Obat Degenerasi SSP
-
Upload
anhi-ramdhani -
Category
Documents
-
view
138 -
download
1
description
Transcript of Obat Degenerasi SSP
OBAT-OBAT PENYAKIT DEGENERASI
SUSUNAN SARAF PUSAT
PENYAKIT PARKINSON
Parkinson : - Bradikinesia (gerakan yang lamban)
- Rigiditas otot
- Tremor pada saat istirahat (yang biasanya
menghilang saat melakukan gerakan volunter)
- Kelainan postur tubuh yang dapat menyebabkan gait
maupun jatuh
Penyebab utama parkinsonisme idiopatik
Patofisiologi
Defisit utama yang terjadi dalam penyakit Parkinson ialah
hilangnya neuron di substansia nigra pars kompakta sebagai
penyediaan inervasi dopaminergik ke daerah striatum (kaudatus
dan putamen).
Biosintesis Dopamin. Dopamin sebgai katekolamin disintesis
dalam terminal neuron dopaminergik yang asalnya dari tirosin.
Tirosin ini ditransportkan melewati Blood Brain Barrier melalui
proses aktif (gambar 22-3 dan 22-4). Rata-rata langkah pembatasan
sintesis dopamin ini ialah melalui konversi L-tyrosine menjadi L-
dihiydroxylphenylalanine (L-DOPA), yang dikatalisa oleh enzim
tyrosine hydroxylase yang berada di neuron katekolaminergik. L-
DOPA berulang-ulang dikonversi menjadi dopamin melalui L-
aminoacid decarboxlase aromatik. Pada terminal saraf
dopaminergik, dopamin diambil oleh vesikel dengan cara transpor
protein; proses ini diblok oleh reserpine sehingga resepin dapat
menyebabkan deplesi dopamin. Pelepasan dopamine dari terminal
saraf terjadi melalui eksositosis vesikel presinaps di mana proses
ini dipicu oleh depolarisasi sehingga Ca2+ dapat masuk. Ketka
dopamin sudah berada di celah sinaps, aksinya dapat dihentikan
melalui reuptake dopamin oleh membran pembawa protein, suatu
proses yang dilawan oleh obat-obatan seperti kokain. Cara lain
ialah degradasi dopamin oleh MAO dan Catechol-o-
methyltransferase (COMT) yang akan menghasilkan 2 buah
produk metabolik yakni 3,4-dehydroxyphenyl—acetic acid
(DOPAC) dan 3-methoxy-4-hydroxyphenylacetic acid (HVA).
Pada manusia HVA merupakan produk primer dari metabolisme
dopamin (Coiper et al.,1996).
Reseptor Dopamin. Aksi dopamin di otak diperantarai oleh
reseptor protein dopamin (gambar 22-5). Dengan penggunaan
teknik farmakologis, terdapat dua tipe reseptor dopamin. Reseptor
D1 akan menstimulasi sintesis second messenger cyclic AMP
intrasel dan reseptor D2 menghambat sintesis cAMP serta
mengurangi Ca2+ current dan mengaktivasi receptor-operated K+
current. Aplikasi genetika molekuler dalam studi reseptor dopamin
telah mengungkapkan bentuk reseptor dopamin yang lebih
kompleks dibanding yang sebelumnya diketahui. Saat ini, terdapat
lima reseptor dopamin yang diketahui keberadaannya (lihat Jarvie
dan Caron, 1993, dan bab 12). Reseptor dopamin memiliki
keunggulan struktural tertentu, termasuk kehadiran 7 segmen α-
helikal yang mampu memperketat membran sel. Adanya struktural
ini memasukkan reseptor dopamin ke dalam superfamili dari
reseptor protein dalam 7 regio transmembran, di mana di dalamnya
termasuk reseptor neural penting seperti reseptor β-adrenergik,
reseptor olfaktoris, dan pigmen visual rhodopsin. Semua anggota
superfamili ini beraksi melalui pengikat protein nukleotida guanin
(G Protein; lihat bab 2).
Kelima resepor dopamin ini dapat dibagi ke dalam dua grup atas
dasar farmakologis dan strukturalnya (gambar 22-5). Protein D1dan
D5 memiliki ekor terminal karboksi entrasel yang panjang dan
merupakan anggota khas D1; mereka menstimulasi pembentukan
cAMP dan hidrolisis phosphatidyl inositol. Reseptor D2, D3, dan D4
sebagai ‘loop’ intrasel ketiga yang besar dan berada di kelas D2.
Mereka menurunkan formasi cAMP dan memodulasi tegangan K+
dan Ca2+. Masing-masing dari kelima reseptor dopamin ini
memiliki pola ekspresi anatomi yang berbeda di otak. Protein D1
dan D2 yang berlimpah pada striatum merupakan reseptor
terpenting sehubungan dengan penyebab dan terapi dari penyakit
Parkinson. Protein D4dan D5 sebagian besar terletak di
ektrastriatal, sementara ekspresi D3 rendah di daerah kaudatus dan
putamen tetapi lebih berlimpah pada nukleus aeumheus dan
tuberkel olfaktoris.
Mekanisme persarafan Parkinsonisme. Usaha-usaha telah
dilakukan dalam mencari pengertian mengenai bagaimana
hilangnya input dopaminergik ke neuron neostriatum dapat
menimbulkan gejala klinik Parkinson (untuk tinjauan lihat Albin et
al. 1989; Mink dan Thach, 1993; dan Widiman dan De Long,
1993). Ganglia basal dapat dilihat sebagai “modulatory side loop”
yang meregulasi jalannya informasi dari korteks serebral ke motor
neuron medula spinalis (gambar 22-6). Neostriatum adalah bagian
ganglia basal yang menerima input dari berbagai area di korteks.
Sebgaian besar neuron yang berada di striatum merupakan neuron
proyeksi yang menginervasi struktur ganglia basal lainnya.
Terdapat sebuah grup neuron kecil yang penting yaitu interneuron
yang menyambungkan antar neuron di striatum namun tidak
memproyeksikan saraf-saraf di luar daerahnya. Asetilkolin sama
halnya seperti neuropeptida digunakan sebgaai transmiter oleh
interneuron striatal. Arus keluar striatum melanjutkan diri melalui
dua rute yang berbeda dikenal sebagai jalur langsung dan jalur
tidak langsung. Jalur langsung dibentuk oleh neuron-neuron di
striatum yang bersambungan langsung dengan ke empat keluaran
basal ganglia, substansia nigra pars reticulata (SNpr) dan globus
palidus medial (MGP); relai ke ventroanterior dan ventrolateal
thalamus, yang menyediakan input eksitatoris ke korteks.
Neurotransmiter dan kedua perhubungan tersebut adalah gamma-
aminobutyric acid (GABA), yang bersifat inhibitoris, sehingga
efek murni dari stimulasi jalur direk dalam level striatum ialah
untuk meningkatkan outflow eksitatoris dari thalamus ke korteks.
Jalur indirek terbentuk dari neuron-neuron striatal yang
memproyeksikan globus palidus lateral (LGP). Struktur ini pada
akhirnya kaan mempersarafi Nukleus Subthalamus (STN), yang
menyebabkan tersedianya tempat outflow ke SNpr dan MGP.
Seperti halnya jalur direk, dua perhubungan yang pertama –
Projeksi striatum ke LGP atau LGP ke STN- menggunakan
transmisi inhibitoris GABA; namun, perhubungan utama/terakhir –
projeksi dari STN ke SNpr dan MGP – adalah merupakan jalur
eksitatoris glutamanergik. Dan hasil efek keseluruhan atas
stimulasi jalur indirek sebatas level striatum yaitu pengurangan
outflow eksitatoris dari thalamus ke korteks serebri. Kunci utama
mengetahui fungsi basal ganglia dihubungkan dengan gejala yang
timbul pada penyakit Parkinson akibat kurangnya neuron
dopaminergik ialah efek diferential dopamin pada jalur direk dan
indirek (gambar 22-7). Neuron dopaminergik substansia nigra pars
compakta (SNpc) mensarafi seluruh bagian striatum; namun,
neuron target di striatal memiliki ekspresi tipe-tipe reseptor
dopamin yang berbeda. Ekspresi utama untuk jalur direk ialah
Protein reseptor dopamin D1 yang eksitatoris sementara ekspresi
untuk jalur indirek ialah D2 tipe inhibitoris. Selanjutnya, dopamin
yang dilepaskan dari striatal cenderung akan meningkatkan
aktivitas jalur direk dan mengurangi aktivitas jalur indirek,
sementara deplesi dopamin pada penyakit Parkinson menyebabkan
efek yang sebaliknya. Efek yangterjadi akibat kuangnya input
dopamin pada Parkinson yaitu meningkatkan aktivitas inhibisi
outflow SNpr dan MGP ke thalamus serta mengurangi eksitasi
korteks motorik.
