Laporan Akhir Praktikum Ventilasi
-
Upload
naufal-fadhillah -
Category
Documents
-
view
523 -
download
7
Transcript of Laporan Akhir Praktikum Ventilasi
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
VENTILASI TAMBANG
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Praktikum Kuliah Ventilasi Tambang
Semester V Pada Program studi Pertambangan Fakultas Teknik
Universitas Islam Bandung Tahun Akademik 2012/2013
Disusun oleh :
Muhammad Naufal Fadhillah 10070110112
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1434H / 2012 M
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia pertambangan tidak selamanya dilakukan kegiatan
penambangan di tambang terbuka, ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat
industri pertambangan untuk melakukan kegiatan penambangan dibawah tanah,
alasanya bisa dikarenakan sumber daya alam yang dekat permukaan sudah
habis dan terpaksa dilakukan kegiatan penambangan dalam atau bawah tanah.
Dalam proses penambangan bawah tanah, banyak hal yang harus
diperhatikan agar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada tambang bawah
tanah bisa tercapai. Bekerja di bawah tanah memiliki kondisi lingkungan yang
sangat berbeda dibandingkan berkeja normal diatas permukaan. Karena dalam
tambang bawah tanah terdapat resiko-resiko keselamatan yang lebih banyak,
contohnya adalah ruang kerja terbatas, cahaya terbatas, batuan rapuh, debu,
dan gas-gas berbahaya bagi keselamatan pekerja dan kegiatan penambangan.
Untuk mengantisipasi resiko-resiko diatas maka diperlukan alat-alat
keselamatan wajib, misalnya helm, lampu kepala dan lain-lain. Tetapi untuk
mengantisipasi gas-gas berbahaya diperlukan penangan secara khusus yang
apabila tidak dilakukan maka akan membahayakan keselamatan dan kesehatan
kerja pada tambang bawah tanah. Oleh karena itu untuk menetralisir gas-gas
yang tidak diinginkan dan membahayakan dibuat sebuah sistem pengaliran
udara atau ventilasi.
K3, keaamanan peralatan dan harta benda, kelancaran produksi
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
Maksud dari kegiatan praktikum ini adalah, agar praktikan dapat
mengetahui dan memahami fungsi dari ventilasi pada tambang bawah tanah.
1.2.2 Tujuan
a. Agar praktikan mengetahui alat-alat yang digunakan pada kegiatan ventilasi
tambang bawah tanah dan mengerti fungsi dari masing-masing alat tersebut.
b. Mengetahui dan memahami cara pengukuran-pengukuran yang dilakukan
pada praktikum ventilasi
1.3 Ruang Lingkup
Penulisan laporan ini dibatasi pada pembahasan kegiatan praktikum
ventilasi tambang
1.4 Metode Penelitian
Penelitian laporan akhir praktikum ventilasi tambang ini menggunakan
pendekatan secara rasional dan empiris.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan akhir ini terdiri dari 6 bab yang masing-
masing bab mempunyai sub bab tersendiri. Secara garis besar dapat diuraikan
sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang berisikan latar belakang, maksud dan tujuan, ruang
lingkup, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori, yang berisi tentang teori-teori dasar dan pengenalan alat.
Bab III Prosedur dan Hasil Percobaan, yang berisikan prosedur atau langkah-
langkah percobaan dan data hasil percobaan.
Bab IV Pembahasan, yang berisi tentang kelembaban relatif dan kondisi aliran
udara.
Bab V Analisa, yang berisikan pengaruh-pengaruh perlakuan khusus terhadap
kondisi aliran udara.
Bab VI Kesimpulan, yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Ventilasi
2.1.2 Kelembaban Relatif
2.1.3 Kondisi Aliran Udara
2.1.3.1 Kecepatan Aliran Udara
2.1.3.2 Tekanan Udara
2.1.3.3 Flowrate (debit) dan Pola Aliran Udara
2.2 Pengenalan Alat
Dalam praktikum pengukuran laboratorium ventilasi ini digunakan
beberapa jenis peralatan, yaitu :
2.1.1 Duct
Duct merupakan suatu jaringan yang dibuat sebagai tempat mengalirnta
udara. Selain untuk mengurangi kehilangan tekanan akubat gesekan pada
dinding tambang bawah tanah yang tidak rata, duct juga dapat difungsikan untuk
mengatur debit udara yang masuk ke setiap bagian tambang bawah tanah.
Jenis material dari duct memiliki koefisien kekasaran tertentu yang
mempengaruhi keadaan aliran udara didalam duct itu sendiri.
2.1.2 Fan
Fan adalah pompa udara, yang berfungsi untuk menciptakan perbedaan
tekanan dalam saluran udara (duct), yang dapat menimbulkan terjadinya aliran
udara dari permukaan ke dalam tambang bawah tanah. Fan dapat merubah
energy mekanis menjadi energy fluida. Fan dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
a. Radial Flow atau Centrifugal fans,
System kerja dari centrifugal fans yaitu impeller yang ada di dalam casing
buat berputar, dan menimnbulkan tekanan udara luar. Centrifugal fans dapat
dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Backward Curve
Radial Tip
Forward Curve
Gambar 1.1Klasifikasi Centrifugal Fan
b. Axial Flow fans
System kerja dari axial flow fans adalah mengalirkan udara melalui impeller
yang arahnya parallel dengan as pemutar dimana impeller ditanam. Axial flow
fans terbagi menjadi 3, yaitu :
- Propeller fans
- Tube Axial Fans
- Vane Axial Fans
Gambar 1.2Klasifikasi Axial Flow Fan
2.1.3 Vane Anemometer
Alat ini digunakan untuk mengukur aliran udara yang berkecepatan
sedang. Vane Anemometer berbentuk kipas angin kecil. Prinsip kerjanya ialah
udara menggerakkan rotor dengan kecepatan proporsional dan operasi rotasinya
sesuai dengan counting system, yaitu beroperasi pada waktu tertentu dan
kecepatannya ditentukan dari total revolusi dibagi dengan waktu.
Metoda perhitungan kecepatan udara dengan anemometer dapat dibagi
menjadi 3, yaitu :
- Spot Reading, yaitu mengukur kecepatan aliran udara dalam duct pada titik-titik
tertentu
- Traversing, yaitu mengukur kecepatan aliran udara dalam duct berdasarkan
garis-garis melintang
- Division, yaitu mengukur kecepatan aliran udara dalam duct berdasarkan
bagian-bagian.
Gambar 1.3Vane Anemometer
2.1.4 Manometer
Fungsi manometer ialah untuk mengukurr perbedaan tekanan yang tidak
terlalu besar. Prinsip kerja dari manometer yaitu dengan mengisi fluida bukan air
kedalam manometer. Bentuk manometer sederhana adalah tabung vertikal U
yang diisi dengan air setengahnya, kedua kaki tabung dihubungkan dengan pito
tube pada titik yang akan diukur perbedaan tekanannya oleh sebuah tabung
plastik, setelah dihubungkan maka cairan akan mengalir ke tempat yang lebih
rendah.
Gambar 1.4Manometer
2.1.5 Pitot Tube
Pitot tube digunakan untuk mengukur kehilangan aliran udara
berkecepatan tinggi dan sering dijumpai pada pesawat terbang. Pitot tube
bekerja berdasarkan asas bernouli yang terdiri dari dua pipa konsentris yang
berbentuk L. Pipa bagian dalam mempunyai ujung muka yang terbuka tempat
aliran udara masuk. Sedangkan pipa bagian luar tertutup ujungnya yang
disekeliling ujungnya terdapat lubang-lubang kecil tempat aliran udara masuk.
Head aliran udara yang melalui pitot tube diukur oleh manometer yang
dihubungkan dengan selang-selang plastik. Head yang diukur adalah total head,
static head dan velocity head.
Gambar 1.5Pitot Tube
2.1.6 Sling Psychrometer
Alat ini digunakan untuk mengukur kelembaban udara dalam ruang
terbuka. Sling psychrometer terdiri dari dua buah termometer air raksa yang
tujuannya untuk mengukur temperatur cembung kering (dry bulb) dan cembung
basah (wet bulb). Pada prinsipnya temperatur cembung kering adalah ukuran
panas sensibel di atmosfir. Untuk kondisi jenuh, penguapan tidak terjadi dan
temperatur cembung basah dan kering akan sama. Bila kondisi tidak jenuh, air
akan menguap dari permukaan termometer cembung basah dengan laju tertentu
yang sebenarnya berbanding terbalik dengan tekanan uap dari uap air yang
berada di udara. Penguapan akan mendinginkan ujung termometer dan
temperatur akan turun.
Gambar 1.5Sling psychrometer
2.1.7 Portable Ventilator (booster)
2.1.8 Regulator
Regulator merupakian pembatas berbentuk persegi yang ditengah-
tengahnya terdapat lubang dengan dimensi yang berbeda-beda. Berfungsi untuk
mengatur besar kecil tekanan udara di dalam duct.
