakui menjadi Disamakan dengan
Surat Keputusan No. 488/C/Kep/I/92 tertanggal 31 Desember 1992, sebuah
status jenjang pendidikan yang sangat didambakan oleh sekolah – sekolah
swasta pada umumnya, status jenjang tertinggi dan bergengsi, sebab status
jenjang suatu pendidikan mencerminkan kualitas sekolah itu sendiri.
xciii
Pada tanggal 22-23 Desember 2003, Badan Akreditasi Sekolah
(BAS) melaksanakan akreditasi sekolah di jenjang SMA. Ada enam sekolah
yang diakreditasi, tiga SMA negeri,dan tiga SMA swasta, SMA NU Al
Ma’ruf Kudus ada di antaranya dan memperoleh hasil akreditasi A (nilai 93)
di bawah SMA Negeri 1 Kudus (nilai 94).
Dengan status terakreditasi A ini SMA NU Al Ma’ruf diharapkan
semakin dapat menunjukkan eksistensinya sebagai sekolah yang bermisi di
tengah – tengah kehidupan masyarakat. Status jenjang terakreditasi A yang
diraih ini pun merupakan hasil kerja keras berbagai pihak.
Dengan prestasi tersebut, maka tidaklah berlebihan jika sekolah ini
semakin menunjukkan eksistensinya di tengah – tengah masyarakat. Karena
itu pula, SMA NU Al Ma’ruf memiliki visi Maju dalam Prestasi, Santun
dalam Pekerti. Sekolah ini berkomitmen untuk selalu meningkatkan dan
memajukan pretasi baik akademik maupun non akademik yang selalu
dibarengi akhlak mulia dan kesantunan dalam bertindak di mana pun dan
kapan pun. Dengan demikian akan dihasilkan SDM yang berkualitas.
Ada pun misi yang akan diwujudkan oleh SMA NU Al Ma’ruf
Kudus adalah : (1) Mewujudkan generasi beriman dan bertaqwa yang
berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah serta warga negara yang
bertanggungjawab. (2) Mewujudkan pribadi berkarakter dan berakhlakul
karimah. (3) Mengintensifkan pembelajaran intrakurikuler dan memperoleh
nilai lebih di bidang akademik. (4) Menggiatkan pembelajaran
ekstrakurikuler dan meningkatkan prestasi nonakademik. (5) Mampu
xciv
bersaing melanjutkan studi di perguruan tinggi. (6) Mampu berkiprah dalam
kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. (7) Memiliki bekal kemampuan
untuk terjun di dunia kerja.
Mulai tahun pelajaran 2006/ 2007, SMA NU Al Ma’ruf
menggunakan kurikulum tingkat pendidikan (KTSP) dengan
mengedepankan kualitas SDM yang berkompetensi tinggi. Untuk
merealisasikannya, maka di sekolah ini dibuka tiga jurusan atau program
studi.
Pertama, program Bahasa, siswa yang ada di program ini
difokuskan dan digembleng dalam penguasaan bahasa – bahasa asing secara
aktif. Bahkan program ini memiliki spesifikasi kegiatan yaitu guiding
programme, siswa diajak berkomuinikasi langsung dengan native speaker.
Kedua, program IPA, siswa lebih sering berkutat di laboratorium
sebagai aplikasi teori yang diperolehnya. Ketiga, program IPS, siswa
menekankan pembelajarannya di bidang ekonomi teori dan terapan,
sosiologi dan lain – lain.
Untuk membimbing dan mengarahkan para siswa tentang
belajarnya serta kelanjutan studinya, sekolah ini membuka layanan
bimbingan dalam bentuk guidance programme yang langsung ditangani
oleh guru bimbingan konseling.
Pada awal tahun pelajaran 1985/1986 SMA NU Al Ma’ruf Kudus
mulai merintis kelas pagi sesuai dengan program Yayasan dan desakan
masyarakat, pada waktu itu jumlah siswanya sebanyak 583 dengan 14 kelas,
xcv
terdiri dari 11 kelas siang dan 3 kelas pagi. Untuk mengetahui lebih lanjut
tentang perkembangan jumlah siswa dari awal pembukaan sekolah sampai
sekarang,tercatat secara rapi dalam arsip di bagian tatausaha sekolah,mulai
dari administrasi yang tertulis secara manual maupun dalam
komputer.dengan penataan yang sangat baik dan tertib.
4. Sarana Pendidikan
Dalam upaya memperlancar proses pendidikan, sekolah
menyediakan sarana pendidikan. Hingga saat ini SMA NU Al Ma’ruf
mempunyai 30 ruang kelas, laboratorium IPA (fisika, kimia, biologi),
Bahasa, Agama, Komputer, Multimedia, IPS (koperasi), Perpustakaan,
sebuah ruang/kantor Kepala Sekolah, kantor Wakil Kepala Sekolah, Kantor
Guru, Kantor TU, Musholla dan sarana pendidikan lainnya.
Pelaksanaan pembangunan sarana tersebur dilakukan secara
bertahap. Tahap demi tahap pembangunan sarana pendidikan terus
dilakukan. Hal ini disebabkan semakin bertambahnya animo masyarakat
untuk menyekolahkan putra – putrinya ke sekolah ini. Maka sejak tahun
1980/1981 diprogramkan untuk menambah dua lokasi ruang belajar setiap
tahunnya.
Pada tahun pelajaran 1981/1982 dibangun sebuah gedung
laboratorium IPA. Kemudian pada tahun 1983/1984 dirintis pembangunan
gedung bertingkat yang dilaksanakan secara bertahap. Pada tahun pelajaran
1984/1985 SMA NU Al Ma’ruf mendapat bantuan dari Depdikbud berupa
gedung sebanyak dua ruang baru menghadap ke timur lengkap dengan
xcvi
mebel. Gedung bantuan tersebut diresmikan penggunaannya oleh Bapak
Drs. Soejana Kepala Kanwil Depdikbud Jawa Tengah pada kesempatan ke
daerah tanggal 8 Oktober 1984.
Mulai tahun pelajaran 1983/1984 sampai tahun 1991/1992
pembangunan gedung bertingkat (lantai 2) yang terletak di bagian selatan
menghadap ke utara (seperti yang telah direncanakan) dapat terselesaikan.
Pada tahun pelajaran 1993/1994 membangun gedung bertingkat (lantai 2)
menghadap ke timur, terdiri dari dua ruang kelas. Sedangkan lantai bawah
(lantai 1) merupakan bantuan dari Depdikbud pada tahun 1984/1985.
Untuk meningkatkan fasilitas pendidikan seiring dengan
perkembangan jumlah siswa yang semakin meningkat serta mengejar mutu
sekolah maka dibangunlah beberapa fasilitas belajar mengajar yang meliputi
penambahan ruang kelas, pengadaan laboratorium bahasa dan perehaban
laboratorium IPA. Penambahan tiga ruang kelas lantai 2 gedung sekolah
utara yang dilaksanakan pada tahun pelajaran 1995/1996, dilanjutkan dua
ruang kelas lantai 2 dan perehaban teras gedung sebelah utara pada tahun
1996/1997 serta penambahan dua ruang kelas lantai 2 pada tahun 1997/1998
mengakhiri pembangunan ruang kelas lantai 2 gedung sebelah utara.
Masih pada tahun 1997/1998 dilaksanakan pavingisasi halaman
sekolah. Hal ini dimaksudkan agar kondisi halaman tetap bisa dipakai
sebagai sarana kegiatan belajar mengajar baik kegiatan intrakurikuler,
misalnya pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan maupun kegiatan
ekstrakurikuler serta kegiatan lainnya. Di samping itu untuk mengantisipasi
xcvii
agar halaman tidak becek jika musim hujan tiba dan meminimalisasi debu
pada waktu musim kemarau. Dan yang terpenting adalah penataan eksterior
sekolah terlihat rapi.
Mengingat jumlah siswa yang cukup besar dan fasilitas yang
dibutuhkan pun semakin besar, maka pada tahun 1998/1999 ditambahlah
dua ruang kelas lantai 3 gedung sebelah utara. Dilanjutkan pembangunannya
pada tahun 1999/2000 yaitu penambahan tiga ruang kelas lantai 3 gedung
sebelah utara. Pada tahun 2000/2001 pengadaan dan pemasangan fasilitas
lab bahasa, serta pembangunan dua ruang kelas lantai 3 menghadap selatan.
Sejak tahun pelajaran 1998/1999 SMA NU Al Ma’ruf membuka
program bahasa. Sejalan dengan komitmen program bahasa yaitu agar siswa
memiliki kompetensi dalam bidang bahasa khususnya bahasa – bahasa asing
maka pada tahun 2000/2001 diadakan sebuah fasilitas yang mungkin masih
jarang dimiliki oleh sekolah – sekolah di kabupaten Kudus, yaitu sebuah
laboratorium bahasa yang cukup lengkap dan representatif. Dilanjutkan
pada tahun 2002/2003 dengan penambahan fasilitas laboratorium bahasa.
Kehadiran laboratorium bahasa juga dimaksudkan agar semua
siswa SMA NU Al Ma’ruf memiliki keterampilan berbahasa asing dengan
baik sehingga dapat mengantisipasi era reformasi sekarang ini. Masih
berkaitan dengan peningkatan fasilitas pendidikan khususnya mata pelajaran
IPA (fisika, biologi, kimia) maka pada tahun 2001/2002 laboratorium
direhab kembali.
xcviii
Karena dirasa perlu ruang kelas lagi demi kelancaran proses belajar
mengajar, maka pada tahun 2001/2002 dibangun dua ruang kelas lantai 3
sebelah utara. Pada tahun 2002/2003 dilakukan rehab kamar kecil putra,
pembuatan garasi mobil dan dibangun kembali dua ruang lantai 3 paling
timur sendiri. Kemudan tahun 2003/2004 dilanjutkan dengan pembangunan
dua ruang lantai 3.
Pada tahun pelajaran 2004/2005, dibangun laboratorium IPA
(fisika, kimia, biologi) dan laboratorium computer dengan jumlah 35 unit
untuk praktik TIK kelas X serta awal tahun pelajaran 2005/2006 diadakan
penambahan 40 unit Pentium IV untuk kelas XI. Kemudian tahun pelajaran
2005/2006 melanjutkan pembangunan ruang kelas lantai 3 dan pemasangan
keramik teras serta penambahan 22 unit komputer untuk praktik TIK kelas
XII.
Dilanjutkan tahun pelajaran 2006/2007 dibangun laboratorium
multimedia yang terletak di lantai 2 sebelah barat yang dilengkapi sound
system, LCD proyektor, computer, laptop. Juga dilakukan perluasan dan
rehab musholla serta penambahan tempat wudlu putrid, kamar mandi putrid
di lantai 1. Penambahan alat kesenian yang menunjang pelaksanaan belajar
mengajar dan ekstrakurikuler.
5. Pendidikan Sejarah di SMA Nu Al Ma’ruf
Pelajaran sejarah, khusunya untuk tingkat SMA merupakan satu
diantara sekian mata pelajaran yang kurang mendapat apresiasi dari siswa.
xcix
Hal ini disebabkan, pelajaran sejarah adalah pelajaran yang dianggap
membosankan yang syarat dengan teori atau cerita yang mana siswa sendiri
tidak melihat secara langsung atau bukti nyata dari cerita itu kurang bisa
diyakini siswa.
Bahkan pelajaran sejarah dianggap pelajaran yang identik dengan
hafalan, yang merupakan beban bagi siswa. Inilah salah satu faktor
penyebab pelajaran sejarah kurang menarik bagi siswa. Dilihat dari hasil
evaluasi pembelajaran siswa, terdapat hubungan yang signifikan antara
motivasi belajar siswa terhadap pelajaran sejarah dan nilai ujian.
Untuk mensiasati agar siswa punya apresiasi terhadap pelajaran
sejarah, maka dalam proses kegiatan belajar mengajar, khususnya di SMA
NU Al-Ma’ruf selain metode ceramah dan diskusi kelas, ditempuh strategi
yang lain seperti pemberian tugas, baik yang sifatnya individu, kelompok
atau klasikal. Tugas individu yang bisa dikerjakan bersama adalah mencari
data atau informasi di internet. Untuk tugas kelompok misalnya membuat
miniatur rumah adat, atau salah satu peninggalan bersejarah, sedangkan
tugas klasikal contohnya adalah kunjungan langsung ke situs bukti
peninggalan bersejarah yang berkaitan dengan materi pelajaran. Contohnya
untuk materi Islamisasi di Indonesia khususnya di Kudus, siswa diminta
untuk berkunjung ke Menara Kudus. Dengan cara ini diharapkan siswa lebih
mamahami materi dan tidak terlalu tergantung pada penjelasan dari guru.
Selain itu, siswa akan lebih memahami bahwa pelajaran sejarah
tidak terlalu identik dengan hafalan atau teori. Ada nilai yang lebih dari itu,
c
yaitu proses terjadinya sejarah itu sendiri mengandung nilai yang tinggi
yakni hikmah apa yang diambil dari peristiwa itu.
B. Sajian Data
1. Pemahaman Guru Sejarah di SMA NU Al–Ma’ruf Kudus terhadap
Menara Kudus Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah di Indonesia.
Guru dituntut untuk memahami materi ajar seperti; mengkaji
kurikulum, menelaah buku, mengkaji bahan penunjang yang relevan dengan
profesi guru. Bagaimanapun guru adalah sumber belajar yang paling baik jika
dibandingkan dengan sumber belajar yang lainnya karena guru mempunyai
ikatan emosional secara langsung dengan siswanya dalam kontak batiniah,
sedangkan sumber belajar lainnya sebagai motivasi lahiriah. Pengembangan
materi diperlukan oleh guru untuk menghindari kebosanan siswa, oleh karena
itulah pemahaman dan penguasaan materi harus dilakukan oleh guru untuk
keberhasilan proses belajar mengajar.