Modal dari fungsi basal ganglia ini memiliki implikasi yang
penting dalam pembuatan serta penggunaan obat farmakologis
untuk penyakit Parkinson: Pertama untuk mengembalikan
keseimbangan sistem dengan cara menstimulasi reseptor dopamin,
dengan memanfaatkan efek komplementer dari reseptor D1 dan D2
dengan pertimbangan adanya efek samping yang dapat terjadi
akibat resepor D3, D4, dan D5. Kedua, mengganti dopamin bukan
merupakan satu-satunya pendekatan dalam terapi Parkinson. Obat-
obat yang menghantar reseptor kolinergik telah lama digunakan
dalam mengobati Parkinsonisme. Meskipun mekanisme aksinya
belum sepenuhnya dimengerti namun tampaknya efek kerjanya
ialah pada level neuron proyeksi striatal yang secara normal
menerima input kolinergik dari interneuron kolinergik striatal. Tak
ada ob yang berguna untuk mengobati Parkinsonisme yang cara
kerjanya berdasarkan aksi reseptor GABA dan glutamat, meskipun
keduanya juga memiliki peran penting di dalam ganglia basalis.
Meski demikian, keduanya menjanjikan untuk pengembangan obat
(Greenamyre and O’Brien, 1991).
Penanganan Penyakit Parkinson
Obat medikasi yang umumnya dipakai untuk terapi penyakit
Parkinson dirangkum dalam tabel 22-1.
Levadopa. Levadopa (L-DOPA, LORODOPA, DIOPAR, L-3,4-
dihydroxyphenylalanine), merupakan prekursor metabolik untuk
dopamin, merupakan agen tunggal yang paling efektif dalam
pengobatan Parkinson. Levadopa sendiri bekerja lamban, efek
terapi maupun efek samping merupakan hasil dari dekarboksilasi
levadopa menjadi dopamin. Jika digunakan secara oral, levadopa
diabsorbsi oleh usus halus dengan jalan sistem transport aktif
untuk asam amino aromatik. Konsentrasi obat ini di dalam plasma
biasanya berada antara 0,5 sampai 2 jam setelah dosis oral. Paruh
hidup di dalam plasma rendah (1 sampai 3 jam). Rata-rata dan
tingkat absorbsi levadopa bergantung pada waktu rata-rata
pengosongan lambung, pH keasaman lambung, dan jangka waktu
di mana obat tersebut terpapar dengan enzim-enzim degradasi di
lambung dan mukosa intestinal. Kompetisi absorbsinya di usus
halus dngan asam-asam amino menyebabkan efek tertentu dalam
absorbsi levadopa; levadopa yang diberi bersama-sama dengan
waktu makan akan menunda penyerapan dan mengurangi
konsentrasinya dalam plasma. Pemasukan obat ini ke SSP melalui
sawar darah otak juga menggunakan proses akti oleh carrier asam
amino aromatik, dan kompetisi antara protein dan levadopa juga
berlangsung pada level ini. Levadopa dikonversi menjadi dopamin
melalui cara dekarboksilasi, terutama di antara terminal-terminal
presinaptik neuron dopaminergik pada striatum Dopamin yang
diproduksi bertanggung jawab terhadap efektivitas dari obat.
Setelah pelepasannya, maka ia akan ditransport kembali ke
terminal dopaminergik melalui mekanisme uptake presinaptik atau
oleh aksi metabolisme MAO dan COMT (Mouradian dan Chase,
1994).
Dalam praktek modern, levadopa selalu dikombinasikan dengan L-
amino acid decarboxylated seperti carbidopa atau benserazide.
Levadopa yang diberikan secara tunggal akan didekarboksilasi
oleh enzim mukosa usus dan oleh daerah perifer lainnya, akibatnya
hanya sedikit obat yang tidak berubah yang dapat mencapai
sirkulasi otak dan mungkin kurang dari 1% yang dapat
mempenetrasi SSP. Hal lain yang terjadi ialah levadopa yang
berdar dalam sirkulasi sudah mengalami konversi perifer akan
menghasilkan efek-efek yang tidak diinginkan, biasanya muntah.
Inhibisi dekarboksilasi perifer akan menyebabkan peningkatan
fraksi levadopa yang tidak dimetabolisir dan mampu melewati
sawar darah otak dan akan mengurangi efek samping
gastrointestinal. Pada kebanyakan individu, dosis per hari
sebanyak 75 mg carbidopa sudah cukup untuk mencegah
terjadinya nausea. Oleh karena alasan ini, obat yang paling sering
diresepkan untuk Carbidopa/Levadopa (SINEMET, ATAMET)
ialah bentuk 25/100, di mana isinya adalah 25 mg carbidopa dan
100 mg levadopa. Dengan formulasi ini, jadwal pemberian tiga
tablet atau lebih sudah cukup untuk menginhibisi dekarboksilase.
Sangat jarang seseorang membutuhkan dosis besar carbidopa
untuk minimalisasi efek samping gastrointestinal, juga dengan
pemberian carbidopa suplemental (LODOSYN) sendiri dapat
bermanfaat.
Terapi Levadopa dapat berefek dramatis kepada tanda dan gejala
parkinson. Perbaikan terhadap tremor, rigiditas, dan bradikinesia
dapat sempurna apabila pemberian terapi dalam awal perjalanan
penyakit Parkinson. Pada Parkinson awal, efek levadopa yang
menguntungkan dapat melampaui paruh hidup obat di plasma, oleh
karena sistem dopamin nigrostriatal memiliki kapasitas
penyimpanan dopamin prinsip untuk menghindari penggunaan
levadopa jangka panjang ialah karena dalam penggunaan jangka
panjang kemampuan penyimpanan dopamin berangsur menghilang
juga status motor pasien akan berfluktuasi dramatis setiap dosis
pemberian levadopa. Masalah yang terjadi ialah adanya ‘fenomena
wearing off’ di mana pemberian dosis efektif levadopa akan
memperbaiki mobilitas untuk beberapa waktu sampai 1-2 jam,
tetapi rigiditas dan akinesia akan kembali selama interval dosis.
Meningkatkan dosis dan frekuensi pemberian dapat memperbaiki
situasi ini, tetapi hal ini juga terbatas oleh karena terbentuknya
diskinesia, eksesif serta gerakan-gerakan abnormal. Diskinesia
dapat dilihat lebih sering jika konsentrasi levadopa tinggi di dalam
plasma, meski pada individu tertentu diskinesia ataupun distonia
dapat terpicu apabila konsentrasinya meningkat maupun menurun.
Pergerakan-pergerakan ini menjadi tidak menyenangkan dan
menghambat sama halnya seperti rigiditas dan akinesia pada
Parkinson. Pada tahap lebih lanjut, penderita dapat berfluktuasi
dari menjadi ‘off’, tanpa efek menguntungkan pada terapi atau
menjadi ‘on’ tetapi dengan munculnya diskinesia yang
menghambat, di mana situasi ini disebut ‘fenomena on/off’.
Bukti terkini menemukan bahwa terjadinya induksi fenomena
on/off dan diskinesia bisa oleh karena proses adaptasi terhadap
variasi kadar levadopa antara otak dan plasma yang berbeda.
Proses adaptasi ini terlihat kompleks termasuk di dalamnya alterasi
terhadap ekspesi reseptor dopamin tapi bukan hanya itu saja
namun juga terjadi perubahan downstream sampai ke neuron post
sinaps striatal termasuk perubahan/terjadinya modifikasi reseptor
NMDA glutamat (Mouradian dan Chase, 1994; Chase, 1998).
Saat kadar levadopa dipertahankan dengan cara menggunakan
infus intravena, maka terjadinya diskinesia dan fluktuasi dapat
berkurang drastis, sehingga perbaikan klinis dapat dipertahankan
untuk beberapa hari berselang meskipun sudah menggunakan dosis
oral levadopa. (Mouradian et al.,1990; Chae et al.,1994). Terdapat
formulasi sustained release yang berisi carbidopa/levadopa dalam
bentuk erodable wax matrix (SINAMEX CR) yang dipasarkan
sebagai usaha untuk menghasilkan kadar plasma levadopa yang
lebih stabil secara oral dibandingkan carbidopa/levadopa yang
standar. Formula ini sangat membantu pada kasus-kasus tertentu
namun absorbsi dari formula ini tidak sepenuhnya dapat diprediksi.
Teknik lain yang dipergunakan untuk mencegah fenomena on/off
ialah dengan cara menghitung jumlah dosis total
carbidopa/levadopa dalam sehari kemudian membaginya dalam
jumlah yang sama besar untuk setiap dua jam pemberian.
Pertanyaan penting yang belum terjawab pada pemberian
levadopa pada Parkinson ialah apakah pengobatan ini dapat
mengubah arah perjalanan penyakit dibandingkan hanya
mengobati gejala (Agit et al.,1998). Dua aspek yang dilihat dalam
pengobatan levadopa dan outcome PD dipermasalahkan di sini.
Pertama, apabila produksi radikal bebas yang berasal dari
metabolisme dopamin adalah penyebab matinya saraf nigrostriatal,
maka penambahan levadopa ditakutkan akan mempercepat proses
ini (Olanow, 1990) walaupun bukti-bukti kuat terjadinya hal ini
belum ada. Kedua, akan terjadi efek yang tidak diinginkan seperti
‘on/off’ dan ‘wearing off’ fenomena pada pasien yang diterapi
memakai levadopa, tetapi tidak diketahui jika penundaan terapi
dengan levadopa akan menghambat kemunculan efek ini (Fahn,
1999). Atas ketidakpastian ini, kebanyakan praktisi telah
mengadopsi pendekatan pragmatik, yaitu menggunakan levadopa
hanya ketika gejala Parkinson menyebabkan gangguan fungsional.
