STUDI HISTOPATOLOGI KASUS KEMATIAN MASAL IKAN … · Degenerasi hyalin ditunjukan dengan adanya...

31
STUDI HISTOPATOLOGI KASUS KEMATIAN MASAL IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI BLITAR ANDRY JULIANTO B04090084 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

Transcript of STUDI HISTOPATOLOGI KASUS KEMATIAN MASAL IKAN … · Degenerasi hyalin ditunjukan dengan adanya...

STUDI HISTOPATOLOGI KASUS KEMATIAN MASAL

IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI BLITAR

ANDRY JULIANTO

B04090084

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Histopatologi

Kasus Kematian Masal Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Blitar adalah

benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Andry Julianto

NIM B04090084

ii

ABSTRAK

ANDRY JULIANTO. Studi Histopatologi Kasus Kematian Masal Ikan Lele

Dumbo (Clarias gariepinus) di Blitar. Dibimbing oleh DEWI RATIH

AGUNGPRIYONO dan MOKHAMAD FAKHRUL ULUM.

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan lele budidaya di

Indonesia yang berasal dari Afrika. Budidaya ikan lele dumbo masih memiliki banyak

masalah termasuk kematian masal. Salah satu metode diagnosa kejadian penyakit pada

ikan adalah histopatologi. Skripsi ini bertujuan untuk mempelajari lesi histopatologi dari

ikan lele dumbo yang mengalami kematian masal di Blitar. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penyebab kematian masal sehingga

dapat dilakukan upaya pencegahan untuk budidaya ikan lele dumbo berikutnya. Preparat

histopatologi organ ikan lele dumbo dibuat dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE),

periodic acid Schiff (PAS), Toluidin biru dan Giemsa kemudian diamati di bawah

mikroskop cahaya. Perubahan yang terjadi dianalisa secara deskriptif dan patogenesa

kejadian lesi disusun melalui studi literatur. Terdapat brankhitis, hepatitis perivaskular,

deplesi limfoid limpa, enteritis dengan enteromixosis berat, kardiomiositis, degenerasi

tubulus ginjal, degenerasi otot dan kulit. Usus diduga memiliki lesi terparah karena

parasit myxozoa Enteromyxum spp. Terdapat banyak parasit protozoa berkembang

dengan berbagai stadium di usus sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan.

Kepadatan ikan yang tinggi disertai pengeluaran eksudat enteritis menyebabkan kualitas

air menjadi buruk. Hipoksia dan ammonia yang tinggi menyebabkan kematian masal

pada kasus ini.

Kata kunci: Ikan lele dumbo, Enteromyxum spp., Penyakit ikan, Histopatologi ikan,

Kematian masal ikan.

ABSTRACT

ANDRY JULIANTO. Histopathological Study of Dumbo Catfish (Clarias

gariepinus) Mass Mortality Case at Blitar. Supervised by DEWI RATIH

AGUNGPRIYONO and MOKHAMAD FAKHRUL ULUM.

Dumbo catfish (Clarias gariepinus) is a species of catfish farming in Indonesia

originating from Africa. However, dumbo catfish farming is still have many problem

including the mass mortality. Histopathology is one of method to diagnostic fish disease.

This report aims to study the histopathological lesion from dumbo catfish mass mortality

case at Blitar. The results of this study are expected to provide information about the

cause of the mass death in order to prevent the future death in the catfish farming.

Histopathology slide of dumbo catfish organs were prepared with hematoxylin eosin

(HE), periodic acid Schiff (PAS), Toluidine Blue and Giemsa staining then examined

under a light microscope. The lesions were described and the pathogenesis was prepared

based on the literature study. There were branchitis, perivascular hepatitis, lymphoid

depletion of spleen, enteritis with severe enteromyxosis, cardiomyositis, kidney tubular

degeneration, skin and muscular degeneration. The intestine was presumed to have the

worst lesion due to myxozoan parasite infection of Enteromyxum spp. The intestinal

epithelium showed numerous and various protozoan developmental stages resulting

growth disturbances. High fish density accompanied by the discharge of enteritis

intestinal content made the decreasing of water quality. In this case, very low dissolved

oxygen and high ammonia concentration in the water lead to hypoxia and fish death.

Keywords: Clarias gariepinus, Enteromyxum spp., Fish disease, Fish histopathology,

Fish mass mortality

STUDI HISTOPATOLOGI KASUS KEMATIAN MASAL

IKAN LELE DUMBO (Clarias sp.) DI BLITAR

ANDRY JULIANTO

B04090084

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

iv

Judul Skripsi : Studi Histopatologi Kasus Kematian Masal Ikan Lele Dumbo

(Clarias gariepinus) di Blitar

Nama : Andry Julianto

NIM : B04090084

Disetujui oleh

drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D, APVet

Pembimbing I

drh. Mokhamad Fakhrul Ulum, MSi

Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini ialah

histopatologi kematian ikan, dengan judul Studi Histopatologi Kasus Kematian

Masal Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Blitar.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu drh. Dewi Ratih Agungpriyono,

Ph.D, APVet dan drh. Mokhamad Fakhrul Ulum, MSi selaku pembimbing, serta

Bapak drh. Beni Halalludin yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima

kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa

dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

Andry Julianto

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Alat dan Bahan 2

Metode Penelitian 2

Analisis Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 3

SIMPULAN 16

DAFTAR PUSTAKA 17

RIWAYAT HIDUP 21

viii

DAFTAR GAMBAR

1. Histopatologi insang menunjukan epitel lifting dan infiltrasi sel

radang makrofag. Pewarnaan HE. 4

2. Histopatologi jantung menunjukan akumulasi sel radang limfosit

disertai degenerasi hidropis pada kardiomiosit. Pewarnaan HE. 5

3. Histopatologi hati menunjukan vakuola lemak, disertai degenerasi

hidropis, inti piknosis dan sel radang. Pewarnaan HE. 6

4. Limpa mengalami deplesi folikel dan proliferasi MMC. Pewarnaan

HE. 7

5. Histopatologi lambung dan terdapat eksokrin pankreas. Pewarnaan

HE. 8

6. Histopatologi pankreas menunjukan edema interstisial dan atropi sel

asinar. Pewarnaan HE. 9

7. Histopatologi usus yang mengalami nekrotik ulseratif, hemoragi

dan infiltrasi sel radang limfosit, ditemukan koloni bakteri dan

terdapat parasit cacing di tengah lumen. Pewarnaan HE dan

Giemsa. 10

8. Infeksi parasit Enteromyxum spp. pada usus dan sel goblet.

Pewarnaan HE, Toluidin biru, PAS dan Giemsa. 11

9. Gambar makroskopis Psetta maxima yang terinfeksi Enteromyxum

scophthalmi mengalami emasiasio dan endoptalamia. Usus ikan

turbot yang terinfeksi. Pewarnaan toluidine blue. (Bermúdez et al.

