Makalah Isu-Isu Islamisasi Pi
-
Author
muhammad-sapri -
Category
Documents
-
view
145 -
download
1
Embed Size (px)
Transcript of Makalah Isu-Isu Islamisasi Pi

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang haq hingga akhir masa. Islam agama yang
komprehensif karena islam adalah tutunan dalam menjalani kehidupan ini, segala
laku kita sudah tercantum tutunannya dalam al-Qurán dan al-Hadits jadi jika kita
hidup dengan memegang tutunan itu maka layaknya seorang pengelana maka dia
tidak akan tersesat karena dia mempunyai peta guna membuatnya sampai
ketempat tujuan walaupun dalam menjalaninya ditempuh dengan susah payah.
Dalam Islam sebagaimana wahyu pertama yang diterima Rosulullah saw:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia
Telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah
yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-‘Alaq, 1-5)
Adalah wahyu yang mengetengahkan ilmu yang harus dimiliki guna
menjalankan agama Allah swt ini, yaitu dengan ilmu Allah, maka tidak heran
mengapa Rosulullah menjawab: “saya tidak bisa membaca” bukan berarti beliau
tidak bisa baca tulis atau bukan beliau bodoh yang tidak bisa menggunakan
pikirannya. Justru jawaban tersebut menggambarkan pandangan yang jauh dan
murni, seperti halnya para malaikat tatkala diperintahkan untuk menjelaskan al-
Asma mereka menjawab: االماعلمتنا لنا علم ال سبحنك
Wahyu adalah diatas segalanya akalpun tak sanggup menjangkaunya,
hanya qolbu yang bersih akan tersentuh oleh wahyu. Karena wahyu adalah bahasa
Allah yang berbicara tentang hakekat kebenaran (Haq).

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
Sesungguhnya ilmu itu dari Allah yang diajarkan didalam kitabnya dan
tidak pernah ada suatu ilmupun yang tidak diterangkan dalam al-kitab atau
terlepas dari al-Qurán.
Jadi dalam kehidupan ini kita membutuhkan ilmu pengetahuan, baik
dalam memahami Islam juga dalam memahami alam beserta isinya yang telah
Allah swt ciptakan, kita membutuhkan uraian ilmu yang terkandung dalam al-
Quránul karim sebagai mana perkataan DR. Zakir Naik dalam Dialognya
mengenai Ilmu pengetahuan dari sisi al-Qurán dan Injil beliau, mengatakan:
“al-Qurán bukanlah ilmu pengetahuan ia adalah buku tentang tanda, ia
buku tentang ayat-ayat dan disana ada 6000 ayat dalam al-qurán yang agung yang
di dalamnya ada lebih dari 1000 uraian tentang ilmu pengetahuan”. Yang
didalamnya terdapat ribuan tanda bagi orang yang mau membuka mata pikiran
dan hatinya, karena orang-orang yang mendengar tetapi tuli, melihat tetapi buta
dan berbicara tetapi bisu. Sebagaimana Allah swt berfirman:
ج�ع�ون� �ر� ي � ال ف�ه�م� ع�م�ى�� ��م �ك ب ص�م
Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan
yang benar). (Q.S. al-Baqarah, 18)
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam mencari kebenaran antara
kitab suci dan ilmu pengetahuan yaitu pendekatan kesesuaian dan pendekatan
konflik. Yaitu pendekatan kesesuain antara kitab suci dan ilmu pengetahuan, atau
pendekatan konflik dimana mencari ketidak samaan antara kitab suci dan ilmu
pengetahuan, namun dengan pendekatan apapun al-Qurán sepanjang anda berpikir
logis dan setelah penjelasan logis diberikan pada anda tak seorang dapat
membuktikan satu ayat pun dalam kitab suci al-Qurán untuk dipertentangkan
dengan ilmu pengetahuan modern.1
1 Lihat Debat al-Qurán dan Injil dari sudut pandang ilmu pengetehuan antara Dr. William Cambell (Pennysylvania, USA) dan Dr. Zakir Naik (Mumbai, India). 2000

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
2. Bagaimana sejarah ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
3. Bagaimana perkembangan ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan?

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Ketika mendengar istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan, ada sebuah kesan
bahwa ada sebagian ilmu yang tidak Islam sehingga perlu untuk diislamkan. Dan
untuk mengislamkannya maka diberikanlah kepada ilmu-ilmu tersebut dengan
label "Islam" sehingga kemudian muncullah istilah-istilah ekonomi Islam, kimia
Islam, fisika Islam dan sebagainya. Bahkan ada sebagian orang yang ceroboh
menganggap Islamisasi sebagai suatu proses yang berkaitan dengan objek-objek
eksternal, kemudiannya mengaitkannya dengan komputer, kereta api, mobil
bahkan bom Islam. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, ada yang terbelengu oleh
pandangan dualistis, memberikan perhatian yang sedikit sekali pada
pengembangan yang telah dilakukan oleh para cendikiawan dan pemikir muslim,
mereka lebih tertarik melakukan pengembangan institusi-institusi, seolah-olah
institusi-institusi tersebut dapat didirikan dengan baik tanpa para cendikiawan dan
pemikir yang mumpuni di dalamnya.
Di UIN Malang sendiri, berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh
Ummi, menemukan beberapa versi pemahaman tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan. Versi pertama beranggapan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan
merupakan sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai dengan ilmu pengetahuan
umum yang ada (ayatisasi). Kedua, mengatakan bahwa Islamisasi dilakukan
dengan cara mengislamkan orangnya. Ketiga, Islamisasi yang berdasarkan filsafat
Islam yang juga diterapkan di UIN Malang dengan mempelajari dasar
metodologinya. Dan keempat, memahami Islamisasi sebagai sebuah ilmu
pengetahuan yang beretika atau beradab.2 Dengan berbagai pandangan dan
pemaknaan yang muncul secara beragam ini perlu kiranya untuk diungkap dan
agar lebih dipahami apa yang dimaksud “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.
