SKRIPSI - Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 7. 24. · Ide...
Transcript of SKRIPSI - Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 7. 24. · Ide...
SKRIPSI
ANALISIS HUKUM TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN
TENTANG PEMBERIAN GRASI SEBAGAI SUATU
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
OLEH
AHMAD YANI
B12114013
PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ANALISIS HUKUM TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN
TENTANG PEMBERIAN GRASI SEBAGAI SUATU
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
SKRIPSI
Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Pada Program Studi Hukum Administrasi Negara
disusun dan diajukan oleh
AHMAD YANI
B12114013
kepada
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
v
ABSTRAK
Ahmad Yani (B12114013), Analisis Hukum Terhadap Keputusan Presiden tentang Pemberian Grasi Sebagai Suatu Keputusan Tata Usaha Negara, dibimbing oleh Abdul Razak dan Anshori Ilyas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat dan proses pemberian grasi di Indonesia serta untuk mengkaji kedudukan hukum keputusan presiden tentang pemberian atau penolakan grasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach); Pendekatan Kasus (case approach); dan Pendekatan Konseptual (conceptual approach). Sumber data dalam penelitian ini adalah data skunder dengan sumber bahan berupa bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tersier. Kemudian dilakukan pengkajian dan analisis terhadap sumber data tersebut, untuk merumuskan permaslahan hukum yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa syarat dan proses pemberian grasi di Indonesia telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagai bentuk untuk menciptakan kepastian hukum dan akuntabilitas bagi presiden dalam menerbitkan keputusan tentang pemberian atau penolakan grasi. Di sisi lain, Keputusan Presiden tentang Pemberian atau Penolakan Grasi merupakan jenis Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan tidak termasuk dalam pengecualian KTUN sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Akan tetapi, Keputusan Presiden tentang Pemberian atau Penolakan Grasi bukan merupakan objek sengkata di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebab tindakan Presiden dalam mengeluarkan keputusan tentang pemberian atau penolakan grasi merupakan tindakan yudisial sebagai kepala negara.
Kata Kunci: Grasi, Keputusan Tata Usaha Negara, Keputusan Presiden
tentang pemberian atau penolakan grasi.
vi
ABSTRACT
Ahmad Yani (B12114013) Legal Analysis of Presidential Decree on Granting Pardon As a State Administrative Decision, guided by Abdul Razak and AnshoriIlyas.
This research aims to know the requirements and process of granting clemency in Indonesian also to review the legal status of presidential decree on granting or rejection of pardon.
The method of this research is using normative research by using
statute approach, case approach, and conceptual approach. Source of data in this research is using secondary data with the source material in the form of primary legal materials, secondary law materials, and tertiary legal materials. And then conducted the assessment and the analysis into the data sources to formulate the legal problems faced.
The result of the research show that the requirements and process
of granting clemency in Indonesian, has been regulated in the law no. 5 of 2010 on Amendment to Law no. 22 of 2002 about clemency as a form to create legal certainty and accountability for the president in issuing decisions about granting or rejecting pardons. On the other hand, presidential decree about granting or rejecting of clemency is a type of state administrative decision and not includes as an exception of state administrative decision as regulated in article 2 of Law no. 5 of 1986 also refers to Law no. 9 of 2004 about state administrative courts. However, the presidential decree about granting or rejecting clemency is not the dispute object of state administrative court, because the president's action in issuing a decision on granting or rejecting pardon is a judicial act as head of state. Keyword: Clemency, State Administrative Decision, Presidential Decree
About Granting or Rejecting Clemency.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmani Rahim…
Segala puji dan syukur hanya milik ALLAH SWT., Dzat Pemilik
Segala Ilmu Pengetahuan, yang telah memberikan nikmat ilmu kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis
Hukum Terhadap Keputusan Presiden tentang Pemberian Grasi
sebagai Suatu Keputusan Tata Usaha Negara”.
Pada dasarnya kewenangan Presiden dalam mengeluarkan
Keputusan tentang Pemberian atau Penolakan grasi merupakan bentuk
perlindungan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) ,
yang kerap dinilai sebagai tindakan yudisial seorang presiden sebagai
kepala negara (head of state). Maka dari itu, dalam mengeluarkan
Keputusan tentang Pemberian atau penolakang rasi, Presiden terlebih
dahulu memerhatikan pertimbangan Mahmakah Agung. Keputusan
Presiden tersebut, pada dasarnya menyerupai bentuk keputusan
(beschikking )pada umumnya yaitu bersifat konkret, individual, dan final,
dan bukan merupakan jenis keputusan yang dikecualikan sebagaimana
yang diatur pada Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun pada kenyataannya Keputusan Presiden tentang penolakan
atau pemberian grasi bukanlah menjadi objek sengketa pada Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN). Semua gugatan yang diajukan ke PTUN,
hanya sampai pada dismissal procedur dan tidak dapat diterima dengan
pertimbangan bahwa Keputusan Presiden tentang Pemberian atau
Penolakan Grasi merupakan tindakan Presiden sebagai kepala negara di
bidang yudisial dan bukan merupakan beschikking sebagaimana yang
dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.