2010). 12

10. Histopatologi ginjal menunjukan tubulus mengalami nekrosa

disertai degenerasi hyalin dan terdapat proliferasi MMC. Pewarnaan

HE. 14

11. Degenerasi hyalin ditunjukan dengan adanya butiran merah muda

pada intrasitoplasma pada tubulus dan terdapat proliferasi melano

macrophage center. Pewarnaan HE. 14

12. Histopatologi otot menunjukan adanya degenerasi dengan sebaran

multifokus. Pewarnaan HE. 15

13. Histopatologi kulit mengalami spongiosis, infiltrasi sel radang, dan

daerah deskuamasi pembentukan ulkus. Pewarnaan HE. 16

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah salah satu komoditas perikanan

budidaya air tawar yang mempunyai nilai tinggi di Indonesia. Berdasarkan data

perkembangan produksi ikan lele dumbo selama 5 tahun menunjukan hasil yang

signifikan yaitu sebesar 21.82% per tahun dari 69386 ton tahun 2005 menjadi

145099 ton pada tahun 2009. Pada tahun 2014 target sasaran produksi lele adalah

sebesar 900000 ton dengan kenaikan rata-rata tahun 2009-2014 sebesar 35%

(DJPB 2011). Angka tersebut dicapai dalam rangka pemenuhan kebutuhan

domestik yang tinggi seiring peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi

perkapita penduduk Indonesia.

Masyarakat pada umumnya melakukan budidaya dengan menerapkan

sistem monokultur di kolam tanah dan bak semen, namun yang banyak

berkembang saat ini adalah kolam terpal dengan kepadatan 100-200 ekor/m3

(DJPB 2011). Menurut Hermawan et al. (2012), kepadatan lebih dari 100 ekor/m3

(overstocking) dapat mengakibatkan kematian karena tingginya kompetisi antar

individu ikan. Selain itu budidaya yang intensif memudahkan ikan mengalami

stres karena lingkungan (kualitas air dan hipoksia) dan gangguan kesehatan

(parasit dan penyakit menular). Stres dan defisiensi nutrisi dapat menyebabkan

ketidakseimbangan fisiologi sehingga ikan rentan terhadap agen patogen (El-

Sayyad et al. 2010). Faktor-faktor tersebut berdampak negatif terhadap

kesejahteraan ikan dan nilai ekonomi (Oliva-Teles 2012).

Kasus kematian masal pada ikan lele merupakan salah satu kasus yang

dapat terjadi karena kondisi ini. Pencegahan dan penanggulangan perlu

diupayakan melalui penelitian dengan berbagai metode. Salah satu metode

penegakan diagnosa yang dapat digunakan untuk mengetahui penyebab kematian

pada ikan adalah dengan menggunakan histopatologi. Histopatologi adalah

pemeriksaan jaringan dengan bantuan mikroskop yang melibatkan penggunaan zat

pewarna pada bagian jaringan (Vegad 2007). Histopatologi dapat digunakan untuk

menelusuri penyakit secara mikroskopik melalui informasi dari perubahan yang

terjadi pada organ atau jaringan. Selain itu, histopatologi dapat digunakan untuk

mengetahui keberadaan infeksi penyakit, proses kejadian, dan tingkat epidemik

suatu penyakit.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari studi kasus ini adalah untuk mempelajari

gambaran histopatologi ikan lele dumbo yang mengalami kasus kematian masal di

Blitar, sehingga diperoleh diagnosis penyakit penyebab kematian.

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

penyebab kematian masal sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan untuk

budidaya ikan lele dumbo berikutnya.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Bagian Patologi. Departemen Klinik, Reproduksi

dan Patologi FKH-IPB dimulai dari bulan Juli-November 2013.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan diantaranya; buffer netral formalin (BNF) 10%,

pewarna Hematoksilin-Eosin (HE), reagen Schiff (PAS), pewarna giemsa,

pewarna toluidin biru, litium karbonat, larutan sulfit 10%, asam periodat 1%,

asam asetat 1%, larutan NaCl 1%, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, silol, minyak

emersi, gelas objek, gelas penutup, mikroskop, dan kamera. Bahan berupa sampel

ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang berasal dari salah satu lokasi budidaya

di Blitar tahun 2012. Sebanyak sembilan kolam dengan jumlah populasi dan umur

yang seragam, dilaporkan mengalami kejadian kematian masal. Dari 9 kolam

tersebut hanya terdapat satu kolam dengan jumlah populasi 50% yang tersisa.

Gejala klinis yang ditunjukan adalah ikan berenang ke segala arah disertai

lompatan ke permukaan kolam kemudian lemas dan mati. Lesio khusus pada

tubuh bagian luar ikan tidak ditemukan, namun insang terlihat coklat dengan

darah coklat kehitaman. Pemberian jenis pakan tipe floating yang sama tidak

menyebabkan kematian pada kolam lainnya. Kepadatan ikan mencapai 400

ekor/m3 dengan air kolam bersumber dari sungai dan sumur bor. Dilakukan

analisis kimia air dari beberapa kolam untuk mengetahui pengaruh kualitas air

terhadap kematian ikan lele dumbo tersebut. Adapun organ yang diperiksa pada

penelitian ini adalah insang, jantung, hati, limpa, lambung, pankreas, usus, ginjal,

otot dan kulit.

Metode Penelitian

Sampel dinekropsi kemudian organ insang, jantung, hati, limpa, lambung,

pankreas, usus, ginjal, otot dan kulit difiksasi dalam BNF 10%. Tahap berikutnya

dilakukan pembuatan preparat histopatologi. Dilakukan trimming kasar setebal ±

2 mm pada organ kemudian difiksasi, setelah itu dilakukan dehidrasi yaitu proses

penarikan air dari jaringan dengan menggunakan alkohol 70%, 80%, 90%, 95%

alkohol absolut dua kali ulangan masing-masing 2 jam. Sampel jaringan yang

sudah didehidrasi dilakukan clearing atau penjernihan dengan menggunakan silol

3

dua kali ulangan masing-masing 2 jam. Proses berikutnya adalah embedding yaitu

penanaman jaringan dalam parafin, sectioning atau pemotongan menggunakan

mikrotom setebal 5µm dan pelekatan sediaan pada gelas objek. Sediaan diwarnai

lalu ditutup dengan gelas penutup yang prosesnya disebut mounting. Pewarnaan

HE dilakukan pada seluruh organ sesuai prosedur menurut Gamble (2008),

sedangkan khusus pewarnaan pada organ usus dilakukan pewarnaan giemsa dan

toluidin biru menurut (Bartlett 2008) dan PAS menurut Myers et al. (2008).

Analisis Data

Sediaan diamati di bawah mikroskop, perubahan yang terjadi dianalisa

secara deskriptif. Patogenesa kejadian lesi disusun melalui studi literatur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Air

Analisis kualitas air dilakukan pada tiga kolam yaitu kolam dengan warna

air coklat keruh (A), kolam dengan air berwarna hijau (B) yang masing-masing

terdapat kematian dan kolam dengan warna air hijau tidak ada kematian (C). Hasil

analisis menunjukan; kolam A, DO (dissolved oxygen) 0.56 ppm, suhu 28.60 ºC,

pH 6.10, TAN (total ammonia nitrogen) 0.20, nitrit 0.10 dan alkali 220 ppm;

kolam B, DO 0.52 ppm, suhu 28.40 ºC, pH 5.90, TAN 0.20, nitrit 0.10 dan alkali

200 ppm; kolam C; DO 3.42 ppm, suhu 27.60 ºC, pH 6.00, TAN 0.20, nitrit 0.30,

dan alkali 190 ppm.

