Asma Nokturnal

28
ASMA NOKTURNAL E. Rand Sutherland, MD, MPH Gejala nokturnal dan penurunan fungsi paru sepanjang malam merupakan bagian umum dari sindrom klinis asma. Sebanyak 75% subjek asma terbangun karena gejala asma setidaknya sekali per minggu, dengan sekitar 40% diantaranya mengalami gejala nokturnal pada malam hari. Sebuah penelitian ekstensif (luas) menunjukkan bahwa gejala nokturnal batuk dan dispnea seringkali disertai dengan variasi sirkadian pada inflamasi jalan nafas dan variabel psikologis, meliputi limitasi jalan nafas dan hiperreseponsivitas jalan nafas. Perubahan pada adrenergic β 2 dan reseptor glukokortikoid dan fungsi aksis hypothalamus-hipofisis-adrenal mungkin berperan dalam memodulasi fenotipe asma nokturnal, dan studi belakangan ini menunjukkan bahwa melatonin, yaitu sebuah kontroller neurohormonal ritme sirkadian mungkin juga cukup penting. Strategi pengobatan pada asma nokturnal sama dengan penatalaksanaan pada asma persisten, meskipun dosis obat untuk menargetkan efek yang optimal selama periode perburukan nocturnal akan lebih menguntungkan (J Allergy Clin Immunol 2005;116:1179-86.)

description

ASMA

Transcript of Asma Nokturnal

ASMA NOKTURNAL

E. Rand Sutherland, MD, MPH

Gejala nokturnal dan penurunan fungsi paru sepanjang malam merupakan

bagian umum dari sindrom klinis asma. Sebanyak 75% subjek asma terbangun karena

gejala asma setidaknya sekali per minggu, dengan sekitar 40% diantaranya

mengalami gejala nokturnal pada malam hari. Sebuah penelitian ekstensif (luas)

menunjukkan bahwa gejala nokturnal batuk dan dispnea seringkali disertai dengan

variasi sirkadian pada inflamasi jalan nafas dan variabel psikologis, meliputi limitasi

jalan nafas dan hiperreseponsivitas jalan nafas. Perubahan pada adrenergic β2 dan

reseptor glukokortikoid dan fungsi aksis hypothalamus-hipofisis-adrenal mungkin

berperan dalam memodulasi fenotipe asma nokturnal, dan studi belakangan ini

menunjukkan bahwa melatonin, yaitu sebuah kontroller neurohormonal ritme

sirkadian mungkin juga cukup penting. Strategi pengobatan pada asma nokturnal

sama dengan penatalaksanaan pada asma persisten, meskipun dosis obat untuk

menargetkan efek yang optimal selama periode perburukan nocturnal akan lebih

menguntungkan (J Allergy Clin Immunol 2005;116:1179-86.)

Kata kunci: inflamasi, kronobiologi, kronoterapi, melatonin, kortisol

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI ASMA NOKTURNAL

Asma nokturnal ditandai dengan penurunan FEV1 pada setidaknya 15%

diantara waktu tidur dan bangun pada pasien dengan bukti klinis dan fisiologis asma;

pada beberapa pasien, variasi pada fungsi paru antara dua titik waktu ini dapat

melebihi 20%1. Penurunan fungsi paru sepanjang malam terjadi berkaitan dengan

peningkatan hiperresponsivitas jalan nafas dan inflamasi jalan nafas dibanding

dengan baseline saat bangun dan hal ini merujuk pada gejala-gejala nokturnal4,

seperti batuk dan dispnea yang dapat mengganggu tidur.

Studi terluas mengenai prevalensi gejala asma nokturnal dilaporkan oleh

Turner-Warwick pada tahun 1985. Surwey-nya mengenai 7729 pasien dengan asma

mengungkapkan bahwa 74% terbangun setidaknya satu kali perminggu dengan gejala

asma, 64% dilaporkan adanya gejala asma nokturnal setidaknya 3 kali per minggu,

dan sekitar 40% pasien mengalami gejala-gejala malam hari. Diantara 3015 pasien

dengan derajat asma ringan, 26% melaporkan bahwa mereka terbangun karena gejala-

gejala di malam hari yang menunjukkan pengenalan gejala nokturnal yang kurang

adekuat sebagai determinan penting derajat penyakit5. Studi yang terpisah, dengan

melibatkan 3129 pasien dengan asma nokturnal melaporkan bahwa sekitar 94%

episode dispnea terjadi antara pukul 10 malam dan 7 pagi, dengan pukul 4 pagi

merupakan waktu puncak frekuensi gejala6. Gejala nokturnal juga tampak

berhubungan dengan mortalitas asma dalam hal terjadinya sebagian besar henti nafas

dan sudden death pada subjek dengan asma yang terjadi antara tengah malam hingga

jem 8 pagi7,8.

