COST OF QUALITY

79

Click here to load reader

Transcript of COST OF QUALITY

Page 1: COST OF QUALITY

MENGENAL COST OF QUALITY

(Oleh Okasatria Novyanto)

Andaikan Anda seorang penjual Bakso Sapi yang baru pertama kali menekuni usaha tersebut, apa yang tersirat dalam benak anda?

Saya yakin dari sekian banyak angan-angan, misalnya : banyak pelanggannya, rasa yang nikmat, tempat usaha yang permanent dan strategis, harga

yang terjangkau, dll. Faktor biaya (faktor ekonomi) akan menjadi skala prioritas yang utama untuk dipikirkan dan sangat jarang sekali seorang penjual

Bakso Sapi akan menempatkan motivasi membuka lapangan pekerjaan (faktor sosial) sebagai urutan pertama diatas faktor biaya.

Lantas tentunya akan timbul sebuah pertanyaan, Mengapa faktor biaya perlu dipikirkan?

Secara umum, faktor biaya merupakan “Jantung” dari kelangsungan suatu usaha atau organisasi. Dengan kita mengetahui keseluruhan biaya yang

dikeluarkan maka kita dapat menentukan :

1. Berapa laba usaha yang kita peroleh

2. Strategi-strategi dan perbaikan kinerja organisasi (usaha) yang perlu dilakukan

3. Bagaimana kita meningkatkan nilai tambah pada pelanggan

4. dll.

Nah, pada pembahasan sederhana berikut ini, kita akan mencoba membicarakan lebih dalam lagi mengenai “biaya” yang saya rangkum dalam

pembahasan tentang Cost of Quality.

Definisi

Secara umum Cost of Quality terdiri atas 2 buah elemen biaya penting, yakni : Biaya kesesuaian Mutu dan Biaya-biaya ketidaksesuaian Mutu. Biaya

kesesuaian Mutu ialah Biaya yang diperlukan untuk memproduksi dengan benar suatu produk ataupun jasa pertama kali, umumnya biaya kesesuaian

mutu ditentukan dengan perhitungan secara matematis yang mencakup biaya produksi, man power, laba yang dikehendaki, dll. Sedang biaya-biaya

ketidaksesuaian mutu ialah biaya- biaya yang dikeluarkan karena pengendalian mutu yang tidak baik, misalnya : biaya yang harus dikeluarkan karena

adanya sorting produk, biaya punishment dari customer (akibat customer complaint), dll.

Konsep Dasar Biaya

1. Prinsip Biaya Plus (Harga Jual = Biaya + Laba) – Pada konsep ini, elemen biaya tidak mengalami perubahan (tetap atau berupa garis lurus) sedang

elemen harga jual jutru mengalami kenaikan akibatnya terjadi peningkatan laba yang signifikan.

2. Prinsip Penurunan Biaya (Laba = Harga Jual – Biaya) – Pada konsep

ini, elemen harga jual tidak mengalami perubahan (tetap dan berupa garis lurus) sedang elemen biaya-lah yang mengalami penurunan akibatnya

terjadi peningkatan perolehan laba yang signifikan. Pentingnya

Pengukuran Biaya

Umpama Anda seorang QA Supervisor, pernahkah anda melakukan pengukuran Cost of Quality? James Harrington mengatakan bahwa Measurement

is the first step that leads to control and eventually to improvement. If you can’t measure something you can’t understand it. If you can’t understand it,

can’t control it. If you can’t control it, you can’t improve it. Atau secara bebas dapat diartikan bahwa pengukuran adalah langkah awal menuju

pengendalian dan pada gilirannya penningkatan. Bila anda tidak dapat mengukur sesuatu, Anda tidak dapat memahaminya. Bila anda tidak

memahaminya, Anda tidak dapat mengendalikannya. Bila Anda tidak dapat mengendalikannya, Anda tidak dapat meningkatkannya (James

Harrington)

Sekedar informasi untuk anda bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh The American Productivity and Quality Center dengan lokasi

penelitian di USA, Australia dan Eropa menyebutkan :

1. Cost of quality di Industri manufaktur besarnya sekitar 15-20% dari sales turn over.

2. Cost of quality di sektor jasa besarnya sekitar 20-45% dari total biaya operasional.

Tuntutan terhadap Cost Of Quality (COQ)

1. Military Standard (MIL-Q-9858A) - Departement Pertahanan USA- Memelihara dan mengguunakan data biaya mutu sebagai eleman dari program

Page 2: COST OF QUALITY

mutu bagi managemen. Data ini harus mengidentifikasi biaya pencegahan dan biaya perbaikan dari produk pasokan yang tidak sesuai (Misalnya :

karyawan dan bahan baku yang terbuang akibat kurangnya pengendalian mutu oleh pemasok).

2. Military Standard MIL-STD-1520C - Tindakan Koreksi dan Disposisi untuk Bahan Baku yang Tidak Sesuai -.…Scarp, pengerjaan ulang, perbaikan,

digunakan apa adanya dan pengendalian bahan baku merupakan biaya pemasok dan ditambah biaya lainnya yang ditentukan.

Hubungannya dengan ISO : 9000

1. ISO 9004:1994 Bagian 3

Biaya mutu Operasional :

a. Biaya Pencegahan dan Pemeriksaan

b. Biaya kesalahan : Kesalahan Internal dan kesalahan External

c. Biaya jaminan mutu external

d. Manajemen kelayakan

e. Ekonomis : biaya mutu, tujuan utama laporan biaya mutu adalah untuk menentukan efektivitas sistem manajemen mutu untuk program peningkatan

berkesinambungan.

2. ISO 9004:2000 6.8

a. … manajemen harus mempertimbangkan pengembangan pendekatan keuangan yang inovatif untuk mendukung dan memotivasi peningkatan.

b. Efektifitas dan efisiensi dari sistem manajemen mutu dapat mempengaruhi keuangan organisasi, contohnya : Internal, melalui kesalahan produk dan

proses atau buangan dari bahan baku dan waktu dan Eksternal, melalui kesalahan produk, biaya kompensasi dan jaminan dan biaya kehilangan

pelanggan dan pasar.

c. Pelaporan hal-hal tersebut dapat memberikan masukan tentang proses yang tidak efektif dan tidak efesien dan mendorang tindakan perbaikan.

d. Laporan keuangan mengenai kinerja sistem manajemen mutu seharusnya digunakan dalam tinjauan manajemen.

Elemen-elemen dari Cost Of Quality

Pembagian dari Cost Of Quality

Prevention Cost

Beberapa contoh dalam Prevention Cost, misalnya :

1. Quality Planning

2. New Product Review

3. Process Planning

4. Process Capability Analysis

5. Quality Audit

6. Vendor Quality Evaluation

7. Vendor Technical Support

8. Quality Training and Education

Appraisal Cost

Beberapa contoh dari Appraisal Cost, misalnya :

a. Receiving Inspection (Incoming Inspection dan IPQ Inspection)

b. In-Process and Final Inspection

c. Material Consumed for Inspection dan Test

d. Inspection dan Test Reporting

e. Field performance Testing

Page 3: COST OF QUALITY

f. Approvals and endorsements by Outside Authorities

Internal Failure Cost

Beberapa contoh dari Internal Failure Cost, misalnya :

1. Scrap

2. Rework and repair

3. Diagnosis of Non corformance

4. Failed item disposition Determination

5. Re-Inspection and re-test

6. Downgrading

7. Downtime due to Quality Problem

External Failure Cost

Beberapa contoh dari External Failure Cost, misalnya :

a. Waranty Charges

b. Customer Complaints Adjusment

c. Product Liability Claim

d. Product Recalls

e. Allowence

f. Investigation of Customer complaints

g. Test and Repair

Strategi Penggunaan Cost of Quality (COQ)

1. Tentukan sasaran pada biaya kesalahan yang besar

2. Invest pada tindakan pencegahan untuk menurunkan biaya kesalahan

3. Turunkan biaya pemeriksaan tergantung hasil yang dicapai

4. Evaluasi secara terus menerus tindakan pencegahan untuk mendapatkan keuntungan peningkatan lebih lanjut

5. Setiap kesalahan pasti ada sumber masalahnya

6. Sumber masalah dapat dicegah

7. Pencegahan selalu lebih murah

Page 4: COST OF QUALITY

Tahap-tahapa Penerapan Cost of Quality (COQ)

a. Mendapakan komitmen dan dukungan Top Manajemen.

b. Membentuk tim COQ (jika diperlukan).

c. Mengidentifikasi item-item COQ.

d. Menentukan sumber informasi COQ.

e. Menentukan kode biaya dan merancang laporan COQ.

f. Menyimpan prosedur-prosedur COQ.

g. Mengumpulkan dan melaporkan COQ.

h. Menganalisa COQ.

i. Meningkatkan mutu dan menurunkan biaya.

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk Cost of Quality (COQ)

1. Mempunyai tujuan dan strategi yang jelas untuk penerapan COQ.

2. Melaporkan biaya hanya setelah diverifikasi oleh bagian keuangan.

3. Memulai dari biaya mutu yang non-comformance

4. Mengumpulkan data-data COQ yang paling dapat diakses

5. Konsentrasi pada biaya-biaya yang dapat diubah dengan peningkatan

Hal-hal yang jangan dilakukan untuk Cost of Quality (COQ)

a. Hanya Sendirian. Usahakan selalu melibatkan juga bagian yang terkait.

b. Terlampau ambisius. Cobalah dengan memulai dari penelitian awal

c. Mengharap terlalu banyak pada fase awal penerapan sistem COQ.

d. Terlalu fokus pada biaya mutu yang tidak signifikan.

e. Konsentrasi hanya pada biaya yang telah diketahui.

Posted by Okasatria Novyanto at 9:53 PM http://okasatria.blogspot.com/2008/01/mengenal-cost-of-quality-coq.html

INTRODUCTION OF TQM (TOTAL QUALITY MANAGEMENT)

(Written by Okasatria Novyanto)

Definition

On ISO 8402:1994, TQM (Total Quality Management) is defined as a management approach of an organization centered on quality, based on the

participation of all its members and aiming at long-term success. This is achieved through customer satisfaction and benefits to all members of the

organization and to society.

In other words, TQM is a philosophy for managing an organization in a way, which enables it to meet stakeholder needs and expectations efficiently

and effectively, without compromising ethical values.

TQM also can be defined as a way of thinking about goals, organizations, processes and people to ensure that the right things are done right first time.

This thought process can change attitudes, behavior and hence results for the better.

Note : TQM is not a system, a tool or even a process but systems, tools and processes are resources to achieve the various principles of TQM.

Scope of TQM

The total in TQM applies to the whole organization. Therefore, unlike an ISO 9000 initiative, which may be limited to the processes producing

deliverable products, TQM applies to every activity in the organization. Also, unlike ISO 9000, TQM covers the soft issues such as ethics, attitude and

culture.

Philosophy of TQM

There are several ways of expressing this philosophy. There are also several “gurus” whose influence on management thought in this area has been

Page 5: COST OF QUALITY

considerable, for example Deming, Juran, Crosby, Feigenbaum, Ishikawa and Imai. The wisdom of these “gurus” has been distilled into eight principles

defined in ISO 9000:2000. The principles of quality management :

1.Customer-focused organization - Organizations depend on their customers and therefore should understand current and future customer needs,

meet customer requirements and strive to exceed customer expectations 

2.Leadership - Leaders establish unity of purpose, direction and the internal environment of the organization. They create the environment in which

people can become fully involved in achieving the organization’s objectives 

3.Involvement of people - People at all levels are the essence of an organization and their full involvement enables their abilities to be used for the

organization’s benefit 

4.Process approach - A desired resul is achieved more efficiently when related resources and activities are managed as a process 

5.System approach to management - Identifying, understanding and managing a system of interrelated processes for a given objective contributes to

the effectiveness and efficiency of the organization 

6.Continual improvement - Continual improvement is a permanent objective of an organization 

7.Factual approach to decision making - Effective decisions are based on the logical and intuitive analysis of data and information 

8.Mutually beneficial supplier relationships - Mutually beneficial relationships between the organization and its suppliers enhance the ability of both

organizations to create value 

The Relationship Between TQM and EQA

The European Quality Award (EQA) model is used to assess business excellence. Business excellence is the result of adopting a TQM philosophy and

realigning the organization towards satisfying all stakeholders (customers, owners, shareholders, suppliers, employees and society). The quality

awards criteria offers measures of performance rather than a methodology.

The Reason TQM is Adopted

1. TQM will make an organization more competitive

2. It will establish a new culture, which will enable growth and longevity

3. TQM will provide a working environment in which everyone can succeed

4. It will reduce stress, waste and friction

5. TQM will build teams, partnerships and cooperation

Note : TQM can be adopted at any time after executive management has seen the error of its ways, opened its mind and embraced the philosophy. It

cannot be attempted if management perceives it as a quick fix, or a tool to improve worker performance.

The Fundamental Questions

The first steps in order to focus all efforts in any TQM initiative and to yield permanent benefits, a company must answer some fundamental questions

below :

a. What is its purpose as a business?

b. What is its vision for the business?

c. What is its mission?

d. What are the factors upon which achievement of its mission depends?

e. What are its values?

f. What are its objectives?

Note : A good way to accomplish this is to take top management off site for a day or two for a brainstorming session. Until management shares the

same answers to these questions and has communicated them to the workforce there can be not guarantee that the changes made will propel the

organization in the right direction.

Methodology of TQM

There are a number of approaches to take towards adopting the TQM philosophy. The teachings of Deeming, Juran, Taguchi, Ishikawa, Imai, Oakland,

etc. Can help (all) an organization realign itself and embrace the TQM philosophy. However, there is not single methodology, only a bundle of tools and

techniques.

TQM’s Tools that is Needed

To Support TQM activity, some of tool is needed, for example :

1. Flowchart

2. Statistical process control (SPC)

3. Parrot analysis

4. Cause and effect diagrams

5. Employee and customer surveys

6. Etc.

TQM’s Techniques that is Needed

To Support TQM activity, some of technique is needed, for example :

a. Benchmarking

b. Cost of quality

c. Quality function deployment

d. Failure mode effects analysis

e. Design of experiments

f. Measurements

g. Etc.

Note : After using the tools and techniques an organization needs to establish the degree of improvement. Any number of techniques can be used for

this including self-assessment, audits and SPC.

Pitfalls of TQM

Page 6: COST OF QUALITY

TQM initiatives have been prone to failure because of common mistakes. These include :

1. Allowing external forces and events to drive a TQM initiative

2. An overwhelming desire for quality awards and certificates

3. Organizing and perceiving TQM activities as separate from day-to-day work responsibilities

4. Treating TQM as an add-on with little attention given to the required changes in organization and culture

5. Senior management underestimating the necessary commitment to TQM

http://okasatria.blogspot.com/2008/01/introduction-of-tqm.html

ADVANCED PRODUCT QUALITY PLANNING (APQP)

(Written By Okasatria Novyanto)

In Generally Manufacturing Industry, maybe you will recognize with therminology of APQP or Advance Product Quality Planning. In Indonesia, [on my

understanding] that all of Automotive Company already had applicated APQP Program. But actually, APQP is not only for Automotive Industry. APQP

also suitable for Electronics Industry, Metal Industry, etc.

Introduction 

As Etimology, APQP consist of words : Advance(Kelanjutan) – Product (Produk) – Quality (Kualitas) – Planning (Perencanaan).

And as Epistimology, APQP is defined as a framework of procedures and techniques used to develop products in industry, particularly the automotive

industry. APQP is a ‘defined’ process for a product development system for General Motors, Ford, Chrysler and their suppliers. 

Product Quality Planning is a structured method of defining and establishing the steps necessary to assure that a product satisfies the customer. The

goal of product quality planning is to facilitate communication with everyone involved to assure that all required steps are completed on time.

The classic reason that will be asked to you if you presented APQP in your company is “What is the benifits for our Company?”. Some of the benifits of

APQP are : 

1. To direct resources to satisfy the customer.

2. To promote early identification of required changes. 

3. To provide a quality product on time at the lowest cost. 

4. To avoid late changes.

The Fundamentals of APQP 

Just for your notification that the actual timing and sequence of execution is dependent on customer needs and expectations and or the other practical

matters. It’s more better if the earlier a work practice, tool and or analytical technique can be implemented in the Product Quality Planning Cycle. 

Organize the Team 

Team coordination and solid team is one of sucess key factors of APQP implementation. The first step in Product Quality Planning is to assign

responsibility to a cross functional team. Effective product quality planning requires the involvement of more than just the quality department. In the

apllication time, the initial team should include representatives from engineering, manufacturing, supply chain management, quality control, sales, field

service, subcontractors and customer [If Needed]. 

Communication Team to Team 

The Team must establish lines of communication with other customer and supplier teams.

Simultaneous Engineering 

This is a process where cross functional teams strive for a common goal. It replaces the sequential series of phases where results are transmitted to

the next area for execution. 

Define the Scope 

Scope of APQP have to be defined before starting process. It is important for the Product Quality Planning Team in the earliest stage of the product

program to identify customer needs, expectations and requirements.

At a minimum, the team must :

a. Select a project team leader responsible for overseeing the planning process. 

b. Define the roles and responsibilities of each area represented. 

c. Identify the customers (internal and external).

d. Define customer requirements (It is recommended to use Quality Function Deployment - QFD). e. Select the disciplines, individuals and or

subcontractors that must be added to the team and those not required.

f. Understand customer expectations, for example : design, number of tests.

g. Assess the feasibility of the proposed design, performance requirements and manufacturing process. 

h. Identify costs, timing, and constraints that must be considered.

i. Determine assistance required from the customer.

j. Identify documentation process or method. 

Training 

The success of a Product Quality Plan is dependent upon an effective training program that communicates all the requirements and development skills

to fulfill customer needs and expectations. 

Customer and Supplier Involvement

The primary customer may initiate the quality planning process with a supplier.

Page 7: COST OF QUALITY

Control Plans 

Control Plans are written descriptions of the systems for controlling parts and processes. Separate Control Plans cover three distinct phases : 

1. Prototype - A description of the dimensional measurements and material and performance tests that will occur during Prototype build. 

2. Pre-launch - A description of the dimensional measurements and material and performance tests that will occur after Prototype and before full

Production. 

3. Production - A comprehensive documentation of product/process characteristics, process controls, tests, and measurement systems that will occur

during mass production. 

Concern Resolution 

During the planning process, the team will encounter product design and or processing concerns. These concerns should be documented on a matrix

with assigned responsibility and timing. 

Note : Disciplined problem-solving methods are recommended in difficult situations.

Product Quality Timing Plan

The Team’s first order of business following organizational activities should be the development of a Timing Plan. The type of product, complexity and

customer expectations should be considered in selecting the timing elements that must be planned and charted.