BAB III
PROSEDUR DAN HASIL PENGUKURAN
3.1 Prosedur Percobaan
3.1.1 Pengukuran Kelembaban Udara Dalam Ruang
Adapun prosedur percobaan untuk pengukuran kelembaban udara dalam
ruang adalah sebagai berikut :
1. Perhatikan bahwa reservoir dari termometer cembung basah telah dibasahi
air dan reservoir termometer cembung kering tidak basah.
2. Sling Psychrometer diputar paling sedikit 200 x per menit, selama kurang
lebih setengah menit.
3. Baca secepatnya temperatur pada kedua termometer tersebut.
4. Jaga jangan sampai dry bulb terpanasi oleh tangan, sinar-sinar lainnya,
pernafasan ataupun panas badan.
5. Ulangi percobaan tersebut sampai didapat suatu harga yang konstan.
6. Catat pada table yang telah disediakan.
3.1.2 Pengukuran Kelembaban Udara Dalam Saluran Udara
Adapun prosedur percobaan untuk pengukuran kelembaban udara dalam
saluran udara adalah sebagai berikut :
1. Pastikan bahwa reservoir dari termometer bola basah telah terisi oleh air dan
temperatur bola kering dijaga agar tetap dalam kondisi kering.
2. Tunggu beberapa saat sampai keadaan aliran udara di dalam duct stabil.
3. Baca temperature pada masing-masing thermometer, catat pada table yang
telah disediakan
4. Lakukan poin 1 dan 2 diatas pada tiap kondisi pemasangan regulator yang
berbeda.
3.1.3 Pengukuran Kecepatan Aliran Udara Pada Saluran Udara
Pengukuran tekanan udara terdiri dari 3 jenis tekanan, yaitu static head,
total head, dan velocity head. Langkah langkah pengukuran adalh sebagai
berikut :
a. Velocity head
- Hubungkan kedua ujung manometer pada ujung-ujung total pressure dan
static pressure pada pitot tube dengan menggunakan selang plastic.
- Tunggu sampai fluida dalam manometer tidak bergerak lagi.
- Baca selisih ketinggian fluida dalam manometer, catat pada table yang telah
disediakan
- Nilai selisih tersebut selalu positif.
b. Static head
- Hubungkan salah satu ujung manometer dengan ujung static pressure pada
pitot tube dengan menggunakan selang plastic.
- Tunggu sampai fluida dalam manometer tidak bergerak lagi.
- Baca selisih ketinggian fluida dalam manometer, catat pada table yang telah
disediakan
c. Total Head
Nilai total head didapat dengan menjumlah nilai velocity head dan static
head, atau bias juga dengan langkah-langkah sebagi berikut :
- Hubungkan salah satu ujung manometer dengan ujung total pressure pada
pitot tube dengan menggunakan selang plastic
- Tunggu sampai fluida dalam manometer tidak bergerak
- Baca selisih ketinggian fluida dalam manometer, catat pada table yang telah
disediakan
3.1.4 Pengukuran Tekanan Udara Dengan Pitot Tube
Lakukan pengukuran – pengukuran di atas pada tiap kondisi pemasangan
regulator yang berbeda. Cara penyambungan untuk mengukur setiap jenis
tekanan dapat dilihat pada gambar 3.1
gambar 3.1
cara pengukuran head dengan pitot tube
3.1.5 Kondisi Pengukuran
Pengukuran dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu yaitu :
a. Kondisi A seri
1. Pemasangan fan axial (Fa)
2. Atur jalur alir udara secara seri dengan menutup bagian-bagian
percabangan dalam duct.
3. Titik yang diukur yaitu A1, A2, A3 dan A5
Gambar 3.2
Kondisi Seri A
b. Kondisi A Paralel
1. Pemasangan fan axial (Fa)
2. Atur jalur alir udara secara seri dengan menutup bagian-bagian
percabangan dalam duct.
3. Titik yang diukur yaitu A3, A4, dan A5
Gambar 3.3
Kondisi Paralel A
c. Kondisi B Seri
1. Pemasangan fan axial (Fa) dengan kode A dan fan auxiliary (Fau)
2. Selanjutnya sama dengan kondisi A seri (lihat gambar 2.4)
Gambar 3.4
Kondisi Seri B
d. Kondisi B Parallel
1. Pemasangan fan axial (Fa) dengan kode A dan fan auxiliary (Fau)
2. Selanjutnya sama dengan kondisi A Parallel (lihat gambar 2.5)
Gambar 3.5
Kondisi Pararel B
3.2 Hasil Pengukuran
3.2.1 Data Pengukuran Head, Kecepatan dan Temperatur
Tabel 3.1
Kondisi A Seri Di Titik 1
SD HTA1 HTT1 HTB1 HSA1 HST1 HSB HVA1 HVT1 HVB1 V1.1 V1.2 V1.3 V1.4 V1.5 tb
AR0 3 2.1 3.2 1.2 1.7 1.6 2.4 1.9 2.5 6.7 5.7 5.3 6.8 8.5 23
AR1 2.9 2.5 1.7 1.3 1.6 0.9 2.3 2.4 2.5 4.7 3.8 4.4 5.9 6.5 24
AR2 4.3 4 1.6 3 2.8 1 4 3.2 2 3.3 4.1 3.4 2.8 4.9 25
AR3 4.3 4.5 4.5 3.1 3.1 3.2 4 4.2 4.2 1.2 2.6 2.3 3 3.7 25
Tabel 3.2
Kondisi A Seri Di Titik 2
SD HTA2 HTT2 HTB2 HSA2 HST2 HSB2 HVA2 HVT2 HVB2 V2.1 V2.2 V2.3 V2.4 V2.5 tb
AR0 4.4 3.6 4.2 2.6 3 2.8 3.5 3.4 3.9 12.8 12.2 11.6 12.1 11.5 23
AR1 4.3 4.2 4.4 2.5 2.6 2.4 3.6 3.6 3.5 7.4 4.2 6.1 8.7 8.8 23
AR2 4.7 4.7 4.5 2.5 2.8 2.5 4.1 3.8 4.2 6.6 5.9 6.9 6.6 4.9 22
AR3 4.9 4.8 5.1 2.6 2.4 2.5 3.8 3.9 4.2 1.5 0.1 0.8 2.9 3.6 24
Tabel 3.3
Kondisi A Seri Di Titik 3
SDHTA
3
HTT
3
HTB
3
HSA
3
HST
3
HSB
3
HVA
3
HVT
3
HVB
3V3.1 V3.2 V3.3 V3.4 V3.5 tb tk
AR0 1 1.8 1.8 0.5 0.2 0.2 0.8 1 1.6 10.5 9.9 9.4 8.8 8.4 24 26
AR1 1.5 1.2 1.7 0.5 0.5 0.4 1.3 1.3 1.3 8 7.2 6.8 6.8 6.8 24 27
AR2 1.5 1.5 1.5 0.6 0 0.1 1.5 1.5 1.5 3.7 3.7 3.3 3.3 3.7 24 28
AR3 2.1 2 1.7 0.6 0.5 0.4 1.5 1.5 1.2 1.2 1.2 1.5 1.5 3.4 25 26.5
Tabel 3.4
Kondisi A Seri Di Titik 5
SDHTA
5
HTT
5
HTB
5
HSA
5
HST
5
HSB
5
HVA
5
HVT
5
HVB
5V5.1 V5.2 V5.3 V5.4 V5.5 tb tk
AR0 0.5 0.5 0.3 0.1 0.1 0.1 0.3 0.3 0.2 3.4 3.2 6.9 12.1 12.5 20 25
AR1 0.4 0.5 0.4 0.1 0.1 0.1 0.4 0.4 0.3 2.7 7.5 10.4 12 7.5 20 25
AR2 0.2 0.5 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.4 0.1 1.6 1.8 4.2 8.7 6.0 20 25
AR3 0.2 0.1 0.2 0.1 0.1 0.1 0.2 0.1 0.1 1.1 0.3 0.2 1.2 1.4 20 25
Tabel 3.5
Kondisi A Pararel Di Titik 3
SDHTA
3
HTT
3
HTB
3
HSA
3
HST
3
HSB
3
HVA
3
HVT
3
HVB
3
V3.
1
V3.
2
V3.
3
V3.
4
V3.
5tb tk
AR0 1.5 1.5 1.5 0.3 0.2 0.5 1.5 1.5 1.5 2.3 2.4 2.5 2.4 2.4 23 29
AR1 1.5 1.5 1.5 0.3 0.1 0.2 1.5 1.5 1.4 1.1 1.5 1.5 1.5 1.8 24 28
AR2 2 1.7 1.5 1 0.5 0.5 1.5 1.1 1.3 0.5 0.7 0.9 1.1 1.3 24 28
AR3 2 1.5 2 0.4 0.2 0 1 0.5 2 0 0.5 0.5 0.9 1.2 24 27
Tabel 3.6
Kondisi A Pararel Di Titik 4
SDHTA
4
HTT
4
HTB
4
HSA
4
HST
4
HSB
4
HVA
4
HVT
4
HVB
4
V4.