MANIFESTASI FISIOLOGIS ASMA NOKTURNAL

Meskipun fungsi paru telah ditunjukkan berfluktuasi selama periode 24 jam

pada individu yang sehat, fluktuasi-fluktuasi ini jauh lebih jelas pada pasien dengan

asma nokturnal, dengan perbedaan pada FEV1 antara bangun dan tidur melebihi 15%

(Gambar 1). Pada pasien dengan asma nokturnal, penurunan fungsi paru sepanjang

malam (Diukur dengan perubahan puncak laju arus ekspirasi—Peak of Ekspiratory

Flow Rate [PEFR] menunjuukan hubungannnya tidak hanya dengan gejala nokturnal

(r=0,85, P<0,001)2 namun juga dengan perubahan persentase pada FEV1 antara pukul

4 sore hingga 4 pagi (r=0,75, P,0,001) dan persentase prediksi FEV1 pada pukul 4

sore (r=0,73, P,0,001) dan 4 pagi (r=0,84, P<0,001)2. Selain itu untuk menunjukkan

bahwa peningkatan pada obstruksi jalan nafas mendasari perkembangan gejala

nokturnal, masing-maisng pengamatan ini menunjukkan bahwa pasien dengan

penurunan fungsi paru nocturnal yang lebih berat akan memiliki gangguan fisiologis

lebih berat juga saat siang hari.

Meskipun limitasi aliran udara saat jam 4 pagi membaik dengan bronkodilator

inhalasi pada banyak pasien dengan asma nokturnal, namun respon ini masih

dianggap rendah. Evaluasi oleh Hendeles et al9 pada kurva dosis respon albuterol saat

malam hari pada pasien dengan asma nokturnal menunjukkan adanya respon lambat

pada albuterol, dengan dosis kumulatif lebih besar yang diperlukan untuk mencapai

bronkodilatr yang ekuivalen seperti yang diamati pada saat siang hari, pasien-pasien

dengan asma nokturnal juga bermenifestasi berupa peningkatan hiperresponsivitas

jalan nafas pada pukul 4 pagi ketika dibandingkan dengan baseline saat bangun di

siang hari, sebagaimana yang ditunjukkan pada satu studi dengan penurunan pada

methacoline PC20 FEV1 (konsentrasi yang diperlukan untuk menyebabkan penurunan

20% pada FEV1) dari 1,80 ± 0,75 mg/mL saat pukul 4 siang menjadi 0,47 ± 0,16

mg/mL saat pukul 4 pagi (P< 0,002)2.

Akhirnya, perubahan pada volume paru telah dilaporkan selama tidur baik

pada subjek kontrol sehat dan pasien-pasien dengan asma nokturnal. Pada subjek

kontrol yang sehat, kapasitas residual fungsional menurun antara saat bangun dan

tidur, dengan nilai terendah yang diamati adalah selama tidur rapid eye movement

(REM)10. Terlepas dari minimnya hiperinflasi saat siang hari, pasien dengan asma

nokturnal menunjukkan adanya reduksi kapasitas residual fungsional yang nyata saat

tidur, dengan dimulai selama tidur REM yang hampir sama dengan yang terlihat pada

subjek kontrol sehat (Gambar 2)10. Tidak adanya hiperinflasi paradox terlepas dari

peningkatan pada limitasi aliran udara yang berlawanan dengan hubungan antara

resistensi jalan nafas dan volume paru11 dan mungkin dapat menunjukkan adanya

gangguan hubungan volume resistensi normal selama tidur pada asma nokturnal10,

sebuah fenomena yang kemudian akan diteliti oleh Irvin et al12.

Inflamasi pada jalan nafas kecil dan alveoli mungkin dapat menjelaskan

sebagian perubahan fisiologis interaksi antara jalan nafas dan parenkim paru yang

telah dilaporkan pada asma nokturnal12. Pada studi yang didesain untuk mengevaluasi

interdependensi parenkim dan jalan nafas, Irvin et al12 mempelajari 5 subjek dengan

asma nokturnal menggunakan plethysmography seluruh badan selama tidur dan

bangun untuk memeriksa hubungan resistensi volume. Mereka menunjukkan bahwa

resistensi jalan nafas bawah meningkat selama tidur pada subjek dengan asma

nokturnal, dari 16,2 ± 2,8 cm H2O/L/s selama tidur awal hingga 29,8 ± 9,6 cm

H2O/L/s selama tidur lanjut (P<0.001). Para peneliti kemudian menerapkan tekanan

thoraks negative berkelanjutan (CNTP) Selama tidur untuk meningkaatkan Volume

Gas Thoraks—Thoracic Gas Volume (TGV) untuk mencapai nilai yang sama dengan

TGV saat bangun. Terlepas dari peningkatan pada volume paru, resistensi jalan nafas

gagal menurun secara signifikan, dengan TGV resistensi jalan nafas bawah saat tidur