Note : A well-organized timing chart should list tasks, assignments, and or the other events.

The Timing Chart

The Phases of APQP

1. Plan and Define Program [Where do we want to go?]

2. Product Design and Development Verification [Can we design one?]

3. Process Design and Development Verification [Can we make one?]

4. Product and Process Validation [Proof of Phases 2 and 3]

5. Launch, Feedback, Assessment and Corrective Action [Production, Continuous Improvement, Prevent Recurrence]

The Activities of APQP

On APQP, there are five major activities :

1. Planning.

2. Product Design and Development.

3. Process Design and Development.

4. Product and Process Validation.

5. Production.

Target and Goal

The APQP Process

Page 8: COST OF QUALITY

Phase 1st of APQP – Plan adn Define Program

Input of Phase 1st

Voice of the Customer

The “Voice of the Customer” encompasses complaints, recommendations, data and information obtained from internal and or external

customers. Several methods for this are:

Market Research

The Team may need to obtain market research data and information reflecting the Voice of the Customer. The following sources can assist in

identifying customer concerns or wants and translating those concerns into product and process characteristics. The Sources of Market Researche

are :

1. Customer interviews.

2. Customer questionnaires and surveys.

3. Market test and positioning reports.

4. New product quality and reliability studies.

5. Competitive product quality studies.

6. Things Gone Right (TGR) reports.

Historical Warranty and Quality Information

A list of historical customer concerns or wants should be prepared to assess the potential for recurrence during the design, manufacture, installation

and use of the product. These should be considered as an extension of the other design requirements and included in the analysis of customer needs.

The Assisting Items are :

a. Things Gone Wrong (TGW) reports.

b. Warranty reports.

c. Capability indicators.

d. Supplier plant internal quality reports.

e. Problem resolution reports.

f. Customer plant returns and rejections.

g. Field return product analysis.

Team Experience

The Team may use any source of any information as appropriate, including :

1. Input from higher system level or past QFD projects.

2. Media commentary and analysis (magazine and newspaper reports, etc.)

3. Customer letters and suggestions.

4. TGR or TGW reports.

5. Dealer comments.

6. Fleet Operator’s comments.

7. Field service reports.

8. Internal evaluations using surrogate customers.

9. Road trips.

10. Management comments or direction.

11. Problems and issues reported from internal customers.

12. Government requirements and regulations.

13. Contract review.

Page 9: COST OF QUALITY

Business Plan or Marketing Strategy

The customer business plan and marketing strategy will set the framework for the product quality plan. The business plan may place constraints (e.g.,

timing, cost, investment, product positioning, R and D resources) on the team that affect the direction taken. The marketing strategy will define the

target customer, the key sales points, and key competitors.

Product or Process Benchmark Data

The use of Benchmarking will provide input to establishing product or process performance targets. One method to successful benchmarking is:

a. Identify the appropriate benchmarks.

b. Understand the reason for the gap between your current status and the benchmark.

c. Develop a plan to either close the gap, match the benchmark, or exceed the benchmark.

Product or Process Assumptions

There will be assumptions that the product has certain features, design, or process concepts. These include technical innovations, advanced materials,

reliability assessments, and new technology. All should be utilized as inputs.

Product Reliability Studies

This type of data considers frequency of repair or replacement of components within designated periods of time and the results of long-term

reliability/durability tests.

Customer Inputs

The next users of the product can provide valuable information relating to their needs and expectations. In addition, the next product users may have

already conducted some or all of the aforementioned reviews and studies. These inputs should be used by the customer and or supplier to develop

agreed upon measures of customer satisfaction.

Output of Phase 1st

Design Goals

Design goals are a translation of the Voice of the Customer into tentative and measurable design objectives. The proper selection of Design Goals

assures that the Voice of the Customer is not lost in subsequent design activity.

Reliability and Quality Goals

Reliability goals are established based on customer wants and expectations, program objectives and reliability benchmarks. Overall reliability goals

should be expressed in terms of probability and confidence limits.

Quality goals are targets based on continual improvement. Some examples are parts per million, defect levels, or scrap reduction.

Preliminary Bill of Material

The Team should establish a preliminary bill of material based on product/process assumptions and include an early subcontractor list. In order to

identify the preliminary special product/process characteristics it is necessary to have selected the appropriate design and manufacturing process.

Preliminary Process Flow Chart

The anticipated manufacturing process should be described using a process flow chart developed from the preliminary bill of material and

product/process assumptions.

Preliminary Listing of Special Product and Process Characteristics

Special product and process characteristics are identified by the customer in addition to those selected by the supplier through knowledge of the

product and process.

At this stage, the team should assure that a preliminary list of special product and process characteristics resulting from the analysis of the inputs

pertaining to customer needs and expectations is developed.

This listing could be developed from but is not limited to the following :

1. Product assumptions based on the analysis of customer needs and expectations.

2. Identification of reliability goals/requirements.

3. Identification of special process characteristics from the anticipated manufacturing process.

4. Similar part FMEAs.

Product Assurance Plan

This Plan translates design goals into design requirements. The Plan can be developed in any understandable format and should include, but is not

limited to the following actions :

a. Outlining of program requirements.

b. Identification of reliability, durability, and apportionment/allocation goals and/or requirements.

c. Assessment of new technology, complexity, materials, application, environment, packaging, service, and manufacturing requirements, or any other

factor that may place the program at risk.

d. Development of Failure Mode Analysis (FMA).

e. Development of preliminary engineering standards requirements.

Note : The Product Assurance Plan is an important part of the Product Quality Plan.

Management Support

One of the keys to the Team’s success is the interest, commitment and support of upper management. Participation by management in product quality

planning meetings is vital to ensuring the success of the program.

Phase 2nd of APQP – Product Design and Development Verification

Page 10: COST OF QUALITY

Output of Phase 2nd

Design Failure Mode and Effect Analysis

The DFMEA is a disciplined analytical technique that assesses the probability of failure as well as the effect of such failure.

A DFMEA is a living document continually updated as customer needs and expectations require.

Note : Preparing the DFMEA provides the team an opportunity to review the previously selected product and process characteristics and

make necessary additions, changes, and deletions.

DFMA is a Simultaneous Engineering process designed to optimize the relationship between design function, manufacturability, and ease of assembly.

At a minimum, the Team should consider :

1. Design, concept, function, and sensitivity to manufacturing variation.

2. Manufacturing and/or assembly process.

3. Dimensional tolerances.

4. Performance requirements.

5. Number of components.

6. Process adjustments.

7. Material handling.

Note : The Team’s knowledge, experience, the product or process, government regulations, and service requirements may require other factors to be

considered.

Design Verification

Design Verification verifies that the product design meets the customer requirements derived form activities described in Phase 1.

Design Reviews

The Design Review is an effective method to prevent problems and misunderstandings; it also provides a mechanism to monitor progress and report to

management.

Design Reviews are a series of verification activities that are more than an engineering inspection.

At a minimum, Design Reviews should include evaluation of :

a. Design or Functional requirement(s) considerations.

b. Formal reliability and confidence goals.

c. Component/subsystem/system duty cycles.

d. Computer simulation and bench test results.

e. DFMEA(s).

At a minimum, Design Reviews should include evaluation of :

1. Review of the Design for Manufacturability and Assembly effort.

2. Design of Experiments (DOE) and assembly build variation results.

3. Test failures.

4. Design Verification progress.

A major function of Design Reviews is the tracking of design verification progress. The company should track the progress through the use of a plan

and report format, referred to as Design Verification Plan and Report (DVP and R). The plan and report is a formal method to assure :

a. Design verification.

b. Product and process validation of components and assemblies through the application of a comprehensive test plan and report.

Prototype Build Control Plan

Prototype Control Plans are a description of the dimensional measurements and material and functional tests that will occur during prototype build. The

Team should ensure that a prototype control plan is prepared.

The manufacture of prototype parts provides an excellent opportunity for the team and the customer to evaluate how well the product or service meets

Voice of the Customer objectives. All prototypes should be reviewed to :

1. Assure that the product or service meets specification and report data as required.

2. Ensure that particular attention has been given to special product and process characteristics.

3. Use data and experience to establish preliminary process parameters and packaging requirements.

4. Communicate any concerns, deviations, and/or cost impact to the customer.

Engineering Drawings including Math Data

Engineering drawings may include special (governmental regulatory and safety) characteristics that must be shown on the control plan.

Page 11: COST OF QUALITY

Drawings should be reviewed to determine if there is sufficient information for a dimensional layout of the individual parts.

Control or datum surfaces or locators should be clearly identified so that appropriate functional gages and equipment can be designed for

ongoingcontrols.

Dimensions should be evaluated to assure feasibility and compatibility with industry manufacturing and measuring standards.

Note : If appropriate, the team should assure that math data is compatible with the customer’s system for effective communications.

Engineering Specifications

A detailed review and understanding of the controlling specifications will help the Team to identify the functional, durability and appearance

requirements of the subject component or assembly. Sample size, frequency, and acceptance criteria of these parameters are generally defined in the

in-process test section of the Engineering Specification.

Material Specifications

Material specifications should be reviewed for Special Characteristics relating to physical properties, performance, environmental, handling, and

storage requirements.

Drawing and Specification Changes

Where drawing and specification changes are required, the team must ensure that the changes are promptly communicated and properly documented

to all affected areas.

Phase 3rd of APQP – Process Design and Development Verification

Phase 4th of APQP – Product and Process Validation

Phase 5th of APQP – Launch, Feedback, Assessment and

Corrective Action

Control Plan Methodology - Advanced Product Quality Planning

(APQP)

Phase 1st

1. Determining customer needs, requirements and expectations using tools such as quality function deployment (QFD).

2. Review the entire quality planning process to enable the implementation of a quality program.

3. How to define and set the inputs and the outputs.

Phase 2nd

Page 12: COST OF QUALITY

Review the inputs and execute the outputs, which include FMEA, DFMA, design verification, design reviews, material and engineering specifications.

Phase 3rd

a. Addressing features for developing manufacturing systems and related control plans.

b. These tasks are dependent on the successful completion of phases 1 and 2.

c. Execute the outputs.

Phase 4th

1. Validation of the selected manufacturing process and its control mechanism through production run evaluation outlining mandatory production

conditions and requirements.

2. Identifying the required outputs.

Phase 5th

a. Focuses on reduced variation and continuous improvement.

b. Identifying outputs and links to customer expectations and future product program.

Additional Materials

Understand customer needs

This is done using voice of customer techniques to determine customer needs and using quality function deployment (QFD) to organize those needs

and translate them into product characteristics or requirements.

Proactive feedback and corrective action

The advance quality planning process provides feedback from other similar projects with the objective of developing counter-measures on the current

project. Other mechanisms with verification and validation, design reviews, analysis of customer feedback and warranty data also satisfy this objective.

Design within process capabilities

This objective assumes that the company has brought processes under statistical control, has determined its process capability and has communicated

it process capability to its development personnel.

Note: Once this is done, development personnel need to formally determine that critical or special characteristics are within the enterprise’s process

capability or initiate action to improve the process or acquire more capable equipment.

Analyze and mitigate failure modes

This is done using techniques such as failure modes and effects analysis or anticipatory failure determination.

Verification and validation

Design verification is testing to assure that the design outputs meet design input requirements. Design verification may include activities such as:

design reviews, performing alternate calculations, understanding tests and demonstrations, and review of design documents before release.

Validation is the process of ensuring that the product conforms to defined user needs, requirements, and or specifications under defined operating

conditions.

Design validation is performed on the final product design with parts that meet design intent.

Production validation is performed on the final product design with parts that meet design intent produced production processes intended for normal

production.

Design reviews

Design reviews are formal reviews conducted during the development of a product to assure that the requirements, concept, product or process

satisfies the requirements of that stage of development, the issues are understood, the risks are being managed, and there is a good business case for

development. Typical design reviews include:

1. Requirements review,

2. Concept or preliminary design review,

3. Final design review, and

4. A production readiness or launch review.

Control special or critical characteristics

Special or critical characteristics are identified through quality function deployment (QFD) or other similar structured method. Once these

characteristics are understood, and there is an assessment that the process is capable of meeting these characteristics (and their tolerances), the

process must be controlled.

A control plan is prepared to indicate how this will be achieved. Control plans provide a written description of systems used in minimizing product and

process variation including equipment, equipment set-up, processing, tooling, fixtures, material, preventive maintenance and methods.

The Elements

The APQP process has seven major elements :

a. Understanding the needs of the customer.

b. Proactive feedback and corrective action.

c. Designing within the process capabilities.

d. Analyzing and mitigating failure modes.

e. Verification and validation.

f. Design reviews.

g. Control special or critical characteristics.

Reference : Training Module of Sachbudi Abbas Ras, S.T., M.T.

(Head of INDONUSA Quality Center and INDONUSA Operations Research Center)

Posted by Okasatria Novyanto at 8:11 PM http://okasatria.blogspot.com/2008/01/advanced-product-quality-planning-apqp.html

Page 13: COST OF QUALITY

Cost of Quality

Written by Administrator   Friday, 12 June 2009 06:40

Menanggapi diskusi teman-teman professional Manajemen Mutu dalam milis QMS-Forum saya jadi terdorong untuk membuat tulisan ini. Cost of Quality (COQ) pertama sekali dipopulerkan oleh Philip Crosby dalam bukunya Total Quality Control. Beliau mengemukakan bahwa mutu memiliki konsekuensi biaya yakni: biaya untuk mengendalikan (cost of control) dan biaya karena kegagalan mengendalikan (cost of failure to control). Philip Crosby adalah pemikir manajemen mutu.  Beliau memang bukan pencetus six sigma, tetapi beliau melakukan penanganan atas kegagalan mutu secara cepat, langsung pada titik, dimana mutu seharusnya diciptakan.Setelah pensiun dari ITT dimana beliau menjabat sebagai vice-president selama 14 tahun, pada tahun 1991, beliau mendirikan perusahaan konsultan dan lembaga pendidikan di bidang mutu. Setelah pensiun sebagai tentara pasca PDII, beliau bekerja di pabrik dan setiap hari bergelut dengan lini perakitan (assembly line). Beliau wafat di bulan Agustus 2001, pada usia 75 tahun. Sebenarnya, pemikiran yang beliau ingin sampaikan adalah, bahwa begitu mahalnya harga yang harus dibayar apabila organisasi menghasilnya produk yang tidak bermutu (poor quality). Maka, bagian paling penting dari pemikiran beliau adalah “cost of poor quality” (COPQ). Setiap non-conformance atau defect atau kegagalan mutu akan membawa konsekuensi biaya. Inilah yang ingin beliau tanamkan di hati setiap insan. Maka beliau menulis buku yang berjudul “Quality is Free”, yang menyatakan bahwa untuk menghasilkan suatu produk yang berkualitas, tidak berarti diperlukan biaya yang besar, tetapi justru sebaliknya “free”. Berikut ini adalah philosophy yang prinsip yang beliau serukan dalam hal pengendalian mutu, yang beliau sebut sebagai “Four Absolutes of Quality Management”:1.      Quality is defined as conformance to requirements, not as 'goodness' or 'elegance'.

2.      The system for causing quality is prevention, not appraisal.

3.      The performance standard must be Zero Defects, not "that's close enough".

4.      The measurement of quality is the Price of Nonconformance, not indices.

Dari prinsip dasar (absolutes) di atas jelaslah bahwa mutu itu sebenarnya haruslah diukur dari sudut “harga yang harus dibayarkan” untuk kegagalan (nonconformance). Inilah yang dimaksud dengan “Cost of Poor Quality”.  Lebih dalam lagi, pada point 2, beliau menyebutkan bahwa system yang menghasilkan mutu adalah “pencegahan”, bukan “penilaian”.  Dalam hal ini, diperlukan perubahan mendasar dalam pola pikir

Page 14: COST OF QUALITY

tentang mutu dan kegagalan mutu. Bahwa “quality is free” akan menjadi kenyatakan jika maanjemen menciptakan suatu sistem yang dapat mencegah kegagalan. System tidak hanya berarti infrastruktur, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah pola pikir, sikap terhadap mutu. Maka pada point 3 di atas, Philip Crosby menegaskan bahwa standar kinerja adalah “zero defect”, sesuatu yang sempurna tanpa cacat. Prinsip “zero defect” harus menjadi sikap mental yang mendasari manajemen mutu. Oleh sebab itu pimpinan tertinggi di perusahaanlah yang harus menjadi orang pertama yang menerima dan menghargai prinsip ini. Kalau ini yang terjadi, maka COPQ dapat dihindari dan “quality is free” akan tercapai. Sesungguhnya, COPQ yang paling tinggi harganya bukanlah biaya material dan sumber daya lainnya (waktu, energi, pemikiran, opportunity cost, dll). Harga yang paling mahal adalah nama baik, yang konsekuensinya adalah tingkat kepercayaan konsumen dengan perusahaan. Bila persepsi konsumen terhadap perusahaan telah berubah semakin negatif, maka perusahaan berada dalam bahaya, karena future business tidak lagi bisa diharapkan. Yang paling buruk lagi adalah, bahwa nama perusahaan yang negatif ini cepat menyebar, dan calon konsumen atau konsumen lainpun akan menjauh. Saya menyebutnya sebagai “disaster of quality”, karena “image” perusahaan atau brand menjadi hancur berkeping-keping. Mengakhiri tulisan ini,  saya ingin sampaikan bahwa quality is free harus dimulai dari dalam. Zero defect dan excellence akan menjadi kenyataan jika hati anda memang benar-benar ada di situ, dan anda mendedikasikan diri untuk menjaga komitmen itu. Maka dengan sendirinya yang lain akan mengikuti dan “zero defect is free” akan menjadi kenyataan. And finally you are ready to enjoy your future success! Semoga bermanfaat.

http://www.indonesiaqualitylinks.co.cc/index.php?option=com_content&view=article&id=5:cost-of-quality&catid=2:quality-basics&Itemid=3

"The cost of quality."

It’s a term that's widely used – and widely misunderstood.

The "cost of quality" isn't the price of creating a quality product or service. It's the cost of NOT creating a quality product or service.

Every time work is redone, the cost of quality increases. Obvious examples include:

The reworking of a manufactured item.

Page 15: COST OF QUALITY

The retesting of an assembly.

The rebuilding of a tool.

The correction of a bank statement.

The reworking of a service, such as the reprocessing of a loan operation or the replacement of a food order in a restaurant.

In short, any cost that would not have been expended if quality were perfect contributes to the cost of quality.

Total Quality Costs

As the figure below shows, quality costs are the total of the cost incurred by:

Investing in the prevention of nonconformance to requirements.

Appraising a product or service for conformance to requirements.