Selain terjadinya fluktuasi motoris dan nausea, terdapat juga efek
samping lain yang dapat terjadi pada pengobatan levadopa.
Umumnya efek samping yang terjadi yaitu adanya induksi
halusinasi dan konfusi. Efek samping ini biasanya muncul pada
orang lanjut usia serta pada mereka yang mengalami disfungsi
kognitif ‘pre-eksisting’ dan hal ini sering menghambat terapi yang
adekuat untuk gejala-gejala Parkinsonian. Agen antipsikotis
konvensional seperti fenotiazin sangat efektif melawan psikosis
akibat levadopa, namun obat ini dapat memperburuk penyakit
Parkinsonisme mungkin oleh karena kerja obat ini pada reseptor
D2. Cara baru saat ini ialah dengan menggunakan agen-agen
antipsikotik ‘atipikal’, dim ana agen ini tidak memperburuk
Parkinsonisme (lihat bab 20). Agen yang efektif ini ialah
Clozapine dan Quetiapine(Friedman dan Factor, 2000).
Dekarboksilasi perifer atas levadopa serta pelepasan dopamin ke
dalam sirkulasi dapat mengaktivasi reseptor-reseptor dopamin
dalam pembuluh darah sehingga menyebabkan hipotensi ortostatik.
Dopamin yang bekerja pada reseptor-reseptor α dan β-adrenergik
dapat menginduksi terjadinya aritmia jantung terlebih pada pasien-
pasien yang memiliki gangguan konduksi sebelumnya. Pemberian
levadopa bersama-sama dengan inhibitor MAO non-spesifik seprti
Phenelzine dan Tranylcypromine akan menyebabkan aksentuasi
kerja levadopa serta presipitasi krisis hipertensi dan hiperpireksia:
inhibitor MAO non-spesifik harus dihentikan ± 14 hari sebelum
pemberian levadopa (catatan bahwa larangan ini tidak terjasuk
inhibitor subtipe spesifik MAO-B Selegine karena dalam diskusi
sebelumnya, dapat diberi secara aman meski dikombinasikan
dengan levadopa). Efek withdrawal dari levadopa maupun
pengobatan-pengobatan dopaminergik lainnya dapat menyebabkan
“neuroleptic melignant syndrome” umumnya terjadi setelah
pengobatan antagonis dopamin (Keyser dan Rodnitzky, 1991).
Reseptor-reseptor agonis dopamin. Obat alternatif yang
digunakan selain levadopa ialah obat-obat agonis langsungterhadap
reseptor dopamin striatal. Hal ini adalah metode pendekatan baru
yang memiliki beberapa keuntungan oleh karena hasil konversi
enzimatik dari obat-obat ini lebih efektif kerjanya daripada
levadopa untuk pengobatan penyakit Parkinson tahap lanjut.
Levadopa mengaktivasi seluruh tipe reseptor dopamin otak
sedangkan obat-obat agonis reseptor dopamin relatif lebih selektif
terhadap tipe reseptor dopamin tertentu. Obat-obat agonis reseptor
dopamin memiliki jangka kerja lebih lama daripada levadopa dan
hal ini sangat berguna sehubungan dengan dosis yang
menyebabkan fluktuasi status motorik. Jika terbukti hipotesis
pembentukan radikal bebas akibat metabolisme dopamin dpat
menyebabkan kematian neuron itu benar, maka agonis reseptor
dopamin mestinya mampu mengurangi pelepasan dopamin
endogen sama halnya yang terjadi dengan pemebrian levadopa
eksogen (Goetz, 1990).
Terdapat 4 macam obat-obat agonis reseptor dopamin:
Bromocriptine (PARLODEL) dan Pergolide (PERMAX); dan
yang lebih baru Ropinirole (REQUIP) dan Pramipexole
(MIRAPEX). Bromocriptine dan Pergolide adalah derivat ergot
dan memiliki spektrum terapi serta efek samping yang hampir
sama. Bromocriptine adalah agonis kuat reseptor dopamin D2 dan
antagonis parsial reseptor D1 sedangkan Pergolide merupakan
agonis kuat kedua jenis reseptor. Ropinirole dan Pramipexole
(gambar 22-8) memiliki selektivitas hanya bekerja pada reseptor
D2 (lebih spesifik: bekerja pada reseptor D2 dan D3) dan sma sekali
kurang beraktifitas pada reseptor D1. Keempat macam obat ini
diserap dengan baik jika diberikan secara oral.
Lama kerja agonis dopamin biasanya lebih lama dibandingkan
dnegan lama kerja dari levadopa. Agonis dopamin ini juga efektif
untuk mengobati penderita yang telah terkena fenomena on/off.
Keempat obat ini juga menghasilkan halusinosis atau kebingungan,
hal ini sama dengan pada pemberian levadopa, dan juga dapat
memperburuk hipotensi ortostatik. Obat yang baru dan obat yang
lama memiliki perbedaan yang paling mendasar yaitu untuk
toleransi serta kecepatan titrasinya. Pemberian awal bromokriptine
atau pergolide dapat menyebabkan hipertensi berat, oleh karena
itu, keduanya diberikan dalam dosis rendah. Derivat ergot dapat
merangsang mual dan kelelahan pada pemberian awal. Gejala-
gejala ini biasanya terselubung tetapi untuk terjadinya dibutuhkan
penyesuaian peningkatan dosis perlahan-lahan dalam seminggu
atau kurang. Ropinirole dan Pramipexole dapat diberikan awal
lebih cepat, memperoleh dosis terapi dalam seminggu atau kurang.
Ropinirole dan Pramipexole kurang menyebabkan gangguan
gastrointestinal dibanding derivat ergot, namun obat ini dapat
memproduksi/menciptakan nausea dan kelelahan. Meski obat baru
ini sudah diterima luas di Amerika Serikat, namun data-data efek
jangka panjang dari obat ini masih kurang. Efek samping yang
dilaporkan dari obat pramipexole dan ropinirole ialah terjadinya
gangguan tidur dan adanya serangan tidur tiba-tiba saat melakukan
aktivitas sehari-hari (Frucht ex al.,1999). Efek ini tidak biasanya
terjadi, tetapi harus bijaksana untuk mengganti dengan terapi lain
apabila gejala-gejala ini muncul. Pengenalan obat Pramipexole dan
Ropinirole mengubah penggunaan klinik. Agonis-agonis dopamin
pada penyakit Parkinson. Toleransi yang baik terhadap agonis-
agonis selektif ini menyebabkan peningkatan penggunaan obat ini
sebagai terapi awal penyakit Parkinson dibanding menjadi
tambahan dari pemberian Levadopa. Perubahan ini disebabkan
oleh dua faktor: 1. Keyakinan bahwa agonis dopamin kurang
menginduksi efek on-off maupun diskinesia sehubungan dengan
durasi kerja obat yang lebih lama. 2. Kewaspadaan bahwa
levadopa berpengaruh atas stres oksidatif, sehingga mempercepat
hilangnya neuron dopaminergik. Penting diketahui bahwa hal ini
merupakan penemuan dlam eksperimentasi laboratorium sehingga
hanya terdapat bukti-bukti yang terbatas mengenai efeknya
terhadap penderita. Dua percobaan klinik terkontrol yang
membandingkan antara levadopa dan pramipexole atau ropinirole
untuk terapi awal penyakit Parkinson mengungkapkan bahwa
terjadi pengurangan fluktuasi rata-rata motorik penderita pada
pemberian agonis sehingga semakin mendongkrak obat ini untuk
dipergunakan dalam klinis (Parkinson Study Group, 2000; Rascol
et al,. 2000).
Inhibitor COMT. Kelas obat yang akhir-akhir ini telah
dikembangkan untuk mengobati Parkinson ialah inhibitor enzim
Catechol-O-Methyltransferase (COMT). COMT dan MAO
bertanggung jawab atas katabolisme levadopa dan dopamin.
COMT mentransferkan grup metil dari donor S-adenosyl-L-
methionine serta memproduksi senyawa 3-O-methyl DOPA (dari
levadopa) yang tidak aktif secara farmakologis, dan juga senyawa
3-methoxytyramine (dari dopamine) (gambar 22-9).
Sebagai konsumsi oral, maka hampir 99% obat tersebut
dikatabolisir dan tidak menjangkaui otak.
Mayoritas obat ini dikonversi asam amino-L-dekarboksilase
aromatik (AAD) menjadi dopamin yang menyebabkan nausea dan
hipotensi. Pemberian AAD seperti misalnya carbidopa akan
mengurangi terbentuknya dopamin namun menambah jumlah
fraksi levadopa yang dimetilasi oleh COMT. Cara kerja inhibitor
COMT yaitu dengan memblok konversi levadopa menjadi 3-O-
metil DOPA di perifer, meningkatkan paruh hidup levadopa dalam
plasma juga setiap dosis yang mencapai SSP (Goetz, 1998).