16,2 ± 2,8 cm H2O/L/s dibanding dengan 14,9 ± 1,6 cm H2O/L/s saat TGV bangun

(Gambar 3)12. Pemenuhan (komplians) sistem pernafasan berasal dari data-data ini,

dan dari tidur awal dan lanjut, komplians sistem pernafasan menurun dari 0,079 ±

0,02 cm H2O/L menjadi 0,035 ± 0,002 cm H2O/L, menunjukkan bahwa asma

nokturnal mungkin berhubungan dengan perubahan pada hubungan volume-jalan

nafas paru normal lebih dari 50%.

NITRIT OKSIDA YANG DIHEMBUSKAN (EKSHALASED) PADA ASMA

NOKTURNAL

Meskipun inflamasi jalan nafas bervariasi lebih dari periode 24 jam pada asma

nokturnal, variasi sirkadian Nitrit OOksida (NO) yang sama, dengan peningkatan saat

malam hari seperti peningkaatan inflamasi jalan nafas, belum dilaporkan. Setelah

mengevaluasi variasi sirkadian pada NO yang dihembuskan pada pasien dengan asma

noktiurnal, maka Hacken et al13 melaporkan bahwa konsentrasi NO rata-rata yang

dihembuskan lebih tinggi pada semua titik waktu sirkadian pada subjek dengan asma

nokturnal daripada pada subjek dengan asma non-nokturnal maupun pada subjek

kontrol namun pada kelompok ini mereka tidak bervariasi pada lebih dari periode 24

jam. Level NO rata-rata yang dihembuskan berhubungan dengan variasi pada PEFR

lebih dari 15% antara pukul 4 pagi dan 4 sore (r=0,61, P<0,01) namun tidak

berhubungan dengan FEV1, meskipun terdapat kecenderungan terhadap tingkat NO

lebih tinggi pada pukul 4 pagi dibanding bukul 4 sore, penulis tidak dapat

menunjukkan ritme sirkadian sejati pada level NO yang dihembuskan pada pasien

dengan asma nokturnal13.

Studi berikutnya oleh Geirges et al14 menemukan variasi sirkadian pada kadar

NO yang dihembuskan pada pasien dengan asma nokturnal, namun pasien dengan

asma nokturnal menunjukkan sebuah penurunan paradoks pada kadar NO yang

dihembuskan saat malam hari, dengan kadar rata-rata 77,2 ± 8,2 ppb saat pukul 4

sore, 68,4 ± 8,7 ppb pada pukul 10 malam (P<0,003) dan 66,0 ± 8,5 ppb pada pukul 4

pagi (P< 0,001). Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa NO yang dihembuskan

dapat meringankan pada kondisi bronkokonstriksi15, namun ketika penulis

menyesuaikan untuk perubahan pada FEV1 pada analisis model campuran, hanya

sebagian NO yang dihembuskan saja yang dapat meringankan bronkokonstriksi.

Penulis berkesimpulan bahwa terdapat penurunan NO yang dihembuskan saat malam

hari pada subjek dengan asma nokturnal dan berspekulasi bahwa penurunan kadar

NO yang dihembuskan pada malam hari dapat merupakan sifat pathogen dari asma

nokturnal karena hilangnya efek bronkodilator NO endogen atau karena aktivitas

proinflamasi dari konversi produk peroksinitrit14.

RESEPTOR β-2 DAN GLUKOKORTIKOID PADA ASMA NOKTURNAL

Seperti yang dicatat diatas, respon bronkodilator terhadap agonis reseptor β2-

berkurang pada pasien asma nokturnal, kemungkinan akubat adanya kenyataan

bahwa jumlah dan fungsi reseptor adrenergic β2 berkurang secara signifikan antara

pukul 4 sore dan 4 pagi pada pasien dengan fenotip asma nokturnal16. Szefler et al16

mengukur leukosit reseptor adrenergik-β pada 7 subjek dengan asma nokturnal,

perbedaan sirkadian yang signifikan pada densitas leukosit reseptor adrenergic-β

antara pukul 4 sore (294 ± 65 reseptor per sel) dan pukul 4 pagi (182 ± 46 reseptor

per sel, P< 0,05 untuk perbandingan ini). Fenomena ini tidak diamati pada kelompok

lainnya. Selain itu, meskipun peneliti tidak mengamati berbedaan sirkadian pada

afinitas binding reseptor adrenergic β leukosit, pada asma nokturnal pada pukul 4

pagi terdapat produksi siklik AMP lebih rendah sebagai respon terhadap stimulasi

isoproterenol, dengan peningkatan 17% ± 13,7% pada siklik AMP leukosit seluler

bandingkan dengan peningkatan sebesar 69,4% ± 13,7% pada subjek dengan asma

non-nokturnal (P< 0,05) dan peningkatan 80,2% ± 21,3% pada subjek normal.