Sumber belajar merupakan salah satu komponen pembelajaran yang
penting di mana pemilihan sumber belajar akan mempengaruhi pemilihan
metode pembelajaran. Guru dituntut memilih metode yang sesuai dengan
sumber belajar yang dipih oleh guru.
Menurut informan LS (CLW. 05, tanggal 18 Oktober 2008) guru
sejarah SMA Al-Ma’ruf Kudus perlu memahami keberadaan Menara Kudus
sebagai sumber pembelajaran sejarah. Pemahaman guru sejarah terhadap
ci
sumber pembelajaran diawali dari memahami Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar yang akan diajarkan kepada siswa. Pemahaman ini penting
karena dalam penggunaan sumber sejarah harus sesuai dengan konteks materi
yang akan diajarkan. Sesuai konteks pembelajaran sejarah dengan Standar
Kompetensi “Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-
negara tradisional.” Kompetensi Dasar menganalisis pengaruh perkembangan
agama dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di
Indonesia dan menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-
Buddha, dan Islam di Indonesia, dengan fokus materi proses Islamisasi di
Indonesia, maka Menara Kudus sangat tepat dijadikan sebagai sumber
pembelajaran sejarah.
Menara Kudus dijadikan sebagai sumber pembelajaran sejarah
dikarenakan beberapa alasan yaitu :
a. Menara Kudus sebagai pusat peradaban Islam, penyebaran agama Islam,
syiar Islam, dan pusat pemerintahan kerajaan Demak di Kudus dan
sekitarnya.
b. Menara Kudus memiliki berbagai keunikan dilihat dari segi arsitektur
bangunannya yang mencerminkan proses akulturasi dari budaya Hindu dan
Islam. Arsitektur Menara Kudus mengandung makna paedagogis, filosofis
yang menggambarkan kehidupan religius Islam.
c. Menara Kudus merupakan cerminan dari manifestasi hasil budaya sejarah
Indonesia Madya.
cii
d. Menara Kudus menyimpan berbagai informasi historis yang dapat dijadikan
sebagai pijakan kronologis waktu perkembangan proses Islamisasi di
Kudus.
e. Menara Kudus dapat memberikan informasi di berbagai aspek kehidupan
baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Selain alasan tersebut, pemilihan sumber pembelajaran sejarah harus
memenuhi kriteria persyaratan yang mengandung lima unsur pertanyaan yaitu 5
W 1 H. (What = apa, Who = siapa, When = kapan, Where = di mana , Why =
mengapa) dan How = bagaimana. Dari unsur 5 W 1 H tersebut dapat diuraikan
what = apa itu?, yang dimaksudkan di sini adalah bangunan Menara, Who = Siapa
yang membangun Menara? Tokoh yang membangun Menara Kudus adalah
Sunan Kudus. When = kapan Menara di bangun? Tahun 1478 M. Where = di
mana Menara dibangun?, tempatnya di Kudus, Why = mengapa dibangun?,
Menara dibangun sebagai simbol hegemony Islam di Kudus. How = bagaimana
menara dibangun? Menara dibangun menggunakan bahan bangunan batu bata
Merah dengan perpaduan arsitektur Hindu dan Islam karena bentuknya seperti
candi dan difungsikan untuk tempat bedug sebagai pertanda waktu sholat.
Menurut informan ESN (CLW. 09, tanggal 25 Oktober 2008) guru sejarah
harus memahami landasan pembelajaran. Salah satu landasan pembelajaran yang
dipahami guru sejarah adalah pemanfaatan sumber pembelajaran. Penggunaan
sumber pembelajaran harus tepat sesuai dengan konteks materi ajar yang akan
disampaikan kepada siswa sehingga pembelajaran lebih efektif dan efisien.
ciii
Sesuai dengan Kompetensi Dasar menganalisis pengaruh perkembangan
agama dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di
Indonesia dan menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha,
dan Islam di Indonesia. Pembahasan materi yang berfokus pada proses Islamisasi
di Indonesia, guru sejarah dapat memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber
sejarah. Menara Kudus menyimpan berbagai bukti otentik dan fakta-fakta historis
yang mampu dijadikan sebagai sumber informasi faktual seperti candrasengkala
(angka tahun berdiri) dapat dijadikan sebagai titimangsa pembangunannya adalah
antara abad XV dan XVI M, bentuk Menara Kudus yang mencerminkan
akulturasi budaya Hindu-Budha dan Islam, merupakan salah satu situs yang dapat
dijadikan bukti sejarah masuknya agama Islam di Kudus, dari segi arsitektur
bentuk Menara Kudus yang menyerupai candi Jago, termasuk gaya Jawa Timur.
Hal ini didasarkan pada sejarah arsitektur di masa-masa permulaan periode
perkembangan agama Islam di Jawa Timur (periode Hindu yang diakhiri masa
pemerintahan Majapahit) berpengaruh baik untuk arsitektur maupun pola ragam
hiasannya. Dari sudut arkeologi, historis maupun filosofi, Menara Masjid
merupakan data yang cukup penting dalam mengenal sistem masyarakat
pendukungnya. Dari bentuk ragawi Menara tersirat berbagai makna baik makna
ekonomi, budaya maupun kesenian masyarakat Kudus.
Menurut FR (CLW,14,tanggal 25 Oktober 2008) Menara Kudus dapat
memberikan informasi tentang tokoh pendiri yaitu Dja’far Shadiq atau Sunan
Kudus yang merupakan salah satu tokoh Walisanga yang ahli dalam bidang ilmu
agama Islam, sehingga dikenal sebagai Waliyul’ilmi. Informasi yang terdapat di
Masjid dan Menara Kudus dapat dijadikan sebagai pijakan nama Kudus yang
civ
berasal dari kata Arab Al-Quds. Istilah Arab ini satu-satunya di tanah Jawa, yang
membuktikan bahwa kebudayaan Islam telah dapat diterima masyarakat setempat.
Walaupun Islam mulai atau telah dipeluk oleh masyarakat Kudus, tradisi zaman
pra Islam dirasakan masih melekat kuat. Hal ini terbukti dengan adat masyarakat
Kudus yang sampai sekarang tidak menyembelih sapi. Susunan tata letak
pekarangan kompleks Menara Kudus mengingatkan kita kepada kompleks Pura di
Bali. Juga mirip bangunan candi dari zaman Hindu yang mempunyai halaman
lebih dari satu, disekat dengan dinding dan pintu-pintu gerbang berupa gapura
bentar dan kori agung. Sehingga gejala ini mungkin saja merupakan kelanjutan
dari kebiasaan membuat bangunan yang disucikan dari zaman pra Islam (di lihat
dari segi material dan bentuk pengaruh candi jawa Timur tampak dominan di
sini). Namun bukan berarti arsitektur Menara Kudus mengikuti tata aturan
arsitektur Hindu. Hal ini bisa dibuktikan dalam bidang prosesi. Islam tidak
mengatur umatnya untuk mencapai lokasi tempat ibadah dari tempat-tempat yang
khusus, umat Islam yang ingin beribadat bebas melewati pintu mana saja yang
tersedia. Sedangkan menurut tata acara Hindu, tiap-tiap tingkatan masyarakat
harus melalui pintu-pintu gerbang yang berbeda dengan tata aturan yang telah
diatur. Uraian ini menerangkan secara jelas bahwa menara Kudus dengan
kompleksnya merupakan peninggalan Islam.”
Menurut MC (CLW 01, tanggal 18 Oktober 2008) guru sejarah SMA NU
Al-Ma’ruf Kudus telah memahami Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran
sejarah di Indonesia. Menara Kudus sebagai sumber sejarah termasuk dalam
penggunaan tipe sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan
(learning resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus
dirancang untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, dipilih dan
cv
dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Hal ini telah dipahami oleh guru
sejarah SMA NU Al-Ma’ruf Kudus. Bentuk pemahaman guru sejarah
diimplementasikan melalui penyusunan silabus, SK, KD, RPP, indikator, evaluasi
dan AMP. Pemahaman guru ini telah sesuai dengan KTSP yang dikembangkan di
SMA NU Al-Ma’ruf Kudus.
Hal ini dilandasi oleh latar historis SMA Al-Ma’ruf Kudus yang dahulunya
bernaung di Yayasan Perguruan Islam Sunan Dja’far Shodiq. Landasan inilah
yang harus dipahami oleh guru sejarah SMA NU Al-Ma’ruf Kudus yang
memiliki ciri khusus bernafaskan keIslaman. Pemanfaatan Menara Kudus sebagai
sumber pembelajaran sejarah di SMA NU Al-Ma’ruf Kudus sudah tepat karena
sesuai dengan visi dan misi dari SMA NU Al-Ma’ruf Kudus. Visi yang diemban
adalah maju dalam Prestasi, Santun dalam Pekerti. Sekolah ini berkomitmen
untuk selalu meningkatkan dan memajukan pretasi baik akademik maupun non
akademik yang selalu dibarengi akhlak mulia dan kesantunan dalam bertindak di
mana pun dan kapan pun. Dengan demikian akan dihasilkan SDM yang
berkualitas. Misi yang hendak diwujudkan adalah (1) Mewujudkan generasi
beriman dan bertaqwa yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah serta warga
negara yang bertanggungjawab. (2) Mewujudkan pribadi berkarakter dan
berakhlakul karimah. (3) Mengintensifkan pembelajaran intrakurikuler dan
memperoleh nilai lebih di bidang akademik. (4) Menggiatkan pembelajaran
ekstrakurikuler dan meningkatkan prestasi non akademik. (5) Mampu bersaing
melanjutkan studi di perguruan tinggi. (6) Mampu berkiprah dalam kegiatan
keagamaan dan kemasyarakatan. (7) Memiliki bekal kemampuan untuk terjun di
dunia kerja.
cvi
Guru sejarah SMA NU Al-Ma’ruf Kudus memahami bahwa pembahasan
materi proses Islamisasi di Kudus tidak terlepas dari Menara Kudus, karena salah
satu dari peninggalan sejarah yang mampu memberikan berbagai informasi
tentang perkembangan Islam di Kudus. Informasi yang didapatkan dari Menara
Kudus adalah tahun pembuatan menara yang berupa candrasengkala sebagai
sentral/ pusat penyebaran dan pengembangan ajaran Islam di Kudus. Pusat
peradaban Islam dan kebudayaan Islam di Kudus. Pusat pemerintahan di Kudus
pada jaman kerajaan Demak Bintoro karena Sunan Kudus sebagai Panglima
Perang dan Kodi di Kudus yang kedudukannya adalah di lingkungan Menara
Kudus. Menara Kudus adalah pusat perdagangan di Kudus karena di sekitar
Menara Kudus terdapat Pasar dan Terminal yang dulunya dijadikan sebagai pusat
kegiatan perekonomian awal masyarakat Kudus. Menara Kudus merupakan
manifestasi/ perwujudan dari hegemoni kebudayaan Islam yang memiliki
pengaruh besar terhadap perkembangan kehidupan baik idiologi, politik, ekonomi,
sosial dan budaya mulai dari abad 15 sampai sekarang tetap memiliki daya tarik
tersendiri baik bagi kalangan masyarakat umum maupun kalangan akademik.
Sehubungan dengan visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai SMA NU
Al-Ma’ruf Kudus dalam rangka mengimplementasikan KTSP yang memberikan
kebebasan kepada sekolah dan guru untuk mengembangkan muatan lokal serta
menerapkan berbagai model pembelajaran. Dalam hal ini Menara Kudus dapat
dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran sejarah baik sejarah nasional maupun
lokal.
cvii
Alasan yang mendasari Menara Kudus dijadikan sebagai sumber
pembelajaran sejarah di SMA NU Al-Ma’ruf Kudus karena ada keterkaitan
historis dengan Menara Kudus, lokasinya berada tidak jauh dari Menara Kudus.
Di samping itu tenaga edukatif yang mengelola SMA NU Al-Ma’ruf Kudus punya
hubungan baik dengan YM3SK. di samping itu banyak siswa yang belum
memahami Menara Kudus sebagai sumber sejarah. upaya untuk menggunakan
Menara Kudus sebagai sumber sejarah yang perlu didukung, karena memiliki
apresiasi positif untuk membekali siswa agar mampu memahami ilmu agama,
memiliki keterampilan sebagai bekal hidup dan mengaplikasikan ilmu
pengetahuan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini sesuai dengan harapan dari SMA NU Al-Ma’ruf Kudus bahwa
lulusannya kelak diharap sukses dengan profesinya dan punya komitmen untuk
mengabdi dalam kegiatan keagamaan. Melalui pemberian materi sejarah nasional
dan sejarah lokal dengan memanfaatkan situs Menara Kudus dapat dijadikan
sebagai bekal bagi para alumni dalam pengabdiannya pada agama. Perlu diketahui
bahwa siswi-siswi yang belajar di SMA NU Al-Ma’ruf Kudus, bukan hanya dari
lokal Kudus tetapi juga berasal dari berasal dari luar Kudus.
Pemanfaatan Menara Kudus sebagai sumber sejarah merupakan salah satu
inovasi pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru sejarah dapat mendukung
peningkatkan kualitas dan mutu pembelajaran sejarah baik dilihat dari
pengembangan maupun pengayaan. Melalui pemanfaatan Menara Kudus sebagai
sumber sejarah dalam konteks menganalisis pengaruh perkembangan agama dan
kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dan
cviii
menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di
Indonesia, dengan fokus materi proses Islamisasi di Kudus, siswa dapat
mengamati dari dekat, melihat konkrit bentuk aslinya, sehingga siswa tertarik
untuk menggali dan menganalisis bangunan Menara Kudus baik dari segi
fisiknya maupun makna filosofis dan paedagogis yang terkandung dalam
bangunan menara tersebut.
Menurut pengakuan informan ESN (CLW. 10, 1 Nopember 2008) guru
sejarah SMA NU Al-Ma’ruf telah memahami Menara Kudus sebagai sumber
pembelajaran sejarah di Kudus. Hal ini dibuktikan pada saat mengawali
pemberian materi pembelajaran menyampaikan silabus, SK/ KD yang akan
dikuasai, tujuan pembelajaran, indikator pembelajaran yang harus dikuasai siswa
dan menentukan strategi, metode dan skenario pembelajaran yang akan diajarkan
kepada siswa.
