Tugas toksikologi fix aja

17

Click here to load reader

Transcript of Tugas toksikologi fix aja

Page 1: Tugas toksikologi fix aja

TATA LAKSANA KERACUNAN BOTULINUM

Keracunan Massal Karena Bakteri Botulinum

Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Toksikologi

Anggota kelompok :

1. Dewi Gayatri W. 102210101057

2. Rizqy Kiromin B. 102210101058

3. Imandyah Novitasari 102210101060

4. Dian Ayu Eka P. 102210101061

5. Dwi Puspita Sari 102210101062

6. Alief Rizky 102210101063

7. Eka Putri P. 102210101064

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2013

Page 2: Tugas toksikologi fix aja

I. PENDAHULUAN

Makanan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh manusia. Makanan tidak

hanya dituntut cukup dari segi zat gizi, tetapi juga harus aman bila dikonsumsi. Peranan

sanitasi menjadi sangat penting sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan tumbuh dan

berkembangnya mikroba pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan, dan

bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Sanitasi merupakan

bagian penting dalam industri pangan yang harus dilaksanakan dengan baik. Dalam

industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam persiapan,

pengolahan dan pengemasan produk makanan, pembersihan, dan sanitasi pabrik serta

lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja. Kegiatan yang berhubungan dengan produk

makanan meliputi pengawasan bahan mentah, penyimpanan bahan mentah, perlengkapan

suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan dari peralatan, pekerja dan hama

pada semua tahap selama pengolahan, pengemasan dan penggudangan produk akhir.

Kondisi sanitasi untuk menjamin keamanan makanan tradisional sangat tergantung dari

budaya praktek higiene perorangan, keluarga, masyarakat setempat, bahan mentah yang

digunakan, dan polusi lingkungan. Budaya praktek higiene perorangan, peralatan, bahan

baku, dan ruang pengolahan sangat besar peranannya dalam menentukan tingkat

pencemaran mikroba dalam makanan (Fardiaz, 1998).

Keracunan makanan disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang mengandung

senyawa beracun yang dapat bersumber dari bakteri maupun fungi. Bahan pangan dapat

bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogen dan

organisme lain penyebab penyakit, yang bila berkembang dalam jumlah yang cukup tinggi

dapat menimbulkan penyakit setelah dikonsumsi manusia (Jenie, 1996). Secara umum,

istilah keracunan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme mencakup gangguan-

gangguan yang diakibatkan termakannya toksin yang dihasilkan organisme tertentu dan

gangguan akibat infeksi organisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat ditemukan secara

alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu produk metabolis toksik yang

dihasilkan suatu mikroorganisme (Scott, 2006).

Mikroba dapat menyebabkan penyakit atau keracunan dengan cara mengeluarkan

toksin ke dalam makanan atau ikut tertelan bersama makanan yang dikonsumsi. Bakteri

penyebab keracunan antara lain adalah Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus,

Pseudomonas cocovenenans, sedangkan dari golongan fungi antara lain adalah Aspergillus

flavus dan A. parasiticus, dll (Dewanti, 1996). Berdasarkan klasifikasi diatas, ada dua

intoksikasi pangan utama yang disebabkan oleh bakteri yaitu botulism yang disebabkan

oleh Clostridium botulinumdan intoksikasi Staphilokoki, disebabkan oleh toksin yang

dihasilkan oleh Sthaphylococcus aureus (Dewanti, 1996).

Clostridium botulinum merupakan bakteri Gram-positif yang dapat membentuk

spora tahan panas, bersifat anaerobik, dan tidak tahan asamtinggi. Toksin yang dihasilkan

dinamakan botulinum, bersifat meracuni saraf (neurotoksik) yang dapat menyebabkan

paralisis. Toksin botulinum bersifat termolabil. Pemanasan pangan sampai suhu 80°C

Page 3: Tugas toksikologi fix aja

selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora bersifat resisten terhadap

suhu pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan pembekuan (

BPOM RI, 2010).

Botulisme karena makanan adalah penyakit parah. Keracunan ini akibat konsumsi

preformed botulinum neurotoxin dalam makanan dengan sedikit 30 ng neurotoxin dapat

menyebabkan penyakit dan bahkan kematian. Konsumsi sedikit 0.1g makanan di mana

Clostridium botulinum yang tumbuh dapat menyebabkan botulisme. Botulisme karena

makanan terutama terkait dengan dua fisiologis dan genetika yang berbeda dari clostridia

proteolitik C. botulinum C. botulinumand nonproteolytic. Proteolitik C. botulinumis

mesofil, dengan pertumbuhan minimal suhu 10 ° C-12 ° C, sedangkan C. botulinumis non-

proteolitik merupakan psychrotroph yang tumbuh dan membentuk toksin pada suhu 3,0 °

C ( M.W Peck dkk, 2006 ).