Ada dua inhibitor COMT tersedia di Amerika Serikat, tolcapone
(TASMAR) dan entacapone (COMTAN). Kedua agen ini telah
mengalami double blind trial dengan adanya pengurangan gejala
klinik wearing off pada penderita yang diberikan levadopa
Carbidopa (Parkinson Study Group, 1997; Kurbh et al.,1997).
Meskipun besarnya efek klinis maupun mekanisme aksinya serupa,
namun keduanya dibedakan atas farmakokinetis dan efek samping
yang ditimbulkannya. Tolcapone relatif bekerja jangka panjang,
diberi dua sampai tiga kali sehari, dan kerja dari Entacapone ialah
cukup singkat, sekitar 2 jam sehingga biasanya diberikan secara
simultan dalam setiap dosis levadopa/carbidopa. Kerja entacapone
ialah inhibisi COMT di perifer. Efek samping yang biasanya
timbul sama dengan pada mereka yang memakai
levadopa/carbidopa sendiri, yaitu nausea, hipotensi ortostatik, dan
vivid dreams, konvulsi serta halusinasi. Efek samping yang penting
yang dapat terjadi karena obat tolcapone adalah hepatotoksisitas.
Dalam percobaan klinis, sampai 2% pasien yang diterapi akan
mengalami kenaikan serum alanin transferase dan aspartat
transaminase; setelah dipasarkan, ditemukan tiga kasus fatal
terjadinya kegagalan hepatik fulminan. Sekarang ini, tolcapone
hanya bisa diberikan apabila terapi lain tidak berespon dan harus
dilakukan penmantauan terhadap kemungkinan cedera hepatik.
Entracapone tidak menimbulkan hepatotoksisitas dan juga tidak
membutuhkan pemantauan khusus.
Selegeline. Dua isoenzim MAO mengoksidasi monoamino. Meski
kedua isoenzim (MAO-A dan MAO-B) berada di perifer, juga
monoamin inaktif asalnya dari intestinal, tapi dominasi isoenzim
MAO-B berada di striatum dan bertanggung jawab atas
kebanyakan metabolisme oksidatif dopamin di striatum. Dalam
dosis yang rendah sampai moderat, (10 mg/hari atau kurang)
selegeline (ELDEPRYL) merupakan inhibitor selektif MAO-B,
dapat menyebabkan inhibisi yang reversibel enzim tersebut
(Olanow, 1993). Tidak seperti inhibitor MAO non spesifik (seperti
phenelzine, tranylcypromine, dan isocarboxacide), selegiline
diberikan bersama levadopa. Selegiline juga tidak menyebabkan
potensiasi letal terhadap aksi katekolamine pada pasien yang
mendapatkan inhibitor MAO non spesifik yang didapatkan secara
tidak langsung yaitu melalui amina simptomatik seperti tiramine
yang dapat ditemukan di bahan makanan seperti keju dan anggur
tertentu. Pemberian selegiline dengan dosis yang lebih tinggi dari
10 mg per hari dapat menyebabkan inhibisi MAO-A dan hal
tersebut harus dihindarkan.
Selegiline telah digunakan beberapa tahun terakhir untuk
mengobati simtomatik penyakit Parkinson meskipun efek terapinya
hanya sedang saja. Kegunaan selegiline diduga menghambat
perombakan dopamin yang berada di striatum. Karena belakangan
ini banyak ketertarikan peran radikal bebas dan stres oksidatif,
maka pada patogenesis parkinson, diduga kemampuan selegiline
dalam menghambat metabolisme dopamin dapat memberikan sifat
neuroprotektif. Peran protektif selegiline pada idiopatik parkinson
telah dievaluasi berkala pada beberapa multisenter; penelitian ini
membuktikan efek simtomatik selegiline pada parkinson, namun
pada follow-up jangka panjang ditemukan kegagalan obat ini untuk
menghambat hilangnya neuron-neuron dompaminergik (Parkinson
Study Group, 1993).
Selegiline dapat ditoleransi oleh pasien dengan parkinson yang
ringan. Pada pasien dengan Parkinson lebih lanjut, selegiline dapat
menonjolkan reaksi efek sampingnya pada motorik serta kognitif
penderita. Metabolit selegiline termasuk di dalamnya adalah
amfetamin dan metamfetamin dapat menyebabkan ansietas,
insomnia, dan efek samping lainnya. Yang menarik, dapat
ditemukan pada selegiline dapat menyebabkan terjadinya stupor,
rigiditas, dan agitasi serta hipertermi setelah diberikan bersama-
sama dengan meperidine; dasar dari interaksi ini belum pasti. Juga
ditemukan laporan adanya efek samping antara pemberian
selegiline bersama-sama dengan antidepresan trisiklik dan anatara
selegiline dan inhibitor serotonin-reuptake.
Antagonis Reseptor Muskarinik. Obat antagonis reseptor
moskarinik asetilkolin telah umum digunakan dalam mengobati
Parkinson sebelum ditemukannya levadopa. Dasar biologis aksi
terapi dari obat ini belum dimengerti sepenuhnya. Tampaknya aksi
obat ini di neostriatum melalui reseptor yang biasanya
memperantarai respons inervasi kolinergik intrinsik, di mana
inervasi ini berasal terutama dari interneuron konergik di striatal.
Beberapa reseptor-reseptor kolinergik muskarinik telah dapat di-
cloning (Bab 7 dan 12); seperti reseptor dopamin, maka protein ini
memiliki 7 domain transmembran yang terhubung dnegan sistem
mesengger sekunder protein G. Lima subtipe reseptor muskarinik
yang telah diidentifikasi dengan empat reseptor dari kelimanya
dapat ditemukan di striatum meskipun lokasi distribusinya
berbeda-beda (Hersch et al., 1994). Beberapa obat dengan fungsi
antikolinergik yang sering digunakan pada Parkinson ialah
trihexyphenidyl (ARTANE, 2 sampai 4 mg, tiga kali sehari),
benztropine mesylate (COGENTIN, 1 sampai 4 mg, dua kali per
hari) dan diphenhydramine hydrochloride (BENADRYL, 25
sampai 50 mg, 3 sampai 4 kali per hari). Semua obat ini memiliki
aksi anti parkinson yang terutama berguna dalam terapi Parkinson
awal atau sebagai tambahan dalam pengobatan dopamimetik. Efek
samping dari obat ini adalah hasil dari kerja antikolinergiknya.
Kebanyakan masalah yang terjadi ialah efek sedasi dan konfusi
menta, biasanya pada orang lanjut usia. Mereka juga dapat
menyebabkan konstipasi, retensi urine, dan mengaburkan
penglihatan karena sikloplegia; obat ini harus digunakan dengan
hati-hati pada penderita glaucoma sudut sempit.
Amantadine. Amantadine (SYMMETREL), adalah agen antivirus
yang digunakan sebagai profilaksis untuk mengobati influenza A
(lihat Bab 50), namun memiliki aksi antiparkinsonian juga.
Mekanisme kerja dari amantadine belum jelas. Diduga bahwa obat
ini mungkin mengalihkan pelepasan dopamin atau re-uptakenya;
sifat antikolinerginya juga memberikan kegunaan dalam aksi
terapi. Amantadine dan senyawa yang mirip yaitu memantadine
memiliki aktivitas pada reseptor glutamat NMDA yang juga
berperan dalam aksi antiparkinson (stoof et al., 1992). Dalam kasus
apapun, efek dari amantadine pada Parkinson bersifat sedang. Obat
ini biasanya digunakan untuk terapi awal Parkinson ringan. Obat
ini juga dapat membantu sebagai tambahan pada pasien yang
mendapat levadopa dosis bervariasi. Amantadine bisanya diberikan
dalam besar dosis 100 mg dua kali sehari dan biasanya dapat
ditoleransi dengan baik. Dizzines, letargi, efek antikolinergik, dan
gangguan tidur, juga nausea serta vomiting dapat ditemukan,
namun apabila hal ini terjadi biasanya efeknya ringan saja dan
reversibel.
PENYAKIT ALZHEIMER
Tinjauan Klinis. Alzhemir menyebabkan gangguan kemampuan
kognitif yang bertahap namun perjalanannya tidak dapat
ditanggung-tanggung menjadi buruk. Gangguan dalam ingatan
jangka pendek biasanya menandakan gejala klinis awal, sementara
kemampuan untuk mengingat memori masa lalu relatif masih
dipertahankan. Dalam perjalanannya, tambahan gangguan kognitif
dapat terjadi, salah satunya ialah gangguan dalam kemampuan
berhitung, kemampuan visuospatial, dan gangguan penggunaan
perangkat ataupun objek yang biasanya digunakan penderita
(apraksia ideomotor). Tingkat kewaspadaan penderita tidak
terganggu hingga kondisi dari penyakit ini sudah dalam tahap
lanjut, atau apabila terjadi kelemahan motorik, meskipun
kontraktur ototlah sebagai penyebab paling umum dari tahap lanjut
penyakit ini. Kematian, biasanya terjadi oleh karena komplikasi
akibat imobilitas penderita misalnya karena pneumonia atau
embolisme paru yang biasanya terjadi dalam 6 sampai 12 tahun
sejak kemunculan awal dari penyakit ini. Mendiagnosis Alzheimer
harus didasarkan oleh penilaian klinis yang seksama dan didukung
dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang cukup untuk dapat
membedakan penyakit ini dengan penyakit lainnya yang
menyerupai Alzheimer; sekarang ini, tidak ada test langsung yang
dapat membuktikan penyakit ini.
