BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

44
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal Permukaan ginjal ditutupi oleh organ capsula fibrosa. Ginjal terdiri atas 2 bagian yaitu satu buah disisi kanan dan satu buah disisi kiri. Bentuk ginjal seperti biji kacang yang terletak dibagian belakang peritoneum. Kedua ginjal terletak di belakang peritoneum, yang mana sisi kanan terletak pada dinding posterior abdomen dan sisi kiri terletak pada columna vertebralis. Kedua ginjal memiliki warna coklat kemerahan. Letak ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena diatas ginjal kanan terdapat tempat lobus hepatis yang besar (wiliam & wilkins, 2015). Gambar 2.1. Anatomi ginjal (Guyton & Hall, 2016). Pada umumnya ginjal orang dewasa memiliki ukuran sekitar 12 cm, lebar 6 cm dan tebal 3 cm serta berat rata-rata ginjal yaitu 150 g. Permukaan bagian luar ginjal cembung sedangkan permukaan bagian dalam cekung dan mempunyai celah vertikal yang disebut hilus ginjal. Pada bagian superior masing-masing ginjal terdapat kelenjar adrenal atau suprarenal serta terdapat beberapa jaringan pendukung yang mengelilingi ginjal (Marieb & Brito, 2018). Masing-masing ginjal memiliki daerah lekukan yang disebut Hilum dan terletak di sisi medial ginjal (Guyton & Hall, 2016). Hilum renal merupakan celah untuk lewatnya pembuluh darah dan ureter yang masuk ataupun keluar ginjal. Sedangkan Sinus renalis merupakan suatu akses ke rongga internal (Paulsen & Waschke, 2018).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anatomi Ginjal

Permukaan ginjal ditutupi oleh organ capsula fibrosa. Ginjal terdiri atas 2

bagian yaitu satu buah disisi kanan dan satu buah disisi kiri. Bentuk ginjal seperti

biji kacang yang terletak dibagian belakang peritoneum. Kedua ginjal terletak di

belakang peritoneum, yang mana sisi kanan terletak pada dinding posterior

abdomen dan sisi kiri terletak pada columna vertebralis. Kedua ginjal memiliki

warna coklat kemerahan. Letak ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri,

karena diatas ginjal kanan terdapat tempat lobus hepatis yang besar (wiliam &

wilkins, 2015).

Gambar 2.1. Anatomi ginjal (Guyton & Hall, 2016).

Pada umumnya ginjal orang dewasa memiliki ukuran sekitar 12 cm, lebar 6

cm dan tebal 3 cm serta berat rata-rata ginjal yaitu 150 g. Permukaan bagian luar

ginjal cembung sedangkan permukaan bagian dalam cekung dan mempunyai

celah vertikal yang disebut hilus ginjal. Pada bagian superior masing-masing

ginjal terdapat kelenjar adrenal atau suprarenal serta terdapat beberapa jaringan

pendukung yang mengelilingi ginjal (Marieb & Brito, 2018). Masing-masing

ginjal memiliki daerah lekukan yang disebut Hilum dan terletak di sisi medial

ginjal (Guyton & Hall, 2016). Hilum renal merupakan celah untuk lewatnya

pembuluh darah dan ureter yang masuk ataupun keluar ginjal. Sedangkan Sinus

renalis merupakan suatu akses ke rongga internal (Paulsen & Waschke, 2018).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

6

Ginjal dilindungi oleh capsula fibrosa yang berfungsi untuk melindungi struktur

dalam ginjal yang halus. Ginjal dibagi menjadi dua bagian yaitu cortex dan

medula. Medula terdiri dari 8-10 jaringan berbentuk kerucut yang disebut

piramida ginjal. Piramida ginjal diawali dari perbatasan antara cortex dan medula

dan berakhir di papila, yang berbentuk corong dari ujung atas ureter (Guyton &

Hall, 2016).

2. 2 Fungsi Ginjal

Ginjal berfungsi untuk mensekresikan sebagian besar sisa metabolisme.

Peran penting dari ginjal yaitu mengatur keseimbangan air dan elektrolit di dalam

tubuh serta mempertahankan keseimbangan asam-basa darah (William &

Wilkins,2015). Aliran darah yang mengalir ke ginjal sekitar 22% atau sekitar

1100 ml/menit. Pembentukan urin diawali dengan arteri renal yang masuk ke

ginjal melalui hilum yang kemudian bercabang sehingga terbentuk arteri

interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis (arteri radial), dan arteri arteriol

aferen yang mengarah ke glomerulus. Terbentuknya arteriol aferen yaitu dengan

menyatunya kapiler-kapiler glomerulus yang membawa darah menuju jaringan

kapiler pertibular. Sirkulasi ginjal memiliki dua lapisan kapiler, kapiler

glomerulus dan kapiler pertibular yang letaknya berada diantara arteriol aferen,

yang mana arteriol aferen ini berfungsi untuk mengatur tekanan hidrostatik pada

dua kapiler tersebut. Kapiler glomerulus memiliki tekanan hidrostatik yang tinggi

sekitar 60 mmHg, sehingga dapat mengakibatkan filtrasi cairan yang cepat,

sedangkan kapiler pertibular memiliki tekanan hidrostatik yang lebih rendah dari

kapiler glomerulus yaitu sekitar 13 mmHg sehingga mengakitkan terjadi

kecepatan reabsobsi cairan yang cepat (Guyton & Hall, 2016).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

7

Gambar 2.2 Anatomi nefron ginjal (Himmelfarb & Ikizler, 2018).

Setiap ginjal manusia mengandung sekitar 800 ribu sampai 1 juta nefron,

yang memiliki masing-masing fungsi yaitu mampu membentuk urin. Jumlah

nefron dapat berkurang secara bertahap karena ginjal yang tidak dapat

meregenarsi nefron baru, sehingga menyebabkan cedera ginjal, penyakit dan

penuaan normal. Setiap nefron terdiri atas dua bagian yaitu korpus ginjal (badan

malphigi) dan tubulus renalis. Korpus ginjal terdiri dari glomerulus yang

dikelilingi oleh capsula Bowman sedangkan Tubulus Renalis terdiri atas Tubulus

Kontortus Proksimal, Lengkung Henle Dan Tubulus Kontortus Distal (Guyton &

Hall, 2016).

Glomerulus merupakan jaringan kapiler yang terbentuk dari arteriol afferen

dan arteriol eferen. Arteriol afferen dapat membantu mempertahankan tekanan

darah yang tinggi di dalam glomerulus karena memiliki diameter yang lebih besar

dari diameter arteriol efferen. Capsula Bowman ialah ujung perluasan tubulus

renalis yang menutupi glomerulus. Capsula Bowman terdiri dua lapisan yaitu

lapisan dalam lapisan luar. Lapisan dalam dari capsula bowman memiliki pori dan

sangat permeable, sedangkan lapisan luar capsula bowman tidak berpori dan tidak

permeable. Celah antara dua lapisan tersebut berisi filtrat ginjal, cairan yang

berasal dari darah dalam glomerulus, dan selanjutnya diubah menjadi urin

(Scanlon & Sanders, 2015).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

8

2.2.1 Pembentukan Urin

Pembentukan urine melalui tiga proses utama. Proses pertama yaitu filtrasi

glomerulus yang terjadi di korpus ginjal, proses kedua dan ketiga ialah reabsorbsi

tubulus dan sekresi yang terjadi di tubulus renalis (Scanlon & Sanders, 2015).

2.2.1.1 Filtrasi Glomerulus

Filtrasi glomerulus merupakan langkah awal pembentukan urin yang mana

proses ini ialah keluarnya zat-zat terlarut dari kapiler yang disebabkan oleh

tekanan darah mendorong plasma, serta protein kecil keluar dari glomeruli dan

masuk ke kapsula bowman. Lapisan dalam kapsula bowman memiliki tekanan

yang sangat rendah yaitu sekitar 20 % - 25 % darah yang keluar dari glomeruli

dan masuk ke kapsula bowman sehingga menjadi filtrat ginjal di dalam kapsula

bowman.

Sel-sel darah dan protein yang berukuran besar tidak dapat keluar dari

glomeruli, sehingga tetap berada dalam plasma darah. Namun, zat-zat sisa serta

bahan bermanfaat seperti nutrien dan mineral dapat larut dalam plasma sehingga

dapat masuk ke filtrat ginjal. Perbedaan antara plasma darah dan filtrat ginjal

yaitu filtrat ginjal memiliki protein lebih sedikit dan tidak memiliki sel darah

didalamnya.

Laju filtrasi glomerulus (GFR) merupakan jumlah filtrat ginjal yang

dihasilkan dalam 1 menit. GFR dapat menghasilkan filtrat rata-rata 100-125

mL/menit. Jika aliran darah melalui ginjal berubah maka, laju filtrasi glomerulus

pun akan berubah, dimana ketika aliran darah meningkat maka GFR pun kan

meningkat serta menghasilkan filtrat yang lebih banyak. Namun, jika aliran

darah menurun maka hasil GFR pula akan menurun, sehingga mengahasilkan

filtrat yang sedikit serta output urin berkurang (Scanlon & Sanders, 2015).

2.2.1.2 Reabsorpsi tubulus

Ginjal membentuk filtrat dalam waktu 24 jam sebanyak 150 sampai 180

Liter dan mengeluarkan urin normal sebanyak 1 sampai 2 Liter. Pada proses ini

terjadi penyerapan kembali glukosa, asam amino, vitamin dan ion-ion positif.

Proses reabsorpsi berlangsung dengan transport aktif di tubulus kontortus

proksimal, sedangkan ion-ion negatif direabsorpsi dengan transport pasif di

tubulus kontortus distal. Oleh karena itu, sebagian besar filtrat tidak menjadi

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

9

urin, di mana sekitar 99% filtrat direabsorpsi kembali ke dalam plasma darah

dan hanya 1 % filtrat yang masuk ke pelvis ginjal dan dikeluarkan menjadi urin

(Scanlon & Sanders, 2015).

2.2.1.3 Sekresi tubulus

Hasil metabolik obat serta zat-zat sisa seperti amonia dan kreatinin

disekresikan ke dalam filtrat dan dikeluarkan menjadi urin. Pad proses ini, zat-

zat sisa disekresikan dari darah di kapiler peritubuler menuju ke filtrat di tubulus

renalis (Scanlon & Sanders, 2015)

2.2.2 Eksresi Hasil Metabolik, Bahan Kimia Asing, Obat-Obatan Dan Metabolit

Hormon

Ginjal merupakan alat utama untuk menghilangkan sisa-sisa metabolisme

dalam tubuh. Zat sisa metabolisme yng dihilangkan berupa urea, kreatinin,

asam urat, bilirubin, dan metabolit dari berbagai hormon. Ginjal juga dpat

menghilangkan sebaian besar racun dan zat asing yang dicerna oleh tubuh

seperti obat-obatan, pestisida dan zat tambahan makanan. (Guyton & Hall,

2016).