1
V4.
2
V4.
3
V4.
4
V4.
5tb tk
AR0 6.1 6.2 6.3 5.1 5.2 5 5.7 5.8 5.7 0.1 0.2 0.3 0.8 1.3 22 25
AR1 5.9 6.1 6 5.3 5.5 5.4 5.5 6 5.8 0.4 0.9 1.2 1.6 2.321.
524
AR2 6.2 5.7 6.1 5.2 5 5.4 5.8 5.5 5.9 0.6 0.9 1.4 1.9 2.4 23 27
AR3 6 5.9 5.6 5 5.2 5.2 5.7 6.4 5.4 0 0.7 1.6 2 2.7 17 25
Tabel 3.7
Kondisi A Pararel Di Titik 5
SDHTA
5
HTT
5
HTB
5
HSA
5
HST
5
HSB
5
HVA
5
HVT
5
HVB
5
V5.
1
V5.
2
V5.
3
V5.
4
V5.
5tb tk
AR0 0.5 0.5 0.4 0.2 0.2 0.2 0.1 0.2 0.3 2.4 3.1 3.5 3.3 2.5 23 24
AR1 0.3 0.3 0.4 0.2 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 2.6 2.9 2.8 2.3 1.6 22 23
AR2 0.1 0.1 0.3 0.2 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 2.8 2.6 2.0 1.2 0.7 20 24
AR3 0.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 2.8 2.5 1.8 0.5 0.1 22 26
Tabel 3.8
Kondisi B Seri Di Titik 1
SD HTA HTT HTB HSA HST HSB HVA HVT HVB V1.1 V1.2 V1.3 V1.4 V1.5 tb tk
AR0 3.5 3.1 3.4 2.2 2.5 2.4 3.1 2.9 3.2 7.4 6.4 7.8 12.1 14.4 23 27
AR1 3.7 3.3 3.7 2.3 2.3 2.4 3.6 3.1 3.5 4.6 4.7 4.1 6.6 6.5 25 27
AR2 3.7 3.2 3.5 2.4 2.1 2.2 3.5 2.8 3.3 3.8 3.7 3.3 4.3 5.1 23 28
AR3 3.7 3.4 3.6 2.2 2.4 2.5 3.4 3.2 3.4 2.9 3.3 2.9 3.6 4.1 26 28
Tabel 3.9
Kondisi B Seri Di Titik 2
SDHTA
2
HTT
2
HTB
2
HSA
2
HST
2
HSB
2
HVA
2
HVT
2
HVB
2V2.1 V2.2 V2.3 V2.4 V2.5 tb tk
AR0 3.9 2.8 3.4 1.8 1.9 2.4 2.8 2.1 3.2 10.7 10.3 10.9 10.6 10.7 23 26
AR1 4 3.7 3.7 1.9 1.7 1.7 3.1 2.5 2.7 7.1 6.2 7.5 9.1 9.5 24 27
AR2 3.2 4 3.9 1.7 1.5 1.7 2.5 2.5 2.7 5.1 3.2 2.6 5.2 6 24 27
AR3 4.1 4 4.2 2 2.1 2.3 2.6 4 3.9 2.3 1.6 1.5 3.1 4.6 25 27
Tabel 3.10
Kondisi B Seri Di Titik 3
SDHTA
3
HTT
3
HTB
3
HSA
3
HST
3
HSB
3
HVA
3
HVT
3
HVB
3V3.1 V3.2 V3.3 V3.4 V3.5 tb tk
AAUR0 0.7 1.1 0.8 0.4 0.3 0.4 1 0.5 0.9 7.2 6.8 6.9 6.7 6.7 23 26
AAUR1 0.9 1.5 1.4 0.5 0.2 0.3 0.3 0.6 1.1 2.5 2.6 2.5 2.3 2.9 23 26
AAUR2 0.7 1.3 1.2 0.4 0.3 0.5 0.3 0.5 0.5 5.7 5.5 5.2 5.1 5.1 23 26
AAUR3 1.5 1.4 1.3 0.8 0.8 0.5 0.4 0.5 0.5 1 0.6 0.6 0.4 1.5 23 26
Tabel 3.11
Kondisi B Seri Di Titik 5
SDHTA
5
HTT
5
HTB
5
HSA
5
HST
5
HSB
5
HVA
5
HVT
5
HVB
5V5.1 V5.2 V5.3 V5.4 V5.5 tb tk
AR0 0.5 0.3 0.3 0.2 0.2 0.2 0.3 0.1 0.1 1.8 4 6 9.8 8 25 29.5
AR1 0.2 0.3 0.3 0.1 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 1 3.1 5.1 7.3 8 23 29
AR2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 2 5 8.8 10 5.4 29.5 29
AR3 0.1 0.1 0.2 0.6 0.1 0.3 0.1 0.1 0.1 0 0.2 0.6 1.6 1.4 23.5 28.5
Tabel 3.12
Kondisi B Pararel Di Titik 3
SD HTA3 HTT3 HTB3 HSA3 HST3 HSB3 HVA3 HVT3 HVB3 V3.1 V3.2 V3.3 V3.4 V3.5 tb tk
AR0 1 1 1 0.3 0.3 0.5 1 1 0.5 3.3 2.1 2.1 2.2 2.2 25 29
AR1 12 1.2 1 0.1 0.5 0.5 1.8 0.5 0.5 1.5 1.5 1.5 1.6 1.7 25 28
AR2 1.2 1 1 0.5 0.5 0.7 1.2 1 0.5 0.7 0.7 0.8 1.2 1.5 25 29
AR3 1 1 1 0.1 0.5 0.7 1 0.7 0.3 0.6 0.6 0.6 0.9 1.2 26 29
Tabel 3.13
Kondisi B Pararel Di Titik 4
SDHTA
4
HTT
4
HTB
4
HSA
4
HST
4
HSB
4
HVA
4
HVT
4
HVB
4
V4.
1
V4.
2
V4.
3
V4.
4
V4.
5tb tk
AR0 5 4.6 4.7 3.4 3.6 3.7 4.6 4.3 4.3 0 0.2 0.4 0.8 1.1 25 27
AR1 4.6 4.6 4.6 3.6 4.1 3.5 4.4 4.4 4.1 0.2 0 0.6 1.3 1.8 26 27
AR2 4.6 4.7 4.6 3.7 3.9 4 4.5 4.4 4.5 0.1 0.5 0.9 1.3 2 25 29
AR3 4.7 4.5 4.5 3.8 3.6 3.6 4.2 4.2 4.3 0.2 0.3 1.1 2.8 2.5 2526.
5
Tabel 3.14
Kondisi B Pararel Di Titik 5
SD HTA5 HTT5 HTB5 HSA5 HST5 HSB5 HVA5 HVT5 HVB5 V5.1 V5.2V5.
3V5.4 V5.5 tb tk
AR0 0.5 0.5 0.4 0.4 0.7 0.5 0.1 0.2 0.1 1.4 1.8 2.4 2.5 2.0 23 26
AR1 0.4 0.4 0.2 0.4 0.3 0.5 0.1 0.2 0.2 1.5 1.8 1.9 1.8 1.0 23 27
AR2 0.4 0.3 0.2 0.1 0.1 0.3 0.1 0.2 0.2 2.2 2.3 2.0 1.4 0.9 23 26
AR3 0.2 0.3 0.3 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.3 2.4 2.1 1.5 0.9 0.5 23 26
3.2.2 Data Dimensi Regulator
Tabel 3.15
Pengukuran Dimensi Regulator
RgulatorDimensi Luas
(m²)
Luas Jalur
(m²)β
p l
R1 0.14983 0.15058
3
0.022562 0.097115 0.482
R2 0.10083 0.101 0.010184 0.324
R3 0.051 0.0505 0.002576 0.163
3.2.3 Data Dimensi Duct
Tabel 3.16
Dimensi Duct
Awal
Cabang
Akhir
Cabang
Tinggi
(cm)
Lebar
(cm)
Panjang
(cm)
Keliling
(cm)
1 2 50.6 50 426 201.2
2 3 28 28.2 195 112.4
3 4 28.6 28 54.4 113.2
4 5 28.6 28.4 304 114 812.24
4 7 28.6 28.4 96 114 812.24
5 6 28.6 28 272 113.2
6 7 27.8 27.2 30.8 110 756.16
6 8 28 28.6 76 113.2
7 8 28 28.6 76 113.2
7 9 28 28.6 110.8 113.2
8 10 26.4 28.4 76 109.6 749.76
9 10 26.4 28.4 76 109.6 749.76
10 11 28 28.6 43 113.2
3.2.4 Data Parameter Regulator
Tabel 3.17
Parameter Regulator
Regulato
r
Dimensi
P1 P2 P3 L1 L2 L3 P L
R115.00
0
14.97
5
14.97
5
15.07
5
15.07
5
15.02
5
14.98
3
15.05
8
R210.05
0
10.10
0
10.10
0
10.10
0
10.10
0
10.10
0
10.08
3
10.10
0
R3 5.100 5.100 5.100 5.100 5.000 5.050 5.100 5.050
3.2.5 Data Dimensi Titik Pengukuran
Tabel 3.18
Data Dimensi Titik Pengukuran
Titik
Pengukuran
Tinggi
(m)
Lebar
(m)
Luas
(m2)
A1 0.506 0.5 0.253
A20.28 0.282
0.0789
6
A30.286 0.28
0.0800
8
A40.286 0.28
0.0800
8
A50.28 0.286
0.0800
8
A60.28 0.286
0.0800
8
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kelembaban Relatif
Pengukuran kelembaban relative harus mengkonversi suhu terlebih
dahulu contohnya :
Untuk Ro : tk = 26oC, oF = (26oC x 9/5) + 32oF = 75,2oF
tb = 24oC, oF = (24oC x 9/5) + 32oF = 78,8oF
Untuk R1 : tk = 26oC, oF = (26oC x 9/5) + 32oF = 75,2oF
tb = 23oC, oF = (23oC x 9/5) + 32oF = 73,4oF
Untuk R2 : tk = 24oC, oF = (24oC x 9/5) + 32oF = 78,8oF
tb = 23oC, oF = (23oC x 9/5) + 32oF = 73,4oF
Untuk R3 : tk = 24oC, oF = (24oC x 9/5) + 32oF = 78,8oF
tb = 23oC, oF = (23oC x 9/5) + 32oF = 73,4oF
contoh diatas adalah untuk pengkonversian suhu, untuk mengetahui
kelembabanya adalah menggunakan data tremnperatur basah dan
temperature kering dalam duct, yang hasilnya akan ditarik dengan dua garis, titik
potong antara temperature basah dan temperature kering akan adalah
kelembaban relative nya.