2 Lihat Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, (Edisi 22: dalam Inovasi; Majalah Mahasiswa UIN Malang, 2005), h. 25.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
Pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan ini secara jelas diterangkan oleh
al-Attas, yaitu: Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis,
kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham
sekuler terhadap pemikiran dan bahasa Juga pembebasan dari kontrol dorongan
fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau
jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat
dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah
suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan
devolusi.3
Ini artinya dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, umat Islam akan
terbebaskan dari belengu hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga
timbul keharmonian dan kedamaian dalam dirinya, sesuai dengan fitrahnya.
Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-
Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama ialah
melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang
membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan elemen-
elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan
masa kini yang relevan.4 Jelasnya, "ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-
unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan
dari setiap ranting.
Al-Attas menolak pandangan bahwa Islamisasi ilmu bisa tercapai dengan
melabelisasi sains dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha yang demikian
hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya selama "virus"nya
masih berada dalam tubuh ilmu itu sendiri sehingga ilmu yang dihasilkan pun jadi
mengambang, Islam bukan dan sekulerpun juga bukan. Padahal tujuan dari
Islamisasi itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah
3 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas (Bandung: Mizan, 1998), h. 336.
4 Ibid., h. 337.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu
dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya
sehingga menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan Islamisasi tersebut
akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.5
Menurut al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha "untuk mendefinisikan
kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi
yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran,
memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian
rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat
bagi cause (cita-cita)."6 Dan untuk menuangkan kembali keseluruhan khazanah
pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam, bukanlah tugas yang ringan
yang harus dihadapi oleh intelektual-intelektual dan pemimipin-pemimpin Islam
saat ini. Karena itulah, untuk melandingkan gagasannya tentang Islamisasi ilmu,
al-Faruqi meletakan "prinsip tauhid" sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan
cara hidup Islam. Prinsip tauhid ini dikembangkan oleh al-Faruqi menjadi lima
macam kesatuan, yaitu: (1) Kesatuan Tuhan, (2) Kesatuan ciptaan, (3) Kesatuan
kebenaran dan Pengetahuan, (4) Kesatuan kehidupan, dan (5) Kesatuan
kemanusiaan.7
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan
respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan
Islam yang "terlalu" religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan
integral tanpa pemisahan di antaranya. Sebagai panduan untuk usaha tersebut, al-
Faruqi menggariskan satu kerangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka
Islamisasi ilmu, tujuan yang dimaksud adalah:
1) Penguasaan disiplin ilmu modern.
5Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005), h. 35.
6Ahmad Khudori Soleh, Mencermati Gagasan Islamisasi Ilmu Faruqi, (Edisi 57: dalam el-Harakah, Tahun XXII, Desember 2001-Pebruari 2002), h. 36.
7 Ibid., h. 55-96.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
2) Penguasaan khazanah arisan Islam.
3) Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
4) Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan
ilmu-ilmu modern.
5) Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan
pola rencana Allah.8
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, al-Faruqi menyusun 12
langkah yang harus ditempuh terlebih dahulu. Langkah-langkah tersebut adalah:
1) Penguasaan disiplin ilmu modern: prinsip, metodologi, masalah, tema dan
perkembangannya
2) Survei disiplin ilmu
3) Penguasaan khazanah Islam: ontologi
4) Penguasaan khazanah ilmiah Islam: analisis
5) Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
6) Penilaian secara kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat
perkembangannya di masa kini
7) Penilaian secara kritis terhadap khazanah Islam dan tingkat perkembangannya
dewasa ini
8) Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam
9) Survei permasalahan yang dihadapi manusia
10) Analisis dan sintesis kreatif
11) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam
12) Penyebarluasan ilmu yang sudah diislamkan.9
Dalam beberapa hal, antara al-Attas dengan al-Faruqi mempunyai
kesamaan pandangan, seperti pada tataran epistemologi mereka sepakat bahwa
ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi terikat (value bound) dengan nilai-nilai
8 Ibid., h. 98.9 Ibid., h. 99-118.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
yang diyakini kebenarannya.10 Mereka juga sependapat bahwa ilmu mempunyai
tujuan yang sama yang konsepsinya disandarkan pada prinsip metafisika,
ontologi, epistemologi dan aksiologi dengan tauhid sebagai kuncinya. Mereka
juga meyakini bahwa Allah adalah sumber dari segala ilmu dan mereka
sependapat bahwa akar permasalahan yang dihadapi umat Islam saat ini terletak
pada sistem pendidikan yang ada, khususnya masalah yang terdapat dalam ilmu
kontemporer. Dalam pandangan mereka, ilmu kontemporer atau sains modern
telah keluar dari jalur yang seharusnya. Sains modern telah menjadi "virus" yang
menyebarkan penyakit yang berbahaya bagi keimanan umat Islam sehingga unsur-
unsur buruk yang ada di dalamnya harus dihapus, dianalisa, dan ditafsirkan ulang
sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.