2.2.3 Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit

Eksresi cairan dan elektrolit didalam tubuh tetap dipertahankan sesuai

dengan asupan untuk menjaga homeostasis. Jika asupan di dalam tubuh lebih

banyak dari eksresi maka jumlah zat dalam tubuh juga meningkat, begitupun

jika asupan di dalam tubuh kurang dari eksresi maka jumlah zat dalam tubuh

juga berkurang. Asupan air dan elektrolit diatur oleh kebiasan makan dan

minum seseorang, sehingga tingkat eksresi ginjal menyesuaikan dengan asupan

dari berbagai zat yang masuk ke dalam tubuh. Respon ginjal terhadap

peningkatan asupan natrium terjadi 10 kali lipat dari 30 mEq/hari menjadi 300

mEq/ hari. Dalam waktu 2 sampai 3 hari setelah peningkatan asupan natrium,

eksresi ginjal mengalami peningkatan sekitar 300 mEq/hari sehingga asupan

dan keluaran cepat terbentuk kembali (Guyton & Hall, 2016).

2.2.4 Mengatur keseimbangan asam basa

Ginjal juga berperan dalam menjaga pH darah dan cairan tubuh tetap pada

batas normal. Nilai pH darah yaitu kisaran 7,35-7,45. Suatu keadaan dikatakan

asidosis ialah ketika pH darah < 7,35 dan sebaliknya jika pH darah > 7,45

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

10

maka dikatakan alkalosis (Sherwood,2014). Keseimbangan asam basa juga

mengatur konsentrasi ion H yang berada dalam cairan tubuh. Ion H+ dapat

disekresi ginjal lebih banyak ke dalam filtrat ginjal dan dapat mengembalikan

ion HCO3- ke dalam darah, hal ini terjadi apabila cairan dalam tubuh menjadi

terlalu asam, sehingga proses tersebut dapat membantu meningkatkan pH darah

menjadi normal. Jika cairan tubuh menjadi terlalu basa maka, ginjal akan

mengembalikan ion H+ ke dalam darah dan mengeluarkan ion HCO3- dalam

bentuk urin. Sehingga dapat membantu menurunkan pH darah menjadi normal

kembali (Scanlon & Sanders, 2015).

2.2.5 Mengatur Produksi Eritrosit

Hipoksia merupakan salah satu stimulus penting untuk mensekresi

eritropoetin oleh ginjal. Ginjal dapat mengeluarkan eritropoetin yang dapat

merangsang sel darah merah oleh sel induk hematopoietik di sumsum tulang.

Jika produksi eritropoetin menurun akan menyebabkan anemia yang parah

(Guyton & Hall, 2016).

2.2.6 Sekresi renin

Renin-angiotensin merupakan mekanisme dari renin untuk meningkatkan

tekanan darah. Hasil akhir dari mekanisme ini yaitu Angiotensin II yang

menyebabkan vasokonstriksi serta meningkatkan sekresi aldosteron, sehingga

keduanya dapat membantu meningkatkan tekanan darah. Jika tekanan darah

menurun, enzim renin akan disekresi oleh sel-sel jukstaglomerulus di dinding

arteriol afferen (Scanlon & Sanders, 2015).

2. 3 Tinjauan tentang Chronic Kidney Disease (CKD)

2.3.1 Definisi CKD

Chronic Kidney Disease ialah kerusakan struktur ataupun fungsi ginjal

serta penurunan laju glomerulus atau Glomerular Filtration Rate (GFR) yang

berlangsung selama 3 bulan atau lebih. Chronic kidney disease disebabkan oleh

adanya albuminuria, sedimen urin abnormal seperti hematuria, gangguan

fungsional seperti asidosis, kelainan patologis ginjal seperti imunoglobulin

nefropati, serta kelainan struktural ginjal seperti penyakit ginjal polikistik

(Himmelfarb & Ikizler, 2018). Chronic kidney disease merupakan penyakit

yang merusak ginjal secara progresif dan lambat sehingga menyebabkan

gangguan keseimbangan tubuh dan elektrolit (Widyastuti et al., 2014).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

11

Chronic kidney disease juga didefinisikan sebagai penurunan fungsi dan

jumlah nefron secara bertahap. Gejala klinis dapat terjadi jika jumlah nefron

turun sekitar 70 sampai 75% di bawah batas normal. Hal ini pula ditandai

dengan konsentrasi darah pada sebagian elektrolit dan pada volume cairan

tubuh dapat bertahan normal sampai jumlah nefron yang berfungsi turun

menjadi 20 sampai 25 persen dari batas normal (Guyton & Hall, 2016).

Berdasarkan Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) 2012

bahwa laju filtrasi glomerulus <60 mL/ menit/ 1.73 m2 merupakan definisi

adanya gagal ginjal kronis. Angka tersebut dapat menimbulkan CKD dan

meningkatkan resiko komplikasi pada penyakit tersebut (Himmelfarb &

Ikizler, 2018). Jika laju filtrasi glomerulus <15 mL/menit/ 1,73 m2 maka

disebut penyakit ginjal stadium akhir atau gagal ginjal kronik stadium 5

(Dipiro et al, 2015). Pasien pada stadium akhir terapi yang diberikan yaitu

terapi pengganti ginjal berupa perotoneal dialisis, transplantasi ginjal atau

Hemodialisis. Hemodialisis merupakan terapi yang sangat dianjurkan untuk

pasien yang telah terdiagnosis gagal ginjal stadium ke-5 atau stadium akhir

(Suwitra, 2014).

2.3.2 Epidemiologi CKD

Penyakit gagal ginjal kronik menjadi salah satu penyakit yang dialami

masyarakat dengan prevalensi yang tinggi. Di negara maju prevalensi penyakit

gagal ginjal kronik mencapai 10-13%. Menurut studi Perhimpunan Nefrologi

Indonesia bahwa sekitar 12,5% populasi di Indonesia mengalami penurunan

fungsi ginjal (chris et al., 2014). Prevalensi CKD meningkat seiring dengan

bertambahnya penduduk serta bertambahnya pasien hipertensi dan diabetes

mellitus (Depkes, 2017).

Berdasarkan Indonesian Renal Registry (IRR) 2018 tercatat bahwa data 10

periode pasien aktif dan pasien baru yang menjalani hemodialisis sebagai

berikut :

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

12

Diagram 1. Pasien baru dan pasien aktif HD kronik di Indonesia tahun

2007-2018.

Diagram diatas terlihat pada tahun 2018 jumlah pasien aktif dan pasien

baru yang menjalani hemodialisis terjadi peningkatan yang pesat. Jumlah

pasien baru pada tahun 2018 meningkat dua kali lipat dari tahun 2017,

begitupun dengan jumlah pasien aktif yang meningkat pesat dibanding tahun-

tahun sebelumnya (Indonesian Renal Registry,2018).

Menurut United States Renal Data System (USRDS) pasien CKD stadium

5 meningkat 5% sampai 10% setiap tahunnya. Empat penyebab umum

terjadinya CKD stadium 5 menurut USRDS adalah diabetes mellitus,

hipertensi, glomerulonefritis, dan penyakit ginjal polikistik. Hal ini dibuktikan

dengan angka kejadian tiap penyakitnya, diabetes mellitus sebanyak 150

kasus/juta, hipertensi sebanyak 80 kasus/juta, glomerulonefritis sebanyak 22

kasus/juta, dan penyakit ginjal polikistik sebanyak 5 kasus/juta. Risiko CKD

lebih tinggi terjadi pada individu yang berusia diatas 65 tahun dan memiliki ras

kulit hitam (Dipiro et al., 2017). Penyebab kematian terbanyak pasien

hemodialisis yaitu dengan penyakit kardiovaskuler sebanyak 42% dan

penyebab kematian pasien tidak diketahui sebanyak 31%, hal tersebut

dikarenakan pasien meninggal diluar rumah sakit (Indonesian Renal Registry,

2018).

2.3.3 Etiologi CKD

Penyakit gagal ginjal kronik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu

usia lanjut, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, serta indeks

massa tubuh yang lebih tinggi (>30 kg/m2) (United States Renal Disease

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

13

System,2018). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa resiko gagal

ginjal kronik umumnya dialami oleh penderita hipertensi, diabetes mellitus

serta wanita yang berusia diatas 60 tahun. Berdasarkan National Health And

Nutrition Examination Survey 2016, nilai GFR <60 ml/ menit/ 1,73 m2 dan

nilai ACR >30 mg/g menunjukkan adanya tanda-tanda gagal ginjal kronik.

CKD disebabkan oleh beberapa faktor yaitu susceptibility factors (faktor

kerentanan), initiation factors (faktor inisiasi) dan progression factors (faktor

perkembangan). Susceptibility factors berupa usia lanjut, ras atau etnis

minoritas, penurunan massa ginjal, dan riwayat keluarga. Faktor-faktor ini

belum terbukti dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Initiation factors

merupakan kondisi yang secara langsung dapat menyebabkan penurunan fungsi

ginjal dan dapat dimodifikasi dengan terapi farmakologis. Kategori yang

termasuk dalam faktor inisiasi yaitu diabetees mellitus, hipertensi, penyakit

autoimun, penyakit ginjal polikistik, glomerulonefritis dan nefropati human

immunodeficiency (HIV). Progression factors merupakan faktor kerusakan

ginjal lebih lanjut. Pada umumnya faktor ini mempercepat penurunan fungsi

ginjal pada individu yang telah terdiagnosis memiliki kerusakan pada ginjal.

Progression factors ini meliputi penderita proteinuria, hipertensi, glikemia

pada penderita diabetes, hiperlipidemia, obesitas dan merokok (Dipiro et al.,

2017).

2.3.3.1 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan Initiation Factors dan Progression Factors.

Diabetes mellitus tipe I memiliki prevalensi 40% untuk terkena penyakit gagal

ginjal kronik, sedangkan diabetes mellitus tipe II memiliki prevalensi lebih

besar dari diabetes mellitus tipe I yaitu sebesar 50%. Dalam hal ini, individu

dengan diabetes mellitus tipe II lebih mudah terkena CKD. Sebuah studi dari

Uji Coba Intervensi Faktor Resiko Ganda mengatakan bahwa sekitar 3% dari

300.000 orang dengan diabetes mellitus dapat berkembang menjadi penyakit

gagal ginjal kronik stadium 5. Maka dari itu, individu dengan diabetes mellitus

memiliki resiko 12 kali lipat terkena penyakit gagal ginjal kronik stadium 5

(Dipiro et al., 2017).

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

14

2.3.3.2 Hipertensi

Hipertensi dapat meningkatkan resiko penyakit gagal ginjal kronik.

Penyakit gagal ginjal kronik dapat terjadi pada 40% individu hipertensi

dengan nilai GFR 90 ml/ menit/ 1,73 m2, 50% pada individu hipertensi

dengan nilai GFR 60 ml. Menit/ 1,73 m2, dan 75% pada individu dengan nilai

GFR 30 ml/ menit/ 1,73 m2. Rata-rata akhir dari tekanan darah arteri yang

rendah menghasilkan penurunan nilai GFR yang lebih rendah (Dipiro et al.,

2017)..

Tabel II.1 Jumlah Pasien Penyakit Gagal Ginjal Kronik Tahap 5 Berdasarkan

Diagnosa Etiologi di Indonesia (Alfiatin et al., 2014).

Etiologi Jumlah

E1 (Glumerulopati Primer) (GNC) 5447

E2 (Nefropati Diabetika) 14998

E3 (Nefropati Lupus) (SLE) 386

E4 (Penyakit Ginjal Hipertensi) 19427

E5 (Ginjal Polikistik) 498

E6 (Nefropati Asam Urat) 751

E7 (Nefropati Obstruksi ) 1800

E8 (Pielonefritis Chronic) (PNC) 1641

E9 (Lain-lain) 2768

E10 (Tidak Diketahui) 6224

Diagram 2. Diagnosa Etiologi Pasien Penyakit Gagal Ginjal Kronik Stadium5

(Indonesian Renal Registry, 2018).