Failing to meet requirements.

Quality Costs—general description

Prevention Costs

The costs of all activities specifically designed to prevent poor quality in products or services.

Examples are the costs of:

New product review

Quality planning

Supplier capability surveys

Process capability evaluations

Quality improvement team meetings

Quality improvement projects

Quality education and training

Appraisal Costs

The costs associated with measuring, evaluating or auditing products or services to assure conformance to quality standards and performance requirements.

These include the costs of:

Incoming and source inspection/test of purchased material

In-process and final inspection/test

Product, process or service audits

Calibration of measuring and test equipment

Associated supplies and materials

Failure Costs

The costs resulting from products or services not conforming to requirements or customer/user needs. Failure costs are divided into internal and external failure categories.

Internal Failure Costs

Failure costs occurring prior to delivery or shipment of the product, or the furnishing of a service, to the customer.

Examples are the costs of:

Scrap

Rework

Re-inspection

Re-testing

Material review

Downgrading

External Failure Costs

Failure costs occurring after delivery or shipment of the product — and during or after furnishing of a service — to the customer.

Examples are the costs of:

Processing customer complaints

Customer returns

Warranty claims

Product recalls

Total Quality Costs:

The sum of the above costs. This represents the difference between the actual cost of a product or service and what the reduced cost would be if there were no possibility of substandard service, failure of products or defects in their manufacture.

Excerpted from the ASQ Quality Costs Committee,Principles of Quality Costs: Principles, Implementation, and Use, Third Edition, ed. Jack Campanella, ASQ Quality Press, 1999, pages 3-5.

Page 16: COST OF QUALITY

Definition and Explanation of Quality Costs:

A product that meets or exceeds its design specifications and is free of defects that mar its appearance or degrade its performance is said to have high quality of conformance. Note that if an economy car is free of defects, it can have a quality of conformance that is just as high as defect-free luxury car. The purchasers of economy cars cannot expect their cars to be as opulently as luxury cars, but they can and do expect to be free of defects.

Preventing, detecting and dealing with defects cause costs that are called quality costs or costs of quality. The use of the term "quality cost" is confusing to some people. It does not refer to costs such as using a higher grade leather to make a wallet or using 14K gold instead of gold plating in jewelry. Instead the term quality cost refers to all of the costs that are incurred to prevent defects or that result from defects in products.

Quality costs can be broken down into four broad groups. These four groups are also termed as four (4) types of quality costs. Two of these groups are known as prevention costs andappraisal costs. These are incurred in an effort to keep defective products from falling into the hands of customers. The other two groups of costs are known as internal failure costs andexternal failure costs. Internal and external failure costs are incurred because defects are produced despite efforts to prevent them therefore these costs are also known as costs of poor quality.

The quality costs do not just relate to just manufacturing; rather, they relate to all the activities in a company from initial research and development (R & D) through customer service. Total quality cost can be quite high unless management gives this area special attention.

Four types of quality cost are briefly explained below:

Prevention Costs:

Generally the most effective way to manage quality costs is to avoid having defects in the first place. It is much less costly to prevent a problem from ever happening than it is to find and correct the problem after it has occurred. Prevention costs support activities whose purpose is to reduce the number of defects. Companies employ many techniques to prevent defects for example statistical process control, quality engineering, training, and a variety of tools from total quality management (TQM).

Prevention costs include activities relating to quality circles and statistical process control.Quality circles consist of small groups of employees that meet on a regular basis to discuss ways to improve quality. Both management and workers are included in these circles.

Statistical process control is a technique that is used to detect whether a process is in or out of control. An out of control process results in defective units and may be caused by a miscalibrated machine or some other factor. In statistical process control, workers use charts to monitor the quality of units that pass through their workstations. With these charts, workers can quickly spot processes that are out of control and that are creating defects. Problems can be immediately corrected and further defects prevented rather than waiting for an inspector to catch the defect later.

Page 17: COST OF QUALITY

Some companies provide technical support to their suppliers as a way of preventing defects. Particularly in just in time (JIT) systems, such support to suppliers is vital. In a JIT system, parts are delivered from suppliers just in time and in just the correct quantity to fill customer orders. There are no stockpiles of parts. If a defective part is received from a supplier, the part cannot be used and the order for the ultimate customer cannot be filled in time. Hence every part received from suppliers must be free from defects. Consequently, companies that use just in time (JIT) often require that their supplier use sophisticated quality control programs such as statistical process control and that their suppliers certify that they will deliver parts and materials that are free of defects.

Appraisal Costs:

Any defective parts and products should be caught as early as possible in the production process. Appraisal costs, which are sometimes called inspection costs, are incurred to identify defective products before the products are shipped to customers. Unfortunately performing appraisal activates doesn't keep defects from happening again and most managers realize now that maintaining an army of inspectors is a costly and ineffective approach to quality control.

Employees are increasingly being asked to be responsible for their own quality control. This approach along with designing products to be easy to manufacture properly, allows quality to be built into products rather than relying on inspections to get the defects out.

Internal failure Costs:

Failure costs are incurred when a product fails to conform to its design specifications. Failure costs can be either internal or external. Internal failure costs result from identification of defects before they are shipped to customers. These costs include scrap, rejected products, reworking of defective units, and downtime caused by quality problem. The more effective a company's appraisal activities the greater the chance of catching defects internally and the greater the level of internal failure costs. This is the price that is paid to avoid incurring external failure costs, which can be devastating.

External Failure Costs:

When a defective product is delivered to customer, external failure cost is the result.External failure costs include warranty, repairs and replacements, product recalls, liability arising from legal actions against a company, and lost sales arising from a reputation for poor quality. Such costs can decimate profits.

In the past, some managers have taken the attitude, "Let's go ahead and ship everything to customers, and we'll take care of any problems under the warranty." This attitude generally results in high external failure costs, customer ill will, and declining market share and profits.

External failure costs usually give rise to another intangible cost. These intangible costs are hidden costs that involve the company's image. They can be three or four times greater than tangible costs. Missing a deadline or other quality problems can be intangible costs of quality.

Page 18: COST OF QUALITY

Internal failure costs, external failure costs and intangible costs that impair the goodwill of the company occur due to a poor quality so these costs are also known as costs of poor qualityby some persons.

Examples of four types of quality cost are given below:

Prevention Costs Internal Failure CostsSystems developmentQuality engineeringQuality trainingQuality circlesstatistical process controlSupervision of prevention activitiesQuality data gathering, analysis, and reportingQuality improvement projectsTechnical support provided to suppliersAudits of the effectiveness of the quality system

Net cost of scrapNet cost of spoilageRework labor and overheadRe-inspection of reworked productsRetesting of reworked productsDowntime caused by quality problemsDisposal of defective productsAnalysis of the cause of defects in productionRe-entering data because of keying errorsDebugging software errors

Appraisal Costs External Failure CostsTest and inspection of incoming materialsTest and inspection of in-process goodsFinal product testing and inspectionSupplies used in testing and inspectionSupervision of testing and inspection activitiesDepreciation of test equipmentMaintenance of test equipmentPlant utilities in the inspection areaField testing and appraisal at customer site

Cost of field servicing and handling complaintsWarranty repairs and replacementsRepairs and replacements beyond the warranty periodProduct recallsLiability arising from defective productsReturns and allowances arising from quality problemsLost sales arising from a reputation for poor quality.

Real Business Example:SIMPLE SOLUTION:Very simple and inexpensive procedures can be followed to prevent defects. Yamada Electric Company had a persistent problem assembling a simple push button switch. The switch has two buttons, an on button and an off button, with a small spring under each button. Assembly is very simple. A worker inserts the small spring in the device and then installs the buttons. However the workers some time forget to put in one of the springs. When the customers discover such a defective switch in a shipment from Yamada, an inspector has to be sent to the customer's plan to check every switch in the shipment. After each such incident, workers are urged to be more careful, and for a while quality improves. But eventually, someone forgets to put in a spring, and Yamada gets into trouble with the customers again. This chronic problem was very embarrassing to Yamada.

Shigeo Shingo, an expert on quality control, suggested a very simple solution. A small dish was placed next to the assembly station. At the beginning of each operation, two of the small springs are taken out of a parts box containing hundreds of springs and placed in the dish. The worker then assembles the switch. If a spring remains on the dish after assembling the switch, the worker immediately realizes a spring has been left out, and the switch is reassembled. This simple change in procedures completely eliminated the problem.

Source: Shigeo Shingo and Dr. Alan Robinson, editor-in-chief, Modern Approaches to Manufacturing Improvement: The Shingo System, (Cambridge, MA: Productivity Press, 1990), pp. 214-216.

http://www.accountingformanagement.com/quality_costs.htm

Page 19: COST OF QUALITY

How to Distribute Quality Costs?

A company's total quality cost is likely to be very high unless management gives this area special attention. Experts say that these costs should be more in 2% to 4% range. How does a company reduces its total quality cost? The answer lies in how the quality costs are distributed. Total quality cost is a function of quality of conformance. A high quality of conformance means that a product is free of defects and a low quality of conformance means that a product has defects. In this sense an economy car may have a quality of conformance same as a very expensive car if it has no defects. Like wise an  expensive car may have less quality of conformance if it has defects that effect its use. When the quality of conformance is low, total quality cost is high and most of this cost consists of cost of internal and external failure. A low quality of conformance means that a high percentage of units is defective and hence the company must incur high failure costs. However, as a company spends more and more on prevention and appraisal activities, the percentage of defective units drops. This results in lower costs of internal and external failure costs. Ordinarily total quality cost drops rapidly as the quality of conformance increases.

Thus, a company can reduce its total quality cost by focusing its efforts on prevention and appraisal. The cost savings from reduced defects usually swamp the costs of the additional prevention and appraisal efforts.

As a company's quality program becomes more refined and as its failure costs begin to fall, prevention activities usually become more effective than appraisal activities. Appraisal can only find defects, whereas prevention can eliminate them. The best way to prevent defects from happening is to design processes that reduce the likelihood of defects and to continually monitor processes using statistical process control methods.

Quality Cost Report:

A quality cost report details the prevention costs, appraisal costs, and internal failure costand external failure cost that arise from company's current level of defective products or services. Companies often construct a quality cost report that provides an estimate of the financial consequences of the company's current level of defects. A simple quality cost reportis shown in the following example:

Example of Quality Cost Report

Ventura CompanyQuality Cost ReportFor the Year1 & 2

 

 

Prevention Cost

Appraisal Costs

                  Year 2                         Year 1                   Amount

1,000,000

Percent

2.00%

Amount

650,000

Percent

1.30%

Page 20: COST OF QUALITY

Internal Failure Costs

External Failure Costs

Total Quality Cost

1,500,000

3,000,000

2,000,000-----------7,500,000======

3.00%

6.00%

4.00%---------15.00%=====

1,200,000

2,000,000

5,150,000----------

9,000,000======

2.40%

4.00%

10.30%---------18.00%=====

Prevention cost increased by (1,000,000 – 650,000) = 350,000Appraisal cost increased by (1,500,000 – 1,200,000) = 300,000

Internal Failure cost (3,000,000 – 2,000,000) = 1,000,000Total Increase = 1,650,000

External failure cost decreased by = 3,150,000

Net Quality Cost Benefit = 3,150,000 – 1,650,000= 1,500,000

Several things should be noted from the data in the quality cost report. First, note that the quality costs are poorly distributed in both years, with most of costs being traceable to either internal or external failure. The external failure costs are particularly high in year 1 in comparison to other costs. Second note that the company increased its spending on prevention and appraisal activities in year 2. As a result, internal failure costs went up in that year (from $2 million in first year to $3 million in year 2), but external failure costs dropped sharply (from $5.15 million in year 1 to $3 million in year 2). Because of the increase in appraisal activates in year 2,more defects were caught inside the company before they were shipped to the customers. This resulted in more cost for scrap, rework, and so forth, but saved huge amounts in warranty repairs, warranty replacements, and external failure costs. Third, note that as a result of greater emphasis on prevention and appraisal, total quality cost decreased inyear2.As continued emphasis is placed on prevention and appraisal in future years, total quality cost should continue to decrease. That is , future increases in prevention and appraisal costs should be more than offset by decreases in failure costs. Moreover, appraisal costs should also decrease as more effort is placed into prevention.

http://www.accountingformanagement.com/distribution_of_quality_costs.htm

A quality cost report has several uses. First quality cost information helps managers see the financial significance of defects. Managers usually are not aware of the magnitude of their quality costs because these costs cut across departmental lines and are not normally tracked and accumulated by the cost system. Thus, when first presented with a quality cost report, managers often are surprised by the amount of cost attributable to poor quality.

Second quality cost information helps managers identify the relative importance of the quality problems faced by the firm. For example, the quality cost report may show that scrap is a major quality problem or that the company is incurring huge warranty costs. With this information, managers have a better idea of where to focus efforts.

Page 21: COST OF QUALITY

Third, quality cost information helps managers see whether their quality costs are poorly distributed. In general, quality costs should be distributed more toward prevention and appraisal activities and less toward failures.

Limitations of Quality Cost Information:

Three limitations of quality cost information should be recognized.

1. Simply measuring and reporting quality costs does not solve quality problems. Problems can be solved by taking actions.

2. Results usually lag behind quality improvement programs. Initially quality cost may even increase as quality control systems are designed and installed. Decrease in these costs may not begin to occur until the quality program has been in effect for a year or more.

3. The most important quality costs lost sales arising from customers ill will, is usually omitted from the quality cost report because it is difficult to estimate.

Typically during the initial years of a quality improvement program, the benefits of compiling a quality cost report outweigh the costs and limitations of the reports. As managers gain experience in balancing prevention and appraisal activities, the need for quality cost report often diminishes.

http://www.accountingformanagement.com/uses_of_quality_cost_information.htm

Creating an Initial Quality Cost Study 

1. Review the literature on quality costs. Consult with others in similar industries who have had experience

with applying quality cost concepts.

 

2. Select one organizational unit of the company to serve as a pilot site. This unit may be one plant, one

large department, one product line, etc.

 

3. Discuss the objectives of the study with the key people in the organization, particularly those in the

accounting function. Two objectives are paramount...Determine the size of the quality problem and identify

specific projects for improvement.

 

4. Collect whatever cost data are conveniently available from the accounting system . Use this information to

gain management support to make a full cost of quality study.

 

5. The proposal should provide for a task force of all concerned parties. The task force will identify the work

activities that contribute to the cost of poor quality. Use work records, job descriptions, flowcharts,

interviews, and brainstorming  to identify these activities.

 

6. Publish a draft of the categories defining the cost of quality. Secure comments and revise.

 

7. Finalize the definitions and secure management approval.

 

Page 22: COST OF QUALITY

8. Assign responsibility for data collection and report preparation.

 

9. Collect and summarize the data. Ideally, this should be done by accounting.

 

10. Present the initial and final quality cost results from the quality improvement project to management.

Request authorization to proceed with a broader company wide program of measuring the costs and

pursuing projects.

Clearly, the sequence must be tailored for each organization.

Capturing Qaulity Cost Tips 

  

1. Established expense accounts. Examples include inspection department appraisal activities and customer

response warranty expenses.

 

2. Define and analysis the ingredients of established expense accounts: For example, suppose an account

called customer returns reports the cost of all goods returned. Some customers returned defective goods.

Categorized these as cost of poor quality.  Some customers return goods to reduce inventory. These are not

cost of poor quality. You must break the customer returns into two separate expense accounts. To help

distinguish the quality costs returns, someone must study of the return documents and classify all returns.

 

3. Improve accounting documents:  For example, some production department employees conduct product

inspection. By securing their names, the associated payroll data, and inspection time you can quantify these

cost of quality.

 

4. Include estimates: Input from knowledgeable personnel is clearly important.

 

5. Use temporary records. For example, some production workers spend part of their time repairing defective

product. Here you can create a temporary record to determine the repair time and thereby the repair cost.

This cost can then be projected for the study time period.

 

Page 23: COST OF QUALITY

6. Utilize work sampling:  Take random observations of activities. Within a few sampling you can calculate

the percent of time spent in each of a number of predefined quality cost categories. Ask employees to record

the observation as prevention, appraisal, failure, or first time work.

 

7. Improve allocation of total resources: For example, some engineers are part-time engaged  in making

product failure analyses. The engineering department, however, makes no provision for charging

engineering time to multiple accounts. Ask each engineer to make an estimate of time spent on product

failure analysis. Do this by keeping a temporary engineering activity log for several representative weeks.

Categorized time spent due to a product failure as a failure cost.

 

d. Track unit cost data:  Here, the cost of correcting one error is estimated and multiplied by the number of

errors per year. Examples include billing errors and scrap. Note that the unit cost per error may consist of

corrections costs from several departments.

 

e. Utilize market research data: Cost of quality includes lost sales revenue due to poor quality. Although

difficult to estimate, market research studies on customer satisfaction and loyalty can provide input data on

dissatisfied customers and customer defections.

http://www.bexcellence.org/Cost-Of-Quality.html

"Highest quality is lowest cost" is a Japanese manufacturing aphorism based on the premise that the highest quality manufacturer will earn a

reputation that makes buyers prefer, price being reasonably similar, to buy its goods. This means that the manufacturer will produce more than its

competitors, and thus will both have economies of scale and be able to accept a lower profit per unit—thus the highest quality goods will have a lower

cost by driving other goods from the market. The production of higher quality goods can also reduce quality costs.

http://en.wikipedia.org/wiki/Highest_quality_is_lowest_cost 2009

Cost of poor quality (COPQ) or poor quality costs (PQC), are defined as costs that would disappear if systems, processes, and products were

perfect.

COPQ was popularized by IBM quality expert H. James Harrington in his 1987 book Poor Quality Costs.[1] COPQ is a refinement of the concept

of quality costs. In the 1960s, IBM undertook an effort to study its own quality costs and tailored the concept for its own use.[2]. While Feigenbaum's

term "quality costs" is technically accurate, it's easy for the uninitiated to jump to the conclusion that better quality products cost more to produce.

Harrington adopted the name "poor quality costs" to emphasize the belief that investment in detection and prevention of product failures is more than

offset by the savings in reductions in product failures.

COPQ decomposes COPQ into the following elements:

Cost Description

Direct poor-quality costs

Controllable poor-quality

cost

Direct COPQ can be directly derived from entries in the company ledger.[3]

Controllable COPQ is directly controllable costs to ensure that only acceptable products and services reach the customer.[4]

Resultant COPQ are costs incurred because unacceptable products and services were delivered to the customer, resulting

Page 24: COST OF QUALITY

Prevention cost

Appraisal cost

Resultant poor-quality cost

Internal error cost

External error cost

Equipment poor-quality

cost

from earlier decisions about how much to invest in controllable COPQ.[5]

Equipment COPQ are costs to invest in equipment to measure, accept, or control a product or service[6]. It is treated

separately from controllable costs to accommodate the effects of depreciation.