Walaupun cukup banyak persamaan yang terdapat di antara keduanya,
dalam beberapa hal, secara prinsip, mereka berbeda. Untuk mensukseskan proyek
Islamisasi, al-Attas lebih menekankan kepada subjek daripada ilmu, yaitu
manusia, dengan melakukan pembersihan jiwa dan menghiasinya dengan sifat-
sifat terpuji, sehingga dalam proses Islamisasi ilmu tersebut dengan sendirinya
akan terjadi transformasi pribadi serta memiliki akal dan rohani yang telah
menjadi Islam secara kaffah. Sedangkan al-Faruqi lebih menekankan pada objek
Islamisasi yaitu disiplin ilmu itu sendiri. Hal ini mungkin saja menimbulkan
masalah, khususnya ketika berusaha untuk merelevansikan Islam terhadap sains
10 Sampai saat ini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan para ilmuwan tentang netralitas sains, satu pihak berpandangan bahwa sains itu netral dengan pengertian ia tidak memihak pada kebaikan dan juga tidak pada kejahatan karena itulah sering juga disebut bebas nilai (value free), pandangan yang demikian berkembang luas di Barat dan sebagian dunia Islam. Di pihak lain berpandangan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai (value bound), ia terikat dengan nilai-nilai, baik itu dari budaya maupun agama. Perbedaan pandangan ini akan membawa implikasi yang luas terhadap kehidupan umat manusia, jika sains itu netral, maka tidak akan ada hambatan bagi peneliti dalam memilih dan menetapkan objek penelitian, cara meneliti maupun tatkala menggunakan produk penelitian. Jika tidak netral, maka peneliti akan dibatasi oleh nilai dalam hal-hal tersebut. Jika berpegang bahwa sains itu netral, bias saja terjadi penyimpangan dan penyakahgunaan hasil penelitian yang bias merugikan umat manusia, karena itu merupakan hal yang bijaksana jika kita memihak pada paham bahwa sains itu tidak netral, danitu lebih sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai pula dengan niatan para ilmuwan tatkala menciptakan teori sains. Hal seperti inilah yang diinginkan oleh para penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan agar umat Islam tidak terjerumus dalam kesalahan dan membuat kerusakan di muka bumi ini (Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004), h. 46-49.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
modern, karena bisa saja yang terjadi hanyalah proses labelisasi atau ayatisasi
semata.11
Terdapat juga perbedaan yang cukup mencolok mengenai ruang lingkup
yang perlu diislamkan. Dalam hal ini, al-Attas membatasi hanya pada ilmu-ilmu
pengetahuan kontemporer atau masa kini sedangkan al-Faruqi meyakini bahwa
khazanah keilmuan Islam masa lalu juga perlu untuk diislamkan kembali
sebagaimana yang telah dia canangkan di dalam kerangka kerjanya. Dan satu hal
lagi, dalam metodologi bagi proses Islamisasi ilmu, al-Attas berpandangan bahwa
definisi Islamisasi itu sendiri telah memberi panduan kepada metode
pelaksanaannya di mana proses ini melibatkan dua langkah sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Sedangkan bagi al-Faruqi, hal itu belumlah cukup
sehingga ia merumuskan suatu kaedah untuk Islamisasi ilmu pengetahuan
berdasarkan prinsip-prinsip pertamanya yang melibatkan 12 langkah.
Selain kedua tokoh di atas, ada beberapa pengembangan definisi dari
Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Osman Bakar, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah program yang berupaya
memecahkan masalah-masalah yang timbul karena perjumpaan antara Islam
dengan sains modern sebelumnya.12 Progam ini menekankan pada keselarasan
antara Islam dan sains modern tentang sejauhmana sains dapat bermanfaat bagi
umat Islam. Dan M. Zainuddin menyimpulkan bahwa Islamisasi pengetahuan
pada dasarnya adalah upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi Barat
terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan worldviewnya sendiri
(Islam).13
B. Kontroversi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Diskursus seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama
menebarkan perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Semenjak 11 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 12412 Osman Bakar, Tauhid dan Sains (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 233.13 M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam (Malang: Bayu Media, 2003),
h. 160.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
dicanangkannya sekitar 30 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro maupun
yang kontra terus bermunculan. Satu pihak dengan penuh antusias dan optimisme
menyambut momentum ini sebagai awal revivalisme (kebangkitan) Islam. Namun
di pihak lain menganggap bahwa gerakan "Islamisasi" hanya sebuah euphoria
sesaat untuk mengobati "sakit hati" dan inferiority complex14 karena
ketertinggalan mereka yang sangat jauh dari peradaban Barat, sehingga gerakan
ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring
perjalanan waktu dengan sendirinya.
Rosnani Hashim15 membagi kelompok ini menjadi empat golongan.
Pertama, golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan
konsepnya dan berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang
sejalan dengan maksud Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka. Kedua, golongan
yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsep tetapi tidak
mengusahakannya secara praktis. Ketiga, golongan yang tidak sependapat dan
sebaliknya mencemooh, mengejek dan mempermainkan gagasan ini. Dan
keempat, kalangan yang tidak mempunyai pendirian terhadap isu ini. Mereka
lebih suka mengikuti perkembangan yang dirintis oleh sarjana lainnya atau pun
mereka tidak memperdulikannya. Untuk golongan kedua dan keempat tidak akan
dibahas di sini karena tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap perkembangan
Islamisasi ilmu pengetahuan, pembahasan akan lebih difokuskan pada golongan
pertama dan ketiga.
Aktivitas golongan pertama mempunyai peranan yang sangat penting
dalam rangka mengokohkan dan memurnikan kembali konsep Islamisasi ilmu ini
walaupun mereka saling mengkritik ide satu sama lain, tetapi itu dimaksudkan
untuk merekonstruksinya bukan mendekontruksi. Sebut saja S.A. Ashraf yang
melakukan kritik terhadap al-Faruqi yang “ingin penyelidikan dilakukan
dilakukan terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya melalui subjek
yang terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkinkan.” Pada
14 Rasa rendah diri yang berlebihan (pen.)15 Rosnani Hashim, Op. cit., h. 40.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
fikirannya, kompromi merupakan sesuatu yang mustahil terhadap dua pandangan
yang sama sekali berbeda. Tidak seharusnya bagi sarjana muslim memulai dengan
konsep Barat tetapi dengan konsep Islam yang dirumuskan berdasarkan prinsip
yang dinukil dari al-Quran dan al-Sunnah.16
Namun dalam pandangan Syed Hossein Nasr, integrasi yang diinginkan
al-Faruqi bukan saja sesuatu yang mungkin tetapi juga perlu untuk dilakukan.