Tabel 4.1.1Kelembaban relatif ( Kondisi A )
Kondisi Titik SDT oC T oF KelembabanRelatif
(%)Tb Tk Tb Tk
A
1
AR 0 23 25 73.4 77
AR 1 24 27 75.2 80.6
AR 2 25 27 77 80.6
AR 3 25 28 77 82.4
2
AR 0 23 25 73.4 77
AR 1 23 27 73.4 80.6
AR 2 22 24 71.6 75.2
AR 3 24 26 75.2 78.8
3
AR 0 24 26 75.2 78.8
AR 1 24 27 75.2 80.6
AR 2 24 28 75.2 82.4
AR 3 25 26.5 77 79.7
5
AR 0 20 25 68 77
AR 1 20 25 68 77
AR 2 20 25 68 77
AR 3 20 25 68 77
B
1
AR 0 23 27 73.4 80.6
AR 1 25 27 77 80.6
AR 2 23 28 73.4 82.4
AR 3 26 28 78.8 82.4
2
AR 0 23 26 73.4 78.8
AR 1 24 27 75.2 80.6
AR 2 24 27 75.2 80.6
AR 3 25 27 77 80.6
3AR 0 23 26 73.4 78.8
AR 1 23 26 73.4 78.8
AR 2 23 26 73.4 78.8
AR 3 23 26 73.4 78.8
5
AR 0 25 29.5 77 85.1
AR 1 23 29 73.4 84.2
AR 2 29.5 29 85.1 84.2
AR 3 23.5 28.5 74.3 83.3
Tabel 4.1.2Kelembaban relatif( Kondisi B )
Kondisi Titik SDT oC T oF KelembabanRelatif
(%)T (b) T (k) T (b) T (k)
A
3
AR 0 23 29 73.4 84.2
AR 1 24 28 75.2 82.4
AR 2 24 28 75.2 82.4
AR 3 24 27 75.2 80.6
4
AR 0 22 25 71.6 77
AR 1 21.5 24 70.7 75.2
AR 2 23 27 73.4 80.6
AR 3 17 25 62.6 77
5
AR 0 23 24 73.4 75.2
AR 1 22 23 71.6 73.4
AR 2 20 24 68 75.2
AR 3 22 26 71.6 78.8
B
3
AR 0 25 29 77 84.2
AR 1 25 28 77 82.4
AR 2 25 29 77 84.2
AR 3 26 29 78.8 84.2
4
AR 0 25 27 77 80.6
AR 1 26 27 78.8 80.6
AR 2 25 29 77 84.2
AR 3 25 26.5 77 79.7
5
AR 0 23 26 73.4 78.8
AR 1 23 27 73.4 80.6
AR 2 23 26 73.4 78.8
AR 3 23 26 73.4 78.8
4.2 Kondisi Aliran Udara
4.2.1 Kecepatan Rata-rata Udara
Kecepatan udara diukur dengan menggunakan Vane anemometer yang
digunakan dalam duct, pengukuran kecepatan udara ini akan berkaitan dengan
debit udara dalam duct yang mengalir
Untuk Ro, Vrata-rata = (V1 + V2 + V3 + V4 + V5) / 5
= (2,9 + 2,9 + 3 + 2,9 + 2,9) / 5
= 1.62 m/detik
Untuk R1, Vrata-rata = (V1 + V2 + V3 + V4 + V5) / 5
= (2,9 + 3 + 3 + 3,1 + 3,1) / 5
= 1,02 m/detik
Untuk R2, Vrata-rata = (V1 + V2 + V3 + V4 + V5) / 5
= (4 + 2,7 + 2,6 + 3,6 + 2,9) / 5
= 0.8 m/detik
Untuk R3, Vrata-rata = (V1 + V2 + V3 + V4 + V5) / 5
= (3 + 1,6 + 1,4 + 1,2 + 0,8) / 5
= 0.56 m/detik
Tabel 4.2.1.1Kecepatan Aliran Udara( Kondisi A )
Kondisi
Titik
SDV (m/s) V Rata – Rata
(m/s)1 2 3 4 5A
1
AR0 6.7 5.7 5.3 6.8 8.5
6.6
AR1 4.7 3.8 4.4 5.9 6.5
5.06
AR2 3.3 4.1 3.4 2.8 4.9
3.7
AR3 1.2 2.6 2.3 3 3.7
2.56
2
AR0
12.8
12.2
11.6
12.1
11.5
12.04
AR1 7.4 4.2 6.1 8.7 8.8
7.04
AR2 6.6 5.9 6.9 6.6 4.9
6.18
AR3 1.5 0.1 0.8 2.9 3.6
1.78
3 AR0
10.5
9.9 9.4 8.8 8.4 9.4
AR1 8 7.2 6.8 6.8 6.8 7.12
AR2
3.7 3.7 3.3 3.3 3.7 3.54
AR3 1.2 1.2 1.5 1.5 3.4 1.76
5
AR0
3.4 3.2 6.912.1
12.5
7.62
AR1
2.7 7.510.4
12 7.5 8.02
AR2
1.6 1.8 4.2 8.7 6 4.46
AR3
1.1 0.3 0.2 1.2 1.4 0.84
B
1
AR0
7.4 6.4 7.812.1
14.4
9.62
AR1
4.6 4.7 4.1 6.6 6.5 5.3
AR2
3.8 3.7 3.3 4.3 5.1 4.04
AR3
2.9 3.3 2.9 3.6 4.1 3.36
2
AR0
10.7
10.3
10.9
10.6
10.7
10.64
AR1
7.1 6.2 7.5 9.1 9.5 7.88
AR2
5.1 3.2 2.6 5.2 6 4.42
AR3
2.3 1.6 1.5 3.1 4.6 2.62
3
AR0
7.2 6.8 6.9 6.7 6.7 6.86
AR1
2.5 2.6 2.5 2.3 2.9 2.56
AR2
5.7 5.5 5.2 5.1 5.1 5.32
AR3
1 0.6 0.6 0.4 1.5 0.82
5
AR0
1.8 4 6 9.8 8 5.92
AR1
1 3.1 5.1 7.3 8 4.9
AR2
2 5 8.8 10 5.4 6.24
AR3
0 0.2 0.6 1.6 1.4 0.76
Tabel 4.2.1.2Kecepatan Aliran Udara( Kondisi B )
Kondisi
Titik
SDA V Rata - Rata
(m/s)1 2 3 4 5A 3 AR
02.3
2.4
2.5
2.4
2.4
2.4
AR1
1.1
1.5
1.5
1.5
1.8
1.48
AR2
0.5
0.7
0.9
1.1
1.3
0.9
AR3 0
0.5
0.5
0.9
1.2
0.62
4
AR0
0.1
0.2
0.3
0.8
1.3
0.54
AR1
0.4
0.9
1.2
1.6
2.3
1.28
AR2
0.6
0.9
1.4
1.9
2.4
1.44
AR3 0
0.7
1.6 2
2.7
1.4
5
AR0
2.4
3.1
3.5
3.3
2.5
2.96
AR1
2.6
2.9
2.8
2.3
1.6
2.44
AR2
2.8
2.6 2
1.2
0.7
1.86
AR3
2.8
2.5
1.8
0.5
0.1
1.54
B
3
AR0
3.3
2.1
2.1
2.2
2.2
2.38
AR1
1.5
1.5
1.5
1.6
1.7
1.56
AR2
0.7
0.7
0.8
1.2
1.5
0.98
AR3
0.6
0.6
0.6
0.9
1.2
0.78
4
AR0 0
0.2
0.4
0.8
1.1
0.5
AR1
0.2 0
0.6
1.3
1.8
0.78
AR2
0.1
0.5
0.9
1.3 2
0.96
AR3
0.2
0.3
1.1
2.8
2.5
1.38
5
AR0
1.4
1.8
2.4
2.5 2
2.02
AR1
1.5
1.8
1.9
1.8 1
1.6
AR2
2.2
2.3 2
1.4
0.9
1.76
AR3
2.4
2.1
1.5
0.9
0.5
1.48
4.2.2 Tekanan Rata-rata Udara
Tekanan rata – rata disini kita ukur dengan menggunakan pitot tube,
perbedaan angka yang berada pada pitot tube adalah tekanan rata – rata nya,
adapun HV atau head velocity adalah tekanan yang berada diatas, sedangkan
HS atau head statis adalah tekanan yang stais, dan head total adalah tekanan
keseluruhan dari seluruhnya, dalam pengukuran digunakan rata – rata dimana
hasil data head baik HS, HT maupun HV akan dibagi jumlah datanya untuk
mendapatkan rata – rata head masing – masing.
