29
BAB II
RITUAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
Bagian ini merupakan elaborasi dari pemikiran
berkaitan dengan ritual dalam perspektif sosiologi. Tiga tokoh
pemikir sosiologi klasik dirunut pemikirannya berkenaan
dengan kajian ritual yang dipraktekan dan berkembang di
dalam masyarakat. Abstraksi dari tiga tokoh besar sosiologi
tersebut telah mewakili pemikiran dunia sosiologi tentang
hadirnya agama, sebagai landasan terjadinya ritual di dalam
masyarakat. Dari ketiga tokoh tersebut, Emile Durkheim yang
akan didiskusikan secara mendalam terkait dengan ritual
sebagai sui generis masyarakat, asal mula dan perkembangan
di dalamnya.
Secara definitif, kamus besar bahasa Indonesia
mengenal ritual berkenaan dengan ritus; hal ihwal ritus.1
Koentjoroningrat, tokoh antropologi sosial Indonesia memberi
definisi bahwa ritual merupakan tata cara dalam upacara atau
suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok
umat beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai macam
unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat
dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta
orang-orang yang menjalankan upacara.2 Pada dasarnya ritual
adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan
menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan
tertentu, di tempat tertentu dan memakai pakaian tertentu
pula.3 Ritual dipraksiskan di dalam masyarakat didasarkan
kepada kepercayaan dan agama yang dianutnya. Dalam agama
1 Diakses di http://kbbi.web.id/ritual pada hari Senin, 9 November 2016, 21.23
WIB. 2 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, ( Jakarta: Dian Rakyat,
1985), 56 3 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001), 41
30 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
dan kepercayaan berkembang serangkaian ritual yang “harus”
dan “wajib” untuk dilakukan oleh para penganutnya.
Untuk menelisik lebih jauh tentang ritual, diperlukan
pembahasan tentang agama, dimana ritual berkelindan di
dalamnya.
A. Agama sebagai Candu Masyarakat
Agama sebagai candu diperkenalkan oleh Karl Marx
dalam konsepnya memahami agama. Secara eksplisit, karya-
karya Marx tidak ditemukan bahasan secara khusus dan
sistematis tentang agama, tetapi secara implisit Marx tentang
agama termuat di dalam pandangannya tentang alienasi di
dalam masyarakat. Dalam pandangan Young Marx, agama
adalah sebagai hasil dari keterasingan. Marx tidak
mengabaikan hubungan dialektis antara pikiran dan
masyarakat. Wawasan signifikan Marx adalah bahwa
kesadaran masyarakat menghasilkan keberadaan manusia,
keberadaan manusia ada dalam proses hidup. Kesadaran
adalah produk awal dalam kehidupan sosial, Baum
menegaskan bahwa Marx dalam analisanya dengan eksklusif
menekankan struktur ekonomi dan politik, Marx mengabaikan
faktor-faktor budaya.4
Marx dipengaruhi oleh filsafat Feuerbach, khususnya
pandangannya tentang agama: Menurut Feuerbach, Tuhan
adalah esensi kehidupan manusia yang mereka proyeksikan
menjadi sebuah kekuatan impersonal. Manusia menempatkan
Tuhan di atas dan di sekeliling mereka sendiri yang
menyebabkan mereka menjadi terasing dari Tuhan dan
membangun seperangkat ciri positif bagi Tuhan (bahwa Dia
mahasempurna, mahakuasa, dan mahasuci). Sementara
mereka merendahkan diri, mereka sendiri lantas menjadi
4 Lihat uraian lengkap di dalam Gregory Baum. Religion and Alienation: A
Theological Reading of Sociology (New York: Paulist Press, 1975), 33-48
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 31
manusia tidak sempurna, tanpa kuasa, dan tanpa dosa.
Menurut Feuerbach, masalah keyakinan agama seperti itu
harus diatasi dan kelemahannya itu harus dibantu dengan
filsafat materialis yang menempatkan manusia (bukan agama)
menjadi objek tertinggi diri mereka sendiri, menjadi tujuan di
dalam diri mereka sendiri. Filsuf materialistis mendewakan
manusia nyata, bukan gagasan abstrak seperti agama.5
Sejauh pemahaman tentang agama adalah hasil dari
proyeksi manusia, Marx menyetujui hal ini, tetapi Marx
memberikan kritikannya terhadap pandangan Feuerbach, Marx
mengatakan bahwa dalam pandangan Feurbach tidak terdapat
atau tidak mengandung pemahaman sosiologis. Bagi Marx,
ateisme dapat diterima jika disertai dengan analisa sosial dan
kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam masyarakat, sehingga
manusia menciptakan ilusi keagamaan. Ateisme dapat diterima
jika tujuannya adalah mengarah secara radikal kepada
transformasi tatanan sosial, karena bagi Marx agama adalah
produk dari keterasingan sosial dan bagi Marx, fakta yang ada
dalam masyarakat bahwa ada terdapat kesenjangan antara
lembaga-lembaga sosial, sehingga menimbulkan beban bagi
orang-orang, kemanusiaan yang terabaikan, mendistorsi
pemahaman diri mereka sebagai manusia, tetapi melalui
keadaaan ini dapat saja menciptakan kesadaran palsu
didalamnya. Orang-orang akan menerima keadaan ini sebagai
sebuah realita dan ini merupakan pemalsuan persepsi.
Pertama-tama pemalsuan yang dilakukan oleh agama. Agama
membujuk orang-orang untuk menerima keadaan dan
penderitaan, memberikan harapan-harapan sorgawi untuk
menguatkan orang-orang, supaya mereka sabar dalam
penderitaannya. Jadi bagi Marx, melalui penderitaan-
penderitaan manusia, dari keterasingannya maka mereka akan
5 Lihat uraian lengkap dalam, Karl Marx, The Economic and Philosophic
Manuscripts, dalam Robert C. Tucker (ed), The Marx Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 71-74
32 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
lari kepada agama, sehingga inilah yang dia sebut agama
adalah produk dari keterasingan manusia.6
Analisis keterasingan di dalam produksi kapitalis,
bertolak dari suatu fakta ekonomi kontemporer. Fakta bahwa
semakin maju kapitalisme, maka akan semakin miskin pula si
buruh. Buruh dipisahkan dengan hasil kerjanya, karena untuk
mendapatkan hasil produksi yang melimpah adalah ditunjang
oleh pemilik tanah dan pemilik modal. Jadi yang menjadi
masalah pokok bagi Marx adalah bahwa di dalam kapitalisme
objek-objek material yang diproduksi disejajarkan dengan
buruh itu sendiri, buruh bahkan menjadi komoditi yang lebih
murah, dengan semakin banyaknya barang yang ia hasilkan.
Buruh (subyek, pencipta) telah membaur dengan produksinya
(objek).7 Jadi dalam proses produksi, buruh menjadi budak
dari objek, sehingga mengakibatkan keterasingan terhadap
objek-objek yang diproduksinya. Seperti halnya keterasingan
di dalam agama, sifat-sifat yang dihubungkan dengan Tuhan
dalam etika Kristen yang dari awalnya dikendalikan oleh
manusia, dialihkan menjadi seolah-olah adalah oleh kekuatan
eksternal.
Bagi Marx, agama juga ikut berperan dalam
melegitimasi sistem/struktural yang ada dalam masyarakat,
sistem yang melegalkan dominasi terhadap pekerja yang
terasing, agama tidak lagi melakukan fungsinya untuk
memberikan kritikannya terhadap ketidakadilan yang ada di
dalam masyarakat, dan melakukan pembebasan bagi
penderitaan manusia. Tetapi agama malah menawarkan janji-
janji kebahagiaan di masa depan, tanpa melakukan tindakan
pembebasan bagi ketertindasan manusia.8 Agama mengajarkan
6 Lihat uraian lengkap di dalam Gregory Baum. Religion and Alienation: A
Theological Reading of Sociology, (New York: Paulist Press, 1975), 40. 7 Ibid, 40 - 44 8 Lihat uraian lengkap dalam, Karl Marx, The Economic and Philosophic
Manuscripts, dalam Robert C. Tucker (ed), The Marx Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 146 - 154
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 33
orang untuk menerima keadaan apa adanya termasuk betapa
kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara
tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap
pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa
yang ia terima walaupun ia tengah mengalami penderitaan
secara material. Agama mengajak orang untuk berani
menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri
dipandang sebagai keutamaan.
Marx juga mengatakan agama menjadi semacam
ekspresi atas protes terhadap penindasan dan penderitaan riil.
Marx menulis: “penderitaan agama adalah pada saat yang sama
merupakan ekspresi atas penderitaan yang riil dan suatu
protes terhadap penderitaan yang riil. Agama adalah keluh
kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak
memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu
keadaan yang tidak memiliki jiwa. Selain itu, dengan
pandangan bahwa agama mampu memberi penghiburan dan
membuat orang berpasrah, maka agama justru dapat
dimanfaatkan oleh kelas atas. Kelas atas justru dapat semakin
mengeksploitasi kelas bawah dengan melihat bahwa agama
membuat kelas bawah untuk tetap puas dengan
penghasilannya. Terlebih lagi, agama menawarkan suatu
kompensasi atas penderitaan hidup sekarang ini pada suatu
kehidupan yang akan datang, sehingga malah justru
membiarkan ketidakadilan berlangsung terus menerus. Agama
memberi gambaran yang keliru tentang realitas.9
Agama adalah “candu rakyat”. Opium adalah ekspresi
nyata dari penderitaan, yang merupakan penghibur yang
dicari, karena frustasi yang diakibatkan oleh tatanan sosial.