Menurutnya, para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu
dalam kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga
melakukan kritik dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai
dengan pandangan Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku
sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun di masa lalu.17
Kritik lainnya dilakukan oleh Ziauddin Sardar, pemikir muslim dari
Inggris, yang beranggapan bahwa program Islamisasi ilmu pengetahuan
merupakan sesuatu yang naif dan dangkal. Beliau mengkhawatirkan gagasan
gerakan Islamisasi ini nantinya malah menghasilkan deislamisasi (westernisasi)
Islam. Sardar pesimis akan kemampuan para ilmuwan muslim untuk memadukan
ilmu Islam dengan ilmu Barat karena di antara keduanya terdapat perbedan
paradigma yang mencolok.18 Hal ini merupakan reaksi ketidaksetujuan Sardar
terhadap al-Faruqi yang meletakkan penguasaan ilmu pengetahuan modern
sebagai langkah pertama mendahului penguasaan ilmu warisan Islam dan
menjelaskan relevansi Islam kepada disiplin ilmu Barat. Tindakan ini dianggap
Sardar tak ubahnya seperti “berselonjor sebelum duduk” atau seperti
“menempatkan kereta di depan kuda”. Menurutnya, ilmu pengetahuan modernlah
yang perlu dijadikan relevan kepada Islam sebab Islam adalah “a priori relevan
untuk setiap masa”.19 Merupakan suatu yang sangat fatal jika mementingkan
adanya relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan
modern, itu hannya akan membuat kita terjebak ke dalam “Westernisasi Islam”
16 Ibid.,17 Ibid., h. 41.18 M. Zainuddin, Op. cit., h. 160.19 Rosnani Hashim, Loc.Cit.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
dengan menjustifikasi kepada pembenaran ilmu Barat sebagai standar dan
mendominasi perkembangan ilmu pengetahuan secara makro.
Sardar berargumen bahwa semua ilmu dilahirkan dari pandangan tertentu
dan dari segi hirarki tunduk kepada pandangan tersebut. Oleh karena itu, usaha
untuk menemui epistemologi tidak boleh diawali dengan memberi tumpuan
kepada ilmu modern, karena Islamisasi ilmu modern hanya bisa terjadi dengan
membina paradigma yang mengkaji aplikasi luar peradaban Islam yang
berhubungan dengan keperluan realitas kontemporer.20 Jika tetap bertahan pada
corak berpikir seperti itu berarti hanya sebatas mengeksploitasi ilmu pengetahuan
Islami namun tetap menggunakan corak berpikir Barat. Karena itu, Sardar
mengajak bahwa Islamisasi ilmu bagaimanapun juga harus bertitik tolak dari
membangun epistemologi Islam sehingga benar-benar menghasilkan sistem ilmu
pengetahuan yang dibangun di atas pilar-pilar ajaran Islam.21
Al-Attas juga meng”amini” pendapat tersebut. Langkah dalam kerangka
kerja al-Faruqi tersebut seolah-olah menggambarkan ada yang salah dalam ilmu
pengetahuan Islam sehingga perlu dibenarkan. Pada pendapat beliau yang tidak
dibenarkan dan perlu dibenarkan adalah ilmu pengetahuan sekuler dari Barat.
Inilah yang menjadi alasan al-Attas bahwa yang perlu diislamisasi hanyalah ilmu
pengetahuan kontemporer atau masa kini, sedangkan ilmu pengetahuan Islam
tradisional hanya diteliti sekedar untuk melihat sejauhmana penyimpangannya
dari tradisi Islam tapi bukan untuk direlevansikan terhadap ilmu pengetahuan
Barat.22
Gerakan Islamisasi ini juga mendapat dukungan dari Jaafar Syeikh Idris,
seorang ulama Sudan yang pernah mengajar di Universitas King Abdul Azis,
Arab Saudi. Idris menyarankan agar para cendikiawan muslim membawa
pandangan Islam ke dalam bidang dan karya akademis mereka dalam rangka
20 Ibid.,21 Muhammad Djakfar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Peluang dan Tantangan UIN
Malang, dalam M.Zainuddin dkk. (ed), Memadu sains dan Agama: menuju Universitas Islam Masa Depan (Malang: Bayumedia, 2004), h. 83-84.
22 Ibid.,

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
evolusi sosial Islam.23 Dan ketika slogan Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi
sangat popular, pada 1987, Syeikh Idris menulis sebuah artikel yang
mengingatkan agar beberapa masalah filsafat dan metodologi yang serius
ditetapkan terlebih dahulu sebelum program Islamisasi yang berarti dapat
dilaksanakan. Ia mengajukan beberapa pertanyaan sebagai panduan untuk menuju
ke arah Islamisasi ilmu tersebut, Syeikh Idris mempersoalkan tentang; 1) Apakah
makna mengislamkan Ilmu?; 2) Apakah ilmu pengetahuan itu bersifat possible?;
3) Apakah semua ilmu pengetahuan itu dipelajari atau sebagiannya bawaan sejak
lahir?; 4) Apakah sumber-sumber ilmu pengetahuan itu?; 5) Apakah metode
ilmiah itu?. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini, maka jawaban-jawaban
terhadapnya bisa lebih sistematis dibandingkan penulis-penulis lainnya, termasuk
Ismail Raji al-Faruqi. Dan dalam pandangannya juga, ilmu pengetahuan masa kini
adalah “ilmu pengetahuan yang berada dalam kerangka filsafat ateis materialis
yang berlaku di Barat”, yang memungkinkan bagi umat Islam untuk
mengislamkannya. Untuk itu Syeikh Idris mengusulkan agar mengislamkan ilmu
pengetahuan dengan (i) meletakkannya diatas fondasi Islam yang kuat, dan (ii)
mempertahankan nilai-nilai Islam dalam pencarian ilmu pengetahuan.24
Di Indonesia sendiri ada beberapa tokoh yang mendukung Islamisasi
ilmu pengetahuan, seperti AM. Saifuddin. Menurutnya, Islamisasi adalah suatu
keharusan bagi kebangkitan Islam, karena sentral kemunduran umat dewasa ini
adalah keringnya ilmu pengetahuan dan tersingkirnya pada posisi yang rendah.
Hal senada diungkapkan Hanna Djumhana Bastaman, dosen psikologi UI Jakarta.
Hanya saja beliau memperingatkan bahwa gagasan ini merupakan proyek besar
sehingga perlu kerjasama yang baik dan terbuka di antara para pakar dari berbagai
disiplin ilmu agar terwujud sebuah sains yang berwajah Islami.25
Maraknya perkembangan pemikiran seiring dengan lahirnya gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan ini, bukan berarti semua umat Islam sepakat terhadap
23 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op .cit., h. 414.24 Ibid., h. 415-416.25 A. Khudori Soleh, Ide-Ide tentang Islamisasi Ilmu: Pengertian, Perkembangan dan
Respon, (Edisi 22: dalam Inovasi, Majalah Mahasiswa UIN Malang, 2005), h. 28.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
ide tersebut. Mereka percaya bahwa semua ilmu itu sudah Islami, sebab yang
menjadi sumber utamanya adalah Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi
dengan pelabelan Islam atau bukan Islam pada segala ilmu. Sebut saja dalam hal
ini Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdul Karim Soroush, Bassan Tibi,
Hoodbhoy dan Abdul Salam.
Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena
tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam
menyalahgunakannya.26 Dan bahkan ia berkesimpulan bahwa "kita tidak perlu
bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu
pengetahuan Islami. Lebih baik kita manfaatkan waktu, energi dan uang untuk
berkreasi."27 Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan itu memiliki dua kualitas,
“seperti senjata dua sisi yang harus dipegang dengan hati-hati dan penuh tanggung
jawab, ia sangat penting digunakan dan didapatkan secara benar.” Baik dan
buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya.28
Abdul Salam, pemenang anugerah Nobel fisika berpandangan bahwa
“hanya ada satu ilmu universal yang problem-problem dan modalitasnya adalah
internasional dan tidak ada sesuatu yang dinamakan ilmu Islam, seperti juga tidak
ada ilmu Hindu, ilmu Yahudi, atau ilmu Kristen.29 Abdul Salam menceraikan
pandangan hidup Islam menjadi dasar metafisis kepada sains. Ia menafikan bahwa
pandangan hidup seseorang akan selalu terkait dengan pemikiran dan aktivitas
seorang ilmuwan, sebagaimana diungkapkan Alparsalan Acikgenc bahwa
“seorang saintis akan bekerja sesuai dengan persfektifnya yang terkait dengan
framework dan pandangan hidup yang dimilikinya.”30
Senada dengan Abdul Salam, Pervez Hoodbhoy, yang juga pernah
meraih penghargaan Nobel, menyangsikan keberadaan sains Barat, sains Islam, 26 Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, dalam Islamia: Majalah Pemikiran
dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005), h. 15.27 Mohammad Shopan, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (dalam Logos: Jurnal Ilmu-Ilmu
Sosial dan Humaniora, Vol.4 No.1 Januari 2005), h. 11.28 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. cit., h. 409.29 Ibid., h. 419. 30 Adnin Armas, Op. cit., h. 16.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
sains Yunani atau peradaban lain dan berpandangan bahwa sains itu bersifat
universal dan lintas bangsa, agama atau peradaban.31 Menurutnya "tidak ada sains
Islam tentang dunia fisik, dan usaha untukmenciptakan sains Islam (Islamisasi
ilmu pengetahuan, pen.) merupakan pekerjaan sia-sia."32 Begitu juga Bassam
Tibi , seorang sarjana Islam di Jerman berargumen dengan halus untk
memperjuangkan keserasian Islam dan sekularisme.33 Bassam Tibi menganggap
bahwa Islamisasi merupakan suatu bentuk indegenisasi atau pribumisasi
(indegenization) yang berhubungan secara integral dengan strategi kultural
fundamentalisme Islam. Islamisasi dianggap sebagai penegasan kembali ilmu
pengetahuan lokal untuk menghadapi ilmu pengetahuan global dan invansi
kebudayaan yang berkaitan dengan itu, yakni “dewesternisasi”.34 Namun dalam
pandangan Adnin Armas, pemahaman Bassam tibi ini tidaklah tepat. Menurutnya,
Islamisasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu
pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi ini lebih bermuatan politis dan
sosiologis dikarenakan umat Islam hanya berada di dalam dunia berkembang,
maka gagasannya pun bersifat gagasan lokal yang menentang gagasan global.
Padahal, munculnya ide Islamisasi lebih disebabkan perbedaan worldview antara
Islam dan agama atau budaya lain yang berbeda. Islamisasi bukan sekedar
melakukan kritik terhadap budaya dan peradaban global Barat, tetapi juga
mentransformasi bentuk-bentuk lokal supaya sesuai dengan worldview Islam.35
Kritik terhadap Islamisasi ini juga diajukan oleh Abdul Karim Soroush,
ia menyimpulkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan tidak logis atau tidak
mungkin. Alasannya, realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Oleh
sebab itu, sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau bukan pula tidak
Islami. Untuk itu secara ringkas Soroush mengargumentasikan bahwa; 1) Metode
metafisis, empiris atau logis adalah independen dari Islam atau agama apa pun.
Metode tidak bisa diislamkan; 2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa
31 Rosnani Hashim., Op. cit., h. 42.32 Perves Hoodbhoy, Ikhtiar Menegak Rasionalitas (Bandung: Mizan, 1996), h. 138.33 Ibid.34 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. cit., h. 422.35 Adnin Armas, Op. cit., h. 17.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa diislamkan; 3)
Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari
kebenaran, sekalipun diajukan oleh non-muslim; 4) Metode yang merupakan
presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan. Dari keempat argumentasi ini
terlihat Soroush memandang realitas sebagai sebuah perubahan dan ilmu
pengetahuan dibatasi hanya terhadap fenomena yang berubah.36
Seperti juga Abdul Salam dan Soroush, Muhsin Mahdi menolak ide ilmu
Islam sebagai istilah yang telah dipakai sekarang. Mahdi beranggapan bahwa ide
ilmu Islam adalah produk dari filsafat agama. Dan dia juga beranggapan bahwa
ide kontemporer mengenai ilmu Islam adalah suatu usaha untuk mengaplikasikan
formulasi filsafat khas Kristen neo-Thomist ke dalam Islam, yang tidak dapat
dibenarkan karena, tidak seperti Kristen Katholik, Islam tidak memiliki apa yang
disebut sebagai “induk dari segala ilmu” yang merupakan pokok dari seluruh
diskursus dan aktivitas filsafat keilmuan.37
Gagasan Islamisasi ini juga mendapat tantangan dari Usep Fahrudin,
karena menurutnya Islamisasi ilmu bukan termasuk kerja kreatif. Islamisasi ilmu
tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap karya orang lain.