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

15

Pada tahun 2018 ini proporsi etiologi terbanyak dari pasien Chronic kidney

disease stage 5 ialah hipertensi dengan kode E4 sebanyak 36% dan urutan

kedua nefropati diabetik dengan kode E2 sebanyak 28%. Etiologi kategori

tidak diketahui yang ditandai dengan kode E10 menunjukkan proporsi 12%,

sedangkan kategori Lain-lain dengan kode E9 sebanyak 5% (Indonesian Renal

Registry, 2018).

2.3.4 Faktor resiko CKD

Ketika mengalami gangguan fungsi ginjal, terdapat beberapa faktor

progresivitas penyakit gagal ginjal kronik sebagai berikut :

Tabel II.2 Faktor-faktor dalam progresivitas CKD (chris et al., 2014).

Tidak dapat dimodifikasi Dapat dimodifikasi

Usia Hipertensi

Jenis kelamin Proteinuria

Ras (ras Afrika-Amerika lebih

cepat)

Albuminuria

Genetik Glikemia

Hilangnya massa ginjal Obesitas

Dislipidemia

Merokok

Kadar asam urat

Usia merupakan salah satu dari faktor risiko penyakit gagal ginjal kronik.

Secara klinis pasien dengan usia >60 tahun memiliki risiko mengalami gagal

ginjal kronik 2,2 kali lebih besar dibanding pasien dengan usia <60 tahun. Hal

ini disebabkan semakin bertambahnya usia, semakin menurun pula fungsi

ginjal pada seseorang, sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara

progresif serta serta keluhan ringan sampai keluhan berat (Pranandari &

Supadmi, 2015).

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

Obesitas dpat meningkatkan risiko CKD melalui peradangan, stres oksidatif,

disfungsi endotel, hipervolemia, dan gangguan adipokin. Studi epidemiologi

Swedia menyatakan bahwa pada usia 20 tahun dan memiliki kelebihan berat

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

16

badan dengan indeks massa tubuh >25 kg/m2 beresiko 3 kali lipat terkena CKD

(Kazancioǧlu, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Pranandari & Supadmi, 2015 menyatakan

bahwa secara klinis, laki-laki 2 kali lebih besar mempunyai risiko terkena

penyakit gagal ginjal kronik dibanding perempuan. Kemungkinan hal ini

disebabkan karena perempuan lebih patuh dan disiplin dalam hal meminum

obat serta dalam hal mengatur pola hidup sehat.

Data klinis menunjukkan bahwa pasien hipertensi mempunyai risiko 3,2

kali lebih besar terkena penyakit gagal ginjal kronik. Hal ini disebabkan karena

penyakit hipertensi dapat meningkatkan tekanan intraglomerular sehingga

menyebabkan penurunan struktural dan fungsional dari glomerulus(Pranandari

& Supadmi, 2015). Data klinis 5 tahun terakhir menunjukkan 2,3% dari 8683

peserta uji coba mengalami kehilangan fungsi ginjal yang signifikan yang

ditandai dengan pengukuran kreatinin serum diatas 1,5 mg/ dl (Kazancioǧlu,

2013).

Diabetes mellitus mempunyai risiko 4,1 kali lebih besar terkena penyakit

gagal ginjal kronik. Penyebab utama terjadi gagal ginjal terminal ialah

nefropati diabetika (Pranandari & Supadmi, 2015). Menurut data Turkish

Sociaty of Nephrology bahwa populasi pasien diabetes mellitus dengan

hemodialisis sebesar 37,3%. Data USRDS pula menyatakan bahwa sebagian

besar pasien gagal ginjal kronik disebabkan oleh nefropati diabetik. Penyebab

penyakit gagal kronik pada pasien diabetes mellitus karena terjadinya

hiperfiltrasi, produk akhir glikosilasi serta oksigen reaktif (Kazancioǧlu, 2013).

Merokok dapat meningkatkan risiko CKD ditandai dengan proinflamasi,

stres oksidatif, disfungsi endotel, glomerulosklerosis dan atrofi tubular.

Merokok dengan jumlah yang banyak yaitu >20 batang per hari lebih cepat

meningkatkan risiko CKD, sedangkan pada studi lain menyatakan bahwa

merokok dengan tambahan 5 batang rokok per hari dapat meningkatkan serum

kreatinin sebesar >0,3 mg/dl (Kazancioglu, 2013). Pada fase akut, merokok

dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah, takikardi dan penumpukan

katekolamin dalam sirkulasi. Selain itu, dapat menyebabkan pembuluh darah

mengalami vasokonstriksi seperti pada pembuluh darah koroner, sehingga

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

17

terjadi peningkatan pembuluh darah ginjal yang mengakibatkan penurunan laju

filtrasi glomerulus dan fraksi filtrasi (Pranandari & Supadmi, 2015).

2.3.5 Manifestasi klinik CKD

Penyakit gagal ginjal kronik biasanya asimtomatik. Pada CKD stadium 1

dan stadium 2 tanda dan gejala serta gangguan metabolisme tidak terlihat,

namun terlihat pada CKD stadium 3 sampai stadium 5. Menurut Tanto et al,

2014 Tanda dan gejala CKD antara lain :

a. Gangguan keseimbangan cairan : edema perifer, efusi pleura, hipertensi,

asites;

b. Gangguan elektrolit dan asam basa : tanda dan gejala hiperkalemia, asidosis

metabolik, hiperfosfatomia;

c. Gangguan intestinal dan nutrisi : metallic taste, mual, muntah, gastritis, ulkus

peptikum, malnutrisi;

d. Kelainan kulit : kulit terlihat pucat, kering , pruritus, pigmentasi kulit,

ekimosis

e. Gangguan neuromuskular : kelemahan otot, fasikulasi, gangguan memori,

ensefalopati uremikum;

f. Gangguan metabolik endokrin : dislipidemia, gangguan metabolisme glukosa,

gangguan hormon seks;

g. Gangguan hematologi : anemia, gangguan hemostasis.

Pada penyakit gagal ginjal kronik tingkat penurunan nilai GFR dapat

bervariasi karena terdapat perbedaan pada penyakit yang mendasarinya, luas

kerusakan ginjal, responsifitas pengobatan serta kepatuhan dalam pengobatan.

Menurut KDOQI (Kidney Disease Outcomes Quality Initiative) bahwa gagal

ginjal kronik sebagai tanda klinis adanya proteinuria (Dipiro et al., 2017).

Selain itu, gambaran klinis lainnya dapat terlihat nyata jika ureum darah lebih

dari 200 mg/dl, hal ini disebabkan oleh konsentrasi ureum darah yang

merupakan indikator adanya retensi sisa-sisa metabolisme protein didalam

tubuh (Bargman & Skorecki, 2015).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

18

2.3.6 Patofisiologi

Kerusakan struktural awal ginjal terjadi karena adanya penyakit primer

yang dapat mempengaruhi ginjal. Kerusakan ginjal pula dapat disebabkan oleh

faktor heterogen seperti, nefropati diabetik, pada nefrosklerosis hipertensi,

arteriol ginjal memiliki arteriol hyalinosis, dan kista ginjal terdapat pada

penyakit ginjal polikistik. Hal yang mendasari penyakit ini ialah hilangnya

massa nefron, hipertensi kapiler glomerulus, dan proteinuria (Dipiro et al.,

2017).

Paparan terhadap faktor resiko inisiasi dapat menyebabkan hilangnya

massa nefron, sehingga terjadi hipertrofi yang dapat mengkompensasi

hilangnya fungsi ginjal dan massa nefron. Hipertrofi ini dapat menyebabkan

perkembangan hipertensi intraglomerular yang dimediasi oleh angitensin II.

Angiotensin II merupakan vasokontriktor dari arteriol aferen dan eferen, tetapi

lebih berpengaruh pada arteriol eferen yang dapat menyebabkan peningkatan

pada kapiler glomerular sehingga terjadi peningkatan fraksi filtrasi (Dipiro et

al., 2017).

Peningkatan tekanan kapiler intraglomerular dapat menyebabkan

kerusakan fungsi ukuran selektif dari penghalang permeabilitas glomerulus,

sehingga menghasilkan peningkatan pada ekskresi albumin atau proteinuria.

Proteinuria dapat menyebabkan hilangnya nefron secara progresif yang

disebabkan oleh keruskan sel secara langsung. Hal ini menyebabkan terjadinya

jaringan parut interstitium, hilangnya unit nefron secara progresif, dan

pengurangan GFR (Dipiro et al, 2015). Hiperfiltasi, sklerosis dan progresifitas

penurunan fungsi nefron terjadi karena adanya peningkatan aktivitas sistem

renin-angiotensin-aldosteron. Beberapa pengaruh yang berperan terhadap

progresifitas penyakit ginjal kronik ialah albuminuria, hipertensi,

hiperglikemia, dan dislipidemia (Suwitra, 2014).

Penyakit ginjal kronik stadium awal belum menunjukkan tanda-tanda

spesifik namun, pada keadaan basal GFR menunjukkan nilai normal atau

kemungkinan meningkat. Penurunan fungsi nefron yang progresif terjadi

secara perlahan yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. GFR dengan niali sebesar 60% pasien belum menunjukkan keluhan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

19

(asimtomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan serum kreatinin.

Penderita baru merasakan keluhan ketika nilai GFR sebesar 30% yang ditandai

dengan keluhan pasien berupa nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan

kurang serta penurunan berat badan. Ketika nilai GFR dibawah 30% tanda-

tanda nyata dari pasien baru terlihat seperti peningkatan tekanan darah, anemia,

gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, infeksi saluran cerna, gangguan

keseimbangan air, serta gangguan keseimbangan elektrolit berupa natrium dan

kalium. Pada nilai GFR dibawah 15% akan terjadi komplikasi yang serius, dan

pasien segera diberikan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)

seperti dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2014).

Gambar 2.3.5 patofisiologi CKD (Dipiro et al., 2017).

2.3.7 Klasifikasi CKD

Stadium Chronic Kidney Disease diklasifikasikan menjadi 2 hal,

berdasarkan kategori GFR (G1-G5) dan kategori Albuminuria (A1-A3) sebagai

berikut:

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

20

Tabel II.3 Klasifikasi CKD berdasarkan 2 kategori: kategori GFR dan kategori

Albuminuria (Jadoul & Martin, 2018).

Kategori

GFR

Nilai GFR (ml/menit/1,73

m2) Keterangan

G1 >90 Normal atau tinggi

G2 60-89 Sedikit menurun

G3a 45-59 Sedikit menurun hingga

cukup menurun

G3b 30-44 Cukup menurun hingga

sangat menurun

G4 15-29 Sangat menurun

G5 <15 Gagal ginjal

Kategori

Albuminuria

AER (mg/24

jam)

ACR

(mg/g)

Keterangan

A1 <30 <30 Normal hingga sedikit

meningkat

A2 30-300 30-300 Cukup meningkat

A3 >300 >300 Sangat meningkat

Keterangan : GFR = Glomeruler Filtration Rate

AER = Albumin Excretion Rate

ACR = Albumin To Creatinin Ratio

Penurunan fungsi ginjal ditunjukkan dengan nilai GFR atau ACR seperti

tabel diatas. Seseorang dengan nilai GFR <60 ml/menit/1,73 m2 menunjukkan

terjadinya penurunan fungsi ginjal disertai nilai ACR >30 mg/g, nilai ACR ini

digunakan untuk melihat ekskresi albumin urin (United States Renal Data

System, 2018).