Tetapi opium bukan protes terhadap penderitaan, opium
adalah keluhan mahluk yang tertindas dalam dunia yang tidak
adil dan eksploitatif. Baum menegaskan supaya melalui
9 Ibid, 54 – 55
34 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
kritikan Marx ini kaum agamawan kembali kepada fungsi kritik
sosial, peran kenabian dan kritik terhadap agama.10 Teori yang
dikemukakan oleh Marx ini menjadi pisau analisis yang dapat
dipakai untuk membedah legitimasi agama yang dihembuskan
oleh kaum penguasa, untuk kepentingan kelompoknya.
B. Agama Sebagai Tindakan Sosial
Dalam pandangan Max Weber, tindakan-tindakan
keagamaan merupakan sebuah tindakan sosial di dalam
masyarakat. Dalam pemahamannya, tindakan sosial
berorientasi kepada nilai tertentu, termasuk nilai keagamaan.
Weber menginterpretasikan tindakan keagamaan dengan
memahami motif-motif sang aktor dari sudut pandang
subyektif.11 Weber tidak secara spesifik membicarakan tentang
esensi agama. Namun, ia lebih menelaah kepada kondisi dan
dampak dari agama yang berhubungan erat dengan
aksi/tindakan sosialnya. Diskursus ini didapat dari
pemahaman penganut agama yang tercermin di dalam perilaku
keagamaannya, pengalaman, ide dan tujuan dari individu
tersebut. Penganut agama pada masa awal percaya kepada
kharisma pada pemimpinnya. Pemimpin yang mempunyai
kharisma dianggap sebagai orang yang mempunyai anugrah
dari Tuhan. Fenomena religius ini yang masih menjadi agama
rakyat.12
Sebuah proses abstraksi tentang pemahaman agama
primitif menyebutkan, bahwa ada banyak benda yang
mempunyai kharisma atau kekuatan baik berupa binatang,
artefak maupun orang. Benda-benda tersebut merupakan
10 Lihat uraian lengkap di dalam Gregory Baum. Religion and Alienation: A
Theological Reading of Sociology (New York: Paulist Press, 1975), 52 11 Lebih lanjut dapat dilihat di dalam Furseth, an Introduction to the Sociology of
Religion (Burlington USA: Ashgate Publishing Limited, 2006), 36 12 Max Weber, Economy And Society. Volume I. (1910-14). An Outline of
Interpretive Sociology. Guenther Roth and Claus Wittich, (ed.). (California: The Regents of University of California, 1978), 399
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 35
sebuah penghantar visible sebagai sebuah entitas tentang
Tuhan. Selanjutnya, Roh dan Setan mulai di-visible-kan oleh
manusia sebagai pengejawantahannya. Kharisma dari Tuhan
yang diturunkan kepada manusia nampak pada para magician
yang mempunyai kekuatan khusus yang berbeda dari manusia
lainnya. Magician (ahli magis) ini yang mempunyai
kekuatan/kharisma tetap untuk dapat memunculkan
kekuatan-kekuatan gaib.13 Berdasarkan kekuatan gaib inilah
tindakan sosial masyarakat mulai berubah. Bagi Weber,
tindakan sosial masyarakat merupakan hasil abstraksi dan
rasionalisasi terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya,
termasuk cara beragama.
Weber menyebutkan, tentang adanya perbedaan antara
tuntutan gaib dengan permohonan, berdoa dan berkorban.
Melalui doa (usaha rasionalis) disampaikanlah permohonan
supaya para dewa memberikan hal-hal ajaib atas doa dan
permohonan mereka, hal ini memiliki kesamaan dengan bisnis
murni, adanya harapan imbalan. Melaui pengorbanan
(mempersembahkan korban khususnya binatang) sebagai
media untuk memaksa para dewa supaya memberikan
permohonan/memberikan imbalan. Melalui ritus pengorbanan
ini menciptakan komunitas persaudaraan dengan makan
secara bersama-sama. Persaudaraan bukan saja diantara
orang-orang yang mempersembahkan korban tetapi juga
bersama dewa (tuhan).14
Bagi Weber, ada diferensiasi antara pendeta-pendeta
dan tukang-tukang sihir dalam menjalin hubungan-hubungan
manusia dengan kekuatan-kekuatan supranatural, yang
berbentuk doa, pengorbanan dan pemujaan. Cara pemujaan
yang dilakukan oleh agama dan ahli sihir yang melakukan
pemaksaan magis. Para pendeta diterapkan pada fungsi
13 Ibid, 401 14 Ibid, 211
36 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
sebagai profesional (seperti sebuah perusahaan), terorganisir
dan permanen. Para pendeta memiliki kualitas berdasarkan
pengetahuan khusus yang mereka miliki seperti doktrin,
kualifikasi kejuruan, kharisma yang mereka miliki, sedangkan
tukang-tukang sihir melakukan pekerjaannya berdasarkan
upaya pribadi. Tetapi baik para pendeta dan tukang-tukang
sihir sama-sama memperoleh pendapatan dari pekerjaan yang
mereka lakukan.15 Dalam hal inilah sebuah rasionalisasi
kharisma yang dikembangkan oleh Weber, bahwa cara
beragama erat kaitannya dengan tindakan sosialnya.
C. Agama Sebagai Kesadaran Kolektif
Durkheim berpendapat bahwa agama muncul karena
adanya suatu getaran atau suatu emosi yang ditimbulkan
dalam jiwa manusia (mental effervescent) sebagai akibat dari
pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga masyarakat.
Getaran yang ada di dalam diri masyarakat tersebut berupa
suatu kompleksitas perasaan yang mengandung rasa terikat,
bakti, cinta dan perasaan lainnya terhadap sesamanya
(masyarakat) di mana ia hidup. Getaran jiwa tersebut semakin
berkobar ketika ditangkap oleh sesamanya, dan membentuk
sebuah kesadaran kolektif bersama. Dorongan jiwa yang lebih
kuat ini mendorong obyektifikasi, dan biasa dikategorisasi
dengan yang “suci (sacred)” dan “duniawi (profan)”.16 Kekuatan
yang ada di dalam obyek suci menjadikan masyarakat dapat
merasa damai sejahtera. Simbol-simbol telah dibuat, lantas
dibentuklah sebuah “liturgi” untuk mengadakan ritual bagi
pemujaannya. Dalam bahasa Durkheim, totem dipakai sebagai
“simbolisasi” getaran jiwa dari sebuah masyarakat.
15 Lihat uraian selengkapnya di dalam Max Weber, Economy And Society. Volume
I. (1910-14). An Outline of Interpretive Sociology. Guenther Roth and Claus Wittich, (ed.). (California: The Regents of University of California, 1978), 424 - 427
16 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward Swain (trans). (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), 251
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 37
Durkheim menegaskan, bahwa totemisme bukanlah
agama yang menyembah binatang-binatang tertentu.
Totemisme adalah agama yang menyembah semacam kekuatan
anonim dan impersonal yang bisa dikenali tetapi tidak
identik.17 Di dalam alam semesta, penuh dengan kekuatan yang
dapat direpresentasikan dalam rupa yang dipinjam dalam
wujud binatang atau tumbuhan. Orang Australia modern
melakukan dan percaya pada totem, karena mereka berusaha
menjaga tradisi yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya.
Hal inilah yang mendasari asal-usul dari totemisme, karena
adanya kepercayaan bahwa para leluhur mereka, yang berasal
dari salah satu binatang atau tumbuhan dan menjadi totemnya.
Durkheim juga memberikan uraiannya tentang konsep jiwa
dan roh, dan digunakan untuk menjawab kritikan-kritikan dari
beberapa orang yang membuat definisi agama yang harus
mengandung muatan jiwa dan roh.18
Masyarakat disebut Durkheim sebagai sui generis.
Dalam sekumpulan masyarakat, terdapat keunikan/ciri khas
yang membedakan satu masyarakat dengan yang lainnya.
Keunikan tersebut yang kemudian mempengaruhi/mengikat
dalam sistem sosial, ekonomi, dan pandangan tentang agama.
Realitas keunikan masyarakat ini yang kemudian dapat
merepresentasikan simbol-simbol dan fenomena lainnya, yang
menjadi identitas kelompok tersebut.
Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat unsur-unsur
yang penting, yaitu unsur yang mengatur ikatan-ikatan di
17 Ibid, 280. 18 Pandangan orang Australia, jiwa memiliki wujud yang immaterial, namun jiwa
sesungguhnya memerlukan sesuatu yang fisikal. Sewaktu jiwa terlepas dari tubuh, jiwa akan menjalani kehidupan lain sama seperti kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Negeri jiwa adalah tempat berdiamnya leluhur pertama, sang pendiri marga berada, ketika para leluhur mati, jiwanya tetap berdiam ditempat itu dan dapat hadir dalam totem, sehingga tempat itu dianggap sakral (355-395). Konsep tentang roh, bahwa jiwa bukanlah roh. Roh terkait dengan obyek-obyek khusus seperti tempat-tenpat yang dipilihnya dan ditungguinya: batu, mata air, pohon, dsb. Roh bebas memiliki kehidupannya sendiri, sedangkan jiwa memiliki kebebasan saat sudah ada kematian (399-400).