9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 dan telah
diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No.
5 Tahun 1986 tentang PTUN.
viii
Ketidakjelasan kedudukan Keputusan Presiden tentang Pemberian
atau Penolakan Grasi, menyebabkan hingga saat ini belum tersedia
mekanisme pertanggungjawaban hukum kepada para pencari keadilan
yang merasa dirugikan dengan keluarnya keputusan tersebut. Padahal
dalam setiap kewenangan berlaku asas “tiada jabatan atau wewenang
tanpa pertanggungjawaban (geen bevoegdheid zonder verant
woordelijkheid)”.
Terlepas dari pengantar di atas Penulisan skripsi ini dimaksudkan
untuk memenuhi persyaratan guna menyelesaikan Program Studi (S1)
pada Prodi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makassar, sekaligus menjadi kado teristimewa bagi orang tua
penulis, Mide dan Sakina yang telah merawat dan membesarkan penulis
dengan penuh kasih sayang, insipirasi serta doanya yang tak henti-henti
menjadi lentara penerang kalbu dalam melakoni kehidupan. Semoga
ALLAH SWT., melimpahkan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya kepada
Beliau.
Pengerjaan skripsi ini sampai wujud seperti ini, tidak terlepas dari
doa dan dukungan dari berbagai pihak diantaranya:
1. Kepada Pembimbing I Prof. Dr. Abdul Razak, SH.,MH. dan
Pembimbing II Dr. Anshori Ilyas, SH.,MH. dengan penuh kearifan dan
kesabaran meluangkan waktunya dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga ALLAH SWT., senantiasa melipahkan rahmat kepadanya.
2. Kepada Prof. Dr. Achmad Ruslan, SH., MH., Dr. Romi Librayanto,
SH., MH., dan Ariyani, SH., MH., selaku penguji yang telah
memberikan arahan dan masukan yang tulus kepada penulis sehingga
tugas akhir ini dapat terlesaikan. Semoga ALLAH SWT., membalas
dedikasi dan ketusan belaiu.
3. Kepada Dr. Adnan Jamal, SH., MH., yang senantiasa memberikan
arahan dan masukan yang tak ternilai kepada penulis, selama penulis
menyelesaikan masa studi ini. Semoga ALLAH SWT., membalas jasa-
jasa beliau.
ix
4. Kepada Fajlurrahman Jurdi, SH., MH., yang setiap saat
menginspirasi penulis yang tak bisa terangkaikan dengan kata-kata.
Semoga ALLAH SWT., membalas jasa-jasa beliau.
5. Para dosen/pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
6. Para staf akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
7. Saudara kandung penulis yang senantiasa membantu dan memberi
dukungan moril dan meteril, sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi ini.
8. Teman-teman DIPLOMASI Angkatan 2014 FH-UH, yang senantiasa
memberi semangat bagi penulis untuk menyelesaikan program studi
ini.
Makassar 22 Februari 2018
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
PENGESAHAN SKRIPSI ...................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................. v
ABSTRACT ........................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................. vii
DAFTAR ISI ........................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 9
A. Konsep Negara Hukum .................................................................... 9
1. Negara Hukum Rule of Law ........................................................ 18
2. Negara Hukum Rechstaat ........................................................... 21
a. Konsep Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan .................. 24
b. Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan di Indonesia ........... 29
c. Kekuasaan Eksekutif di Indonesia ......................................... 31
B. Teori Keputusan (Beschikking) Tata Usaha Negara ......................... 36
1. Pengertian dan Istilah Beschikking ............................................. 36
2. Unsur-Unsur Beschikking ............................................................ 41
3. Jenis-Jenis Beschikking .............................................................. 44
C. Tinjauan Umum tentang Grasi .......................................................... 48
1. Pengertian dan Istilah Grasi ........................................................ 48
2. Sejarah dan Tujuan Pemberian Grasi ......................................... 50
3. Proses Pemberian Grasi di Indonesia ......................................... 53
xi
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 57
A. Jenis Penelitian ................................................................................ 57
B. Pendekatan Penelitian ...................................................................... 58
C. Jenis dan Sumber Bahan ................................................................. 60
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................ 60
E. Analisis Bahan Hukum ..................................................................... 61
BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................ 62
A. Syarat dan Proses Pemberian Grasi ................................................ 62
B. Kedudukan Hukum Keputusan Presiden tentang Pemberian
atau Penolakan Grasi ....................................................................... 106
BAB V PENUTUP .................................................................................. 141
A. Kesimpulan ....................................................................................... 141
B. Saran ................................................................................................ 142
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 143
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara hukum dengan konsep negara kesejahteraan
(welfarestaat)1 yang dianut oleh Indonesia didasarkan atas konsepsi
negara hukum rechtstaat yang merupakan adopsi hukum dari
penjajahan kolonial Belanda. Konsepsi negara hukum rechtstaat
berdasarkan kajian literatur, diperkenalkan oleh Immanuel Kant dan
Friedrich Julius Stahl (atau dengan singkatan F.J. Stahl) pada akhir
abad ke- 19 dan awal abad ke- 20.2 Menurut F.J. Stahl bahwa salah
satu unsur negara hukum adalah adanya pemisahan atau pembagian
kekuasaan3.