II. FARMAKOKINETIKA / TOKSIKOKINETIK

Sejauh ini absorpsi dari toksin botulinum memiliki banyak asumsi, ada yang

menyebutkan bahwa toksin ini diabsorbsi melalui saluran pernafasan. Selain itu juga ada

yang menyebutkan bahwa botulinum diabsorpsi dari permukaan mukosa. Distribusi serta

bioavailabilitas toksin ini sendiri adalah sebagai berikut: (Lance Lance L Simpson Ph D L.

Simpson, Ph.D., 2009)

In vitro

darah: 100%

serum: 88%

In vivo

darah: 100%

Serum: 85%

Serum albumin binding: 27% Ca dalam keadaan terikat and 73% Ca dalam keadaan bebas

Racun botulinum diabsorbsi dari saluran intestinal atau bagian terinfeksi yang

dibawa melalui sistem limfatik, dan dari saluran usus dibawa oleh aliran darah ke ujung

neuromuskuler. Toksin membedakan tipenya terhadap afinitasnya pada jaringan saraf,

dengan tipe A yang berarti memiliki afinitas terbesar. Toksin masuk ke ujung syaraf guna

memberikan efek, dengan mengikatkan racun pada kedua perifer dan pusat saraf yang

selektif dan saturable (WHO, 1999).

III. MEKANISME KERACUNAN

Botulisme ditandai dengan symmetrical, descending dan flaccid paralysis of motor

pada saraf otonom serta biasanya diawali pada saraf kranial. Hal ini terjadi ketika transmisi

neuromuskuler terganggu oleh neurotoxin protein yang diproduksi oleh pembentuk spora,

anaerob obligat bakteri Clostridium botulinum. Kelumpuhan dimulai dari saraf kranial,

kemudian mempengaruhi ekstremitas atas, otot-otot pernapasan, dan, akhirnya ekstremitas

bawah dalam pola proksimal-to-distal. Dalam kasus yang parah, kelumpuhan otot

Page 4: Tugas toksikologi fix aja

pernapasan yang luas menyebabkan kegagalan ventilasi dan kematian kecuali perawatan

suportif disediakan (Nantel, 2009).

Botulisme pada manusia terutama disebabkan oleh Clostridium botulinum yang

memproduksi toksin tipe A, B dan E. Jenis racun yang diproduksi oleh Clostridium F

baratii dan tipe E toksin yang dihasilkan oleh Clostridium butyricum juga telah terlibat

dalam kasus botulisme manusia. Strain C. botulinum yang memproduksi tipe C atau tipe D

racun untuk sebagian besar penyebab botulisme hanya pada spesies non-manusia (Nantel,

2009).

Meskipun tujuh neurotoksin (A, B, C, D, E, F dan G) secara genetik berbeda,

neurotoksin tersebut memiliki berat molekul yang sama dan memiliki struktur subunit

umum. Urutan asam amino yang lengkap dari berbagai serotipe menjadi dikenal. Urutan

daerah homologi antara serotipe dan racun botulinum antara dan toksin tetanus,

menunjukkan bahwa mereka semua menggunakan mekanisme serupa. Racun disintesis

sebagai polipeptida rantai tunggal dengan massa molekul sekitar 150 kDa. Dalam bentuk

ini, molekul racun berpotensi relatif sedikit sebagai agen neuromuskuler. Aktivasi

neurotoxin memerlukan modifikasi dua langkah dalam struktur tersier protein (Nantel,

2009).

Semua racun botulinum memiliki aktivitas racun yang sama di mana racun ini

mengganggu transmisi impuls saraf dengan menghambat pelepasan sambungan

neuromuskuler asetilkolin. Efeknya tahan lama, tetapi juga reversibel, sebagai terminal

saraf baru tumbuh untuk menggantikan yang sebelumnya telah dihambat (Ting and

Anatoli, 2004).

Botulinum neurotoxin akan mencapai terminal saraf pada neuromuskuler. Botulinum

neurotoxin tersebut mengikat membran saraf dan bergerak ke dalam sitoplasma dari

terminal akson serta memblokir rangsangan transmisi sinaptik sehingga menyebabkan

flaccid paralysis. Ada tiga langkah yang terlibat dalam memediasi racun ini yaitu

internalisasi, reduksi disulfida, dan penghambatan translokasi pelepasan neurotransmitter.

Toksin botulinum bekerja dengan memasukkan ujung sarafnya untuk memberikan efek,

mengikat racun pada kedua perifer dan saraf pusat secara selektif. Setengah dari C-

terminal berpengaruh pada spesifisitas kolinergik dan bertanggung jawab untuk berikatan,

sedangkan rantai lainnya adalah bagian intraseluler beracun. Jika ikatan disulfida yang

menghubungkan dua rantai rusak sebelum toksin diinternalisasi oleh sel, rantai tidak bisa

masuk dan toksisitas akan hilang. Toksin menghambat pelepasan asetilkolin tetapi tidak

pada sintesis atau penyimpanannya. Toksin botulinum adalah endopeptida khusus untuk

komponen protein dari aparatus neuroeksositosis. Toksin botulinum memotong

synaptobrevin dan protein membran vesikel sinaptik. Jenis-jenis toksinn A, C dan E

bekerja pada protein membran presinapsis sedangkan tipe A dan E membelah SNAP-25

dan serotipe C memecah syntaxin (Nantel, 2009).