Penulis berkesimpulan bahwa pemutusan respon terhadap isoproterenol adalah akibat

dari perubahan pada densitas reseptor adrenergic-β leukosit atau karena abnormalitas

post-reseptor16.

Disisi lain, sebuah studi yang memeriksa polimorfisme reseptor-β pada 23

subjek dengan asma nokturnal dan 22 subjek dengan asma non-nokturnal, Turki et

al17 menunjukkan bahwa prevalensi alel Gly166 adalah sebesar 80,4% pada pasien

dengan asma nokturnal dibandingkan dengan 52,2% pada subjek dengan asma non-

nokturnal (P=0,007). Alel Gly16 menyumbang peningkatan kejadian asma nokturnal

3,8 kali lipat, menunjukkan bahwa alel ini merupakan faktor penting dalam

menentukan fenotip asma nokturnal. Meskipun studi belakangan ini18 menunjukkan

bahwa efek samping terhadap respon penggunaan albuterol jangka panjang dapat

terjadi pada pasien yang homozigot arginine (Arg/Arg) pada residu asam amino ke-16

reseptor adrenergic-β, prevalensi keseluruhan dan pengaruh dari fenotip ini pada

subjek asma nokturnal masih belum diketahui.

Karakteristik ikatan Reseptor glukokortikoid (GR) dan responsivitas steroid

juga berubah pada pasien dengan asma nokturnal19, dengan afinitas ikatan GR lebih

rendah pada pukul 4 pagi dibandingkan dengan pukul 4 sore, sebagaimana diukur

dengan peningkatan disosiasi konstan (Kd) pada pukul 4 pagi (22,2 ± 1,6 nmal/L)

dibandingkan dengan pada pukul 4 sore (10,9 ± 0,7 nmol/L, P = 0,0001). GR Kd

yang berbanding terbalik dengan reseptor binding, tidak berubah selama beriode 24

jam baik pada subjek dengan asma non-nokturnal maupun pada subjek yang sehat.

Pada kelompok dengan asma nokturnal, terdapat korelasi yang berkebalikan secara

signifikan (r=-0,65, P=0,04) antara GR Kd dan FEV1 pada pukul 4 pagi. Penurunan

afinitas GR untuk kortikosteroid ini dapat membentuk dasar untuk inflamasi jalan

nafas nokturnal dengan menurunkan efek anti-inflamasi baik pada pemberian

kortikosteroid endogen maupun terapi19.

Splicing alternatif dari GR m-RNA menghasilkan isoform GR (GR-β) yang

bersifat antagonis terhadap aktivitas trans-aktivasi dari GR klasik. Pada subjek

dengan asma nokturnal, ekspresi GR-β meningkat secara signifikan di dalam

makrofag paru (P=0,001) ketika dibandingkan dengan pasien asma non-nokturnal,

dan peningkatan ekspresi GR-β pada makrofag paru subjek asma nokturnal dapat

berperan menurunkan responsivitas steroid yang terlihat pada malam hari pada asma

nokturnal20.

INTERAKSI HIPOTHALAMUS—HIPOFISIS—ADRENAL PADA ASMA

NOKTURNAL

Pada tahun 2002, Landstra et al21 melaporkan bahwa anak-anak dengan asma

nokturnal menunjukkan kadar kortisol serum menurun pada pukul 12 malam, 8 pagi,

dan 12 siang ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat. Selain itu,

peneliti mengidentifikasi korelasi positif yang signifikan antara kadar kortisol rata-

rata 24 jam dan fungsi paru pada pukul 4 pagi, 8 pagi dan 8 malam dan korelasi

berbanding terbalik antara prediksi persentase FEV1 pada semua titik waktu dan

besaran variasi sirkadian pada kortisol serum. Ketika subjek dengan kadar kortisol

serum diobati dengan hydrocortisone intravena, terdapat peningkatan fungsi paru dan

penurunan eosinofil darah22.

Pada suatu studi yang didesain untuk mengevaluasi fungsi aksis hipofisis-

adrenal pada asma nokturnal, Sutherland et al23 mengukur kortikotropin plasma dan

kadar kortisol serum setiap 2 jam selama periode 24 jam pada subjek dengan asma

nokturnal (n=7) dan non-nokturnal (n=13), dan juga subjek kontrol sehat (n=11).

