Edit_opini Berat Badan Lahir Rendah

3
Menyelamat kan Generasi Bangsa Demsa Simbolon  Dosen Poltekkes Kemenkes Bengkulu dan Pen gurus Pusat Perhimpunan Sarjana Kesehatan  Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 merilis 10,2% bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) berat lahir < 2500 gram, dengan variasi yang sangat lebar antar  propinsi. Prevalensi terendah di Sumatera Utara (7,2%) sampai yang tertinggi di Sulawesi Tengah (16,9%). Prevalensi ini tidak berbeda jauh dari laporan RISKESDAS 2010 yang  berada pada angka 11,1%. Untuk pertama kali RISKESDAS 2013 juga melaporkan data  panjang lahir, dimana terdapat 20,2% bayi lahir dengan kategori pendek ( panjang lahir < 48 cm) dengan prevelansi tertinggi di Nusa Tenggara Timur (28,7%) dan terendah di Bali (9,6%). Kondisi ini bahkan lebih buruk bila dibandingkan dari hasil-hasil survei sebelumnya, Mengapa berat lahir menjadi penting?. Berat lahir yang normal menjadi titik awal yang baik bagi proses tumbuh kembang setelah lahir, serta petunjuk awal kualitas hidup selanjutnya. Faktor Risiko BBLR Di negara maju, bayi BBLR adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang  bulan (  premature), sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia sebagian besar bayi BBLR adalah bayi yang mengalami retardasi pertumbuhan masa janin (IUGR), yaitu bayi dengan umur kehamilan cukup bulan tetapi berat lahir kurang dari 2500 gram yang  berkontribusi besar terhadap berbagai masalah kesehatan dalam daur hidup berikutnya. Penyebab retardasi pertumbuhan ini berupa kelainan kongenital, insufisiensi plasenta, ibu dengan gizi kurang ataupun penyakit. Sementara umumnya kelahiran bayi yang mengalami retardasi pertumbuhan masa janin dapat dicegah dengan perbaikan sosial ekonomi, karena  berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah yang berdampak pada tidak terpenuhinya gizi ibu pra hamil dan selama hamil. Konsekuensi BBLR BBLR memiliki dampak yang besar terhadap morbiditas, mortalitas, penyakit infeksi,  perkembangan anak, kekurangan berat badan dan tinggi badan di awal periode neonatal sampai dewasa. Pola umum penyebab kematian neonatal di Indonesia tidak terlalu jauh  berbeda dengan pola penyebab utama kematian neonatal di dunia, yaitu prematuritas dan

Transcript of Edit_opini Berat Badan Lahir Rendah

Menyelamatkan Generasi Bangsa Demsa SimbolonDosen Poltekkes Kemenkes Bengkulu dan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI)

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 merilis 10,2% bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) berat lahir < 2500 gram, dengan variasi yang sangat lebar antar propinsi. Prevalensi terendah di Sumatera Utara (7,2%) sampai yang tertinggi di Sulawesi Tengah (16,9%). Prevalensi ini tidak berbeda jauh dari laporan RISKESDAS 2010 yang berada pada angka 11,1%. Untuk pertama kali RISKESDAS 2013 juga melaporkan data panjang lahir, dimana terdapat 20,2% bayi lahir dengan kategori pendek (panjang lahir < 48 cm) dengan prevelansi tertinggi di Nusa Tenggara Timur (28,7%) dan terendah di Bali (9,6%). Kondisi ini bahkan lebih buruk bila dibandingkan dari hasil-hasil survei sebelumnya, Mengapa berat lahir menjadi penting?. Berat lahir yang normal menjadi titik awal yang baik bagi proses tumbuh kembang setelah lahir, serta petunjuk awal kualitas hidup selanjutnya.

Faktor Risiko BBLRDi negara maju, bayi BBLR adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang bulan (premature), sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia sebagian besar bayi BBLR adalah bayi yang mengalami retardasi pertumbuhan masa janin (IUGR), yaitu bayi dengan umur kehamilan cukup bulan tetapi berat lahir kurang dari 2500 gram yang berkontribusi besar terhadap berbagai masalah kesehatan dalam daur hidup berikutnya. Penyebab retardasi pertumbuhan ini berupa kelainan kongenital, insufisiensi plasenta, ibu dengan gizi kurang ataupun penyakit. Sementara umumnya kelahiran bayi yang mengalami retardasi pertumbuhan masa janin dapat dicegah dengan perbaikan sosial ekonomi, karena berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah yang berdampak pada tidak terpenuhinya gizi ibu pra hamil dan selama hamil.