Page 5: Tugas toksikologi fix aja

IV. MANIFESTASI KLINIK

Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh intoksikasi terlihat setelah 3-12 jam setelah

memakan bahan makanan tersebut dan ditandai oleh muntah-muntah dan diare (Dewanti,

1996). Clostridium botulinum (Botulism) memiliki masa inkubasi selama 12-36 jam.

Gejala yang dirasakan bisa berupa gangguan pencernaan akut yang diikuti oleh pusing-

pusing dan muntah-muntah, bisa juga diare,lelah, pening dan sakit kepala. Gejala lanjut

konstipasi, double fision, kesulitan menelan dan berbicara, lidah bisa membengkak dan

tertutup, beberapa otot lumpuh, dan kelumpuhan bisa menyebar kehati dan saluran

pernafasan. Kematian bisa terjadi dalam waktu tiga sampai enam hari (Siagian, 2002).

Pada keracunan yang disebabkan oleh Clostridium botulinum, terdapat beberapa

macam rute pemaparan, seperti secara peroral, inhalasi, transdermal, mata, dan parenteral.

Kejadian keracunan ini juga bisa terjadi pada bermacam golongan individu, seperti bayi

dan orang dewasa. Adapun rute keracunan peroral dan botulisme pada bayi serta pada

orang dewasa adalah sebagai berikut :

1. Botulisme karena Makanan

Gejala awal terjadi setelah 18-36 jam pasca konsumsi. Terjadi kekacauan pada

gastrointeestinal seperti mual, muntah, kram perut, atau diare. Sembelit akan terjadi

dan mendominasi setelah timbulnya gejala neurologis. Gejala awal adalah mulut

kering danmengaburkan penglihatan . Hal ini bisa diikuti oleh ophthalmoplegia,

dysarthria, dan disfagia. Kelainan dari tengkorak saraf diikuti oleh pola kelamahan

tipe descending simetris dan kelumpuhan. Setelah saraf kranial, toksin akan

mempengaruhi otot-otot pernapasan. Jika telah parah, kelumpuhan otot pernapasan

akan terjadi dan dapat menyebabkan kegagalan pernafasan dan kematian (Shapiro et

al, 1998).

2. Botulisme pada Bayi

Botulisme pada bayi terjadi pada anak-anak kurang dari usia satu tahun dan sebagian

besar berumur 6 bulan. Gejala klinis yang ditimbulkan sangatlah bervariasi. Sembelit

merupakan gejala awal dari botulisme ini, yang dapat didefinisikan sebagai 3 atau

lebih hari tanpa buang air besar. Progresif kelemahan dan kehilangan nafsu mengikuti

gejala ini setelah beberapa minggu. Gejalanya lain meliputi kelesuan, kesulitan

mengisap dan menelan, hypotonia, dan hilangnya kontrol kepala. Gejala neurologis

mungkin akan terjadi termasuk ptosis, ophthalmoplegia, muntah, mulut kering, dan

kandung kemih neurogenik (Nantel et al, 1999).

3. Botulisme pada Dewasa

Gambaran klinis botulisme menular dewasa mirip dengan botulisme karena makanan

kecuali untuk simtomatologi gastrointestinal awal. Interval antara paparan makanan

dan timbulnya gejala klinis dapat terjadi satu bulan atau lebih.

Page 6: Tugas toksikologi fix aja

V. PENEGAKAN DIAGNOSIS

1. Botulisme karena makanan

Ini harus dicurigai pada pasien dengan gejala gastro-intestinal akut terkait dengan

otonom (mulut kering, kesulitan fokus mata) dan disfungsi saraf (ptosis, diplopia,

dysarthria, dysphagia). Diagnosis awal harus dibuat atas dasar sejarah riwayat pasien

dan temuan fisik yang ada. Tes konfirmasi mungkin butuh beberapa hari untuk

dilakukan. Serum dan sampel makanan yang diduga harus diuji terkait ada tidaknya

botulisme. Uji inokulasi pada tikus masih merupakan uji yang paling dapat

diandalkan. Spesimen tinja harus dilakukan tes uji C. botulinum sebagai tes

konfirmasi. Isolasi C. botulinum dilakukan pada makanan yang dicurigai mengandung

C.botulinum.

2. Luka Botulisme

Spesimen eksudat luka, sampel jaringan, atau sampel hasil swab harus dilakukan

pengembangbiakan secara anaerob untuk uji toksin. Sebuah spesimen tinja harus

diperoleh untuk mendapatkan koloni usus sebagai sumber racun.

3. Botulisme pada bayi

Ini harus dicurigai pada bayi yang terjadi sembelit, nafsu makan yang buruk,

kelemahan otot perifer, atau tekanan ventilasi. Kultur tinja untuk C. botulinum dan

pengujian untuk kehadiran racun dalam tinja harus dilakukan pada pasien tersebut.