Kadar DO, TAN dan nitrit dari ketiga kolam kurang memenuhi standar air

kolam budidaya. Menurut Isyagi et al. (2013), kadar oksigen terlarut yang

direkomendasikan untuk ikan lele dumbo adalah > 5.00 ppm. Hanya kolam C

dengan kadar 3.42 ppm tidak terjadi kematian namun kadar dengan rentang 1.40-

5.00 ppm memiliki pertumbuhan yang lambat dan rentan stres, sedangkan dua

kolam lainnya kurang dari 1.50 ppm dimana kadar tersebut dapat mematikan jika

terpapar dalam waktu yang lama. Parameter air lainnya berupa total ammonia dan

nitrit berada dua kali di atas ambang batas maksimum. Gejala yang muncul yaitu

disorientasi tingkah laku, melompat ke permukaan, insang dan darah terlihat

coklat. Tidak terkontrolnya gerak renang ikan dapat disebabkan oleh kerusakan

saraf akibat keracunan amoniak (Irianto 2005) dan kerusakan otak karena terjadi

iskemia cerebralis (Yu dan Li 2011). Iskemia cerebralis dapat diakibatkan kondisi

hipoksia sehingga suplai darah ke otak terganggu dan menyebabkan nekrosis

(malacia) (Nwaopara et al 2010). Pada kasus ini tidak diperoleh sampel organ

otak, sehingga lesi histopatologi otak tidak dapat dipelajari.

Histopatologi Insang

Insang ikan selain sebagai organ respirasi, osmoregulasi, dan eksresi juga

berkontribusi menjaga keseimbangan asam basa dan metabolisme hormon (Olson

2002). Insang tersusun atas lamela primer, lamela sekunder, sel epitel, sel mukus,

dan sel klorida (Sayed et al. 2012). Lamela primer dilapisi sel squamousa berlapis

4

(epitel) bersifat kaku karena mengandung tulang rawan dan terdapat pembuluh

darah (Olurin et al. 2006). Di kedua sisi lamela tersebut terdapat lamina sekunder

dilapisi sel pilar yang aktif dalam pertukaran oksigen. Sel tersebut merupakan

komponen vaskular yang tersusun teratur dan dapat dilalui oleh 1-2 sel darah

merah (Chandra dan Banerjee 2003). Insang juga dilengkapi dengan sejumlah

glandula brankhial, yaitu glandula mukosa dan glandula asidofilik (sel khlorida)

(Morrison 2007). Lele memiliki air breathing organ (ABO) yang merupakan

modifikasi dari struktur insang. Oleh karena itu ikan lele dapat hidup pada kondisi

hipoksik dan bertahan di luar air sekitar 31 jam (Chandra dan Banerjee 2003).

Hasil pengamatan histopatologi menunjukan insang mengalami penebalan.

Sel-sel epitel hipertropi dan terjadi perluasan kapiler. Pada lamina sekunder

beberapa sel epitel terlepas dari membran basal (lifting) akibat edema (Gambar 1).

Infiltrasi sel radang limfosit ditemukan secara multi fokus pada lamina primer.

Dengan kata lain insang mengalami brankhitis.

Perubahan seperti epitel lifting, hiperplasia dan hipertrofi, merupakan

suatu pertahanan mekanis. Peningkatan jarak tubuh (pembuluh darah) dengan

lingkungan (air) dapat menjadi penghalang bagi kontaminan. Tetapi hal tersebut

akan menghambat pertukaran oksigen dalam insang sehingga mengharuskan

tubuh meningkatkan aliran darah sebagai kompensasi dari kekurangan oksigen.

Menurut Camargo dan Martinez (2007), peningkatan aliran darah dapat terjadi

pada ikan stres dimana sel pilar pada kapiler dapat rusak dan mengakibatkan

dilatasi, kongesti, atau kondisi aneurisma. Selain itu kerusakan membran kapiler

dapat pula disebabkan oleh toksin sehingga terjadi edema. Perubahan tersebut

biasanya muncul sebagai hasil dari paparan agen kontaminan mengingat insang

merupakan target awal dari berbagai toksikan di air (Sayed et al. 2012). Kasus ini

sering terjadi pada ikan air tawar yang dibudidayakan dalam keramba ikan di

sungai perkotaan (Camargo dan Martinez 2007), oleh zat nonilfenol (bahan

Gambar 1 Histopatologi insang menunjukan epitel lifting (►) dan infiltrasi sel

radang limfosit (→). Pewarnaan HE.

A B

5

pembuat plastik) (Sayed et al. 2012) dan glifosfat (herbisida) (Olurin et al. 2006).

Adapun insang dan darah yang berwarna coklat menandakan tingginya

methaemoglobin dalam darah. Perubahan warna insang dan darah secara

makroskopis tidak dapat dibedakan pada preparat yang diamati, meskipun

demikian secara fotometri diketahui spektrum dengan maksimum absorpsinya

berada pada 635 nm (Kroupova et al. 2005). Funmilola dan Kudirat (2012)

melaporkan kematian 35% ikan lele dumbo yang dipaparkan nitrit 0.2 ppm pada

suhu 27±0.4 ºC memiliki gejala sama. Pada kondisi itu sel radang yang

diterangkan sesuai dengan hasil pengamatan yaitu limfosit tampak signifikan.

Histopatologi Jantung

Jantung ikan terletak di ventral yaitu di depan sirip dada dan rongga

peritoneal atau di belakang insang (Farrell 2011). Jantung ikan berwarna merah

darah kecuali bagian bulbus arteriosus berwarna putih. Secara umum ruang

jantung terbagi menjadi sinus venosus, atrium, ventrikel dan bulbus arteriosus.

Dinding tersusun oleh 3 lapisan di antaranya epikardium yang tersusun dari

epitelium pipih dan ditunjang oleh jaringan ikat, myokardium yaitu lapisan paling

tebal yang terdiri dari sekelompok otot jantung, dan endokardium lapisan yang

paling dalam. Dinding ventrikel lebih tebal dibandingkan dengan atrium. Pada

preparat histologi normal lumen dapat terlihat jelas (Morrison 2007). Ikan lele

bisa bernafas langsung dari udara dengan bantuan organ arborescent, pada kondisi

itu terjadi peningkatan denyut (heart rate) yang signifikan pada jantung (Taylor

dan Wang 2009).

Jantung tidak menunjukan perubahan yang spesifik. Sedikit sel radang

ditemukan pada darah yang bersirkulasi di lumen ventrikel (Gambar 2).

Gambar 2 Histopatologi jantung menunjukan akumulasi sel radang limfosit (→)

disertai degenerasi hidropis pada kardiomiosit. Pewarnaan HE.

A B

6

Degenerasi hidropis ditemukan pada otot jantung. Kondisi ini bersifat akut

dimana limfosit hadir sebagai respon non spesifik pada kondisi stres.

Sebagaimana Funmilola dan Kudirat (2012) melaporkan bahwa leukosit

meningkat dalam jaringan dapat disebabkan oleh kadar nitrit dalam darah yang

tinggi.

Histopatologi Hati

Pada umumnya teleost memiliki hati relatif besar dengan warna sesuai

jenis makanannya. Di alam liar, hati ikan karnivora biasanya berwarna coklat

kemerahan dan pada herbivora coklat terang (Rodger 2010). Ikan lele termasuk

omnivora namun lebih membutuhkan asupan protein yang tinggi. Hal ini karena

ikan lele lebih bersifat karnivora (predator) dalam alam liar (Harpaz 2008).

Berbeda dengan mamalia, lobus pada hati ikan tidak tampak jelas karena jarak

hepatosit ikan sangat rapat.

Hampir di seluruh bagian parenkim organ hati ditemukan hepatosit yang

membengkak terutama di bagian periporta. Sitoplasma hepatosit bervakuola jernih

dan tidak teratur mencirikan degenerasi lemak (Gambar 3). Selain itu terjadi

degenerasi hidropis dengan sitoplasma keruh. Pada vena centralis terdapat fokus

nekrosa dengan inti kariorheksis disertai fibrosis. Fokus sel radang ditemukan di

sekitar pembuluh darah sehingga hati dikatakan mengalami perivascular hepatitis.

