BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makhluk hidup terus mengalami perkembangan dari struktur dan fungsinya,
oleh karena itu integrasi berbagai komponen dalam diri makhluk hidup menjadi
sangat penting bagi kelangsung hidupnya. Salah satu komponen penting tersebut
adalah sistem endokrin (Price dan Wilson, 2012).
Sistem endokrin merupakan sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless)
yang menghasilkan hormon dan tersirkulasi di dalam tubuh melalui aliran darah
untuk mempengaruhi organ-organ lain.
Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar yang menyekresikan hormon
yang membantu memelihara dan mengatur fungsi-fungsi vital seperti respon
terhadap stress dan cedera, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi,
homeostasis ion, metabolisme energi serta respon kekebalan tubuh (Price dan
Wilson, 2012).
Disfungsi hormon (sistem endokrin) akan menyebab berbagai gangguan,
mengingat pentingnya sistem endokrin bagi kelangsungan hidup, maka dalam
kurikulum berbasis kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang mengadakan pembelajaran khusus mengenai sistem
endokrin pada blok ke-9. Blok ini bertujuan agar mahasiswa memiliki pemahaman
terhadap penyakit endokrin atau disfungsi hormon sehingga dapat melakukan
tatalaksana yang baik terhadap gangguan tersebut secara komprehensif. Salah satu
strategi pembelajaran di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang adalah adanya tugas pengenalan profesi (TPP). Tugas ini merupakan
salah satu kegiatan pembelajaran dalam blok yang mengharuskan mahasiswa secara
kelompok untuk turun langsung ke lapangan. Tugas pengenalan profesi yang
dilakukan pada blok IX kali ini adalah observasi kasus struma di puskesmas, yang
merupakan salah satu gangguan terkait endokrin.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 1
1.2 Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan masalah dalam tugas pengenalan profesi kali ini:
1. Apa penyebab dari penyakit struma?
2. Bagaimana gejala dan tanda klinis dari penyakit struma?
3. Bagaimana klasifikasi penyakit struma?
4. Apa pemeriksaan penunjang penyakit struma?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit struma?
6. Bagaimana komplikasi penyakit struma?
7. Bagaimana pencegahan dini yang dapat dilakukan terhadap penyakit struma?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu:
1. Mengetahui kasus struma di puskesmas
2. Memenuhi kewajiban tugas pengenalan profesi demi mencapai
kelulusan blok IX.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu:
1. Mengetahui penyebab dari penyakit struma
2. Mengetahui gejala dan tanda klinis dari penyakit struma
3. Mengetahui klasifikasi penyakit struma
4. Mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang penyakit struma
5. Mengetahui penatalaksanaan penyakit struma
6. Mengetahui komplikasi penyakit struma
7. Mengetahui pencegahan dini yang dapat dilakukan terhadap penyakit
struma?
1.4 Manfaat
Berikut ini adalah manfaat dari tugas pengenalan profesi kali ini:
1. Dapat melihat karakteristik penderita struma
2. Dapat menekan angka kejadian struma di masyarakat
3. Menambah pengalaman dalam observasi lapangan terhadap pasien struma
secara langsung.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Struma
Menurut Dorland (2012), struma atau goiter merupakan pembesaran
kelenjar tiroid yang menyebabkan pembengkakan di bagian depan leher.
Struma adalah setiap pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh
penambahan jaringan kelenjar tiroid yang menghasilkan hormon tiroid dalam
jumlah banyak (Brunicardi JH, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Matthews JB. 2010)
2.2 Epidemiologi Struma
Menurut WHO, Indonesia merupakan Negara yang dikategorikan endemis
kejadian struma (goiter). Penyakit ini dominan terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Umumnya 95% kasus struma bersifat jinak (benigna) dan
sisanya 5 % kasus kemungkinan bersifat ganas (maligna).
2.3 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Menurut Snell (2006), glandula thyroidea terdiri atas lobus kanan dan kiri
yang dihubungkan oleh isthmus yang sempit. Kelenjar ini merupakan organ
vaskular yang dibungkus oleh selubung yang berasal dari lamina pretrachealis
fasciae profundae. Selubung ini melekatkan glandula pada laring dan trakea.
Setiap lobus berbentuk seperti buah alpukat, dengan apexnya menghadap
ke atas sampai linea oblique cartilage thyroideae, basisnya terletak di bawah
setinggi cincin trakea keempat atau kelima (Snell, 2006).