Nilai GFR > 90 ml/ menit/ 1,73 m2 dengan nilai ACR < 30mg/g

menunjukkan fungsi ginjal dalam keadaan normal atau resiko gagal ginjal

kronik sangat rendah. Namun, ketika nilai GFR turun menjadi 45-59 ml/ menit/

1,73 m2 dengan nilai ACR 30-300 mg/g akan menunjukkan resiko gagal ginjal

kronik yang cukup tinggi. Nilai GFR yang memiliki resiko tinggi sebagai

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

21

penyakit gagal ginjal kronik ditunjukkan dengan nilai GFR < 30 ml/ menit/

1,73 m2 dengan nilai ACR > 300 mg/g (United States Renal Data System,

2018).

Menurut Suwitra 2014, Klasifikasi CKD juga dibedakan berdasarkan Laju

Filtrasi Glomerulus (LFG), dengan menggunakan rumus Cockcroft-Gault

sebagai berikut :

GFR = (𝟏𝟒𝟎−𝒖𝒔𝒊𝒂 ) 𝒙 𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝑩𝒂𝒅𝒂𝒏

𝟕𝟐 𝒙 𝑲𝒓𝒆𝒂𝒕𝒊𝒏𝒊𝒏 𝑷𝒍𝒂𝒔𝒎𝒂 (𝒎𝒈/𝒅𝒍)𝒙 𝒌𝒐𝒏𝒔𝒕𝒂𝒏𝒕𝒂

Keterangan : konstanta : 0,85 (jika perempuan)

1 (jika laki-laki)

Rumus ini mengestimasi klirens kreatinin berdasarkan kadar serum kreatinin,

usia, jenis kelamin, dan berat badan. Pada wanita rumus ini disesuaikan dengan

kadar kreatinin wanita yaitu 15% lebih rendah karena jumlah massa otot.

Kekurangan yang dimiliki oleh rumusi ini ialah :

a. GFR diatas 60 ml/menit kurang akurat menggunakan rumus ini

b. Dapat terjadi overestimasi GFR karena rumus ini hanya memperhitungkan

klirens kreatinin dibanding laju filtrasi glomerulus

c. Tidak dapat dikalibrasikan dengan metode pemeriksaan kretinin baru karena

saat pemeriksaan mengukur kadar kreatinin, rumus ini menggunakan

metode pemeriksaan lama.

Adapun rumus lain yang digunakan untuk menghitung Laju Filtrasi

Glomerulus (LFG) yaitu menggunakan rumus Studi Modification of Diet in

Renal Disease (MDRD). Rumus ini menggunakan 4 variabel yaitu kadar serum

kreatinin, usia, jenis kelamin serta ras. Rumus ini telah direkomendasikan oleh

The National Kidney Disease Education Program of The National Institute of

Diabetes and Digestive and Kidney Disease untuk memprediksi nilai laju

filtrasi glomerulus.

GFR (ml/ menit/ 1,73 m2) = 186 x Scr (mg/dl) – 1,154 x usia – 0,203 x 0,742

(jika perempuan) x 1,210 (jika ras Afrika –Amerika).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

22

2.3.8 Diagnosa dan Pemeriksaan CKD

Nilai GFR dan kreatinin serum merupakan sarana untuk mendiagnosa

adanya penyakit gagal ginjal kronik atau CKD. Fungsi ginjal pada orang

dewasa dikatakan normal yaitu ditandai dengan nilai Glomerular Filtration

Rate (GFR) >90 ml/ menit/ 1,73 m2. Setiap individu didiagnosis mempunyai

penyakit gagal ginjal kronis ialah individu dengan nilai GFR <60 ml/ menit/

1,73 m2, yang juga ditandai dengan gejala seperti proteinuria, hematuria,

ataupun kerusakan struktural dan fungsional ginjal lainnya (Dipiro et al.,

2017).

Dalam hal ini menurut Tanto et al, 2014 terdapat beberapa pemeriksaan

penunjang terhadap penyakit gagal ginjal kronik atau CKD antara lain :

a. Pemeriksaan darah lengkap : ureum meningkat, kreatinin serum meningkat.

Estimasi perhitungan GFR dapat diketahui dari kadar kreatinin serum yang

menggunakan rumus Cockrof-Gault atau studi MDRD;

b. Pemeriksaan elektrolit : hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia;

c. Pemeriksaan kadar glukosa darah, profil lipid ;

d. Analisis gas darah : asidosis metabolik (pH menurun, HCO3 menurun);

e. Urinalisis dan pemeriksaan albumin urin;

f. Sedimen urin : sel tubulus ginjal, sedimen eritrosit, sedimen leukosit,

sedimen granuler kasar, serta adanya eritrosit yang dismorfik ;

g. Pemeriksaan protein urin kuantitatif 24 jam ;

h. Pencitraan : USG ginjal ; BNO-IVP

i. Biopsi ginjal : pemeriksaan ini dalam kondisi tertentu dan untuk

memudahkan diagnosis penyakit gagal ginjal kronik apabila pemeriksaan

klinis, laboratorium, dan pencitraan menunjukkan bukti yang belum pasti ;

j. Pemeriksaan lain untuk komplikasi seperti EKG, foto polos toraks, dan

ekokardiografi.

Tabel II.4 Data laboratorium (Said et al., 2020).

Jenis pemeriksaan Nilai normal

Hemoglobin 11,0 – 14,7 g/dl

Hematokrit 35.2 – 46 µL

Eritrosit 3,72 – 5,06

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

23

Leukosit 3,17 – 8,40

Trombosit 167 – 390

MCV 87,1 – 102,4 %

MCH 26,8 – 32,4 pg

MCHC 29,6 – 32,5 %

SGOT/AST < 31 U/L

SGPT/ALT < 31 U/L

Albumin 3,5 – 5,2 g/dl

Ureum 15 – 40 mg/dl

Kreatinin 0,6 – 1,3 mg/dl

Asam urat 2,5 – 5,5 mg/dl

Natrium (Na+) 135 – 150 mEq/L

Kalium (K+) 3,6 – 5,5 mEq/L

Klorida (Cl-) 94 -111 mEq/L

LDL < 130 mg/dl

HDL > 35 mg/dl

Kolestrol total < 200 mg/dl

Trigliserida < 200 mg/dl

2.3.9 Komplikasi CKD

2.3.9.1 Anemia

Anemia merupakan konsentrasi hemoglobin (Hb) atau hematokrit (Hct).

Anemia dapat terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Penyakit

gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh adanya defisiensi eritropoetin,

defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya pendarahan saluran cerna dan

hematuri), massa hidup eritrosit yang pendek karena terjadinya hemolisis,

defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi urenik, proses

inflamasi akut ataupun kronik (Tarigan & Juli, 2014). Data dari studi CKiD

menunjukkan bahwa hemoglobin mulai menurun secara signifikan pada GFR

<43 mL/ menit/ 1,73 m2 yang diukur dengan iohexol clearance (yang setara

dengan GFR 58 mL/ menit/ 1,73 m2 ketika diperkirakan dengan rumus

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

24

Schwartz) , dengan penurunan hemoglobin 0,3 g / dL setiap penurunan GFR 5

ml/menit /1,73 m2. Estimasi anemia pada pasien gagal ginjal kronik ditandai

dengan hemoglobin kurang dari 0,3 g/dl (Himmelfarb & Ikizler, 2018).

Terapi yang dianjurkan pada anemia ialah pemberian eritropoitin (EPO).

Terapi pemberian eritropoitin (EPO) dimulai pada pasien CKD dengan

konsentrasi Hb sekitar 9 g/ dl dan 10 g/ dl (90 dan 100 g/ L ; 5,59 dan 6,21

mmol/ L). Penyebab utama resistensi terhadap pengobatan anemia dengan EPO

ialah kekurangan zat besi. Maka dari itu, suplemen zat besi menjadi salah satu

suplemen yang diperlukan oleh sebagian besar pasien CKD sebagai pengisi

ulang cadangan besi yang telah habis karena meningkatnya kebutuhan zat besi

dan kehilangan darah yang terus-menerus. Terapi besi dengan rute parenteral

digunakan untuk meningkatkan respon terhadap terapi EPO dan dapat

menyesuaikan dosis sesuai dengan target yang diinginkan. Terapi besi rute oral

mempunyai absorpsi yang buruk dan ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi.

Selain itu, pemberian zat besi dengan rute IV tidak dapat berkolrelasi dengan

efek farmakodinamik karena mempunyai profil farmakokinetik yang berbeda,

sehingga menimbulkan efek samping berupa reaksi alergi, hipotensi, pusing,

dispnea, sakit kepala, nyeri punggung bawah, artralgia, sinkop, dan radang

sendi. Efek samping yang paling umum dari pemberian eritropoitin (EPO)

ialah hipertensi (Dipiro et al., 2017).

Dosis penggunaan EPO sebagai berikut :

- Fase koreksi : 2000-4000 IU subkutan, 2-3 kali / minggu selama 4 minggu

dengan target diinginkan Hemoglobin (Hb) naik 1-2 g/dl atau Hematokrit

(Hct) naik menjadi 2-4% ;

- Apabila target belum mencapai target EPO yang diinginkan maka, EPO

dinaikkan 50% ;

- Apabila Hemoglobin naik >2,5 g/dl atau Hematokrit naik menjadi 8% dalam

4 minggu maka, dosis diturunkan sebanyak 25% (chris et al., 2014).

2.3.9.2 Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD)

Pada populasi pasien CKD sering terjadi gangguan metabolisme mineral

dan tulang (Mineral and Bone Disorder) dan termasuk kelainan pada hormon

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

25

paratiroid (PTH), kalsium, fosfor, produk kalsium fosfor vitamin D, pergantian

tulang, serta klasifikasi jaringan lunak.

Kadar normal fosfor dan kalsium serum pada setiap individu dengan ginjal

yang sehat dipelihara melalui interaksi 3 hormon yaitu hormon paratiroid

(PTH), 1,25 (OH) 2D (kalsitriol, metabolit aktif vitamin D), dan faktor

pertumbuhan fibroblast 23 (FGF 23). Hormon ini bekerja pada 3 organ utama

yaitu tulang, ginjal, dan usus. Gangguan umum pasien CKD diawali dengan

ginjal mempunyai peran penting dalam pengaturan kadar fosfor dan kadar

kalsium serum normal, sehingga dapat mengubah vitamin D menjadi kalsitriol

serta merespon hormon paratiroid (PTH) dan faktor pertumbuhan fibroblast 23

(FGF 23). Kemudian kelainan etabolisme mineral dapat terjadi pada awal CKD

ataupun pada stadium 2, sehingga dapat berkembang sesuai dengn

memburuknya fungsi ginjal (Kendrick, 2018).