Setelah menyampaikan beberapa informasi tersebut, guru menyampaikan
materi ajar sesuai dengan KD nya yaitu menganalisis pengaruh perkembangan
agama dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di
Indonesia dan menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha,
dan Islam di Indonesia, dengan fokus materi proses Islamisasi di Indonesia
dengan menggunakan metode ceramah bervariasi dan diselingi dengan tanya
jawab.
Sesuai skenario pembelajaran yang hendak dibangun guru untuk
mengarahkan siswa menggunakan metode resitasi dengan memanfaatkan Menara
Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah proses Islamisasi guru mengajak
cix
siswa untuk berkunjung ke Menara Kudus dengan studi wisata. Siswa
menanggapi dengan senang hati, hanya sebagian siswa yang pasif.
Situasi ini dimanfaatkan oleh guru untuk menerapkan rencana / skenario
pembelajaran dengan menggunakan metode resitasi. Guru menawarkan kepada
siswa tentang tugas yang akan diberikan individu atau kelompok. Siswa disuruh
memilih ternyata kebanyakan memilih tugas kelompok. Berdasarkan kesepakatan
siswa dan guru inilah, maka guru memantapkan jenis tugas dan petunjuk
pelaksanaannya mulai dari persiapan, pelaksanaan, pertanggung jawaban, sistem
penilaian dan tindak lanjutnya. Setelah siswa memahami tugas yang diberikan,
maka guru membentuk kelompok yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara
dan anggota serta job deskriptionnya/ pekerjaannya masing-masing.
Setelah guru membentuk kelompok kemudian mengundi tema yang ada
kaitannya dengan pembelajaran sejarah Islamisasi dengan memanfaatkan Menara
Kudus sebagai sumber sejarah, antara lain : arsitektur Menara Kudus, sejarah
Menara Kudus, peranan Menara Kudus dalam perkembangan Islam, Menara
Kudus sebagai Wisata Budaya dan Religi dan sebagainya. Ketua kelompok
mengambil undian dan selanjutnya menyapaikan kepada anggota kelompoknya.
Sesuai dengan tema yang diberikan,guru memerintahkan segera
mengerjakan tugas dengan melaksanakan studi wisata bersama guru dan siswa di
Menara Kudus untuk mengadakan identifikasi, observasi, survey lapangan dan
mengumpulkan data untuk dijadikan sebagai bahan laporan yang akan
dipresentasikan dan didiskusikan secara kelompok di depan kelas.
Setelah laporan jadi, sesuai kesepakatan siswa dengan guru, laporan hasil
penugasan dipresentasikan, ditanggapi kelompok lain dan guru menjadi fasilitator
cx
diskusi yang bertugas mengarahkan, mengawasi, dan memberikan penilaian
proses keaktifan siswa dalam mengikuti diskusi. Setelah diskusi selesai hasil
laporan dinilai guru dan diberikan tindak lanjut dengan mengadakan ulangan
harian untuk kompetensi dasar menganalisis pengaruh perkembangan agama dan
kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dan
menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu – Buddha, dan Islam di
Indonesia. Dengan fokus materi pembelajaran proses Islamisasi di Kudus.
Berdasarkan pendapat dari para informan di atas, dapat disimpulkan bahwa
guru sejarah SMA NU Al-Ma’ruf Kudus telah memahami Menara Kudus sebagai
sumber pembelajaran sejarah di Kudus dengan mengemukakan alasan
pemanfaatan, kriteria dan persyaratan, prosedur dan langkah-langkah pelaksanaan
serta administrasi pembelajaran yang disiapkan yang meliputi : silabus, SK, KD,
RPP, indikator, instrumen penugasan, evaluasi dan Analisis Mata Pelajaran
(AMP) serta memahami visi dan misi sekolah.
2. Implementasi Metode Resitasi dalam Pembelajaran Sejarah Islamisasi
dengan Objek Menara Kudus.
Menurut informan ESN (CLW.10, tanggal 1 Nopember 2008)
implementasi metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi dengan
objek Menara Kudus dapat dilaksanakan melalui langkah-langkah pembelajaran
sebagai berikut:
a. Guru menyusun silabus, membuat perencanaan pembelajaran, indikator, dan
mempersiapkan bahan ajar tentang proses Islamisasi di Indonesia sesuai
cxi
dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang telah
ditentukan dalam struktur program pengajaran.
b. Guru menyampaikan tujuan yang hendak dicapai dalam pemberian tugas
kepada siswa tentang proses Islamisasi di Kudus dengan memanfaatkan
Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah.
c. Guru sejarah mempersiapkan berbagai instrumen yang berupa tugas
individu maupun kelompok yang berkaitan dengan proses Islamisasi dengan
memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah.
d. Guru memberikan tugas kepada siswa tentang proses Islamisasi di Kudus
dan hasil kebudayaannya dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai
sumber pembelajaran sejarah.
e. Guru memberikan petunjuk atau tata cara penugasan dan skenario
pembelajaran kepada siswa sesuai metode resitasi dengan pendekatan
pembelajaran inkuiri dan studi wisata.
f. Guru memberikan tugas untuk mengidentifikasi bukti-bukti peninggalan
sejarah di lingkungan Menara Kudus yang ada kaitannya dengan proses
Islamisasi di Kudus baik secara individu maupun kelompok.
g. Guru memberikan tugas secara individu dan kelompok untuk
mengidentifikasi bukti-bukti dan fakta-fakta sejarah tentang proses
Islamisasi di Kudus dan perkembangan agama serta kebudayaan Islam
dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah.
h. Guru bersama siswa bersepakat tentang batasan waktu penugasan agar
selesai sesuai rencana.
cxii
i. Guru memberikan bimbingan dan pengawasan kepada siswa agar
mengerjakan tugas sesuai dengan petunjuk dan pelaksanaannya.
j. Guru memberikan dorongan dan membantu siswa yang mengalami
kesulitan dalam mengerjakan tugas agar dapat terselesaikan.
k. Menganjurkan kepada siswa agar tugas yang diberikan baik secara
individu maupun kelompok dikerjakan sendiri tidak dikerjakan oleh orang
lain atau kelompok lainnya.
l. Guru menganjurkan siswa pada saat mengadakan identifikasi atau
pengumpulan data membuat catatan kecil/ field note dengan baik dan
sistematik.
m. Apabila siswa telah melakukan identifikasi, observasi dan survey di
Menara Kudus langkah selanjutnya menyusun laporan.
n. Pelaporan disusun secara individu maupun kelompok. Untuk penugasan
materi proses Islamisasi pelaporan dilaksanakan secara kelompok sehingga
penyusunan laporan dilakukan secara berkelompok.
o. Hasil pelaporan dipertanggungjawabkan secara kelompok kemudian
dipresentasikan dan didiskusikan di kelas untuk mendapatkan tanggapan
dari kelompok lain.
p. Guru memberikan evaluasi berupa penilaian secara kelompok maupun
individual dari hasil keaktifan diskusi.
q. Melaksanakan penilaian hasil penugasan proses Islamisasi dengan
melakukan tes kompetensi berupa ulangan harian untuk Kompetensi Dasar
menganalisis pengaruh perkembangan agama dan kebudayaan Islam
cxiii
terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dan menganalisis
proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia.
r. Hasil penilaian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
melaksanakan metode resitasi berikutnya dengan memperbaiki berbagai
kelemahan dan mempertahankan berbagai keberhasilan yang telah dicapai
siswa.
Menurut LS (CLW. 06, tanggal 25 Oktober 2008) implementasi metode
resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi dengan objek Menara Kudus, dapat
dilaksanakan dengan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut :
Langkah-langkah Pembelajaran I
§ Pendekatan : Ketrampilan Proses
§ Metode : Diskusi, ceramah, pemberian tugas
Kegiatan Awal : - Apersepsi, siswa diminta kembali untuk
membaca materi pelajaran tentang proses
masuknya agama Islam di tanah Jawa.
- Motivasi, guru menjelaskan arti penting sejarah
bangsa terhadap perkembangan suatu negara.
- Pre Test, siswa diminta menyebutkan tempat dan
bukti bersejarah perkembangan agama Islam di
Jawa.
Kegiatan Inti :-Menyampaikan informasi tentang pengaruh
perkembangan agama dan kebudayaan Islam
terhadap masyarakat di berbagai daerah
cxiv
-Menyampaikan informasi tentang akulturasi
budaya tentang tentang proses awal penyebaran
Islam di kota Kudus.
-Mendiskusikan hipotesis para ahli tentang proses
awal penyebaran Islam di kota Kudus.
Kegiatan Akhir : -Membuat hasil simpulan mengenai diskusi
-Memberi tugas kepada siswa untuk membuat
kliping proses awal penyebaran Islam ke kota
Kudus.
-Evaluasi
Langkah-langkah Pembelajaran II
§ Pendekatan : Ketrampilan Proses
§ Metode : Karya wisata, diskusi, ceramah, pemberian tugas
Kegiatan Awal : - Apersepsi, guru menjelaskan indikator yang
harus
dikuasai siswa, guru memberi tugas secara
individu mengidentifikasi Menara Kudus.
- Motivasi, guru mendeskripsikan rencana
kegiatan studi wisata ke Menara Kudus sebagai
bentuk kepedulian terhadap kemunduran
pengetahuan sejarah lokal di masyarakat.
cxv
Kegiatan Inti :-Menyampaikan informasi tentang Menara Kudus
sebagai tempat dan bukti penyebaran Islam di kota
Kudus.
-Mengidentifikasi seni arsitektur serta interaksi
masyarakat dengan tradisi Islam, Hindu dan
Budha.
Kegiatan Akhir :-Memberi tugas kepada siswa untuk membuat
makalah Menara Kudus sebagai tempat dan bukti
penyebaran Islam di kota Kudus.
-Evaluasi
Langkah-langkah Pembelajaran III
§ Pendekatan : Keterampilan Proses
§ Metode : Diskusi, ceramah, pemberian tugas
Kegiatan Awal : - Apersepsi, siswa diminta mendeskripsikan
perilaku masyarakat yang tinggal di sekitar
Menara Kudus.
Kegiatan Inti :-Menyampaikan informasi tentang pengaruh
perkembangan agama dan kebudayaan Islam
terhadap masyarakat di berbagai daerah
-Mendiskusikan hipotesis para ahli tentang proses
awal penyebaran Islam di kota Kudus.
Kegiatan Akhir : -Membuat hasil simpulan mengenai diskusi
cxvi
-Memberi tugas kepada siswa untuk membuat
makalah proses awal penyebaran Islam ke kota
Kudus dengan Menara Kudus sebagai sumber
-Evaluasi
a. Persiapan Guru dalam Implementasi Metode Resitasi pada
Pembelajaran Sejarah Islamisasi dengan Objek Menara Kudus.
Seorang guru dalam menghadapi siswa seyogyanya
mempersiapkan persiapan perencanaan yang matang. Perencanaan
tersebut dimulai dari membuat satuan pelajaran atau rencana
pembelajaran, silabus, materi ajar, metode yang akan digunakan, alat
yang akan dibutuhkan, dan bentuk evaluasi yang akan dilakukan (lihat
lampiran. 03). Perencanaan pengajaran akan menjadi media pengontrol
agar guru dalam menyampaikan materi tidak keluar dari kurikulum
yang ada.
Menurut informan LS (CLW. 07, tanggal 8 Nopember 2008).
Apersepsi, siswa diminta kembali untuk membaca materi pelajaran
tentang proses masuknya agama Islam di tanah Jawa. Motivasi, guru
menjelaskan arti penting sejarah bangsa terhadap perkembangan suatu
negara. Pre Test, siswa diminta menyebutkan tempat dan bukti
bersejarah perkembangan agama Islam di Jawa. Pada kegiatan inti
pelajaran guru menyampaikan informasi tentang pengaruh
perkembangan agama dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat di
berbagai daerah serta mendiskusikan hipotesis perdagangan tentang
cxvii
proses awal penyebaran Islam di Indonesia. Pada tahap akhir guru
membuat hasil simpulan mengenai diskusi, memberi tugas kepada siswa
untuk membuat makalah proses awal penyebaran Islam ke Kota Kudus
dengan Menara Kudus sebagai sumber belajar serta evaluasi.
Menurut wawancara dengan DD (CLW. 15, 1 Nopember 2008),
sekretaris YM3SK, perencanaan guru dirasa kurang maksimal, hal ini
terlihat saat siswa dan guru berkunjung ke Menara Kudus. Pengawasan
dan kontrol guru hanya terbatas beberapa siswa saja. Data tersebut
ditrianggulasikan dengan hasil observasi tanggal 1 Nopember 2008
ternyata ada kebenarannya, terbukti sebagian siswa perhatiannya tertuju
pada pengunjung Menara Kudus yang lain serta bercanda dengan
sesama siswa.
Menurut wawancara dengan ESN (CLW. 11, tanggal 8
Nopember 2008), interaksi siswa dengan siswa, maupun siswa dengan
guru tidak terpola dengan baik. Data tersebut ditrianggulasikan dengan
data observasi pada tanggal 8 Nopember 2008, di kelas sebagian siswa
pasif, saat melaksanakan diskusi kelompok. Interaksi yang tidak terpola,
menyebabkan penyampaian informasi tidak berjalan dengan baik.
Semakin banyak terjadinya interaksi, baik siswa dengan siswa, maupun
siswa dengan guru semakin banyak pula informasi yang diserap.
Dengan pasifnya siswa dalam kegiatan belajar mengajar maka
pemahamannya dalam menyerap materi pelajaran akan rendah.
Implikasinya dengan evaluasi berbanding lurus, semakin tinggi interaksi
cxviii
dan keaktifan seorang siswa maka hasil evaluasi yang dicapai akan
tinggi pula.