38 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
antara anggota masyarakat. Di dalamnya terdapat aturan di
luar individu, yang mengatur sah tidaknya suatu hubungan
individu. Aturan ini oleh Durkheim disebut : Collective
consciousness atau kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif yang
berada di luar individu dapat merasuk ke dalam individu
dengan wujud : aturan moral, aturan agama, aturan-aturan
tentang yang baik dan yang buruk, luhur, mulia dan lain-lain.
Collective Consciousness akan tetap bertahan sekalipun
manusia meninggal. Ia mengandung daya memaksa, sehingga
ada hukuman bagi yang melanggarnya. Dengan perkataan lain,
Collective Consciousnesss tidak lain adalah consensus
masyarakat, yang mengatur hubungan sosial di dalam
masyarakat yang bersangkutan. Ia menampakkan bentuk
tertinggi dari kehidupan psikis manusia yang berada di luar
dan di atas individu.
Dengan kesadaran demikian, setiap individu menyadari
bahwa masyarakat adalah lebih tinggi dari pada individu dan
di sanalah terdapat "dewa" yang mereka sembah yang
diajarkan agama. Dengan demikian, seperti telah dikemukakan
bahwa fungsi agama adalah : membela, mempertahankan,
menciptakan sejenis suasana persatuan dan identitas
masyarakat, sedangkan tugasnya adalah untuk
menerjemahkan realitas kini, ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti.19 Di dalam diri manusia, kesadaran kolektif ini
akan mendorong manusia melakukan perbuatan yang dapat
diterima oleh anggota masyarakat (yang merupakan gagasan
kolektif dalam masyarakat itu dan menjadi kewajiban bagi
semua anggota masyarakat), sehingga orang itu akan diterima
oleh semua anggota masyarakat. Dengan demikian, ia akan
mempunyai otoritas moral dalam masyarakat, ia akan dihargai
oleh masyarakat. Maka ia akan merasa aman, merasa lebih kuat
19 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward
Swain (trans). (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), 346
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 39
(seperti seseorang mendapat kekuatan dari dewanya).
Masyarakat dapat memberi dukungan yang bersifat langgeng
bagi orang yang demikian.
Masyarakat menciptakan sesuatu yang menjadi sakral,
misalnya pengakuan terhadap seorang raja atau pemimpin,
karena masyarakat melihat raja/pemimpin itu mempunyai
kekuatan atau dengan sengaja diberi "sifat" kuasa oleh
masyarakat. Seperti halnya di Melanesia, seorang yang
berkuasa dikatakan mempunyai mana, maka menurut
Durkheim, sebenarnya pendapat umum (gagasan kolektif)
itulah yang berkuasa. Masyarakat itu menghabiskan ide-ide,
gagasan-gagasan atau cita-cita. Kalau ide atau gagasan itu
sudah dimiliki bersama oleh masyarakat, maka ide dan gagasan
itu menjadi sakral.20 Durkheim memberi contoh seperti hari
kemerdekaan suatu negara.
Durkheim menjelaskan bahwa upacara secara umum
bertujuan untuk menegaskan kembali komitmen pada klen.
Pada saat upacara dilaksanakan, ketika orang-orang
mengalami kegembiraan, maka di dalam kegembiraan
emosional yang meluap-luap, individu larut dalam (diri) klen
yang tunggal dan besar. Di tengah kumpulan yang bergolak itu,
individu mendapat sentimen dan kekuatan serta semangat.
Pada saat itulah mereka memasuki wilayah yang sakral
dengan hikmat, yang dibutuhkan mereka untuk melanjutkan
lagi tugas mereka (misalnya berburu dan menangkap ikan).
Pemujaan ini dapat dibedakan atas tiga macam yaitu:
a. Pemujaan Negatif : Bentuk pemujaan negatif adalah
larangan-larangan atau tabu. Di samping ada larangan dari
agama, ada juga larangan dari magis. Ada perbedaan
antara keduanya, hukuman atas pelanggaran tidak sama,
20 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward
Swain (trans). (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), 365
40 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
seperti halnya kehidupan sakral dan profan harus
terpisah.21
b. Pemujaan positif : Pemujaan positif hanya mungkin
dilakukan, jika ada seorang pria yang dilatih untuk
berkorban, melakukan penolakan dan tidak
mempedulikan diri sendiri, untuk menderita.22
c. Pemujaan/upacara piacular : Kata piacular berasal dari
kata piaculum, yang tidak hanya mengandung pengertian
menebus atau menghapuskan. Pemujaan piacular adalah
upacara kedukaan atau kesusahan. Upacara piacular
dilakukan dalam keadaan sedih, misalnya sesudah ada
bencana atau kematian. Upacara piacular dimaksudkan
untuk berdamai dengan kekuatan jahat, sehingga keadaan
menjadi aman kembali. Ritus piacular dapat juga
dilakukan dengan maksud : menyusun kembali,
menghidupkan kembali, menegaskan kembali, kekuatan
klen yang berkurang karena meninggalnya satu orang.
Dengan demikian maka tugas ritus piacular adalah
membantu klen melewati bagian-bagian yang gelap
(misalnya pada saat klen tertimpa kematian). Dalam hal
ini fungsinya adalah: memberi kesempatan kepada
individu untuk memperbaharui komitmen mereka
terhadap komunitas.23
Semua upacara dilaksanakan dalam satu klen dan satu
kerangka "sosial". Dengan upacara tersebut, yang jahat (jiwa
orang pada waktu mati) dapat berubah menjadi pelindung.
Dalam melaksanakan upacara, perasaan semua anggota klen
menjadi sama sifatnya, seolah-olah memiliki suatu ikatan.
21 Ibid, 434-446 22 Ibid, 456 23 Pemujaan tidak hanya dilakukan oleh individu tetapi oleh seluruh anggota
masyarakat, alasannya adalah bahwa individu tidak tepisahkan dengan masyarakat. Jika ada anggota masyarakat yang tidak melakukan pemujaan yang dilakukan secara bersama-sama dalam masyarakat maka orang tersebut akan memperoleh hukumannya. Jadi yang dipentingkan dalam masyarakat primitif Australia adalah kebersamaan individu dalam masyarakat.
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 41
Menurut Durkheim, ritus adalah aturan-aturan dalam tingkah
laku yang memberikan pedoman bagaimana seseorang harus
menempatkan diri dalam keadaan hadirnya hal-hal yang sakral
itu.24 Tingkah laku manusia dan sistem upacara dalam
kehidupan sehari-hari dapat saja mempengaruhi
perkembangan sistem keyakinan dan ajaran-ajaran. Karena
apa yang telah berulang-ulang dan terus menerus dilakukan,
akan menyebabkan manusia yang melaksanakannya sebagai
sesuatu yang memang sebaiknya demikian. Durkheim
menghubungkan ritus dengan kesadaran kolektif, bahwa
kesadaran kolektif itu merupakan kebutuhan asasi dalam diri
setiap manusia, sehingga perlu diaktifkan kembali dengan
upacara-upacara religius yang dianggap keramat. Apabila
manusia menghadapi hal-hal yang gaib dan keramat (sakral),
maka manusia akan bersikap penuh emosi yang disebabkan
dari sikap takut - terpesona. Seorang yang percaya akan
cenderung menyampaikan pengalaman batinnya kepada
orang-orang lain, dan seterusnya satu klen akan
menyampaikan kepercayaannya kepada klen lain, sehingga
muncullah intereaksionalisme kepercayaan itu. Semua
masyarakat memerlukan suatu penguatan akan
kepercayaannya. Untuk itulah mereka mengadakan pertemuan
untuk mempertebal sentimen kolektif dan pemikiran kolektif
yang mempersatukan masyarakat.
D. Perspektif Mitologi
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitos
mempunyai arti cerita suatu bangsa tentang dewa dan
pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-
usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut, mengandung
24 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward
Swain (trans). (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), 456
42 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.25 Dari
pengertian secara harfiah, setiap bangsa (suku bangsa)
mempunyai mitos dan mempercayai mitos secara tersendiri.
Menurut Roland Barthes, mitos adalah unsur penting yang
dapat mengubah sesuatu yang kultural atau historis menjadi
alamiah dan mudah dimengerti. Mitos bermula dari konotasi
yang telah menetap di masyarakat, sehingga pesan yang
didapat dari mitos tersebut sudah tidak lagi dipertanyakan
oleh masyarakat.26 Apabila ditarik sebuah benang merahnya,
secara definitif mitos merupakan cerita atau pesan yang
diyakini kebenarannya di dalam masyarakat, namun tidak
dapat dibuktikan secara rasional.
Mitos yang berkembang di dalam masyarakat bukan
hanya sekedar cerita, tetapi lebih daripada itu ada sebuah
makna (meaning) yang hendak disampaikan dibalik kisah
tersebut. Sebagai contoh, objek yang akan diceritakan terkait
dengan batu besar. Cerita yang sajikan dalam paradigma
mitologi bukan hanya terkait dengan batu besar secara kasat
mata, akan tetapi tentang batu besar, baik tentang apa yang
ada di dalamnya dalam makna yang luas. Setiap kelompok
masyarakat dapat mempunyai kisah mitologi yang berlainan
terkait dengan batu besar. Kondisi sosial, imaji dan keperluan
sosial dapat menghasilkan mitos-mitos yang berlainan, terkait
dengan batu besar tersebut.