Patofisiologi. Alzheimer dikenali oleh adanya atropi dari korteks
serebral dan hilangnya neuron-neuron di korteks maupun
subkorteks. Penanda patologis dari penyakit ini adlah plak senilis,
yang berbentuk sferis oleh karena akumulasi protein β-amiloid
beserta proses degenerasi saraf, dan juga neurofibrillary tangles,
terdiri dari filamn-filamen heliks dan protein-protein lainnya
(arnold et al., 1991; Arriagada et al.,1992; Braak dan Braak, 1994).
Meski jumlah kecil dari plak senilis dan neurofibrillary tangles ini
dapat diamati baik pada individu berintelektual biasa, namun plak
dan tangles ini ditemukan lebih banyak pada Alzheimer, dan
tangles yang benyak lebih berhubungan dengan beratnya gangguan
kognitif. Pada Alzeimer tingkat lanjut, plak senilis dan
neurofibrillary tangles cukup banyak. Mereka berada di
hipokampus dan daerah asosiasinya di korteks, sementara daerah-
daerah seperti korteks visual dan korteks motorik tidak terganggu.
Kejadian ini akan berkorespondensi dengan gejala-gejala klinik
berupa gangguan ingatan dan pemahaman abstrak, tanpa terjadinya
gangguan penglihatan serta pergerakan. Faktor-faktor yang
mendasari gangguan ini tidak diketahui.
Neurochemistry. Gangguan neurokimia yang muncul pada
Alzheimer telah dipelajari secara intensif (Johnston, 1992).
Analisis langsung dari isi neurokimia dalam korteks serebri
menunjukkan pengurangan substansi transmiter yang paralel
dengan hilangnya neuron; tarjadi serangan serta defisiensi
asetilkolin yang disproporsional. Dasar anatomis dari defisit
kolinergik ini ialah atrofi dan degenerasi dari neuron kolinergik
subkortikal, khususnya yang berada di basal forebrain (nukleus
basalis Meynert), neuron inilah yang memberikan inervasi
kolinergik ke seluruh bagian korteks serebral. Defisiensi selektif
dari asetilkolin pada Alzheimer seperti atropin dapat menginduksi
status konfusi yang membentuk adalnya demensia pada Alzheimer
ini, sehingga terdapat hipotesis kolinergik yang mengatakan bahwa
defisiensi asetilkolin adalah penting pada pembentukan gejala-
gejala Alzheimer (Perry, 1986). Meski konsep ini sebagai ‘sindrom
defisiensi kolinergik’ Parkinson menunjukkan kaitan yang
berguna, sangatlah penting diperhatikan bahwa pada defisit
penyakit Alzheimer kejadiannya lebih kompleks yang melibatkan
sistem neurotransmiter komleks termasuk serotonin, glutamat, dan
neuropeptida, dan pada Alzheimer terjadi destruksi korteks dan
hipokampal yang menerima input kolinergik dan bukan hanya
rusaknya saraf-saraf kolinergik saja.
Peranan β-Amiloid. Kehadiran agregat β-Amiloid selalu
ditemukan pada Alzheimer. Sampai saat ini, belum ada penjelasan
yang dapat menerangkan mengapa protein amiloid terhadap
perjalanan penyakit ataukah hanya produk perantara saja dalam
terjadinya kematian saraf. Aplikasi dari genetika molekular sedikit
membantu kita atas pertanyaan di atas. β-Amiloid yang diisolasi
dari otak terdiri atas 42 sampai 43 macam asam amino. Informasi
yang dibawa protein ini ialah perintah kloning protein prekursor
amiloid (APP), suatu protein yang lebih besar ukurannya terdiri
dari 700 asam amino yang diekspresikan oleh neuron otak yang
banyak diekspresikan oleh saraf otak pada individu normal
maupun pada penderita Alzheimer. Fungsi APP tidak diketahui
meskipun dapat dilihat secara struktural bahwa APP berfungsi
sebagai reseptor permukaan sel untuk ligan tertentu yang belum
teridentifikasi. Produksi β-Amiloid dari APP kemungkinan oleh
karena cleavage proteolitik abnormal terhadap enzim BACE (β-site
APP-cleaving enzyme). Hal ini di masa depan dapat dimanfaat
menjadi target terapi (Vassar et al., 1999).
Analisis struktur gen APP pada pedigree menunjukkan turunan
autosomal dominan pada Alzheimer pada keluarga tertentu,
ditemukan mutasi dari regio pembentukan β-Amiloid pada APP,
sedangkan pada keluarga lain, mutasi dari protein melibatkan juga
mutasi dari APP (selkoe, 1998). Hasil ini menunjukkan adanya
abnormalitas dari APP maupun mutasinya dapat menyebabkan
Alzheimer. Kebanyakan kasus Alzheimer yang tidak familial, dan
abnormalitas struktur APP maupun protein lain yang terlibat di
dalamnnya belum ditinjau secara konsisten pada kasus-kasus
Alzheimer yang menyebar secara sporadik. Seperti disebutkan
sebelumnya, protein alel apo E dapat mempengaruhi terjadinya
Alzheimer. Hal ini disimpulkan bahwa memodifikasi metabolisme
APP dapat mengubah arah kasus Alzheimer baik secara familial
maupun sporadiknya, namun tidak satupun strategi klinis sudah
dibuat. (whyte et al., 1994).
Terapi penyakit Alzheimer. Pendekatan besar telah dilakukan
dalam menterapi Alzheimer dengan usaha untuk menguatkan
fungsi kolinergik pada otak (Johnston, 1992). Pendekatan awal
ialah dengan menggunakan prekursor sintesis asetilkolin, seperti
choline chloride dan phosphatidyl choline (lechitin). Meski
suplementasi ini secara umum mampu ditoleransi, percobaan
random membuktikan dapat ditemukan adanya kegagalan. Injeksi
intraserebroventrikular agonis kolinergik seperti bethanacol
tampaknya dapat menguntungkan, meskipun hal ini membtuhkan
implantasi operasi untuk reservoir yang menghubungkan ruang
subaraknoid dan untuk kebutuhan praktis lainnya. Strategi yang
lebih berhasil ialah dengan menggunakan inhibitor
asetilkolinesterase (AchE), suatu enzim katabolik untuk asetil kolin
(lihat bab 8). Physostigmine, suatu inhibitor reversibel AchE kerja
cepat memberikan efek respon pada binatang percobaan, dan
beberapa pelajaran tertentu menunjukkan perbaikan ringan memori
akibat pemberian fisostigmin ini. Penggunaan fisostigmin harus
dibatasi oleh karena waktu paruhnya singkat dan bertendensi
menyebabkan gejala ekses kolinergik sistemik meski pada
pemberian dosis terapi.
Empat inhibitor dari AchE saat ini diakui oleh United States Food
and Drug Administration untuk mengobati penyakit Alzheimer
ialah tacrine (1,2,3,4 – tetrahydro-9-aminoacridine; COGNEX),
donepezil (ARICEPT) (Mayeux dan Sano, 1999). Rivastigmine
(EXCELON), dan galantamine (REMINYL). Takrin bersifat
poten, menghambat AchE dengan aksi sentralnya (Freeman dan
Dowson, 1991). Studi mengenai pemberian takrin oral yang
dikombinasikan dengan lesitin menunjukkan takrin pada
pengukuran kinerja memori, namun perbaikan terbaik yang dapat
diamati ialah melalui kombinasi lesitin dan trakrium (Chatellier
dan Lacomblez, 1990). Efek samping dari Tachrine dapat terjadi;
sakit perut, anoreksia, nausea, vomiting, dan diare ditemukan pada
satu diantara 3 penderita yang menerima terapi. Dan peningkatan
kadar serum transaminase pada 50% penderita. Oleh karena efek-
efek signifikannya, takrin tidak digunakan secara luas pada praktek
klinik. Donepezil adalah inhibitor selektif AchE pada SSP yang
berefek minimal pada Ache jaringan perifer. Donepezil dapat
memperbaiki keadaan klinis kognitif penderita (Roger dan
Friedhoff, 1988) dan memiliki paruh hidup yang lama (lihat
Appendiks II), sehingga dapat diberikan dosis satu kali sehari.
Rivastigmine dan Galantamine diberikan dua kali per hari dan
menghasilkan perbaikan klinis kognitif yang sama dengan
Donepezil. Efek samping dari donepezil, rivastigmine, dan
galantamin hampir sama namun lebih sering terjadi pada penderita
yang diberikan takrin; hal ini meliputi nausea, diare, vomiting, dan
insomnia. Donepezil rivastigmine, dan galantamine tidak
menyebabkan hepatotoksisitas.