Pada subjek dengan asma nokturnal, kadar puncak kortikotropin dan area dibawah

kurva kortikotropin 24 jam meningkat secara signifikan pada subjek dengan asma

nokturnal dibandingkan kadar yang terlihat pada kedua kelompok lainnya (Gambar

4)23. Namun, peningkatan kadar kortisol yang sebanding tidak diamati pada subjek

dengan asma nokturnal, hal ini menunjukkan bahwa responsivitas adrenal terhadap

kortikotropin berkurang pada asma nokturnal (Gambar 5)23.

MELATONIN, INFLAMASI, DAN FUNGSI PARU PADA ASMA

NOKTURNAL

Perkembangan terkini lainnya dalam memahami peran lingkungan hormonal

pada asma nokturnal merupakan pengamatan bahwa melatonin mungkin berperan

dalam variasi sirkadian dalam fungsi paru dan inflamasi. Pada kedua subjek dengan

asma nokturnal dan asma non-nokturnal, co-stimulasi melatonin PBMC

menghasilkan peningkatan produksi IL-1, IL-6 dan TNF-alfa ketika dibandingkan

dengan sel yang hanya distimulasi dengan zymosan saja. Hal ini menunjukkan bahwa

meskipun melatonin merupakan agen pro-inflamasi, hal ini mungkin terlepas dari

fenotip asma24. Namun, ketika dipelajari secara in vivo, kadar melatonin lebih tinggi

pada pasien dengan asma nokturnal daripada pada pasien dengan asma non-nokturnal

dan subjek kontrol sehat. Pada subjek dengan asma nokturnal, terdapat hubungan

terbalik antara kadar melatonin dan penurunan fungsi paru sepanjang malam (r=-

0,79) [P=0,04] dibandingkan r=-0,24 [P=0,44] pada subjek dengan asma non-

nokturnal dan r=-0,43 [P=0,19] pada subjek kontrol sehat, Gambar 6)25.

INFLAMASI JALAN NAFAS PADA ASMA NOKTURNAL

Studi biopsi pada pasien dengan asma nokturnal telah memberikan pandangan

mengenai inflamasi jalan nafas kecil pada asma. Pada tahun 1996, Kraft et al3

melaporkan bahwa jalan nafas kecil (diameter <2) dan inflamasi jaringan alveolar

dapat diamati pada subjek dengan asma nokturnal dan variasi sirkadian pada

inflamasi jaringan alveolar mungkin berperan penting dalam pathogenesis asma

nokturnal. Peneliti mengevaluasi 21 subjek, 11 diantaranya memiliki asma nokturnal

dan 10 diantaranya memiliki asma non-nokturnal. Semua partisipan menjalani

bronkoskopi dengan biopsy endobronkial dan transbronkial pada pukul 4 sore (waktu

puncak fungsi paru) dan pukul 4 pagi, ketika limitasi aliran udara paling buruk.

Pada mereka dengan asma nokturnal, peningkatan signifikan pada jumlah

eosinofil per unit volume diamati pada specimen biopsy transbronkial pada pukul 4

pagi ketika dibandingkan dengan subjek tanpa asma nokturnal (median 40,2 x 103 dan

rentang interkuartil [IQR] 26,4-57,1 x 103 sel/mm2 dibandingkan dengan median

15,7 x 103 dan IQR 2,1-35,2 x 103 sel/mm2, P=0,05 sebagai pembanding). Namun,

perbandingan inflamasi eosinofilik pada specimen jalan nafas yang lebih luas yang

diperoleh dengan biopsy endotrakeal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan

antara fenotip nocturnal dan non-nokturnal, sehingga menunjukkan bahwa perbedaan

sirkadian pada inflamasi paru distal (jalan nafas kecil dan alveolus) mungkin terjadi.

Specimen yang diperoleh pada 2 titik waktu yang berbeda juga telah dilakukan. Hal

ini mengungkapkan bahwa jaringan dari subjek dengan asma nokturnal, terdapat

variasi sirkadian dalam jumlah per unit volume eosinofil alveolar, dengan jumlah

yang lebih besar muncul pada pukul 4 pagi dibanding pukul 4 sore (41,4 ± 8,6 x 103

dibandingkan 12,9 ± 4,3 x 103 sel/mm3, P=0,005). Peningkatan pada eosinofil

alveolar pada subjek dengan asma nokturnal berhubungan dengan penurunan FEV1

nokturnal (r=-0,54, P=0,03)3.