Menurut Roland Barthes, tuturan mitologis bukan saja
berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan itu dapat berbentuk
tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan,
iklan, dan lukisan. Mitos pada dasarnya adalah semua yang
mempunyai modus representasi. Paparan contoh di atas
25 Diakses melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mitos, 20 Mei 2017, 20.36
WIB 26 Untuk mengetahui lebih dalam konsep definitif tentang mitos dari Roland
Barthes, dapat dilihat di Roland Barthes, Mythologies, (New York: The Noon Day Press, 1991), 109-120, bnd. Mudji Sutrisno, Hendar Putranto, Teori Teori Kebudayaani, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2005), 117-122
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 43
mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa ditangkap
secara langsung, misalnya untuk menangkap arti atau meaning
sebuah lukisan diperlukan interpretasi. Tuturan mitologis
dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu proses
signifikasi, sehingga dapat diterima oleh akal. Dalam hal ini
mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek, konsep,
atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi.27
Tuturan mitologis dipercaya dan sangat diyakini oleh
masyarakat setempat.
Secara kasat mata, mitos sulit terdeteksi oleh
pendatang dalam sebuah komunitas. Mitos dapat dilihat hidup
dan bertalian erat di dalam kehidupan masyarakat. Barthes
berpendapat bahwa “kita hidup bukan diantara benda-benda
melainkan dari opini-opini yang sudah diyakini”. Opini-opini
yang berkembang di dalam masyarakat akan menjadi dominan
dan menguasai sistem keyakinan dalam kelompok tersebut.
Dalam konsepnya, Barthes mengemukakan bahwa ada tiga hal
dalam dunia mitologi28 :
1. Penanda/Signifier (significant)
Dalam konsep yang dimunculkan oleh Barthes, penanda
merupakan sesuatu yang dapat ditangkap dengan indera.
Simbol-simbol, bahasa, lukisan, gambar maupun artefak
merupakan sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera.
Dibalik simbol-simbol tersebut terkandung makna yang
perlu digali dan dipahami. Tanpa makna, simbol-simbol
yang ada hanya sebatas penanda.
27 Lihat Roland Barthes, Mythologies, (New York: The Noon Day Press, 1991)
dalam http://download.portalgaruda.org/article.php., diakses 30 Agustus 2017, 21.46 WIB.
28 Konsep mitologi yang dikembangkan Barthes diwarnai oleh konsep dari Saussure. Barthes bercermin dari konsep linguistik Saussure yang melihat bahwa linguistik merupakan sebuah studi kehidupan tanda di dalam masyarakat. Selanjutnya, konsep ini dikenal dengan semiologi. Barthes menggabungkan Semiologi dari Saussure dengan Ideologi. Dalam teorinya, Barthes berpandangan bahwa semiologi merupakan tanda, dan ideologi adalah makna di dalam tanda tersebut. Semiologi dan Ideologi saling bertautan menghasilkan simbol/penanda yang penuh dengan makna.
44 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
2. Petanda/Signified (signife)
Petanda merupakan sebuah konsep dibalik penanda.
Simbol-simbol yang dihasilkan mempunyai makna
konseptual yang tidak dapat ditangkap secara inderawi,
namun perlu ditangkap secara mental dan pemahaman
yang utuh. Petanda ini dapat berupa sejarah, tradisi,
maupun kebiasaan di dalam masyarakat. Petanda
melengkapi penanda, sehingga sesuatu mempunyai makna
yang dapat dipahami oleh masyarakat.
3. Tanda (Sign)
Tanda ini merupakan pengikat dari penanda dan petanda.
Sesuatu yang telah mempunyai makna kemudian di
bungkus ke dalam sebuah tanda, baik berupa cerita
berwujud (denotasi), maupun tak berwujud/abstrak
(konotasi). Tanda inilah yang kemudian membentuk
sebuah mitos.
Konsep yang dikembangkan Barthes dapat menjadi
pintu masuk dalam mempelajari mitos yang berkembang di
dalam masyarakat. Mitos yang berkembang dan dikembangkan
di dalam masyarakat, kemudian membentuk cerita dan kisah
yang dianggap gaib dan tidak kasat mata. Dari kisah mitos
tersebut, muncul ritual-ritual dan kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan berdasarkan keyakinan akan mitos.
E. Perspektif Ritual
Ada keragaman teori mengenai ritual yang
dikemukakan oleh para tokoh. Dari paparan teori yang
beragam tersebut, masing-masih tokoh mengemukakan
berdasarkan hasil penelitian subyektifnya, yang ditemukan di
dalam lokasinya. Dari beberapa pandangan teori ritual yang
beragam tersebut, dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa
kelompok, yaitu :
a. Perspektif yang pertama memandang ritual adalah sebuah
aksi yang berkaitan dengan rutinisasi, habitualisasi,
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 45
obsesive, mimetic dan berupa ekspresi fisik dari ide
sebelumnya (Ritual and Myth). Pemikir yang sepakat
dengan perspektif ini antara lain Levi-Strauss, Tylor.
b. Perspektif yang kedua ritual merupakan reintegrasi dari
fungsional struktur, dan distingsi antara keyakinan dan
kebiasaan.29 Beberapa tokoh yang sepakat dengan
perspektif ini antara laian Durkheim, Stanley Tambiah,
Malinowski.
c. Perspektif yang ketiga mendeskripsikan ritual sebagai
kesatuan di dalam masyarakat yang kontras dengan friksi,
daya saing dunia sosial, dan keadaan liminal kehidupan.
Victor Turner merupakan salah satu tokoh yang
mengembangkan perspektif ini di dalam setiap karyanya.
Marx dan Engels juga berpendapat bahwa ritual
merupakan bagian dari ketidakstabilan dari sebuah sistem
ekonomi, sehingga terjadi friksi dan liminal di dalam
kehidupannya.
Konsep liminalitas yang dipaparkan oleh Turner dapat
dipakai menjadi pintu masuk dalam mempelajari ritual di
kehidupan masyarakat. Sumbangan utama dari Victor Turner
terletak pada usaha pemahaman ekspresi agama yang berupa
konsep mengenai proses yang ada dalam upacara ritual.
Konsepnya mengenai liminalitas sebagai suatu jembatan
penghubung, yaitu yang tidak berstruktur, bersifat transisi, dan
merupakan suatu tingkat atau fase tanpa klasifikasi,
merupakan pencerminan dari pandangannya mengenai
upacara dan agama sebagai suatu sistem yang bersifat formatif
dan reflektif.30 Dengan melalui fase liminalitas, upacara
mendasari suatu proses transformasi dan yang secara
bersamaan mengabsahkan kembali kategori-kategori lama,
29 Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice, (New York: Oxford University
Press, 1992), 20 30 Lihat di dalam Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure,
(USA : Cornell Paperback, 1977), 34 - 56
46 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
yang bersifat struktural dan yang sementara itu juga berfungsi
sebagai pusat kekuatan pendorong bagi berbagai kegiatan, bagi
penciptaan bentuk-bentuk baru dari konsep-konsep yang
bersifat struktural.
Dengan demikian, hubungan antara ritual dengan
struktur sosial terletak pada kesanggupan dari ritual untuk
dapat menempatkan dirinya di atas kedudukan satuan struktur
sosial, melalui fase liminal atau fase anti-struktural, sehingga
hubungan antara ritual dengan struktur sosial tersebut
memungkinkan dapat tetap lestari dalam kegiatan upacara itu
sendiri. Dalam hal ini ritual berperan sebagai pedoman bagi
semua fase-fase dan semua aspek-aspek pengalaman
kebudayaan, melalui berbagai bentuk proses yang dilalui oleh
setiap individu. Dengan kata lain, ritual merupakan suatu
sumber bagi penciptaan ide-ide baru yang didorong untuk
dihidupkan pada masa liminal, maupun sebagai sumber bagi
terwujudnya status quo dalam pelaksanaannya.
Dimensi dalam sebuah proses ritual menurut Victor
Turner31 yaitu:
1. Process analysis : yaitu mempelajari proses spirito-
psycho-social yang terjadi, aspek metodikal dan tahapan-
tahapannya (fase-fase transformasi).
2. Symbolic theory : yaitu memahami makna-makna
simbolis yang direpresentasikan.
3. Structure dan anti-structure : sebagaimana nantinya akan
kita lihat bahwa ritual memiliki kaitan yang sangat erat
dalam formasi sebuah struktur kemasyarakatan maupun
deformasi (pengubahan) sebuah struktur yang mapan. Di
sini sebuah ritual dipelajari dalam kaitannya dengan
kerangka struktur kemasyarakatan maupun fungsinya
sebagai penjaga social order.
31 Lihat di dalam Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure,
(USA : Cornell Paperback, 1977), 34 - 56
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 47
4. Liminal: Liminal state adalah sebuah kondisi yang
terdapat dalam suatu peralihan/tranformasi, dimana
terdapat disorientasi, ambiguitas, keterbukaan, dan
ketidakpastian (indeterminancy).
Dalam liminal state inilah maka dimungkinkan
terjadinya perubahan-perubahan, misalnya: status
sosial, personality value atau identitas pribadi. Jadi dengan kata
lain, liminality adalah suatu periode transisi dimana pikiran
normal, self-understanding dan tingkah laku dalam kondisi
relaks, terbuka dan receptive untuk menerima perubahan.
