TINJAUAN PUSTAKA - · PDF file2.3.1 Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran kemih Ginjal...
date post
03-Mar-2019Category
Documents
view
229download
0
Embed Size (px)
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA - · PDF file2.3.1 Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran kemih Ginjal...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Farmasi Klinik
Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu
Kedokteran, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang
mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang Apoteker yang
menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik
formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian
tersendiri. Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan
pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang
terkenal Two Silices. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu direnungkan adalah
bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama.
Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya
industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat
dan di bidang penyedia/peracik obat ( apotek ). Dalam hal ini keahlian
kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek.
Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat.
Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan
bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis, pembuatan,
pengendalian, distribusi dan penggunaan.
Sedangkan Herfindal dalam bukunya Clinical Pharmacy and
Therapeutics (1992) menyatakan bahwa Pharmacist harus memberikan
Therapeutic Judgement dari pada hanya sebagai sumber informasi obat.
Silverman dan Lee (1974) dalam bukunya, Pills, Profits and Politics,
menyatakan bahwa :
1) Pharmacist lah yang memegang peranan penting dalam membantu dokter
menuliskan resep rasional. Membantu melihat bahwa obat yang tepat, pada
waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien tahu mengenai
bagaimana, kapan, mengapa penggunaan obat baik dengan atau tanpa resep
dokter.
2) Pharmacist lah yang sangat handal dan terlatih serta pakar dalam hal
produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk
mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang dapat melayani
baik dokter maupun pasien, sebagai penasehat yang berpengalaman.
3) Pharmacist lah yang meupakan posisi kunci dalam mencegah penggunaan obat
yang salah, penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang irrasional
Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika,
dengan penekanan pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan
dengan pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi
yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas
norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang
meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan
komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai
dari University of Michigan dan University of Kentucky pada tahun 1960-an
(Miller,1981).
Pada era itu, praktek kefarmasian di Amerika bersifat stagnan. Pelayanan
kesehatan sangat terpusat pada dokter, di mana kontak apoteker dengan pasien
sangat minimal. Konsep farmasi klinik muncul dari sebuah konferensi tentang
informasi obat pada tahun 1965 yang diselenggarakan di Carnahan House, dan
didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy (ASHP). Pada saat itu
disajikan proyek percontohan yang disebut 9th floor project yang
diselenggarakan di University of California. Perkawinan antara pemberian
informasi obat dengan pemantauan terapi pasien oleh farmasis di RS mengawali
kelahiran suatu konsep baru dalam pelayanan farmasi yang oleh para anggota
delegasi konferensi disebut sebagai farmasi klinik. Hal ini membawa implikasi
terhadap perubahan kurikulum pendidikan farmasi di Amerika saat itu,
menyesuaikan dengan kebutuhan akan adanya farmasis yang memiliki keahlian
klinik.
Perubahan visi pada pelayanan farmasi ini mendapat dukungan signifikan
ketika Hepler dan Strand (Hepler dan Strands, 1990) pada tahun 1990
memperkenalkan istilah pharmaceutical care. Pada dekade berikutnya, kata itu
menjadi semacam kata sakti yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi
farmasi di dunia. Istilah pharmaceutical care, yang di-Indonesia-kan menjadi
asuhan kefarmasian, adalah suatu pelayanan yang berpusat pada pasien dan
berorientasi terhadap outcome pasien. Pada model praktek pelayanan semacam ini,
farmasis menjadi salah satu anggota kunci pada tim pelayanan kesehatan, dengan
tanggung jawab pada outcome pengobatan.
Perkembangan peran farmasi yang berorientasi pada pasien semakin
diperkuat pada tahun 2000, ketika organisasi profesi farmasis klinik Amerika
American College of Clinical Pharmacy (ACCP) mempublikasikan sebuah
makalah berjudul, A vision of pharmacys future roles, responsibilities, and
manpower needs in the United States. Untuk 10-15 tahun ke depan, ACCP
menetapkan suatu visi bahwa farmasis akan menjadi penyedia pelayanan
kesehatan yang akuntabel dalam terapi obat yang optimal untuk pencegahan dan
penyembuhan penyakit (ACCP, 2008). Untuk mencapai visi tersebut, harus
dipastikan adanya farmasis klinik yang terlatih dan mendapat pendidikan
memadai.