Menurut informasi MC (CLW. 03, tanggal 1 Nopember 2008),
persiapan guru dalam mengimplementasikan metode resitasi ke dalam
pembelajaran sejarah dirasa masih kurang. Hal ini tampak terlihat dari
pemberian tugas serta diskusi kelas, siswa masih malas mengerjakan
tugas yang diberikan oleh guru karena tugas dengan soal yang sama
akan membuat siswa lebih mudah melakukan kecurangan dengan
mencontek temannya. Perilaku ini berakibat pada diskusi kelas, siswa
yang tidak mengerjakan tugas secara otomatis akan pasif. Pemahaman
siswa terhadap materi rendah dan tujuan pembelajaran tidak tercapai.
Data tersebut ditrianggulasikan dengan informasi HW (CLW.
19, tanggal 8 Nopember 2008) Metode resitasi merupakan salah satu hal
baru yang kami terima, namun saat pemberian tugas, guru sejarah
memberikan soal yang sama sehingga membuat banyak siswa yang
malas mengerjakan karena mereka hanya mencontek teman yang lain,
pada waktu diskusi kelas banyak teman-teman siswa yang pasif.
Bagaimana mau aktif, kalau mereka tidak paham akan materi tugas
yang diberikan oleh guru.
b. Evaluasi Siswa Dalam Proses Pembelajaran Sejarah Islamisasi
Menggunakan Metode Resitasi.
Penilaian merupakan tolok ukur berhasil tidaknya proses
pengajaran bagi seorang guru terhadap siswanya. Di sinilah penilaian
cxix
menjadi kunci pengajaran dalam keterikatan waktu tertentu. Menurut
informan LS (CLW. 07, 8 Nopember 2008), penilaian yang dilakukan
dengan menggunakan penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian
proses dilaksanakan untuk mengetahui aktivitas, dan kreativitas siswa
dalam bentuk afektif. Sedangkan penilaian hasil diperoleh dari hasil
ulangan siswa setelah menguasai kompetensi dasar menganalisis
pengaruh perkembangan agama dan kebudayaan Islam terhadap
masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dan menganalisis proses
interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia.
Dengan fokus materi pembelajaran proses Islamisasi di Kudus.
Menurut informasi dari WA (CLW. 23, tanggal 15 Nopember
2008), hasil evaluasi yang rendah dikarenakan siswa sulit memahami
materi pelajaran sejarah. Faktor kebosanan dan jenuh menjadi faktor
utama rendahnya motivasi belajar siswa dalam pelajaran sejarah.
Menurut informan R siswa SMA NU Al-Ma’ruf (CLW. 24,
tanggal 15 Nopember 2008) motivasi belajar siswa mengalami
peningkatan setelah menerima tugas dari guru sejarah dalam
kompetensi dasar menganalisa pengaruh perkembangan agama dan
kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia
dan menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha,
dan Islam di Indonesia. Dengan fokus materi pembelajaran proses
Islamisasi di Kudus dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai
sumber belajar. Karena pembelajaran lebih konkrit dan menarik.
cxx
Menurut wawancara dengan informan CS (CLW. 20, tanggal 8
Nopember 2008), diperoleh informasi bahwa peningkatan hasil belajar
siswa berjalan seiring dengan peningkatan motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran sejarah melalui metode resitasi. Informasi tersebut
diperkuat dengan keterangan dari informan HW (CLW. 19, tanggal 8
Nopember 2008) yang juga siswa kelas XI SMA NU Al- Ma’ruf. Siswa
termotivasi belajar untuk belajar sejarah, hal ini dibuktikan dengan
antusiasnya siswa saat pengerjaan tugas dan berkunjung ke Menara
Kudus, siswa bisa melihat bukti nyata benda-benda peninggalan sejarah
Islamisasi di kota Kudus. Melalui metode resitasi pengetahuan,
pengertian dan pemahaman tentang menara kudus dan sejarah Islam
yang ada semakin luas. Informan menjelaskan bahwa dirinya dan teman
–teman siswa yang lain, semakin mengerti dan mengenal benda-benda
peniggalan sejarah masuknya Islam ke Kudus, misalnya bentuk menara
masjid Kudus bangunannya jelas menunjukkan adanya pengaruh seni
bangunan zaman pra – Islam. Menara Kudus menghadap ke barat dan
bentuknya menyerupai bangunan candi yang terbagi atas tiga bagian,
yaitu : bagian kaki, tubuh, dan puncak. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pengaruh Hindu cukup kuat berkembang, sehingga
masih dapat meninggalkan bekas – bekasnya. Seperti atap tumpang
bertingkat tiga yang menutupi masjid, bangunan Gapura yang
mengelilingi atau terdapat pada tembok penutup kompleks, yang
semuanya mirip dengan pola arsitektur Hindu. Tempat wudhu di Masjid
cxxi
Kudus yang mempunyai delapan kran air, juga mengingatkan kita pada
nilai filosofi kepercayaan agama Budha. Bahwa manusia, jika ingin
sukses harus melalui delapan jalur kebenaran yang disebut
Astasanghikamarga, yaitu : pengetahuan, keputusan, perkataan,
perbuatan, cara penghidupan, daya usaha, meditasi, kontemplasi. Tahun
pendirian Menara Kudus mungkin berhubungan dengan inskripsi
berbahasa arab diatas mihrab dan tulisan pada tiang diatap bangunan
yang tergores candrasangkala yang berbunyi ”gapuro rusak ewahing
jagad” yang berbobot angka 1685 Masehi. Sedangkan nama Kudus
sendiri berasal dari kata Al Quds seperti bunyi inskripsi yang terdapat
diatas mihrab Masjid Menara kudus,menurut penjelasan YM3SK itu
dibawa Ja’far Shodiq dari masyjidil Aqsha, Palestin, dan masjid
tersebut diberi nama masjid Al Aqsa atau Al Manar, dan kotanya
disebut pula dengan Al Quds (Kudus yang artinya suci).
ES (CLW. 21, tanggal 8 Nopember 2008) menuturkan metode
resitasi dapat mempermudah siswa menyerap dan mendalami materi
pelajaran sejarah, sehingga saat dilaksanakan evaluasi siswa mampu
mengerjakannya. Hal ini dikarenakan siswa belajar secara langsung
mencari data-data untuk tugas yang diberikan guru sejarah.
Dari berbagai pendapat para informan di atas, dapat disimpulkan
bahwa implementasi metode resitasi dalam pembelajaran sejarah
Islamisasi dengan objek Menara Kudus dilaksanakan secara bertahap
mulai dari persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut. Tahap
cxxii
persiapan guru sejarah menyusun silabus, RPP, Indikator, Instrumen,
bahan ajar/ materi, membuat petunjuk dan pelaksanaan, menentukan
batas waktu. Tahap pelaksanaan langkah-langkah kegiatannya meliputi
pemberian tugas, siswa mengerjakan/ melaksanakan tugas, mencatat
dan mengidentifikasi berbagai bukti-bukti, fakta historis tentang proses
Islamisasi dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber
sejarah, menyusun laporan hasil survey / pengamatan di Menara Kudus
baik secara individu maupun kelompok. Tahap pertanggungjawaban
siswa dipersilahkan untuk mempresentasikan hasil laporannya melalui
diskusi kelas untuk mendapatkan tanggapan dari hasil temuannya.
Tahap selanjutnya adalah tindak lanjut dengan mengadakan evaluasi
dan penilaian baik secara individu maupun kelompok.
Tahap pelaporan hasil pelaksanaan tugas mempelajari materi
sejarah Islamisasi dengan menggunakan metode resitasi di lokasi
menara Kudus,terlebih dahulu siswa diberi tugas untuk
mempresentasikan dihadapan temannya yang dilanjutkan dengan
diskusi.
3. Kendala yang muncul dalam Penggunaan Metode Resitasi dan
upaya pemecahannya.
Menurut LS (CLW. 08, tanggal 15 Nopember 2008) metode
resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi dengan memanfaatkan
Menara Kudus sebagai sumber sejarah dihadapkan berbagai
cxxiii
permasalahan baik yang menyangkut kendala teknis maupun non teknis.
Kendala teknis yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran yaitu
kesulitan guru dalam mengidentifikasi SK/ KD-nya, penyusunan
petunjuk dan pelaksanaan metode resitasi, persiapan dalam pembuatan
instrumen, sarana dan prasarana pendidikan. keterbatasan guru dalam
membimbing siswa dalam membuat laporan hasil penugasan di Menara
Kudus, kesulitan dalam mengevaluasi hasil penugasan. Kendala non
tehnis menyangkut transportasi dan akomodasi yang digunakan untuk
menunjang kelancaran siswa dalam menerapkan kegiatan pembelajaran
ini. Alokasi waktu dalam pembelajaran sejarah dirasa masih kurang
memadai, perlunya waktu dan tenaga untuk studi wisata ke Menara
Kudus, kesulitan guru dalam melakukan pengawasan dan bimbingan
kepada siswa ketika melakukan observasi dan survey untuk menggali
informasi yang ada di Menara Kudus,
Kendala yang lain dihadapi di lapangan yaitu guru mengalami
kesulitan dalam mengkoordinasikan siswa baik secara individu maupun
kelompok ketika sampai di Menara Kudus karena siswa kecenderungan
sulit diatur oleh ketua kelompoknya, mereka suka berpencar semaunya
sendiri dan bergerombol tidak mematuhi aturan yang telah ditentukan
dalam kelompoknya bahkan kebanyakan bermain-main dengan teman-
temannya seperti bercanda ria, berpose/ foto dan sebagainya, Banyaknya
pengunjung di Menara Kudus menyebabkan siswa kurang konsentrasi
dan percaya diri karena merasa gerak geriknya dilihat oleh banyak orang,
cxxiv
kesulitan siswa dalam mencari nara sumber atau informan yang mampu
memberikan petunjuk dan bukti-bukti tentang keberadaan Menara Kudus
sebagai sumber sejarah, guru mengalami kesulitan ketika membimbing
dan mengarahkan siswa setelah sampai di Menara Kudus, kadang dalam
kegiatannya tidak sesuai dengan perencanaan sebelumnya karena guru
belum mampu mengkoordinasikan dan mengendalikan siswa ketika di
lapangan.
Menurut ESN (CLW. 12, tanggal 15 Nopember 2008) kendala-
kendala yang dihadapi guru dalam menggunakan metode resitasi dalam
pembelajaran sejarah Islamisasi dengan memanfaatkan Menara Kudus
sebagai sumber pembelajaran sejarah di SMA NU Al-Ma’ruf Kudus
dihadapkan pada banyak kendala yaitu kendala intern dan kendala
ekstern. Kendala intern yang berasal dari dalam yang meliputi : sekolah,
guru, siswa, orang tua/ wali murid, dan komite sekolah.
Kendala intern yang berasal dari pihak sekolah yaitu kurangnya
dukungan sarana dan prasarana (transportasi dan akomodasi). Kendala
yang dihadapi guru adalah alokasi waktu yang disediakan oleh pihak
sekolah yang dianggap kurang memadai, sehingga guru merasa
kesulitan untuk mengatur dalam pembelajaran sejarah. Guru mengalami
kesulitan ketika memasukkan SK/ KD karena sejarah Islamisasi hanya
sedikit disinggung dalam materi pembelajaran sejarah, dan keberadaan
Menara Kudus hanya sebagai salah satu contoh dari hasil pengaruh
kebudayaan Islam di Indonesia yang bersifat local genius.
cxxv
Guru mengalami kesulitan dalam membimbing, mengawasi
ketika mengadakan observasi, survey dan penyusunan laporan karena
guru sejarah SMA NU Al-Ma’ruf Kudus hanya berjumlah dua orang.
Keterbatasan sarana prasarana ( transportasi dan akomodasi ) untuk
mendukung kegiatan pembelajaran Islamisasi dengan metode resitasi,
memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran.
Kendala intern dari siswa yaitu motivasi siswa masih kurang
karena metode resitasi yang diberikan oleh guru bersifat tugas
kelompok sehingga hanya siswa tertentu yang aktif dalam
memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah. Banyaknya
pengunjung di Menara Kudus menyebabkan siswa kurang konsentrasi
dan percaya diri, kesulitan siswa dalam mencari nara sumber atau
informan yang mampu memberikan petunjuk dan bukti-bukti tentang
keberadaan Menara Kudus sebagai sumber sejarah, guru mengalami
kesulitan ketika membimbing dan mengarahkan siswa setelah sampai di
Menara Kudus kadang dalam kegiatannya tidak sesuai dengan
perencanaan sebelumnya, guru kesulitan dalam mengkoordinasi dan
mengendalikan siswa. Siswa merasa kurang antusias karena
Menara Kudus sering dilihat serta dikunjungi sehingga dianggap hal
yang biasa, banyaknya literatur yang mengupas Menara Kudus sehingga
pada waktu dipandu oleh guru sejarah dan guide kurang memperhatikan
dan kecenderungan bercanda dan mengobrol sendiri. Kecenderungan
hasil laporan penugasan mencontoh dari kakak-kakak kelas terdahulu.
cxxvi
Siswa merasa mata pelajaran sejarah kurang begitu penting karena
hanya mata pelajaran yang di UAS kan saja dan kurang berpengaruh
terhadap kelulusan sehingga ada sebagian siswa kecenderungan kurng
tertarik
Kendala yang dihadapi oleh orang tua adalah kendala keamanan
dan pengawasan terhadap siswa. Karena pemanfaatan Menara Kudus
sebagai sumber sejarah termasuk dalam kegiatan di luar kelas yang
sifatnya studi wisata maka orang tua siswa perlu mendapatkan jaminan
keamanan.