Dalam keadaan liminal inilah ritual berfungsi untuk
memberikan kestabilan di dalam kehidupan masyarakat.
Rangkaian perspektif ritual yang dikembangkan para
tokoh cenderung sangat subyektif, karena didasarkan pada
pemahaman dan analogi yang dikembangkan oleh masing-
masing tokoh. Dalam dialektika pemahaman ritual, rangkaian
perspektif tersebut sangat terbatas apabila hendak mengkaji
perkembangan ritual di berbagai wilayah dan segi kehidupan.
Ada satu pemikir yang berusaha menyajikan konsep holistik
dalam menganalisis ritual yang terjadi di masyarakat.
Catherine Bell (yang selanjutnya disebut Bell) menawarkan
kerangka berpikir holistik dalam mengkaji dan mengamati
perkembangan ritual yang terjadi di dalam masyarakat.
Menurutnya, ritual yang terjadi di masyarakat tidak statis,
tetapi dinamis mengikuti pergerakan konteksnya.32 Bagi Bell,
ritual harus dipahami berdasarkan konteks dan/atau
lingkungannya. Menurutnya, konteks tersebut merupakan
bangunan kehidupan ritual.33
Ritual dapat dipakai sebagai sarana untuk bertahan
hidup di tengah perubahan yang moncar di tengah kehidupan.
Oleh sebab itu, dalam memahami ritual perlu melihat situasi
32 Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions, (New York: Oxford University
Press, 1997), 2 33 Ibid, 3
48 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
dan kondisi, dimana masyarakat tersebut ada dan terkait
dengan alasan strategis terhadap bangunan kehidupan ritual
secara holistik. Dalam bukunya Ritual Theory Ritual Practice,
Bell memberi penjelasan bahwa ritual merupakan sebuah
strategi atau cara bertindak (the way of acting) yang berbeda
dalam kehidupan sehari-harinya. Cara bertindak tersebut lahir
dari hasil konstruksi manusia dalam menghadapi
permasalahan kehidupannya.34 Cara bertindak tersebut lahir
karena diprakarsai oleh sense of ritual yang telah tertanam di
dalam kehidupan masyarakat.
Sense of ritual tersebut muncul ketika berhadapan
dengan situasi dan kondisi sosial khusus, sehingga
memunculkan tindakan yang “di luar kewajaran”. Dengan kata
lain, ritual lebih merupakan sebuah strategi tentang cara
bertindak dalam situasi sosial khusus yang disebut dengan
istilah ritualization. Strategi ritualisasi tersebut berakar pada
the social body, yakni lingkungannya. Menurutnya, tubuh atau
bangunan sosial berhubungan dengan pengalaman kosmologi
masyarakat, sehingga ritual memiliki peran dalam membangun
tubuh sosial. Karena itu, untuk memahami ritual mau tak mau
mesti memahami konteks “tindakan ritual”, yakni konteks
sosial atau lingkungannya.
Bell berpendapat, bahwa ritualisasi yang
dikembangkan oleh suatu masyarakat tidak dapat lepas dari
dimensi sosial dan sejarah. Ritual dikontruksi oleh masyarakat
yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial di tengah
perubahan yang sedang atau telah dihadapinya.35 Terkait
dengan konteks sosialnya, ritual tidak dapat dilepaskan juga
dari konteks politik yang sedang berkembang di masyarakat.
Hegemoni kekuasaan yang terpantul dalam praktik kekerasan
34 Ibid, 70 - 76 35 Lihat juga pemikiran Durkheim dalam The Elementary Forms of the Religious
Life, yang menyatakan pula bahwa ritual dipakai sebagai kontrol sosial di dalam masyarakat. Pemikiran Max Weber juga senada dengan hal ini, bahwa ritual (agama) mempengaruhi gerak dan laju masyarakat terhadap perubahan yang dihadapinya.
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 49
dengan ideologinya, dan politik identitas yang ditawarkan oleh
penguasa politik menjadi amatan yang perlu dikaji dalam
menelisik ritual secara mendalam. Dominasi politik yang
berkembang memberikan sedikit gambaran berkenaan dengan
praktik kekuasaan, segmentasi di dalam masyarakat,
manipulasi sistem sosial sampai dengan resistensi di dalam
masyarakat. Perkembangan ritual sangat dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi tersebut, dan sangat rentan dijadikan
sebagai kendaraan kekuasaan untuk dimanipulasi sebagai alat
kontrol kekuasaan.36 Ritual berhubungan erat dengan
keragaman politik, kolonialisme, perjumpaan dengan budaya
baru dan dominasi ekonomi. Oleh sebab itu, situasi sosial
dalam perkembangan ritual perlu ditelisik lebih dalam, untuk
dapat melihat kontruksi sosial terhadap ritual yang ada.
Bell menawarkan tiga aspek penting dalam melakukan
pendekatan terhadap ritual37,
a. Ritual perlu dianalisis dan dipahami dalam konteks riilnya,
terkait dengan motif bertindak terhadap cara bertindak di
dalam budaya dan konteks sosialnya.
b. Perlu dianalisis dari sisi kualitas tindakan dalam ritual
yang tampak dalam gesture dan ruang khusus yang
dikonstruksi dan berfungsi menata (kembali) nilai-nilai
lingkungannya.
c. Ritual mempromosikan otoritas kekuatan bagi
pengetahuan pelaku ritual untuk mengatur
pengalamannya, sesuai dengan nilai ritualnya.
Pendekatan yang dipaparkan oleh Bell merupakan
sebuah tawaran pendekatan untuk dapat mengerti bangunan
ritual di dalam masyarakat. Bangunan ritual tersebut lebih
cenderung merupakan hasil konsensus bersama dan respon
36 Lihat konteks perkembangan keberagamaan dalam Karl Marx, The Economic
and Philosophic Manuscripts, dalam Robert C. Tucker (ed), The Marx Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 66-200
37 Untuk pendalaman lihat dalam Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions, (New York: Oxford University Press, 1997), 233-51
50 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
dari apa yang terjadi di dunianya. Dalam konsep Bell, ritual
merupakan sebuah gerak sosial yang paling mendasar dalam
mengkonstruksi realitas dunianya, sehingga melampaui waktu,
pengaruh dan maknanya.38
Lebih lanjut Bell juga memaparkan karakteristik dalam
bangunan aktivitas ritual yang berkembang di dalam
masyarakat. Karakteristik tersebut adalah39
Pertama, aktivitas ritual bersifat formal dan/atau
diformalisasi. Aktivitas ritual sangat berlainan dengan aktivitas
harian. Aktivitas ritual akhirnya dicirikan sebagai aktivitas
formal atau diformalkan yang menjadi pembeda dengan
aktivitas kesehariannya. Aktivitas tersebut tampak melalui
gestur, tuturan, perilaku, ekspresi, yang menandakan adanya
hirarki dan ciri tradisi budaya yang ada (tradisional,
lokalitasnya). Terkadang formalitas tersebut memperkuat
status quo, mengomunikasikan pesan-pesan sosial budaya yang
kompleks dengan cara sederhana (klasifikasi sosial, hubungan
hierarkis, negosiasi identitas, posisi dalam hubungan-
hubungan sosial).
Kedua, traditionalization. Karakteristik tradisional
mencirikan lokalitas tradisi dan budaya dari masyarakat. Ciri
tradisional sangat erat kaitannya dengan sejarah dan ingatan
masa lalu tentang suatu peristiwa, tokoh atau sesuatu yang
membekas dalam ingatan masyarakat setempat. Bentuk
tradisional nampak dalam penggunaan kostum,
tuturan/bahasa yang berfungsi menegakkan identitas dan
mempertahankan batas-batas dan otoritas masyarakat
tradisional. Daya tariknya ada pada tradisi atau adat kebiasaan
di mana orang mengulangi peristiwa historis dengan sangat
dekat.
38 Ibid, 233-51 39 Ibid,139 - 162
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 51
Ketiga, invarian. Dalam hal ini, dapat diamati bahwa
ritual yang berlangsung di masyarakat tidak mengalami
banyak varian. Ritual yang ada cenderung merupakan repetisi
dari format yang ada sebelumnya. Perbedaan karakteristik ini
dengan tradisional yaitu While traditionalism involves an
appeal to the authority of the past that subordinates the present,
invariance seems to be more concerned with ignoring the
passage of time in general. It appears to suppress the
significance of the personal and particular moment in favor of
the timeless authority of the group, its doctrine, or its practices.40
Karakteristik ini sangat personal, namun tetap mengarah
kepada doktrin untuk diimplementasikan dalam praksis
ritualnya. Dalam karakteristik ini, muncul kekaguman dan
sekaligus kegundahgulanaan dalam jiwa pribadi sang pelaku
ritual, yang selanjutnya berdampak pada laku ritualnya.
Keempat, sangat menekankan aturan, tradisi, dan tabu
yang diritualisasikan, termasuk cara berpakaian, tuturan,
gesture. Penekanan kepada aturan diberlakukan untuk
menjaga harmoni sosial di dalam masyarakat, atau dilakukan
dalam konteks ketika ada kekacaubalauan atau penyimpangan
terhadap aturan umum di dalam masyarakat.