Ide pemisahan atau pembagian kekuasaan atau lebih dikenal
dalam sebutan trias politica4 dianggap mutlak harus ada dalam konsep
1 Welfarestaat dapat diartikan sebagai negara hukum materiil, antitesa terhadap negara hukum formil. Negara hukum materil meniscayakan adanya peran aktif negara/ atau pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat/ atau welfarestaat, juga biasa disebut menurut isltilah Lemaire sebagai bsetuurszorg. Berbeda dengan negara hukum formil yang dipraktekkan pada abad ke-19 di neggara-negara eropa kontinental (rechtstaat). Negara hukum formil meniscayakan negara dalam kondisi pasif yaitu hanya mengurungi persoalan pertahanan dan keamanan negara/ atau juga biasa disebut sebagai negara penjaga malam (nahcwaterstaat)...., selengkapnya lihat dalam S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi, Yogyakarta: Liberty, 1997. h. 11-12. Lihat pula, tipe negara hukum: tipe negara hukum formil; dan tipe negara hukum materil...., dalam Romi Librayanto, Ilmu Negara Suatu Pengantar, Makassar: Arus Timur, 2013, h. 153-158. 2 S.F Marbun, op.cit., h. 9. 33 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (edisi revisi), Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2014. h. 3. 4 Trias politica dapat dimaknai sebagai tiga fungsi atau tiga poros (tri-as) kekuasaan (politica). Meskipun istilah trias politica selalu dikaitkan dengan Monstesquieu, tetapi sebenarnya yang memberi nama trias politica bukanlah Montesquieu melainkan Immanuel Kant, selangkapnya dalam SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, h. 43.
2
negara hukum untuk mengurangi sentralisasi kekuasaan. Dalam
konsep trias politica dikenal adanya tiga poros kekuasaan dan salah
satu diantaranya adalah kekuasaan eksekutif. Kekuasan eksekutif
pada dasarnya merupakan cabang kekuasaan yang memegang
kewenangan administrasi pemerintahan yang tertinggi.5 Dengan kata
lain, kekuasaan eksekutif memiliki kewenangan untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan peraturan perundang-
undangan ini, dapat diwujudkan melalui kebijakan publik (public
policy), pengaturan (regeling), serta dalam bentuk keputusan
(beschikking).6
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), menentukan bahwa
kekuasaan eksekutif dilakukan oleh Presiden.7 Hal ini dapat ditemui
pada Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa,
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa
Presiden merupakan kepala pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Salah satu kewenangan Presiden dalam menjalankan
kekuasaan pemerintahan (eksekutif) adalah sebagaimana yang
5 Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2014. h. 323. 6 Fajar Laksono, dan Subarjo, Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden, Yogyakarta, UII Press, 2006. h. 36. 7 Titik Triwulan T. dan H. Isnu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dn Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011. h.108.
3
terdapat pada Pasal 14 Ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa, “Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung”. Kewenangan pemberian grasi pada praktiknya
dijalankan oleh Presiden melalui bentuk keputusan Presiden dengan
memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.8 Menurut Ni’ Matul
Huda alasan pemberian grasi dengan menggunakan pertimbangan
Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat MA) kerana, pemberian grasi
merupakan proses yustusial yang melibatkan perorangan yang sedang
menjalani proses hukum.