Menurut Snell (2006), isthmus meluas melintasi garis tengah di depan
cincin trakea 2, 3 dan 4. Sering terdapat lobus pyramidalis, yang menonjol ke atas
dari isthmus, biasanya ke sebelah kiri garis tengah. Sebuah pita fibrosa atau
muskular sering menghubungkan lobus piramidalis dengan os. Hyoideum. Bila
pita ini muskular maka disebut m. levator glandulae thyroideae.
Glandula thyroidea diperdarahi oleh arteri thyroidea superior, arteri
thyroidea inferior dan kadang-kadang arteri thyroidea ima. Arteri-arteri ini
beranastomosis dengan luas di permukaan glandula. Sedangkan vena-vena
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 3
glandula thyroidea terdiri dari vena thyroidea superior, vena thyroidea media dan
vena thyroidea inferior (Snell, 2006).
Menurut Gould (2012), glandula thyroide terletak di aspek anterior leher,
menghasilkan hormon tiroid (T3 dan T4) dan kalsitonin.
Menurut Sutjahjo (2010), kelenjar tiroid terdiri dari folikel sferik (diameter
50-500 µmeter), sel yang mensintesiskan hormon tiroid yang terdiri dari tiroksin
(T4, prohormon) dan triiodotironin (T3, hormon aktif). Kelenjar tiroid juga
mengandung clear cell atau sel parafolikular atau sel C yang mensintesis
kalsitonin. T3 mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi dan metabolisme. T3
selain disekresikan oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil deiodinasi dari T4 di
jaringan perifer. T3 dan T4 yang disimpan terikat pada 3 protein yang berbeda,
yaitu glikoprotein tiroglobulin di koloid dari folikel, prealbumin pengikat tiroksin
dan albumin serum. Hanya sedikit T3 dan T4 yang tidak terikat terdapat dalam
sirkulasi darah.
Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (Thyroid
Stimulating Hormone) dari adenohipofisis. Sintesis dan pelepasannya dirangsang
oleh TRH (Thyrotropin Releasing Hormone) dari hipotalamus. TSH disekresi
dalam sirkulasi dan terikat pada reseptornya di kelenjar tiroid. TSH mengontrol
produksi dan pelepasan T3 dan T4. Efek TRH dimodifikasi oleh T3, peningkatan
konsentrasi hormon tiroid, misalnya mengurangi respons adenohipofisis terhadap
TRH (mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun dan sebagai
akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif). Sekresi TRH juga
dimodifikasi tidak hanya oleh T3 tetapi juga melalui pengaruh persarafan
(Sutjahjo, 2010).
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 4
2.4 Etiologi Struma
Menurut Candrasoma (2006), Struma toksik biasanya disebabkan oleh
hipertiroidisme atau hipotiroidisme dan eutiroidisme, sedangkan struma non
toksik biasanya disebabkan oleh defisiensi yodium dalam makanan atau minuman
yang kronis.
Hipertirodisme dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau graves yang dapat
didefinisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik
hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya
jenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya
produksi kelenjar tiroid yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi
besar (Djokomoeljanto. 2007)
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar
untuk mempertahankan kadar yang cukup dari hormon. Hipotiroid didefinisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolisme hormon
tiroid yang berlebihan (Djokomoeljanto, 2007)
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertropi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada dibawah normal sedangkan
kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma
semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher
jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea
(Djokomoeljanto, 2007)
2.5 Klasifikasi Struma dan Manifestasi Klinisnya
Menurut Mansjoer (2005), berdasarkan pola pembesaran dapat dibedakan
menjadi struma nodusa dan struma diffusa dan secara klinis struma dapat
dibedakan menjadi struma toksik dan struma non toksik, berikut ini adalah uraian
tentang keduanya:
2.5.1 Struma Nodusa Non Toksik (SNNT)
Struma nodusa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid berbentuk
nodul yang tidak disertai oleh adanya gejala hipertiroidism. Penyebab paling
banyak pada struma ini adalah kekurangan yodium. Dapat juga disebabkan oleh
kelebihan yodium namun sangat jarang terjadi dan umumnya telah ada penyakit
tiroid autoimun sebelumnya.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 5
Manifestasi klinis dari penderita struma nodusa non toksik ini sebagian
kecil mengeluh adanya penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakhea (sesak
nafas). Biasanya tidak disertai nyeri kecuali bila menyebabkan terjadinya suara
parau. Kebanyakan penderita struma nodusa ini tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipertiroidism atau hipotiroidism.