Sebuah peningkatan sirkadian pada makrofag jaringan juga diamati pada

jaringan alveolar dari subjek dengan asma nokturnal, namun perbedaan sirkadian

yang sama pada fenotip inflamasi tidak diamati pada spesimen biopsy endobronkial

(jalan nafas lebih besar pada subjek dengan asma nokturnal). Pada subjek asma yang

tidak memiliki fenotip nokturnal, tidak ada perbedaan signifikan pada inflamasi jalan

nafas yang lebih besar maupun di alveolus.

Sebuah studi berikutnya oleh Kraft et al26 mengevaluasi peran limfosit T pada

inflamasi jaringan alveolus pada pasien dengan asma nokturnal. Pada pukul 4 pagi,

subjek dengan asma nokturnal memiliki jumlah limfosit CD4+ lebih banyak pada

jairngan alveolus darupada subjek dengan asma non-nokturnal (median 9,8/mm2 dan

IQR 5,6-20,8/mm2 dibanding median 1,5/mm2 an IQR 0-6,3/mm2, P=0,04 sebagai

pembanding)/ sel CD4+ alveolar berkorelasi positif dengan jumlah eosinofil EG2+

(r=0,66, P=0,01) dan berbanding terbalik dengan FEV1 (r=-0,68, P=0,0018) pada

pukul 4 pagi26.

Meskipun pasien dengan asma nokturnal umumnya memenuhi kriteria untuk

asma persisten sedang atau berat, perubahan sirkadian pada fungsi paru dapat dilihat

pada pasien dengan asma yang lebih ringan. Pada tahun 2004, Kelly et al27

menyelidiki perubahan sirkadian pada inflamasi jalan nafas pada pasien dengan asma

atopic ringan (rata-rata FEV1 93% ± 4% dari nilai prediksi). Pada populasi pasien ini

cairan bronkoalveolar yang berisi sejumlah makrofag, neutrofil, dan limfosit T CD4+

meningkat pada pukul 4 pagi dibandingkan dengan pukul 4 sore. Selain itu,

persentase limfosit T CD4+ pada cairan pukul 4 pagi berbanding terbalik dengan

FEV1 pukul 4 pagi.

PENGOBATAN ASMA NOKTURNAL

Sebagian besar pasien dengan gejala nokturnal signifikan akan memenuhi

kriteria diagnosis untuk asma persisten ringan atau berat dan sebaiknya diobati

berdasarkan panduan nasional dan internasional28. Banyak agen obat-obatan yang

direkomendasikan untuk tatalaksana asma persisten yang telah dievaluasi dengan

teliti pada pasien dengan asma nokturnal, dengan fokus kepada strategi dosis yang

dapat mengoptimalisasikan efek terapi obat selama periode perburukan nokturnal.

Pincus et al29 membandingkan efikasi dosis kronoterapi dosis triamsinolone

inhalasi 800 µg sekali sehari pada pukul 3 sore dibandingkan dengan dosis tradisional

200 µg 4 kali sehari pada studi kohort dengan subjek 30 orang asma, 17 diantaranya

(8 orang pada kelompok sekali sehari dan 9 pada kelompok 4 kali sehari) memiliki

asma nokturnal. Penulis menunjukkan bahwa dosis harian tunggal pada pukul 3 sore

memiliki efikasi yang sama dan tidak meningkatkan efek samping dibandingkan

dengan dosis tradisional 4 kali sehari. Ketika peneliti ini membandingkan efek jadwal

dosis tunggal yang lebih nyaman (pukul 8 pagi atau 5.30 sore) dengan dosis 4 kali

sehari, mereka menunjukkan bahwa dosis saat senja (5.30 sore) lebih baik daripada

dosis pagi hari (8 pagi), dan tidak menimbulkan efek yang komparabel dibandingkan

dosis 4 kali sehari berkenaan dengan aliran puncak pagi dan sore hari30.

Ketika terapi kortikosteroid lokal diperlukan, kronoterapi dapat sangat

bermanfaat. Beam et al31 menggunakan studi desain double blind, placebo-controlled,

crossover untuk mengevaluasi efek dosis oral prednisone dosis tunggal 50mg yang

diberikan pada berbagai macam waktu yaitu pukul 8 pagi, 3 sore, atau 8 malam

terhadap spirometri malam hari, jumlah hitung eosinofil darah, dan sitologi cairan

bronkoalveolar pada 7 subjek dengan asma nokturnal. Dibandingkan dengan placebo,

dosis tunggal prednisone pada pukul 3 sore menghasilkan reduksi dalam penurunan

persentasi FEV1 satu malam (penurunan 28,2% ± 7,3% dibandingkan penurunan

10,4% ± 4,5%, P=0,04) dan perbaikan pada FEV1 pukul 4 pagi (2,53 ± 0,38L

dibandingkan 3, 43 ± 0,38 L, P=0,03), perbaikan ini tidak terlihat ketika Prednisone

diberikan pada pukul 8 pagi maupun 8 malam. Selain itu, dosis Prednisone pukul 3

sore dapat menurunkan jumlah hitung eosinofil darah perifer pada pukul 8 malam dan

pukul 4 pagi. Peneliti berkesimpulan bahwa strategi kronoterapi untuk dosis

prednisone dapat mengubah lingkungan inflamasi dan penurunan spirometri berkaitan

dengan perburukan nokturnal pada asma31.