Sampai pada tingkat tertentu, Islamisasi tidak ubahnya kerja seorang tukang, jika
ada seorang saintis berhasil menciptakan atau mengembangkan suatu ilmu, maka
seorang Islam menangkap dan mengislamkannya.38
Terlepas dari pro-kontra di atas, yang menjadi tantangan besar bagi
kelanjutan proses Islamisasi dan merupakan the real challenge adalah komitmen
sarjana dan institusi pendidikan tinggi Islam sendiri. Tantangan globalisasi yang
terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi semakin membingungkan. Ilmu dianggap sebagai komoditi yang bisa
diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. Akibatnya, orientasinya pun ikut
36 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. cit., h. 420-421.37 Ibid., h. 418-419.38 Dikutip dari Topik R, Kontroversi Islamisasi Sains, (Edisi 22: dalam Inovasi; Majalah
Mahasiswa UIN Malang, 2005), h. 14.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
berubah, tidak lagi untuk meraih “keridhaan Allah” tetapi untuk kepentingan diri
sendiri. Universitaspun hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pragmatis,
menjadi pabrik industri tenaga kerja dan bukan lagi merupakan pusat
pengembangan ide-ide ilmu pengetahuan. Sehingga merupakan hal yang wajar
jika al-Attas mengungkapkan bahwa tantangan terbesar terhadap perkembangan
gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri.
Dan tantangan yang tak kalah besarnya adalah akibat kedangkalan pengetahuan
umat Islam terhadap agamanya sendiri. Hal ini, menurutnya, bisa dilihat dari
karya tulis yang mereka hasilkan yang mencerminkan bahwa mereka belum
memahami Islam dengan baik.39
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, proses Islamisasi ilmu pengetahuan
pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita
sekarang ini. Ayat-ayat terawal40 yang diwahyukan kepada nabi secara jelas
menegaskan semangat Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika
39 Rosnani Hashim., Op. cit., h. 43.40 QS al-Alaq: 1-5.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.41 Ide yang
disampaikan al-Qur'an tersebut membawa suatu perubahan radikal dari
pemahaman umum bangsa Arab pra-Islam, yang menganggap suku dan tradisi
kesukuan serta pengalaman empiris, sebagai sumber ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Bani
Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran, yaitu dengan
dilakukannya penterjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani yang
kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep Agama Islam.
Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam
al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang menonjolkan 20 ide yang asing dalam
pandangan Islam yang diambil oleh pemikir Islam dari falsafah Yunani, beberapa
di antara ide tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang kemudian dibahas
oleh al-Ghazali disesuaikan dengan konsep aqidah Islam. Hal yang sedemikian
tersebut, walaupun tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tapi aktivitas yang
sudah mereka lakukan semisal dengan makna Islamisasi.42
Selain itu, pada tahun 30-an, Muhammad Iqbal menegaskan akan
perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Beliau
menyadari bahwa ilmu yang dikembangkankan oleh Barat telah bersifat ateistik,
sehingga bisa menggoyahkan aqidah umat, sehingga beliau menyarankan umat
Islam agar "mengonversikan ilmu pengetahuan modern". Akan tetapi, Iqbal tidak
melakukan tindak lanjut atas ide yang dilontarkannya tersebut. Tidak ada
identifikasi secara jelas problem epistimologis mendasar dari ilmu pengetahuan
modern Barat yang sekuler itu, dan juga tidak mengemukakan saran-saran atau
program konseptual atau metodologis untuk megonversikan ilmu pengetahuan
tersebut menjadi ilmu pengetahuan yang sejalan dengan Islam.43 Sehingga, sampai
41 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. cit., h. 341.42 Rosnani Hashim, Op. cit., h. 32.43 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. cit., h. 391.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
saat itu, belum ada penjelasan yang sistematik secara konseptual mengenai
Islamisasi ilmu pengetahuan.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan ini dimunculkan kembali oleh Syed
Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun 60-an. Beliau
menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam
dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam
aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam dan
Islamic Science.44 Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul
kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya.45
Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas
sebagai proyek "Islamisasi" yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia
mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas
dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang
perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam
pertemuan itu beliau menyampaikan makalah yang berjudul "Preliminary
Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education".
Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978)
dan The concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy
of Education (1980). Persidangan inilah yang kemudian dianggap sebagai
pembangkit proses Islamisasi selanjutnya.
44 Rosnani Hashim, Loc.Cit.45 Gagasan awal Islamisasi ilmu pengetahuan ini disandarkan kepada Syed Hossein Nasr
berdasarkan klaim beliau dalam sebuah makalah yang disampaikannya pada tahun 1987, menurut Nasr, program sentral mengenai perlunya mengislamisasikan ilmu pengetahuan yang dihadapi umat Islam sekarang ini telah beliau tulis sejak sekitar tahun 60an. Hal itu didiskusikan dengan Naquib al-Attas dan kemudian menjadi perhatian sentral Ismail Raji al-Faruqi dan sejumlah cendikiawan muslim lainnya. Akan tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud terhadap karya-karyanya sejak tahun 1958-1996, klaim Nasr tersebut tidak terbukti, karena dari karya-karyanya tersebut, tidak ditemukan sesuatu yang secara langsung mendukung klaim-klaimnya, beliau hanya secara implisit menunjukkan metode untuk mengislamkan sains modern dengan menyarankan agar sains modern diinterpretasikan dan diaplikasikan ke dalam "konsepsi Islam", dan mengenai islamisasi, Nasr belum banyak memikirkannya sebagai program kependidikan dan filosofis yang terencana. (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. cit., h. 402)

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
Selain itu, secara konsisten dari setiap yang dibicarakannya, al-Attas
menekankan akan tantangan besar yang dihadapi zaman pada saat ini, yaitu ilmu
pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya. Menurut al-Attas, "Ilmu
Pengetahuan" yang ada saat ini adalah produk dari kebingungan skeptisme yang
meletakkan keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi "ilmiah" dan
menjadikannya sebagai alat epistemologi yang valid dalam mencari kebenaran.46
Selain itu, ilmu pengetahuan masa kini dan modern, secara keseluruhan dibangun,
ditafsirkan, dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual, dan
persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban Barat.47 Jika pemahaman ini
merasuk ke dalam pikiran elite terdidik umat Islam, maka akan sangat berperan
timbulnya sebuah fenomena berbahaya yang diidentifikasikan oleh al-Attas
sebagai "deislamisasi pikiran pikiran umat Islam".48 Oleh karena itulah, sebagai
bentuk keprihatinannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan ia mengajukan
gagasan tentang “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini”49 serta memberikan
formulasi awal yang sistematis yang merupakan prestasi inovatif dalam pemikiran
Islam modern.