Selanjutnya dalam UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan
Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan,
“Grasi adalah suatu pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan
pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”
Menurut Wirjono Prodjodikoro, grasi merupakan penerobosan
batas antara wewenang kekuasaan pemerintah dengan kekuasaan
kehakiman dalam arti bahwa kini Presiden sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi pemerintahan diijinkan campur tangan dalam
perkara-perkara pidana yang seharusnya melulu masuk kekuasaan
peradilan.9 Pada dasarnya kewenangan Presiden dalam memberikan
8 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, “Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Selanjutnya pada ayat (2) menegaskan bahwa, “Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi”. 9 Dikutip dari Dhian Deliani, Pelaksanaan Kekuasaan Presiden dalam Pemberian Grasi Studi terhadap Pelaksanaan Pemberian Grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Tahun 2004 s/d 2010 (Tesis), Jakarta: Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2011, h. 134,
4
grasi dimaknai sebagai kewenangan Presiden sebagai kepala negara.
Hal ini disebutkan secara tersirat oleh Titik Triwulan T. dan H. Isnu
Gunadi Widodo. Menurutnya, sistem pemerintahan yang dianut UUD
NRI 1945 ialah sistem presidensil. Dengan demikian, Presiden
berfungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kenyataan
fungsi sebagai kepala negara dapat dilihat dari penjelasan Pasal 10
sampai 15 yang menyatakan: “kekuasaan-kekuasan presiden dalam
pasal-pasal ini, ialah konsekuensi dari kedudukan presiden sebagai
kepala negara”10. Begitupala pendapat Moh. Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim yang membagi kekuasaan Presiden dalam tiga kekuasaan,
salah satunya adalah kekuasaan Presiden sebagai kepala negara.
Beliau memasukkan kewenangan Presiden dalam memberikan grasi
ke dalam kekuasaan Presiden sebagai kepala negara.11 Namun dalam
hal ini, menurut Jimly Asshiddiqie kapasitas Presiden sebagai kepala
negara dan sebagai pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Tidak
mungkin membedakan jenis surat Keputusan Presiden dalam dua
macam kedudukan. Keputusan Presiden selaku kepala negara dan
selaku kepala pemerintahan tidak relevan untuk dibedakan. Yang ada
hanya Keputusan Presiden saja.12
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20238048-T28595-Pelaksanaan%20kekuasaan.pdf, (diunduh tanggal 17 September 2017) 10 Titik Triwulan T. dan H. Isnu Gunadi Widodo, op.cit., h. 111-112. 11 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, 1988, h. 197 dan 208. 12 Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2012. h. 108-109.
5
Terlepas uraian di atas, proses pemberian grasi yang dilakukan
oleh Presiden dengan dasar hukum UU No. 22 Tahun 2002 jo. UU No.
5 Tahun 2010 tentang Grasi serta adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disingkat MK) Nomor 107/PUU-XIII/2015 yang
menganulir Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan
Atas UU No. 22 Tahun 2002 mengenai batas waktu permohonan grasi,
setidaknya memiliki tiga permahasan hukum. Pertama, dengan adanya
putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/201513 mengakibatkan tidak adanya
kepastian hukum mengenai batas waktu permohonan grasi.14 Prosedur
grasi yang cukup lama inilah yang sering kali menghambat jalannya
eksekusi, sehingga grasi dijadikan upaya untuk menghindari hukuman
mati.15 Kedua, dalam proses pemberian grasi disebutkan bahwa
Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.16 Pada praktiknya
pertimbangan yang diberikan oleh MA bukan menjadi kewajiban untuk
diikuti Presiden dalam memberikan Grasi. Kewenangan pemberian
grasi mutlak kewenangan seorang Presiden dalam menjalankan
kekuasaan eksekutif. Ketiga, begitupula tidak adanya mekanisme baku
13 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 107/PUU-XIII/2015, tertanggal 15 Juni 2016. 14 Sebelum adanya Putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015, batas waktu permohonan grasi disebutkan secara jelas dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi, Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Setelah adanya putusan MK tersebut, maka norma yang terdapat pada Pasal 7 ayat (2) di atas dianulir sehingga batas waktu permohonan grasi tidak ditentukan. 15 Dwi Purnama Wati, Impilikasi Pembatalan Perubahan Regulasi Grasi terhadap Eksekusi Pidana Mati (Tesis), Bandar Lampung, Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2016, pdf. 16 Pasal 11 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi
6
bagi Presiden dalam menerbitkan keputusan, baik keputusan
penolakan maupun keputusan yang mengabulkan permohonan grasi.