Degenerasi dan nekrosa hepatosit sering ditemukan pada kasus intoksikasi

ikan pada air yang tercemar zat kimia atau logam berat. Dalam kasus ini

degenerasi lemak diakibatkan oleh kondisi hipoksia, dimana terjadi penurunan

reseptor protein lemak (Heidel dan Smith 2007). Degenerasi hidropis dapat

disebabkan oleh zat kimia (Vegad 2007) yang mungkin terbawa oleh air sungai.

Kasus serupa pernah dilaporkan oleh Ogundiran et al. (2010) pada ikan yang

Gambar 3 Histopatologi hati menunjukan vakuola lemak (►), disertai degenerasi

hidropis (H), inti piknosis (→) dan sel radang (SR). Pewarnaan HE.

7

terpapar detergen. Sedangkan nekrosis merupakan dampak dari beban kerja yang

tinggi untuk mendetoksikasi toksin dari tubuh (Guedenon et al. 2012).

Histopatologi Limpa

Limpa merupakan organ hematopoietik pada ikan selain thymus dan ginjal

(Farrell 2011). Limpa berwarna merah gelap atau hitam dengan sudut tajam

(Roberts dan Ellis 2012) dan terletak di dekat kurvatura mayor lambung/ fleksura

intestin (Morrison 2007). Elemen utama limpa adalah elipsoid (sel-sel elips),

pulpa merah, pulpa putih dan sentral makrofag. Kapsul tersusun oleh fibrosa yang

dilapisi epitel pipih, trabekula tidak setebal pada mamalia, dan tanpa otot (Roberts

dan Ellis 2012). Pulpa merah dan putih tampak menyatu (diffuse) tidak

menggerombol seperti pada mamalia dan jaringan ikat sedikit. Ketika pulpa merah

terisi oleh sel darah merah, pulpa putih dapat terlihat dengan jelas (Morrison

2007). Pulpa putih merupakan jaringan limfatik primer yang dapat menghasilkan

sel darah putih seperti leukosit dan granulosit, terutama dalam respons terhadap

stress (Farrell 2011).

Limpa mengalami deplesi folikel limfoid pada pulpa putih ditunjukkan

oleh kepadatan sel limfoid berkurang (Gambar 4). Pada pulpa merah terdapat

pigmen coklat (hemosiderin) yang terakumulasi sebagai melano macrophage

center (MMC) dan infiltrasi sel radang (splenitis).

Menurut Elmore (2006), deplesi limfoid biasanya ditandai dengan

penurunan jumlah sel limfoid dan ukuran folikel di pusat germinal. Deplesi folikel

dapat terjadi sebagai dampak respon imun terhadap stres oksidatif karena

buruknya kualitas air (Lushchak 2011) maupun adanya kerusakan usus pada kasus

enteromixosis (Bermúdez et al. 2010). Bermúdez et al. (2010) menjelaskan lebih

lanjut bahwa organ limforetikuler (timus, ginjal anterior, dan limpa) juga

Gambar 4 Limpa mengalami deplesi folikel (garis putus-putus) dan proliferasi

melano macrophage center (→). Pewarnaan HE.

8

mengalami peningkatan jumlah sel nekrotik ataupun apoptosis yang disertai

munculnya fokus akumulasi makrofag berisi berbagai pigmen/ MMC. Pada ikan,

MMC di organ limpa berfungsi sebagai sebagai reaksi immunologi dan biomarker

stres lingkungan, sedangkan pada organ hati MMC berfungsi sebagai penentu

status metabolik seperti proses penyimpanan dan pergantian sel (Ribeiro et al.

2011).

Histopatologi Lambung

Lambung ikan lele termasuk kelompok siphonal (menyerupai huruf J dan

U) (Wilson dan Castro 2011), lebih tepatnya berbentuk huruf J (Shahin et al.

2013). Lambung terbagi menjadi tiga regio yaitu kardia, fundus dan pilorus.

Secara histologi lambung dibedakan oleh sel epitel silindris pada mukosa yang

diselingi oleh foveola (gastric pits) yang mengarah ke alveolar dari kelenjar

lambung (Wilson dan Castro 2011). Berbeda dengan mamalia, asam lambung dan

pepsin pada ikan keduanya dihasilkan oleh sel oksintikopeptik (Olsson 2011).

Dalam proses digesti, sel-sel tersebut dilindungi oleh mukopolisakarida yang

dihasilkan sel mukus di fundus (El Hag et al. 2012).

Lambung tidak mengalami kelainan yang signifikan. Beberapa sel radang

di muskularis mukosa ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Muskularis mukosa

sering mengandung sel eosinofilik dalam jumlah besar yang memiliki peran

sebagai mekanisme pertahanan tubuh terutama terhadap infection hematopoietic

necrosis virus (IHNV) (Morrison 2007). Pada serosa lambung juga ditemukan

pankreas (eksokrin) dengan granula zimogen dan saraf tepi yang tidak

menunjukan lesi (Gambar 5). Ditemukan akumulasi sel radang yang minimum

pada struktur pankreas tersebut, tetapi tidak ada kelainan yang spesifik pada sel

asinarnya.

Gambar 5 Histopatologi lambung dan terdapat eksokrin pankreas di lapisan serosa

lambung (►). Pewarnaan HE.

A B

9

Histopatologi Pankreas

Pankreas ikan dapat ditemukan di beberapa tempat seperti hati

(hepatopankreas), limpa, lambung, usus (pada serosa) dan pada lemak di rongga

perut. Lokasi yang paling umum adalah pada mesenterika di dekat pyloric caeca

yang tersebar berupa pulau-pulau jaringan sekretori diselingi oleh sel-sel lemak

(Rodger 2010). Seperti pada semua vertebrata, pankreas terdiri dari dua tipe

jaringan yaitu eksokrin dan endokrin (Caruso dan Sheridan 2011). Jaringan

eksokrin pankreas terdiri dari sel-sel asinar yang memiliki inti bulat besar dengan

1-3 nukleolus dan sitoplasma basofilik yang sangat gelap. Terdapat pulau

Langerhans (endokrin) yang tersebar di antara unit sekresi (Morrison 2007).

Pengamatan pankreas dilakukan di berbagai lokasi pankreas yaitu pada

hati, lambung, usus dan pada jaringan lemak (mesotelium). Umumnya tidak

ditemukan kelainan yang spesifik. Pada jaringan interstisial terdapat pankreas

dengan jarak antar sel asinar cukup renggang akibat tekanan edema interstisial

(Gambar 6). Edema merupakan suatu kondisi dengan karakteristik cairan berlebih

pada jaringan interstisial atau pada rongga tubuh. Beberapa penyebab edema

diantaranya; peningkatan tekanan hidrostatik, menurunnya tekanan osmotik oleh

plasma, obstruksi pada saluran limfatik, dan retensi air dan garam (Vegad 2007).

Berdasarkan gejala klinis dan kualitas air, stres dapat menjadi penyebabnya

dimana keseimbangan osmoregulasi terganggu. Ikan air tawar cenderung

mengabsorpsi air dari lingkungan secara berlebihan akibat perubahan fisiologis

dalam metabolisme mineral (Irianto 2005).

Histopatologi Usus

Usus merupakan bagian terpanjang dari saluran digesti ikan lele (El Hag et

al. 2012) namun lebih pendek dari panjang tubuhnya yaitu sekitar 1.00/0.76

(Shahin et al. 2013). Pada potongan melintang, usus tersusun oleh lapisan mukosa

Gambar 6 Histopatologi pankreas menunjukan edema interstisial (►) dan atropi

sel asinar (→). Pewarnaan HE.