Konsekuensi BBLRBBLR memiliki dampak yang besar terhadap morbiditas, mortalitas, penyakit infeksi, perkembangan anak, kekurangan berat badan dan tinggi badan di awal periode neonatal sampai dewasa. Pola umum penyebab kematian neonatal di Indonesia tidak terlalu jauh berbeda dengan pola penyebab utama kematian neonatal di dunia, yaitu prematuritas dan BBLR (27%), asfiksia (23%), sepsis/pneumonia (26%), tetanus (7%), diare (3%) dan kelainan kongenital (7%). Analisis lanjut data RISKESDAS 2010 menemukan bahwa pada kasus kematian neonatal dini (0-7 hari) 23,61% dikontribusi dari bayi BBLR. Hal ini menunjukkan bahwa masa awal kehidupan bayi menjadi masa yang kritis bagi bayi yang berisiko tinggi untuk dapat bertahan hidup. BBLR juga berpengaruh pada peningkatan penyakit kronis. Hubungan antara gangguan gizi pada masa janin terhadap risiko menderita penyakit kronis pada masa dewasa pertama kali dikemukakan oleh Barker (1986) dengan Fetal Origin of Adult Disease Hypothesis (FOAD) menyatakan bahwa jika terjadi gangguan atau masalah kurang gizi pada saat masih janin, yaitu pada masa pertengahan dan akhir kehamilan maka akan mempunyai risiko tinggi untuk menderita sindroma metabolik, tekanan darah tinggi, non insulin diabetes mellitus, stroke, dan penyakit jantung koroner pada saat dewasa.

Implikasi Kebijakan Kesehatan MasyarakatKonsekuensi BBLR yang luas dalam daur kehidupan memaksa para pembuat kebijakan untuk memfokuskan intervensi segera. Di negara berkembang termasuk Indonesia, sekitar 77,4% bayi BBLR di Indonesia karena retardasi pertumbuhan janin, hanya 23,6% bayi BBLR di Indonesia karena preterm . Berkaitan dengan angka ini, maka upaya intervensi BBLR harus di fokuskan pada upaya promotif dan preventif. Program intervensi perlu diintegrasikan dengan kegiatan pemantauan gizi dan kesehatan ibu, bahkan jauh sebelum menjadi ibu yaitu pada usia remaja. Perlu upaya peningkatan pendidikan dan pengetahuan ibu berkaitan dengan perbaikan status gizi remaja perempuan dan ibu prakonsepsi dan selama hamil. Penundaan usia remaja menikah, pengaturan jarak kelahiran dan jumlah anak, penanganan segera pada komplikasi kehamilan dan persalinan, dan yang terpenting adalah perbaikan status social ekonomi masyarakat. Pada anak yang terlanjur lahir dengan kondisi BBLR atau usia kehamilan kurang bulan perlu program pemantauan pertumbuhan sejak lahir sampai remaja, karena bayi lahir kurang bulan dan BBLR konsekuensinya terus berlanjut. Pemantauan pertumbuhan anak secara teratur sejak balita di fasilitas kesehatan sampai remaja akan dapat mempertahan sehingga status gizi dan kesehatan anak dapat dipertahankan tetap dalam keadaan baik, memperbaiki pola pemberian makanan pada anak untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang sejak balita sampai remaja, sehingga ibu/pengasuh tidak hanya memfokuskan pada pemberian makanan untuk mengejar pertumbuhan berat badan yang justru bila kuantitasnya tidak tepat dapat menjadi faktor risiko gemuk/obesitas pada usia berikutnya. Permasalahan lain adalah keakuratan dalam menentukan usia kehamilan, karena usia kehamilan juga berkaitan dengan BBLR. Umur kehamilan menjadi hal yang penting karena kegagalan dalam memperhitungkan umur gestasional menjadi dominan dan problem utama dalam intervensi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pembuat keputusan pada klinik serta pada tingkat kesehatan masyarakat. Namun seringkali menentukan usia kehamilan yang benar dengan akurasi tinggi menjadi kelemahan tenaga kesehatan dalam memeriksa kehamilan dan menolong persalinan. Diharapkan setiap kunjungan pemeriksaan kehamilan perlu dilakukan pemeriksaan klinis secara cermat untuk menentukan usia kehamilan yang akurat dan menilai pertumbuhan janin dengan alat diagnostik yang tepat. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan umur kehamilan diantaranya menstruasi terakhir, ukuran rahim, time of quickening (gerakan kencang di perut ibu yang disebabkan oleh aktivitas janin yang dirasakan oleh ibu untuk pertama kalinya), dan pengukuran USG awal digunakan untuk menentukan usia kehamilan yang lebih akurat. Kendala yang dihadapi adalah keterbatasan tenaga kesehatan professional dan sarana yang menunjang untuk dapat menentukan akurasi penentuan umur kehamilan. Dalam hal ini pemerintah berperan besar untuk membuat kebijakan dalam penyediaan dan pendistribusian tenaga kesehatan profesional dan sarana diagnostik yang memadai.