Pada pemeriksaan fisik kelenjar tiroid dilakukan dengan palpasi. Pada
pemeriksaan ini yang perlu dinilai jumlah nodul, konsistensi, mobilitas,
batasnya, apakah ada nyeri tekan atau tidak dan bagaimana keadaan kelenjar
getah bening disekitarnya. Perhatikan juga keadaan kulit diatas nodul, adakah
hiperemi, gambaran seperti kulit jeruk atau ulserasi.
2.5.2 Struma Diffusa Non Toksik (SDNT)
Struma difussa non toksik adalah struma yang disebabkan oleh defisiensi
yodium, tiroiditis autoimun (hashimoto atau post-partum), kelebihan yodium,
stimulator reseptor TSH, inborn error metabolism, terpapar radiasi, penyakit
deposisi, resistensi hormon tiroid, tiroiditis sub-akut (de Quarvain thyroidism
dan agen-agen infeksi lain.
Secara umum, struma ini memberikan gambaran gejala klinis yang tidak
jauh berbeda dengan struma nodusa non toksik. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid secara keseluruhan (diffuse)
dengan batas yang tidak jelas, konsistensi kenyal lebih mirip ke arah lembek.
2.5.3 Struma Nodusa Toksik (SNT)
Pada struma toksik, ditemukan adanya gejala dan tanda hipertiroidism
diantaranya tekanan darah dan nadi meningkat, eksoptalmus, hipertoni simpatis
(kulit basah dan dingin disertai tremor halus) dan takikardi.
Struma ini dikenal sebagai Plummer’s desease. Penyebab struma nodusa
toksik ini diantaranya adalah defisiensi yodium yang mengakibatkan penurunan
level T4, aktivasi reseptor TSH, mutasi somatik reseptor TSH dan protein G
serta adanya mediator-mediator pertumbuhan termasuk endotelin-1 (ET-1),
insulin like growth factor-1, epidermal growth factor dan fibroblast growth
factor.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 6
2.5.4 Struma Diffusa Toksik (SDT)
Penyebab yang paling umum dari struma diffusa toksik yaitu Grave’s
desease. Penyakit grave terjadi karena antibodi reseptor TSH yang merangsang
aktivitas tiroid itu sendiri.
Gejala yang timbul dari struma diffusa toksik adalah gejala-gejala
hipetiroidism. Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah
diidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar
dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar
tiroid hiperaktif.
2.6 Patogenesis Struma
2.6.1 Struma Toksik
Menurut Djokomoeljanto (2007), pada kebanyakan penderita
hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari ukuran
normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel
ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali
dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Selain itu, setiap sel meningkatkan
kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar
daripada normal.
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada
sesuatu yang “menyerupai” TSH, biasanya bahan-bahan ini adalah antibodi
immunoglobulin yang disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang
berikatan dengan reseptor membran yang sama dengan reseptor yang mengikat
TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP dalam sel, dengan
hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien hipertiroidisme
kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini
mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama
12 jam, berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya
sekresi hormon tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan
pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis anterior.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon
hingga di luar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel
sekretori kelenjar tiroid membesar atau terjadi struma toksik.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 7
2.6.2 Struma Non-Toksik
Menurut Rumahorbo (1999), bahan dasar pembentukan hormon tiroid
adalah iodium yang diperoleh dari makanan dan minuman. Ion iodium (iodida)
darah masuk ke dalam kelenjar tiroid secara transport aktif dengan bantuan ATP
sebagai sumber energi. Selanjutnya sel-sel folikel kelenjar tiroid akan
mensintesis tiroglobulin (sejenis glikoprotein) dan selanjutnya mengalami
iodinisasi sehingga akan terbentuk diiodotironin (DIT) dan monoiodotironin
(MIT). Proses ini memerlukan enzim peroksida sebagai katalisator. Proses akhir
adalah berupa reaksi penggabungan dua molekul DIT akan membentuk
tetraiodotironin atau tiroksin (T4) dan molekul DIT bergabung dengan MIT
menjadi triiodotironin (T3) untuk selanjutnya masuk ke dalam plasma dan
berikatan dengan protein binding iodine. Reaksi penggabungan ini dirangsang
oleh TSH. Defisiensi iodium dapat menyebabkan sekresi hormon tiroid yang
tidak adekuat, akan tetapi proses sintesis tiroglobulin oleh sel-sel folikel kelenjar
tiroid tetap berlangsung, akibatnya terjadi akumulasi dari tiroglobulin yang
dapat menyebabkan pembesaran pada kelenjar tiroid (struma non-toksik).