Kelima, sakralisasi simbol. Aktivitas ini merupakan
penekanan terhadap simbol-simbol sakral yang ditarik kepada
realitas supranatural. Symbols like the flag, which Ortnels calls
“summarizing” symbols, effectively merge many ideas and
emotions under one image. This type of totalization generates a
loose but encompassing set of ideas and emotions that readily
evoke a collective sense of “we”- as in “our” flag.41 Sakralisasi
simbol dikonstruksi dari kesepakatan ide dan emosi untuk
menekankan ekspresi yang berbeda antara sisi sacred and
40 Untuk pendalaman lihat dalam Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions,
(New York: Oxford University Press, 1997),150 41 On “totalization”, see Richard P. Werbner (Ritual Passage Journey: The Process
and organization of religious movement [Washington D.C. : Smithsonian Institution Press, 1989],13) in Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions ... 156
52 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
profan. Perbedaan perlakuan muncul dalam aktivitas
memperlakukan simbol, baik agama maupun dunia sekuler,
sebagai ungkapan gagasan atau ide dan emosi (nilai, perasaan,
sejarah, loyalitas) yang mengait erat dengan aspek kolektif dan
identitasnya. Dengan kata lain, benda sebagai simbol suci
bukan pada bendanya, tetapi pada cara mengekspresikan nilai
dan sikap terhadap benda tersebut, sehingga benda tersebut
memiliki nilai yang lebih besar, suci, mendalam, abstrak,
transenden dari yang lainnya. Simbol-simbol tersebut bisa
menunjuk pada tempat, bangunan, orang maupun sesuatu yang
dianggap punya daya magis.
Keenam berciri pertunjukan (performance), bersifat
dramatis, menekankan tindakan simbolis yang dilakukan
secara sadar di depan publik. Hal ini bertujuan
mengomunikasikan pesan berupa gambar visual, suara
(teriakan), bunyi, penciuman, dan lainnya untuk meyakinkan
orang sehingga orang menerima kebenaran aktivitas tersebut
melalui simbol-simbol sakral sebagai cerminan dari
“mikrokosmos” dan “makrokosmos”. Oleh sebab itu, dalam
ritual akan sarat dengan pertunjukan teatrikal, dramatic
spestacles dan public events yang dapat melibatkan serta
mengundang kumpulan massa pada hari-hari sucinya.
Bell konsisten dengan pemikirannya bahwa ritual
merupakan bangunan kehidupan yang berkonteks kepada
pelaku ritualnya. Konteks kehidupan pelaku ritual
menjadikannya berbeda antara praktik ritual yang satu dengan
lainnya. Oleh sebab itu, ritual tidak dapat dilepaskan dari
konteks pelaku ritual, baik tradisi, sosial, historis, maupun
konteks genealogisnya. Namun, apabila digeneralisasi ritual
yang berkembang di masyarakat dapat dikelompokkan
menjadi tiga yaitu rites of passage, calendrical rites, dan
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 53
political rites42. Dalam pengelompokkan ritual tersebut akan
didapati sistem ritual yang similar. Sistem ritual yang
serumpun kemudian dikontruksi berdasarkan konteksnya,
sehingga yang mengalami perbedaan adalah ritual performnya
yang berisi simbol, gestur dan terminologi ritualnya.
Dalam perspektif Bell, keberagaman ritual tersebut
merupakan hasil dari ‘kepadatan ritual’ yang dikonstruksi
menjadi ‘perubahan ritual’. Menurut Roy Rappaport, sistem
ritual tersebut terdiri dari apa yang disebut rituals dan
liturgical orders.43 Dimensi rituals sangat privasi dan
merupakan sebuah ekspresi pribadi tanpa terkhamiri oleh
orang lain. Gestur dan ekspresi yang tampak bergantung
dengan situasi, nilai (memaknai ritual) dan tujuan pribadi
terhadap ritualnya. Liturical orders merupakan elaborasi dari
rituals. Dalam performancenya akan terlihat kebermaknaan
secara komunal, yang telah dikemas dan dibumbui oleh
otorisasi, identitas kelompok, dan kanonisasi doktrin liturgis.44
Oleh sebab itu, dalam menganalisis sistem ritual perlu melihat
sebuah tatanan ritual yang lebih luas, meliputi pandangan
kosmik, kultural, fisik, historis dan biologisnya.
Kompleksitas ritual yang disajikan oleh Bell,
memerlukan analisis yang mendalam dalam mengurai sebuah
ritual yang ada di dalam masyarakat. Sistematisasi ritual yang
ada di dalam masyarakat bukan hanya merupakan produk
fenomena sosio kultural, melainkan perlu melihat lebih jauh
lagi mengenai praktik menggerakkan dan mempertahankan
sistem ritual, yakni proses-proses hierarkis, sentralisasi,
replikasi, marjinalisasi, identitas regional dan hubungan
interregional, ekonomi, stratifikasi sosial, spekulasi filosofis,
42 Untuk pendalaman lihat dalam Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions,
(New York: Oxford University Press, 1997),174 43 Ibid,176 – 177 44 Ibid,176
54 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
maupun abstraksi teologisnya.45 Konteks inilah yang
membedakan gaya atau macam ritual pada sebuah konteks
atau komunitas yang satu dengan konteks atau komunitas
lainnya. Bell menyimpulkan bahwa kepadatan ritual
berhubungan erat dengan konteksnya. Jika sebuah masyarakat
mengalami perubahan sosial dan sejarah yang memengaruhi
pandangan dunianya, organisasi, aktivitas ekonomi, dan ide-ide
lain, maka masyarakat akan menyaksikan perubahan yang
terjadi bersamaan dengan sistem ritual dan maknanya.
Bagi masyarakat tradisional, ritual bukan merupakan
sebuah identitas komunal, ciri khas etnik, institusi politik,
maupun tradisi sosial. Dalam paradigma mereka, ritual
merupakan sebuah formula untuk keluar dari sebuah keadaan
yang mereka tidak inginkan, atau solusi untuk keluar dari
tekanan kehidupan. Oleh sebab itu, Bell menekankan bahwa
ritual di dalam masyarakat akan selalu mengalami perubahan,
bergantung dengan konteksnya. Konteks yang selalu dinamis di
dalam masyarakat merangsang pergerakkan dalam struktur,
simbol, interpretasi dan aktivitas ritualnya. Perubahan di
dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya perubahan
ritualnya.
Dalam kerangka berpikir Bell, kondisi ritual yang selalu
dinamis tidak dapat terlepas dari tigal hal yaitu repudiating,
returning dan romantis. Ketiga hal ini merupakan simpulan
yang di dapat oleh Bell, ketika melakukan penelitian secara
komprehensif mengenai studi ritual yang dilakukan oleh para
ahli ritual sebelumnya. Teori yang dikemukakan oleh Bell
bukanlah berasal dari kajian penelitian empiris sosial
kemasyarakatan, namun merupakan sebuah elaborasi dari
pemikiran para pemikir ritual sebelumnya. Di dalam pemikiran
Bell, dielaborasikan pemikiran Durkheim, Eliade, Tambiah,
Mauss, Geertz, V. Turner, Rappaport, Levi Strauss dan tokoh-
45 Ibid,177 – 190
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 55
tokoh yang lain. Dari penelusuran yang mendalam dari para
tokoh tersebut, Bell menghasilkan kajian yang cukup
representatif dan holistik, untuk mendeskripsikan kajian ritual
dari sudut pandang budaya dan sejarah ritual. Dari hasil
kajiannya, Bell mengemukakan tiga hal terkait dengan
rekontruksi ritual di dalam masyarakat, yaitu :
1. Repudiating
Bell berpendapat dalam perubahan ritual di dalam
masyarakat, selalu ditandai dengan penolakan terhadap
tradisi ritualnya sendiri atau karena pihak lain, yang
disebabkan karena proses evolusi sosial (Rasionalisme,
sekularisme dan modernisasi), dan dapat juga terjadi
karena situasi-situasi sosial yang khusus. Evolusi sosial
yang terjadi di dalam masyarakat menyebabkan dirinya
sendiri yang menolak tradisi ritualnya. Di sisi lain, setiap
penolakan ritual terhadap praktik ritualnya perlu dilihat
dalam konteks sosialnya. Mengingat setiap praktik ritual
di dalam masyarakat merupakan hal yang sangat
kontekstual. Bertolak dari penolakan ini, di dalam
masyarakat sendirilah yang berusaha membangun praktik
ritualnya, baik dengan pedoman dari pengalaman masa
lalunya, maupun dengan pedoman dari aspek luarnya
(modernisasi, rasionalisasi).
2. Returning
Hal selanjutnya yang tidak dapat terlepas dari ritual
adalah mengingat gagasan kembali tentang asal muasal
tradisi itu sendiri. Tradisi yang ada merupakan hasil dari
sintesis adat/kebiasaan dan akomodasi dari konteks
sosial. Oleh sebab itu, diperlukan mengingat gagasan
kembali tentang orisinalitas tradisi, dan melepaskan dari
sekat kebaharuan, di mana tradisi harus merespon
kebutuhan baru di dalam masyarakat. Gagasan kembali
kepada orisinalitas tradisi ini di samping untuk menggali
kisah dan makna, tetapi juga mengingatkan serta
56 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
menegaskan kembali kepada simbol-simbol tradisi
tersebut.