Keseimbangan kadar fosfor dan kadar kalsium serum dipelihara melalui

interaksi hormon yang kompleks, sehingga menimbulkan efek pada tulang,

saluran gastrointestinal (GI), ginjal, dan kelenjar paratiroid. Apabila penyakit

ginjal berlanjut, aktivasi vitamin D pada ginjal pula akan terganggu, yang

kemudian dapat mengurangi absorpsi kalsium oleh usus, sehingga

menghasilkan sekresi PTH yang dirangsang oleh penurunan konsentrasi

kalsium darah (Dipiro et al., 2017).

Pengobatan yang digunakan ialah pembatasan fosfor, dialisis, dan

paratiroidektomi merupakan terapi nonfarmakologis untuk manajemen

hiperfosfatemia dan CKD-MBD. Dibawah ini terdapat pedoman dari KDOQI

mengenai rentang kalsium, fosfor, produk kalsium-fosfor, serta PTH utuh yang

berdasarkan tahap CKD.

Tabel 4. Pedoman untuk kalsium, fosfor, produk kalsium-fosfor, dan hormon

paratiroid berdasarkan tahap CKD (Dipiro et al, 2017).

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

26

2.3.9.3 Gangguan Keseimbangan Kalium

Fungsi ginjal dalam keadaan normal akan mengekskresi 98% dari intake

klium harian dan juga berperan penting dalam maintenance homeostasis

kalium. Pada pasien CKD, gangguan elektrolit yag rentan terjadi ialah

hiperkalemia. Hiperkalemia merupakan gangguan elektrolit yang paling umum

terjadi pada pasien CKD dengan bukti penelitian retrospektif nilai n= 240.000.

Penyebab hiperkalemia adalah penurunan filtrasi glomerulus dan sekresi

elektrolit kalium.

Hiperkalemia sering ditandai dengan konsentrasi kalium serum >5,3

mEq/L. hiperkalemia ringan ditandai dengan konsentrasi kalium 5.4 mEq/ L

sampai < 6 mEq/L, hiperkalemia sedang konsentrasi kalium 6 mEq/L sampai

<7 mEq/ L, dan hiperkalemia berat ditandai dengan konsentrasi kalium > 7

mEq/ L (Dhondup & Qian, 2017). Terapi hiperkalemia pada pasien CKD

antara lain :

Kalsium 6,8 mmol, setara dengan 10 ml CaCl (10%) atau 30 ml larutan

kalsium glukonat (10%) + 50-250 ml hypertonic saline (10%) + 50-100

mmol natrium bikarbonat + 10 unit insulin reguler sevara IV

40 mg Furosemid secara oral, namun pemberian diuretik tidak efektif pada

pasien dengan nilai GFR <40 ml/ menit/ 1,73 m2

Fludrocortison asetat > 0,1 mg per hari

Dialisis, misal hemodialisis dan peritoneal dialysis. Pasien CKD kronis

dengan terapi hemodialisis, keterlambatan pengobatan selama 2 hari dapat

memberikan hasil yang buruk pada terapi (National Kidney Foundation,

2016).

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

27

2.3.9.4 Asidosis metabolik

Pada kondisi fisiologis, tubulus ginjal dapat mereabsorbsi bikarbonat yang

telah difiltrasi setiap hari. Selain itu, tubulus ginjal juga dapat menetralisir

pembentukan asam dalam tubuh. Seiring dengan penurunan fungsi ginjal dan

penurunan pembentukan bikarbonat, produksi asam endogen pada CKD tidak

berubah, sehingga menjadi salah satu pemicu adanya asidosis metabolik

(Dhondup & Qian, 2017).

Pada pasien CKD, asidosis metabolik dikaitkan dengan peningkatan

katabolisme protein otot dan promosi PEW (Protein energy wasting). Asidosis

metabolik dapat merangsang oksidasi asam amino esensial dan meningkatkan

kebutuhan protein untuk pasien yang menjalankan dialisis. Bikarbonat oral atau

atau intradialitik merupakan suplemen yang sering dikaitkan dengan

peningkatan asupan protein dan energi, peningkatan kadar albumin serum, dan

dapat memperlambat perkembangan CKD stadium 3 sampai 4.

Penatalaksanaan pada pasien asidosis metabolik dengan CKD yaitu diberikan

bikarbonat untuk memperbaiki asidemia. Pada pasien CKD yang belum

menjalani dialisis bikarbonat serum stabil dengan nilai > 24 mmol/L (Ikizler,

2014 ; (Dipiro et al., 2017).

2.3.9.5 Hipertensi

Secara progresif, hipertensi merupakan penyebab utama dari hilangnya

fungsi ginjal. Hipertensi sering terjadi ketika salah satu arteri ginjal

menyempit. Hipertensi esensial yang berlangsung lama dapat menyebabkan

kerusakan pada interlobular serta arteriola aferen dan eferen, yang ditandai

dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh darah. Penyempitan arteri

dan erteriol aferen akan menyebabkan berkurangnya aliran darah menuju

glomerulus sehingga terjadi iskemia glomerular dan glomerulosklerosis.

Kondisi ini menurunkan aliran plasma yang dapat memicu iskemia tubular

sehingga menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik (M. Adi Firmansyah,

2013 ; Ali et al, 2017).

2. 4 Penatalaksanaan Terapi CKD

Tujuan terapi CKD adalah untuk meminimalkan perkembangan CKD

ataupun keparahan komplikasi yang terjadi pada CKD, dan juga dapat

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

28

meminimalisasi prevalensi ESRD (End Stage Renal Disease) (Dipiro et al.,

2017). Penatalaksaan penyakit gagal ginjal kronik antara lain:

- Terapi spesifik terhadap penyakit yang mendasarinya misal hipertensi dan

diabetes melitus

- Terapi dan pencegahan terhadap kondisi komorbid

- Memperlambat perburukan fugsi ginjal

- Terapi dan pencegahan terhadap penyakit kardiovaskular

- Terapi dan pencegahan terhadap komplikasi CKD

- Terapi pengganti ginjal verupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra,

2014).

Tabel II.5 Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik berdasarkan

derajatnya (Suwitra, 2014).

Derajat LFG (ml/menit/1,73 m2) Rencana tatalaksana

1 >90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,

evaluasi pemburukan fungsi ginjal,

memperkecil risiko kardiovaskular

2 60 – 89 Menghambat perburukan fungsi ginjal

3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 < 15 Terapi pengganti ginjal

a. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit yang Mendasarinya

Terapi ini paling tepat dilaksanakan sebelum terjadi penurunan laju filtrasi

glomerulus. Pemeriksaan secara ultrasonografi, biopsi, dan histopatologi pada

ginjal yang masih dalam keadaan normal dapat menentukan indikasi yang tepat

terhadap terapi spesifik (Suwitra, 2014).

b. Terapi dan Pencegahan terhadap Kondisi Komorbid

Kondisi komorbid pasien gagal ginjal kronik dapat diketahui melalui

pengawasan dan pencatatan penurunan nilai GFR. Hal ini dilakukan untuk

mencegah perburukan kondisi pasien. Faktor-faktor komorbid yang dimaksud

antara lain : gangguan keseimbangn cairan, hipertensi, infeksi traktus urinarius,

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

29

obstruksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras,

ataupun peningkatan aktivitas penyakit yang mendasarinya (Suwitra, 2014).

c. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal

Hiperfiltrasi glomerulus merupakan penyebab utama terjadinya

perburukan fungsi ginjal. Terdapat dua cara untuk mengurangi hiperfiltrasi

glomerulus yaitu pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis.

Pembatasan asupan protein dilakukan pada nilai GFR < 60 ml/ menit/ 1,73

m2. Dalam hal ini protein yang diberikan merupakan protein yang memiliki

kandungan biologis tinggi. Pemberian protein pada pasien CKD pre-dialisis

sekitar 0,6-0,75 g/kg BB ideal/ hari, pemberian protein pada pasien CKD yang

menjalani hemodialis sekitar 1,2 g/kg BB ideal/ hari, selanjutnya pada pasien

CKD dengan dialisis peritoneal sekitar 1,2-1,3 g/ kg BB ideal/ hari, dan pada

pasien yang menjalani transplantasi ginjal protein yang diberikan sekitar 1,3

g/kg BB ideal/ hari, namun pada 6 minggu pertama pasca transplantasi ginjal

protein dilanjutkan sekitar 0,8-1 g/kg BB ideal/ hari (Tanto et al, 2014).

Apabila asupan protein berlebih dapat mengakibatkan perubahan hemodinamik

ginjal, sehingga dapat meningkatkan aliran darah dan tekanan intraglomerulus

(intraglomerulus hyperfiltration), yang kemudian akan memperburuk fungsi

ginjal. Pembatasan asupan protein sering dihubungkan dengan pembatasan

fosfat, hal ini disebabkan karena protein dan fosfat berasal dari sumber yang

sama. Pembatasan fosfat dilakukan untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia

(Suwitra, 2014).

Terapi farmakologis yang penting ialah untuk mengurangi hipertensi

intraglomerular. Hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus dapat

dikurangi dengan mengontrol tekanan darah. Terdapat beberapa obat

antihipertensi yang sering digunakan untuk mengurangi perburukan fungsi

ginjal antara lain : Angiotensin Converting Enzym (ACE Inhibitor), Angitensin

Reseptor Blocker (ARB), dan Calsium Chanel Blocker (CCB). Terapi

farmakologis ini dikaitkan dengan derajat proteinuria, hal ini dikarenakan

proteinuria juga sebagai faktor risiko terjadinya perburukan fungsi ginjal

(Suwitra, 2014).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

30

Tabel II.6 Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD (Suwitra, 2014).

GFR Asupan protein g/kg/hari Asupan fosfat

g/kg/hari

>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

25 – 60 0,6-0,8 g/ kg/ hari, termasuk

nilai biologi tinggi > 0,35 g/

kg/ hari

< 10 g

5 – 25 0,6-0,8 g/ kg/ hari, termasuk

nilai biologi tinggi > 0,35 g/

kg/ hari atau tambahan asam

amino esensial atau asam

keton sebanyak 0,3 g

< 10 g

< 60 0,8 g/ kg/ hari (+1 g protein

atau 0,3 g/ kg tambahan asam

amino esensial atau asam

keton)

< 9 g

d. Terapi dan Pencegahan Terhadap Penyakit Kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab dari kematian dengan

persentasi 40-45% pasien penyakit ginjal kronik. Dalam hal ini pencegahan

dan terapi yang dilakukan ialah pengendalian hipertensi, pengendalian

diabetes, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian

hiperfosfatemia, dan terapi pada gangguan keseimbangan elektrolit dan

kelebihan cairan (Suwitra, 2014).

e. Pembatasan Cairan dan Elektrolit

Pembatasan cairan dan elektrolit dilakukan untuk mencegah terjadinya

edema dan penyakit kardiovaskular. Jumlah air yang masuk kedalam tubuh

harus seimbang dengan jumlah air yang keluar, baik keluar melalui urin

maupun insensible water loss. Adapun pembatasan asupan elektrolit yang

harus dikontrol ialah asupan kalium dan natrium. Pembatasan asupan kalium

dilakukan untuk mencegah terjadinya hiperkalemia, maka dari itu harus

dibatasi penggunaan obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

31

mengandung kalium. Pembatasan asupan natrium dilakukan untuk mencegah

terjadinya hipertensi dan edema. Pemberian garam natrium disesuaikan dengan

tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi (Suwitra, 2014).

f. Transplantasi Ginjal

Transplantasi ginjal dilakukan pada pasien CKD stadium 5 atau stadium

akhir yang ditandai dengan nilai GFR <15 ml/ menit/ 1,73 m2 (Suwitra, 2014).