2.7 Pemeriksaan Penunjang Struma
Menurut Greenstein dan Diana (2010), pemeriksaan penunjang untuk kasus
struma adalah sebagai berikut:
a. Pengukuran Hormon Tiroid
Hanya sekitar 1% hormon tiroid berada dalam keadaan ‘bebas’ dan
aktif secara metabolik karena baik T4 maupun T3 terikat kuat dengan protein
transport dalam plasma. Assay T3 atau T4 ‘total’ terutama mengukur hormon
yang terikat protein. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai keadaan yang
mempengaruhi konsentrasi protein. Oleh karena itu, lonjakan tunggi T4 total
akan terjadi pada kehamilan dan pada wanita yang mengkonsumsi pil
kontrasepsi oral karena estrogen mengikat sintesis globulin pengikat tiroksin
(Thyroxine Binding Globulin, TBG). Hasil pengukuran yang sangat rendah
dapat terjadi pada individu dengan defisiensi TBG kongenital atau gangguan
hati berat.
Assay hormon tiroid ‘bebas’ saat ini tersedia luas dan secara umum
tidak terpengaruh oleh perubahan konsentrasi protein pengikat dalam plasma
(pemeriksaan FT4).
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 8
b. Pengukuran Hormon Penstimulasi Tiroid (TSH)
Pengukuran TSH merupakan tes fungsi tiroid yang paling banyak
digunakan. Pengukuran ini relatif tidak terganggu oleh interferensi assay dan
dapat dipercaya dalam memprediksi fungsi tiroid sesuai dengan prinsip
umpan balik negatif. Oleh karena itu, pada hipertiroidisme primer,
konsentrasi TSH tidak dapat dideteksi. Pada hipotiroidisme primer,
konsentrasi TSH meningkat dan pada hipotiroidisme sekunder, rendahnya
kadar T4 bebas disertai dengan rendahnya konsentrasi TSH.
Pemeriksaan biokimiawi lain untuk fungsi tiroid seperti pemeriksaan
TRH jarang digunakan karena assay TSH yang sangat sensitif.
c. Pencitraan Tiroid
Pemeriksaan biokimiawi untuk fungsi tiroid dapat disertai dengan teknik
pencitraan untuk memeriksa struktur dan fungsi tiroid.
1. Ultrasonografi tiroid akan memperlihatkan adanya nodul dan kista
tunggal atau multiple. Aspirasi jarum untuk sitologi atau drainase kista
dan biopsi tiroid dapat dilakukan dengan panduan ultrasonografi.
2. Skintigrafi tiroid atau pencitraan radionuklida berguna dalam
mendiagnosis tiroiditis, ketika ambilan isotop sangat berkurang dan
kebalikan dengan peningkatan yang merata pada tiroksikosis. Nodul
soliter yang terlihat secara klinis dapat diperlihatkan sebagai nodul dingin
pada pencitraan dan membutuhkan pemeriksaan lanjutan untuk
menyingkirkan kemungkinan keganasan.
Menurut Tridjaja, Jose dan Aman (2010), gambaran laboratorium khas
pada struma endemik (struma non-toksik) adalah peningkatan uptake radioiodine
pada kelenjar tiroid (RAIU), kadar T4 total dan T4 bebas normal atau rendah,
kadar T3 normal atau meningkat, kadar TSH normal atau meningkat dan
berkurangnya ekskresi iodium urin. Skintigrafi tiroid dengan radioiodida atau
TcO4 menunjukkan gambaran isotop bercak-bercak.
2.8 Penatalaksaan Struma
Menurut Candrasoma dan Taylor (2006), penatalaksanaan atau pengobatan
disesuaikan dengan masing-masing struma.
Penanganan pilihan pada kasus struma nodusa non toksik dan struma
diffusa non toksik adalah pembedahan. Indikasi operasi pada struma nodusa non
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 9
toksik adalah : keganasan, penekanan dan kosmetik. Tindakan operasi tergantung
jumlah lobus tiroid yang terkena, bisa berupa lobektomi (mengangkat satu lobus
tiroid), isthmolobektomi (pengangkatan lobus dan isthmus tiroid), dan
tiroidektomi subtotal. Beberapa penyulit operasi tiroid diantaranya adalah
perdarahan, cedera nervus recurren laringeus (suara menjadi parau), cedera
trakhea atau esofagus.