Komite Sekolah belum mengetahui secara detail tentang metode
resitasi dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber
pembelajaran sejarah, karena penerapan metode tersebut membutuhkan
perencanaan pembelajaran yang matang untuk berkunjung ke menara,
dalam penyusunan laporan hasil kunjungan siswa mengalami kesulitan
dan membutuhkan waktu,dan ketekunan, sedangkan keberadaan mata
pelajaran sejarah sendiri tidak masuk UAN, sehingga komite sekolah
khawatir dengan metode resitasi yang bersifat studi wisata dapat
mengganggu konsentrasi siswa pada pelajaran yang diujinasionalkan,
yang berpengaruh terhadap kelulusan.
Selain kendala intern juga kendala ekstern. Kendala ekstern
disebabkan oleh situasi lingkungan seperti banyaknya jumlah
pengunjung yang hadir pada saat siswa mengadakan survey, observasi
dan identifikasi di Menara Kudus siswa mengalami terganggu
cxxvii
konsentrasinya. Kendala pengkoordinasian dan pengendalian siswa
ketika studi wisata di Menara Kudus yang tidak sesuai dengan rencana
karena siswa berkecenderungan bermain-main sendiri dengan teman-
temannya sehingga lupa tujuan pokoknya.
Menurut informan MC Kepala Sekolah SMA NU Al- Ma’ruf
(CLW. 04, tanggal 8 Nopember 2008), dalam penerapan metode resitasi
guru sejarah dan siswa SMA NU Al-Ma’ruf Kudus dihadapkan banyak
kendala baik kendala intern atau pun ekstern, kendala teknis maupun
non teknis. Kendala ini muncul bukan saja pada penggunaan metode
resitasi tetapi metode lain pun mengalami hal yang sama. Hal ini patut
disadari bahwa dalam menerapkan suatu metode pembelajaran pasti ada
kelebihan dan kelemahan, keberhasilan dan ketidakberhasilan.
Berkaitan dengan hal ini, kendala yang dihadapi guru dan siswa
dalam penggunaan metode resitasi dalam pembelajaran sejarah
Islamisasi dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah
yakni : guru sulit mengontrol orisionalitas hasil pekerjaan siswa secara
individu. Guru mengalami kesulitan dalam mengontrol hasil penugasan
secara kelompok, apakah benar-benar dikerjakan secara bersama-sama
dengan kelompoknya ataupun hanya dikerjakan satu orang saja tetapi
diakui kerja kelompok sehingga siswa yang aktif dan pasif mendapatkan
nilai sama. Siswa seringkali melakukan penipuan karena hasil laporan
penugasan merupakan hasil meniru/ menyontek laporan dari kakak
kelasnya. Bagi siswa dan kelompok yang memiliki obsesi untuk
cxxviii
mendapatkan nilai baik maka pengerjaannya dimintakan bantuan orang
lain Metode resitasi pembelajaran sejarah Islamisasi dengan
memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah membutuhkan
waktu, tenaga, dan ketekunan sehingga membuat siswa merasa
terbebani. Kurangnya koordinasi guru dalam memberikan tugas
menyebabkan siswa merasa terbebani.
Menurut R (CLW. 24, tanggal 15 Nopember 2008) kendala yang
dihadapi siswa dalam pembelajaran sejarah Islamisasi dengan
memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah
yaitu banyaknya tugas yang harus diselesaikan oleh siswa dari berbagai
mata pelajaran sehingga menjadi beban siswa. Pemanfaatan Menara
Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah di SMA NU Al-Ma’ruf
Kudus dengan menggunakan metode resitasi membutuhkan
konsekuensi untuk hadir dan melakukan observasi, survey, serta
pengamatan terhadap Menara Kudus baik dari segi historis, arkeologis,
arsitektur, dan kehidupan lingkungan sekitar serta tindak lanjut dari
hasil temuan tersebut dengan membuat laporan yang harus
dipertanggungjawabkan melalui presentasi dan diskusi kelompok di
depan kelas sehingga membutuhkan waktu, biaya dan tenaga.
Menurut informan DD (LCW. 16, tanggal 22 Nopember 2008)
kendala yang muncul dalam penggunaan metode resitasi dengan
memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah dapat berasal dari
siswa, guru, dan YM3SK. Kendala yang disebabkan oleh siswa yaitu
cxxix
motivasi dan antusiasme siswa masih rendah karena banyaknya siswa
yang pasif dan kurang bersungguh-sungguh dalam menggali informasi
tentang Menara Kudus. Keadaan ini terlihat ketika siswa diterangkan
dan ditunjukkan di lokasi Menara masih banyak yang berbicara sendiri
dengan teman-temannya, berpose/ foto-foto sendiri dengan temannya,
dan banyak siswa yang tidak bertanya. Kendala dari guru yakni
pengawasan dan bimbingan guru masih kurang ketika siswa
mengadakan survey, observasi dan mengidentifikasi bangunan Menara
Kudus. Hal ini terlihat siswa banyak yang berkeliaran dan kurang
memperhatikan penjelasan dari guru. Kendala dari YM3SK yaitu
terbatasnya personil yang menjadi guide untuk memfasilitasi dan
memberikan keterangan/ informasi tentang Menara Kudus kepada siswa
sehingga informasi yang disampaikan tidak dapat menyeluruh dan
kurang detail.
Berdasarkan dari berbagai pendapat para informan di atas, dapat
disimpulkan bahwa kendala yang muncul dalam penggunaan metode
resitasi adalah kendala teknis maupun nonteknis, kendala intern
maupun kendala ekstern. Kendala teknis meliputi: kesulitan
mengidentifikasi SK/ KD-nya, penyusunan petunjuk dan pelaksanaan
metode resitasi, pembuatan instrumen, sarana dan prasarana pendidikan
akomodasi, transportasi, alokasi waktu, keterbatasan dana, kesulitan
pengawasan dan bimbingan kepada siswa, keterbatasan guru dalam
membimbing siswa dalam membuat laporan dan evaluasi. Kendala
cxxx
nonteknis meliputi: kesulitan dalam mengkoordinasikan dan
mengendalikan siswa ketika di objek Menara Kudus, banyaknya
pengunjung di Menara Kudus menyebabkan siswa kurang konsentrasi
dan percaya diri. Kendala Intern berasal dari dalam yang meliputi: pihak
sekolah,guru, siswa, orang tua/ wali murid, dan komite sekolah.
Sedangkan kendala ekstern berasal dari situasi dan kondisi lingkungan
objek Menara Kudus, sedikit banyaknya pengunjung,cuaca dan
sebagainya.
Menurut LS (CLW. 08, tanggal 15 Nopember 2008) upaya yang
dilakukan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi dalam
penggunaan metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi
dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah yang
menyangkut kendala teknis maupun nonteknis. Dalam memecahkan
kendala teknis pada pelaksanaan pembelajaran sejarah untuk mengatasi
kesulitan guru dalam mengidentifikasi SK/ KD-nya, penyusunan
petunjuk dan pelaksanaan metode resitasi, persiapan dalam pembuatan
instrumen dapat dilakukan melalui cara berkoordinasi dengan MGMP
sejarah Untuk pembelajaran sejarah proses Islamisasi di Kudus dengan
menggunakan Menara sebagai sumber sejarah dapat dilakukan dengan
pemberian resitasi SK/ KD nya dapat dilaksanakan di kelas X dengan
Kompetensi Dasar “Dasar-dasar Penelitian Ilmu Sejarah”, sedangkan
untuk kelas XI tinggal memperdalami dan tidak melakukan observasi,
cxxxi
survey kembali cukup menyempurnakan hasil laporan penelitian
terdahulu yang pernah dijalaninya.
Upaya mengatasi masalah dari kendala sarana dan prasarana
pendidikan, akomodasi, dan transportasi dapat dilakukan melalui
koordinasi dengan Kepala Sekolah, komite sekolah agar turut
mencarikan solusi pemecahannya, dengan mengusahakan segala
keperluan, pengadaan sarana dan prasarana (akomodasi dan transportasi
siswa) sehingga akan menunjang kelancaran KBM, juga perlunya
kerjasama MGMP sejarah dalam mengidentifikasi SK/ KD untuk
materi proses Islamisasi dengan memanfaatkan Menara Kudus. Upaya
untuk memecahkan masalah alokasi waktu dalam pembelajaran sejarah
yang kurang memadai dapat dilakukan dengan mengadakan
pembelajaran secara terintegrasi, mengatasi kesulitan guru dalam
melakukan pengawasan dan bimbingan kepada siswa ketika melakukan
observasi dan survey untuk menggali informasi yang ada di Menara
Kudus dapat dilakukan dengan mengefektifkan dan memberdayakan
kepada ketua kelompok untuk membantu pengawasan dan membagi
tugas sehingga semua siswa aktif dalam mencari informasi tentang
Menara Kudus yang dapat menjadi bukti proses Islamisasi di Kudus.
Keterbatasan guru dalam membimbing siswa untuk membuat laporan
hasil penugasan di Menara Kudus dapat diatasi melalui tutor sebaya.
Artinya siswa yang pandai dapat membantu temannya untuk
membimbing dalam menyusun laporan. Upaya guru untuk mengatasi
cxxxii
kesulitan dalam mengevaluasi hasil penugasan dengan cara membuat
kriteria penilaian yaitu penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian
proses untuk menilai tingkat keaktifan siswa baik pada saat melakukan
observasi, survey maupun diskusi kelompok. Sedangkan penilaian hasil
dapat dilakukan melalui hasil ulangan harian untuk kompetensi dasar.
Kendala nonteknis meliputi : guru mengalami kesulitan dalam
mengkoordinasikan siswa baik secara individu maupun kelompok
ketika sampai di Menara Kudus dapat dipecahkan melalui pembuatan
peraturan dan tata tertib kepada siswa serta mempersiapkan berbagai
langkah-langkah seperti mengadakan briefing/ pengarahan terlebih
dahulu sebelum siswa berangkat menuju lokasi Menara Kudus dengan
mengefektifkan ketua kelompok untuk mengkoordinir kelompoknya
dengan baik.
kesulitan siswa dalam mencari nara sumber atau informan yang
mampu memberikan petunjuk dan bukti-bukti tentang keberadaan
Menara Kudus sebagai sumber sejarah dapat dilakukan dengan
memberikan surat permohonan dan pemberitahuan kepada YM3SK
untuk mengirim guide membantu dan mendampingi siswa ketika
melakukan observasi, survey dan identifikasi (saat studi wisata).
Menurut ESN (CLW. 13, tanggal 22 Nopember 2008) upaya
untuk memecahkan dari kendala-kendala yang dihadapi guru dalam
menggunakan metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi
dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran
cxxxiii
sejarah di SMA NU Al-Ma’ruf Kudus yang berkaitan dengan kendala
intern dan kendala ekstern dapat dilakukan dengan jalan
mengkoordinasikan kegiatan resitasi ini dengan meminta partisipasi dari
berbagai pihak yang meliputi Kepala Sekolah, guru, siswa, orang tua/
wali murid, dan komite sekolah, dan YM3SK.
Upaya untuk memecahkan kendala intern yang berasal dari
pihak sekolah yaitu kurangnya perhatian terhadap mata pelajaran yang
tidak diuji nasionalkan, guru dan siswa meminta agar memberikan
perhatian yang sama terhadap mata pelajaran baik yang
diujiannasionalkan maupun yang tidak karena memiliki tujuan yang
sama yakni mendidik dan mencerdaskan anak bangsa untuk menguasai
berbagai IPTEK.
Kendala yang dihadapi guru berkaitan alokasi waktu yang
disediakan oleh sekolah yang dirasa kurang memadai, sehingga guru
merasa kesulitan untuk mengatur dalam pembelajaran sejarah dapat
dilakukan dengan jalan menerapkan pembelajaran terintegrasi seperti
tugas mandiri maupun kelompok, pengayaan dan pendalaman materi
dengan memanfaatkan literatur di perpustakaan. Guru melakukan
koordinasi dengan MGMP sejarah dan bekerjasama dengan YM3SK
untuk membantu dalam membimbing dan mengawasi siswa ketika
mengadakan observasi, survey dan penyusunan laporan.
Kendala intern dari siswa yaitu kurangnya motivasi dan keaktifan
siswa dapat diupayakan pemecahannya dengan jalan memberikan
cxxxiv
dorongan semangat, menanamkan kesadaran kepada siswa serta
membantu berbagai kesulitan dalam mengerjakan tugas resitasi.
Kendala sarana dapat dipecahkan melalui iuran, tabungan atau
penyediaan anggaran dari pihak sekolah. Kendala kurangnya
pemahaman Komite Sekolah terhadap metode resitasi dengan
memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah
dapat diberikan argumentasi dan alasan-alasan untuk meningkatkan
mutu pembelajaran dengan memasukkan program tahunan dan
dianggarkan melalui RAPBS karena resitasi ini mengimplementasikan
dari visi dan misi sekolah.
Kendala ekstern disebabkan oleh situasi lingkungan seperti
banyaknya pengunjung, peziarah yang hadir, dapat dipecahkan dengan
meminta informasi dari YM3SK tentang hari-hari yang padat
pengunjung dan hari yang sepi pengunjung sehingga siswa dalam
mengadakan survey, observasi dan identifikasi di Menara Kudus bisa
dengan cermat dan konsentrasi yang baik.
Menurut informan MC kepala sekolah SMA NU Al- Ma’ruf
(CLW. 04, tanggal 8 Nopember 2008), upaya untuk memecahkan
kendala yang muncul dalam penggunaan metode resitasi dapat
dilakukan berbagai upaya mengontrol keaslian hasil pekerjaan siswa
secara individu maupun kelompok, kreativitas dan keaktifan siswa,
memberikan efek jera kepada siswa yang hasil laporannya hanya meniru
dari kakak kelasnya dengan cara mengulang, melakukan prinsip
efektivitas baik waktu, tenaga dan biaya dan melakukan koordinasi
cxxxv
dengan pihak-pihak yang terkait yang ada hubungan dengan penerapan
metode resitasi sehingga tidak membebani siswa.