Ritual yang ada di dalam masyarakat tidak lengkap
tanpa adanya media ekspresif intuitif-emosional di
dalamnya. Melalui media itulah masyarakat dapat
mengekspresikan kondisi spiritual, realitas alternatif dan
keterhubungannya dengan sesama dan semesta. Simbol-
simbol yang digali berdasarkan orisinalitas tradisi ritual,
untuk kemudian dapat kembali diperkuat pemahaman
akan pemaknaan simbolisnya. Bagi Bell, returning
merupakan sebuah gagasan intuitif terhadap simbol-
simbol masa lalu, yang dimunculkan kembali oleh
masyarakat, sebagai sarana untuk ekspresi emosional
terhadap orisinalitas gagasan ritual di masa lalu. Ekspresi
intuitif terhadap simbol-simbol ini kemudian dimaknai
kembali dengan pemahaman yang baru sesuai dengan
konteks kekinian dari masyarakat, sehingga ritual di
dalam masyarakat seolah kembali seperti ritual di masa
lalu.
3. Romantis
Bell menuturkan bahwa aspek ketiga yang tidak
dapat ditinggalkan adalah romantis. Dalam
perkembangannya, tradisi ritual tidak dapat dilepaskan
dari berbagai kepentingan. Proses kontruksi ritual tidak
dapat terlepas dari status dan otoritas lembaga sosial yang
dominan, sehingga acapkali menyebabkan tradisi ritual
menjadi anti struktur, revolusioner dan mampu
mendekontruksi pihak/lembaga yang kejam, serta dapat
menghasilkan struktur-struktur alternatif.
Dalam ketegangan ini, muncullah kerinduan akan
ritual yang mampu membebaskan, menyembuhkan dan
menyelamatkan diri maupun komunitasnya. Romantisme
akan kesalehan ritual yang membawa kepada hal yang
positif inilah menyebabkan masyarakat selalu ingin
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 57
kembali kepada esensi dari ritual. Di saat kehidupan ritual
sudah tertindas dan mengalami kefrustasian, maka
romantisme akan esensi ritual ini yang muncul di dalam
masyarakat. Komunitas masyarakat menganggap ritual
tersebutlah yang mampu membebaskan dan
menyelamatkan dari penetrasi modernisasi, sekularisasi
dan rasionalisasi di dalam konteks hidupnya.
Bagi Bell, kompleksitas di dalam ritual merupakan
sebuah fakta di dalam masyarakat yang perlu dikaji secara
mendalam. Ritual tidak dapat dipahami secara abstrak, tetapi
perlu dianalisis secara mendalam terkait dengan budaya,
pengalaman, dan tindakan di dalam masyarakat. Ritual tidak
dapat dijelaskan dan dianalisa dari luar, tetapi sebaliknya
harus dilihat dari dalam realitas masyarakat pelaku ritual,
dimana praktik ritual itu dilaksanakan.
F. Kosmologi dan Ritual Jawa
1. Konsep Tuhan dalam Agama Jawa
Tuhan secara umum dikonsepsikan sebagai yang
transenden. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut
mempunyai arti menembus, teramat sangat. Secara
maknawi, Tuhan dipandang sebagai sosok yang mutlak,
yang ada sebelum adanya alam semesta, yang
supranatural dan yang mengatur jagad semesta. Agama
Jawa selalu meyakini ada penguasa alam semesta, yang
apabila dikuasai, diadaptasi dalam kehidupan akan
mendatangkan berkah.46 Dalam agama Jawa, Tuhan
dikonsepsikan sebagai karib yang istimewa, yang diyakini
selalu ada dalam setiap keberadaan manusia. Tuhan
ditempatkan di posisi super, misterius, di atas kekuatan
46 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa,
(Yogyakarta : Narasi, 2015), 41
58 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
manusia. Tuhan adalah pengatur hidup, hanya dengan
batin, manusia dapat melukiskan apa saja tentang Tuhan.47
Agama Jawa mengkonsepsikan bahwa wahyu
diturunkan dari para dewa yang menguasai alam semesta,
dan berfungsi untuk menenangkan hidup. Konteks agama
Jawa, wahyu sangat dekat dengan pulung48 dan tidak dapat
lepas dari konsep begja.49 Agama Jawa selalu
mengedepankan Kawruh Begja, yang datang dari Kang
Gawe Urip.50 Wahyu yang dianggap berasal dari para dewa,
yang perlu diraih dengan Laku51 dan negosiasi. Laku ini
cenderung mengarah kepada dunia gaib atau alam gaib,
yang didalamnya akan didapati kekuatan gaib atau
kekuatan sakti. Sesuai dengan konteks kepercayaan agama
Jawa, dunia ini dibagi menjadi dua, yaitu makrokosmos
dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang
Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam
semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan
supranatural (adikodrati). Dalam makrokosmos pusat
alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki
kirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam
kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang semakin
47 Untuk pendalaman konsep Tuhan dalam kebatinan dapat dilihat pada
Suwardi Endraswara, Kebatinan Jawa (Yogyakarta : Lembu Jawa, 2011), 171 - 180 48 Dalam konteks Jawa, Pulung merupakan penanda mendapat keberuntungan
dari Yang Ilahi. Biasanya orang yang kejatuhan pulung hidupnya akan dipenuhi oleh belas kasihan kepada sesama. Banyak orang akan hormat sehingga ia disegani. Pulung berkarakter cinta kasih. Sehingga jatuhnya pulung akan memilih orang yang akan memilih orang yang menjalani upaya lahir dan batin atau keprihatinannya mengamalkan cinta kasih kepada sesama, dalam mewujudkan keindahan, ketenteraman dunia.
49 Begja mempunyai arti harfiah keberuntungan. Banyak orang Jawa meyakini begjå atau kabegjan merupakan berkah yang turun dari atas, seperti halnya keyakinan rezeki sudah diatur Gusti Allah. kabegjan merupakan hak prerogatif Sang Mahakuasa yang bisa diturunkan dengan berbagai cara kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kata begjå atau kabegjan, jadinya, mengandung makna spiritual bagi yang percaya.
50 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa, (Yogyakarta : Narasi, 2015), 41-43
51 Secara harfiah kata Laku mempunyai arti sebagai perilaku. Namun, dalam konsep Jawa kata ini dimengerti sebagai perilaku, tindakan dan sikap hidup yang sesuai dengan amanat dari para dewa.
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 59
sempurna (dunia atas – dunia manusia – dunia bawah).
Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata
(mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia
dengan lingkungannya, susunan manusia dalam
masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan
segala sesuatu yang nampak oleh mata.52
Dengan keyakinan akan adanya dunia adikodrati,
agama Jawa mencirikan adanya kekaguman akan hal-hal
atau peristiwa gaib, yang tak dapat diterangkan oleh akal,
namun dapat dirasakan dan diyakini di dalam
kehidupannya. Keyakinan akan hal yang gaib kemudian
memunculkan mitos dan simbol yang dipercaya sebagai
perwujudan dari dunia gaib tersebut. Mitos yang
berkembang di agama Jawa sangat bervariasi, bergantung
dengan kultur, lokasi dan kondisi masyarakat. Sebagai
contoh, masyarakat petani meyakini mitos Dewi Sri
sebagai dewi kesuburan, sehingga di akhir panen
senantiasa diadakan acara slametan sebagai rasa syukur
kepada Sang Dewi, karena sudah memberikan berkah
kesuburan. Mitos agama Jawa yang bervariasi, bukan
mengaburkan kepercayaan masyarakat, justru
mempertebal keyakinan. Mitos menghidupkan suasana
kebatinan dan memberikan rasa ketenangan di dalamnya.
Keyakinan akan sesuatu yang gaib tersebut, kemudian
memunculkan kekaguman dan tindakan upacara ritual di
dalamnya.
2. Ritual di dalam Agama Jawa
Dalam menjalankan laku ritualnya, agama Jawa
mempunyai falsafah53 :
52 Lihat ulasan lebih lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup
Jawa, (Tangerang : Cakrawala, 2003), 2-16 53 Lihat ulasan lebih lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa,
(Tangerang : Cakrawala, 2003), 40-47
60 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
a. Falsafah metafisika, yakni bahwa Tuhan adalah
sangkan paraning dumadi.54
b. Epistemologi, yaitu proses memperoleh pengetahuan
dengan jalan mencapai kesadaran cipta, rasa, dan karsa
(hening), kesadaran panca indera, kesadaran pribadi
dan kesadaran illahi.
c. Falsafah aksiologi, terkait dengan nilai etik dan estetis.
d. Falsafah anthropologia yaitu pola pikir Jawa yang
berkisah tentang persoalan manusia.
e. Falsafah ontologia dan metafisika, yaitu pengalaman
yang pernah sungguh-sungguh dialami, dirasakan,
dihayati dan bukan sekedar konsep saja.
Dari falsafah yang dihidupi oleh agama Jawa,
memunculkan upacara ritual sebagai laku spiritualnya.
Sebagai media dalam menjalankan ritual dan
menghubungkan dengan dunia gaib, sesaji dipakai sebagai
simbol dan langkah negosiasi dengan hal-hal gaib. Kalau
orang Jawa tidak mampu memberikan sesaji, muncul
perasaan adanya nuansa hidup yang lepas dan belum
lengkap. Oleh sebab itu, dalam setiap jengkal kehidupan,
orang Jawa senantiasa mempertahankan sesaji sebagai
sarana bernegosiasi dengan hal-hal gaib.55
Agama Jawa menggariskan fungsi sesaji sebagai56 :
a. Langkah negosiasi spiritual dengan kekuatan
adikodrati, agar tidak mengganggu.
b. Pemberian berkah kepada warga sekitar, agar ikut
merasakan hikmah sesaji.
c. Perwujudan keikhlasan diri, berkorban kepada Kang
Gawe Urip (Sang Pemberi Hidup)
d. Bentuk ucapan terima kasih.