4. Botulisme menular dewasa

Ini adalah penyakit langka dan harus dicurigai pada pasien dengan beberapa kelainan

gastrointestinal yang berkembang pada kelainan saraf kranial dan disfungsi otonom,

serta kelemahan otot. Endogen produksi antibodi terhadap toksin botulinum telah

dijelaskan.

5. Botulisme sengaja

Hal ini dapat dicurigai pada sejarah pasien yang mendapat suntikan toksin botulinum,

terutama dalam skala besar melalui otot untuk medapatkan efek sistemik atau mungkin

dalam upaya bunuh diri.

VI. PENATALAKSANAAN

Prinsip-prinsip umum penatalaksanaan penanganan keracunan :

a. Terapi suportif

b. Upaya pembatasan penyebaran racun

c. Meningkatkan aksi pengakhiran racun

d. Pemilihan strategi terapi antidot bergantung pada informasi tentang rentang waktu

kejadian dan pengetahuan kinetika absorpsi, distribusi & eliminasi racun.

Tindakan Pertolongan Pertama

Page 7: Tugas toksikologi fix aja

Mengosongkan perut dengan metode pembilasan lambung (gastric lavage) atau

induksi rangsangan muntah seperti dengan pemberian sirup ipecac. Hal ini dapat dilakukan

jika makanan yang dicurigai baru dikonsumsi dalam waktu 1 jam. Namun metode tersebut

tidak perlu dilakukan bila pada pasien menunjukkan gejala neurologis. Selain itu dapat

juga dengan memberikan arang aktif dan garam katarsis (seperti sorbitol) sebagai

penetralan asam- basa, namun hal tersebut tidak perlu dilakukan bila diketahui adanya

magnesium. Magnesium dapat mempotensiasi blok neuromuskuler. Pada pertolongan

pertama perlu dilakukan penjagaan jalan napas.

Pemberian antitoksin Trivalent ABE (antitoksin tipe A 7500 IU, antitoksin tipe B

5500 IU, dan tipe E 8500 IU) per pasien. pertama perlu dilakukan uji kesensitivitasan

serum dengan menyuntikkan 0,1 ml antitoksin pada pengenceran 1:10 dalam garam

intradermal. Lalu memantau setiap reaksi yang ditimbulkan selama 15 menit sebelum

pemberian dosis penuh. Jika terjadi reaksi maka dosis dan laju infus harus dikurangi dan

reaksi yang ditimbulkan harus diobati. Pemberian antitoksin dosis tunggal biasanya cukup

untuk penanganan pasien keracunan.

Penanganan botulisme pada bayi tidak disarankan untuk menggunakan antitoksin

Equine botulinum karena berpotensi risiko anafilaksis, serum sickness, atau sensitisasi dari

bayi kuda antigen. Sedangkan botulisme menular pada dewasa memerlukan adanya

pengulangan pemberian antitoksin trivalen setelah pemberian dosis pertama karena

dihawatirkan terjadi evolusi bakteri dalam jangka panjang.

Pada Foodborne botulism atau Botulisme bawaan makanan diperlukan satu botol

equinantitoksin atau antitoksin kuda yang harus diberikan secara infus (terdiri dari 7500

unit antitoxins tipe A, 5500 unit antitoxins tipe B dan 8500 unit antitoxins tipe E (Shapiro,

1998). Karena berisiko reaksi alergi terhadap serum kuda, sehingga pasien harus ditanya

tentang riwayat asma, demam atau reaksi alergi ketika kontak dengan kuda. Untuk

penanganan jika diperlukan segera maka solusi chlorhydrate epinefrin (1:1000) 1 mL harus

selalu tersedia.

Uji sensitivitas mata atau kulit harus dilakukan sebelum pemberian antitoksin kuda.

Untuk Tes sensitivitas kulit dilakukan dengan cara 0,1 mL serum antitoksin diencerkan

pada 1:100 saline normal kemudian diberikan secara injeksi subkutan. Jika ada riwayat

alergi positif, dosis harus dikurangi menjadi 0,05 ml pengenceran 1:1000 dengan injeksi

subkutan. Penafsiran hasilnya dilakukan setelah 5 sampai 30 menit. Tes dianggap positif

jika papul dengan hyperemic areola terjadi. Ukuran papula dan dari zona hyperemic

memberikan indikasi tingkat sensitivitas pasien dan risiko efek negatif terhadap pemberian

antitoksin. Tes sensitivitas kulit negatif tidak sepenuhnya memberikan kemungkinan

pengecualian terhadap reaksi serum sehingga perlu dilakukan beberapa uji sensitivitas

yang lainnya. Terkecuali pada anak-anak, tes mata jauh lebih mudah untuk dilakukan

namun menghasilkan reaksi yang kurang spesifik. Tes sensitivitas mata dilakukan dengan

cara setetes serum antitoksin diencerkan sampai 1:10 dalam larutan saline normal

Page 8: Tugas toksikologi fix aja

kemudian ditanamkan dalam satu mata. Solusi kontrol yang hanya berisi saline normal

ditanamkan pada mata yang lain. Air mata dan konjungtivitis menunjukkan reaksi positif.