Menurut R (CLW. 24, tanggal 15 Nopember 2008) upaya untuk
memecahkan kendala yang dihadapi siswa dalam pembelajaran sejarah
Islamisasi dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber
pembelajaran sejarah yaitu memberikan masukan kepada guru dan
meminta petunjuk pelaksanaan serta tata cara mengerjakan tugas resitasi
dan berbagai konsekuensi yang ditanggung siswa berkaitan dengan
penerapan metode resitasi baik ketika persiapan, pelaksanaan,
pertanggungjawaban, penilaian dan tindak lanjutnya.
Menurut informan DD (LCW. 16, tanggal 22 Nopember 2008)
upaya memecahkan masalah kendala yang muncul dalam penggunaan
metode resitasi dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber
sejarah baik yang berasal dari siswa, guru, dan YM3SK dapat dilakukan
dengan memberikan dorongan dan motivasi kepada siswa agar sungguh-
sungguh dalam menggali informasi tentang Menara Kudus agar mereka
mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang maksimal.
Upaya untuk memecahkan kendala persiapan guru dan
keterbatasan guide di Menara Kudus maka diperlukan kerjasama saling
membantu baik dalam kepengawasan, pembimbingan dan penggalian
informasi tentang Menara Kudus sehingga informasi yang disampaikan
kepada siswa detail dan menyeluruh.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya
pemecahan dari berbagai kendala yang dihadapi dalam penggunaan
metode resitasi baik teknis maupun non teknis, intern maupun ekstern
cxxxvi
dapat dilakukan dengan jalan membina kerjasama dengan komponen-
komponen yang terkait seperti guru, siswa, Kepala Sekolah, orang tua/
wali murid, komite sekolah, dan YM3SK untuk mencarikan solusi
pemecahan / follow up berbagai permasalahan yang muncul dalam
penggunaan metode resitasi pada pembelajaran sejarah Islamisasi
dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah dapat
terwujud sehingga tujuan untuk meningkatkan kualitas dan mutu
pembelajaran sejarah dapat tercapai sesuai yang diharapkan.
C. Pokok – pokok Temuan
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Pemahaman guru sejarah di SMA NU Al – Ma’ruf Kudus terhadap Menara
Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah Islamisasi di Kudus.
Guru sejarah SMA NU Al–Ma’ruf Kudus telah memahami pemilihan
sumber belajar yang tepat. Hal ini didasari kemampuannya dalam
memberikan alasan pemanfaatan Menara Kudus dijadikan sebagai sumber
sejarah pada kompetensi dasar menganalisis pengaruh perkembangan agama
dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia
dan menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan
Islam di Indonesia. Dengan fokus materi pembelajaran proses Islamisasi di
Kudus. Menara Kudus dianggap sebagai representasi dari keterwakilan situs
purbakala pada masa Sejarah Indonesia Madya. Karena perkembangan agama
Islam sejak awal proses Islamisasi di Kudus berada di sekitar Menara Kudus
dan kemudian menyebar ke seluruh Kudus dan sekitarnya.
cxxxvii
Guru sejarah telah memahami kriteria tentang sumber pembelajaran.
Dalam pemakaian sumber pembelajaran terdapat dua sumber belajar yakni
sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yaitu sumber
belajar yang memang sengaja dibuat untuk tujuan pembelajaran. Sedangkan
sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan (learning
resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus
dirancang untuk keperluan pembelajaran, seperti Menara Kudus tinggal
dimanfaatkan untuk sumber belajar. Hal ini sesuai dengan metode yang
dikembangkan saat ini yaitu CTL dan PAKEM. Dengan memanfaatkan alam
sekitar untuk sumber belajar.
Pemanfaatan Menara Kudus sebagai Sumber Belajar dalam
pembelajaran sejarah Islamisasi di Kudus tepat karena telah memenuhi
persyaratan 5 W. 1 H. Di samping itu, Menara Kudus memiliki keunikan
tersendiri dibandingkan dengan situs purbakala lainnya karena merupakan
manifestasi dari buah akulturasi budaya pra Islam (Hindu dan Budha) dengan
Islam. Arsitekturnya cukup unik menyerupai sebuah candi. Ini membuktikan
bahwa Menara Kudus layak dijadikan sebagai sumber sejarah untuk materi
ajar proses Islamisasi di Kudus Guru sangat menguasai materi pembelajaran,
baik dari sejarah arsitektur bangunan Menara Kudus, tradisi dan kondisi
sosial masyarkat sampai akulturasi budaya yang terjadi.
2. Implementasi metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi dengan
objek Menara Kudus.
cxxxviii
Implementasi metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi
dengan objek Menara Kudus dilaksanakan secara bertahap mulai dari
persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut. Tujuan dilaksanakan secara
bertahap agar metode resitasi yang diberikan kepada siswa benar-benar
memberikan manfaat untuk meningkatkan kualitas dan mutu pembelajaran
siswa.
Dalam implementasi metode resitasi dilaksanakan mulai tahap
persiapan yaitu mulai penyusunan silabus, membuat RPP, membuat Indikator,
menyusun instrumen, menyiapkan bahan ajar/ materi pembelajaran, membuat
petunjuk dan pelaksanaan metode resitasi, menentukan batas waktu dalam
metode observasi.
Dalam tahap pelaksanaan langkah-langkah kegiatannya meliputi
pemberian tugas sesuai dengan kompetensi dasar menganalisis pengaruh
perkembangan agama dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai
daerah di Indonesia dan menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal,
Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia. Dengan fokus materi pembelajaran
proses Islamisasi di Kudus. Kegiatan yang dilakukan siswa mengerjakan/
melaksanakan tugas, dengan mengidentifikasi, mencatat, mengobservasi,
berbagai bukti-bukti, fakta historis tentang proses Islamisasi dengan
memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah, menyusun laporan hasil
survey / pengamatan di Menara Kudus baik secara individu maupun kelompok.
Pada tahap pelaksanaan ini mendapatkan bimbingan dan pengawasan dari guru
sehingga siswa tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
cxxxix
Tahap pertanggungjawaban siswa dipersilahkan untuk
mempresentasikan hasil laporannya melalui diskusi kelas untuk mendapatkan
tanggapan dari hasil temuannya. Tahapan ini penting untuk menguji kebenaran
dan keabsahan data melalui presentasi dan diskusi kelompok. Pada tahap ini
siswa memperoleh pengalaman yang berharga karena akan mendapatkan
sanggahan, mendapatkan tanggapan, pertanyaan, dan berbagai saran-saran baik
dari teman kelompoknya maupun dari guru sejarah agar laporannya dapat
sempurna.
Tahap selanjutnya adalah tindak lanjut dengan mengadakan evaluasi
dan penilaian baik secara individu maupun kelompok. Tahap tindak lanjut ini
sangat penting karena dari hasil penugasan akan dievaluasi yang hasilnya
berupa nilai ataupun dalam bentuk reinforcement, penghargaan dari guru atas
hasil kerjanya.
3. Kendala yang muncul dalam Penggunaan Metode Resitasi dan upaya
pemecahannya.
Kendala yang muncul dalam penggunaan metode resitasi meliputi
kendala teknis maupun nonteknis, kendala intern maupun kendala ekstern.
Kendala teknis berkaitan dengan teknis pelaksanaan dari metode resitasi yang
disesuaikan dengan prosedur/ aturan-aturan yang telah disepakati antara guru
dan siswa.
Dalam temuan di lapangan penelitian kendala teknis meliputi:
kesulitan mengidentifikasi SK/ KD-nya, penyusunan petunjuk dan
pelaksanaan metode resitasi, pembuatan instrumen, sarana dan prasarana
cxl
pendidikan akomodasi, transportasi, alokasi waktu, keaktifan siswa, kesulitan
pengawasan dan bimbingan kepada siswa, keterbatasan guru dalam
membimbing siswa dalam membuat laporan dan evaluasi. Kendala ini tidak
hanya dialami oleh siswa tetapi guru ketika merumuskan, mempersiapkan, dan
melaksanakan, serta mempertanggungjawabkan dan tindak lanjutnya.
Di samping kendala teknis temuan di lapangan penelitian menunjukkan
adanya kendala non teknis, arti kendala yang timbul di luar prosedur yang
sifatnya insidentil. Adapun kendala nonteknis yang ditemukan dalam
penelitian ini meliputi : kesulitan dalam mengkoordinasikan dan
mengendalikan siswa ketika di objek Menara Kudus, banyaknya pengunjung
di Menara Kudus menyebabkan siswa kurang konsentrasi dan percaya diri.
Kendala nonteknis ini sifatnya hanya sementara dan tidak menentu sehingga
penanganannya disesuaikan dengan keadaan lingkungan objek agar
pelaksanaan metode resitasi dapat berjalan lancar sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.
Selain kendala teknis dan nonteknis kendala yang dapat ditemukan
dalam penggunaan metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi
yaitu kendala intern dan ekstern. Kendala intern berasal dari dalam diri baik
pihak sekolah, guru, siswa, orang tua/ wali murid, dan komite sekolah.
Sedangkan kendala ekstern berasal dari luar yaitu situasi lingkungan objek
Menara Kudus, sedikit banyaknya pengunjung dan sebagainya.
Kendala yang sangat dirasakan oleh seorang guru sejarah dalam
pembelajaran menggunakan metode resitasi sering terbentur dengan jam
cxli
pelajaran yang terbatas. Seringkali siswa melakukan penipuan di mana siswa
hanya meniru hasil pekerjaan orang lain tanpa mau bersusah payah
mengerjakan sendiri, guru sering menemukan hasil pekerjaan dengan jawaban
yang baik dan benar, tetapi ketika ia diberi pertanyaan tentang tugasnya ia
tidak tahu, banyak siswa yang belum memahami tugas yang ia kerjakan
meskipun ia punya hasil pengerjaannya, terkadang tugas itu dikerjakan orang
lain tanpa pengawasan. Selain itu guru juga menemui kendala lain yakni, sukar
memberikan tugas yang memenuhi perbedaan individual.
Kendala-kendala tersebut biasa terjadi dalam penerapan suatu metode
pembelajaran bukan hanya pada resitasi tetapi pada metode pembelajaran
lainnya. Namun kendala-kendala tersebut dapat teratasi dan tidak membawa
akibat fatal.
Dalam suatu kegiatan apa pun, pasti terdapat kendala. Kendala-kendala
tersebut harus dapat dijadikan sebagai salah satu pengalaman yang berharga.
Karena pengalaman adalah guru yang sangat berharga dalam belajar. Oleh
karena itu, komponen pendidikan di SMA NU Al-Ma’ruf Kudus harus
mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan
metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi di Kudus dengan
memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber belajar.
Ada pun upaya pemecahan dari berbagai kendala yang dihadapi dalam
penggunaan metode resitasi baik teknis maupun nonteknis, intern maupun
ekstern dapat dilakukan dengan jalan membina kerjasama dengan komponen-
komponen yang terkait seperti guru, siswa, Kepala Sekolah, orang tua/ wali
cxlii
murid, komite sekolah, dan YM3SK untuk mencarikan solusi pemecahan /
follow up berbagai permasalahan yang muncul dalam penggunaan metode
resitasi pada pembelajaran sejarah Islamisasi dengan memanfaatkan Menara
Kudus sebagai sumber sejarah dapat terwujud sehingga tujuan untuk
meningkatkan kualitas dan mutu pembelajaran sejarah dapat tercapai sesuai
yang diharapkan. Dengan demikian permasalahan yang muncul dalam
penggunaan metode resistasi di SMA Al-Ma’ruf Kudus diatasi dan
diselesaikan secara bersama-sama oleh seluruh komponen pendidikan yang
ada di SMA tanpa efek yang berarti.
D. Pembahasan
Proses pembelajaran dapat berhasil dengan baik apabila guru dalam
memilih metode pembelajaran sesuai dengan sumber belajar yang digunakan.
Sumber belajar yang berupa objek yang dapat ditemui di lingkungan sekitar
sangat tepat menggunakan metode pembelajaran resitasi. Metode ini dapat
menumbuhkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran. Penggunaan
metode resitasi dalam pelajaran sejarah islamisasi dengan menggunakan objek
Menara Kudus dapat berjalan apabila guru memahami dengan baik objek
Menara Kudus tersebut sebagai sumber belajar siswa.
1. Pemahaman guru sejarah di SMA NU Al – Ma’ruf Kudus terhadap Menara
Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah Islamisasi di Kudus.
Makna pengajaran sejarah untuk mengkaji lebih mendalam
bentuk proses pengajaran sejarah yang sesuai dengan karakteristik sejarah
dan kemungkinan fungsi serta tujuan sejarah tercapai secara maksimal.
cxliii
Fungsi dan tujuan pengajaran sejarah akan tercapai apabila siswa mampu
mendalami dan menghayati secara mendalam peristiwa–peristiwa sejarah
yang ada serta mampu mengambil makna dan nilai-nilai dari peristiwa
sejarah tersebut. Untuk itu dalam proses pembelajaran sejarah guru harus
mampu menghadirkan peristiwa masa lalu kehadapan siswa, sehingga
memungkinkan siswa untuk melakukan pengamatan secara langsung dan
pengkajian secara mendalam terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. Untuk
mewujudkan proses pembelajaran tersebut tentunya sangat tidak mungkin,
karena terbentur pada sifat dari peristiwa itu sendiri (Sartono Kartodirdjo,
1993).
Menarik untuk dicermati Pemahaman guru sejarah di SMA NU Al
– Ma’ruf Kudus terhadap Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran
sejarah Islamisasi di Kudus. Penguasaan materi pembelajaran dan
pemahaman guru sejarah di SMA NU Al – Ma’ruf Kudus sudah baik.
Dalam wawancara guru sejarah dapat menjelaskan dengan detail tentang
Menara Kudus baik dari segi arsitektur bangunan sampai kondisi sosial
budaya yang terdapat pada monumen Menara Kudus. Guru mempunyai
sumber bahan ajar tentang Menara Kudus seperti buku, artikel dan miniatur
Menara Kudus.