Dalam sistem pelayanan kesehatan, farmasis klinik adalah ahli pengobatan
dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evaluasi pengobatan dan memberikan
rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain.
Farmasis klinik merupakan sumber utama informasi ilmiah yang dapat dipercaya
tentang obat dan penggunaannya, memberikan informasi terkait dengan
penggunaan obat yang aman, tepat, dan cost-effective.
Konsep farmasi klinik pun kemudian berkembang di berbagai negara di
dunia, termasuk Indonesia, dengan penerapan yang bervariasi pada tiap negara
berdasarkan kondisi masing-masing.
2.2 DRUG RELATED PROBLEM
Drug Related Problems (DRPs) dapat juga dikatakan sebagai suatu
pengalaman atau kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami oleh pasien
yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara actual
maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien (Cipolle et al., 1998).
DRPs ada dua yaitu DRPs aktual dan potensial. Keduanya memiliki perbedaan,
tetapi pada kenyataannya problem yang muncul tidak selalu terjadi dengan segera
dalam prakteknya. DRPs aktual adalah suatu masalah yang telah terjadi dan
farmasis wajib mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Sedangkan potensial,
karena resiko yang sedang berkembang jika farmasis tidak turun tangan (Rovers,
et al., 2003).
Tabel 1. Kategori DRPs dan penyebabnya
Kategori DRP Penyebab DRPIndikasi yang tidak diterapi a. Pasien membutuhkan terapi obat
barub. Pasien menderita penyakit kronis
sehingga membutuhkan terapi obatlanjutan.
c. Pasien membutuhkan kombinasiobat untuk memperoleh efeksinergis.
d. Pasien beresiko mengalami kejadianyang tidak diharapkan akibat terapiobat yang dapat dicegah denganterapi profilaksis.
Pemilihan obat tidak tepat a. Pasien mempunyai riwayat alergiterhadap obat yang diterima.
b. Obat yang diterima pasien bukanmerupakan obat yang paling efektif.
c. Pasien mempunyai kontra indikasiterhadap obat yang diterima.
d. Pasien menerima obat efektif tetapibukan yang paling murah.
e. Obat yang diterima pasien tidakefektif terhadap bakteri penyebabinfeksi (bakteri bersifat resisten
terhadap obat).f. Pasien menerime kombinasi obat
yang sebenernya tidakperlu.
Penggunaan obat tanpaIndikasi
a. Pasien menerima obat tanpa indikasimedis yang jelas.
b. Adanya duplikasi terapi.c. Pasien menerima obat untuk
mengatasi efek samping obat lainyang sebenarnya dapat dicegah.
d. Terapi non obat (misalnyaperubahan pola hidup) lebihbaik untuk pasien.
Dosis kurang a. Dosis obat yang diberikan terlalurendah untuk menghasilkan responyang diharapkan.
b. Kadar obat dalam darah pasiendibawah kisaran terapi.
c. Frekuensi pemberian, durasi terapi,dan cara pemberian obat pada pasientidak tepat.
d. Waktu pemberian profilaksis tidaktepat (misalnyaprofilaksis pembedahan diberikan
terlalu awal)
Dosis Lebih a. Dosis obat yang diberikan terlalutinggi.
b. Kadar obat dalam darah pasienmelebihi kisaran terapi.
c. Dosis obat dinaikkan terlalu cepat.d. Frekuensi pemberian, durasi terapi
dan cara pemberian obat pada pasientidak tepat
Adverse Drug Reaction (ADR) a. Pasien mengalami reaksi alergiterhadap obat.
b. Pasien mempunyai resikomengalami efek samping obat.
c. Pasien mengalami reaksiidiosinkrasi terhadap obat.
d. Biavailabilitas obat berubah akibatinteraksi obat dengan obat lain ataudengan makanan.
e. Efek obat berubah akibat inhibisiatau induksi enzim oleh obat lain.
f. Efek obat berubah akibatpenggantian ikatan antara obatdengan protein aleh obat lain.
Kegagalan dalam menerimaObat
a. Pasien gagal menerima obat yangtepat karena adanya medicationerrors.
b. Pasien tidak mampu membeli obat(obat terlalu mahal untuk pasien).
c. Pasien tidak memahami petunjukpenggunaan obat.
d. Pasien tidak mau minum obat(misalnya karena rasaobat tidak enak).
(Cipolle, et al., 1998)
2.3 Ginjal
Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang buncis yang terletak
de