Transplantasi ginjal berfungsi dapat meningkatkan angka kematian dan

meningkatkan kualitas hidup pasien CKD (Armelia et al, 2017). Pada

persiapan transplantasi ginjal dilakukan beberapa pemeriksaan yang meliputi

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang seperti

fungsi dan anatomi ginjal serta saluran kemih (Pardede et al., 2016).

2. 5 Hipertensi pada CKD

Definisi hipertensi menurut European Society Hypertention (ESH) dan

European Society Cardiology (ESC) tahun 2018 bahwa dikatakan hipertensi

ketika tekanan darah sistolik mencapai > 140 mmHg dan tekanan darah

diastolik > 90 mmHg. Pada penyakit gagal ginjal kronis, hipertensi dikaitkan

dengan retensi natrium sehingga menyebabkan hipervolemia. Hipervolemi

terjadi karena gangguan pada ekskresi natrium dan ekskresi air dengan urin,

mengakibatkan peningkatan tekanan darah guna meningkatkan ekskresi untuk

mempertahankan isovolemia. Ginjal iskemi yang berhubungan dengan fibrosis

ginjal dan jaringan parut mengakibatkan peningkatan pada sistem renin-

angiotensin-aldosteron (Covic et al., 2017). Sistem renin-angiotensin

aldosteron merupakan sistem hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks

dan memiliki peran penting terhadap peningkatan tekanan darah pengaturan

keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit (Tessy, 2018). Aktivasi sistem renin-

angiotensin-aldosteron dapat menyebabkan vasokonstriksi yang dimediasi oleh

angiotensin II serta retensi garam yang dimediasi oleh aldosterone,

mengakibatkan peningkatan resistensi perifer lokal dan peningkatan volume

darah (Turgut et al, 2017).

Hipertensi muncul pada 40% individu dengan nilai GFR 90 ml/ menit/1,73

m2, 55% pada individu dengan GFR 60 ml/ menit/ 1,73 m2, dan 75% pada

individu dengan GFR 30 ml/ menit/ 1,73 m2 (Dipiro et al., 2017). Hipertensi

merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang menjadi faktor utama

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

32

terjadinya penyakit gagal ginjal kronik. Sekitar 70% sampai 80% pasien

dengan CKD stadium 1 sampai stadium 4 mempunyai hipertensi dengan

prevalensi hipertensi yang dapat meningkat seiring dengan penurunan nilai

GFR, sehingga 80% sampai 90% pasien menjalankan dialisis yang dikarenakan

oleh hipertensi (Sarnak & Weiner, 2018).

Gambar 2.5 algoritma hipertensi pada pasien CKD (Palm & Nordquist, 2011).

2. 6 Antihipertensi pada Chronic Kidney Disease (CKD)

Menurut Joint National Commite (JNC) VIII bahwa pencegahan, evaluasi,

dan perawatan tekanan darah untuk pasien CKD harus sesuai ketentuannya

yiatu < 140/ 90 mmHg. Pengontrolan tekanan darah tinggi pada pasien CKD

lebih sulit dibanding pasien yang tidak memiliki CKD. Maka dari itu,

diperlukan tiga atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai tujuan tekanan

darah yang normal (Dipiro et al., 2017).

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

33

Gambar 2.6 algoritma antihipertensi pada pasien CKD (Dipiro et al., 2017).

Gambar 2.6. Efek antihipertensi pada Renal Blood Flow (RBF) dan Glomerular

Filtration Rate (GFR) (Dipiro et al., 2017).

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

34

2.6.1 Diuretik

Diuretik dapat menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler dengan

cara meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida, sehingga terjadi

penurunan curah jantung dan tekanan darah. Pada mekasnisme lainnya,

terdapat beberapa diuretik yang dapat menurunkan resistensi perifer sehingga

menambah efek hipotensi. Hal ini diakibatkan oleh penurunan natrium di ruang

interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang kemudian

menghambat influks kalsium (Nafrialdi, 2012). Diuretik merupakan adekuat

untuk hipertensi esesial ringan sampai ringan , dan diuretik efektik terhadap

penurunan tekanan darah sebesar 10-15 mmHg. Namun, pada hipertensi berat

diuretik digunakan dalam kombinasi dengan obat vasodilator guna untuk

mengatasi kecenderungan retensi natrium (Katzung, 2017) .

Diuretik golongan tiazid dapat diberikan ke pasien yang memiliki

hipertensi ringan sampai sedang, serta memiliki fungsi ginjal dan jantung yang

normal. Mekanism kerja dari obat golongan tiazid ialah menghambat transport

bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, mengakibatkan peningkatan

pada ekskresi Na+ dan Cl-. Pada hipertensi berat diperlukan diuretik kuat. Obat

golongan ini memiliki mekanisme kerja yang cepat dan efek diuretiknya lebih

kuat dari golongan tiazid, maka dari itu obat golongan ini digunakan pada

pasien hipertensi yang memiliki gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 2,5

mg/dl) dan gagal jantung. Diuretik hemat kalium berfungsi untuk menghindari

deplesi kalium yang berlebih. Apabila diuretik hemat kalium diberikan pada

pasien dengan gagal ginjal dapat menimbulkan hiperkalemia (Nafrialdi, 2012).

2.6.2 Calsium Chanel Blocker (CCB)

Calsium Chanel Blocker (CCB) merupakan pengobatan yang digunakan

pada hipertensi, angina, dan takikardia supraventrikular. Mekanisme kerja

Calsium Chanel Blocker (CCB) ialah menghambat influks kalsium pada sel

otot polos pembuluh darah dan miokard serta dapat menurunkan resistensi

perifer dan tekanan darah. Dengan demikian, efek samping yang diperoleh

ialah retensi cairan dan edema pada pergelangan kaki yang dapat menimbulkan

masalah pada pasien CKD. CCB golongan dihidropiridin berfungsi untuk

menghilangkan autoregulasi ginjal pada pasien CKD, dan golongan non

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

35

dihidropiridin dapat mengurangi proteinuria (Segall, 2017). Penggunaan

nifedipin dapat menyebabkan penurunan resistensi perifer yang disertai oleh

reflek takikardia dan vasokonstriksi (Nafrialdi, 2012). Pasien yang diberikan

obat golongan dihidropiridin dapat mengaktifkan refleks simpatis yang disertai

takikardia ringan yang dapat mempertahankan atau meningkatkan curah

jantung (Katzung, 2017)

Secara efektif golongan CCB dapat menurunkan tekanan darah pada

pasien dialisis tanpa memerlukan dosis tambahan pasca dialisis. Berdasarkan

Randomized Conrtolled Trial (RCT) bahwa amlodipin dapat menurunkan

tekanan darah sistolik sebesar 10 mmHg lebih banyak dari plasebo, tanpa

adanya peningkatan risiko hipotensi intradialitik. Sebuah RCT juga

membandingkan penggunaan amlodipin dengan plasebo pada 251 pasien

hipertensi dengan hemodialisis menyatakan bahwa tidak menemukan

perbedaan dari penyebab kematian selama 30 bulan ini. Namun, secara

signifikan amlodipin dapat mengurangi penyebab kematian dan kejadian

kardiovaskular. Pada pasien lansia dengan CKD, penggunan golongan CCB

yang disarankan ialah nikardipin dan nimodipin. Hal ini dikarenakan

berkurangnya aliran darah ke hati pada pasien lansia (Segall, 2017).

Tabel II.7 Dosis antihipertensi golongan CCB (Martin & Talbert, 2013)

Obat (Merek) Kisaran dosis

harian (mg/hari) Dosis per hari

CCB – Dihidropiridin

Amlodipine (Norvasc) 5 – 10 1

Felodipine (Plendil) 5 – 20 1

Isradipine (DynaCirc) 5 – 10 2

Isradipine SR (DynaCirc

SR) 5 – 20 1

Nicardipine sustained

release (Cardene SR) 60 – 120 2

Nifedipine long acting

(Procardia XL) 30 – 90 1

Nisoldipine (Sular) 10 – 40 1

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

36

CCB – Nondihidropiridine

Diltiazem (Cardizem SR,

others) 120 – 320 2

(Cardizem CD,

others) 120 – 320 2

Verapamil (Calan SR,

Isoptin SR) 120 – 480 1

(Covera HS) 180 – 480 1 saat istirahat

(Verelan PM) 100 – 400 1 saat istirahat

2.6.3 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

ARB mempunyai mekanisme kerja dengan memblok aktivitas kimia

angiotensin II. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat yang mana

dapat menyebabkan pembuluh darah menyempit, sehingga mengakibatkan

peningkatan tekanan darah dan aliran darah sedikit yang melalui ginjal. ARB

dan ACEI merupakan pengobatan lini pertama pada pasien hipertensi dengan

CKD, terlepas dari tingkat proteinuria dan status diabetes. Akan tetapi,

beberapa guidelines menunjukkan bahwa obat-obatan golongan ini lebih baik

pada pasien CKD dengan mikroalbumin atau makroalbumin, yang mana dapat

dikaitkan dengan hasil ginjal dan kardiovaskular (Segall, 2017).

Reseptor angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT 1 dan

AT2. Reseptor AT 1 terutama berada di otot polos pembuluh darah dan di otot

jantung. Selain itu, reseptor AT 1 juga terdapat di ginjal, otak dan kelenjar

adrenal. Seluruh efek fisiologis dari Angiotensin II memiliki peran utama

dalam homeostasis kardiovaskular dengan perantara reseptor AT 1. ARB

mempunyai efek yang sama dengan ACE Inhibitor tapi, karena tidak berefek

pada metabolisme bradikinin, maka obat ini tidak memiliki efek samping yang

sama dengan ACE Inhibitor (Nafrialdi, 2012). Secara total obat-obatan

golongan ini dapat menghambat efek angiotensin dibandingkan golongan ACE

Inhibitor, karena terdapat enzim-enzim diluar ACEI yang dapat menghasilkan

angiotensin II (Katzung, 2017).

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

37

Tabel II.8 Dosis Obat antihipertensi golongan ARB (Martin & Talbert, 2013).

Obat (Merek) Kisaran dosis

harian (mg/hari) Dosis per hari

Candesartan (Atacand) 8 – 32 1 atau 2

Eprosartan (Teveten) 600 – 800 1 atau 2

Irbesartan (Avapro) 150 – 300 1

Losartan (Cozaar) 50 – 100 1 atau 2

Olmesartan (Benicar) 20 – 40 1

Telmisartan (Micardis) 20 – 80 1

Valsartan (Diovan) 80 – 320 1

2.6.4 Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)

Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) bekerja dengan

menghambat perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II yang

menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. ACE

Inhibitor mempunyai efek vasodilatasi dan dapat menghambat degradasi

bradikinin sehingga menyebabkan peningkatan kadar bradikinin dalam darah.

Vasodilatasi dapat menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya

aldosteron akan mengakibatkan ekskresi air, natrium, dan ekskresi kalium

(Nafrialdi, 2012).

Tabel II.9 Dosis obat antihipertensi golongan ACEI (Martin & Talbert, 2013).