Lebih lanjut, kedudukan hukum terhadap keputusan Presiden
dalam pemberian grasi masih menimbulkan kontroversi dan
perdebatan. Masih adanya yang beranggapan bahwa keputusan
Presiden tentang pemberian Grasi merupakan bentuk keputusan tata
usaha negara. Pada dasarnya keputusan tata usaha negara dapat
dimaknai melalui Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1
angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
“Keputusan Tata Usaha adalah penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
berisikan tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau hukum perdata”
Adanya tafsiran yang menilai keputusan Presiden dalam
pemberian grasi sama dengan pengertian keputusan tata usaha
negara di atas, mengibatkan masih adanya beberapa kasus gugatan
keputusan Presiden tentang penolakan atau pemberian grasi yang
digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Misalnya gugatan
dengan Register Perkara Nomor: 92/G/2012/PTUN-JKT, dengan objek
gugatan Keputusan Presiden tentang pemberian Grasi kepada
Schapelle Leigh Corby. Meskipun majelis hakim menolak gugatan
tersebut dengan pertimbangan bahwa keputusan Presiden dalam
memberi Grasi bukanlah termasuk keputusan tata usaha negara,
7
namun di tahun 2015 keputusan Presiden kembali digugat melalui
Register Perkara Nomor: 51/PLW/2015/PTUN-JKT dengan objek
gugatan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11/G Tahun
2015 tentang Penolakan Grasi Sylvester Obiekwe Nwolisse.
Ketidakjelasan kedudukan hukum keputusan Presiden tentang
pemberian grasi juga berdampak terhadap belum tersedianya
mekanisme proses penegakan dan pertanggungjabawan hukum bagi
subjek hukum yang merasa haknya dirugikan dengan keputusan
Presiden tersebut17. Hal ini melanggar asas “geen bevoegdheid zonder
verant woordelijkheid, (tiada jabatan atau wewenang tanpa
pertanggungjawaban)”. 18
17 Pada dasarnya keputusan Presiden tentang Pemberian ataupun Penolakan Grasi, telah banyak digugat melalui PTUN, hanya sampai pada tahap pemeriksaan berkas administrasi (dismissal procedure). Misalnya kasus Register Perkara Nomor: 51/PLW/2015/PTUN-JKT. Kasus ini didaftarakan di PTUN Jakarta pada tanggal 25 Maret 2015. Pelawan merupakan warga negara Nigeria bernama Sylvester Obiekwe Nwolisse, seorang terpidana mati. Alasan gugatan didasarkan bahwa pihak pelawan merasa dirugikan dengan keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11/G Tahun 2015 yang menolak permohonan Grasi pihak pelawan. Kasus ini telah diputus oleh PTUN Jakarta pada tanggal 21 April 2015, dengan salah satu amar putusan adalah “menolak perlawanan dari pelawan”. Begitupula gugutan terhadap Keputusan Presiden No. 22/G/Tahun 2012 tentang pemberian grasi kepada Schapelle Leigh Corby, yang terdaftar dalam Register Perkara Nomor: 92/G/2012/PTUN-JKT. Pada tanggal 8 Oktober 2004, Schapelle Leigh Corby tertangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya yaitu berupa ganja dengan berat 4,2 (empat koma dua) Kilogram ketika berada di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Setelah itu Corby diadili dan dinyatakan bersalah serta dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun dan denda Rp. 100.000.000.00-, berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 112PK/Pid/2006. Maka dari itu Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Anti Narkotika (DPP Granat), melalui kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra dkk, melakukan gugutan terhadap Keputusan Presiden tersebut, yang terdaftar dalam Register Perkara Nomor: 92/G/2012/PTUN-JKT. Gugatan ini telah diputus oleh PTUN Jakarta dengan salah satu amar dalam putusannya, “menyatakan gugatan penggugat tidak diterima”. Kedua kasus ini tidak masuk dalam tahap pemeriksaan dipersidangan oleh PTUN Jakarta. Selangkapnya lihat dalam Alfred P.S Hasibuan dan Paulinus Sogel, Dasar Pertimbangan Pemberian Grasi terhadap Terpidana Narkotika (Studi Kasus Schapelle Leigh Corby), (jurnal), Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2015, h. 2., http://e-journal.uajy.ac.id/7599/1/JURNAL.pdf (diunduh tanggal 18 September 2017) 18 Dikutip dari Priyatmanto Abdoellah, Revitalisasi Kewenangan PTUN Gagasan Perluasan Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, h. 2.