Contoh perhitungan HT rata-rata
Untuk Ro, HTrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0.17mm
Untuk R1, HTrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0.25mm
Untuk R2, HTrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0.45mm
Untuk R3, HTrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0.25mm
Contoh perhitungan HS rata-rata
Untuk Ro, HSrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0,13mm
Untuk R1, HSrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0.08mm
Untuk R2, HSrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0.05mm
Untuk R3, HSrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0.05mm
Contoh perhitungan HV rata-rata
Untuk Ro, HVrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0,13mm
Untuk R1, HVrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0.08mm
Untuk R2, HVrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0.07mm
Untuk R3, HVrata-rata = ¿) X sin α
= ¿) X sin 30 = 0.07mm
Tabel 4.2.2.1Head (HT, HS, dan HV) Rata-rata dalam Duct seri
Kondisi
Titik
SDHT (mm) HT Rata - Rata
(mm)HS (mm) HS Rata - Rata
(mm)HV (mm) HV Rata - Rata
(mm)A T B A T B A T B
A
1
AR0 32.1
3.2
1.021.2
1.7
1.6
0.552.4
1.9
2.5
0.84
AR12.9
2.5
1.7
0.871.3
1.6
0.9
0.472.3
2.4
2.5
0.89
AR24.3
41.6
1.22 32.8
1 0.84 43.2
2 1.13
AR34.3
4.5
4.5
1.643.1
3.1
3.2
1.16 44.2
4.2
1.53
2
AR44.4
3.6
4.2
1.502.6
32.8
1.033.5
3.4
3.9
1.33
AR54.3
4.2
4.4
1.592.5
2.6
2.4
0.923.6
3.6
3.5
1.32
AR64.7
4.7
4.5
1.712.5
2.8
2.5
0.964.1
3.8
4.2
1.49
AR74.9
4.8
5.1
1.822.6
2.4
2.5
0.923.8
3.9
4.2
1.47
3
AR8 11.8
1.8
0.570.5
0.2
0.2
0.110.8
11.6
0.42
AR91.5
1.2
1.7
0.540.5
0.5
0.4
0.171.3
1.3
1.3
0.48
AR10
1.5
1.5
1.5
0.550.6
00.1
0.091.5
1.5
1.5
0.55
AR11
2.1
21.7
0.710.6
0.5
0.4
0.181.5
1.5
1.2
0.52
5
AR12
0.5
0.5
0.3
0.160.1
0.1
0.1
0.040.3
0.3
0.2
0.10
AR13
0.4
0.5
0.4
0.160.1
0.1
0.1
0.040.4
0.4
0.3
0.14
AR1 0. 0. 0. 0.11 0. 0. 0. 0.04 0. 0. 0. 0.07
4 2 5 2 1 1 1 1 4 1AR1
50.2
0.1
0.2
0.060.1
0.1
0.1
0.040.2
0.1
0.1
0.05
B
1
AR03.5
3.1
3.4
1.232.2
2.5
2.4
0.873.1
2.9
3.2
1.13
AR13.7
3.3
3.7
1.322.3
2.3
2.4
0.863.6
3.1
3.5
1.26
AR23.7
3.2
3.5
1.282.4
2.1
2.2
0.833.5
2.8
3.3
1.18
AR33.7
3.4
3.6
1.322.2
2.4
2.5
0.873.4
3.2
3.4
1.23
2
AR43.9
2.8
3.4
1.241.8
1.9
2.4
0.752.8
2.1
3.2
1.00
AR5 43.7
3.7
1.401.9
1.7
1.7
0.653.1
2.5
2.7
1.02
AR63.2
43.9
1.371.7
1.5
1.7
0.602.5
2.5
2.7
0.95
AR74.1
44.2
1.51 22.1
2.3
0.792.6
43.9
1.29
3
AR80.7
1.1
0.8
0.320.4
0.3
0.4
0.14 10.5
0.9
0.30
AR90.9
1.5
1.4
0.470.5
0.2
0.3
0.120.3
0.6
1.1
0.25
AR10
0.7
1.3
1.2
0.390.4
0.3
0.5
0.150.3
0.5
0.5
0.16
AR11
1.5
1.4
1.3
0.520.8
0.8
0.5
0.260.4
0.5
0.5
0.17
5 AR12
0.5
0.3
0.3
0.140.2
0.2
0.2
0.070.3
0.1
0.1
0.06
AR13
0.2
0.3
0.3
0.100.1
0.2
0.2
0.060.1
0.1
0.1
0.04
AR14
0.1
0.1
0.1
0.04 0.1
0.1
0.1
0.04 0.1
0.1
0.1
0.04
AR15
0.1
0.1
0.2
0.050.6
0.1
0.3
0.120.1
0.1
0.1
0.04
Tabel 4.2.2.1Head (HT, HS, dan HV) Rata-rata dalam Duct paralel
Kondisi
Titik
SDHT (mm) HT Rata - Rata
(mm)HS (mm) HS Rata - Rata
(mm)HV (mm) HV Rata - Rata
(mm)A T B A T B A T B
A
3
AR0
1.5
1.5
1.5 0.554 0.
30.2
0.5 0.123 1.
51.5
1.5 0.554
AR1
1.5
1.5
1.5 0.554 0.
30.1
0.2 0.074 1.
51.5
1.4 0.542
AR2
21.7
1.5 0.640 1
0.5
0.5 0.246 1.
51.1
1.3 0.480
AR3
21.5
2 0.677 0.4
0.2
0 0.074 10.5
2 0.431
4
AR0
6.1
6.2
6.3 2.291 5.
15.2
5 1.884 5.7
5.8
5.7 2.118
AR1
5.9
6.1
6 2.217 5.3
5.5
5.4 1.995 5.
56
5.8 2.131
AR2
6.2
5.7
6.1 2.217 5.
25
5.4 1.921 5.
85.5
5.9 2.118
AR3
65.9
5.6 2.155 5
5.2
5.2 1.897 5.
76.4
5.4 2.155
5
AR0
0.5
0.5
0.4 0.172 0.
20.2
0.2 0.074 0.
10.2
0.3 0.074
AR1
0.3
0.3
0.4 0.123 0.
20.2
0.2 0.074 0.
10.1
0.1 0.037
AR2
0.1
0.1
0.3 0.062 0.
20.2
0.2 0.074 0.
10.1
0.1 0.037
AR 0. 0. 0. 0.062 0. 0. 0. 0.074 0. 0. 0. 0.037
3 1 2 2 2 2 2 1 1 1
B
3
AR0
1 1 1 0.370 0.3
0.3
0.5 0.135 1 1
0.5 0.308
AR1
121.2
1 1.749 0.1
0.5
0.5 0.135 1.
80.5
0.5 0.345
AR2
1.2
1 1 0.394 0.5
0.5
0.7 0.209 1.
21
0.5 0.333
AR3
1 1 1 0.370 0.1
0.5
0.7 0.160 1
0.7
0.3 0.246
4
AR0
54.6
4.7 1.761 3.
43.6
3.7 1.318 4.
64.3
4.3 1.626
AR1
4.6
4.6
4.6 1.700 3.
64.1
3.5 1.379 4.
44.4
4.1 1.589
AR2
4.6
4.7
4.6 1.712 3.