10

(mucosal folds), lamina propria dan serosa (Shahin et al. 2013). Usus ikan tidak

memiliki muskularis mukosa (Raji dan Norouzi 2010), hanya lapisan tipis

jaringan ikat yang terpisah dari basis lipatan sirkular dan lapisan otot halus

(Olsson 2011). Pada ikan folds merupakan vili memiliki permukaan lebih luas

dengan sedikit kerutan (kripta) jika dibandingkan dengan mamalia. Fold ini

dilapisi oleh sel epitel silindris dan sel-sel goblet yang tersebar diantaranya

(Olsson 2011). Lamina propria tersusun oleh jaringan ikat dan terdapat otot

sirkular dan longitudinal. Otot sirkular terdapat pembuluh darah dan syaraf yang

tidak membentuk ganglion (enteric neural cell body), sedangkan otot longitudinal

tersusun oleh serabut yang kuat (Olsson 2011). Serosa tersusun oleh lapisan tipis

jaringan ikat dan sel mesotelia (Morrison 2007).

Beberapa ujung vili terlihat mengalami nekrosis ulseratif dan hemoragi

(Gambar 7A). Pada usus ditemukan irisan melintang larva parasit cacing di tengah

lumen usus (Gambar 7C). Keberadaan parasit cacing tidak berpengaruh signifikan

pada lesio, jumlah parasit hanya sedikit dan tidak ditemukan cacing menginvasi

mukosa secara langsung melainkan hanya ada pada lumen. Menurut morfologinya

cacing dapat dikelompokan ke dalam digenea. Pada ikan lele, infeksi pencernaan

oleh Euclinostomum clarias melimpah baik pada budidaya maupun di alam liar.

Cacing ini menginfeksi dalam bentuk metaserkaria, berperantara siput (moluska)

dan secara klinis tidak ada gejala (Paperna dan Dzikowski 2006). Keberadaan

metaserkaria pada lumen menunjukan adanya penekanan mekanis terhadap vili

usus sehingga dapat menghambat motilitas usus.

Kelainan paling menonjol pada usus adalah ditemukannya parasit protozoa

berbentuk bulat diseluruh bagian epitel usus (Gambar 8). Sel-sel epitel mukosa

mengalami hipertropi dan infiltrasi sel radang terlihat pada lamina propria. Di

Gambar 7 Histopatologi usus yang mengalami nekrotik ulseratif (→), hemoragi

(►) dan infiltrasi sel radang limfosit (→) (7A), ditemukan koloni

bakteri (7B) dan terdapat parasit cacing (7C) di tengah lumen (*). Pewarnaan HE (A&C) dan Giemsa (B). Insert : Infiltrasi sel limfosit

11

dalam sitoplasma sel epitel terdapat kumpulan spora berkapsul, yang berwarna

merah muda pada pewarnaan HE dan PAS serta berwarna biru menggunakan

pewarnaan Giemsa dan Toluidine Blue. Pada pewarnaan HE, morfologi parasit

tersebut dapat dilihat lebih jelas dibanding pewarnaan lainnya. Kutub-kutub spora

berkapsul dimiliki oleh genus Enteromyxum yang khas pada usus sebagaimana

pernah dilaporkan oleh Redondo et al. (2004), Bermúdez et al. (2010) pada ikan

turbot dan Diamant et al. (2006) pada ikan air tawar. Enteromyxum termasuk

protozoa kelompok myxozoa yang merupakan parasit aquatik kelompok

metazoan yang sangat khas dan memiliki jangkauan inang luas (Feist dan

Longshaw 2006).

Terdapat tiga spesies yaitu E. Scophthalmi, E. leei dan E. fugu yang

seluruhnya spesifik pada usus dan dilaporkan kejadiannya pada ikan air laut

(Sitjà-Bobadilla dan Palenzuela 2012). Transmisi pada ikan air tawar pernah

dilaporkan oleh Diamant et al. (2006), sejumlah 4 spesies dari famili ikan air

tawar Cyprinidae and Cichlidae terinfeksi Enteromyxum leei dengan prevalensi

53-90%. Patogenesis pada ikan air tawar tersebut memiliki karakter yang sama

dengan ikan air laut termasuk rute dan cara transmisinya. Transmisi tersebut

didukung oleh kapsula spora berlapis zat kitin yang sangat resisten terhadap enzim

dan salinitas di dalam saluran pencernaan. Dari studi yang dilakukan oleh

Redondo et al. (2004) transmisi parasit melalui pakan lebih cepat dibandingkan

dengan rute air secara langsung. Namun kemunculan parasit dalam ulas darah

diawal percobaan pada ikan yang diinfeksi secara spontan menunjukan parasit

juga dapat berpenetrasi dengan berbagai cara seperti pada insang, rongga mulut

dan kulit sehingga dapat ditemukan pada organ hematopoietik, jaringan otot,

jantung, dan sedikit pada kulit dan insang. Walaupun demikian, parasit harus

Gambar 8 Infeksi parasit Enteromyxum spp. (►) pada usus dan proliferasi sel

goblet (→). Pewarnaan HE (A); Giemsa (B); Toluidin biru (C) dan

PAS (D), skala 20 µm.

12

mencapai usus yang merupakan target organ sehingga dapat berkembang

(Bermúdez et al. 2010).

Berdasarkan literatur, siklus hidup genus Enteromyxum masih belum

diketahui secara pasti. Terdapat berbagai tahapan perkembangan stadium 1-5

dimana bentuk sporogonik berupa stadium 1-3 (trofozoid/bulat) merupakan tahap

invasif di dalam tubuh ikan. Sedangkan stadium 4-5 (mature/berpola spora)

merupakan tahap infektif terhadap ikan lainnya melalui feses. Siklus parasit di

luar tubuh ikan diperkirakan melibatkan inang invertebrata (Redondo et al. 2004).

Menurut Diamant et al. (2006), Oligochaetes adalah cacing dari filum Annelida

yang berperan sebagai inang antara utama pada penyebaran infeksi myxospora air.

Sedangkan cacing Oligochaetes ini memiliki banyak variasi spesies dalam

lingkungan air dan darat.

Perubahan morfologi dan intensitas lesio menunjukan infeksi sudah pada

tahap infeksi berat. Sel goblet dan berbagai stadium protozoa dapat diamati

hampir di seluruh mukosa usus. Menurut Redondo et al (2004), terdapat

keterlibatan interaksi aktin-karbohidrat, dimana protease merupakan komponen

utama dalam invasi dan proliferasi Enteromyxum sp. Membran parasit juga

diketahui mengandung residu karbohidrat yang dapat mengakibatkan

terhambatnya sistem pengenalan antigen oleh inang (Gómez et al 2013). Melalui

pewarnaan PAS proliferasi sel goblet dapat terlihat jelas berada di sekitar parasit

(Gambar 8). Mukus yang dihasilkan merupakan sistem pertahanan pertama

terhadap infeksi parasit ini (Golomazou et al 2006). Oleh karena itu isi lumen

dipenuhi oleh eksudat enteritis kataralis disertai sejumlah besar koloni bakteri

yang berkembang akibat penurunan motilitas usus (Gambar 7B). Kondisi ini

berpengaruh terhadap penurunan kualitas air pada saat ikan tersebut defekasi.