Reaksi yang timbul setelah pemberian serum antitoksin kuda antara lain reaksi

anafilaktik dan demam. Ketika reaksi anafilaktik terjadi maka segera diberikan 0,5 mL

larutan epinefrin chlorhydrate 1:1000 secara subkutan atau Intramuskular. Untuk terjadinya

demam, hal ini dapat terjadi 20 sampai 60 menit setelah pemberian antitoksin yang

ditandai dengan menggigil, sedikit dyspnea dan demam. Serum sicknes juga dapat terjadi

hingga 2 minggu setelah pemberian antitoksin. Tanda-tanda dan gejala nya adalah sebagai

berikut: demam, ruam kulit, edema, pembengkakan kelenjar, dan nyeri artikular. Reaksi

urtikaria dapat merespon karena pemberian epinefrin. Pada kasus yang lebih parah

mungkin memerlukan pemberian kortison.

Pada luka botulisme memiliki cara pengobatan yang mirip dengan botulisme bawaan

makanan. Penggunaan terapi antitoksin kuda tidak dianjurkan pada anak-anak (Shapiro et

al, 1998). Namun, keamanan dan kemanjuran produk antitoksin manusia yang diturunkan

(botulism manusia immune globulin) sedang diselidiki di California (AS) untuk digunakan

pada bayi.

Pada Botulisme menular, protokol antitoksin yang diperlukan adalah sama seperti

pada keracunan bawaan makanan. Namun, dosis tambahan antitoksin mungkin akan sangat

diperlukan. Pada anak-anak maka protokol untuk administrasi antitoksin trivalen ini mirip

dengan yang digunakan pada orang dewasa.

VII. PENUTUP

Keracunan makanan dengan bakteri C. Botulinum perlu ditatalaksana secara

serius dan tepat karena jika tidak segera ditangani dengan cepat akan menyebabkan

kematian. C. Botulinum dapat mengganggu transmisi impuls saraf dengan menghambat

pelepasan sambungan neuromuskuler asetilkolin. Dengan tatalaksana yang tepat

kerusakan akibat keracunan yang mungkin timbul dapat diminimalisir, bahkan

sebelum gejala keracunan tersebut terdeteksi. Apabila dicurigai telah terjadi keracunan

C. Botulinum, segera hubungi Sentra Informasi Keracunan atau dokter setempat untuk

mendapatkan informasi dan petunjuk seputar penanganan keracunan.

PUSTAKA

1. Albert J Nantel, Scientific Adviser.1999. Clostridium Botulinum : International

Programme on Chemical Safety Poisons Information Monograph 858 Bacteria. World

Health Organization.

2. BPOM RI, 2010. Bidang Informasi Keracunan. Data Keracunan Makanan dan Minuman

Per Propinsi Tahun 2007-2009.

3. CDC. 1998. Botulism In The United States 1899-1996: Handbook for Epidemiologist,

Clinicians, and Laboratory Workers. USA

Page 9: Tugas toksikologi fix aja

4. Dewanti, R. 1996. Keracunan Pangan Oleh Mikroba. Makalah Pelatihan CFNS IPB Dirjen

Dikti Depdikbud. Bogor 21 Oktober - 2 November 1996.

5. Fardiaz, D. 1998. Peluang, Prospek, Kendala dan Strategi Pengembangan Makanan

Tradisional. Makalah Seminar. PKMT LP IPB- PAU Pangan Dan Gizi. IPB. Bogor 21

Pebruari 1998.

6. Jenie, B.S.L. 1996. Teknik Sanitasi Dalam Industri Pangan. Makalah Pelatihan. CFNS

IPB-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Dikti. Bogor 21 Oktober - 2

November 1996.

7. Krisno, Agung. 2011. Keracunan Makanan oleh Clostridium botulinum

dan Pencegahannya. http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/14/keracunan-

makanan-oleh-clostridium-botulinum-dan-pencegahannya/. (diakses pada tangal 12 Mei

2013).

8. Nante, Albert J . 1999. Clostridium Botulinum. World Health Organization.

9. Peck M.W, K.E. Goodburn, R.P. Betts, and S.C. Stringer. 2006. Clostridium Botulinumin

Vacuum Packed (VP) and Modified Atmosphere Packed (MAP) Chilled Foods. UK.

Institute of Food Research, Norwich.

10. Scott, V.N. 2006. Biological Hazard and Controls. In HACCP: A Systemic Approach to

Food Safety. Food Product Association: 19-35.

11. Scott, V.N dan Stevenson, K.E. 2006. In HACCP: A Systemic Approach to Food Safety.

Food Product Assosiation. Washington.

12. Shapiro RL, Hatheway C, Becher J, Swerdlow DL. 1997. Botulism surveillance and

Emergency Response. JAMA, 278(5): 433-435.

13. Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanandan Sumber Pencemarannya.

www.repository.usu.ac.id(Diakses pada tanggal 12 Mei 2013).