8
Melihat permasalahan di atas, maka perlu kemudian adanya
upaya kajian yang bersifat ilmiah untuk menemukan benang merah
proses hukum pemberian grasi dan kedudukan hukum keputusan
Presiden tentang pemberian grasi di Indonesia. Hingga pada akhirnya
permasalahan hukum yang dihadapi dapat dipecahkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah syarat dan proses pemberian grasi oleh Presiden?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum Keputusan Presiden tentang
pemberian grasi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui proses hukum pemberian grasi; dan
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum keputusan Presiden tentang
pemberian grasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
kontribusi terhadap pengembangan kajian hukum administrasi
negara khusunya pengembangan kajian pemberian grasi oleh
Presiden dan keputusan tata usaha negara.
2. Manfaat Praktis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi refrensi
bagi para praktisi hukum, terutama bagi para pemohon Grasi dan
majelis hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam gugutan
keputusan Presiden tentang pemberian atau penolakan grasi.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Negara Hukum
Negara Repubik Indonesia adalah negara yang berdasarkan
atas hukum. Hal ini secara tegas tertuang dalam UUD NRI 1945 Pasal
1 Ayat (3) menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Ketentuan ini bukan penyebutan yang latah dan tanpa makna.
Artinya segala tindakan yang kemudian bersentuhan kehidupan
masyarakat harus sejalan dengan hukum (rechtstaat), dan bukan
berdasar hanya kekuasaan semata (machtstaat).
Ikrar bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, telah
disampaikan oleh para the founding father sewaktu merumuskan dasar
negara. Ikrar ini tentunya tidak lahir secara refleks, namun melalui
berbagai kontemplasi yang mendalam. Melalui perenungan yang
mendalam dan perbandingan konsepsi negara, akhirnya para the
founding father menemukan makna di ballik konsep negara, dan
bertekad untuk mendirikan negara Indonesia yang merdeka. Para the
founding father, memahami bahwa untuk menjaga kelangsungan
negara Indonesia hingga akhir hayat, maka negara Indonesia harus
dikemas dalam kemasan hukum lalu ditutup dengan ideologi Pancasila
demi kesejahteraan rakyatnya di masa mendatang.
Betapa para the founding father paham betul, apa yang
ditabiatkan oleh Thomas Hobbes mengenai tabiat manusia tanpa
10
negara yang cenderung memangsa yang lemah. Betapa mereka
memahami bahwa dengan negara saja, tanpa adanya cita hukum,
maka akan terjadi penistaan dan ketidak-adilan di mana-mana. Dan
betapa pula mereka memahami bahwa dengan negara hukum saja,
negara Indonesia akan menjadi negara yang semu tanpa ciri khas dan
nilai-nilai dari sebuah ideologi (ideologi Pancasila). Sebuah hasil
renungan yang melampaui zamannya.
Sebagaimana uraian di atas, bahwa negara hukum Indonesia
bukan hanya penyebutan nama secara latah tanpa makna. Namun
lahir dari pijakan pemahaman, yang salah satunya, konsepsi negara
secara utuh.
Titik pijak alamiah untuk mengkaji gagasan mengenai
keberadaan negara adalah dengan mengajukan pertanyaan:
Bagaimana kondisi segala sesuatu tanpa negara? Pemahaman
terhadap pertanyaan mengapa kita memiliki sesuatu merupakan cara
yang bagus untuk mempertimbangkan ketiadaan negara. Tentu saja
kita tidak mungkin menghapus keberadaan negara hanya karena ingin
mengetahui rupa tanpa kehadiran negara19.
Maka dari itu, Jonathan Wolff mengajak kita untuk melakukan
pengkajian melalui telaah pikiran. Dikatan bahwa, coba kita bayangkan
keadaan alamiah tanpa suatu negara dan tak seseorang pun memiliki
kekuasaan politik. Kemudian coba kita putuskan seperti apa yang akan
19 Jonathan Wolff, An Introduction to Political Philosophy, (terjemahan), Bandung: CV Nusa Media, 2013, h. 9.
11
terjadi. Cara yang diajarkan oleh Jonathan Wolff ini, membawa kita
kepada suatu pemahaman bahwa ketika tidak ada negara tentu
instabilitas akan terjadi di mana-mana. Yang kuat menindas yang
lemah, yang berlaku adalah hukum rimbah, sehingga terjadi kondisi
chaos. Akan tetapi perlu digaris bawahi, bahwa sekondisi alamiah
apapun manusia tetap memiliki perasaan dan nilai-nilai kemanusian
sebagaimana yang dipatrikan oleh Sang Pencipta dalam setiap jiwa.