Obat yang saat ini sedang dalam pengembangan dalam
pengobatan Alzheimer ialah agen antikolinesterase. Memantine,
sebuah antagonis reseptor NMDA menunjukkan hal yang
menjanjikan dalam memperlambat perjalanan penyakit Alzheimer
pada penderita yang penyakitnya cukup serius. Antioksidan, agen
antiinflamasi serta estrogen telah dipelajari, namun tidak ada
satupun yang menunjukkan kemanjuran. Identifikasi APP dan
enzim-enzim yang terlibat pada pembentukan protein ini telah
membuka kesempatan dalam pengembangan antiagregat, suatu
vaksin β-Amiloid, dan pengalihan perkembangan APP, yang dapat
mewakili generasi selanjutnya dalam terapi Alzheimer.
PENYAKIT HUNGTINGTON
Tinjauan Klinis. Hungtington diturunkan secara dominan dan
merupakan kelainan yang dikenal timbul secara bertahap suatu
inkoordinasi motorik serta penurunan kognitif pada umur
pertengahan hidup manusia. Timbul gejala-gejala tersembunyi
berupa gerakan-gerakan singkat dan kasar dari ekstremitas, tubuh,
wajah, dan leher (khorea) maupun perubahan personalitas
penderita ataupun kedua-duanya. Inkoordinasi motorik dan
gerakan mata yang cepat merupakan tanda-tanda awal. Jika onset
dari penyakit berkembang sebelum umur 20 maka gejala khorea
yang terjadi bisa saja tidak menonjol, malahan lebih didominasi
oleh bradikinesia dan distonia. Seiring dengan perkembangannya,
gerakan involunter menjadi semakin berat, disartria dan disfagia
terbentuk, dan keseimbangan tubuh akan terganggu. Kelainan
kognitif akan bermanifestasi awalnya berupa kelambanan proses
mental dan sulitnya dalam mengatur suatu kerja kompleks.
Memori juga akan terpengaruh, namun penderita yang terkena
jarang kehilangan memori akan keluarga, teman, dan bila terjadi
suatu kejadian yang tiba-tiba. Penderita biasanya menjadi iritabel,
cemas, dan depresi. Bisa saja terjadi paranoia dan status delusional
namun hal ini jarang terjadi. Hasil akhir dari penyakit Hungtington
ini biasanya fatal; dalam kurun waktu 15 sampai 30 tahun,
penderita menjadi lumpuh total dan tidak mampu berkomunikasi,
sehingga dibutuhkan perawatan seumur hidup; kematian biasanya
disebabkan oleh karena komplikasi imobilitas penderita (Hayden,
1981; Harper, 1991,1992).
Patologi dan Patofisiologi. Hungtington ditandai dengan
hilangnya neuron yang jelas terlihat pada bagian kaudatus/putamen
otak (Vonsattel et al., 1985). Atropi dari bagian ini berlangsung
dalam urutan tertentu, pertama menyerang bagian ekor nukleus
kaudatus kemudian terus berjalan ke anterior, dari medial-dorsal ke
lateral-ventral. Daerah-daerah lain dari otak juga terkena, meski
tidak terlalu berat; analisis morfometrik menunjukkan adanya
saraf-saraf yang kurang di korteks serebri, hipotalamus, dan
talamus. Meski di daerah striatum, degenerasi saraf oleh karena
Hungtington ini bersifat selektif. Interneuron dan terminal aferen
biasanya tersisa sementara neuron proyeksi striatal (neuron
medium spiny) terkena. Hal ini menyebabkan penurunan
konsentrasi GABA striatal, sementara somatostatin dan konsentrasi
dopamin tetap dipertahankan (Ferrante et al., 1987; Reiner et al.,
1988).
Kerentanan selektifitas juga timbul menimbulkan kecurigaan klinik
dari Hungtington, yaitu terbentuknya khorea. Dalam kebanyakan
kasus yang onsetnya pada orang dewsa, neuron medium spiny yang
meproyeksikan LGP dan SNpr (jalur tidak langsung/indirek)
tampaknya berpengaruh lebih awal dibandingkan neuron-neuron
yang memproyeksikan MGP (jalur langsung/direk; Albin et al.,
1990, 1992). Gangguan disproporsional dari jalur tidak langsung
akan meningkakan eksitatoris dari neokorteks, mengakibatkan
pembentukan gerkaan involunter seperti khorea (gambar 22-10).
Pada beberapa individu, rigiditas dibanding khorea adalah tanda
klinis yang predominan; hal ini biasanya terjadi pada kasus-kasus
dengan onset juvenil. Pada kasus ini neuron striatal menyebabkan
peningkatan jalur direk maupun indirek dan menyebabkan
gangguan di dalamnya.
Genetik. Hungtington merupakan kelainan autosomal dominan
dengan penetrans yang hampir lengkap. Rata rata umur di mana
onset dari penyakit ini terjadi ialah antara 35 sampai 45 tahun,
namun range ini bervariasi dari awalnya umur dua sampai
pertengahan 80an. Meski penyakit ini sama-sama dapat diturunkan
baik melalui ayah maupun ibu, lebih dari 80% gejala yang
terbentuk sebelum umur 20 tahun berasal dari turunan ayah. Hal
ini merupakan contoh antisipasi, atau tendensi umur dari onset
penyakit menurun pada tiap generasi, yang juga dapat diamati baik
pada penyakit degenerasi saraf lainnya yang bermekanisme genetik
sama. Homozigot untuk Hungtington menunjukkan karakteristik
identik atas Hungtington atipikal heterozigot, menunjukkan bahwa
kromosom yang tidak terpengaruh tidak akan melemahkan
simtomatologi penyakit. Dengan ditemukannya defek genetik yang
bertanggung jawab terhadap Hungtington, mutasi-mutasi de novo
yang menyebabkan Hungtington biasanya tidak biasa; tetapi
jelaslah sekarang bahwa penyakit ini dapat timbul dari orang tua
yang tidak terkena Hungtington, khususnya ketika seseorang
membawa suatu ‘alel intermediat’, seperti yang akan dijelaskan
berikut.
Penemuan dari mutasi genetik yang bertanggung jawab pada
penyakit Hungtington adalah produk dari kerja keras sepuluh tahun
pada kerja sama kolaboratif. Pada tahun 1993 suatu regio dekat
telomer dari kromosom 4 ditemukan mengandung trinukleotida
polimorfik (CAG)n yang muncul kembali secara signifikan pada
setiap individu dengan Hungtington (Hungtington’s Disease
Collaborative Research Group, 1993). Ekspansi dari pengulangan
trinukleotida ini merupakan alterasi genetik yang bertanggung
jawab atas penyakit Hungtington. Range pengulangan lebar CAG
pada individu normal ialah antara 9 sampai 34 triplets, dengan
pengulangan jarak median pada kromosom 19. Lebar yang
berulang dari Hungtington bervariasi dari 40 sampai 100. Lebar
yang berulang dari 35 sampai 39 mewakilkan alel-alel intermediat;
beberapa dari individu membentuk penyakit Hungtington di usia
lanjut, sementara yang lainnya tidak. Lebar berulang ini
dikorelasikan secara terbalik dengan umur munculnya onset
penyakit. Semakin muda onset penyakit, maka semakin tinggi
kemungkinan pengulangan angka. Korelasi ini sangat kuat pada
individu dengan onset sebelum 30 tahun; pada onset di atas 30
tahun korelasi ini semakin lemah. Kemudian, jarak berulang tidak
dapat berfungsi sebagai prediktor adekuat atas umur onset ini pada
kebanyakan penderita. Kerja subsekuan menunjukkan bahwa
penyakit neurodegeneratif lainnya juga berasal dari ekspansi
pengulangan CAG, termasuk di dalamnya ialah ataksia
spinoserebelar herediter dan penyakit Kennedy, suatu kelainan
turunan yang langka dari neuron motoris (Paulson dan Fischbeck,
1996).
Selektivitas. Mekanisme di mana ekspansi pengulangan
trinukelotida menuntunpada keadaan klinis maupun patologis dari
Hungtington tidak diketahui. Mutasi Hungtington terlertak di
antara gen IT15. gen IT15 itu sendiri sangat besar (10 kilobase) dan
mengenkode suato protein kira-kira 348.000 dalton atau 3144 asam
amino. Pengulangan trinukleotida, yang mengenkode asam amino
glutamin, muncul pada ujung 5’ dari IT15 dan diikuti oleh
pengulangan lebih pendek dari (CCG)n yang mengenkode asam
amino prolin. Protein bernama hungtingtin, tidak membentuk
protein lainnya, dan fungsi normal dari protein ini belum diketahui.
Tikus dengan ‘knockout’ genetik hungtingtin meninggal lebih awal
pada kehidupan embrioniknya, jadi dapat dikatakan hungtingtin ini
memiliki fungsi sel yang esensial; protein termutasi mendapatkan
fungsi barunya atau sifat-sifat yang tidak terdapat pada protein
normal.
Gen Hungtington diekspresikan secara luas ke seluruh tubuh.