Gambar 9 Gambar makroskopis Psetta maxima yang terinfeksi Enteromyxum

scophthalmi mengalami emasiasio dan endoptalamia (1). Usus ikan

turbot yang terinfeksi (2 & 3, 5 & 6). Pewarnaan toluidine blue, skala

60 µm (2), 20 µm (3 & 6), 30 µm (4 & 5). Sumber : (Bermúdez et al.

2010)

13

Selain itu peningkatan nitrit pada air kolam dapat dihasilkan oleh adanya aktivitas

enzim berupa inducible nitrit oxide synthase (iNOS) terutama pada struktur sel

mukosa dan sel fagosit (Gómez et al 2013). Sel radang (limfosit dan makrofag)

hadir dalam jumlah sedang, terutama pada vili dimana jumlah parasit tinggi. Ikan

laut yang terinfeksi E. leei memiliki sedikit respon inflamasi atau bahkan tidak

ada (Diamant et al. 2006). Pada tahap lanjut kerusakan usus semakin kritis, sel

goblet semakin berkurang dan kematian tidak bisa dihindarkan akibat sindrom

kaheksia (Bermúdez et al. 2010). Hingga saat ini belum ditemukan antiparasit

myxozoa secara umum, namun penggunaan koksidiostat (toltrazuril) dengan

kombinasi salinomycin dan amprolium secara signifikan mengurangi tingkat

prevalensi, intensitas, dan mortalitas infeksi E. leei (Golomazou et al 2006).

Selain itu manajemen lingkungan yang baik merupakan usaha pengendalian utama

dalam suatu budidaya.

Histopatologi Ginjal

Nefron merupakan unit fungsional dari ginjal yang tersusun oleh

korpuskulus renalis dan tubulus renalis. Korpuskulus renalis terdiri dari dua

membran (kapsula Bowman) dan gumpalan kapiler (glomerulus) (Sayed et al.

2012). Tubulus proksimal terdiri dari sel epitel kubus dengan inti basal dan

permukaan luminal terdiri dari brush border yang berjajar. Tubulus distal terdiri

dari sel epitel kubus sepertiga dari total tubulus. Pada ginjal ditemukan jaringan

limfomyeloid di anterior ginjal (pronefros) berfungsi sama seperti sumsum tulang

pada mamalia (Moore dan Hawke 2004) sehingga banyak terdapat limfosit,

monosit, sel darah merah, dan makrofag (Dash et al. 2003).

Terdapat kerusakan yang nyata pada tubulus ginjal, dimana sel-sel epitel

tubulus mengalami nekrosa dengan inti sel piknosis (Gambar 10). Ditemukan

lesio butiran berwarna merah muda pada intrasitoplasma tubulus yang

menunjukan terjadinya degenerasi hyalin/ degenerasi albumin (Gambar 11).

Terdapat infiltrasi sel radang dan agregasi MMC yang tersebar di beberapa titik.

Degenerasi hyalin pada epitel tubulus ginjal merupakan indikasi dari

adanya kebocoran protein pada proses penyaringan darah di glomerulus yang

kemudian diserap oleh epitel tubulus (Vegad 2007). Degenerasi hidropis dan

nekrosa merupakan tanda dari kerusakan atau menurunnya fungsi gromerulus.

Kerusakan tersebut tidak begitu spesifik tetapi terdapat variasi derajat keparahan

antar tubulus. Nekrosis dengan inti piknosis pada tubulus ginjal terjadi pada ikan

lele dumbo yang diinjeksikan 0,05 mg/L nonilfenol (bahan pembuat plastik)

selama 15 hari (Sayed et al. 2012). Bowman’s space yang menyempit dapat

disebabkan oleh kumparan buluh darah glomerulus mengalami hipertropi.

Degenerasi hidropis dan oklusi lumen tubulus merupakan gejala umum pada ikan

di sungai perkotaan dengan tingkat pencemaran yang tinggi (Camargo dan

Martinez 2007). Infiltrasi sel radang dapat disebabkan adanya respon non-spesifik

dari adanya stres, maupun adanya benda asing yang terbawa darah. Hal ini

berkaitan dengan fungsi ginjal yang ditentukan oleh kualitas air. Ukuran dan

jumlah MMC pada anterior ginjal dan limpa dapat menjadi penentu dari derajat

keparahan infeksi enteromixosis (Bermúdez et al. 2010). Selain itu deposisi MMC

juga dapat disertai fibrosis (Suttie 2006).

14

Histopatologi Otot

Ikan memiliki dua kelompok otot yaitu kelompok muskularis lateralis

superfisialis (otot merah) dan muskularis lateralis profundus (otot putih) (Roberts

dan Ellis 2012). Otot merah terletak di sepanjang garis lateral ikan, memiliki

Gambar 10 Histopatologi ginjal menunjukan tubulus mengalami nekrosa (→)

disertai degenerasi hyalin (→) dan terdapat proliferasi melano

macrophage center (►). Pewarnaan HE, skala 100 µm.

Gambar 11 Degenerasi hyalin ditunjukan dengan adanya butiran merah muda

pada intrasitoplasma pada tubulus (→). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

15

lemak yang lebih tinggi dibanding dengan otot putih, dan terdapat mitokondria

disetiap sel dengan jumlah yang banyak, merupakan serabut aerobik yang

berkontraksi lambat. Otot putih merupakan jaringan terbesar di dalam tubuh.

Umumnya mengandung sedikit mitokondria, merupakan serabut anaerob,

berkontraksi cepat dan cepat lelah (Morrison 2007). Histopatologi otot secara

normal menunjukan bentuk bundelan otot yang lengkap, berjarak dekat, memiliki

inti di tepi dan homogen (Roberts dan Ellis 2012).

Terdapat beberapa bundel otot yang mengalami degenerasi otot sehingga

disebut multifokus degenerasi (Gambar 11). Serabut otot bertekstur tidak seragam,

meregang, dan terdapat bagian yang hilang. Lesio tersebut merupakan ciri nekrosa

koagulatif yang kerusakannya terbatas pada struktur intraseluler.

Nekrosa pada otot dapat disebabkan oleh berbagai penyakit infeksius,

iskemia, trauma, dan akibat toksin (Heidel dan Smith 2007). Tidak adanya

hemoragi maupun eksudat dan peradangan yang hebat, sangat dimungkinkan otot

mengalami nekrosa akibat ischemia dimana kadar oksigen pada kolam jauh di

bawah batas minimum. Selain itu defisiensi fosfor (P) dan magnesium (Mg) dapat

menjadi penyebab nekrosis, disertai miositis, atropi dan fibrosis (Heidel dan

Smith 2007).

Histopatologi Kulit

Kulit ikan lele terdiri dari tiga lapis yaitu epidermis, dermis, dan subkutan.

Epidermis terdiri dari sel epitel (poligonal), sel klub, sel goblet dan sel melanosit

(Singh dan Banerjee 2008) dengan masing-masing densitas volumetrik sebesar

62.3%, 25.7%, 10.5% dan 1.4% (Guerra et al. 2006). Lapisan germinativum

(paling dalam) dibentuk oleh barisan epitel kubus atau kubus tinggi dengan inti

yang membulat. Lapisan tengah (paling tebal), terdapat sel mukus, melanosit, sel

epitel kubus dan sel klub. Sel klub sering disebut “alarm cell”, yaitu kelompok

sel-sel eosinofil yang berperan dalam sekresi senyawa penanda bahaya (alarm

Gambar 12 Histopatologi otot menunjukan adanya degenerasi dengan sebaran

multifokus (►). Pewarnaan HE.