Obat (Merek) Kisaran dosis

harian (mg/hari) Dosis per hari

Benazepril (Lotensin) 10 – 40 1 atau 2

Captopril (Capoten) 12,5 – 150 2 atau 3

Enalapril (Vasotec) 5 – 40 1 atau 2

Fosinopril (Monopril) 10 – 40 1

Lisinopril (Prinivil,

Zestril) 10 – 40 1

Moexipril (Univasc) 7,5 – 30 1 atau 2

Perindopril (Aceon) 4 – 16 1

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

38

Quinapril (Accupril) 10 – 80 1 atau 2

Ramipril (Altace) 2,5 – 10 1 atau 2

Trandolapril (Mavik) 1 – 4 1

2. 7 Tinjauan Obat Golongan ACE-I

Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) merupakan golongan

obat yang sering digunakan untuk pengibatan hipertensi dan gagal jantung.

Obat ini juga dapat mengurangi proteinuria pada sindrom nefrotik dan

nefropati DM. ACE Inhibitor dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu 1) yang

bekerja langsung, contohnya kaptopril dan lisinopril; 2) prodrug, contohnya

enalapril, quinapril, perindopril, ramipril, silazapril, benazepril, fosinopril, dan

lainnya. Kelompok obat prodrug ini diubah menjadi bentuk aktif di dalam

tubuh (Nafrialdi, 2012).

Mekanisme kerja ACE Inhibitor yaitu menghambat enzim konversi

peptidil dipeptidase yang menghidrolisis angiotensin I menjadi angiotensin II

dan menonaktifkan bradikinin, sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan

sekresi aldosteron. Secara umum vasodilatasi dapat menurunkan tekanan darah,

sedangkan berkurangnya aldosteron dapat menyebabkan retensi air, natrium,

dan retensi kalium. Vasodiator kuat dapat merangsang pelepasan nitrat oksida

dan prostasiklin (Katzung, 2017). ACE Inhibitor berperan dalam menghambat

pembentukan angiotensin II secara lokal di endotel. Pengurangan produksi

angiotensin II oleh ACE Inhibitor dapat mengurangi sekresi aldosteron di

koteks adrenal, menyebabkan terjadinya ekskresi air dan natrium, sedangkan

pada kalium mengalami retensi sehingga dapat terjadi hiperkalemia terutama

pada gangguan fungsi ginjal (Nafrialdi, 2012).

Peran ACE Inhibitor di ginjal menyebabkan vasodilatasi arteri renalis

sehingga dapat meningkatkan aliran darah ginjal dan dapat memperbaiki laju

filtrasi glomerulus. Pada sirkulasi glomerulus, ACE Inhibitor dapat

menyebabkan vasodilatasi dominan di arteriol eferen sehingga menurunkan

tekanan intraglomerular. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai pengurangan

proteinuria pada nefropati diabetik, memperlambat progresivitas nefropati

diabetik serta dapat menstabilkan fungsi ginjal (Katzung, 2017).

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

39

ACE Inhibitor sebagai enzim yang secara langsung memblokir angiotensin

I menjadi angitensin II. Selain itu, ACE Inhibitor atau ARB dapat

meningkatkan penekanan pada sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA)

(Dipiro et al, 2015). Sistem renin-angiotensin-aldosteron memiliki peran dalam

pengaturan tekanan darah dan volume cairan tubuh. Saat terjadi penurunan

volume darah, reaksi pertama tubuh yaitu meningkatnya sekresi renin dari sel

jukstaglomeruler di arteriol aferen ginjal (Nafrialdi, 2012).

Renin merupakan enzim aspartil protease yang secara spesifik

mengkatalisis pelepasan hidrolitik dekapeptida angiotensin I dari

angiotensinogen. Awalnya enzim ini disintesis sebagai prapromolekul yang

diproses menjadi prorenin yang kemudian menjadi renin aktif, renin aktif ialah

glikoprotein yang terdiri dari 340 asam amino. Dalam sirkulasi, renin berasal

dari ginjal. Renin disintesis oleh sel-sel jukstaglomeruler di ginjal dan sebagai

penentu (rate limiting step) aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron.

Pelepasan renin dari korteks ginjal distimulasi oleh penurunan pada tekanan

arteri ginjal, stimulasi saraf simpatis, dan penurunan penyaluran natrium atau

peningkatan konsentrasi natrium di tubulus distal ginjal. renin bekerja pada

angiotensinogen untuk menginaktifkan prekursor dekapeptida angiotensin I,

kemudian angiotensin I diubah oleh ACE endotel menjadi vasokonstriktor

arteri oktapeptida angiotensin II, selanjutnya diubah menjadi angiotensin III di

kelenjar adrenal. Angiotensin II dan III dapat menstimulasi pelepasan

aldosteron. Angiotensin berperan dalam mempertahankan resistensi vaskuler

yang tinggi pada keadaan hipertensi dengan aktivitas renin plasma yang tinggi

misal stenosis arteri ginjal, beberapa jenis penyakit ginjal intrinsik, hipertensi

maligna serta hipertensi esensial setelah peengobatan pembatasan natrium,

diuretik, atau vasodilator (Katzung, 2017).

Berdasarkan penelitian (Ku et al., 2018) yang menggunakan metode CRIC

(Chronic Renal Insufficiency Cohort) dengan peserta sebanyak 3939, dengan

karakterisktik tertentu yaitu usia rata-rata 58 tahun, indeks massa tubuh rata-

rata 32 kg/m2, serta nilai GFR rata-rata 43 ml/ menit/ 1,73 m2. Penelitian ini

menunjukkan bahwa penggunaan ACEI hanya digunakan pada pasien CKD

stadium awal, dengan prevalensi pada CKD stadium 3 sebesar > 75% yang

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

40

menggunakan ACEI namun, pada CKD stadium 5 penggunaannya turun

menjadi 37%. Dengan ini membuktikan bahwa penggunaan ACEI menurun

serta tidak lazim pada CKD stadium 4 dan 5, maka dari itu ACEI

direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama.

Gambar 2.7. Mekanisme aksi obat dalam memblok RAAS (Katzung, 2017).

Sebagian besar metabolisme ACE Inhibitor terjadi di hati, kecuali

lisinopril yang tidak mengalami metabolisme di hati. Pada umumnya eliminasi

ACE Inhibitor terjadi di ginjal, kecuali fosinopril yang mengalami eliminasi di

ginjal dan bilier. Dibawah ini terdapat beberapa obat golongan ACE Inhibitor

beserta farmakokinetiknya (Nafrialdi, 2012).

Tabel II.10 Obat golongan ACE Inhibitor dan farmakokinetiknya (Nafrialdi,

2012).

Sediaan Prodrug Metabolit

aktif

Metabolisme

di hati Eliminasi

Kaptopril Tidak - + Ginjal

Lisinopril Tidak - - Ginjal

Perindopril Ya Perindoprilat + Ginjal

Enalapril Ya Enalaprilat + Ginjal

Ramipril Ya Ramiprilat + Ginjal

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

41

Quinapril Ya Quinaprilat + Ginjal

Silazapril Ya Silazaprilat + Ginjal

Benazepril Ya Benezeprilat + Ginjal

Fosinopril Ya Fosinoprilat + Ginjal +

bilier

2.7.1. Kaptopril

Gambar 2.7.1. Struktur kimia kaptopril (Drugbank, 2020).

Kaptopril adalah ACE Inhibitor yang pertama ditemukan dan sering

digunakan untuk pengobatan hipertensi ringan sampai sedang (biasanya

dikombinasi dengan obat lain, seperti diuretik tiazid) maupun hipertensi berat

(Nafrialdi, 2012). Selain itu, kaptopril merupakan inhibitor kuat dan kompetitif

dari ACE Inhibitor. Enzim ini bekerja dengan mengkonversi angiotensin I

menjadi angiotensin II (Drugbank, 2020). Obat ini berfungsi dapat menurunkan

tekanan darah, mengurangi reabsopsi natrium, memperbaiki cedera ginjal, dan

menekan peradangan ginjal (James et al, 2014).

Kaptopril dapat menyebabkan peningkatan aktivitas renin plasma, hal ini

mungkin disebabkan oleh hilangnya inhibisi umpan balik yang dimediasi oleh

angiotensin II pada pelepasan renin atau stimulasi mekanisme refleks melalui

baroreseptor (Drugbank, 2020). Pada pemberian oral kaptopril direabsorpsi

dengan bioavaibilitas 70-75%. Apabila pemberian kaptopril diberikan secara

bersamaan dengan makanan akan mengurangi reabsorpsi sekitar 30%, maka

dari itu obat ini diberikan 1 jam sebelum makan. Obat ini mengalami

metabolisme di hati, sedangkan eliminasinya melalui ginjal (Nafrialdi, 2012).

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

42

Dosis awal kaptopril untuk indikasi hipertensi yaitu 12,5 mg 2 kali sehari,

namun pada usia lanjut dosis yang diigunakan 6,25 mg 2 kali sehari; dosis

lazim 25 mg 2 kali sehari, dan dosis maksimum sebesar 50 mg 2 kali sehari.

Selain itu, dosis kaptopril pada nefropati diabetik yaitu 75-100 mg dalam dosis

terbagi, sedangkan pada gangguan ginjal berat, dosis awal 12,5 mg 2 kali

sehari (BPOM RI, 2015). Kaptopril memiliki kontraindikasi pada pasien

hamil, penyakit renovaskuler, stenosis aortik atau obstruksikeluarnya darah

dari jantung, dan hipersensitif terhadap ACE Inhibitor (BPOM RI, 2015).

Adapun efek samping yang sering ditimbulkan yaitu batuk kering yang

persisten, hipotensi, hiperkalemia, proteinuria, edema angioneurotik, gagal

ginjal akut, serta sekitar 10% pengguna kaptopril mengalami makulopapular

atau morbiliform yang bersifat reversibel pada penghentian obat atau dengan

pemberian antihistamin. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya gugus

sulfhidril (SH) pada kaptopril yang tidak dimiliki oleh ACE Inhibitor lainnya

(Nafrialdi, 2012).

2.7.2. Lisinopril

Gambat 2.7. Struktur kimia lisinopril (Drugbank, 2020).

Lisinopril dan kaptopril merupakan ACE Inhibitor yang tidak termasuk

prodrug. Lisinopril adalah obat golongan ACE Inhibitor yang sering digunakan

untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung, dan infark miokard. Lisinopril

diindikasikan untuk pengobatan hipertensi pada pasien > 6 tahun, untuk

pengobatan infark miokard akut, serta sebagai terapi tambahan untuk gagal

jantung (Drugbank, 2020). Apabila pasien hipertensi sedang menggunakan

obat diuretik, sebaiknya dihentikan terlebih dahulu selama 2-3 hari sebelum

menggunakan lisinopril (BPOM RI, 2015).

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

43

Dosis awal lisinopril sebesar 10 mg dengan pemakaian 1 kali sehari,

kemudian dosis penunjang lazim sebesar 20 mg 1 kali sehari, dan dosis

maksimal sebesar 80 mg 1 kali sehari. Apabila tekanan darah sistolik kurang

dari 100 mmHg, maka untuk sementara waktu dosis penunjang dikurangi

sampai 2,5 mg, dan juga hentikan pemakaian jika terjadi hipotensi yang

berkepanjangan (BPOM RI, 2015). Reabsorpsi lisinopril yaitu dengan

bioavaibilitas 25%. Absorpsi lisinopril tidak dipengaruhi oleh makanan.