73.9
4 1.429 4.5
4.4
4.5 1.650
AR3
4.7
4.5
4.5 1.687 3.
83.6
3.6 1.355 4.
24.2
4.3 1.564
5
AR0
0.5
0.5
0.4 0.172 0.
40.7
0.5 0.197 0.
10.2
0.1 0.049
AR1
0.4
0.4
0.2 0.123 0.
40.3
0.5 0.148 0.
10.2
0.2 0.062
AR2
0.4
0.3
0.2 0.111 0.
10.1
0.3 0.062 0.
10.2
0.2 0.062
AR3
0.2
0.3
0.3 0.099 0.
10.1
0.1 0.037 0.
10.2
0.3 0.074
4.2.3 Penentuan Debit dan Pola Aliran Udara
Penentuan debit disini dalah dengan menggunakan volume dari duct
dibagi dengan kecepatan aliran dari udara yang mengalir didalam duct.
Diketahui luas ( A ) jaringan pada titik 5 = 0,078 m2
Untuk Ro, Q = Vrata-rata x A
= 3,24 m/detik x 0,078 m2
= 1.62 m3/detik
Untuk R1, Q = Vrata-rata x A
= 2,46 m/detik x 0,078 m2
= 1,02 m3/detik
Untuk R2, Q = Vrata-rata x A
= 2,54 m/detik x 0,078 m2
= 0,8 m3/detik
Untuk R3, Q = Vrata-rata x A
= 0,6 m/detik x 0,078 m2
= 0,56 m3/detik
Tabel 4.2.3.3Pola Aliran Udara Hubungan Seri
Kondisi
Titik SDV Rata - Rata
(m/s)D(m
)A(m2
)Q
(m3/s)Re
(m2/s)Pola Aliran
Udara
A
1
AR0 6.6
0.50.028
9
0.19112832.9
9Turbulent
AR1 5.06 0.1469838.62
4Turbulent
AR2 3.7 0.107 7194.25 Turbulent
AR3 2.56 0.0744977.64
4Turbulent
2
AR4 12.04
0.282
0.0289
0.34823410.4
8Turbulent
AR5 7.04 0.20313688.5
2Turbulent
AR6 6.18 0.17912016.3
4Turbulent
AR7 1.78 0.0513461.01
8Transisi
3
AR8 9.4
0.280.028
9
0.27218277.2
8Turbulent
AR9 7.12 0.20613844.0
7Turbulent
AR10 3.54 0.102 6883.14 Turbulent
8AR11 1.76 0.051 3422.13 Transisi
5
AR12 7.62
0.286
0.0289
0.22014816.2
7Turbulent
AR13 8.02 0.23215594.0
2Turbulent
AR14 4.46 0.1298671.98
8Turbulent
AR15 0.84 0.0241633.28
9Laminer
B
1
AR0 9.62
0.50.028
9
0.27818705.0
5Turbulent
AR1 5.3 0.15310305.2
8Turbulent
AR2 4.04 0.1177855.34
4Turbulent
AR3 3.36 0.0976533.15
7Turbulent
2
AR4 10.64
0.282
0.0289
0.30720688.3
3Turbulent
AR5 7.88 0.22815321.8
1Turbulent
AR6 4.42 0.1288594.21
3Turbulent
AR7 2.62 0.0765094.30
7Turbulent
3
AR8 6.86
0.280.028
9
0.19813338.5
3Turbulent
AR9 2.56 0.0744977.64
4Turbulent
AR10 5.32 0.15410344.1
7Turbulent
AR11 0.82 0.0241594.40
1Laminer
5
AR12 5.92
0.286
0.0289
0.171 11510.8 Turbulent
AR13 4.9 0.1429527.52
1Turbulent
AR14 6.24 0.18012133.0
1Turbulent
AR15 0.76 0.0221477.73
8Laminer
Tabel 4.2.3.4Pola Aliran Udara Hubungan Paralel
Kondisi
Titik SDV Rata - Rata
(m/s)D(m
)A(m2)
Q (m3/s)
Re (m2/s)
Pola Aliran Udara
A 3 AR0 2.4 0.28 0.02890
0.06936 4666.541
Turbulent
AR1 1.480.04277
22877.7 Transisi
AR2 0.9 0.026011749.95
3Laminer
AR3 0.620.01791
81205.52
3Laminer
4
AR0 0.54
0.280.0289
0
0.015606
1049.972
Laminer
AR1 1.280.03699
22488.82
2Transisi
AR2 1.440.04161
62799.92
4Transisi
AR3 1.4 0.040462722.14
9Transisi
5
AR0 2.96
0.290.0289
0
0.085544
5755.4 Turbulent
AR1 2.440.07051
64744.31
6Turbulent
AR2 1.860.05375
43616.56
9Transisi
AR3 1.540.04450
62994.36
4Transisi
B
3
AR0 2.38
0.280.0289
0
0.068782
4627.653
Turbulent
AR1 1.560.04508
43033.25
2Transisi
AR2 0.980.02832
21905.50
4Laminer
AR3 0.780.02254
21516.62
6Laminer
4
AR0 0.5
0.280.0289
0
0.01445 972.196 Laminer
AR1 0.780.02254
21516.62
6Laminer
AR2 0.960.02774
41866.61
6Laminer
AR3 1.380.03988
22683.26
1Transisi
5
AR0 2.02
0.290.0289
0
0.058378
3927.672
Transisi
AR1 1.6 0.046243111.02
7Transisi
AR2 1.760.05086
43422.13 Transisi
AR3 1.480.04277
22877.7 Transisi
Data Diatas Berdasarkan Ketentuan Sebagai Berikut :
Bilangan Reynold 67280
< 2000 2000 < x < 4000 > 4000
Laminar Transisi Turbulen
Untuk Contoh Perhitungan Jenis Aliran
Diketahui : 67.280 = Ketetapan
Untuk Ro, Re = 67.280 x Q
= 67.280 x 0,254 m3/s
= 3149.915 Transisi
Untuk R1, Re = 67.280 x Q
= 67.280 x 0,193 m3/s
= 1983.280 transisi
Untuk R2, Re = 67.280 x Q
= 67.280 x 0,199 m3/s
= 1555.514 Laminar
BAB V
ANALISA
5.1. Pengaruh Pengaturan Udara Terhadap Kelembapan Relatif
Kondisi A dan B Rangkaian Seri
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
20
40
60
80
100
120
Titik 1Titik 2Titik 3Titik 5
β
Kele
mba
pan
Rela
tif (%
)
Grafik 1Kondisi A Seri
Titik 1 dan titik 2 memiliki titik yang dimana kelembapan relatifnya paling
kecil, hal tersebut dikarenakan posisi kedua titik tersebut paling dekat terhadap
hembusan udara yang dialirkan oleh fan, karena pada titik 3 dan 5 aliran udara
telah terpengaruh oleh belokan serta terpengaruh juga oleh koefisien kekasaran
bahan material duct.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Titik 1Titik 2Titik 3Titik 5
β
Kele
mba
pan
Rela
tif (%
)
Grafik 5.2
Kondisi B Seri
Hampir sama namun pada titik akhir yaitu titik 3 dan 5 mengalami
perubahan tekanan yang diakibatkan oleh booster. booster untuk membantu
meningkatkan tekanan udara, sehingga mempengaruhi titik 5 yang berbeda
dengan kondisi A dimana titik 5 tidak mempunyai titik kelembapan relatif paling
kecil.
5.2 Pengaruh Pengaturan Udara Terhadap Kelembapan Relatif
Kondisi A dan B Rangkaian Paralel
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Titik 3Titik 4Titik 5
β
Kele
mba
pan
Rela
tif (%
)
Grafik 5.3Kondisi A Pararel
karena pada titik 3 dan 4 aliran udara telah terbagi 2 karena duct
dipasang parallel dan cabangbya berada pada titik 3 dan 4, sedangkan pada titik
5 aliran udaranya merupakan gabungan dari titik 3 dan 4 karena
percabangannya tergabung kembali pada titik 5, titik 4 mengalami penurunan
kelembaban udara, pada titik 5 cenderung konstan karena semua cabang
berakhir di titik 5.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
20
40
60
80
100
120
Titik 3Titik 4Titik 5
β
Kele
mba
pan
Rela
tif (%
)
Grafik 5.4Kondisi B Pararel
Pada grafik diatas menunjukan bahwa titik 5 memiliki selisih kelembapan
udara yang paling besar dibanding titik 3 dan 4, hal tersebut dikarenakan oleh
titik 5 merupakan titik yang paling dekat dengan booster dan tidak mengalami
percabangan, sedangkan pada titik 4 yang kelembapan relatifnya paling besar
disebabkan oleh percabangan itu sendiri dan posisi yang jauh dari booster dan
terdapat 2 belokan diawal dan diakhir titik 4.