A B

16

substance) (Irianto 2005). Dermis terdiri dari stratum laxum dan stratum

compactum. Sel lemak ditemukan pada subkutan yang merupakan lapisan kulit

paling dalam. Pada ikan lele kulit juga dapat berperan sebagai organ respiratori

tambahan (acessories respiratory organs) ARO (Chandra dan Banerjee 2003).

Kelainan pada kulit hanya ditemukan pada epidermis. Sel klub tampak

berongga (spongiosis) karena mengalami degenerasi hidropis (Gambar 12).

Terdapat kumpulan sel radang (makrofag dan limfosit) dalam jumlah sedikit.

Selain itu deskuamasi epitel dan pembentukan ulkus ditemukan di beberapa

bagian disertai inti sel piknosis.

Kulit ikan lele dumbo merupakan jaringan pembatas tubuh yang selalu

terkena air secara kontinyu dan tidak terkeratinisasi sehingga cukup rentan

terhadap toksikan asal air maupun bakteri patogen (El-Sayyad et al. 2010). Dalam

kondisi tersebut sel goblet akan menghasilkan mukus yang berlebih sebagai

bentuk pertahanan mekanis. Selain dapat menghambat proses respirasi melalui

kulit, produksi mukus tersebut juga berkontribusi mencemari lingkungan sehingga

menurunkan kualitas air. Sedangkan deskuamasi epitel dan ulkus dapat membuka

celah masuknya agen infeksius. Hipertropi sel klub, hiperplasia sel goblet pernah

dilaporkan terjadi pada ikan lele yang dipaparkan arsenik (Singh dan Banerjee

2008) dan etanolik (Alabaka 2010). Kulit yang terpapar oleh bakteri patogen

biasanya terdapat hemoragi dan nekrosa (El-Sayyad et al. 2010).

Gambar 13 Histopatologi kulit mengalami spongiosis (►), infiltrasi sel radang

(→) dan daerah deskuamasi pembentukan ulkus (*). Pewarnaan HE

17

KESIMPULAN

Lesi paling parah ditunjukkan oleh organ usus yang mengalami infeksi

parasit myxozoa Enteromyxum spp. Parasit ini menyebabkan enteritis,

malabsorbsi sehingga ikan mengalami gangguan pertumbuhan dan gangguan

fungsi organ lainnya seperti hati, ginjal dan limpa. Kepadatan ikan yang terlalu

tinggi terlebih dengan ekskresi feses mengandung protozoa, nitrit dan bakteri

menyebabkan morbiditas dan memburuknya kualitas air. Kerusakan pada insang

dan kulit berakibat gangguan pernapasan, menurunkan kadar oksigen dan

meningkatkan total ammonia dan nitrit air yang menyebabkan kematian masal

pada kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alabaka SE, Fatihu MY, Ibrahim NDG, Kazeem HM. 2010. Histopathologic

Changes in the Gills and Skin of Adult Clarias gariepinus Exposed to

Ethanolic Extract of Parkia biglobosa Pods. Basic and Applied Pathology.

3:109-114. doi:10.1111/j.1755-9294.2010.01088.x.

Bartlett JH. 2008. Microorganisms. Di dalam: Bancroft JD, editor. Theory and

Practice of Histological Techniques. Ed ke- 6. Burlington (US): Elsevier

Science. Hlm 309.

Bermúdez R, Losada AP, Vázquez S, Álvarez-Pellitero P, Quiroga MI. 2010.

Light and Electron Microscopic Studies on Turbot Psetta maxima Infected

with Enteromyxum scophthalmi: Histopathology of Turbot Enteromyxosis.

Dis Aquat Org. 80:200-211.

Camargo MMP, Martinez CBR. 2007. Histopathology of Gills, Kidney and Liver

of a Neotropical Fish Caged in an Urban Stream. Neotropical Ichthyology.

5(3):327-336.

Caruso MA, Sheridan MA. 2011. Gut Anatomy and Morphology-Pancreas. Di

dalam: Farrell AP, editor. Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome

to Environment. Burlington (US): Elsevier Science. 2500 hlm.

Chandra S, Banerjee TK. 2003. Histopathological Analysis of the Respiratory

Organs of the Air-Breathing Catfish Clarias batrachus (Linn.) Exposed to

the Air. Acta Zoologica Taiwanica. 14(1):45-64.

Dash K, Saha K, Pandev AK, Jain AK, Mukherjee A. 2003. Ultra-Structural

Observations on The Lymphoid Organs of The Freshwater Catfish, Clarias

batrachus (Linnaeus). J Environ Biol. 24:256-274.

Diamant A, Ram S, Paperna I. 2006. Experimental transmission of Enteromyxum

leei to freshwater fish. Dis Aquat Org. 72:171-178.

[DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2011. Usaha Budidaya Lele dan

Gurami Saat Ini [internet]. Tersedia pada:

http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=511. [diunduh 2013 Jul 18].

18

El Hag GA, Salleh KM, Saad CR,Daud SK. 2012. Gut Histology of Malaysian

River Catfish, Mystus nemurus (C&V) Larvae. Life Science Journal.

9(1):342-347.

Elmore SA. 2006. Histopathology of the Lymph Nodes. Toxicologic Pathology.

34:425-454 doi:10.1080/01926230600964722.

El-Sayyad HI, Viola HZ, El-Shebly AM, El-Badry DA. 2010. Studies on The

Effects of Bacterial Diseases on Skin and Gill Structure of Clarias

gariepinus in Dakahlia Provinence, Egypt. Annals of Biological Research.

1(4):106-118.

Farrell AP. 2011. Blood-Cellular Composition of The Blood. Di dalam: Farrell

AP, editor. Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome to

Environment. Burlington (US): Elsevier Science. 2500 hlm.

Feist SW, Longshaw M. 2006. Phylum Myxozoa. Di dalam: Woo PTK, editor.

Fish Diseases and Disorder, Volume 1. Protozoan and Metazoan

Infections. Oxfordshire (UK): Bidlles, King’s Lynn. hlm 346-373.

Funmilola A, Kudirat AO. 2012. Nitrite Intoxication of Clarias Gariepinus At

Different Water Temperatures. International Journal of Fisheries and

Aquaculture. 4(4):77-80.

Gamble M. 2008. The Hematoxylins and Eosin. Di dalam : Bancroft JD, editor.

Theory and Practice of Histological Techniques. Ed ke- 6. Burlington (US):

Elsevier Science. Hlm 121.

Guedenon P, Edorh AP, Hounkpatin ASY, Alimba CG, Ogunkanmi A,

Nwokejiegbe EG, Boko M. 2012. Acute Toxicity of Mercury (HgCl2) to

African Catfish, Clarias gariepinus. Research Journal of Chemical

Sciences. 2(3):41-45.

Guerra RR, Santos NP, Cecarelli P, Mangetti J, Silva JRMC, Hernandez-Blazquez

FJ. 2006. Stratum adiposum, A Special Structure of the African Catfish Skin

(Clarias gariepinus, Burchell 1822). Anat. Histol. Embryol. 35:144-146.

doi:10.1111/j.1439-0264.2005.00614.x.

Heidel J, Smith C. 2007. Normal Histology. Di dalam: Mumford S, Heidel J,

Smith C, Morrison J, MacConnell B, Blazer V, editor. Fish Histology and

Histopathology [internet]. [27 Nov 2012, diunduh 2013 Mei 7]. Tersedia

pada:

http://training.fws.gov/EC/Resources/Fish_Histology/Fish_Histology_Manu

al_v4.pdf

Hermawan AT, Iskandar, Subhan U. 2012. Pengaruh Padat Tebar Terhadap

Kelangsungan Hidup Pertumbuhan Lele Dumbo (Clarias gariepinus

Burch.) di Kolam Kali Menir Indramayu. Jurnal Perikanan dan Kelautan.