14. Ting, Patricia T. dan Anatoli Freiman. 2004. The Story of Clostridium botulinum : from

food poisoning to Botox. Clinical Medicine, 4 (3) : 258 – 261.

15. http://neuromuscular.wustl.edu/nother/bot.htm

Page 10: Tugas toksikologi fix aja

Keracunan Massal Karena Bakteri Botulinum

Ono

Rabu, 16/06/2010 09.00 WIB

BOYOLALI – Kasus keracunan massal yang menimpa puluhan warga Desa Papringan,

Kecamatan Kaliwungu, Semarang, diduga karena kontaminasi bakteri Botulinum yang berasal

dari daging sapi pada makanan sosis. Sedangkan snack yang dikonsumsi warga, ternyata dipesan

dari salah satu katering di Boyolali. Menurut Staf Ahli Bupati Bidang Kesra, dr. Syamsudin

Mkes, dari gejala – gejala yang ditunjukkan, diduga kuat mereka terkontaminasi bakteri

Botulinum. ―Gejalanya antara lain mual muntah, sakit kepala, tekanan darah turun, serta

mengalami dehidrasi yang mengakibatkan demam tinggi,‖ terang Syamsudin, Selasa (15/6).

Jika terlambat ditangani, jelas Syamsudin, keracunan itu bisa berujung kematian. Hal itu karena

kekurangan cairan atau dehidrasi. Kontaminasi bakteri itu disebabkan kurang higienisnya

pengolahan makanan. Jika benar penyebab keracunan sosis, kontaminasi terjadi saat

pencampuran daging sapi ke dalam sosis, atau bisa jadi daging tersebut masih kurang matang.

―Bisa juga disebabkan faktor penjamahan manusianya. Semestinya masak dagingnya benar –

benar matang dan cara pengambilan daging tidak dengan tangan telanjang,‖ papar dia.

Menurut Syamsudin keracunan dipengaruhi tiga faktor, yakni tingkat keganasan bakteri, dosis

bakteri, serta daya tahan manusianya. Sedangkan masa inkubasi bakteri menurut dia sangat

cepat, berkisar empat sampai delapan jam, namun biasanya di bawah empat jam sudah

menunjukkan gejala – gejala keracunan.

Sementara itu, empat pasien yang dirawat di RSU Pandanarang sejak Minggu (13/6) kondisinya

sudah membaik. Selain mereka, empat warga lain yang keracunan juga dirawat di RSU

Pandanarang.

―Sudah membaik, tapi kemarin sore ada empat warga lagi yang dirawat di sini, dua pindahan dari

PKU dan duanya dari rumah,‖ terang Kepala Desa Papringan, Susanto.

Dikatakan, makanan yang dikonsumsi warga ternyata dipesan dari salah satu katering di

Kelurahan Winong, Boyolali Kota. Namun mengenai kepastian kontaminasi kuman masih

menunggu hasil laboratorium di Semarang.

Terpisah, dokter yang menangani pasien, dr. DM Rezali Siregar mengaku pihaknya belum tahu

jenis racun yang mengontaminasi para pasien. Dibutuhkan uji klinis laboratorium, dan itu sudah

dilakukan di Semarang. Dia mengaku hanya berkonsentrasi memperbaiki kondisi pasien, di

antaranya dengan melokalisasi racun dan menghilangkannya dari tubuh korban. (ono)

Sumber :

http://edisicetak.joglosemar.co/berita/keracunan-massal-karena-bakteri-botulinum-17856.html

Page 11: Tugas toksikologi fix aja

Diduga Terkontaminasi Bakteri Botulinum

15 Juni 2010 | 21:15 WIB

Boyolali, CyberNews. Kondisi empat warga Desa Papringan, Kecamatan Kaliwungu,

Kabupaten Semarang korban keracunan yang menjalani rawat inap di RSU Pandan Arang

Boyolali semakin membaik. Pasien sudah tidak lagi mengeluh pusing dan perutnya mulas.

"Kondisinya sudah membaik. Tetapi untuk kasus keracunan, perlu juga dilakukan diagnosa tegak

yaitu cek silang hasil analisa dokter dengan hasil penelitian sampel makanan yang diduga

menyebabkan keracunan," ungkap Direktur RSU Pandan Arang Boyolali dokter Andarwati,

Selasa (15/6).

Dia menambahkan, pihak rumah sakit tidak bisa melakukan diagnosa tegak atas kasus keracunan

yang dialami empat warga Papringan. Pihak rumah sakit hanya melakukan pengobatan dan

perawatan terhadap seluruh pasien. Pasalnya, kejadiannya tidak berada di wilayah Boyolali.

Sehingga, perlu ada koordinasi lintas wilayah dengan Kabupaten Semarang dalam penanganan

kasus keracunan tersebut. "Untuk mengetahui penyebab keracunan tergantung hasil pemeriksaan

dari Puskesmas setempat dan Dinkes Kabupaten Semarang. Kami khusus melakukan perawatan

terhadap korban secara maksimal."