Penanganan pada struma nodusa toksik adalah terapi antitiroid atau beta
blocker dapat mengurangi gejala. Pemberian radioterapi tidak efektif seperti pada
grave karena uptake yang rendah sehingga dibutuhkan dosis radioterapi yang
tinggi. Untuk nodul tunggal, nodulektomi atau lobektomi tiroid adalah pilihan
terapi karena kanker jarang terjadi.
Penanganan pada struma difussa toksik yaitu dengan pemberian obat
antitiroid meliputi propiltiourasil, karbimazol, metimazol untuk membatasi
produksi hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidism) atau merusak jaringan
tiroid (yodium radioaktif, operasi tiroidektomi). Indikasi operasi tiroid pada
Grave’s desease adalah:
1. Pasien muda dengan struma yang besar serta tidak berespon terhadap
obat antitiroid
2. Wanita hamil (trimester II) yang memerlukan obat antitiroid dosis besar
3. Alergi terhadap obat antitiroid atau pasien tidak bisa menerima yodium
radioaktif
4. Adenoma toksik atau struma multinodula toksik
5. Penyakit grave’s yang berhubungan dengan satu atau lebih modul
6. Perlu mencampai hasil definitif cepat
2.9 Komplikasi Struma
Menurut Rumahorbo (1999), dampak struma terhadap tubuh terletak pada
pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di
sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan
esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea,
esophagus dan juga pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia
yang akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan
dan elektrolit. Penekanan pada pita suara akan menyebabkan suara menjadi serak
atau parau.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 10
Bila pembesaran ke arah luar, maka akan memberi bentuk leher yang besar
dapat semetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia. Hal ini
lebih berdampak pada estetika atau kecantikan. Perubahan bentuk leher dapat
mempengaruhi rasa aman dan konsep diri pasien (Rumahorbo, 1999).
2.10 Prognosis Struma
Menurut Abraham-Nordling M, Torring O, Lantz M, et al (2008),
kebanyakan pasien yang diobati memiliki prognosis yang baik. Prognosis yang
jelek berhubungan dengan hipertiroidism yang tidak terobati. Pasien harusnya
mengetahui jika hipertiroid tidak diobati maka akan menimbulkan osteoporosis,
arrhythmia, gagal jantung, koma, dan kematian.
2.11 Pencegahan Struma
Menurut Ari (2010) beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam merubah pola perilaku
makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beryodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
c. Iodisasi air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena
dapat menjangkau daerah luas maupun terpencil. Iodisasi dilakukan
dengan memberikan yodida pada saluran air dalam pipa yang mengalir.
d. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk daerah
endemik berat dan endemik sedang.
e. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3
tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak diatas 6 tahun 1 cc
dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 11
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Tugas pengenalan profesi (TPP) dilaksanakan pada hari …………, tanggal
………… pukul ………… WIB sampai dengan selesai di Puskesmas
3.2 Instrumen Kegiatan
Instrumen kegiatan merupakan peralatan untuk mendapatkan data sesuai
dengan tujuan kegiatan. Dalam kegiatan ini peralatan yang digunakan untuk
pengambilan data beserta pendukungnya adalah:
1. Kuesioner
Kuesioner adalah sebuah alat pengumpulan data yang nantinya data tersebut
akan diolah untuk menghasilkan informasi tertentu. Dalam hal ini, observer
menggunakan kuesioner terbuka. Kuesioner ini dapat dilihat pada lampiran.
2. Alat Tulis
Alat tulis digunakan untuk mencatat hasil observasi kasus struma di Puskesmas
3. Kamera
Kamera digunakan untuk dokumentasi, yakni sebagai bukti bahwa mahasiswa
telah melaksanakan tugas pengenalan profesi, khususnya obsevasi terhadap
kasus struma di Puskesmas. Bukti tersebut nantinya akan dilampirkan pada
laporan akhir.
4. Komputer / Laptop
Komputer / Laptop digunakan sebagai sarana pembuatan proposal dan laporan
akhir kegiatan.
3.3 Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap persiapan
a. Membuat proposal.
b. Melakukan konsultasi kepada pembimbing tugas pengenalan profesi.
c. Mendapatkan izin atau ACC dari pembimbing tugas pengenalan profesi.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 12
2. Tahap pelaksanaan
Mahasiswa:
a. Melakukan observasi terhadap kasus struma yang berpedoman pada
kuesioner.
b. Mencatat hasil observasi.