Lisinopril tidak dimetabolisme dan tidak diekskresi. Eliminasi lisinopril sama

seperti ACE Inhibitor lainnya yaitu di ginjal (Drugbank, 2020).

2.7.3. Ramipril

Gambar 2.7.3. Struktur kimia ramipril (Drugbank, 2020).

Ramipril merupakan obat prodrug dari ACE Inhibitor. Dengan demikian,

obat ini diubah dalam bentuk metabolit aktif menjadi ramiprilat. Ramiprilat

dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung kongestif,

nefropati, infark miokard, stroke pada individu yang beresiko tinggi terhadap

kardiovaskuler, memperlambat perkembangan penyakit gagal ginjal pada

individu dengan hipertensi dan untuk mengurangi tingkat mortalitas

(Drugbank, 2020).

Tingkat absorpsi ramipril sekitar 50-60%, dengan bioavaibilitas ramipril

dan ramiprilat masing-masing 28% dan 44% (Drugbank, 2020). Ramipril

dimetabolisme di hati menjadi ramiprilat. Setelah dosis oral ramipril,

konsentrasi plasma puncak ramiprilat terjadi 2 sampai 4 jam. Ramipril

diekskresikan melalui urin 60% dan melalui feses 40%. Waktu paruh efektif

ramiprilat ialah 13 sampai 17 jam. Efek hemodinamik ramipril terlihat sekitar 1

sampai 2 jam dari dosis oral tunggal dan mencapai puncak sekitar 3 sampai 6

jam. Efek hemodinamik ini dapat bertahan selama 24 jam, hal ini yang dapat

memungkinkan pemberian dosis ramipril sekali sehari (Sweetman, 2014).

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

44

Dalam pengoban hipertensi, dosis awal yang diberikan yaitu 2,5 mg

sampai 5 mg satu kali sehari dengan pemberian secara oral atau 1,25 mg pada

individu dengan penggunaan diuretik atau yang berisiko hipotensi berat. Pasien

yang akan menggunakan ramipril dan masih menggunakan diuretik, sebaiknya

penggunaan diuretik dihentikan 2 sampai 3 hari sebelum memulai penggunaan

ramipril, dan dilanjutkan lagi jika perlu (Sweetman, 2014).

2.7.4. Enalapril

Gambar 2.7. Struktur kimia enalapril (Drugbank, 2020).

Enalapril merupakan prodrug dari metabolit aktif enalaprilat. Obat ini

digunakan untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Obat ini juga dapat

diberikan profilaksis pada pasien disfungsi ventrikel kiri asimptomatik untuk

menunda timbulnya gagal jantung simtomatik, dan juga untuk mengurangi

terjadinya iskemik jantung (Sweetman, 2014).

Absorpsi enalapril secara oral sekitar 60%, dengan konsentrasi plasma

puncak (C max) enalapril dapat dicapai dalam 1 jam setelah pemberian dosis

oral, sedangkan konsentrasi plasma puncak (C max) enalaprilat dapat dicapai 3

sampai 4 jam setelah pemberian dosis oral. Enalapril dimetabolisme di hati

menjadi enalaprilat. Enalaprilat terikat protein plasma sebesar 50 sampai 60%.

Enalaprilat diekskresikan dalam urin dan dalam feses. Waktu paruh efektif

enalapril sekitar 1 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Efek

hemodinamik enalaprilat mencapai puncak dalam waktu 1 sampai 4 jam, hal

ini dapat berlangsung sekitar 6 jam pada dosis yang telah dianjurkan

(Sweetman, 2014).

Dalam pengobatan hipertensi, dosis oral awal yang diberikan 5 mg satu

kali sehari. Apabila pasien menggunakan diuretik, maka dosis awal yang

disarankan 2,5 mg satu kali sehari. Pasien yang mengkonsumsi diuretik dan

akan mengkonsumsi enalapril sebaiknya, diuretik dihentikan 2 sampai 3 hari

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

45

sebelum pemakaian enalapril dimulai. Dosis pemeliharaan enalapril 10 mg

sampai 20 mg satu kali sehari, namun pada hipertensi berat dosis yang berikan

sebesar 40 mg (Sweetman, 2014).

2.7.5. Perindopril

Gambar 2.7.5. struktur kimia perindopril (Drugbank, 2020).

Perindopril adalah obat kelompok prodrug dari ACE Inhibitor. Perindopril

digunakan untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung. Dan dapat mengurangi

risiko karciovaskuler pada pasien dengan penyakit jantung iskemik. Setelah

dosis oral, perindopril diabsorpsi cepat dengan bioavaibilitas 65-75 %.

Perindopril dimetabolisme di hati menjadi perindoprilat. Konsentrasi plasma

puncak perindopril terjadi 3 sampi 4 jam setelah dosis oralnya. Perindoprilat

sekitar 10 sampai 20% terikat protein plasma. Sebagian besar perindopril

diekskresikan melalui urin. Eliminasi perindoprilat adalah bipasik dengan

waktu paruh distribusi 5 jam dan waktu paruh eliminasi 25 sampai 30 jam atau

lebih, dengan kedua waktu paruh tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan

adanya ikatan yang kuat dengan angiotensin-converting enzym (Sweetman,

2014).

Dalam pengobatan hipertensi, perindopril diberikan dengan dosis awal

sebesar 4 mg erbumin atau 5 mg garam arginin dengan pemakaian satu kali

sehari. Apabila pasien mempunyai indikasi lain seperti hipertensi renovaskular,

volume depletion, gagal jantung, ataupun hipertensi berat, maka dosis dapat

dikurangi menjadi 2 atau 2,5 mg dengan pemakaian satu kali sehari. Apabila

pasien menggunakan diuretik, maka harus dihentikan 2 atau 3 hari sebelum

penggunaan perindopril (Sweetman, 2014).

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

46

2.7.6. Quinapril

Gambar. 2.7.6. Struktur kimia quinapril (Drugbank, 2020).

Quinapril merupakan ACE Inhibitor yang digunakan dalam pengobatan

hipertensi dan gagal jantung. Efek hemodinamik quinapril terlihat 1 jam

setelah dosis oral tunggal, dan efek maksimum terjadi sekitar 2 sampai 4 jam.

Efek hemodinamik quinapril bertahan sekitar 24 jam (Sweetman, 2014).

Quinapril di dalam tubuh di ubah menjadi metabolit aktifnya yaitu

quinaprilat. Absorpsi quinapril dalam dosis oral sekitar 60%. Obat ini

dimetabolisme di hati menjadi quinaprilat. Puncak konsentrasi plasma

quinaprilat terjadi 2 jam dari dosis quinapril. Quinapril diekskresi melalui urin

dan feses setelah dosis oral. Sekitar 96% dosis intravena quinaprilat diekskresi

dalam urin, dengan waktu paruh yang efektif yaitu 3 jam. Farmakokinetik

quinapril dan quinaprilat dipengaruhi oleh gangguan ginjal dan hati. Dengan

demikian, dalam terapi dialisis terdapat beberapa efek terhadap ekskresi

quinapril atau quinaprilat (Sweetman, 2014).

Dalam pengobatan hipertensi dosis awal quinapril yang diberikan 10 mg

satu kali sehari. Jika pasien dengan gangguan ginjal, para lansia, maka dosis

awal yang direkomendasikan sebesar 2,5 mg dengan pemakaian satu kali

sehari. Jika pasien sedang menggunakan diuretik maka, perlu dihentikan 2 atau

3 hari sebelum oasien menggunakan quinapril, kemudian dilanjut lagi

pemakaian diuretik jika perlu (Sweetman, 2014).

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

47

2.7.7. Fosinopril

Gambar. 2.7.7. Struktur kimia fosinopril (Drugbank, 2020).

Fosinopril merupakan ACE Inhibitor yang digunakan untuk pengobatan

hipertensi dan gagal jantung. Efek hemodinamik fosinopril terlihat 1 jam

setelah dosis oral tunggal dan efek maksimum terjadi 2 sampai 6 jam. Efek

hemodinamik fosinopril berlangsung selama 24 jam. Fosinopril oral diberikan

dalam bentuk garam natriumnya (Sweetman, 2014).

Fosinopril berperan sebagai prodrug dari ACE Inhibitor. Absorpsi

fosinopril dalam dosis oral sekitar 36%. Obat ini dihidrolisis dengan cepat

menjadi fosinoprilat di mukosa gastrointestinal dan hati. Puncak konsentrasi

plasma fosinoprilat terjadi 3 jam setelah dosis oral fosinopril. Obat ini

diekskresi di dalam urin dan feses melalui empedu, dengan waktu paruh efektif

fosinoprilat sekitar 11,5 jam pada pasien hipertensi dan 14 jam pad apasien

gagal jantung.

Dalam pengobatan hipertensi, dosis awal fosinopril natrium diberikan 10

mg satu kali sehari. Sedangkan dosis pemeliharaan berkisar 10 sampai 40 mg

dengan pemakaian satu kali sehari. Jika pasien sedang menggunakan diuretik

maka, perlu dihentikan 2 atau 3 hari sebelum oasien menggunakan quinapril,

kemudian dilanjut lagi pemakaian diuretik jika perlu (Sweetman, 2014).

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Ginjal

48

2.7.8. Benazepril

Gambar. 2.7.8. Struktur kimia benazepril (Drugbank, 2020).

Benazepril merupakan ACE Inhibitor yang digunakan dalam pengobatan

hipertensi dan gagal jantung. Efek hemodinamik benazepril terlihat 1 jam

setelah dosis oral tunggal, dan efek maksimum terjadi sekitar 2 sampai 4 jam.

Efek hemodinamik quinapril bertahan sekitar 24 jam. Benazepril diberikan

secara oral sebagai hidroklorida (Sweetman, 2014).

Benazepril di dalam tubuh di ubah menjadi metabolit aktifnya yaitu

benazeprilat. Absorpsi benazepril dalam dosis oral sekitar 37%. Obat ini

dimetabolisme di hati menjadi benazeprilat. Puncak konsentrasi plasma

benazeprilat terjadi 1 sampai 2 jam pada pasien dalam keadaan puasa dan 2

sampai 4 jam pada pasien dalam kondisi normal. Benazeprilat diekskresi dalam

urin, namun diekskresi dalam empedu sekitar 11 sampai 12 jam, dengan waktu

paruh yang efektif 10 sampai 11 jam. Eliminasi benazeprilat diperlambat pada

gangguan ginjal (Sweetman, 2014).

Dalam pengobatan hipertensi dosis awal benazepril hidroklorida yang

diberikan 10 mg satu kali sehari. Pada pasien dengan gangguan ginjal, dosis

awal yang diberikan 5 mg satu kali sehari. Jika pasien sedang menggunakan

diuretik maka, perlu dihentikan 2 atau 3 hari sebelum pasien menggunakan

quinapril, kemudian dilanjut lagi pemakaian diuretik jika perlu. Dosis

pemeliharaan benazepril hidroklorida yaitu 20 mg sampai 40 mg satu kali

sehari yang dapat diberikan dalam 2 dosis terbagi jika dengan dosis tunggal

tidak mencapai target yang diinginkan. Sedangkan pada pengobatan gagal

jantung, dosis awal benazepril hidroklorida yang diberikan 2,5 mg satu kali

sehari dan dosis maksimum sebesar 20 mg satu kali sehari (Sweetman, 2014).