Kasus keracunan tersebut juga mendapat perhatian Staf ahli bupati Boyolali bidang Kesra dan

SDM, dokter Syamsudin. Menurutnya, bila dilihat dari makanan yang disantap para korban maka

yang diduga mengandung racun adalah sosis. Diduga para korban terkena bakteri botulinum.

Bakteri tersebut memiliki masa inkubasi sangat cepat yakni antara dua hingga delapan jam.

Korban akan mengalami gejala pusing, demam dan mual. "Bahkan diare yang disertai dehidrasi."

(Joko Murdowo / CN14)

Sumber :

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/06/15/57017

Page 12: Tugas toksikologi fix aja

Two children with botulism poisoning after eating Loyd

Grossman sauce 'are brother and sister aged under 10'

Sauces with best-before date of February 2013 and batch code 1218R 07:21 are affected

By Sean Poulter

UPDATED: 12:25 GMT, 15 November 2011

Danger: A batch of 47,000 jars of korma sauce have been recalled after two

children were hospitalised with botulism poisoning

The two children struck down by botulism poisoning after eating a Loyd

Grossman curry sauce are a brother and sister both aged under 10,

MailOnline can reveal.

The children are being cared for in a Scottish hospital where they are said

to be in a serious but improving condition.

They became ill after eating a jar of Loyd Grossman korma sauce, which

comes from a batch of 47,000 that have been distributed across the country, and have now been

recalled.

Mr Grossman, who developed the recipe for the sauces, was 'in shock' after hearing about the

poisoning.

His agent Peter Schnabl told MailOnline: 'Loyd is very upset and distressed at the minute.

'It was a such a big shock when he was told about the illness of the children. He's devastated. It's

all very upsetting.

'Loyd's not just putting his name to the products, it's a full involvement.

'We're furiously trying to figure out what has happened.

'Loyd will be leading the charge in finding out who's responsible. He's not happy about it.'

In theory, the cooking process, which involves boiling the sauce for more than five minutes,

should kill any harmful bacteria.

Mr Schnabl said: ‗We are trying to find out exactly what has happened. As far as we are

concerned the bacteria should have been removed in the production process.

‗We can‘t really fathom out what exactly happened. Premier are furiously trying to find out,

along with the Food Standards Agency, what exactly has happened.‘

The sauce is made by Premier Foods, the UK‘s largest food manufacturer, which is responsible

for more than 40 household brands including Mr Kipling, Hovis, Branston, Bisto and Oxo.

A spokeswoman for NHS Forth Valley said the brother and sister are in a 'stable and improving'

condition.

Page 13: Tugas toksikologi fix aja

The FSA has advised the public not to consume jars of the sauce as it may pose a risk of

botulism poisoning. It said a batch of the korma sauce has been recalled and is being removed

from shop shelves.

Setback: Loyd Grossman, who insists on tasting each new

recipe, is said to be very distressed about the poisoning

The product recall relates to 350g jars of Loyd Grossman

Korma sauce with a best-before date of February 2013 and a

batch code of 1218R 07:21.

Botulism is caused by toxins produced by the bacterium

Clostridium botulinum, which is the deadliest naturally

occurring poison in the world and attacks the nervous

system.

The illness can be fatal in up to 10 per cent of cases, and victims can take many months to

recover.

Symptoms of food-borne botulism, which include blurred vision and difficulty swallowing and

speaking, can rapidly get worse and lead to muscle weakness and paralysis.

The symptoms typically begin between 12 and 36 hours after eating a contaminated meal, but

may appear in as little as six hours.

Anyone suffering these symptoms after eating the product is being advised to seek medical help

urgently.

The infection cannot be spread from person to person.

While the initial cases of illness have occurred in Scotland, the FSA and Scottish health

authorities have issued a UK-wide alert.

The FSA said: ‗Anyone who has any of the jars from this batch of Loyd Grossman Korma sauce

should not eat it.

‗Two members of the same family who have contracted botulism and have eaten from a jar of

this batch of sauce have been hospitalised in Scotland.

‗Only one jar from the batch is known to have been contaminated with Clostridium botulinum,

which causes botulism, but the agency is advising people not to eat products from this batch as a

precautionary measure.‘

Dr John Cowden, consultant epidemiologist at Health Protection Scotland, said: ‗People can be

reassured that botulism is rare in the UK.

‗Any person, child or adult, with the symptoms should seek urgent medical advice. Anti-toxins

have proved very effective in treating the condition if treated early, although full recovery may

take several months.‘

Page 14: Tugas toksikologi fix aja

Supermarket staples: A selection of the other popular

brands names that are made by Premier Foods, which

manufactured the korma sauce

There is a risk that thousands of jars from this batch

are sitting in kitchen cupboards and small independent

corner shops across the country.

The sauce was made at a factory run by Premier Foods

in Bury St Edmunds, Suffolk. Council health experts have visited the premises.

The same factory also makes own-label products for the big four supermarkets, Tesco, Asda,

Sainsbury‘s and Morrisons, plus big brands like Branston pickle and Haywards brand pickled

onions, piccallili, and beetroot.