Kadar yang tingi dari ekspresi ini terdapat di otak, pankreas,
intestinal, otot, liver, adrenal, dan testis. Pada otak, ekspresi IT15
tidak tampak berkorelasi dengan kerentanan saraf; meski striatum
paling berat terkena, neuron di semua regio dari otak akan
mengekpresikan kadar yang sama dari IT15 mRNA
(Landwehrmeyer et al., 1995). Kemampuan mutasi Hungtington
untuk menghasilkan degenerasi saraf tertentu meski ekspresi
universal gen di antara neuron mungkin dapat dihubungkan dengan
mekanisme metabolik atau eksototoksik. Selama beberapa tahun,
telah dikatakan bahwa penderita Hungtington bisanya kurus,
terduga kemunculan dari gangguan sistemik dari metabolisme
energi. Pada binatang, agonis dari subtipe NMDA reseptor asam
amino eksitatoris dapat menyebabkan patologi yang mirip dengan
yang terlihat pada Hungtington ketika mereka diinjeksikan pada
striatum (Beal et al., 1986). Lebih menarik lagi, terdapat fakta
bahwa inhibitor kompleks II dari rantai respiratori mitokondria
juga memproduksi lesi striatal mirip Hungtington bahkan ketika
diberikan secara sistematik (Beal et al., 1993). Lebih lanjut,
patologi ini dapat dikurangi oleh reseptor antagonis NMDA,
diduga bahwa hal ini adalah contoh dari gangguan metabolik yang
menyebabkan peningkatan cedera saraf eksitotoksik. Pembelajaran
menggunakan MRI spektroskopi telah memberikan bukti langsung
dari penyimpangan metabolisme energi in vivo pada Hungtington
(Jenkins et al., 1993). Kemudian, hubungan antara ekpresi luas
darigen abnormal protein IT15 pada hungtington dan selektivitas
dari saraf ini pada penyakit dapat timbul akibat interaksi defek luas
pada metabolisme energi dengan sifat intrinsik dari neuron striatal,
termasik kapasitas dan kebutuhan untuk metabolisme eksudatif
sama halnya kemunculan dari tipe reseptor glutamat. Hipotesis ini
memiliki sejumlah implikasi terapi yang penting. Tidak biasanya
bahwa kemungkinan pada masa akan datang untuk mengoreksi
defek genetik pada penderita Hungtington, namun dapat saja
terjadi pembentukan agen yang mengubah fungsi metabolik atau
pemberian perlindungan terhadap cedera eksitotoksik dan oleh
karena itu menangkap atau memodifikasi arah perjalanan penyakit.
Terapi simptomatik penyakit Hungtington. Terapi simptomatis
praktis dari Hungtington menekankan pada pengobatan yang
selektif (Shoulson, 1992). Tidak terdapat pengobatan yang dapat
memperlambat perjalanan dari penyakit ini, dan kebanyakan dari
pengobatan dapat menggangu fungsi akibat dari efek sampingnya.
Terapi yang dibutuhkan dapat diberikan pada penderita yang
depresi, iritabel, paranoid, dan cemas berlebihan, atau psikotik.
Depresi dapat diobati dengan antidepresan standar dengan
keberadaan dari obat ini bersama antikolinergik dapat
mengeksaserbasi korea. Fluoxetine (bab 19) juga diketahui efektif
melawan depresi. Paranoia, keadaan delusional, dan psikosis
biasanya membutuhkan terapi dengan obat antipsikotik, tetapi
dosis yang dibutuhkan biasanya lebih rendah darpiada yang
biasanya digunakan dalam kelainan psikiatrik primer. Agen-agen
ini juga mengurangi fungsi kognitif dan mengganggu mobilitas dan
juga dapat digunakan dalam dosis rendah dan dapat langsung
dihentikan apabila gejala psikiatrik telah teratasi.. Pada individu
dengan Hungtington yang predominan rigid, clozapine (bab 20)
maupun karbamazepin dapat lebih efektif menterapi paranoia dan
psikosis.
Kelainan gerakan pada Hungtington per se biasanya jarang
disembuhkan dengan terapi farmakologis. Pada mereka dengan
amplitudo korea yang besar yang dapat menyebabkan jatuh
maupun cedera, agen dopamin deplesi seperti tetrabenazine atau
reserpine (bab 33) dapat dicoba, meski penderita harus terus
dimonitor akan adanya hipotensi dan depresi. Agen antipsikotik
dapat pula digunakan, tetapi hal ini kadang tidak dapat
memperbaiki fungsi keseluruhan oleh karena mereka mengurangi
kordinasi motoris halus dan meningkakan rigiditas. Kebanyakan
penderita Hungtington menunjukkan perburukan gerakan
involunter sebagai hasil dari ansietas atau stress. Dalam situasi-
situasi ini penggunaan sedatif atau ansiolitik benzodiazepine yang
bijaksana dapat berguna. Pada kasus-kasus onset juvenil di mana
rigiditas dibandingkan korea didominasi, agonis dopamin memiliki
kesuksesan bervariasi dalam memperbaiki rigiditas. Individu ini
juga kadang membentuk mioklonus dan kejang yang dapat diberi
klonazepam, asam valproat, atau antikonvulsan lainnya.
SKLEROSIS LATERAL AMIOTROPIK
Tinjauan Klinik dan Patologi. ALS merupakan kelainan motor
neuron dari kornu ventral medula spinalis dan neuron korteks
pembawa input aferen. Perbandingan antara pria dan wanita yang
terkena kira-kira 1,5:1 (Kurtzke, 1982). Kelainan ini ditandai
dengan kelemahanyang berkembang cepat, atropi otot dan
fasikulasi, spastisitas, diartria, disfagia, dan kompromi respiratori.
Fungsi sensorik umumnya tidak terganggu sama halnya dengan
fungsi kognitif, autonomik, dan aktivitas okulomotoris. ALS
biasanya bersifat progresif dan fatal dengan kematian pasien akibat
kompromi respirasi dan pneumonia setelah 2 sampai 3 tahun
lamanya, meski kadang-kadan ditemukan pasien yang dapat
bertahan hidup lebih lama dari itu. Patologi ALS berhubungan
langsung dengan apa yang ditemukan di klinik: Ditemukan
hilangnya neuron motoris medula spinalis dan batang otak yang
memproyeksikan otot lurik (meski saraf okulomotor tidak
terganggu) juga hilangnya neuron motoris piramidal besar pada
lapisan V dari korteks motorik yang berasal dari traktus
descendens kortikospinal. Dalam kasus-kasus turunan, kolumna
Clarke dan kornu dorsalis kadang-kadang juga terkena (Caroscio et
al., 1987; Rowlan, 1994).
Etiologi. Sekitar 10% kasus ALS bersifat turunan (FALS),
biasanya dengan pola autosomal dominan (Jackson dan Bryan,
1998). Mutasi yang bertanggung jawab dalam hal ini belum
ditemukan, tetapi terdapat subset penting dari pasien FALS yang
mengalami mutasi gen dari enzim superoxide dismutase (SOD1)
(Rosen et al., 1993). Mutasi protein ini berperan pada sekitar 20%
kasus FALS. Kebanyakan dari mutasi ini merupakan pengalihan
dari asam amino tunggal, namun dengan lebih dari 30 alel berbeda.
Tikus transgenik yang mengekspresikan mutasi SOD1 manusia
membentuk degenerasi progresif dari saraf motoriknya yang
hampir sama terjadi pada manusia. Hal ini memberikan model
binatang untuk diteliti lebih lanjut dan juga untuk percobaan
farmasi. Menariknya, kebanyakan dari mutasi SOD1 yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit ini tidak mengurangi kapasitas
dari enzim yang bekerja untuk menjalankan fungsi utama yaitu
katabolisme dari radikal toksik superoksida. Dan pada kasus
penyakit Hungtington, mutasi dari SOD1 dapat membentuk suatu
toksik “gain of function” alamiah yang masih belum jelas.
Lebih dari 90% kasus ALS bersifat sporadik dan tidak
berhubungan dengan abnormalitas SOD1 maupun abnormalitas
gen. Penyebab dari hilangnya neuron motoris pada ALS yang
sporadik ini masih belum diketahui tetapi teori mencurigai adanya
suatu autoimunitas, eksototoksisitas, dan radikal bebas yang toksik,
serta infeksi virus ( Rowland, 1994; Cleveland, 1999). Kebanyakan
dari ide ini kurang didukung data yang ada, namun bukti bahwa
reuptake glutamat bisa saja abnormal pada penyakit ini,
menyebabkan akumulasi glutamat dan cedera eksitotoksik
(Rothstein et al., 1992). Satu-satunya terapi yang diakui untuk ALS
yaitu riluzole yang berdasarkan pengamatan kami.
Spastisitas dan Refleks Spinal. Spastisitas merupakan komponen
penting dalam temuan klinisALS, yaitu adanya kehadiran
spastisitas sering menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan serta
pengurangan mobilitas yang sebelumnya diawali oleh kelemahan.