Jonathan Wolff melanjutkan, bahwa meskipun tidak pernah ada
suatu keadaan alamiah adalah benar, namun kita masih bisa
memikirkan secara hipotesis seperti apakah jadinya kehidupan jika
tidak ada negara. Menurut Thomas Hobbes, sebagaimana yang dikutip
oleh Jonathan Wolff20, bahwa tidak ada yang lebih buruk dibanding
kehidupan tanpa perlindungan dari suatu negara, oleh karena itu
keberadaan pemerintah yang kuat sebenarnya adalah menjamin agar
kita semua tidak tergelincir ke dalam peperangan antar sesama.
Nampaknya Hobbes menyakini tabiat manusia akan cenderung saling
memansa jika negara tidak esksis dalam mengatur dan menertibkan
kehidupan manusia. Namun dalam konteks ini, benarkah manusia
memiliki tabiat untuk bertindak anarkis tanpa adanya negara sebagai
pengatur? Tentu jawaban atas pertanyaan ini, perlu dikaji dari hakikat
nilai kemanusaian yang terpatri dalam setiap individu.
20 Ibid., h. 11.
12
Terlepas dari uraian bayangan kondisi alamiah tanpa negara,
pada dasarnya negara hadir dengan latar belakang yang berbeda.
Menurut Mr. M. Nasroen21, bahwa pada mulanya negara itu tidak ada,
atau dengan kata lain, negara itu tidaklah ada sebelum dia ada. Beliau
melanjutkan, oleh sebab itu negara pasti harus hadir pada saat
tertentu. Maka asal mula negara itu adalah kemauan bersama dari
perkumpulan manusia yang tertentu dan kemanuan bersama itu
ditujukan kepada mengadakan negara itu22.
Lebih lanjut, Nasroen mengungkapkan bahwa sesuatu
penetapan tentang asal mula negara, yang tidak dapat ditentukan
tempat dan saat timbulnya, akan membuktikan, bahwa penetapan asal
mula negara yang demikian itu tidak benar dan khayalan belaka.
Negara itu lahir dalam suatu masyarakat yang terdapat langsung
sebelum negara itu ada. Tempat lahirnya negara itu adalah suatu
masyarakat, yang harus mempunyai kecerdasan, sebab bernegara itu
menghendaki keinsafan dan kecerdasan khusus yaitu mempunyai
rakyat tertentu, mempunyai daerah tertentu dan pemerintah tertentu.
Oleh sebab itu, menurut Nasroen tidaklah dibenarkan pendapat hukum
tata alam (naturrecht), yang bependirian bahwa kontrak sosial untuk
mengadakan negara itu terjadi antara orang-seorang (homme
naturalis) yang tidak mempunyai hubungan dan pertalian dengan yang
lain. Nasroen menilai bahwa bahwa negara itu lahir dan ada pada
21 Mr. M. Nasroen, Ilmu Perbandingan Pemerintahan, Jakarta: Aksara Baru, 1986, h. 32 22 Ibid., h. 33.
13
suatu saat yang tertentu dan saat yang tertentu ini, tentu terjadi pada
suatu tempat yang tertentu pula. Pendek kata, lahirnya negara itu
bukanlah merupakan suatu priode.23
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Mac Iver, bahwa negara
tumbuh dalam suatu evolusi, yang merupakan suatu periode
pertumbuhan, sebab negara itu adalah “a product of social evolution”.
Jadi, saat lahirnya negara bukanlah saat suatu saat waktu tertentu,
sebab tumbuhnya negara itu adalah dalam suatu “social evolution”
yang meliputi suatu masa, dalam mana terdapat pergaulan-pergaulan
hidup yang tumbuh dalam evolusi.24
Rosseau memberikan alasan manusia hidup bernegara dengan
mengemukakan pendapat sebagai berikut,
“selama manusia tidak dapat melahirkan kekuatan baru dan
hanya menyatukkan kekuatan yang sudah ada, mereka tidak
akan memiliki cara lain umtuk mempertahankan diri selain
formasi yang sudah ada, yakni dengan suatu agregasi yang
merupakan tambahan kekuatan yang cukup besar untuk
mengatasi masalah pertahanan diri mereka. Semua ini harus
mereka bawa ke dalam permainan dengan satu motivasi
kekuasaan tunggal dan melahirkan suatu tindakan bersama”.25
Hal yang berbeda pula disampaikan oleh P.J. Bouman,
sebagaimana yang dikutip oleh Nasroen, bahwa negara itu adalah
hasil dari pertumbuhan dalam sejarah. Tempat timbulnya negara itu
23 Ibid., h. 56. 24 Ibid., 25 Hotma. P. Sibuae, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Erlangga, 2010, h. 4.
14
bukanlah suatu saat yang tertentu, tetapi adalah rentetan pergaulan
hidup menurut sejarah.26
Dari ketiga pendapat ahli di atas dapat diketahui, bahwa negara
hadir pada saat waktu dan tempat tertentu, yang diinisiasi oleh
sekumpulan orang yang memiliki nasib dan cita-cita yang sama.