Agonis-β long acting telah dievaluasi pada asma nokturnal, meskipun

rekomendasi saat ini menyatakan bahwa agen ini tidak digunakan sebagai monoterapi

untuk kontrol asma namun lebih sebagai agen kontroller tambahan bersamaan dengan

pemberian kortikosteroid inhalasi. Pada tahun 1999, Lockey et al32 mengevaluasi efek

salmeterol pada indeks spirometri dan kualitas hidup spesifik asma pada 474 pasien

dengan asma nokturnal simptomatik. Pasien diijinkan untuk terus menggunakan

theofillin jika sebelumnya telah diresepkan dan telah distratifikasi pada kadar serum

theofiliin dasar. Ketika albuterol yang dibutuhkan dilanjutkan, pasien mendapatkan

42 µg salmeterol dua kali sehari atau placebo pada desain double blind, placebo-

controlled. Melalui studi ini terdapat perbaikan signifikan pada kualitas hidup

spesifik asma (P≤ 0,005) pada kelompok salmeterol dibandingkan dengan nilai

baseline. PEFR pagi hari dan rata-rata FEV1 meningkat secara signifikan pada

kelompok pengobatan (P≤ 0,002 dan P≤ 0,004 berturut-turut). Pengaruh pada PEFR

pagi hari terlihat independen dari subjek yang menggunakan theofillin. Salmeterol

meningkatkan persentase waktu malam tanpa terbangun yang disebabkan oleh gejala

asma dari 28% menjadi 77% pada akhir periode pengobatan dibandingkan dengan

dari 28% menjadi 49% pada subjek yang hanya menerima placebo (P, 0,001).

Penggunaan albuterol juga turun secara signifikan pada kelompok yang diobati

dengan salmeterol32.

Antikolinergik inhalasi memiliki efek kecil pada penurunan fungsi paru

sepanjang malam yang terlihat pada pasien dengan asma nokturnal. Sebagian besar

dari berkurangnya efek ini adalah akibat masa paruh waktu yang pendek pada obat-

obatan antikolinergik inhalasi yang tersedia. Coe dan Barnes33 mempelajari pengaruh

oksitropium bromide pada regimen dosis rendah (0,2 mg) yang diberikan saat akan

tidur. Mereka akan dapat mengidentifikasi kelompok subjek dengan perbaikan pada

fungsi paru sepanjang malam namun tidak dapat mengidentifikasi karakteristik yang

dapat membedakan responder dan non-responder.

Theofillin merupakan pengobatan efektif untuk asma nokturnal. Barnes et al34

melakukan studi dengan 12 subjek asma nokturnal untuk menentukan apakah

Theofillin, yang diberikan sebagai dosis tunggal malam hari dapat mencapai kadar

obat terapeutik dan mengobati gejala nokturnal. Mereka menggunakan preparat

theofilllin lepas lambat dan mentarget kadar terapeutik 8 hingga 15 mg/L (rata-rata

10,9 mg/L) 10 jam setelah pemberian. Dengan strategi dosis ini, mereka

menunjukkan perbaikan signfiikan pada PEFR pagi hari, dengan PEFR 332 ± 31 L/

menit selama pengobatan dibanding dengan 283 ± 32 L/ menit selama placebo

(P,0,001). Terdapat juga penurunan signifikan dalam penggunaan salbutamol rescue

(albuterol) selama pengobatan dengan theofillin. Banyak studi lainnya35-37 dari

theofillin lepas lambat pada asma nokturnal yang menunjukkan hasil yang hampir

sama dengan perbaikan laju aliran puncak pagi hari, penurunan jumlah waktu

terbangun, penurunan penggunaan inhaler rescue, dan perbaikan subjektif pada

gejala-gejala yang ada,

Kontrol asma nokturnal tergantung pada jenis dan jadwal pemberian dosis

preparat theofillin lepas lambat36, theofillin dapat diberikan berdasarkan strategi

kronofarmakologis dan penjadwalan waktu pemberian dosis untuk mencapai efikasi

terapi pada titik nadir (terendah) fungsi paru pada pasien asma nokturnal. Martin et