Gagasan awal dan saran-saran konkrit yang diajukan al-Attas ini, tak
pelak lagi, mengundang pelbagai reaksi dan salah satunya adalah Ismail Raji al-
Faruqi50 dengan agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya. Dan hingga saat ini
46 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. cit., h. 330.47 Ibid., h. 333.48 Ibid., h. 334.49 Label “masa kini” sengaja diberikan sebab ilmu pengetahuan yang diperoleh umat
Islam yang berasal dari kebudayaan dan peradaban masa lalu, seperti Yunani dan India, telah diislamkan (lihat Ibid., h. 334.)
50 Mengenai ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Al_Faruqi meng”klaim” bahwa ide tersebut murni berasal dari dirinya sebagaimana disampaikannya pada seminar di Islamabad pada Tahun 1982, bahwa “tidak ada seorangpun dari umat Islam yang memikirkan perlunya mengislamkan ilmu, memahami syarat-syaratnya, atau membicarakan langkah-langkahnya.” Al-Faruqi tidak mengakui bahwa ia terpengaruh ide-ide yang pernah digagas oleh Naquib al-Attas, walaupun dalam beberapa konsep tulisannya, al-Faruqi menggunakan beberapa istilah yang pernah digunakan al-Attas secara konsisten. Hal ini membuat al-Attas cukup “berang” karena merasa idenya telah dicuri oleh al-Faruqi sehingga dia berujar “terlepas dari kewajiban moral, tujuan mengakui sumber asal suatu ide yang penting adalah menunjukkan kepada mereka yang mengetahui subjek itu agar mengetahui arah yang benar demi kepentingan masyarakat:…Namun, jika para penulis muslim… terbiasa mengklaim ide-ide penting orang lain sebagai ide mereka sendiri atau sebagai ide orang lain lagi yang bukan pemilik asal ide itu, sesungguhnya mereka sama dengan menghancurkan sumber yang asli dan menghilangkan pengetahuan masyarakat dari arah yang benar. (Lihat Ibid., 392-401). Meskipun demikian,. al-Faruqi merupakan orang yang

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
gagasan Islamisasi ilmu menjadi misi dan tujuan terpenting (raison d’etre) bagi
beberapa institusi Islam seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT)51,
Washington DC., International Islamic University Malaysia (IIUM), Kuala
Lumpur, Akademi Islam di Cambridge dan International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur.52
B. Perkembangan Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sejak digagasnya ide Islamisasi ilmu pengetahuan oleh para cendikiawan
muslim dan telah berjalan lebih dari 30 tahun, jika dihitung dari Seminar
Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977,
berbagai respon terhadapnya pun mulai bermunculan, baik yang mendukung
ataupun menolak, usaha untuk merealisasikan pun secara perlahan semakin marak
dan beberapa karya yang berkaitan dengan ide Islamisasi mulai bermunculan di
dunia Islam. Al-Attas sendiri sebagai penggagas ide ini telah menunjukkan suatu
model usaha Islamisasi ilmu melalui karyanya, The Concept of Education in
Islam. Dalam teks ini beliau berusaha menunjukkan hubungan antara bahasa dan
pemikiran. Beliau menganalisis istilah-istilah yang sering dimaksudkan untuk
mendidik seperti ta'lim, tarbiyah dan ta'dib. Dan akhirnya mengambil
kesimpulan bahwa istilah ta'dib merupakan konsep yang paling sesuai dan
komprehensif untuk pendidikan. Usaha beliau ini pun kemudian dilanjutkan oleh
cendikiawan muslim lainnya, sebut saja seperti Malik Badri (Dilema of a Muslim
Psychologist, 1990); Wan Mohd Nor Wan Daud (The Concept of Knowledge in
Islam,1989); dan Rosnani Hashim (Educational Dualism in Malaysia:
Implications for Theory and Practice, 1996). Usaha dalam bidang psikologi
seperti yang dilakukan Hanna Djumhana B. dan Hasan Langgulung, di bidang
ekonomi Islam seperti Syafi'i Antonio, Adiwarman, Mohammad Anwar dan lain-
sangat berjasa dalam memperkenalkan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini secara lebih jauh, hal ini dibuktikan dengan banyaknya seminar-seminar yang diorganisirnya serta banyaknya artikel-artikel, jurnal-jurnal serta buku-buku yang diterbitkannya untuk mendukung gagasannya tersebut. selain itu ia juga memberikan langkah-langkah konkrit dalam prosesi “pengislaman’ ilmu pengetahuan tersebut.
51 IIIT merupakan perguruan tinggi yang didirikan oleh Ismail Raji al-Faruqi untuk mendukung Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagasnya.