Indirect poor-quality costs

Customer-incurred cost

Customer-dissatisfaction

cost

Loss-of-reputation cost

Indirect COPQ is difficult to measure because it is a delayed result of time, effort, and financial costs incurred by the customer. These customer costs add up to lost sales and therefore do not appear in the company's ledger.[7]

Examples

Cost element Examples

Direct poor-quality costs

Controllable poor-quality cost

Prevention cost

Quality planning  (for test, inspection, audits, process control)

Education and training

Performing capability analyses

Conducting design reviews

Appraisal cost

Test and inspection

Supplier acceptance sampling

Auditing processes

Resultant poor-quality cost

Internal error cost

In-process scrap and rework

Troubleshooting and repairing

Design changes

Additional inventory required to support poor process yields and rejected lots

Reinspection and retest of reworked items

Downgrading

External error cost Sales returns and allowances

Service level agreement  penalties

Complaint handling

Page 25: COST OF QUALITY

Field service labor and parts costs incurred due to warranty obligations

Equipment poor-quality costMicrometers, voltmeters, automated test equipment (but not equipment used to make the product)

Indirect poor-quality costs

Customer-incurred cost

Loss of productivity due to product or service downtime

Travel costs and time spent to return defective product

Repair costs after warranty period

Backup product or service to cover failure periods

Customer-dissatisfaction cost Dissatisfaction shared by word of mouth

Loss-of-reputation cost Customer perception of firm

[edit]White collar COPQ

Harrington noted that expanding cost analyses to management and clerical workers could also make a significant dent in waste.[8] He defined the

following costs by functional area:

Functional area Controllable COPQ Resultant COPQ

Controller COPQ

Timecard reviews

Capital equipment reviews

Invoicing reviews

Billing errors

Incorrect accounting entries

Payroll errors

Software COPQ Design reviews

Code reviews

Crashes

Deadlocks

Incorrect outputs

Plant administration COPQ

Security

Facility inspection and testing

Machine maintenance training

Disclosure of trade secrets

Facilities redesign

Overstaffing/understaffing

Equipment downtime/idle time

Purchasing COPQ

Vendor reviews

Periodic vendor surveys

Follow-up on delivery dates

Strike built-in costs

Line-down cost

Excessive inventory due to suppliers

Premium freight cost

Marketing COPQ

Sales material review

Marketing forecast

Customer surveys

Sales training

Overstock

Loss of market share

Incorrect order entry

Page 26: COST OF QUALITY

Personnel COPQ

Prescreening applications

Appraisal reviews

Exit interviews

Attendance tracking

Absenteeism

Turnover

Grievances

Industrial engineering COPQ

Packaging evaluations

Layout reviews

OSHA reports

Inspection of contract work

OSHA fines

Shipping damage

Redoing layout

Paying contractors for poor work

[edit]Cost of poor quality by inception point

The damages of poor quality augment as the inception point is farther down the supply chain:

TCFP [Total Cost of Faulty Part] =

Direct Cost (manufacturing cost)

➔ failure at supplier's site (bad)

+ Labor Cost (assembly and testing)

+ Overhead Cost (Inventory, handling, shipping costs)

+ Scrapping Cost (of part and attached parts assemblies: Sometimes assemblies cannot be disassembled and have to be scrapped altogether)

+ Rework (applying a new part instead)

➔ failure at manufacturer's site (worse)

+ Repair / Recall Costs (these are costs associated with repairing or replacing a new part / assembly under warranty)

+ Product Liability Costs (These are costs resulting from damages caused by the faulty part to 3rd parties)

➔ failure at customers' site (worst)

http://en.wikipedia.org/wiki/Cost_of_poor_quality 2010

he concept of quality costs is a means to quantify the total cost of quality-related efforts and deficiencies. It was first described by Armand V.

Feigenbaum in a 1956 Harvard Business Reviewarticle.[1]

Prior to its introduction, the general perception was that higher quality requires higher costs, either by buying better materials or machines or by hiring

more labor.[2] Furthermore, while cost accountinghad evolved to categorize financial transactions into revenues, expenses, and changes in shareholder

equity, it had not attempted to categorize costs relevant to quality. By classifying quality-related entries from a company's general ledger, management

and quality practitioners can evaluate investments in quality based on cost improvement and profit enhancement.

Feigenbaum defined the following quality cost areas[3]:

Cost area Description Examples

Page 27: COST OF QUALITY

Costs of control (Costs of conformance)

Prevention costs Arise from efforts to keep defects from occurring at all

Quality planning

Statistical process control

Investment in quality-related

information systems

Quality training and workforce

development

Product-design verification

Systems development and

management

Appraisal costs Arise from detecting defects via inspection, test, audit

Test and inspection of purchased

materials

Acceptance testing

Inspection

Testing

Checking labor

Setup for test or inspection

Test and inspection equipment

Quality audits

Field testing

Costs of failure of control (Costs of non-conformance)

Internal failure costs

Arise from defects caught internally and dealt with by discarding or repairing the defective items

Scrap

Rework

Material procurement costs

External failure costs

Arise from defects that actually reach customers

Complaints in warranty

Complaints out of warranty

Product service

Product liability

Product recall

Loss of reputation

The central theme of quality improvement is that larger investments in prevention drive even larger savings in quality-related failures and appraisal

efforts. Feigenbaum's categorization allows the organization to verify this for itself.[4] When confronted with mounting numbers of defects, organizations

typically react by throwing more and more people into inspection roles. But inspection is never completely effective, so appraisal costs stay high as

long as the failure costs stay high. The only way out of the predicament is to establish the "right" amount of prevention.

Page 28: COST OF QUALITY

Once categorized, quality costs can serve as a means to measure, analyze, budget, and predict.[5]

Variants of the concept of quality costs include cost of poor quality and categorization based on account type, described by Joseph M. Juran: [6]

Cost area Examples

Tangible costs—factory accounts

Materials scrapped or junked

Labor and burden on product scrapped or junked

Labor, materials, and burden necessary to effect repairs on salvageable product

Extra operations added because of presence of defectives

Burden arising from excess production capacity necessitated by defectives

Excess inspection costs

Investigation of causes of defects

Tangible costs—sales accounts

Discount on seconds

Customer complaints

Charges to quality guarantee account

Intangible costs

Delays and stoppages caused by defectives

Customer good will

Loss in morale due to friction between departments

http://en.wikipedia.org/wiki/Quality_costs 2011

Peningkatan Kualitas merupakan suatu hal yang paling esensial bagi suatu perusahaan untuk tetap eksis dalam dunia bisnis yang competitif

ini. Kini sudah tidak jamannya lagi perusahaan hanya mementingkan volume penjualan yang begitu besar untuk mencapai keuntungan yang

maksimal, tetapi lebih berorientasi pada aspek kepuasan konsumen. Dengan adanya kemampuan perusahaan untuk memberikan kepuasan

terhadap konsumen yang membeli produknya, maka secara otomatis perusahaan akan mencapai keuntungan yang maksimal. Oleh karena itu

dikembangkan berbagai cara dan teknik untuk mengidentifikasi besarnya biaya kualitas (kerugian yang muncul akibat barang yang dihasilkan

menyimpang dari standar) suatu perusahaan. Apabila biaya kualitas yang muncul tersebut nampak dalam catatan akuntansi perusahaan yang

bersangkutan, maka perusahaan akan lebih mudah melakukan pengendalian, tetapi apabila biaya kualitas tersebut sifatnya tersembunyi,

maka akan lebih sulit untuk melakukan pengendalian dan estimasi. Berbagai teknik telah dikembangkan untuk memecahkan masalah Hidden

Quality Cost ini. Salah satu metode yang populer adalah dengan menggunakan metode Taguchi. Dengan metode Taguchi ini akan membantu

perusahaan dalam melakukan pengendalian dan estimasi khususnya terhadap biaya kualitas yang tersembunyi.

BIAYA KUALITAS

            Meningkatkan kualitas dapat menjadi kunci perjuangan hidup banyak perusahaan. Banyak yang percaya

bahwa, meningkatnya kualitas dapat meperbaiki keuangan perusahaan dan posisi persaingan. Penekanan pada

kualitas akan meningkatkan profitabilitas dalam dua cara yaitu: dengan meningkatkan permintaan pelanggan dan

Page 29: COST OF QUALITY

dengan menurunkan biaya penyediaan barang-barang dan jasa. Sebelum melangkah pada definisi biaya kualitas,

ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu kualitas.

Definisi Kualitas            Definisi tipikal dari kamus tentang kualitas adalah tingkat atau nilai keunggulan, dalam artian kualitas

merupakan tolak ukur relatif terhadap kebaikan. Secara operasional kualitas suatu produk atau jasa adalah

sesuatu yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Jadi, kualitas adalah kepuasan pelanggan, sesuatu

yang melampaui pengharapan pelanggan akan delapan dimensi berikut ini:

1. Kinerja (performance), merujuk ke bagaimana konsisten dan baiknya fungsi suatu produk.

2. Estetika (esthetic), berkaitan dengan penampilan produk-produk yang berwujud sekaligus juga dengan

penampilan fasilitas, peralatan, personel, dan perlengkapan komunikasi yang berkaitan dengan jasa.

3. Kemampuan memberikan jasa (serviceability), berkaitan dengan kemudahan pemeliharaan dan atau

perbaikan suatu produk.

4. Bentuk (features), merujuk ke karakteristik suatu produk yang membedakannya dengan produk lain

yang sejenis secara fungsional.

5. Kemampuan untuk diandalkan (reliability), probabilitas suatu produk atau jasa dalam menjalankan

fungsinya untuk jangka waktu tertentu.

6. Daya tahan (durability), jangka waktu berfungsinya suatu produk.

7. Kesesuaian (conformance), suatu tolak ukur mengenai bagaimana suatu produk memenuhi

spesifikasinya.

8. Kecocokan dengan kegunaan (fitness for use), kesesuaian suatu produk dengan fungsi-fungsinya

sesuai dengan yang diiklankan.

Jadi, perbaikan kualitas berarti memperbaiki satu atau lebih dari delapan dimensi kualitas tetapi tetap

memepertahankan kinerja dimensi-dimensi lainnya. Keempat dimensi pertama menjelaskan atribut-atribut

kualitas yang penting, tapi sulit untuk diukur. Walaupun kedelapan dimensi tersebut sangat penting dan dapat

mempengaruhi kepuasan pelanggan, atribut kualitas yang dapat diukur cenderung mendepatkan penekanan yang

lebih. Kesesuaian kualitas khususnya sangat ditekankan. Kesesuaian dengan kualitas setidaknya adalah dasar

untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan suatu produk yang cacat.

Produk cacat adalah produk yang tidak dapat memenuhi spesifikasinya. Cacat nihil berarti bahwa semua

produk sesuai dengan spesifikasinya. Pandangan kualitas yang sehat tentang kesesuaian kualitas menekankan

kecocokan dengan kegunaan. Keadaan yang sehat berarti mencapai nilai sasaran setiap waktu.

Definisi Biaya Kualitas            Biaya kualitas merupakan biaya-biaya yang timbul karena kualitas buruk mungkin dan memang ada. Biaya

kualitas berkaitan dengan dua subkategori dari aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan kualitas yaituaktivitas

kontrol dan aktivitas gagal.

            Aktivitas kontrol adalah aktivitas yang dilakukan oleh sebuah organisasi untuk menghindari atau

mendeteksi kualitas buruk. Jadi aktivitas kontrol terdiri dari aktivitas pencegahan dan aktivitas penilaian. Dan

biaya kontrol adalah biaya yang ditimbulkan akibat dari dilakukannya aktivitas kontrol.

            Aktivitas gagal adalah aktivitas yang dilakukan oleh sebuah organisasi atau pelanggannya dalam

menanggapi kualitas buruk. Dalam menanggapi kualitas yang muncul sebelum pengiriman suatu produk yang

jelek ke pelanggan, aktivitas ini diklasifikasikan sebagai aktivitas gagal internal, jika tidak demikian maka

aktivitas tersebut diklasifikasikan sebagai aktivitas gagal eksternal. Biaya kegagalan adalah biaya yang

Page 30: COST OF QUALITY

dikeluarkan atau dimunculkan oleh sebuah organisasi karena dilakukannya aktivitas gagal. Definisi-definisi

aktivitas yang berkaitan dengan kualitas ini mengimplikasikan empat kategori dari biaya kualitas yaitu:

1.      Biaya pencegahan

Biaya ini muncul untuk mencegah terjadinya kualitas buruk dalam produk atau jasa yang dihasilkan. Ketika biaya

pencegahan meningkat, maka diharapkan biaya kegagalan akan menurun.

2.      Biaya penilaian

Biaya ini muncul untuk menentukan apakah produk atau jasa sesuai dengan kebutuhan pelanggan atau spesifikasi

mereka. Tujuan utama dari fungsi penilaian adalah menghindari dikirimnya barang-barang yang tidak sesuai

dengan kualitas kepada para pelanggan.

3.      Biaya gagal internal

Biaya ini timbul karena produk dan jasa tidak sesuai dengan spesifikasi atau kebutuhan pelanggan.

Ketidaksesuaian ini dideteksi sebelum produk dan jasa dikirimkan ke pihak luar. Biaya-biaya ini tidak ada jika

barang cacat tidak ada.

4.      Biaya gagal eksternal.

Biaya ini timbul karena produk dan jasa gagal memenuhi persyaratan atau memenuhi kebutuhan pelanggan

setelah dikirim ke pelanggan. Dari semua biaya, kategori ini merupakan biaya yang paling menghancurkan

perusahaan. Seperti halnya biaya gagal internal, biaya ini tidak akan timbul jika tidak ada barang cacat.

Pengukuran Biaya Kualitas

            Biaya kualitas juga dapat diklasifikasikan sebagai biaya yang dapat diamati atau tersembunyi. Biaya

kualitas yang dapat diobservasi adalah biaya-biaya yang tersedia dari pencatatan akuntansi organisasi. Biaya

kualitas yang tersembunyi adalah biaya kesempatan yang dihasilkan dari kualitas buruk. Ada tiga metode yang

diusulkan untuk menaksir biaya kualitas tersembunyi, yaitu:

1.      Metode Multiplikasi

Mengasumsikan bahwa total biaya gagal hanya merupakan multiplikasi biaya-biaya gagal yang diukur.

Total biaya gagal eksternal = k (biaya gagal eksternal yang diukur)

 

                                                                                                                                    

Dimana k adalah efek multiplikasi berdasarkan pada pengalaman. Memasukkan biaya tersembunyi dalm

penilaian jumlah biaya gagal eksternal membuat manajemen dapat lebih akurat dalam menentukan tingkat

pengeluaran sumber daya untuk aktivitas-aktivitas pencegahan dan penilaian. Dengan kenaikan biaya gagal,

diharapkan pihak manajemen akan meningkatkan investasinya dalam biaya kontrol.

Page 31: COST OF QUALITY

2.      Metode Riset Pemasaran

Metode riset pasar formal adalah metode-metode yang digunakan untuk menilai efek dari kualitas buruk pada

penjualan dan pangsa pasar. Hasil riset pemasaran dapat digunakan untuk memproyeksikan laba rugi akan

datang yang disebabkan oleh kualitas buruk.

3.      Fungsi Kerugian Kualitas Taguchi

Fungsi ini mengasumsikan bahwa setiap variasi dari nilai sasaran karakteristik kualitas menyebabkan biaya

kualitas tersembunyi. Biaya tersembunyi meningkat secara kuadratikal ketika nilai aktual menyimpang dari nilai

sasaran.

Rumus:

 

Dimana:

k = konstanta proporsional yang tergantung pada struktur biaya gagal eksternal organisasi

y = karakteristik nilai kualitas aktual

T = karakteristik nilai kualitas sasaran

Untuk menerapkan fungsi taguchi, k harus diestimasi. Nilai untuk k dihitung dengan membagi estimasi biaya

pada satu batas spesifik  dengan deviasi kuadrat batas tersebut dari nilai sasaran:

                                k =    c

                                         d2

dimana:

c = kerugian pada batas spesifikasi atas atau bawah

d = jarak antara batas dengan nilai sasaran

Pelaporan Informasi Biaya Kualitas            Suatu sistem pelaporan biaya kualitas menjadi penting jika organisasi tersebut serius dengan biaya

perbaikan dan pengontrolan kualitas. Langkah pertama dalam menciptakan sistem tersebut adalah dengan

melaporkan biaya-biaya kualitas aktual saaat ini. Daftar yang rinci dari biaya kulaitas aktual per kategori akan

dapat memberikan dua informasi penting yaitu:

1. Menunjukan berapa yang dikeluarkan untuk tiap kategori biaya kualitas dan pengaruhnya terhadap laba.

2. Menunjukkan distribusi biaya kualitas dengan kategori, memungkinkan para manajer menilai

kepentingan relatif tiap kategori.

L(y) = k (y – T)2

 

Page 32: COST OF QUALITY

Laporan Biaya Kualitas

            Signifikansi finansial dari biaya kualitas dapatb dinilai secara lebih mudah dengan mengekspresikan biaya-

biaya ini sebagai persentasi penjualan aktual. Terdapat dua pandangan tentang biaya kualitas optimal

yaitu :pandangan tradisional, yang mensyaratkan adanya tingkat kualitas yang dapat diterima, dan pandangan

yang diadopsi oleh perusahaan-perusahaan kontemporer, yang disebut sebagai totak kontrol kualitas (total quality

control). Setiap pandangan menawarkan kepada manajer, informasi-informasi tentang bagaimana biaya-biaya

kualitas harus dimanajemen.

Distribusi Optimal dari Biaya Kualitas : Pandangan Tradisional

            Pandangan tradisional terhadap kualitas adalah bahwa terdapat pertukaran antara biaya kontrol

(pencegahan dan nilai) dan biaya kegagalan (kegagalan eksternal dan internal). Ketika biaya pencegahan dan

penilaian meningkat, seharusnya biaya kegagalan menurun. Selama penurunan biaya kegagalan lebih besar dari

kenaikan korespondensi dalam biaya kontrol, perusahaan tersebut harus terus memperluas usahanya untuk

mencegah atau mendeteksi unit-unit yang tidak sesuai kualitasnya. Sampai pada akhirya, suatu titik dicapai,

dimana setiap kenaikan biaya tambahan ini lebih banyak dari pengurangan korespondensi dari biaya-biaya

kegagalan. Tanpa perubahan dalam teknologi, titik ini mewakili tingkat minimum dari total biaya kualitas. Ini

adalah keseimbangan optimal antara biaya kontrol dan biaya kegagalan dan diilustrasikan dengan gambar

berikut.