54 Secara literal dalam bahasa Indonesia diterjemahkan lepasnya roh dari jasad.
Dalam pengertian Jawa, mempunyai arti akan kembali kepada asal muasalnya. 55 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa, (Yogyakarta
: Narasi, 2015), 51-53 56 Ibid, 53-57
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 61
Fungsi sesaji tersebut merupakan cerminan dari
naluri keagamaan dari orang Jawa. Dalam konsepnya,
sesaji inilah yang menghubungkan antara dunia yang
hidup dengan dunia yang tak hidup, atau antara
makrokosmos dengan mikrokosmos. Sesaji inilah yang
difungsikan untuk menyelaraskan dari dua dunia yang
nyata dan tak kasat mata. Pemberian sesaji ini kemudian
diyakini dunia gaib akan memberikan bekal, solusi dan
kesaktian dalam menjalani hidup di dunia nyata.
Sesaji biasanya akan diberikan di tempat yang
diyakini mempunyai kekuatan gaib atau penghubung
antara dunia nyata dengan dunia gaib. Dalam kosmologi
Jawa, salah satu tempat yang dipercaya dapat
menghubungkan yang natural dengan supranatural
terletak di makam (kuburan). Makam diyakini sebagai
penghubung antara dunia nyata dengan dunia ajaib. Orang
yang telah di makamkan akan menjadi sarana untuk
menyambungkan orang yang masih hidup dengan dunia
gaib. Oleh sebab itu, banyak orang Jawa memberikan sesaji
di makam, untuk menjaga ketenangan di alam gaib. Agama
Jawa meyakini apabila alam nyata mengalami kekacauan,
disebabkan karena alam gaib mengalami kekacauan juga.
Dalam bentuk yang lain, sesaji diberikan sebagai
perwujudan syukur atas panen atau setelah melewati
masa liminal kehidupan. Dalam keyakinan Jawa, sesaji
yang diberikan dalam bentuk slametan diwujudkan dalam
bentuk tumpeng dan ambengan. Sesaji ini biasanya
diberikan dalam ritual kesuburan maupun terkait upacara
perkawinan. Tumpeng berbentuk kerucut, dengan puncak
kerucut di atasnya. Ambengan berbentuk lebih pendek dan
tidak berujung runcing. Simbolisasi tumpeng dan
ambengan ini merupakan pemahaman serta metafora dari
lingga dan yoni yang diyakini sebagai lambang kesuburan.
Di sisi yang lain, pemaknaan simbol ini terkait dengan
62 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
simbol laki-laki dan perempuan. Tumpeng sebagai simbol
laki-laki (lingga) dan ambengan sebagai simbol putri
(yoni).57 Dimensi lelaki dan perempuan senantiasa
dimunculkan dalam simbol kesuburan.
Simbolisme yang dipakai dalam ritual di agama
Jawa sedikit banyak mengacu kepada ajaran Tantraisme
Hindu. Tantraisme atau ada yang menyebut dengan
Tantrisme, merupakan ajaran yang mengembangkan
pemujaan terhadap Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran.
Ajaran Tantra sendiri terutama berkaitan dengan praktik-
praktik spiritual dan bentuk-bentuk ritual ibadah yang
bertujuan pada pembebasan dari kebodohan dan
kelahiran kembali, alam semesta yang dianggap sebagai
permainan ilahi Shakti dan Siwa. Dalam "kidal" Tantra
(Vamachara), ritual hubungan seksual digunakan sebagai
cara untuk masuk ke dalam proses yang mendasari dan
struktur alam semesta.58
Tantraisme diejawantahkan ke dalam simbol di
tempat sucinya. Dewasa ini hampir di semua tempat suci
(Pura) dapat dilihat Siwalingga yang diwujudkan dengan
lingga – yoni. Menurut ajarannya, itu melambangkan ruang
di mana alam semesta menciptakan dan melenyapkan
dirinya berulang-kali. Tantra mewujudkannya dengan
phalus dan yoni sebagai perlambang dari sifat laki-laki dan
wanita. Ia juga melambangkan prinsip-prinsip kreatif dari
kehidupan. Secara filosofis, simbolisme lingga yoni bersifat
Chala (bergerak) atau Achala (tidak bergerak). Chala
Lingga dapat ditempatkan di Pura atau rumah atau dapat
dibuat secara sementara dari tanah liat atau adonan atau
nasi. Achala Linga biasanya ditempatkan di Pura, terbuat
57 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa,
(Yogyakarta : Narasi, 2015), 25-27 58 Lihat keterangan lengkap di dalam Bagus Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia,2000), 1068.
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 63
dari batu. Bagian terbawah dari Siwalingga disebut
Brahmabhaga yang melambangkan Brahma, bagian tengah
yang berbentuk segi delapan disebut Wishnubhaga yang
melambangkan Wishnu, dan bagian menonjol yang
berbentuk silinder disebut Rudrabhaga, serta pemujaan
kepadanya disebut Pujabhaga.59
Dalam perkembangannya, tantra sering
menggunakan simbol-simbol material termasuk simbok-
simbol erotis, sehingga tantra sering kali diidentikkan
dengan ajaran kiri yang mengajarkan pemenuhan nafsu
seksual, pembunuhan dan kepuasan makan daging.
Padahal beberapa perguruan tantra yang saat ini
mempopulerkan diri sebagai tantra putih menjadikan
pantangan mabuk-mabukan, makan daging dan hubungan
seksual sebagai sadhana dasar dalam meniti jalan tantra.60
Laku seksual yang dikembangkan merupakan perwujudan
sebagai ketaatan dengan doktrinnya. Ajaran Tantraisme
kemudian yang berkembang pula di dalam tradisi agama
Jawa.
Dalam berbagai ritual agama Jawa, konsep laki-laki
dan perempuan senantiasa dimunculkan sebagai simbol
keseimbangan ciptaan, simbol kesuburan, simbol kesatuan
dan simbol kesucian, sebagaimana yang dikonsepsikan ke
dalam ajaran Tantraisme. Acapkali simbol kesuburan dan
kesaktian terletak pada hubungan laki-laki dan
perempuan. Dalam falsafah hidup orang Jawa, yang
dimunculkan melalui tokoh pewayangan, kesaktian
seseorang dimunculkan dalam tokoh Arjuna. Falsafah
madya yang memunculkan konsep bahwa Arjuna adalah
59 Lihat keterangan lengkap di dalam Lama Thubten Yeshe, Introduction to
Tantra:The Transformation of Desire, (Boston: 2001, revised ed Wisdom Publication), 4. 60 Disadur dari Presentasi Bapak Suryanto, di Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
64 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …
lelananging Jagad,61 yang paling sakti di antara para
ksatria sejamannya. Dalam kerabat Pandawa ada yang
disebut pamadyaning pandawa, yakni Arjuna. Satria ini
berada di tengah-tengah. Ia lambang kesaktian, karena
bisa menguasai banyak wanita. Baginya, wanita adalah
simbol kesaktian. Modus operandi ihwal kesaktiannya
adalah karena Arjuna bisa menahlukan madya (tengah).
Yakni bagian fisik manusia yang berada di tengah (phalus
dan vagina). Tempat rasa sejati yang sulit digambarkan.
Jika kedua (tengah ketemu tengah) dalam arti telah
manunggal, maka hidup manusia akan tenang. Itulah
sebabnya, kenikmatan hidup manusia Jawa berada di
tengah (madya), bukan di bagian atas dan bawah. Hidup
menjadi kurang, jika belum menikmati kenikmatan sejati
(madya).62
Keyakinan akan pengisahan kesaktian Arjuna
menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai
perwujudan ritual kesaktian, kesuburan dan keberkahan.
Dari keyakinan ini, hubungan seksual laki-laki dan
perempuan mewarnai mitologi Jawa, sebagai puncak
ketenangan, kesenangan dan sumber kesaktian. Ketika
manusia mengalami tekanan kehidupan, hubungan
seksual dapat menjadi sumber mencari ketenangan
kehidupan. Dari keyakinan ini, menilik sejarah Raja-Raja
Jawa, maka perempuan menjadi salah satu indikator
kekuatan dan kesaktiannya. Hubungan seks antara laki-
laki dan perempuan diyakini dapat menjadi puncak untuk
mendekatkan diri kepada ketenangan di alam lain.
Kosmologi yang terbentuk menjadikan seks sebagai ritual
untuk dapat menarik berkah, ketenangan, kesaktian dan
kesuburan dari Alam lain. Tidak heran, dalam berbagai
61 Dimaknai sebagai laki-laki paling sakti di seluruh dunia. 62 Lihat ulasan lebih lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup
Jawa, (Tangerang : Cakrawala, 2003), 47-49
Ritual dalam Perspektif Sosiologis 65
ritual yang berbasis kosmologi Jawa, ritual seks menjadi
salah satu wujud untuk mendapat keberkahan dan
ketenangan di dunianya, karena seks dianggap sebagai
sesuatu yang sakral dan sebagai sarana untuk dapat
bertemu dengan Tuhan.
Top Related