5.3 Pengaruh Belokan Terhadap Kondisi Aliran Udara Terhadap
Head Kondisi A dan B Rangkaian Seri
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Titik 2 HTTitik 2 HSTitik 2 HVTitik 3 HTTitik 3 HSTitik 3 HV
β
Head
Rat
a-Ra
ta (m
mAi
r)
Grafik 5.5Kondisi A Seri
Dari gambar diatas terdapat garis yang berada pada nilai yang tidak
umum dengan yang lainnya yaitu pada titik 2 Head Total, perbedaannya
dikarenakan aliran udara pada titik 2 belum mengalami belokan, dan pada titik 3
mengalami belokan sehingga tekanan udaranya telah berkurang. Oleh karena itu
dapat dianalisakan bahwa belokan dapat mempengaruhi tekanan udara.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
Titik 2 HTTitik 2 HSTitik 2 HVTitik 3 HTTitik 3 HSTitik 3 HV
β
Hea
d Ra
ta-R
ata
(mm
Air
)
Grafik 5.6Kondisi B Seri
Pada kondisi yang di tambahkan booster dapat dilihat bahwa keadaan
yang tidak jauh berbeda dengan grafik pada kondisi A, yaitu titik dua yang
merupakan titik dimana sebelum terjadinya belokan masih lebih besar tekanan
udaranya daripada titik 3 yang telah mengalami belokan.
5.4 Pengaruh Belokan Terhadap Kondisi Aliran Udara Terhadap
Head Seri A dan B Paralel
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
Titik 3 HTTitik 3 HSTitik 3 HVTitik 4 HTTitik 4 HSTitik 4 HV
β
Hea
d Ra
ta-R
ata
(mm
)
Grafik 5.7Kondisi A Pararel
Pada grafik diatas yang merupakan keadaan parallel, pada titik 3 yang
merupakan titik dimana sebelum terjadinya belokan mengakibatkan adanya titik
yang tekanan udaranya paling besar daripada titik 4, karena titik 4 telah
mengalami belokan. Maka dapat dianalisakan belokan dapat mempengaruhi
tekanan udara dalam duct.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
Titik 3 HTTitik 3 HSTitik 3 HVTitik 4 HTTitik 4 HSTitik 4 HV
β
Hea
d Ra
ta-R
ata
(mm
)
Grafik 5.8Kondisi B Pararel
Pada kondisi B yang ditambahkan booster, titik 4 merupakan titik yang
terdapat tekanan udara yang paling besar, hal itu disebabkan karena titik 4 lebih
dekat terhadap booster yang menjadikan tekanan udar lebih besar dibandingkan
titik 3, meskipun telah mengalami belokan.
5.5 Pengaruh Belokan Terhadap Kondisi Aliran Udara Terhadap
Velocity Kondisi A dan B Rangkaian Seri
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Titik 2Titik 3
β
Kece
pata
n Ra
ta-R
ata
(m/s
)
Grafik 5.9Kondisi A Seri
Pada grafik diatas dapat dilihat bahawa kecepatan udara pada titik 3 lebih
besar dari pada titik 2, padahal titik 3 telah mengalami belokan. Hal itu
disebabkan oleh pemasangan regulator yang berfungsi sebagai tahanan serta
belokan yang yang memungkinkan aliran udar menjadi lebih cepat karena terjadi
turbulensi udara.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.5
1
1.5
2
2.5
Titik 2Titik 3
β
Kece
pata
n Ra
ta-R
ata
(m/s
)
Grafik 5.10Kondisi B Seri
Pada kondisi B juga titik 3 memiliki kecepatan yang lebih besar dari titik 2,
pada kondisi ini selain faktor belokan dan regulator, pemasangan booster juga
ikut mempengaruhi kecepatan aliran udara.
5.6 Pengaruh Belokan Terhadap Kondisi Aliran Udara Terhadap
Debit Kondisi A dan B Rangkaian Seri
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
Titik 2Titik 3
β
Deb
it (m
3/s)
Grafik 5.11Kondisi A Seri
Dari grafik diatas debit udara yang mengalir dari titik 2 ke titik 3
cenderung menaik dengan selisih cukup besar, hal tersebut dikarenakan oleh
pengaruh belokan yang mengakibatkan turbulensi udara pada duct.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0.18
0.2
Titik 2Titik 3
β
Deb
it (m
3/s)
Grafik 5.12Kondisi B Seri
Pada kondisi yang ditambahkan booster, belokan masih mempengaruhi
debit udara pada titik 2 dan titik 3, tetapi selisihnya tidak terlalu jauh karena
pengaruh dari booster sehingga debit udara yang dialirkan oleh fan diimbangi
oleh hisapan dari booster yang disimpan di akhir duct.
5.7 Pengaruh Percabangan Terhadap Aliran Udara Pada Head
Kondisi A dan B Rangkaian Paralel
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
Titik 3 HTTitik 3 HSTitik 3 HVTitik 4 HTTitik 4 HSTitik 4 HVTitik 5 HTTitik 5 HSTitik 5 HV
β
Head
Rat
a-Ra
ta (m
m)
Grafik 5.13Kondisi A Pararel
pada titik 3 yang memiliki tekanan paling besar tetapi dengan selisih yang
tidak terlalu jauh dikarenakan oleh titik tiga yang merupakan titik sebelum
terjadinya percabangan yang membagi 2 aliran udara.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
Titik 3 HTTitik 3 HSTitik 3 HVTitik 4 HTTitik 4 HSTitik 4 HVTitik 5 HTTitik 5 HSTitik 5 HV
β
Hea
d Ra
ta-R
ata
(mm
)
Grafik 5.14Kondisi B Pararel
Pada kondisi ini titik 5 merupakan titik yang memiliki tekanan udara paling
besar, hal tersebut dikarenakan pada titik 5 merupakan gabungan dari 2
percabangan titik 3 dan 4 serta dibantu oleh booster yang meningkatkan tekanan
udara dalam duct.
5.8 Pengaruh Percabangan Terhadap Aliran Udara Pada Velocity
Kondisi A dan B Rangkaian Paralel
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Titik 3Titik 4Titik 5
β
Kece
pata
n Ra
ta-R
ata
(m/s
)
Grafik 5.15Kondisi A Pararel
Dari grafik diatas terlihat kecepatan udara pada titik 3 dan 4 cenderung
lebih kecil dibandingkan dengan titik 5, hal tersebut dikarenakan titik 3 dan 4
merupakan titik percabangan yang membagi dua aliran udara, sehingga
kecepatan aliran udara berkurang di kedua titik tersebut.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
1
2
3
4
5
6
Titik 3Titik 4Titik 5
β
Kece
pata
n Ra
ta-R
ata
(m/s
)
Grafik 5.16Kondisi B Pararel
Pada kondisi B yang dapat dilihat dari grafik diatas, grafik dari kecepatan
aliran udara cenderung menurun tetapi stabil karena semua titik hampir sama
kecepatannya di akhir meskipun terdapat percabanga, hal tersebut dikarenakan
penambahan booster yang menjadikan aliran udara dalam duct menjadi lebih
stabil.
5.9 Pengaruh Percabangan Terhadap Aliran Udara Pada Debit
Kondisi A dan B Rangkaian Paralel
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
Titik 3Titik 4Titik 5
β
Debi
t (m
3/s)
Grafik 5.17Kondisi A Pararel
Dari grafik diatas debit udara pada titik 3 dan 4 cenderung lebih kecil dari
pada titik 5 karena titik tersebut merupakan sebuah percabangan, tetapi pada
titik 5 debitnya jauh lebih besar dari kedua titik sebelumnya karena pada titik
tersebut terjadi pertemuan aliran udara pada titik 4 dan aliran udara pad titik 5.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
Titik 3Titik 4Titik 5
β
De
bit
(m
3/s
)
Grafik 5.18Kondisi B Pararel
Pada grafik diatas kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi pada
grafik 16, mungkin kecepatan aliran berbanding lurus dengan debit udara dalam
duct, karena pada akhir grafik cenderung nilainya sama yang mungkin
merupakan pengaruh dari penambahan booster sehingga percabangan tidak
terlalu berpengaruh.
5.10 Pengaruh Pemakaian Regulator Pada Head Kondisi A
Rangkaian Seri
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Titik 4 HTTitik 4 HSTitik 4 HV
β
Head
Rat
a-Ra
ta (m
m)
Grafik 5.19Pengaruh Regulator Terhadap Head Kondisi A Seri
Dari grafik diatas maka dapat dilihat pengaruh dari pemasangan regulator
pada duct dengan adanya peningkatan tekanan pada tiap pergantian regulator,
semakin kecil lubang pada regulator maka semakin besar tahanan yang akan
menjadikan tekanan menjadi besar.
5.11 Pengaruh Pemakaian Regulator Pada Head Kondisi B
Rangkaian Seri
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
Titik 5 HTTitik 5 HSTitik 5 HV
β
Hea
d Ra
ta-R
ata
(mm
Air
)
Grafik 5.20Pengaruh Regulator Terhadap Head Kondisi B Seri
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa pemakaian regulator masih
menunjukan pengaruhnya meskipun dalam kondisi B yang telah ditambahkan
booster, pengaruh tersebut meningkatkan tekanan udara dalam duct, makin
besar thanan maka akan makin besar pula tekanan udaranya.