            Dua fungsi biaya diasumsikan yaitu biaya kontrol dan biiaya kegagalan. Fungsi kontrol adalah kurva yang

menurun ke bawah, menunjukkan persentase unit cacat yang meningkat ketika jumlah dana yang dikeluarkan

untuk aktivitas pencegahan dan penilaian meningkat. Fungsi biaya kegagalan adalah grafik yang meningkat ke

atas, menunjukkan bahwa biaya kegagalan meningkat ketika jumlah unit barang cacat meningkat. Total biaya

kualitas menurun ketika kualitas meningkat sampai pada titik tertentu. Tingkat optimal unit cacat diidentifikasi

dan perusahaan bekerja untuk bekerja untuk mencapai tingkat tersebut. Tingkat unit cacat yang diterima ini

diidentifikasi sebagai tingkat kualitas yang dapat diterima (acceptable quality level – AQL).

Fungsi Biaya Kualitas : Pandangan Kontemporer

            Sudut pandang AQL berdasarkan pada definisi produk detektif (cacat) tradisionsl. Dalam skema klasik,

sebuah produk detektif (cacat) jika beradadi luar batas yang dapat ditoleransi untuk suatu karakteristik kualitas.

Di bawah pandangan ini, biaya kegagalan hanya muncul jika produk-produk gagal untuk sesuai dengan

spesifikasinya dan pertukaran optimal ada antara biaya gagal dan kontrol. Pandangan AQL mengizinkan, dan

kenyataannya, mendorong produksi sejumlah tertentu unit yang cacat. Pada dasarnya, model cacat nihil

mengklaim bahwa nerupakan keuntungan biaya untuk mengurangi unit yang tidak sesuai dengan kualitas smpai

titik nol.menurut pandangan model kualitas sehat,  suatu kerugian dialami dari aktivitas produksi produk yang

bervariasi dari nilai sasaran dan semakin jauh jaraknya dari nilai sasaran, maka semakin besar kerugiannya.

Model kualitas sehat memperketat definisi unit cacat, memurnikan pandangan kita terhadap biaya kualitas, dan

mengintensifkan persaingan kualitas.

Tingkat optimal bagi biaya kualitas adalah tingkat dimana produk-produk yang diproduksi memenuhi

nilai sasaran. Pencarian untuk menemukan cara-cara mencapai nilai sasaran menciptakan dunia kualitas yang

dinamis, berlawanan dengan dunia kualitas yang statis dari AQL.

Hakikat Dinamis dari Biaya Kualitas

Page 33: COST OF QUALITY

            Suatu fungsi total biaya kualitas konsisten dengan relasi biaya kualitas. Terdapat beberapa perbedaan

pokok, yaitu:

1. Biaya kontrol tidak meningkat tanpa batas ketika status cacat nihil sehat didekati.

2. Biaya kontrol dapat meningkat dan kemudian menurun ketika status cacat nihi sehat didekati.

3. Biaya kegagalan dapat dipicu sampai ke titik nol

Strategi untuk menggunakan biaya kualitas cukup sederhana:

1. Lakukan serangan langsung terhadap biaya-biaya kegagalan untuk mendesak mereka sampai ke titik nol.

2. Lakukan investasi dalam aktivitas-aktivitas pencegahan yang ”benar” untuk membawa perbaikan.

3. Kurangi biaya penilaian sesuai dengan hasil yang dicapai.

4. Secara kontinu evaluasi dan secra tidak langsung lakukan usaha-usaha pencegahan untuk mendapatkan

keuntungan dari perbaikan selanjtnya.

Strategi ini bedasarkan pada premis-premis:

a. Untuk setiap kegagalan terdapat satu akar penyebabnya.

b. Penyebab-penyebab tersebut dapat dihindari.

c. Tindakan pencegahan selalulebih murah.

Manajemen Berdasarkan-Aktivitas dan Biaya Kualitas Optimal

            Manajemen berdasarkan aktivitas mengklasifikasikan aktivitas-aktivitas sebagai bernilai tambah dan tidak

bernilai tambah dan hanya mempertahankan aktivitas yang bernilai tambah.

Hubungan antara Manajemen Biaya dan kualitas Total

Para akuntan berperan penting dalam menghasilkan informasi biaya kualitas. Begitu pentingnya

sehingga pemahaman mereka akan pengaruh –pengaruh tersebut terhadap kegiatan operasi perusahaan menjadi

kritikal.

Penggunaan Informasi Biaya Kualitas            Biaya kualitas dilaporkan untuk memperbaiki perencanaan manajerial, kontrol, dan pengambilan

keputusan. Menggunakan informasi biaya kualitas untuk menerapkan dan mengawasi efektifitas program kualitas

merupakan salah satu kegunaan dari sistem biaya kualitas. Informasi biaya kualitas merupakan input yang

penting untuk pengambilan keputusan manajemen.

Menggunakan Informasi Biaya Kualitas untuk Pengambilan Keputusan

            Para manajer memerlukan informasi biaya kualitas sesuai dengan jumlah konteks pengambilan keputusan.

Dua diantaranya adalah penetapan harga stratejik dan analisis biaya-volume-laba.

Page 34: COST OF QUALITY

Sertifikasi Kualitas Melalui ISO 9000

            Ketika sebuah perusahaan menilai kualitas dari suppliernya, perusahaan yang sama dapat mensuplai dari

perusahaan lain yang mensyaratkan sertifikasi kualitas penjual. Program yang terbaru disebut dengan ISO 9000.

            ISO 9000 merupakan standar pengukuran kualitas. Program ini merupakan satu rangkaian seri dari lima

standar kualitas internasional. Standar ini berpusat pada konsep dokumentasi dan pengontrolan ketidaksesuaian

kualitas dan perubahan.

Perlu diperhatikan bahwa ISO 9000 tidak mensertifikasi kualitas produk tersebut, tidak juga komitmen

perusahaan unutk melakukan perbaikan berkelanjutan. Pada kenyataannya, ISO 9000 merupakan suatu kosakata

dan serangkaian lima standar.

            Pada sisi positifnya, banyak perusahaan telah menemukan bahwa proses aplikasi untuk sertifikasi ISO

9000, disamping memeakan waktu dan mahal, program ini menghasilkan keuntungan penting dalam arti

pengetahuan diri. ISO 9000 bukan merupakan sistem kualitas. Program ini merupakan langkah pertama dalam

sertifikasi supplier. Tapi, perusahaan-perusahaan mendapati bahwa sulit untuk  bertahan membayar audit

independen untuk menilai proses kualitas mereka.

            Pelaporan biaya kualitas sehingga dapat digunakan untuk mengambil keputusan hanya merupakan salah

satu tujuan dari sistem pembiayaan kualitas yang baik. Tujuan lain adalah untuk mengontrol biaya kualitas-sebuah

faktor kritikal yang membantu keputusan.

Dedy Suarjaya http://dedysuarjaya.blogspot.com/2010/09/biaya-kualitas.html

PENINGKATAN MUTU SEKOLAH

Oleh : Drs. H. Nurochim, M.M*

Pendahuluan

            Banyak siswa yang telah lulus dari lembaga pendidikan menjadi pengangguran, tidak siap untuk menjadi warga negera yang bertanggung jawab dan produktif, sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat, bangsa dan negara serta akhirnya mendorong terjadinya instabilitas nasional, baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Kondisi tersebut, permasalahan pokoknya adalah para siswa yang merupakan produk sistem pendidikan yang diselenggarakan tidak berfokus pada mutu.

            Pendidikan yang berfokus pada mutu menurut konsep Juran adalah bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat.[1] Masyarakat dimaksud adalah secara luas sebagai pengguna lulusan, yaitu dunia usaha, lembaga pendidikan lanjut, pemerintah dan masyarakat luas, termasuk menciptakan usaha sendiri oleh lulusan.

            Menurut Crosby mutu adalah sesuai yang disyaratkan atau distandarkan (Conformance to requirement), yaitu sesuai dengan standar mutu yang telah

Page 35: COST OF QUALITY

ditentukan, baik inputnya, prosesnya maupun outputnya.[2] Oleh karena itu, mutu pendidikan yang diselenggarakan sekolah dituntut untuk memiliki baku.standar mutu pendidikan. Mutu dalam konsep Deming adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar.[3]Dalam konsep Deming, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dapat menghasilkan keluaran, baik pelayanan dan lulusan yang sesuai kebutuhan atau harapan pelanggan (pasar)nya. Sedangkan Fiegenbaum mengartikan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction).[4] Dalam pengertian ini, maka yang dikatakan sekolah bermutu adalah sekolah yang dapat meuaskan pelanggannya, baik pelanggan internal maupun eksternal.

Mutu menurut Carvin, sebagaimana dikutip oleh Nasution, adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen. Selera atau harapan pelanggan pada suatu produk selalu berubah, sehingga kualitas produk juga harus berubah atau disesuaikan. Dengan perubahan mutu produk tersebut, diperlukan perubahan atau peningkatan keterampilan tenaga kerja, perubahan proses produksi dan tugas, serta perubahan lingkungan organaisasi agar produk dapat memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.[5]

Pada tulisan ini akan dipaparkan bagaimana peningkatan mutu terpadu sekolah agar dapat mewujudkan lulusan sesuai harapan para lulusan, orang tua, pendidikan lanjut, pemerintah dan dunia usaha serta masyarakat secara luas. Pembahasan dalam tulisan ini dimulai uraian tentang sekolah bermutu terpadu, kepemimpinan sekolah bermutu terpadu, kriteria penghargaan bagi sekolah bermutu terpadu, manajemen mutu terpadu dalam pendidikan, penerapan prinsip mutu dalam pendidikan, mengorganisasikan mutu, membentuk satuan tugas mutu, pemecahan masalah, biaya mutu, perbaikan berkesinambungan dan kesimpulan.

 

Sekolah Bermutu Terpadu

            Manajemen Mutu Terpadu merupakan metodologi yang jika diterapkan secara tepat dapat membantu para pengelola atau penyelenggara pendidikan di lembaga pendidikan termasuk sekolah dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan dan lulusan yang dapat memenuhi atau melebihi keinginan atau harapan para stakeholder-nya.  

            Manajemen Mutu Terpadu yang sering disebut dengan  TQM (Total Quality Management) oleh Fandy diartikan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang berusaha memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses dan lingkungannya.[6]Berdasarkan pengertian tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan dengan manajemen mutu terpadu adalah

Page 36: COST OF QUALITY

menyelenggarakan pendidikan dengan mengadakan perbaikan berkelanjutan, baik produk lulusannya, penyelenggaraan atau layanannya, sumber daya manusia (SDM) yang memberikan layanan, yaitu kepala sekolah, para guru dan staf, proses layanan pembelajarannya dan lingkungannya.

Proses menuju sekolah bermutu terpadu, maka kepala sekolah, komite sekolah, para guru, staf, siswa dan komunitas sekolah harus memiliki obsesi dan komitmen terhadap mutu, yaitu pendidikan yang bermutu. Memiliki visi dan misi mutu yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dan harapan para pelanggannya, baik pelanggan internal, seperti guru dan staf, maupun pelanggan eksternal seperti siswa, orang tua siswa, masyarakat, pemerintah, pendidikan lanjut dan dunia usaha.

Oleh karena itu, upaya mewujudkan sekolah yang bermutu terpadu dituntut untuk berfokus kepada pelanggannya, adanya keterlibatan total semua warga sekolah, adanya ukuran baku mutu pendidikan, memandang pendidikan sebagai sistem dan mengadakan perbaikan mutu pendidikan berkesinambungan.

 

Berfokus kepada pelanggannya.

            Pelanggan lembaga pendidikan/sekolah terdiri dari pelanggan eksternal dan internal. Pelanggan eksternal utama sekolah adalah siswa dan sekaligus sebagai input utama (main input) yang akan diproses menjadi lulusan. Pelanggan eksternal kedua dan seterusnya adalah orang tua, dunia usaha, pemerintah dan pendidikan lebih lanjut. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa sekolah yang berumutu adalah sekolah yang dapat memenuhi atau melebihi keinginan, harapan dan kebutuhan pelangannya.

            Menurut Goetsch dan Davis pelanggan internal maupun eksternal merupakan driver. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar dalam menentukan kualitas tenaga kerja, proses dan lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa.[7] Oleh karena itu, dalam pendirian dan penyelenggaraan sekolah harus didahului dengan mengadakan penelitian dan bertanya kepada masyarakat luas, jenis, jenjang pendidikan dan program studi/jurusan apa yang dibutuhkan pada suatu daerah tertentu. Dengan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, maka tidak akan terjadi lulusan yang tidak diterima di masyarakat. Semua lulusan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang sesuai dengan keinginannya, dapat diterima di dunia usaha atau dapat menciptakan pekerjaan sendiri serta dapat memperoleh penghasilan sesuai kebutuhan hidupnya. Jika semua lembaga pendidikan/sekolah telah mampu menyelenggaragan pendidikan seperti demikian hasilnya, maka akan terjadi stabilitas nasional baik dalam bidang ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.

Page 37: COST OF QUALITY

            Untuk mewujudkan pendidikan yang dapat memuaskan pelanggan eksternal seperti tersebut di atas, maka kepala sekolah terlebih dahulu harus memuaskan pelanggan internalnya, yaitu para guru, pustakawan, laboran, tenaga administrasi, tenaga keamanan dan tenaga kebersihan. Para personil yang merupakan pelanggan internal inilah merupakan pihak penentu dalam mewujudkan sekolah yang bermutu. Guru adalah pelaksana kegiatan inti (core business) sekolah yaitu proses pembelajaran yanag akan menentukan kualitas lulusannya. Pustakawan adalah SDM/personil yang memberikan layanan sumber pembelajaran tekstual untuk mendukung kegiatan akademik/pembelajaran. Laboran adalah personil/SDM yang mendukung kegiatan akademik/embelajaran siswa pada skala laboratorium sebagai kelanjutan atau membuktikan berbagai teori yang telah dipelajari melalui pembelajaran literatur. Tenaga administrasi adalah kegiatan pendukung, agar kegiatan akademik/pembelajaran di sekolah, baik administrasi akademik maupun administrasi non akademik dapat berjalan dengan baik. Tenaga kebersihan sebagai personil/SDM sekolah yang mendukung agar suasana sekolah tetap asri dan proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar. Dan tenaga keamanan bertanggung jawab untuk menciptakan suasana sekolah agar tetap aman dan terkendali.

            Kepuasan pelanggan internal sekolah pada dasarnya adalah jika mereka dapat bekerja atau menjalankan tugas dengan dukungan fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai, mendapatkan kompensasi yang layak atas kinerja yang telah diberikan, baik dalam bentuk finansial, material maupun non material serta kesejahteraan secara luas. Sebagai wujud atau bukti adanya kepuasan pelanggan internal sekolah adalah para guru, tenaga admnistrasi, pustakawan, laboran, tenaga kebersihan dan kemanan menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, sesuai sistem, prosedur dan tata kerja yang telah ditentukan. Dengan adanya kepuasan pelanggan internal ini diharapkan mereka dapat memuwujudkan kepuasan terhadap pelanggan eksternal sekolah.

 

Adanya keterlibatan total semua warga sekolah.

            Keterlibatan total semua warga sekolah berarti sekolah dalam hal ini kepala sekolah menyusun organisasi, menganlisis jabatan dan pekerjaan, menyusun uraian tugas, menempatkan orang sesuai latar belakang pendidikan dan keahliannya serta sesuai dengan beban tugas dan pekerjaannya secara merata. Semua warga sekolah diberikan tugas dan fungsi sesuai keahliannya, sesuai bakat dan minatnya. Sebesar atau sekecil apapun, semua warga sekolah harus dilibatkan, diberikan tugas, peran dan fungsi dalam peningkatan mutu sekolah, mulai dari kepala sekolah itu sendiri, komite sekolah, para guru, staf tata usaha, pustakawan, laboran, siswa dan orang tua.

            Pelibatan semua warga sekolah itu harus berlangsung mulai dari planning, organizing, staffing, directing, commanding, coordinating, communicating, budgeting,

Page 38: COST OF QUALITY

leading, motivating, compensating dan sampai kepada controlling. Dengan pelibatan tersebut, maka mereka akan menjalankan tugas, peran dan fungsi serta pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab dan penuh komitmen. Pelibatan semua warga sekolah menurut Goetsch dan Davis sebagaimana di kutip oleh Ariani adalah merupakan bentuk pemberian kepuasan kepada pelangan internal agar mereka mau dan mampu memberikan layanan pendidikan yang memuaskan bagi pelangan eksternalnya. Pelibatan warga sekolah itu dalam seluruh proses atau kegiatan.[8]

            Bentuk-bentuk keterlibatan guru dan karyawan sekolah dalam peningkatan mutu sekolah dapat berupa saran, baik secara pribadi maupun kelompok, baik atas permintaan pimpinan ataupun atas inisiatif sendiri, dibentuknya tim pemecahan masalah baik atas inisiatif kelompok maupun atas permintaan pimpinan, terbentuknya komite perbaikan mutu sekolah secara berkesinambungan, terbentuknya gugus kendali mutu sekolah dan terbentuknya kelompok-kelompok kerja dalam peningkatan mutu sekolah.[9] Keberhasilan pemberdayaan guru dan karyawan pada suatu sekolah ditandai bahwa pekerjaan mereka milik mereka sendiri, meraka bekerja, menjalankan tugas dan fungsinya secara bertanggung jawab, mereka memahami betul posisi mereka berada dan mereka memiliki pengendalian atas pekerjaan mereka.[10]

 

Adanya ukuran baku mutu pendidikan.