Menurut I Gde Widja (2002 : 95), pengajaran sejarah merupakan
suatu aktifitas belajar mengajar, di mana seorang guru menerangkan pada
siswanya tentang gambaran kehidupan masyarakat masa lampau yang
menyangkut peristiwa-peristiwa penting dan memiliki arti khusus.
cxliv
Guru sejarah menyadari arti penting Menara kudus yang terletak
tidak jauh dari SMA NU Al – Ma’ruf Kudus sebagai salah satu situs
peninggalan sejarah proses masuknya Islam di Indonesia. Dalam
perkembangan agama Islam di Indonesia, Kudus merupakan salah satu kota
di Jawa Tengah yang bersejarah. Ini nampak dari peninggalan-peninggalan
seperti Menara Masjid Kudus. Perkembangan suatu agama dimana pun,
pasti akan terpengaruh oleh kebudayaan yang ada pada waktu itu. Demikian
juga ketika agama Islam berkembang di daerah Kudus dan sekitarnya, Islam
terpengaruh oleh berbagai kebudayaan sebelumnya. Menara Kudus
dianggap dapat memrepresentasikan proses Islamisasi, hal ini dibuktikan
dengan hal – hal sebagai berikut: Bangunan Menara Kudus menghadap ke
Barat, seperti yang kita tahu orang Islam menghadap ke kiblat (barat) ketika
melakukan sholat, walaupun Menara Kudus berakulturasi dengan budaya
lain dan mendapat pengaruh kental budaya Hindu (bila dilihat dari
arsitekturnya) tetapi Menara Kudus merupakan peninggalan Islam, karena di
bawah atap Menara tergantung Bedhug, di puncak Menara terdapat tulisan
”Allah” dalam bahasa Arab.
2. Implementasi metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi dengan
objek Menara Kudus.
Pembelajaran merupakan serangkaian aktivitas belajar mengajar,
yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan diakhiri dengan tindakan
evaluasi, yang selanjutnya diadakan tindakan perbaikan atau pengayaan.
cxlv
Pengajaran juga merupakan suatu sistem, di mana dalam sistem tersebut
ada seperangkat unsur
yang tersusun dalam suatu susunan yang saling berhubungan dan saling
menunjang antara unsur yang satu dengan unsur lainnya dalam suatu
aktivitas guna mencapai suatu tujuan. Rancangan pengajaran akan
mengikuti langkah-langkah yang terdiri dari tujuan, bahan pengajaran,
metode yang digunakan, serta evaluasi dari semua proses pembelajaran yang
telah dilaksanakan (Akhmad Rohani 1995).
Persiapan guru dengan perencanaan yang matang, mulai dari
membuat rencana pembelajaran, silabus, materi ajar, metode yang akan
digunakan, alat yang akan dibutuhkan, dan bentuk evaluasi yang akan
dilakukan dirasa kurang maksimal. Hal ini dikarenakan jam pelajaran
pelajaran yang terbatas, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk metode
resitasi dan jam pelajaran berbanding terbalik.
Metode resitasi merupakan terjemahan dari to cite, berarti
mengutip, yakni siswa mengutip atau mengambil sendiri bagian – bagian
pelajaran dari buku – buku tertentu, lalu belajar dan berlatih sendiri hingga
siap sebagaimana mestinya. Atau resitasi adalah cara menyajikan bahan
pelajaran di mana guru memberikan sejumlah tugas terhadap anak didik
untuk mempelajari sesuatu, kemudian mempertanggungjawabkannya
(Thoifuri, 2008 : 66).
Metode pemberian tugas bertujuan untuk merangsang dan
mendorong siswa aktif, kreatif, melatih menggunakan waktu, belajar
cxlvi
mandiri, memperdalam dan memperkaya pengalaman belajar serta
menyelesaikan rencana pembelajaran yang tidak selesai di dikerjakan di
kelas sehingga siswa dapat menyelesaikan dan menguasai bahan pelajaran
yang diberikan guru kepada dirinya.
Dalam menggunakan metode resitasi harus memperhatikan
beberapa hal. Menurut Muhibbin Syah (1995 : 212) metode pemberian tugas
untuk menambah penguasaan siswa atas materi yang telah di sajikan guru
baik bersifat individual maupun kelompok, tergantung kebutuhan, dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1) tugas yang diberikan harus
berhubungan erat dengan materi yang diberikan; 2) Tugas yang diberikan
harus sesuai dengan kemampuan siswa. 3) Tugas yang diberikan harus
sesuai atau tidak berlawanan dengan sikap dan perasaan hatinya sehingga
dapat melaksanakan tugas dengan senang hati. 4) Tugas yang diberikan
harus jelas, baik jenis volume, maupun batas waktu penyesuaiannya.
Dengan pertimbangan tersebut diharapkan guru dapat menemukan
metode resitasi yang tepat. Agar metode resitasi dapat digunakan dengan
tepat maka diperlukan adanya fase-fase atau tahapan-tahapan yang benar.
Menurut Mulyani Sumantri (2002: 79) langkah-langkah penggunaan metode
penugasan (resistasi) dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan fase-fase
sebagai berikut : 1) Fase Pemberian Tugas yang meliputi : perumusan
tujuan yang hendak dicapai, meliputi : jenis tugas yang jelas dan tepat,
memperhatikan kemampuan siswa, adanya petunjuk, penentuan waktu/
batasan waktu penyelesaian. 2) Langkah Pelaksanaan Tugas meliputi
pemberian bimbingan/ pengawasan, memberikan dorongan anak mau
bekerja, dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain,
cxlvii
dianjurkan siswa mencatat hasil-hasil yang yang diperoleh dengan baik dan
sistimatik. 3) Mempertanggungjawabkan tugas meliputi : menyusun laporan
siswa, diskusi kelas, penilaian hasil kerja siswa, baik dengan tes maupun
non tes atau cara lainnya.
3. Kendala yang muncul dalam Penggunaan Metode Resitasi dan upaya
pemecahannya.
Dalam penggunaan metode resitasi dihadapkan dengan berbagai
kendala baik teknis maupun nonteknis, kendala intern maupun kendala
ekstern. Kendala teknis berkaitan dengan teknis pelaksanaan dari metode
resitasi yang disesuaikan dengan prosedur/ aturan-aturan yang telah
disepakati antara guru dan siswa. Kendala nonteknis, yaitu kendala yang
timbul di luar prosedur yang sifatnya insidentil. Selain kendala teknis dan
nonteknis kendala yang dapat ditemukan dalam penggunaan metode resitasi
dalam pembelajaran sejarah Islamisasi yaitu kendala intern dan ekstern.
Kendala intern berasal dari dalam diri baik pihak sekolah, guru, siswa, orang
tua/ wali murid, dan komite sekolah. Sedangkan kendala ekstern berasal dari
luar yaitu situasi lingkungan objek Menara Kudus, sedikit banyaknya
pengunjung dan sebagainya.
Kendala dalam penggunaan metode resitasi sesuai dengan pendapat
Mulyani Sumantri ( 2002 : 92) yaitu (1) siswa sulit dikontrol, apakah benar
ia yang mengerjakan tugas ataukah orang lain; (2) khusus untuk tugas
kelompok, tidak jarang yang aktif mengerjakan dan menyelesaikannya
adalah anggota tertentu saja, sedangkan anggota yang lainnya tidak
berpartisipasi dengan baik; (3) Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai
cxlviii
dengan perbedaan individu siswa; (4) sering memberikan tugas yang
monoton (tak bervariasi)
dapat menimbulkan kebosanan siswa. Ismail (2003: 117) menyatakan
bahwa kelemahan metode pemberian tugas antara lain : seringkali siswa
melakukan penipuan diri di mana siswa hanya meniru pekerjaan orang lain,
tanpa mengalami proses belajar. Adakalanya tugas itu pengerjaannya
dibantu oleh orang lain. Apabila tugas terlalu berlebihan dan sukar dapat
mengganggu mental siswa.
Upaya mencari pemecahan dari berbagai permasalahan yang
dihadapi dalam penggunaan metode resitasi dalam pembelajaran sejarah
Islamisasi di Kudus dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber
belajar dapat dilakukan secara teknis maupun nonteknis, intern maupun
ekstern dengan jalan menjalin kerjasama antar komponen pendidikan di
SMA NU Al-Ma’ruf Kudus.
Dengan bekerjasama tersebut akan dapat mencarikan solusi
pemecahan/ follow up berbagai permasalahan yang muncul dalam
penggunaan metode resitasi pada pembelajaran sejarah Islamisasi dengan
memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah dapat terwujud
sehingga tujuan untuk meningkatkan kualitas dan mutu pembelajaran
sejarah dapat tercapai sesuai yang diharapkan.
Menurut Mulyani Sumantri ( 2002 : 92) kelebihan metode
pemberian tugas adalah : lebih merangsang siswa dalam malakukan
aktivitas belajar individual maupun kelompok; dapat mengembangkan
cxlix
kemandirian siswa di luar pengawasan guru; dapat membina tanggung
jawab dan disiplin siswa; dapat mengembangkan kreativitas siswa.
Ismail (2003 : 116) berpendapat kelebihan metode pemberian
tugas yaitu : (1) pengetahuan yang diperoleh dengan belajar mandiri atau
kelompok di rumah akan lebih lama diingat; (2) siswa mempunyai
kesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil
keputusan, inisiatif, bertanggung jawab dan mandiri; (3) apabila tugas
segera dikoreksi guru dapat lebih cepat mengetahui jika terdapat kesalahan
konsep pada diri siswa.
Dari keseluruhan pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa penggunaan metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi
dengan menggunakan Menara Kudus sebagai sumber sejarah terlepas dari
kelebihan dan kelemahannya mampu membantu guru dalam meningkatkan
pemahaman, kreativitas dan aktivitas belajar siswa serta peningkatan mutu
dan kualitas pembelajaran di SMA NU Al-Ma’ruf Kudus.
cl
BAB V
SIMPULAN,IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Pemilihan metode pembelajaran berkaitan dengan sumber belajar yang
digunakan. Pemanfaatan Menara Kudus sebagai sumber belajar pelajaran sejarah
Islamisasi oleh Guru SMA NU Al-Ma’ruf Kudus, harus memperhatikan kriteria-
kriteria yang telah ditentukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Guru
yang memahami sejarah dan maksud pendirian Menara Kudus, maka dapat
memanfaatkan Menara Kudus tersebut sebagai sumber belajar pelajaran sejarah
Islamisasi di Kudus dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat.
Salah satu metode yang dapat digunakan dengan Menara Kudus sebagai
sumber belajar pelajaran sejarah Islamisasi adalah metode resitasi. Metode resitasi
dilaksanakan melalui proses pembelajaran mulai dari persiapan, pelaksanaan,
evaluasi dan tindak lanjut. Tahap persiapan guru sejarah menyusun silabus, RPP,
Indikator, Instrumen, bahan ajar/ materi, membuat petunjuk dan pelaksanaan,
menentukan batas waktu. Tahap pelaksanaan langkah-langkah kegiatannya
meliputi pemberian tugas, siswa mengerjakan/ melaksanakan tugas, mencatat dan
cli
mengidentifikasi berbagai bukti-bukti, fakta historis tentang proses Islamisasi
dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah, menyusun laporan
hasil survey / pengamatan di Menara Kudus baik secara individu maupun
kelompok.
Tahap pertanggungjawaban siswa dipersilakan untuk mempresentasikan
hasil laporannya melalui diskusi kelas untuk mendapatkan tanggapan dari hasil
temuannya. Tahap selanjutnya adalah tindak lanjut dengan mengadakan evaluasi
dan penilaian baik secara individu maupun kelompok.
Pelaksanaan metode reitasi di lapangan menemui kendala yang
diakibatkan oleh kendala teknis maupun nonteknis, kendala intern maupun
kendala ekstern. Kendala teknis meliputi : kesulitan mengidentifikasi SK/ KD-
nya, penyusunan petunjuk dan pelaksanaan metode resitasi, pembuatan
instrumen, sarana dan prasarana pendidikan akomodasi, transportasi, alokasi
waktu, keaktifan siswa kesulitan pengawasan dan bimbingan kepada siswa,
keterbatasan guru dalam membimbing siswa dalam membuat laporan dan
evaluasi. Kendala nonteknis meliputi : kesulitan dalam mengkoordinasikan dan
mengendalikan siswa ketika di objek Menara Kudus, banyaknya pengunjung di
Menara Kudus menyebabkan siswa kurang konsentrasi dan percaya diri. Kendala
Intern berasal dari dalam yang meliputi : pihak sekolah, guru, siswa, orang tua/
wali murid, dan komite sekolah. Sedangkan kendala ekstern berasal dari luar yaitu
situasi lingkungan objek Menara Kudus, sedikit banyaknya pengunjung dan
sebagainya.
clii
Upaya pemecahan kendala-kendala yang dihadapi dalam penggunaan
metode resitasi baik teknis maupun nonteknis, intern maupun ekstern dapat
dilakukan dengan jalan membina kerjasama dengan komponen-komponen yang
terkait seperti guru, siswa, kepala sekolah, orang tua/ wali murid, komite sekolah,
dan YM3SK untuk mencarikan solusi dan pemecahan / follow up berbagai
permasalahan yang muncul dalam penggunaan metode resitasi pada pembelajaran
sejarah Islamisasi dengan memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber sejarah
dapat terwujud sehingga tujuan untuk meningkatkan kualitas dan mutu
pembelajaran sejarah dapat tercapai sesuai yang diharapkan.
B. Implikasi Hasil Penelitian
Pelajaran sejarah islamisasi diajarkan di SMA NU Al Ma’ruf karena
pelajaran tersebut mengandung nilai-nilai keislaman yang perlu diketahui oleh
siswa. Penggunaan metode resitasi dalam pelajaran sejarah islamisasi
menimbulkan dampak positif bagi kegiatan pembelajaran. Nilai–nilai siswa sudah
mengalami peningkatan, setelah dievaluasi dari hari ke hari mulai terlihat
kemajuan, baik dalam nilai–nilai siswa maupun kondisi psikologis belajar siswa.