5.12 Pengaruh Pemakaian Regulator Pada Head Kondisi A
Rangkaian Paralel
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
Titik 4 HTTitik 4 HSTitik 4 HV
β
He
ad R
ata-
Rat
a (m
m)
Grafik 5.21Pengaruh Regulator Terhadap Head Kondisi A Paralel
Pada titik 4 rangkaian parallel, penambahan regulator keadaanya
berbanding terbalik dengan pada titik 5 rangkaian seri, justru dalam kondisi ini
tahanan semakin besar menjadikan tekanan pada titik 4 semakin kecil, hal
tersebut dikarenakan pemasangan regulatornya pada titik 3 sehingga aliran
udara langsung menuju ke titik 5 oleh sebab itu semakin besar tahanan akan
mengalirkan sedikit udara pada titik 4.
5.13 Pengaruh Pemakaian Regulator Pada Head Kondisi B
Rangkaian Paralel
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
Titik 4 HTTitik 4 HSTitik 4 HV
β
He
ad R
ata-
Rat
a (m
m)
Grafik 5.22Pengaruh Regulator Terhadap Head Kondisi B Paralel
Kondisi A yang cenderung menurun, pada grafik ini penambahan booster
justru semakin meningkatkan tekanan udara di titik 4, meskipun pada titik 4 HV
terlihat menurun. Pemasangan regulator pada kondisi memakai booster hanya
mempengaruhi sedikit terhadap titik 4.
5.14 Pengaruh Pemakaian Regulator Pada Velocity Kondisi A dan B
Rangkaian Seri
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Titik 5 ATitik 5 B
β
Ke
cep
atan
Rat
a-R
ata
(m/s
)
Grafik 5.23Pengaruh Regulator Terhadap Velocity Kondisi A dan B Seri
Pada kondisi A maupun kondisi B pemasangan regulator berpengaruh
pada kecepatan aliran udara, dari grafik diatas dapat dilihat semakin besar
tahanan maka semakin besar pula kecepatan aliraan udara, tetapi pada kondisi
A tahanan yang besar menunjukan penurunan meskipun telah terjadi kenaikan.
5.15 Pengaruh Pemakaian Regulator Pada Velocity Kondisi A dan B
Rangkaian Paralel
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
1
2
3
4
5
6
Titik 4 ATitik 4 B
β
Ke
cep
atan
Rat
a-R
ata
(m/s
)
Grafik 5.24Pengaruh Regulator Terhadap Velocity Kondisi A dan B Paralel
Terbalik dengan keadaan A, pada keadaan B pemasangan regulator
mempengaruhi dengan semakin besar tahanan maka semakin kecil kecepatan.
5.16 Pengaruh Pemakaian Regulator Pada Debit Kondisi A dan B
Rangkaian Seri
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
Titik 5
β
De
bit
(m
3/s
)
Grafik 5.25Pengaruh Regulator Terhadap Debit Kondisi A Seri
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa debit udara kondisinya sama
dengan kecepatan aliran udara, semakin besar tahanan yang diberikan oleh
regulator maka akan semakin besar pula debit udara yang masuk.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
Titik 5
β
Deb
it (m
3/s)
Grafik 5.26Pengaruh Regulator Terhadap Debit Kondisi B Seri
Dilihat dari grafik diatas, penambahan booster tidak terlalu berpengaruh
karena kondisinya hampir sama dengan pada kondisi A yang tidak memakai
booster, dimungkinkan karena kondisi duct yang kurang bagus, sudah terjadi
banyak kebocoran.
5.17 Pengaruh Pemakaian Regulator Pada Debit Kondisi A dan B
Rangkaian Paralel
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
Titik 4
β
Deb
it (m
3/s)
Grafik 5.27Pengaruh Regulator Terhadap Debit Kondisi A Paralel
Dapat dilihat bahwa debit udara yang dihasilkan akan semakin kecil jika
tahanan yang diberikan regulator semakin besar, karena titik 4 merupkan titik
yang tidak terlewati regulator karena posisi titik 4 merupakan percabangan
sehingga aliran udara terkonsentrasikan langsung di titik selanjutnya.
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
Titik 4
β
Deb
it (m
3/s)
Grafik 5.28Pengaruh Regulator Terhadap Debit Kondisi B Paralel
Seperti pada kondisi A yang tidak menggunakan booster, mungkin hal itu
terjadi karena hal masih sama yaitu pemakaian booster tidak terlalu berpengaruh
karena kondi duct-nya sudah banyak terdapat celah, sehinnga tekanan yang
dihasilkan booster berkurang.
5.18 Pengaruh Penambahan Booster Pada Kondisi A dan B
Rangkaian Seri
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
Titik 1 ATitik 2 ATitik 3 ATitik 5 ATitik 1 BTitik 2 BTitik 3 BTitik 5 B
β
Debi
t (m
3/s)
Grafik 5.29Pengaruh Pemasangan Booster Terhadap Kondisi A dan B Seri
Titik 1 B, yaitu debit udaranya paling besar dibandingkan yang lain, hal itu
disebabkan oleh masih dekatnya titik 1 B dengan fan serta penambhan tekanan
udara oleh booster yang menjadikan titik 1 B debitnya lebih besar daripada titik 1
A yang kondisinya tidak dipasangkan booster.
5.19 Pengaruh Penambahan Booster Pada Kondisi A dan B
Rangkaian Paralel
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.10
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
Titik 3 ATitik 4 ATitik 5 ATitik 3 BTitik 4 BTitik 5 B
β
De
bit
(m
3/s
)
Grafik 5.30Pengaruh Pemasangan Booster Terhadap Kondisi A dan B Paralel
Titik 5 B yang memiliki titik dimana debit udaranya paling besar
menandakan pengaruh pemasangan booster yang mengakibatkan tekanan
udara dan membuat debit udara manjadi besar meskipun pada tahanan yang
lebih besar menunjukan penurunan yang dipengaruhi oleh regulator.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil Praktikum Ventilasi Tambang yang dilakukan di Laboratorium
Tambang, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengaturan udara terhadap kelembaban relative adalah suatu hal yang
berpengaruh dikarenakan kelembaban relative itu dipengaruhi oleh
tempertur udara kering dan basah di dalam duct, pengaturan bertujuan
mengatur kelembaban relative dalam duct yang bisa diterima oleh manusia
demi kenyamanan dalam front kerja tambang.
2. Percabangan terhadap kondisi aliran udara berpengaruh besar dikarenakan
udara yang masuk sebelum terbagi menjadi beberapa cabang akan
mempengaruhi kecepatan aliran udara yang secara otomatis
mempengaruhi pola aliran udara dalam duct, semakin kecil kecepatan
udara yang ditetapkanolehreynoldmakaaliranudaraakanmenjadi laminar,
makadibutuhkan booster untuk mempercepat aliran udara untuk membuat
aliran udara menjadi turbulens.
3. Belokan mempengaruhi pola aliran udara dikarenakan pada belokan akan
menimbulkan gesekan dari udara terhadap material penyusundari duct,
yang akan mengakibatkan kecepatan alir mejadi melemah yang
berimbasakan berubahnya pola aliran udara yang mungkin tadinya
turbulens menjadi transisi, atau yang transisi menjadi laminar.
4. Pola aliran setiap titik sangatlah berbeda – beda dikarenakan setiap titik
memiliki karakteristik daerah tertentu, ada titik yang dekat percabangan,
ada juga titik yang berada didekat belokan ataumungkin titik tersebut
memiliki dimensi ukuran yang berbeda, yang nantinya akan berpengaruh
terhadap pola aliran udara yang terjadi dalam duct.
5. Penambahan booster dalam duct bertujuan untuk menaikan kecepatan
udara yang nantinya akan merubah kondisi aliran udara yang tadinya udara
tersebut beraliran rendah dan berarus laminar bisa menjadi aliran transisi
dan bahkan turbulensi, karena aliran udara dalam duct baik itu laminar,
transisi dan itu turbulensi sangat dipengaruhi oleh kecepatan aliran.
6.2 Saran
Saran yang dapat saya berikan demi peningkatan kualitas pelaksanaan
Praktikum Ventilasi Tambang adalah pada media pengamatan ( duct ) perlu
diadakanya perbaikan dikarenakan sangat banyak titik kebocoran yang nantinya
akan mempengaruhi dari pola aliran udara dalam duct, sehingga dalam
praktikum ini didapat beberapa aliran yang laminar yang notabenya kurang
bagus untuk system ventilasi yang mengharuskan suatu aliran udara dalam duct
adalah turbulens.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Assisten. 2012/2013. “Diktat Penuntun Praktikum Ventilasi Tambang”.
Laboratorium Tambang, Universitas Islam Bandung : Bandung.