            Ukuran mutu menurut kriteria mutu Baldrige berfokus pada 7 area topik yang secara integral dan dinamis saling berhubungan, yaitu leadership, information and analysis, strategic quality planning, human resource management, quality assurance product of product and services, quality result and customer satisfaction.[11] Dari 7 area topik ukuran kualitas di atas, jika diukur dengan Kriteria Baldrige Award maka perbaikan sistem manajemen kualitas adalah sebagai berikut :

1.      Kepemimpinan :

a.       Kepala sekolah memiliki pernyataan kebijakan kualitas

b.      Guru dan staf  serta seluruh warga sekolah mengetahui sasaran kualitas jangka panjang sekolah

c.       Kepala sekolah terlibat secara penuh dalam pengembangan kultur kualitas sekolah

d.      Kepala sekolah memiliki pelatihan yang tepat tentang konsep-konsep kualitas

e.       Kepala sekolah mempraktikkan konsep-konsep kualitas yang diajarkan

Page 39: COST OF QUALITY

f.        Kebijakan kuaitas berlandaskan pada kebutuhan untuk perbaikan terus menerus

g.       Tanggung jawab perbaikan kualitas telah secara jelas dikomunikasikan kepada seluruh warga sekolah

h.       Komite kualitas sekolah mengkoordinasikan berbagai unit-unit sekolah

i.          Masyarakat mengetahui sasaran kualitas sekolah

j.        Kepala sekolah membrikan sumber daya yang cukup dan tepat untuk perbaikan kualitas

2.      Analisis dan Informasi :

a.       Kepala sekolah melaporkan data tentang semua dimensi penting dari kualitas pelanggan sekolah

b.      Guru dan karyawan melaporkan data tentang semua dimensi pelayanan yang penting

c.       Data kualitas dilaporkan kepada semua unit-unit sekolah

d.      Data tentang pelatihan manajemen kualitas dikumpulkan oleh tata usaha

e.       Kepala sekolah menganalisis data tentang pandangan masyarakat terhadap kualitas sekolah

f.        Kepala sekolah menganalisis biaya yang tidak efisien

g.       Kepala sekolah mengidentifikasi kendala-kendala dalam mewujudkan kulialitas sekolah

3.      Perencanaan Kualitas Strategis :

a.       Kepala sekolah menggunakan data kompetitif dari sekolah lain ketika mengembangkan sasaran kualitas

b.      Kepala sekolah memiliki rencana operasional tahunan yang menggambarkan sasaran kualitas

c.       Guru dan karyawan dilibatkan dalam perencanaan kualitas

d.      Pimpinan unit-unit/komponen sekolah berusaha untuk mencapai sasaran kualitas

Page 40: COST OF QUALITY

e.       Fungsi kualitas merupakan bagian rencana kegiatan sekolah

f.        Kepala sekolah memiliki metode spesifik untuk memantau kemajuan menuju perbaikan kualitas sekolah

g.       Terdapat rencana kualitas yang mempengaruhi semua unit sekolah

h.       Kepala sekolah memiliki rencana kualitas untuk masukan   

4.      Pengembangan Sumber Daya Manusia :

a.       Kepala sekolah memiliki rencana peluang bagi guru dan karyawan dalam perbaikan kualitas

b.      Kriteria kualitas digunakan dalam evaluasi performa SDM sekolah

c.       Sasaran kualitas dikomunikasikan kepada semua guru dan staf

d.      Guru dan karyawan percaya dan secara terus menerus memberikan layanan terbaik

e.       Semua guru dan kaeyawan dilatih tentang konsep perbaikan kualitas

f.        Kepala sekolah memberikan kompensasi/imbalan atas jasa guru/karyawan untuk usaha perbaikan kualitas mereka

g.       Kepala sekolah mengumpulkan data tentang moral guru dan karyawan 

5.      Manajemen Kualitas Proses :

a.       Ekspektasi kualitas dari pelanggan didefinisikan secara jelas

b.      Kebutuhan pelanggan ditransformasikan ke dalam proses perencanaan untuk perbaaikan kualitas

c.       Terdapat sistem yang efektif untuk memproses informasi tentang ekspektasi pelanggan

d.      Kepala sekolah melakukan audit sistem manajemen kualitas

e.       Kepala sekolah bekerjasama dengan stakeholder untuk meningkatkan kualitas

f.        Unit-unit pendukung sekolah mendifinissikan sasaran kuaalitas

Page 41: COST OF QUALITY

g.       Kepala sekolah menyimpan dan mempertahankan dokumen-dokumen kualitas yang baru (tidak usang)

h.       Terdapat sistem efektif untuk mengkomunikasikan ide-ide kualitas kepada kepala sekolah

6.      Hasil-hasil Kualitas :

a.       Sekolah sekolah merupakan satu di antara tiga sekolah terbaik dalam lingkup kepuasan pelanggan

b.      Kepala sekolah menunjukkan perbaikan kualitas terus menerus selama tiga tahun terakhir

c.       Kepala sekolah dapat mendemonstrasikan perbaikan kualitas melalui unit-unit pendukung

d.      Kepala sekolah dapat mendemonstrasikan perbaikan kualitas melalui stakeholder

e.       Terdapat penurunan terus menerus keluhan pelanggan dalam waktu tiga tahun terakhir

7.      Kepuasan Pelanggan :

a.       Kepala sekolah dapat menunjukkan bahwa pelanggan puas atas barang dan/aatau jasa yang diberikan

b.      Kepala sekolah melaporkan data kepuasan pelaanggan

c.    Kepala sekolah dapat menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pelanggan meningkat terus menerus dalam waktu tiga tahun terakhir

d.      Kepala sekolah dapat menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pelanggan sekolah yang dipimpinnya lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah pesaingnya

e.       Terdapat suatu proses efektif untuk menangani keluhan pelanggan

f.        Definisi pekerjaan pendukung guru dan karyawan untuk secara tepat menyesaikan keluhan-keluhan pelanggan

g.       Kepala sekolah menggunakan pendekatan inovatif untuk menilai kepuasan pelanggan.

Page 42: COST OF QUALITY

Pengukuran tersebut dapat digunakan skala Likert dengan rentang angka 1 = sangat tidak setuju, 4 = netral dan 7 = sangat setuju.

 

Memandang pendidikan sebagai sistem.

            Pendidikan sebagai sistem di suatu sekolah merupakan suatu keseluruhan yang utuh yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan, saling terkait, saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya dalam mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan sebagai sistem di suatu sekolah/lembaga pendidikan sub-sub sistemnya adalah kurikulum dan pembalajaran, organisasi dan kelembagaan, manajemen dan administrasi, keteganaan, peserta didik, pembiayaan, sarana dan prasarana, peran serta masyarakat dan iklim/budaya sekolah.

            Kesempilan komponen atau subsistem dalam lembaga pendidikan tersebut tidak dapat dipisahkan, kesemuanya saling terkait, saling tergantung dan saling mempengaruhi. Tercapainya kurikulum dan suksesnya proses pembelajaran sangat terkit, tergantung dan dipengaruhi oleh 8 unsur/komponen/subsistem yang lainnya. Organisasi/lembaga sekolah akan dapat berdiri tegak jika, kurikulum dan pembalajaran, manajemen dan administrasi, keteganaan, peserta didik, pembiayaan, sarana dan prasarana, peran serta masyarakat dan iklim/budaya sekolah semuanya ada dan berjalan dengan baik. Manajemen dan administrasi pendidikan akan dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh 8 unsur pendidikan lainnya. Ketenagaan akan dapat menjalankan tugasnya dengan baik, jika didukung oleh 8 unsur pendidikan lainnya. Peserta didik akan dapat belajar dengan baik, jika 8 unsur pendidikan itu ada dan berfungsi dengan baik. Demikian pula pembiayaan, sarana dan prasarana, peran serta masyarakat dan pembentukan budaya dan iklim sekolah yang mendukung semua mempengaruhi dan dipengaruhi oleh 8 unsur lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut :

 

 

 

 

 

 

 

Page 43: COST OF QUALITY

 

 

 

 

 

Mengadakan perbaikan mutu pendidikan berkesinambungan.

            Perbaikan mutu berkesinambungan adalah ciri manajemen mutu terpadu. Oleh karena itu, sekolah bermutu terpadu dituntut untuk terus mengadakan perbaikan mutu pendidikan secara berkelanjutan atau berkesinambungan. Jika perbaikan mutu pendidikan berkesinambungan itu mengacu kepada Siklus Deming (Deming Cycle), maka tahapannya adalah :

1.      Mengadakan riset pelanggan dan menggunakan hasilnya untuk perencanaan produk pendidikan(plan)

2.      Menghasilkan produk pendidikan melalui proses pembelajaran (do)

3.      Memeriksa produk pendidikan melalui evaluasi pendidikan/evaluasi pembelajaran, apakah hasilnya sesuai rencana atau belum (check)

4.      Memasarkan produk pendidikan dan menyerahkan lulusannya kepada orang tua atau masyarakat, pendidikan lajut, pemerintah dan dunia usaha(action)

5.      Menganalisis bagaimana produk tersebut diterima di pasar, baik baik pada pendidikan lajut ataupun di dunia usaha dalam hal kualitas, biaya dan kriteria lainnya (analyze).[12]

Tuntutan peningkatan mutu suatu produk atau layanan jasa termasuk pendidikan oleh pelanggan terus terus menerus berkembang dan meningkat dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun dan dari jaman ke jaman. Masyarakat semakin cerdas dalam memilih lembaga pendidikan, mereka dapat membedakan lembaga pendidikan/sekolah yang berkualitas dan kurang berkualitas. Oleh karena itu, penyelenggara/pengelola sekolah/madrasah atau lembaga pendidikan tidak bisa menyelenggarakan pendidikan asal jadi dan statis tanpa perbaikan berkesinambungan memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat.

Page 44: COST OF QUALITY

Penyelenggaraan lembaga pendidikan pada sekolah ataupun madrasah dituntut untuk memenuhi atau melebihi kebutuhan atau keinginan pelanggannya, melibatkan secara total semua komponen sekolah, mengadakan pengukuran dan evaluasi diri terhadap kemaajuan lembaga pendidikan yang dikelalolanya, peningkatan atau perbaikan mutu pendidikan yang diselenggarakannya secara menyeluruh terhadap semua komponen/susb-subsistem lembaga pendidikan dan mengadakan berbaikan mutu pendidikan secara berkesinambungan untuk menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan jaman dan memenuhi atau melebihi harapan, keinginan dan kebutuhan pelanggannya.   

 

Kepemimpinan Sekolah Bermutu Terpadu

            Kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut mau melakukan suatu tindakan untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan yang berlangsung pada lembaga pendidikan adalah kepemimpinan pendidikan yang menurut Syafaruddin berarti menjalankan proses kepemimpinan yang sifatnya mempengaruhi sumber daya personil pendidikan (guru dan karyawan) agar melakukan tindakan bersama guna mencapai tujuan pendidikan.[13]

            Dirawat menjelaskan kepemimpinan pendidikan sebagai suatu kemampuan dan proses mempengaruhi, mengkoordnir dan menggerakkan orang-rang lain yang ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, agar kegiatan-kegiatan yang dijalankan dapat lebih efektif dab efesien di dalam pencapaian tujuan pendidikan dan pengajaran.[14]

Kepemimpinan pendidikan di sekolah dalam fungsinya sebagai kepemimpinan manajerial adalah pengelola mutu, yang jika diadaptasi dari Trilogi Juran adalah perencanaan mutu, pengembangan produk dan proses yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhaan pelanggan pendidikan. Pengendalian mutu, yaitu mengevaluasi kinerja mutu riel dan membandingkannya dengan tujuan mutu serta menyelesaikan masalah pendidikan yang ada di sekolah. Terakhir adalah peningkatan mutu dengan membangun prasarana yang diperlukan untuk penjaminan kegiatan peningkatan mutu pendidikan, membentuk tim pelaksana kegiatan peningkatan mutu pendidikan dan memberikan sumber daya, motivasi, dan pelatihan yang dibutuhkan oleh tim untuk mendiagnose penyebabnya, menentukan alternatif pemecahannya dan mempertahankan kondisi mutu pendidikan yang telah diraih.[15]

Kepemimpinan sekolah bermutu terpadu menuntut adanya pemimpin transformasional, yang jika diadaptasi dari Timpe diidentifikasikan dan diasoasikan memiliki kemampuan penciptaan bayangan masa, yaitu memiliki gambaran masa depan sekolah yang ideal dan sekolah yang efektif, yang dapat memuaskan seluruh stakeholders.

Page 45: COST OF QUALITY

Mampu memobilisasi komitmen seluruh warga sekolah untuk mewujudkan bayangan sekolah yang ideal dan efektif serta memuaskan pelanggan tersebut menjadi sebuah kenyataan dan mampu melembagakan perubahan, jika sekolah itu telah bermutu sesuai atau melebihi keinginan, kebutuhan dan harapan pelanggannya.[16]  

Dalam mewujudkan sekolah yang bemutu terpadu membutuhkan kepemimpinan sekolah efektif, yaitu yang memiliki kriteria sebagai berikut :

1.      Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif

2.      Dapat menjalankan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan

3.      Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat, sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan

4.      Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah

5.      Mampu bekerja dengan tim manajemen sekolah

6.      Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.[17]  

 

Penerapan Prinsip Mutu Dalam Pendidikan

            Penerapan prinsip-prinsip mutu dalam pendidikan sudah tidak dapat dielakkan dan ditawar-tawar lagi oleh penyelenggara atau pengelola lembaga pendidikan, baik sekolah maupun madrasah. Sebab penyelenggaraan pendidikan yang bermutu di lembaga pendidikan sudah menjadi tuntutan mutlak dari seluruh lapisan masyarakat, baik siswa, orang rua, masyarakat, pendidikan lanjut, pemerintah dan dunia usaha.

            Prinsip utama manajemen  mutu terpadu dalam pendidikan yang diadaptasi dari Hensler dan Brunell yang dikutip oleh Scheuing dan Christopher adalah kepuasan pelanggan, respek terhadap setiap orang, manajemen berdasarkan fakta dan perbaikan berkesinambungan.[18] sebagai berikut :

Kepuasan pelanggan

Page 46: COST OF QUALITY

Dalam dunia usaha, apapun usahanya termasuk usaha dalam jasa pendidikan yaitu sekolah, agar sukses dalam usahanya maka harus memberikan kepuasan kepada pelanggannya, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal. Pada saat ini masyarakat luas mencemooh atau mencibirkan kinerja sekolah/lembaga pendidikan. Mereka yang putra atau putrinya lulus SD/MI dan tidak dapat diterima di SMP/MTs yang favorit sesuai keinginannya, kemudian mengecap bahwa sekolah asal anak mereka mutu atau kualitasnya jelek. Demikian pula para orang tua yang putra/putrinya lulus SMP/MTs, kemudian mereka tidak dapat diterima pada SMA/MA yang favorit sesuai keinginan mereka memberikan label sekolah asal anaknya buruk mutunya dan orang tua yang anak mereka lulus SMA atau Madrasah Aliyah kemuadian melanjutkan ke perguruan tinggi dan jika tidak berhasil masuk perguruan tinggi/universitas sesuai keinginannya, mereka mencela bahwa SMA atau MA asal sekolah anak adalah jelek.

Untuk memperbaiki citra atau image sekolah yang buruk di kalangan masyarakat, maka mau atau tidak mau, pihak sekolah harus terus meningkatkan pengelolaan atau penyelenggaraan pendidikan di sekolah agar dapat terus berusaha memenuhi/melebihi keinginan/harapan/kebutuhan pelanggan atau stakeholder sekolah atau lembaga pendidikan yang dikelolanya. Dengan proses pelayanan atau penyelenggaraan pendidikan yang baik sesuai keinginan pelanggannya dan lulusannya dapat diterima di lembaga pendidikan yang diinginkan dan atau segera dapat diterima di dunia usaha atau dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan penghasilan yang memadai, maka masyarakat atau stakeholder akan merasa puas. Inilah harapan masyarakat stakeholder pendidikan terhadap sekolah/lembaga pendidikan kita semua.   

Respek terhadap setiap orang

Setiap orang di manapun berada, termasuk di sekolah perlu perhatian (care), saling menghormati, saling memaafkan dan saling menghargai,  baik kepala sekolah terhadap guru dan karyawan dan sebaliknya, antara sesama guru dengan karyawan dan sebaliknya, antara kepala sekolah, para guru dan karyawan dengan peserta didik serta warga sekolah dengan seluruh stakeholder serta setiap orang yang hadir membutuhkan layanan pendidikan di sekolah tersebut.

Di sekolah harus diciptakan iklim atau budaya organisasi saling respek terhadap semua orang, saling menghargai antara tugas dan fungsi orang lain, saling menghormati pekerjaan ataupun jabatan orang lain, saling memaafkan jika terjadi kesalahan, saling menyayangi atau mencintai. Suasana yang demikian, akan sangat mendukung lancarnya proses pembelajaran sebagai kegiatan utama sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.  

Manajemen berdasarkan fakta

Penyelenggaraan sekolah dengan manajemen mutu terpadu, mulai dari perencanaan mutu pendidikan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian sekolah,

Page 47: COST OF QUALITY

penempatan personil sekolah, proses kepemimpinan sekolah, yaitu leading, directing, commanding, coordinating, commnucating, pemberian imbalan (compensating) dan pengawasan(controlling) terhadap kegiatan pendidikan di sekolah harus berdasarkan fakta, data dan informasi yang benar dan akurat.

 Dengan data yang akurat dan informasi yang benar semua hal yang berkaitan dengan peningkatan mutu sekolah, mulai dari peningkatan mutu kurikulum dan pembelajaran, administrasi dan manajemen, organisasi dan kelembagaan, ketenagaan, peserta didik, pembiayaan, sarana dan prasarana, peranserta masyarakat dan peningkatan mutu budaya atau iklim sekolah, maka akan memudahkan bagi pimpinan sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan di  sekolah tersebut, mulai dari perencanaan mutu pendidikan, pengorganisasian peningkatan mutu pendidikan sampai dengan pengawasan kegiatan peningkatan mutu pendidikan di sekolah itu.

Perbaikan berkesinambungan

Prinsip perbaikan mutu berkesinambungan dalam manajemen mutu terpadu sangat tepat diterapkan di dalam peningkatan mutu pendidikan. Tuntutan peningkatan mutu pendidikan terus mengalir dan terus mengalami peningkatan, baik dari siswa, orang tua, masyarakat, pemerintah maupun dunia usaha. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan tidak dapat hanya dilakukan  pada saat-saat tertentu saja kemudian berhenti tidak berkesinambungan atau berkelanjutan.

Banyak sekolah yang telah pernah berprestasi dan dianggap baik atau bermutu pada suatu weaktu, namun sekolah tersebut tidak melakukan perbaikan berkesinambungan sesuai tuntutan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain banyak bermunculan sekolah baru yang tampaknya lebih mampu memenuhi harapan masyarakat, baik dari mutu kurikulum dan pembelajaran, administrasi dan manajemen, organisasi dan kelembagaan, ketenagaan, peserta didik, pembiayaan, sarana dan prasarana, peranserta masyarakat dan mutu budaya atau iklim sekolah.

Kondisi tersebut, membuat sekolah yang tidak mau dan tidak mampu memperbaiki dan meningkatkan mutunya, baik mutu masukannya, mutu manajemen layanannnya, mutu proses pembelajarannya sampai  pada mutu lulusannya, maka lembaga pendidikan tersebut tidak akan mendapatkan tempat di hati masyarakat, tidak ada orang tua yang memasukkan putra/putrinya kesekolah tersebut.  Akhiurnya, sekolah tersebut hidup susah matipun tak mau. Oleh karena itu, prinsip perbaikan mutu berkesinambungan pada setiap lembaga pendidikan/sekolah mutlak untuk diterapkan, sehingga sekolah tersebut mampu memenunhi/melebihi harapan dan kebutuhan masyarakat.