52 Rosnani Hashim, Op. cit., h. 32-33.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
lain. Bahkan hingga sekarang tercatat sudah lebih ratusan karya yang dihasilkan
yang berbicara tentang Islamisasi ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk buku,
jurnal, majalah, artikel dan sebagainya.53
Al-Faruqi sendiri, setelah menggagas konferensi internasional I, tahun
1977, yang membahas tentang ide Islamisasi ilmu pengetahuan di Swiss, ia
mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada tahun 1981 di
Washington DC untuk merealisasikan gagasannya tentang Islamisasi tersebut,
selain menulis buku Islamization of Knowledge. Konferensi lanjutan pun diadakan
kembali pada tahun 1983 di Islamabad Pakistan yang bertujuan untuk (i)
mengekspos hasil konferensi I dan hasil rumusan yang dihasilkan IIIT tentang
cara mengatasi krisis umat, juga (ii) mengupayakan suatu penelitian dalam rangka
mengevaluasi krisis tersebut, dan juga mencari penyebab dan gejalanya. Setahun
kemudian diadakan lagi konferensi di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan tujuan
untuk mengembangkan rencana reformasi landasan berfikir umat Islam dengan
mengacu secara lebih spesifik kepada metodologi dan prioritas masa depan, dan
mengembangkan skema Islamisasi masing-masing disiplin ilmu. Pada tahun 1987,
diadakan konferensi IV di Khortum, Sudan, yang membahas persoalan
metodologi yang merupakan tantangan dan hambatan utama bagi terlaksananya
program Islamisasi ilmu pengetahuan.54
Selain IIIT, beberapa institusi Islam menyambut hangat gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan dan bahkan menjadikannya sebagai raison d'etre
institusi tersebut, seperti International Islamic University Malaysia (IIUM) di
Kuala Lumpur, Akademi Islam di Cambridge dan International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Mereka secara aktif
menerbitkan jurnal-jurnal untuk mendukung dan mempropagandakan gagasan ini
seperti American Journal of Islamic Social Sciences (IIIT), The Muslim Education
Quarterly (Akademi Islam) dan al-Shajarah (ISTAC).55
53 Rosnani Hashim, Op. cit., h. 44.54 A. Khudori Soleh, Ide-Ide tentang Islamisasi Ilmu, Op. cit., h. 27-28.55 Adnin Armas, Op. cit., h. 33.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
Walaupun demikian, setelah mengalami perjalanan yang cukup
panjang, Islamisasi ilmu pengetahuan ini dinilai oleh beberapa kalangan belum
memberikan hasil yang konkrit dan kontribusi yang berarti bagi umat Islam.
Bahkan secara lugas editor American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS)
mengakui bahwa meskipun telah diadakan enam kali konferensi mengenai
pendidikan Islam, yaitu di Makkah (1977), Islamabad (1980), Dakka (1981),
Jakarta (1982), Kairo (1985), dan Amman (1990), dan berdirinya beberapa
universitas yang memfokuskan pada Islamisasi pendidikan, namun hingga saat
ini, tugas untuk menghasilkan silabus sekolah, buku-buku teks, dan petunjuk yang
membantu guru di sekolah belum dilakukan.56 Dan berdasarkan identifikasi Hanna
Djumhana Bastaman, setelah cukup lama berkembang, Islamisasi melahirkan
beberapa bentuk pola pemikiran, mulai dari bentuk yang paling superfisial sampai
dengan bentuk yang agak mendasar. Bastaman57 mengistilahkannya sebagai; 1)
Similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep yang berasal dari
agama, padahal belum tentu sama; 2) Paralelisasi, yaitu menganggap paralel
konsep yang berasal dari sains karena kemiripan konotasinya, tanpa
mengidentikkan keduanya; 3) Komplementasi, yaitu antara sains dan agama saling
mengisi dan saling memperkuat satu sama lain dengan tetap mempertahankan
eksistensinya masing-masing; 4) Komparasi, yaitu membandingkan konsep/teori
sains dengan konsep/wawasan agama mengenai gejala-gejala yang sama; 5)
Induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi dasar dari teori-teori ilmiah yang didukung oleh
temuan-temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara teoritis-abstrak ke arah
pemikiran metafisik, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip agama dan
al-Quran mengenai hal tersebut; dan 6) Verifikasi, yaitu mengungkapkan hasil-
hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran ayat-ayat al-
Quran.
Jika dicermati, keenam pola pemikiran yang diidentifikasi Bastaman di
atas, masih menampakkan jurang pemisah antara keduanya, agama yang pada
56 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. cit., h. 399-400.57 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi
Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 32-33.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
dasarnya bersumber dari keimanan yang bersifat metafisik tidak begitu saja dapat
dihubungkan dengan ilmu pengetahuan yang lebih bercorak empirik dan
merupakan produk akal dan intelektual manusia. Walau demikian, pola-pola
pemikiran tersebut harus tetap dihargai sebagai upaya untuk Islamisasi ilmu
pengetahuan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan ini secara jelas diterangkan
oleh al-Attas, yaitu: Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis,
kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham
sekuler terhadap pemikiran dan bahasa Juga pembebasan dari kontrol dorongan
fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau
jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat
dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah
suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan
devolusi.

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-
Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama ialah
melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang
membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan elemen-
elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan
masa kini yang relevan.
B. Saran-saran
Dalam penyusunan Makalah ini, penulis mengakui bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu, dalam hal ini penulis sangat
membutuhkan saran dan kritikan dari dosen, agar supaya membantu dalam
pengembangan wawasan penulis serta nantinya bisa memberikan hasil yang lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Pustaka, 1984)
Armas, Adnin, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, dalam Islamia: Majalah
Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-
September 2005)
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994)
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
Daud, Wan Mohd Nor Wan, The Educational Philosophy and Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk,
Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas
(Bandung: Mizan, 1998)
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan
dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005)
Hoodbhoy, Perves, Ikhtiar Menegak Rasionalitas (Bandung: Mizan, 1996)
Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1997)
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
Shopan, Mohammad, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Logos: Jurnal Ilmu-
Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol.4 No.1 Januari 2005
Soleh, Ahmad Khudori, Ide-Ide tentang Islamisasi Ilmu: Pengertian,
Perkembangan dan Respon, dalam Inovasi, Majalah Mahasiswa UIN
Malang, Edisi 22 Th.2005
-------, Mencermati Gagasan Islamisasi Ilmu Faruqi, dalam el-Harakah, edisi
57, Tahun XXII, Desember 2001-Pebruari 2002
Tim Perumus Fakultas Tehnik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Al-Islam dan
Iptek (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998)
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004)

Isu-isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
Topik R, Kontroversi Islamisasi Sains, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN
Malang, Edisi 22 Th. 2005
Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, dalam Inovasi: Majalah
Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22. Th. 2005
Zainuddin, M, Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam (Malang: Bayu Media,
2003)
Zainuddin, M, dkk. (ed), Memadu sains dan Agama: menuju Universitas Islam
Masa Depan (Malang: Bayumedia, 2004)