Lebih lanjut, spastisitas adalah bagian dari ALS yang disetujui
diberikan terapi. Spastisitas didefenisikan sebagai peningkatan
tonus otot ditandai dengan tahanan awal terhadap pemindahan
pasif dari tungkai pada sendi diikuti oleh relaksasi tiba-tiba (hal ini
disebut juga fenomena pisau lipat). Spastisitas adalah merupakan
suatu hasil hilangnya input descendens motor neuron spinal, dan
karakter dari spastisitas ini bergantung pada jalur sistem saraf
mana yang terkena (Davidoff, 1990). Keseluruhan pengulangan
gerakan dapat dihasilkan langsung pada level medula spinalis; hal
ini diluar jangkauan bab kali ini. Refleks regang tendon
monosinaptik mungkin merupakan hal yang paling sederhana
peran mekanisme spinal pada spastisitas. Spindel aferen Ia primer
diaktivasi ketika otot teregang cepat, bersinaps langsung pada
motor neuron akan meregangkan otot, menyebabkan kontraksi dan
tahanan dari gerakan. Suatu kolateral dari sinaps aferen primer Ia
pada ‘Ia-coupled interneuron’ yang menginhibisi motor neuron
yang menginervasi otot yang antagonis menyebabkan kontraksidari
otot menjadi tidak bertujuan. Upper motor neuron dari serebral
korteks (neuron piramidal) menekan refleks spinal dan lower
motor neuron secara tidak langsung dengan cara mengaktivasi
interneuron inhibitoris medula spinalis. Neuron piramidal
menggunakan glutamat sebagai neurotransmiter. Ketika pengaruh
piramidal dikeluarkan, maka refleks dilepaskan dari inhibisi dan
menjadi lebih aktif, menyebabkan hiperrefleks. Jalur descending
lainnya dari batang otak termasuk rubro-, retikulo-, dan jalur
vestibulospinal dan jalur descending katekolamin – juga
mempengaruhi aktifitas refleks spinal. Ketika hanya jalur
piramidal yang terpengaruh, tonus ekstensor di kake dan tonus
fleksor pada lengan meningkat. Ketika jalur vestibulospinal dan
katekolamin terganggu, peningkatan fleksi dari seluruh ekstremitas
diamati dan stimualsi kutan yang ringan akan menghambat spasme
seluruh tubuh. Pada ALS, jalur piramidal terganggu dengan adanya
preservasi relatif dari jalur descending lainnya, menyebabkan
adanya refleks tendon dalam yang hiperaktif, kordinasi motoris
halus yang terganggu, peningkatan tonus ekstensor tungkai, dan
peningkatan tonus fleksor di lengan. Refleks gag juga sering
menjadi overaktif.
Terapi ALS dengan Riluzole. Riluzole (2-amino-6-
[trifluorometoksi]benzotiazol; RILUTEK) adalah obat dengan
kerja yang kompleks pada sistem saraf (Bryson et al., 1996);
wagner dan Landis, 1997). Riluzole diserap secara oral dan
berikatan kuat dengan protein. Menyebabkan metabolisme ektensif
di hati oleh baik mediasi hidroksilasi oleh sitokrom P450 maupun
oleh glukoronidasi. Waktu paruhnya ialah sekitar 12 jam.
Penelitian in vitro menunjukkan bahwa riluzole memiliki efek
presinaptik maupun post sinaptik. Obat ini menghambat pelepasan
glutamat, namun juga memblok postsinaptik NMDA- serta
reseptor glutamat tipe kainate dan menghambat kanal sodium
voltage dependent. Beberapa efek dari riluzole in vitro diblok oleh
toksin pertusis, menyebabkan interaksi obat dengan protein G yang
terikat dengan reseptor. Dalam percobaan klinis, riluzole memiliki
efek yang sedang namun murni dalam perpanjangan hidup dari
pasien ALS. Dalam percobaan klinik besar yang melibatkan 1000
orang pasien lebih, durasi median dari survival bertambah sekitar
60 hari (Lacomblez et al., 1996). Dosis yang disarankan ialah 50
mg setiap 12 jam yang diminum satu atau dua jam setelah makan.
Riluzole biasanya ditoleransi dengan baik, meski nausea atau diare
dapat terjadi. Kadang riluzole dapat menghasilkan cedera hepatik
dengan elevasi dari serum transaminase sehingga perlu dilakukan
kontrol berkala pada pemberian obat ini. Meski dari besarnya efek
riluzole pada ALS ini kecil, namun hal ini merepresentasikan
terapi yang signifikan pada pengobatan penyakit dibandingkan
semua jenis terapi-terapi lain sebelumnya.
Terapi simtomatik spastisitas. Obat yang paling berguna untuk
terapi simtomatik dari spastisitas akibat ALS adalah baclofen
(LIORESAL) yaitu suatu agonis GABAB. Dosis inisial sebesar 5
sampai 10 mg per hari disarankan, tetapi dosis ini dapat
ditingkatkan sampai sebanyak 200 mg per hari jika dibutuhkan.
Jika rasa lelah muncul (weakness), dosis obat ini harus diturunkan.
Untuk menambah pengobatan oral, baclofen juga dapat diberikan
via pompa implant ataupun lewat kateter intratekal. Pendekatan
dengan cara ini meminimalisir reaksi efek samping obat,
khususnya efek sedasinya, namun tetap memberikan resiko
ancaman depresi SSP dan harusnya digunakan oleh dokter yang
telah terlatih dalam pemberian terapi intratekal. Tizanidine
(ZANFLEX) adalah suatu agonis dari reseptor α2-adrenergik pada
SSP. Obat ini mengurangi spastisitas otot dan diduga beraksi
meningkatkan inhibisi presinap neuron motoris. Tizanidine banyak
digunakan dalam terapi spastisitas pada multiple sklerosis atau post
stroke, namu obat ini juga dapat digunakan efektif pada penderita
ALS. Terapi inisiasi diberikan dalam dosis rendah 2 sampai 4 mg
saat sebelum istirahat dan dititrasi secara gradual meningkat.
Drowsiness, astenia, dan dizzines dapat membatasi pemberian
dosis. Benzodiazepines (lihat bab 17), seperti clonazepam
(KLONIPIN) efektif sebagai antispasmodik, tetapi obat ini
menyebabkan depresi pernapasan pada penderita ALS tahap lanjut.
Dantrolene (DANTRIUM) juga terbukti di Amerika Serikat untuk
mengobati spasme otot. Dalam kontrasnya pada agen yang telah
dibahas sebelumnya, dantrolene beraksi langsung pada serabut otot
skelet, menyebabkan fluks ion kalsium melewati retukulum
sarkoplasma. Oleh karena dapat menyebabkan eksaserbasi
kelemahan otot, maka obat ini tidak digunakan pada ALS, namun
obat ini efektif dalam mengatasi spastisitas oleh karena stroke atau
cedera medula spinalis dan dalam hipertermia maligna. Dantrolene
dapat menyebabkan hepatotoksisitas, jadi sangatlah penting untuk
melakukan tes fungsi hati sebelum dan selama pemberian terapi
obat ini.
PROSPEK
Meski perkembangan pada teapi simtomatik dari kelainan
degenerasi saraf, khususnya Parkinson, dapat memperbaiki
kehidupan dari banyak pasien, namun tujuan utam dari penelitian
saat ini ialah untuk menghasilkan terapi yang dapat mencegah,
menghambat, atau membalikkan kematian sel saraf. Area yang
menjanjikan dari pengembangan obat adalah pada mekanisme pada
beberapa kelainan: eksotitoksisitas, defek metabolisme energi, dan
stres oksidatif. Antagonis glutamat memiliki potensi tinggi, namun
penggunaannya dibatasi oleh aktivitas nonselektif relatif dari agen-
agen yang ada. Meningkatkan pengetahuan atas struktur dan fungsi
subtipe reseptor glutamat dapat menghasilkan agen-agen yang
lebih selektif dan berguna. Reduksi farmakologis dari stres
oksidatif juga kemungkinan dapat dilakukan dengan mudah
meskipun hasil-hasil yang mengecewakan pada percobaan awal
klinis pada pemberian tokoferol dan selegiline. Faktor-faktor
pertumbuhan neuron juga merupakan area yang penting untuk
pengembangan obat. Beberapa faktor yang mempromosikan
diferensiasidari neuron dan pembentukan dari koneksi neuron
selama pembentukan telah dapat diidentifikasi, dan hal ini dapat
terbukti berguna untuk memperlambat ataupun membalikkan
kematian sel saraf. Pendekatan yang saat ini lebih langsung dan
tersedia untuk membalikkan hilangnya neuron ialah transplantasi
neuron melalui pembedahan; hal ini dpat diselesaikan pada
penyakit Parkinson dengan tingkat kesuksesan sedang dan telah
disodorkan sebagai terapi yang dapat dipakai untuk kondisi
penyakit lainnya misalnya Alzheimer. Sebagai tambahan atas
pendekatan utama tadi, maka terapi yang lebih spesifik atas
berbagai penyakit bervariasi ini harusnya dapat lebih mudah
diperoleh karena adanya pekembangan pengetahuan akan etiologi
penyakit. Contohnya, ditemukannya peran dari β-amiloid pada
Alzheimer membuat studi dari agen-agen yang ditujukan untuk
mengubah sintesis β-amiloid atau mencegah akumulasinya; sama
seperti ini, ditemukannya gen Hungtington menyebabkan
munculnya ide strategi terapi baru untuk penyakit ini.