 

Page 48: COST OF QUALITY

Siklus Peningkatan Mutu Pendidikan

            Siklus peningkatan mutu pendidikan yang dibahas di bawah ini merupakan proses yang dirancang untuk membantu mengimplementasikan mutu di sekolah. Dengan mengikuti langkah-langkah yang merupakan siklus sebagai upaya perbaikan mutu pendidikan di sekolah, maka diharapkan lembaga pendidikan tersebut dapat mewujudkan pendidikan yang berkualitas sesuai kebutuhan dan harapan para stakeholder atau pelanggannya. Berikut ini dijelaskan siklus atau langkah-langkah peningkatan mutu pendidikan di sekolah :

1.      Penyusunan Rencana Strategis Peningkatan Mutu

Penyusunan rencana strategis peningkatan mutu pendidikan di sekolah dimulai dengan mengidentifikasi pelanggan, mengidentifikasi kebutuhan pelanggan, mengidentifikasi kebutuhan proses, menentukan kriteria sukses, menentukan tujuan dan sasaran peningkatan mutu pendidikan.

2.      Mengomunikasi Rencana Strategis Peningkatan Mutu

Setelah rencana strategis peningkatan mutu pendidikan di sekolah tersebut disusun, kemudian dikomunikasikan atau disosialisasikan kepada semua semua pihak yang terlibat. Mengomunikasikan rencana strategis tersebut diawali dengan menyampaikan tujuan dan sasaran, cakupan informasi, menghimpun berbagai gagasan untuk merealisasikan rencana strategis, menyampaikan rencarna strategis tersebut melalui berbagai media, konferensi, seminar, rapat dan berbagai publikasi lainnya.   

3.      Pengukuran Program Yang Telah Dilaksanakan

Pengukuran program yang telah dilaksanakan sangat penting sebagai landasan untuk pembuatan program ke depan. Kegiatan ini dimulai dengan mengukur proses , program sosial, program kegiatan pembelajaran, program manajemen sekolah dan program pelatihan yang ada.

4.      Mengelola Konflik

Konflik yang terlalu besar akan membahayakan organisasi dan organisasi tanpa konflik akan terjadi stagnan. Oleh karena itu, agar organisasi sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan dengan baik konflik perlu distimulir dan dikelola dengan baik, sehingga terjadi persaingan yang positif dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah tersebut. Namun jika konflik itu semakin basar dan tidak dapat dikendalilan, akan mengancam stabilitas sekolah. Dengan demikian pimpinan sekolah harus mampu mengelola dan memlihara konflik agar tetap moderat, mewujudkan

Page 49: COST OF QUALITY

persaingan positif dan akhirnya proses peningkatan mutu sekolah dapat berhasil dengan baik.

Untuk mengelola konflik yang konstruktif, kepuasan lebih besar lebih besar lewat kekuasaan non-koersif, pengakuan adanya masalah dan pemahaman atas penyebabnya dan pemecahan masalah secara kolaboratif.   

5.      Seleksi Program

Program peningkatan mutu di sekolah harus diseleksi dan dibedakan antara keinginan dan kebutuhan. Seleksi progam sangat penting untuk melihat mana kegiatan yang merupakan kebutuhan mendesak dan harus segera dilaksanakan dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan. Seleksi program dan penentukan kegiatan peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dukungan berbagai sumber daya yang dimiliki sekolah yang bersangkutan, sehingga program tersebut dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.

Dalam menyeleksi dan menentukan fokus program peningkatan mutu pendidikan dilakukan oleh tim terpilih yang memahami betul tentang peningkatan mutu pendidikan, mengembangkan proses pengukuran, sehingga program tersebut terukur dengan tepat dan mengembangkan umpan balik untuk proses perbaikan program.

6.      Implementasi Program

Bagus atau tidaknya suatu program termasuk program peningkatan mutu pendidikan akan diuji lewat implementasi. Oleh karena itu, implementasinya harus tepat dan mantap dengan melibatkan partisipasi tim dan semua kelompok, melalui proses pelatihan dan arahan, memilih dan menggunakan jalur program yang tepat, memilih resolusi masalah yang tepat dan melakukan komunikasi yang efektif dan persuasif.

7.      Penilaian Pencapaian Program

Pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan di sekolah harus dinilai. Penilaian ini dilakukan untuk mengukur hasil dan mutu program yang telah dicapai, untuk memodifikasi program, unuk mendapatkan dokumen proses dan standar, untuk melihat pola dan proses komunikasi di sekolah tersebut dan menganalisis biaya dibandingkan mafaat yang diperoleh atau analisis efektivitas, efesiensi dan produktivitas program yang telah dilaksanakan.

8.      Standarisasi Peningkatan Mutu Pendidikan

Page 50: COST OF QUALITY

Berdasarkan hasil penilaian program peningakatan mutu pendidikan di sekolah, maka dapat ditetapkan bahwa peningkatan mutu pendidikan di sekolah itu dikatakan berhasil jika :

a.       Kepercayaan masyarakat terhadap proses dan hasil pendidikan di sekolah tersebut meningkat;

b.      Keterbukaan informasi tentang sekolah tersebut dalam proses peningkatan mutu pendidikan meningkat;

c.       Mutu kinerja sekolah yang bersangkutan meningkat;

d.      Terjadinya komitmen semua pihak dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

e.       Terjadinya perbaikan berkesinambungan.

           

Membentuk Satuan Tugas Mutu

Pemecahan Masalah

Biaya Mutu

Perbaikan Berkesinambungan

Kesimpulan

[1], Jerome S., Quality in Education : An Implementation Handbook, Alih Bahasa : Yosal Iriantara, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2005, hal. 8.

[2] Crosby, Philip B., Quality is Free, New York : New American Library, 1979, hal. 58.

[3] Deming, W. Edward, Out of Crisis, Cambridge : Massachussets Institute of Technologi, 1986, hal. 176.

[4] Fiegenbaum, Armand V, Total Quality Control, 3rd Edition, 1991, hal. 7.

[5] Nasution, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta : Ghalia Indonesia, 2001, hal. 16.

Page 51: COST OF QUALITY

[6] Fandy, Tjiptono, Total Quality Management, Yogyakarta : Andi Offset, 1995, hal. 4.

[7] Goetsch and Davis, Introduction to Total Quality, Englewood Cliffts : Prentice-Hall Inc., 1994, hal. 14.

[8] Ariani, Dorothea Wahyu, Manajemen Kualitas Pendekatan Kualitatif, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003 hal. 35.

[9] Ariani, Dorothea Wahyu, Manajemen Kualitas, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 1999, hal. 35.

[10] Gasperssz, Vincent, Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa, Jakarta : Yayasan Indonesia Emas Institut Vincent dan PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 89.

[11] Hunt, Daniel V., Managing for Quality, Illionis : Business one Irwin Homewood, 1993, hal. 178.

[12] Bounds, G., Beyond Total Quality Management Toward The Emeging Paradigm. New York : McGrow Hill Inc., 1994, hal. 54.

[13] Syafruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat : Ciputat Press, 2005, hal. 160.

[14] Dirawat, dkk., Pengantar Kepemimpinan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1986, hal. 33.

[15] Juran, J. M., Juran on Leadership for Quality, USA : Juran Institute, Inc., 1989, hal. 23-24.

[16] Timpe, A. Dale, The Art and Science of Business Management Leadership, New York : Kend Publishing, Inv, 1987, hal. 342-344.

[17] Mulyasa, E., Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung : PT Remaja Rosyda Karya, 2003, hal. 126.

[18] Scheuning and Christipher, The Customer Service Planner, Oxford : Butterworth Heinemann, 1993, hal. 165-166.

2010. http://nurochim.multiply.com/journal/item/1

MANAJEMEN MUTU BERBASIS SEKOLAH

A. Pendahuluan

Pengertian Mutu PendidikanSecara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup input, proses, dan output

Page 52: COST OF QUALITY

pendidikan.

Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya proses. Input sumber daya meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundangundangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapan-harapanberupa visi, misi, tujuan, dan sasaran- sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.

Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses yang dimaksud adalah proses pengembilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi disbanding dengan proses- proses lainnya.

Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan dsb) dilakukan secara harmonis, sehingganya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdaykan mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akantetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus (mampu mengembangkan dirinya).

Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efesiendinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khusunya prestasi belajar siswa, menunjukkan pencapaian yangtinggi dalam : (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan kejujuran, dan kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

1. Latar BelakangPerkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.

Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil.

Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, elatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembagapendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.

Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented,diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktoryang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidakberjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengansingkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahanpendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat olehbirokrasi pusat.

2. TujuanKonsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;

Page 53: COST OF QUALITY

a. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.

b. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosioekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.

c. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.

d. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing - masing.

e. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.

f. Memotivasi timbulnya pemikiran - pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.

g. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.

h. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan. Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut;

a. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,b. Sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai,c. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,d. Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi,e. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK,f. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu.g. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat.

Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dantenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.

Kerangka kerja dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolahDalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;

1. Sumber daya sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk :

1. Memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu

2. Pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.

2. Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.

3. Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan

Page 54: COST OF QUALITY

relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakantantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;

•pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.•bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.•pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.

Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolahsehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.

4. Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah danpembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu danpengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal.

Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat. Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnyalebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).

Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.

Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.

Blog dengan ID 26250 Tidak ada 

Strategi pelaksanan di tingkat sekolahDalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :

•Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.

•Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.

•Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa

Page 55: COST OF QUALITY

belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.

•Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya. Program tersebut memuat sejumlahprogram aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah ini harus mencakup indicator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM ratarata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb).

Program sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapayang akan menyampaikannya.

Daftar Pustaka Amakalah Manajemen Mutu Berbasis Sekolah :

www_geocities_com-pakguruonline_filesMANAJEMEN PENINGKATAN MUTU_filesDikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah:Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, 1991,

Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, PT.Grasindo, Jakarta. Suseno, Muchlas, 1998,Percepatan Pembelajaran Menjelang Abad 21 (makalah hasil analisis dari Accelerated Learning for 21st Century oleh Colin Rose and Malcolm J. Nicholl),

Pasca Sarjana IKIP Jakarta, JakartaTimTeknis Bappenas, 1999, School-Based Management di TingkatPendidikan Dasar, Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia,Jakarta.Victorian's Departement of Education, 1997, Developing SchoolCharter: Quality Assurance in Victorian Schools, Education Victoria,Melbourne, Australia.

[Makalah] Peningkatan Mutu Pembelajaran di Sekolah[Posted on 5 Februari 2008 by AKHMAD SUDRAJAT

Oleh : Mustakim, S.Pd.,MM*))

I. Pendahuluan

Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat  berperan  dalam membentuk  baik  atau  buruknya  pribadi  manusia  menurut  ukuran  normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus 

Page 56: COST OF QUALITY

berwawasan masa depan yang memberikan  jaminan bagi  perwujudan hak-hak azasi  manusia  untuk mengembangkan seluruh potensi  dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di  masa depan.

Pendidikan  pada  dasarnya  merupakan   suatu  usaha  pengembangan   sumber  daya  manusia   (   SDM  ), walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal ( sekolah ). Tetapi sampai detik ini,  pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang.

Kemajuan pendidikan dapat dilihat dari kemampuan dan kemauan dari masyarakat untuk menangkap proses informatisasi dan kemajuan teknologi. Karena Proses informatisasi yang cepat karena kemajuan teknologi   semakin   membuat   horizon   kehidupan   didunia   semakin   meluas   dan   sekaligus   semakin mengerut. Hal ini berarti berbagai masalah kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian dibelahan bumi yang lain, baik masalah politik, ekonomi , maupun sosial.

Sejalan dengan hal diatas, Tilaar menyatakan bahwa :

“  Kesetiakawanan sosial  umat manusia semakin kental,  hal   ini  berarti kepedulian umat manusia terhadap sesamanya semakin merupakan tugas setiap manusia, pemerintah, dan sistem pendidikan nasional. Selanjutnya dikatakan pula bahwa pendidikan bertugas untuk mengembangkan kesadaran akan   tanggung   jawab  setiap  warga  Negara   terhadap  kelanjutan  hidupnya,  bukan   saja   terhadap lingkungan masyarakat dan Negara, juga umat manusia.” (H.A.R Tilaar , 2004 : 4)

Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain; setiap  manusia  akan   selalu  membutuhkan  dan  berinteraksi  dengan  orang   lain  dalam berbagai   segi kehidupan. Kesetiakawanan sosial  yang merupakan bagian dari  proses pendidikan dan pembelajaran mempunyai   peranan   yang   sangat   kuat   bagi   individu   untuk   berkomunikasi   dan   berinteraksi   untuk mencapai tujuan hidupnya.

Dalam   proses   pelaksanaannya   di   lapangan,   kesetiakawanan   sosial   diwujudkan   melalui   interaksi antarmanusia,   baik   individu   dengan   individu,   individu   dengan   kelompok,   dan   kelompok   dengan kelompok.

Interaksi  antarmanusia dapat terjadi  dalam berbagai  segi  kehidupan di  belahan bumi,  baik dibidang pendidikan,ekonomi,   sosial,   politik   budaya,   dan   sebagainya.   Interaksi   di   bidang   pendidikan   dapat diwujudkan melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan masyarakat , guru dengan guru, guru dengan masyarakat disekitar lingkungannya.

Apabila dicermati proses interaksi siswa dapat dibina dan merupakan bagian dari proses pembelajaran, seperti yang dikemukan oleh Corey (1986 ) dalam Syaiful Sagala (2003 : 61 ) dikatakan bahwa :

“ Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan   ia   turut   serta   dalam  tingkah   laku   tertentu   dalam   kondisi-   kondisi   khusus   atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu.”

Selanjutnya Syaiful Sagala , menyatakan bahwa pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu :

Page 57: COST OF QUALITY

“ Pertama,   dalam   proses   pembelajaran   melibatkan   proses   berfikir.   Kedua,   dalam   proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses Tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk   memperbaiki   dan   meningkatkan   kemampuan   berfikir   siswa   ,   yang   pada   gilirannya kemampuan  berfikir   itu   dapat  membantu   siswa  untuk  memperoleh  pengetahuan   yang  mereka konstruksi sendiri. “ (Syaiful Sagala,2003 : 63 )

Dari  uraian diatas,  proses pembelajaran yang baik dapat dilakukan oleh siswa baik didalam maupun diluar kelas, dan dengan karakteristik yang dimiliki oleh siswa diharapkan mereka mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman- temannya secara baik dan bijak.

Dengan  intensitas  yang tinggi  serta kontinuitas  belajar  secara berkesinambungan diharapkan proses interaksi sosial sesama teman dapat tercipta dengan baik dan pada gilirannya mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain walaupun dalam perjalanannya mereka saling berbeda pendapat yang pada akhirnya mereka saling menumbuhkan sikap demokratis antar sesama.

Paradigma metodologi pendidikan saat ini disadari atau tidak telah mengalami suatu pergeseran dari behaviourisme   ke   konstruktivisme   yang  menuntut   guru   dilapangan   harus  mempunyai   syarat   dan kompetensi   untuk   dapat   melakukan   suatu   perubahan   dalam   melaksanakan   proses   pembelajaran dikelas. Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses   pembelajaran   yang   menyenangkan,   bergembira,   dan   demokratis   yang   menghargai   setiap pendapat sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.

Sejalan dengan pendapat diatas, pembelajaran menurut pandangan konstruktivismeadalah:

“Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit ) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep   atau   kaidah   yang   siap   untuk   diambil   dan   diingat.   Manusia   harus   mengkonstruksi Pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata. (Depdiknas,2003:11)

Implementasi   pendekatan   konstruktivisme   dalam   pembelajaran   diwujudkan   dalam   bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Center ) . Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa , sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning)

Untuk menciptakan situasi yang diharapkan pada pernyataan diatas seoarang guru harus mempunyai syarat-syarat apa yang diperlukan dalam mengajar dan membangun pembelajaran siswa agar efektif dikelas,  saling  bekerjasama dalam belajar  sehingga tercipta  suasana yang menyenangkan dan saling menghargai (demokratis ) , diantaranya :

1. Guru harus lebih banyak menggunakan metode pada waktu mengajar, variasi metode mengakibatkan

penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa, mudah diterima siswa, sehingga kelas menjadi hidup,

metode pelajaran yang selalu sama( monoton ) akan membosankan siswa.

2. Menumbuhkan motivasi, hal ini sangat berperan pada kemajuan , perkembangan siswa,. Selanjutnya

melalui proses belajar, bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran akan meningkatkan kegiatan

belajar, dengan tujuan yang jelas maka siswa akan belajar lebih tekum, giat dan lebih bersemangat.

(Slamet ,1987 :92 )

Kita yakin pada saat ini banyak guru yang telah melaksanakan teori konstruktivismedalam pembelajaran di kelas tetapi volumenya masih terbatas, karena kenyataan dilapangan kita masih banyak menjumpai guru   yang   dalam  mengajar  masih   terkesan   hanya  melaksanakan   kewajiban.   Ia   tidak  memerlukan 

Page 58: COST OF QUALITY

strategi,  metode  dalam mengajar,  baginya  yang  penting  bagaimana  sebuah  peristiwa pembelajaran dapat berlangsung.

Disisi lain menurut Hartono Kasmadi (1993 :24) bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dimana pengajar masih memegang peran yang sangat dominan, pengajar banyak ceramah (telling method) dan kurang membantu pengembangan aktivitas murid .

Dari uraian diatas, tidak dipungkiri bahwa dilapangan masih banyak guru yang masih melakukan cara seperti pendapat  diatas,  dan diakui  bahwa banyaka faktor  penyebabnya sehingga kita  akan melihat akibat yang timbul pada peserta didik, kita akan sering menjumpai siswa belajar hanya untuk memenuhi kewajiban pula, masuk kelas tanpa persiapan, siswa merasa terkekang, membenci guru karena tidak suka gaya mengajarnya, bolos, tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru, takut berhadapan dengan mata pelajaran tertentu,  merasa tersisihkan karena tidak dihargai  pendapatnya,  hak mereka merasa dipenjara   ,   terkekang  sehingga  berdampak  pada hilangnya  motivasi  belajar,   suasan belajar  menjadi monoton, dan akhirnya kualitas pun menjadi pertanyaan.

Dari permasalahan yang ada , sekolah dalam hal ini kepala sekolah, guru dan stakeloders mempunyai tanggung   jawab terhadap  peningkatan  mutu pembelajaran  di   sekolah   terutama guru  sebagai  ujung tombak dilapangan (di kelas) karena bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pembelajaran.

Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat terhadap kemajuan dan peningkatan kompetensi siswa , dimana hasilnya akan terlihat dari jumlah siswa yang lulus dan tidak lulus.dengan demikian tangung jawab peningkatan mutu pendidikan di sekolah , selalu dibebankan kepada guru .lalu bagaimana kesiapan unsur-unsur tersebut dalam peningkatan mutu proses pembelajaran ?

II. Pembahasan

A. Hakekat Pendidikan

Menururt pendapat Ki Hajar Dewantoro dalam Kongres Taman Siswa ( 1930 ) mengungkapkan :

“Pendidikan. Umumnja berarti daja-upaja untuk memadjukan bertumbuhnja budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak: …

[Pendidikan. Umumnya berarti daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak: …]” (Ki Hajar Dewantoro, 1962: 3)

Sedangkan Lodge dalam Ismaun menjelaskan pengertian pendidikan sebagai berikut :

“In the narrower sense, education is restricted to that functions, it’s background, and it’s outlook to the member of the rising generation, ………. In the narrower sense, education becomes, in practice identical with schooling, i.e. formal instruction under controlled conditions”.

Dalam arti yang sempit, pendidikan hanya mempunyai fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar-dasar  dan  pandangan  hidup  kepada  generasi   yang   sedang   tumbuh,  yang  dalam prakteknya   identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta lingkungan belajar yang serba terkontrol. (Ismaun, 2007: 57). Pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu itu berada. (Syaiful Sagala , 2006 : 3).

Page 59: COST OF QUALITY

Sementara   itu  Hamid  Darmadi   (2007   :  3   )  berpendapat   endidikan  mengadung   tujuan  yang   ingin dicapai, yaitu membentuk kemampuan individu mengembangkan dirinya yang kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehinga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang individu.

Selanjutnya   Dodi   Nandika   (2007:15   )   Pendidikan   bukan   sekedar   mengajarkan   atau   mentransfer pengetahuan, atau semata mengembangkan aspek intelektual, melainkan juga untuk mengembangkan karakter, moral, nilai-nilai, dan budaya peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan adalah membangun budaya, membangun peradaban, membangun masa depan. alam Kamus Besar bahasa Indonesia (1995 : 232)  menyatakan  bahwa  pendidikan  adalah  proses  pengubahan   sikap  dan   tata   laku   sesorang  atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan;proses, perbuatan,   cara  mendidik.  Dalam Undang-Undang  RI  Nomor  20   tahun  2003  Bab  I  Pasal  1  ayat   (1) dikatakan bahwa :

”Pendidikan  adalah  usaha   sadar  dan   terencana  untuk  mewujudkan   suasana  belajar  dan  proses pembelajaran   agar   peserta   didik   secara   aktif  mengambangkan   potensi   dirinya   untuk  memiliki kekuatan spiritual  keagamaan  ,  pengendalian  diri,  kepribadaian,  kecerdasan,  akhlak  mulia,   serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan Negara .”

Selanjutnya,  Sihombing   (2002)  dalam Ety  Rochaety,  dkk   (2005   :7   )  bahwa pendidikan  mengandung pokok-pokok penting sebagai berikut :

1. Pendidikan adalah proses pembelajaran

2. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia

3. Pendidikan berusaha mengubah atau mengembangkan kemampuan, sikap, dan perilaku positif.

4. Pendidikan merupakan perbuatan atau kegiatan sadar

5. Pendidikan berkaitan dengancara mendidik

6. Pendidikan memiliki dampak lingkungan

7. Pendidikan tidak berfokus pada pendidikan formal

Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa pendidikan merupakan sutau system yang memiliki kegiatan cukup kompleks,  meliputi berbagai  komponen yang berkaitan satu dengan yang  lain,  dengan tujuan untuk membangun masa depan bangsa.

Jika  menginginkan   pendidikan   secara   teratur   ,   berbagai   elemen   (komponen   )   yang   terlibat   dalam kegiatan pendidikan perlu dikenal  terlebih dahulu.untuk  itu diperlukan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu system yang dapat dilihat secara mikro dan makro .

B. Hakekat Mutu Pendidikan

Sebelum   membahas   tentang   mutu   pendidikan   terlebih   dahulu   akan   dibahas   tentang   mutu   dan pendidikan.  Banyak ahli  yang mengemukakan tentang mutu, seperti yang dikemukakan oleh Edward Sallis   (2006   :   33   )  mutu  adalah  Sebuah  filsosofis  dan  metodologis   yang  membantu   institusi   untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan. Sudarwan Danim (2007 : 53 ) mutu mengandung makna derajat keunggulan suatu poduk atau hasil kerja, baik berupa barang dan jasa. Sedangkan dalam dunia pendidikan barang dan jasa itu bermakna dapat dilihat dan tidak dapat dilihat,  tetapi dan dapat dirasakan. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991 :677 ) menyatakan Mutu adalah (ukuran ), baik buruk suatu benda;taraf atau derajat   (kepandaian,   kecerdasan,   dsb)   kualitas. Selanjutnya   Lalu   Sumayang   (   2003   :   322) menyatakan quality (mutu ) adalah tingkat dimana rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa 

Page 60: COST OF QUALITY

sesuai dengan fungsi dan penggunannya, disamping itu quality adalah tingkat di mana sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan rancangan spesifikasinya.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulan bahwa mutu (quality ) adalah sebuah filsosofis dan metodologis,  tentang (ukuran ) dan tingkat baik buruk suatu benda, yang membantu  institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan penggunannya agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal  yang berlebihan

Dalam pandangan Zamroni ( 2007 : 2 ) dikatakan bahwa peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien.

Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses untuk mencapai dan faktor-faktor yang  terkait.  Dalam peningkatan  mutu ada dua aspek yang perlu  mendapat  perhatian,  yakni  aspek kualitas hasil dan aspek proses mencapai hasil tersebut.

Teori manajemen mutu terpadu atau yang lebih dikenal dengan Total Quality Management.(TQM) akhir-akhir   ini  banyak diadopsi  dan digunakan oleh dunia  pendidikan dan teori   ini  dianggap sangat  tepat dalam dunia pendidikan saat ini.

Konsep total quality management pertama kali  dikemukakan oleh Nancy  Warren,   seorangbehavioral scientist di United States Navy (Walton dalam Bounds, et. al, 1994). Istilah ini mengandung makna every process, every job, dan every person (Lewis & Smith, 1994). Pengertian TQM dapat dibedakan menjadi dua aspek (Goetsch & davis, 1994).

Aspek pertama menguraikan   apa   TQM.   TQM   didefinisikan   sebagai   sebuah   pendekatan   dalam menjalankan usaha yang berupaya memaksimumkan daya saing melalui penyempurnaan secara terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan organisasi.

Aspek kedua menyangkut   cara  mencapainya  dan  berkaitan  dengan   sepuluh  karakteristik  TQM yang terdiri   atas   : (a) focus pada pelanggan (internal & eksternal), (b) berorientasi pada kualitas, (c) menggunakan pendekatan ilmiah, (d) memiliki komitmen jangka panjang, (e) kerja sama tim, (f) menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan, (g) pendidikan dan pelatihan, (h) menerapkan kebebasan yang terkendali, (i) memiliki kesatuan tujuan, (j) melibatkan dan memberdayakan karyawan.(Ety Rochaety,dkk,2005 :97)

Edward  Sallis   (   2006   :73   )  menyatakan  bahwa Total Quality Management (TQM)  Pendidikan  adalah sebuah filsosofis tentang perbaikan secara terus- menerus , yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan , keinginan , dan harapan para pelanggannya saat ini dan untuk masa yang akan datang

Di   sisi   lain,   Zamroni  memandang   bahwa  peningkatan  mutu  dengan  model   TQM  ,   dimana   sekolah menekankan pada peran kultur sekolah dalam kerangka model The Total Quality Management (TQM). Teori ini menjelaskan bahwa mutu sekolah mencakup tiga kemampuan, yaitu : kemampuan akademik, sosial, dan moral. (Zamroni , 2007 :6 )

Menurut   teori   ini,  mutu  sekolah  ditentukan  oleh  tiga  variabel,   yakni  kultur   sekolah,  proses  belajar mengajar,  dan   realitas   sekolah.  Kultur   sekolah  merupakan  nilai-nilai,   kebiasaan-kebiasaan,  upacara-

Page 61: COST OF QUALITY

upacara, slogan-slogan, dan berbagai perilaku yang telah lama terbentuk di sekolah dan diteruskan dari satu   angkatan   ke   angkatan   berikutnya,   baik   secara   sadar   maupun   tidak.   Kultur   ini   diyakini mempengaruhi  perilaku   seluruh  komponen   sekolah,   yaitu   :   guru,   kepala   sekolah,   staf   administrasi, siswa, dan juga orang tua siswa. Kultur yang kondusif bagi peningkatan mutu akan mendorong perilaku warga kearah peningkatan mutu sekolah, sebaliknya kultur yang tidak kondusif akan menghambat upaya menuju peningkatan mutu sekolah.

C. Faktor-Faktor Dominan dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran diSekolah

Selanjutnya untuk meningkatkan mutu sekolah seperti yang disarankan oleh Sudarwan Danim ( 2007 : 56 ), yaitu dengan melibatkan lima faktor yang dominan :

1. Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas,

mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam

bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang kuat.

2. Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga kompetensi dan

kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa

.

3. Guru; pelibatan guru secara maksimal , dengan meningkatkan kopmetensi dan profesi kerja guru

dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan tersebut

diterapkan disekolah.

4. Kurikulum; sdanya kurikulum yang ajeg / tetap tetapi dinamis , dapat memungkinkan dan memudahkan

standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan ) dapat dicapai secara maksimal;

5. Jaringan Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat

semata (orang tua dan masyarakat ) tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan / instansi

sehingga output dari sekolah dapat terserap didalam dunia kerja

Berdasarkan   pendapat   diatas,   perubahan   paradigma   harus   dilakukan   secara   bersama-sama   antara pimpinan   dan   karyawan   sehingga   mereka   mempunyai   langkah   dan   strategi   yang   sama   yaitu menciptakan mutu dilingkungan kerja khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus   menjadi   satu   tim   yang   utuh (teamwork )yangn   saling   membutuhkan   dan   saling   mengisi kekurangan yang ada sehingga target(goals ) akan tercipta dengan baik

D. Unsur-unsur yang terlibat dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di sekolah

Unsur yang terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan dapat  lihat dari  sudut pandang makro dan mikro pendidikan, seperti yang dijabarkan di bawah ini :

1. Pendekatan Mikro Pendidikan :

Yaitu suatu pendekatan terhadap pendidikan dengan indicator kajiannya dilihat dari hubungan antara elemen peserta didik, pendidik, dan interaksi keduanya dalam usaha pendidikan. Secara lengkap elemen mikro sebagai berikut :

Kualitas manajemen

Pemberdayaan satuan pendidikan

Profesionalisme dan ketenagaan

Relevansi dan kebutuhan.

Berdasarkan tinjauan mikro elemen guru dan siswa yang merupakan bagian dari pemberdayaan satuan pendidikan merupakan elemen sentral. Pendidikan untuk kepentingan peserta didik mempunyai tujuan, dan untuk mencapai tujuan ini ada berbagai sumber dan kendala, dengan memperhatikan sumber dan 

Page 62: COST OF QUALITY

kendala ditetapkan bahan pengajaran dan diusahakan berlangsungnya proses untuk mencapai tujuan. Proses ini menampilkan hasil belajar. hasil belajar perlu dinilai dan dari hasil penilaian dapat merupakan umpan balik sebagai bahan masukan dan pijakan.

Secara mikro diagram alur proses pendidikan dapat dilihat dibawah ini :

Sumber : Ety Rochaety,dkk (2005:8 )

Dari   gambar  diatas,   bahwa  pengetahuan   teori   yang  didapatkan  dari   seorang   guru  melalui   kualitas manajemen dengan harapan tujuan pendidikan akan tercapai, tujuan akan tercapai jika dibekali dengan bahan   sehingga   proses   pendidikan   akan   terlaksana   dengan   baik   sehingga   akan   menghasilkan penampilan (hasil belajar) hasil belajar dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu melalui penilaian dengan dasar criteria penilaian , hasil dari penampilan akan dijadikan umpan balik.

2. Pendekatan Makro Pendidikan ;

Yaitu kajian pendidikan dengan elemen yang lebih luas dengan elemen sebagai berikut:

>Standarisasi pengembangan kurikulum

Pemerataan dan persamaan, serta keadilan

Standar mutu

Kemampuan bersaing.

Tinjauan makro pendidikan menyangkut berbagai hal yang digambarkan dalam dua bagan ( P.H Coombs, 1968 ) dalam Etty Rochaety, dkk (2005 : 8 ) bahwa pendekatan makro pendidikan melalui jalur pertama yaitu INPUT SUMBER – PROSES PENDIDIKAN – HASIL PENDIDIKAN , seperti pada gambar di bawah ini :

Page 63: COST OF QUALITY

Sumber : Ety Rochaety, dkk (2005 : 9 )Input   sumber   pendidikan   akan  mempengaruhi   dalam   kegiatan   proses   pendidikan   ,   dimana  proses pendidikan didasari  oleh berbagai unsur sehingga semakin siap suatu  lembaga dan semakin lengkap komponen pendidikan yang dimiliki maka akan menciptakan hasil pendidikan yang berkualitas.

Selanjutnya Syaiful Sagala (2004 : 9 ) menyatakan solusi manajemen pendidikan secara mikro dan makro yang dituangkan dalam gambar berikut :

Sumber: Syaiful Sagala (2004 : 9)

E. Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran di Sekolah

Secara   umum   untuk   meingkatkan   mutu   pendidikan   harus   diawali   dengan   strategi   peningkatan pemerataan   pendidikan,   dimana   unsure   makro   dan   mikro   pendidikan   ikut   terlibat,   untuk 

Page 64: COST OF QUALITY

menciptakan (Equality dan Equity ) , mengutip pendapat Indra Djati Sidi ( 2001 : 73 ) bahwa pemerataan pendidikan harus mengambil langkah sebagai berikut :

1. Pemerintah menanggung biaya minimum pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah baik negeri

maupun swasta yang diberikan secara individual kepada siswa.

2. Optimalisasi sumber daya pendidikan yang sudah tersedia, antara lain melalui double shift ( contoh

pemberdayaan SMP terbuka dan kelas Jauh )

3. Memberdayakan sekolah-sekolah swasta melalui bantuan dan subsidi dalam rangka peningkatan mutu

embelajaran siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia.

4. Melanjutkan pembangunan Unit Sekolah Baru (USB ) dan Ruang Kelas Baru (RKB ) bagi daerah-daerah

yang membutuhkan dengan memperhatikan peta pendidiakn di tiap –tiap daerah sehingga tidak

mengggangu keberadaan sekolah swasta.

5. Memberikan perhatian khusus bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, masyarakat terpencil,

masyarakat terisolasi, dan daerah kumuh.

6. Meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dan pemerintah daerah untuk ikut serta mengangani

penuntansan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.

Sedangkan peningkatan mutu sekolah secara umum dapat diambil satu strategi dengan membangun Akuntabilitas pendidikan dengan pola kepemimpinan , seperti kepemimpinan sekolah Kaizen ( Sudarwan Danim, 2007 : 225 ) yang menyarankan :

1. Untuk memperkuat tim-tim sebagai bahan pembangun yang fundamental dalam struktur perusahaan

2. Menggabungkan aspek –aspek positif individual dengan berbagai manfaat dari konsumen

3. Berfokus pada detaiol dalam mengimplementasikan gambaran besar tentang perusahaan

4. Menerima tanggung jawab pribadi untuk selalu mengidentifikasikan akar menyebab masalah

5. Membangun hubungan antarpribadi yang kuat

6. Menjaga agar pemikiran tetap terbuka terhadap kritik dan nasihat yang konstruktif

7. Memelihara sikap yang progresif dan berpandangan ke masa depan

8. Bangga dan menghargai prestasi kerja

9. Bersedia menerima tanggung jawab dan mengikuti pelatihan

III Penutup.

Kepemimpinan kepala sekolah dan kreatifitas guru yang professional, inovatif, kreatif, mrupakan salah satu tolok ukur dalam Peningkatan mutu pembelajaran di sekolah ,karena kedua elemen ini merupakan figure yang bersentuhan langsung dengan proses pembelajaran , kedua elemen ini merupakan fugur sentral   yang   dapat   memberikan   kepercayaan   kepada  masyarakat   (orang   tua   )   siswa   ,   kepuasan masyarakat akan terlihat dari output dan outcome yang dilakukan pada setiap periode. Jika pelayanan yang   baik   kepada   masyarakat   maka   mereka   tidak   akan   secara   sadar   dan   secara   otomatis   akan membantu segala kebutuhan yang di inginkan oleh pihak sekolah,sehingga dengan demikian maka tidak akan sulit bagi pihak sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah.

Referensi :

Darmadi, Hamid. 2007. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung : Alfabeta.

Dewantoro, Ki Hajar. 1962. Bagian Pertama: Pendidikan. Jogjakarta : Taman Siswa.

Edward Sallis. 2006. Total Quality Management In Education (alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi ). Jogjakarta : IRCiSoD

Eti Rochaety,dkk.2005 . Sistem Informamsi Manajemen Pendidikan. Jakarta : bumi Aksara

Page 65: COST OF QUALITY

Indra Djati Sidi.2003. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta : Logos

Ismaun. 2007. Filsafat Administrasi Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan.

Lalu Sumayang.2003. Manajemen produksi dan Operasi. Jakarta : Salemba Empat

Tim   Penyusun   Kamus   Besar   Bahasa   Indonesia..1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia.   Jakarta   :Balai Pustaka

Republik   Indonesia.   (2003). Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kloang klede Putra Timur

Sagala,Syaiful.2005.Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta

—————–.2004. Manajemen Berbasis Sekolah &Masyarakat. Bandaung : alfabeta

Sudarwan Danim.2007.Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara

Suyadi Prawirosentono. 2007 . Filosofi Baru tentang Manajemen Mutu terpadu abad 21. Jakarta : Bumi Aksara

Zamroni. 2007 . Meningkatkan Mutu Sekolah . Jakarta : PSAP Muhamadiyah

 

*)) Mustakim, S.Pd.,MM adalah guru di SMP Negeri 2 Parungpanjang Kabupaten Bogor, saat ini sedang menempuh Program Doktoral (S3) pada Program Studi Administrasi Pendidikan-Pendidikan Pasca Sarjana UPI Bandung

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/05/peningkatan-mutu-pembelajaran-di-sekolah/