3(3):85-93.

Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University

Press. hlm 64.

19

Isyagi NA, Veverica KL, Assimwe R, Daniels WH. Manual for the Commercial

Pond Production of the African Catfish in Uganda. Alabama (US): USAID.

hlm 70.

Kroupova H, Machova J, Svobodova Z. 2005. Nitrite Influence on Fish: A

Review. Vet Med-Czech. 50(11):461-471.

Lushchak VI. 2011. Environmentally Induced Oxidative Stress in Aquatic

Animals. Aquatic Toxicology. 101:13-30.

Moore MM, Hawke JP. 2004. Immunology. Di dalam: Tucker CS, Hargreaves JA,

editor. Biology and Culture of Channel Catfish. Amsterdam (Ne): Elsevier

B.V. hlm 351.

Morrison J. 2007. Normal Histology. Di dalam: Mumford S, Heidel J, Smith C,

Morrison J, MacConnell B, Blazer V, editor. Fish Histology and

Histopathology [internet]. [27 Nov 2012, diunduh 2013 Mei 7]. Tersedia

pada:

http://training.fws.gov/EC/Resources/Fish_Histology/Fish_Histology_Manu

al_v4.pdf

Myers RB, Fredenburgh JL, Grizzle WE. 2008. Carbohydrates. Di dalam:

Bancroft JD, editor. Theory and Practice of Histological Techniques. Ed ke-

6. Burlington (US): Elsevier Science. hlm 171.

Nwaopara AO, Anibeze CIP, Akpuaka FC. 2010. Induced Histological Features

of Hypoxia-Ischaemia in the Brain of Rats Fed with Diet Containing Yaji:

The Complex Nigerian Meat Sauce. Res. J. Appl. Sci. Eng. Technol. 2(1):

67-72.

Ogundiran MA, Fawole OO, Adewoye SO, Ayandiran TA. 2010. Toxicological

Impact of Detergent Effluent on Juvenile of African Catfish (Clarias

gariepinus) (Buchell 1822). Agric Biol J N Am. 1(3):330-342.

Oliva-Teles A. 2012. Nutrition and Health of Aquaculture Fish. Journal of Fish

Diseases. 35:83–108.doi: 10.1111/j.1365-2761.2011.01333.x

Olson KR. 2002. Vascular Anatomy of The Fish Gill. Journal of Experimental

Zoology. 293:214-231.

Olsson C. 2011. Gut Anatomy and Morphology-Gut Anatomy. Di dalam: Farrell

Anthony P., editor. Encyclopedia of Fish Physiology : From Genome to

Environment. Burlington (US): Elsevier Science. 2500 hlm.

Olurin KB, Olojo EAA, Mbaka GO, Akindele AT. 2006. Histopathological

Responses of The Gill and Liver Tissues of Clarias gariepinus Fingerlings

to The Herbicide, Glyphosate. African J Biotech. 5:2480-2487.

Paperna I, Dzikowski R. 2006. Digenea (Phylum Platyhelminthes). Di dalam:

Woo PTK, editor. Fish Diseases and Disorder. Volume 1. Protozoan and

Metazoan Infections. Oxfordshire (UK): Bidlles, King’s Lynn. hlm 346-373.

Raji AR, Norouzi E. 2010. Histological and histochemical study on the alimentary

canal in Walking catfish (Claris batrachus) and piranha (Serrasalmus

nattereri). J Vet Research. 11(3): 225-261.

20

Redondo MJ, Palenzuela O, Alvarez-Pellitero P. 2004. Studies on transmission

and life cycle of Enteromyxum scophthalmi (Myxozoa), an enteric parasite

of turbot (Scophthalmus maximus). Folia Parasitologica. 51:188-198.

Ribeiro HJ, Procópio MS, Gomes JMM, Vieira FO, Russo RC, Balzuweit K,

Chiarini-Garcia H, Castro ACS, Rizzo E, José Dias Corrêa Jr. 2011.

Functional Dissimilarity of Melanomacrophage Centres in The Liver and

Spleen from Females of The Teleost Fish Prochilodus argenteus. Cell

Tissue Res. 346:417-425. doi10.1007/s00441-011-1286-3

Roberts RJ, Ellis AE. 2012. The Pathophysiology and Systematic Pathology of

Teleost. Di Dalam Roberts R.J. Fish Pathology. Ed ke-4. Chichester (UK):

Wiley-Blackwell. hlm 22.

Rodger HD. 2010. Fish Disease Manual. Galway (IE): Vet-Aqua International.

hlm 9.

Sayed AEH, Mekkawy IA, Mahmoud UM. 2012. Histopathological Alterations in

Some Body Organs of Adult Clarias gariepinus (Burchell, 1822) Exposed

to 4-Nonylphenol. Di dalam: Garcia MD, editor. Zoology [internet].

[diunduh 2013 Sept 8] Tersedia pada

http://www.intechopen.com/books/zoology/histopathological-alterations-in-

some-body-organs-of-adult-clariasgariepinus-burchell-1822-exposed

Shahin MIH, Chandra KJ, Das DR, Khalil SMI. 2013. Morphology and

Histopathology of Alimentary Canal of Clarias batrachus (Linnaeus) and

Heteropneustes fossilis (Bloch). IRJALS. 2: 11-20.

Singh AK, Banerjee TK. 2008. Recovery of Damages in The Skin of Arsenic

Exposed Clarias batrachus (linn.) Following Withdrawal of The Stress. J.

Environ. Health. Sci. Eng. 5:217-224.

Sitjà-Bobadilla A, Palenzuela O. 2012. Enteromyxum Species. Di dalam: Woo

PTK, Buchmann K, editor. Fish Parasites: Pathobiology and Protection.

Croydon (UK): CPI Group Ltd. hlm 163-172.

Suttie AW. 2006. Histopatholgy of The Spleen. Toxicologic Pathology. 34: 466-

503. doi:10.1080/01926230600867750.

Taylor EW, Wang T. 2009. Control of the Heart and of Cardiorespiratory

Interactions. Di dalam: Glass ML, Wood SC, editor. Cardio-Respiratory

Control in Vertebraters-Comparative and Evolutionary Aspects. Berlin

(DE): Springer. hlm 297.

Vegad JL. 2007. A Textbook of Veterinary General Pathology. Edisi ke-2. Delhi

(IN): Salasar Imaging Systems. 589 hlm.

Wilson JM, Castro LFC. 2011. Morphological Diversity of The Gastrointestinal

Track in Fish. Di dalam: Grosell M, Farrell AP, Brauner CJ, editor. Fish

Physiology. Volume 30. The Multifunctional Gut of Fish. Burlington (US):

Elsevier. hlm 8-10.

Yu X, Li YV. 2011. Zebrafish as an Alternative Model for Hypoxic-ischemic

Brain Damage. Int J Physiol Pathophysiol Pharmacol. 3(2):88-96.

21

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 7 Juli 1991 sebagai anak

pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Toto dan Ibu Uka Sukaesih.

Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Cilengkrang, Sumedang pada

tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Malangbong,

Garut dan lulus tahun 2006. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri Situraja,

Sumedang dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi,

yaitu Himpunan Minat Profesi Satwa Liar dan Badan Eksekutif Mahasiswa

(BEM) FKH IPB.