al36 membandingkan pemberian Theofillin lepas lambat dua kali per hari

dibandingkan dengan theofillin lepas lambat satu kali per hari pada subjek dengan

asma nokturnal dan menunjukkan bahwa pemberian preparat satu kali sehari pada

pukul 7 malam menghasilkan konsentrasi theofillin serum lebih tinggi pada malam

hari daripada dosis ekuivalen preparat dua kali sehari yang diberikan pada pukul 7

pagi dan 7 malam. FEV1 pukul 7 pagi lebih tinggi pada subjek yang menerima

preparat satu kali sehari. Penemuan-penemuan ini menunjukan bahwa jika theofillin

digunakan, subjek dengan asma nokturnal mendapatkan manfaat dari regimen

terapeutik yang didesain untuk mencapai konsentrasi theofillin serum pada waktu

malam hari ketika limitasi aliran udara paling besar terjadi (misalnya sekitar jam 4

pagi).

PENGOBATAN PADA KONDISI-KONDISI KOMORBID

Refluks asam lambung, yang dapat terjadi selama tidur karena kombinasi

peningkatan sekresi asam lambung dan keadaan telentang, dapat menghasilkan

refleks bronkospasme dari peningkatan tonus vagal38, hal ini merujuk pada

peningkatan limitasi aliran udara dan gejala pada malam hari. Sebuah survey populasi

cross-sectional dengan 2661 subjek dari Iceland, Belgia, dan Swedia menunjukkan

bahwa pasien dengan refluks gastroesofagus nokturnal (yang diukur melalui rata-rata

laporan individu) sebagian besar melaporkan adanya wheezing, sesak saat istirahat,

dan sesak nokturnal dan menunjukkan adanya variabilitas aliran puncak lebih besar

daripada pasien tanpa gejala refluks39. Namun, sebuah studi kecil oleh Tan et al40

gagal menunjukkan hubungan antara periode refluks asam spontan atau induksi dan

apakah terjadi peningkatan resistensi jalan nafas bawah atau penurunan fungsi paru.

Peneliti-peneliti ini tidak memeriksa aspirasi yang terjadi bersamaan sehingga

meskipun refluks asama lambung tidak tampak langsung memicu bronkokonstriksi,

aspirasi sebagai pemicu potensial tidak dieksklusikan.

Sebuah studi kolaborasi Cochrane41 meninjau percobaan klinis pengobatan

refluks gastroesofagus pada pasien dengan asma nokturnal melaporkan bahwa

meskipun sejumlah individu mencoba antagonis reseptor H2 dan inhibitor pompa

proton menunjukkan penurunan gejala nokturnal pada subjek asma42-44, namun

setidaknya 3 percobaan lainnya gagal untuk menunjukkan adanya perbaikan45-47.

Akibat Kurangnya pemahaman yang jelas mengenai hubungan antara refluks

gastroesofagus dan asma nokturnal, pengobatan empiris refluks gastroesofagus pada

asma sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan gejala noktrunal signifikan

yang berespon sub-optimal terhadap terapi yang dijelaskan diatas.

Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) nasal memiliki peran pada

pasien dengan asma nokturnal dan komorbid obstructive Slepp Apnea (OSA). Chan et

al48 menunjukkan bahwa CPAP nasal menghasilkan perbaikan signifikan pada PEFR

pagi dan malam hari, gejala-gejala, dan penggunaan obat obatan pada pasien dengan

asma nokturnal dan Obstructive Sleep Apnea. Namun, CPAP nasal tidak

memperbaiki penurunan FEV1 satu malam pada pasien dengan asma nokturnal tanpa

Obstructive Sleep Apnea49. Selain itu, terkait peningkatkan risiko OSA, obesitas juga

dilaporkan berhubunagn dengan asma nokturnal50. Pada subjek asma yang obese,

penurunan beart badan yang signifikan dapat mengurangi variabitas puncak aliran

dan memperbaiki FEV1, laju aliran mid-ekspirasi, dan resistensi jalan nafas51.

KESIMPULAN

Kesimpulannya, asma nokturnal seringkali bertemu dengan fenotip asma yang

dicirikan dengan variasi sirkadian pada inflamasi dan fisiologi. Kewaspadaan

mengenai karakteristik-karakteristik ini seiring dengan pemahaman strategi terapi

yang sesuai sehingga dapat menghasilkan perbaikan signifikan pada fungsi paru,

kualitas tidur, dan kualitas hidup terkait asma.

Singkatan yang digunakan:

CPAP : Continuous Positive Airway Pressure

GR : Glucocorticoid Receptor

IQR : Interquartile Range

Kd : Dissociation Constant

NO : Nitric Oxide

PEFR : Peak Expiratory Flow Rate

TGV : Thoracic Gas Volume