3. Tahap Penyelesaian
a. Mengumpulkan semua data, mengolah, menganalisis dan menyimpulkan.
b. Menyusun laporan hasil pengamatan dan pemeriksaan.
c. Mendapatkan ACC laporan hasil pengamatan dan pemeriksaan dari
pembimbing tugas pengenalan profesi.
3.4 Jadwal Kegiatan
Pada tabel 1 dapat dilihat jadwal pelaksanaan tugas pengenalan profesi Blok
IX (Endokrin). Tugas pengenalan profesi ini terbagi menjadi lima jenis kegiatan
yaitu penyusunan proposal pada minggu pertama dan kedua, observasi kasus,
pembahasan dan penyusunan laporan pada minggu ketiga serta pleno dilakukan
pada minggu keempat.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan TPP
No Jenis KegiatanNovember 2012
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
1. Penyusunan proposal
2. Observasi
3. Pembahasan
4. Penyusunan Laporan
5. Pleno
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 13
DAFTAR PUSTAKA
Abraham-Nordling M, Torring O, Lantz M, et al. Incident of Hypertiroidism in Stockholm, Sweden, 2003-2005. Eur J Endrocinol. Jum 2008; 158 (6) :823-7
Ari, W, Sudoyo, dll. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Brunicardi JH, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB. “Thyroid, Parathyroid, and Adrenal” in Schwartz Principles of Surgery. 9th ed. The McGrawHill Companies, Chapter 38; 2010
Candrasoma, Parakrama dan Clive R. Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta : EGC.
Djokomoeljanto. 2007. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Jakarta: EGC
Dorland, W.A. Newman. 2012. Kamus Saku Kedokteran Dorland edisi 28. Jakarta: EGC.
Gould, Douglas J. 2012. Buku Saku Anatomi Klinis. Jakarta : EGC.
Greenstein, Ben dan Diana Wood. 2010. At a Glance Sistem Endokrin edisi kedua. Jakarta : Erlangga.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Standar Kompetensi Dokter. Jakarta : Konsil
Kedokteran Indonesia.
Mansjoer, Arif dkk. 2005. Kapita Selekta Edisi 3 Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2012. Patofisiologi volume 2. Jakarta : EGC.
Rumahorbo.1999. Klien dengan Gangguan Endokrin. Jakarta : EGC.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik edisi 6. Jakarta : EGC.
Sutjahjo, Ari. 2010. Endokrin –Metabolik Kapita Selekta Tiroidologi. Surabaya : Airlangga University Press.
Tridjaja, Bambang, Jose RL Batubara dan Aman B. Pulungan. 2010. Buku Ajar Endokrinologi Anak edisi I. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 14
LAMPIRAN
KUISIONER TERBUKA KASUS STRUMA
Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
NO PERTANYAAN JAWABAN
1. Apakah Bapak/Ibu tahu tentang penyakit gondok (struma)?
2. Sudah berapa lama Bapak/Ibu menderita kelainan ini?
3. Bagaimana keluhan yang dirasakan pada awal munculnya kelainan?
4. Apakah benjolan mengalami pembesaran?
5. Sebesar apa benjolan itu pada awalnya?
6. Berapa lama waktu yang diperlukan ketika benjolan itu menjadi besar? (dari kecil – besar = kronologis)
7. Bagaimana keluhan yang dialami setelah timbul pembesaran pada daerah leher?
8. Bapak/Ibu tinggal di daerah mana?Pegunungan, dataran atau perairan?
9. Bagaimana dengan konsumsi makanan?Apakah Bapak/Ibu gemar mengkonsumsi ikan laut atau sayur-sayuran hijau?
10. Adakah keluhan lain yang dirasakan? (diare, jantung berdebar-debar, lemas)?
11. Bagaimana dengan riwayat penyakit terdahulu? (DM, hipertensi, penyakit jantung)?
12. Bagaimana dengan riwayat keluarga?Ada tau tidak keluarga Bapak/Ibu yang mengalami keluhan yang sama?
13. Menurut dokter yang menangani, tindakan apa yang akan dilakukan untuk mengobati penyakit ini? (obat saja / pembedahan).
14 Pemeriksaan apa saja yang telah Bapak/Ibu lakukan?
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK IX 15