Kondisi psikologis berhubungan erat dengan motivasi belajar siswa. Sikap yang
mulai menyenangi pelajaran Sejarah membuat para siswa aktif di kelas, berani
mengajukan pertanyaan kepada guru, kondisi seperti ini secara otomatis
memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada para siswa. Mereka tidak
hanya mendengar tetapi memamahi apa yang dijelaskan guru kemudian berani
mengajukan pertanyaan dan berpartisipasi aktif di dalam kelas.
cliii
Pemanfaatan Menara Kudus sebagai sarana pembelajaran sejarah
Islamisasi dengan metode resitasi, memberikan dampak positif bagi
keberlangsungan benda bersejarah tersebut. Menara Kudus merupalan bangunan
yang sudah kuno namun terawat dengan baik. Menara Kudus menyimpan fakta –
fakta sejarah proses Islamisasi. Pemanfaatan Menara Kudus sebagai sarana
pembelajaran memberikan dorongan bagi semua pihak untuk mengambil langkah
yang perlu dilakukan yaitu membenahi pengelolaannya, peningkatan administrasi
dan publikasi.
Metode resitasi yang dilakukan dalam pemberian tugas, menjawab soal,
atau segala sesuatunya harus disiapkan dan direncanakan secara baik, tanpa
persiapan maka kegiatan guru dalam pemberian tugas kurang mendukung
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Mengingat metode resitasi memerlukan
persiapan khusus.
Pengajaran sebagai aktivitas profesional membutuhkan perencanaan yang
sistematis. Kemampuan guru dalam mempersiapkan rencana pengajaran
merupakan salah satu aspek penting dari tugas profesionalnya. Keberhasilan
proses belajar mengajar salah satunya ditentukan oleh perencanaan yang baik.
Relevan dengan temuan penelitian ini ternyata persiapan guru dalam kegiatan
pembelajaran dengan memanfaatkan metode resitasi belum maksimal.
Penggunaan strategi dalam pembelajaran dengan metode resitasi dalam rentangan
waktu yang terbatas belum dapat diatasi, seringkali ketika pelajaran dengan
metode resitasi berlangsung
cliv
terpotong di tengah – tengah sehingga tidak selesai dalam sekali waktu. Selain itu
individu yang berbeda setiap siswa juga menuntut kesiapan guru, tidak mudah
memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu siswa. Bimbingan
terhadap siswa yang mengalami kesulitan belajar juga dirasa masih kurang karena
sebanyak 40 siswa dengan keberadaan dua guru tidak memungkinkan untuk
melakukan bimbingan secara optimal terhadap banyaknya siswa yang mengalami
kesulitan.
Implikasi positif yang dapat ditonjolkan dari metode resitasi adalah
terciptanya suasana kelas yang aktif, siswa mulai berkonsentrasi setiap kali guru
menerangkan, mereka sudah mulai bisa menikmati pelajaran Sejarah. Ada
atmosfir baru di dalam kelas yang memotivasi siswa untuk belajar dan
menyimpan rasa keingintahuan terhadap bahasan yang sedang berlangsung.
Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan dalam pembelajaran
Sejarah Islamisasi dengan menggunakan metode resitasi di Menara Kudus perlu
dilakukan evaluasi. Dari hasil evaluasi dan analisis diketahui bahwa pemahaman
siswa dan minat siswa terhadap pelajaran Sejarah meningkat. Perubahan sikap dan
pengetahuan siswa terhadap pelajaran Sejarah merupakan salah satu indikatornya,
meningkatnya motivasi siswa mempelajari sejarah serta tumbuhnya kesadaran
sejarah di kalangan siswa merupakan nilai tambah positif. Dari kenyataan tersebut
kiranya menjadi pemikiran para guru sudah saatnya aktif mencari terobosan –
terobosan baru untuk mengatasi kebosanan siswa, mencari penerapan metode
mengajar yang tepat, mengubah paradigma pembelajaran yang sentralistik di
tangan guru menuju pembelajaran yang edukatif dengan memberdayakan semua
komponen yang ada, seperti lingkungan dan siswa sebagai subjek dari
clv
pembelajaran. Melalui langkah yang ditempuh tersebut maka diharapkan adanya
peningkatan pendidikan dan pembelajaran akan menjadi lebih bermakna.
C. Saran – Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, saran-saran yang
dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Kepada Guru
a. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan menumbuhkan minat siswa
dalam belajar sejarah, seyogyanya guru memanfaatkan sumber belajar yang
dekat dengan lingkungan sekolah.
b. Dalam memanfaatkan Menara Kudus sebagai sumber belajar harus
direncanakan secara baik, sistematis dan terprogram, disesuaikan dengan
materi pelajaran serta dituangkan dalam persiapan pembelajaran.
c. Agar kegiatan proses belajar mengajar lebih bermakna dan dapat
memotivasi siswa guru seharusnya mampu memegang kendali kelas,
memahami apa yang menjadi kendala sehingga siswa tidak merasa bosan.
d. Dalam kegiatan belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan pola
interaksi yang dinamis antara siswa dengan siswa, maupun siswa dengan
guru.
e. Guru dituntut menguasai materi agar dapat melakukan pengembangan-
pengembangan bahan pengajaran dalam proses belajar mengajar yang
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
clvi
2. Kepada Kepala Sekolah
a. Untuk meningkatkan sikap profesional guru, kepala sekolah perlu
mengintensifkan pembinaan dan supervisi kepada guru berkaitan dengan
persiapan mengajar maupun pelaksanaan pembelajaran.
b. Mendorong guru untuk lebih meningkatkan kualitas pembelajaran.
c. Sesekali mengontrol kegiatan belajar mengajar guru di dalam kelas, demi
tercapainya peningkatan kualitas pendidikan.
3. Kepada Pengelola Menara Kudus
a. Untuk meningkatkan dan menarik pengunjung terutama dari kalangan
pelajar, perlu kiranya dikembangkan kerjasama dengan institusi
pendidikan (sekolah) dan guru, melalui perintisan program kunjungan ke
Menara Kudus dengan berbagai kemudahan.
b. Perlu kiranya dipikirkan upaya untuk perawatan bangunan kuno Menara
Kudus sebagai situs sejarah, mengingat sudah banyak tulisan-tulisan
yang hilang dan juga menghimbau pengunjung untuk menjaga
kelestarian Menara Kudus.
c. Agar pengunjung memperoleh gambaran yang utuh tentang monumen
maka pantas dipertimbangkan untuk menyiapkan brosur (buku) praktis
dengan harga yang terjangkau khususnya bagi pelajar, hal ini juga dapat
dijadikan sarana publikasi.
clvii
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gapur. 1989. Desain Intruksional. Solo : Tiga Serangkai. Ahmad Rohani. 2000. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Arif Ismail. 2008. Media dan Sumber Pembelajaran Sejarah. Jakarta : Rineka
Cipta. Arif Ismail dan Isjoni. 2008. Model – Model Pembelajaran Mutakhir : Perpaduan
Indonesia Malaysia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Aswan Zaim. 2002. Strategi Belajar dan Mengajar IPS. Semarang :
Gramedia B. Simanjuntak dan Pasaribu I.L. 1983. Proses Balajar Mengajar. Bandung :
Penerbit Tarsito Burhan Bungin. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : RajaGrafindo
Persada. Burton, William dan Lexy J. Moleong. 1995. Penilitian Naturalistik. Jakarta: IKIP
Jakarta Cavalro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Jakarta : UI Press Daljoeni. 1990. Dasar – Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung : Penerbit
Alumni. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kudus. 2005. Peninggalan Sejarah
& Purbakala Kabupaten Kudus. Kudus ; P&K Kabupaten Kudus. Djoko Suryo. 1989. Kesadaran Sejarah: sebuah tinjauan. Surakarta : KPK
Universitas Sebelas Maret. Feibleman, James. 1968. The Theory of Human Culture. New York : Humanitis
Press. Geertz, Clifford. 1963. Kebudayaan dan Agama. Jakarta : Yayasan Kanisius. G. Moedjanto. 1989. Kesadaran Sejarah dan Indikatornya. Surakarta : KPK.
Universitas Sebelas Maret. Hartono Kasmandi. 2001. Pengembangan Pembelajaran. Semarang : Prima
145
clviii
Nugraha Pratama. H.B. Sutopo. 1992. Merancang Penelitian Kualitatif / Lembar Penelitian IKIP
Semarang. Semarang : Pusat Penelitian IKIP Semarang. I Gede Widja. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta : Depdikbud. I.L. Simanjuntak B dan Pasaribu,. 1983. Proses Balajar Mengajar. Bandung :
Penerbit Tarsito Ismail. 2003. Kapita Selekta IPS Sejarah . Jakarta : Universitas Terbuka. _________. 1996. Pengajaran Sejarah. Jakarta : Depdikbud. _________. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta : Lapera. Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Jogjakarta : Yayasan Bentang
Budaya. Linton, Ralph. _____. The Study of Man. New York : Appleton Century Crofts
Inc. Mauidathul Khasanah. 2007. ”Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar
Siswa Kelas Viiic Semester Ii Smp Negeri 36 Semarang Tahun Pelajaran 2006/2007 Pada Materi Pokok Bangun Ruang Sisi Datar Melalui Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Metode Resitasi”. Skripsi. Semarang : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNNES.
Miles, M.B & Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber
Tentang Metode – Metode Baru. Jakarta : UI Press. Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda
Karya. Mudzakir Djauzi. 2002. Studi Kasus (Desain dan Metode) / Robert K. Yin. Jakarta
: Grafindo Persada. Muhibbin Syah. 1995. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung :
Remaja Rosda Karya. Mulyani Sumantri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rajawali Press. Nana Sudjana. 2001. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar
Baru Agresindo.
141
clix
Nugroho Notosusanto. 1991. Sejarah Demi Masa Kini. Jakarta : UI Press. Nugroho Notosusanto & Djoened, Marwati. 1993. Sejarah Nasional Indonesia.
III. Jakarta : Balai Pustaka. Retno D. Susi. 2005. ”Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada
Pembelajaran Sejarah SMA Swasta Di Kota Semarang tahun ajaran 2004 / 2005 (Studi Kasus: SMA Teuku Umar dan SMA Kartini)”. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial UNNES.
Roijkkers. 1990. Mengajar dengan Sukses. Jakarta : Gramedia. R. Soekmono. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Yayasan Kanisius. Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sarwiji Suwandi & Budhi Setiawan. Buku Pedoman Seminar Proposal Thesis.
2006. Surakarta : Program Pascasarjana. Soemardi Moertono. 1994. Negara dan Usaha Bela Negara di Jawa Masa
Lampau Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI – XIX . Jakarta : Yayasan Obor.
Soerjono Soekanto. 1985. Kamus Sosiologi. Jakarta : Rajawali Pers. Solichin Salam. 1993. Menara Kudus (The Minaret of Kudus). Jakarta : Gema
Salam _________ 1997. Menara Kudus (The Minaret of Kudus). Jakarta : Gema Salam Syaiful Bakri. 2002. Dasar-Dasar Pembelajaran IPS. Jakarta : Djambatan Sri Kusdinah. 1990. ”Studi Keefektifan Metode Resitasi dan Diskusi Terhadap
Prestasi Belajar IPS Sejarah Ditinjau dari Tingkat Kesadaran Sejarahnya. Suatu Eksperimen Pada SMP Swasta di Kota Madya Surakarta 1988/1989”. Thesis. Jakarta : Fakultas Pasca Sarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Sugeng Haryadi. 1997. Berdirinya Masjid Agung Demak. Grobogan : Mega
Berlian. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitaif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta. Syafwandi. 1985. Menara Masjid Kudus : Dalam Tinjauan Sejarah dan
clx
Arsitektur. Jakarta : Bulan Bintang. Taufik Abdullah. 2004. Sejarah Lokal Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada
Press.
Thoifuri. 2008. Menjadi Guru Inisiator. Semarang : Rasail. Tim Peneliti. 1989. Hari Jadi Kudus. Yogyakarta : Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra UGM Tim Penyusun. 1997. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta : Delta Pamungkas. Ulih Bukit Kayo-Kayo. 1984. Metodologi Pengajaran. Salatiga : Saudara. Winarti. 2003. ”Perbedaan Metode Pemberian Tugas dan Prestasi Belajar siswa
Kelas XI IPS 1 Semester I SD Negeri Kalitengah 1 Kecamatan Mranggen tahun pelajaran 2002 / 2003”. Skripsi. Semarang : Fakultas Ilmu Sosial UNNES.
Yad Mulyasa. 1999. Antropologi untuk SMU Kelas 3 IPS. Jakarta : Depdikbud. Zainuri. 2007. ”Partisipasi Politik Perempuan Perspektif Tradisi Islam lokal
Kudus”. Thesis. Semarang : Universitas Diponegoro. Doni Swadarma. 2003. Berbagai Tipe Metode Mengajar. http://doni-
swa.blog.friendster.com/2007/07 diakses tanggal 12 Desember 2008 Mang Koes. 2004. tanpa judul. http://artike1.us/mangkoes6-04.html diakses
tanggal 12 Desember 2008 Ahmad Sudrajat. tanpa tahun. Strategi Pembelajran.
http://pakguruonline.pendidikan.net diakses tanggal 5 Januari 2009 Anonim. tanpa tahun. Budaya Masjid Kudus.
http://navigasi.net/goart.php?a=bumsjkds diakses tanggal 5 Januari 2009 Parluhutan Siregar. tanpa tahun. Paradigma Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
http : //litagama.org diakses tanggal 5 Januari 2009 Anonim. tanpa tahun. tanpa judul. http://jtiriialsejarah/malang2OOla.litiiil
diakses tanggal 5 Januari 2009 Anonim. 2007. Masuknya Islam di Indomesia. http://peziarah.wordpress.com.
diakses tanggal 17 Februari 2009
clxi
Anonim. 2009. Islamisasi di Indonesia. http://pmkuncen.wordpress.com diakses tanggal 20 Februari 2009