‘This is a really nasty illness. Everyone is taking this extremely seriously'

A source close to the investigation said: ‗This is a really nasty illness. Everyone is taking this

extremely seriously.

‗Other jars from the same batch are being tested for the presence of botulism, while talks are

being held with the company to find out just how it got in there.

‗People need to check whether they have this product sitting in their cupboards. The important

thing is that people just do not eat it.‘

The news will be a heavy blow to the reputation of the TV food guru‘s line of products, which

includes curry and pasta sauces.

The products are marketed on the basis that they use ‗only the very best ingredients‘.

A PARALYSING ILLNESS

Botulism is a rare but serious illness which can lead to paralysis.

It can be caused either by ingesting the botulinum toxin or by contamination

in a wound. It cannot be transferred from person to person.

Botulism can lead to paralysis which usually starts with the muscles in the

face - particularly those in the eyes and those used for chewing - and spreads

towards the limbs.

In severe cases the breathing muscles can become paralysed, causing

respiratory failure.

Botulism can be prevented by killing the spores by cooking food at about

121°C for three minutes.

Treatment for respiratory paralysis can require a patient to be on a ventilator

for weeks as well as being treated in intensive care.

After several weeks, the paralysis usually slowly improves.

Page 15: Tugas toksikologi fix aja

Food poisoning: A close-up of the Clostridium botulinum bacteria which causes botulism in

humans.

Mr Grossman has promoted the sauces saying: ‗I love food and believe great food comes from

care and attention to detail. That‘s why I insist on tasting every recipe until it‘s just right.‘

Spores of Clostridium botulinum are normally found in soil and can get into food products via

contamination of farmers‘ fields.

There have been cases in the past – although extremely rare – of the spores and associated toxin

being found in food sold in cans and jars.

The NHS website says just 500g of the toxin ‗is enough to kill every human being on the planet‘,

adding: ‗The toxins... block a special type of chemical called a neurotransmitter.

Neurotransmitters send messages from your brain to the rest of your nervous system.

‗In the case of botulism, the toxin blocks the effects of a neurotransmitter called acetylcholine,

which is used by your body to help stimulate muscles. If acetylcholine is blocked, it causes

paralysis which, if left untreated, can lead to death.‘

It is believed that the suspect product comes from a dedicated line that only produces the Loyd

Grossman Korma sauce.

The major supermarkets said that the jars have been removed from sale.

They said their own-label products made at the factory are not implicated.

A spokesman for Premier Foods said: 'The safety of consumers is of paramount importance to

us. At this stage, we understand that the incident relates to a single jar of Korma sauce.

'There is no evidence of any broader contamination, no further reports of illness have been

notified to the authorities and we have had no consumer complaints of illness related to this

product.

'We are working urgently with the authorities to investigate the cause of this incident, including

how the jar may have been transported and stored after leaving the factory.

'While these investigations are underway, we have initiated a precautionary recall of the specific

batch code in the interests of the safety of our consumers.'

Sumber :

http://www.dailymail.co.uk/news/article-2061731/Loyd-Grossman-curry-sauce-Victims-

botulism-case-brother-sister-10.html

Page 16: Tugas toksikologi fix aja

2 cases of botulism in New York linked to fresh bulk tofu

Posted By Colin Caywood on March 30, 2012

New York City Health Department is currently

investigating two cases of foodborne botulism linked to

fresh bulk tofu sold at a store in Flushing. As reported by

WABC, New York City has reported only one other

foodborne-linked botulism over the past 15 years.

The two reported cases are Chinese-speaking residents of

Queens who recently purchased the unrefrigerated bulk

tofu from the same store. According to reports, the tofu

was not made at the store and its source is under investigation.

As the investigation continues, the Health Department is advising all individuals to discard all

fresh bulk tofu purchased from any New York City store that has been kept at room

temperature at the time of purchase.

The Health Department is also warning consumers to throw away tofu that has not been stored

in a refrigerator at home.

Although botulism can be diagnosed based on clinical symptoms, its differentiation from

other diseases is often difficult—especially in the absence of other known persons affected by

the condition. Once suspected, the most direct and effective way to confirm the diagnosis of

botulism in the laboratory is testing for the presence of the botulinum toxin in the serum,

stool, or gastric secretions of the patient. The food consumed by the patient can also be tested

for the presence of toxins. Currently, the most sensitive and widely used method for the

detection of the toxins is the mouse neutralization test, which involves injecting serum into

mice and looking for signs of botulism. This test typically takes 48 hours, while the direct

culturing of specimens takes 5-7 days. Some cases of botulism may go undiagnosed because

symptoms are transient or mild, or are misdiagnosed as Guillain-Barre Syndrome.

If diagnosed early, foodborne botulism can be treated with an antitoxin that blocks the action

of toxin circulating in the blood. This can prevent patients from worsening, but recovery still

takes many weeks. The mainstay of therapy is supportive treatment in intensive care, and

mechanical ventilation in case of respiratory failure, which is common.