Negara dapat pula hadir sebagai hasil evolusi yang berlangsung relatif
lama, kemudian dimenangkan oleh sekompok masyarakat lalu
bersepakat mendirikan sebuah negara. Di sisi lain, adanya persamaan
historis perjuangan dalam melawan penindasan suatu bangsa, juga
dapat menjadi asal mula suatu negara. Hal tersebut sangat
dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi pada saat itu.
Beranjak dari asal mula negera di atas, sebenarnya ide negara
hukum telah lama dilukiskan oleh Plato ketika menulis nomoi, sebagai
karya tulis ketiga yang dibuat pada masa tuanya. Dalam nomoi, Plato
mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang
didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.27 Plato mengusulkan,
agar pemberi hukuman mengawasi rakyatnya dan menggunakan
hukum sebagai instrument untuk memberi pujian atau hujatan secara
benar.28
Ide negara hukum menurut Plato mengandung gambaran suatu
bentuk negara ideal. Gambaran suatu bentuk negara ideal menurut
26 Ibid., 27 Ridwan HR, op.cit., h. 2. 28 Ian Ward, An Introduction to Critical Legal Theory, (terjemahan), Bandung: Nusa Media, 2014, h. 11.
15
Plato tersebut sesungguhnya berbeda jauh dengan kondisi dan
keadaan negara kota Athena pada zamanya. Pada zaman itu, raja
yang berkuasa di negara kota Athena merupakan penguasa yang lalim
dan sewenang-wenang. Plato turut merasa prihatin melihat kondisi
negara kota Athena yang dipimpin oleh para penguasa yang bengis
dan kejam. Sebagai wujud keprihatinannya, Plato kemudian
mengemukakan gagasannya mengenai suatu bentuk negara yang
ideal bagi negara kota Athena29.
Plato juga mengemukan sebuah cita negara yang ideal.
Menurutnya bahwa seharusnya yang memerintah sebauh negara
adalah pemimpin yang memiliki moralitas yang baik dan terpuji serta
memiliki kebajikan dan segala macam ilmu pengetahuan, terutama
ilmu pemerintahan. Unsur penguasaan ilmu pemerintahan sangat
penting bagi Plato sebab jika penguasa menguasai ilmu
pemerintahan, mereka akan dapat memimpin dengan baik agar dapat
mencapai kesejahteraan umum (kesejahteraan bersama). Bagi Plato,
penguasa yang dapat menguasai pengetahuan adalah yang telah
menguasai ilmu filsafat (filsuf). Oleh karena itu, tipe negara ideal
seorang penguasa adalah seorang filsuf. Menurut Plato, hanya filsuf
yang pantas menjadi raja.30
Yang menarik bahwa dalam gagasan negara hukum ideal, bagi
Plato hukum tidak perlu diberlakukan kepada raja, sebab raja adalah
29 Hotma P. Sibuae, op.cit., 2010. h. 11. 30 Ibid., h. 13.
16
orang yang arif dan bijaksana serta menguasi ilmu memerintah dengan
baik, sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan. Sebagai seorang
filsuf, sang penguasa merupakan orang yang terpilih secara moral dan
pengetahuan sehingga dianggap tidak mungkin menyalahgunakan
kedudukan dan wewenangnya.31 Namun pada dalam dunia realita,
gagasan yang dikemukan oleh Plato tidak pernah dapat dilaksanakan,
sebab tidak memungkin untuk mencari penguasa yang sempurna yang
bebas dari hawa nafsu dan kepentingan pribadi.32
Kemudian gagasan Plato terkait negara hukum dilanjutkan oleh
muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku politica.
Menurut Aristoteles, bahwa suatu negara yang baik ialah negara yang
diperintah oleh konstitusi dan berkedaulatan hukum. Menurutnya ada
tiga pemerintahan yang berkonstitusi, diantranya:33
1. Pemerintah dilaksanakan untuk kepentingan umum;
2. Pemerintah dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada
ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi;
dan
3. Pemerintah yang berkonstitusi artinya pemerintahan yang
dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan yang
dilaksanakan pemerintahn despotik.
31 Ibid., 32 Ibid., h. 14. 33 Ridwan HR, op.cit., h. 2.
17
Menurut Hotma P. Sibuae, bahwa gagasan negara hukum
Aristoteles akan dapat lebih dipahami dengan baik jika lebih dahulu
memahami pandangannya mengenai proses pembentukan negara.
Aristoles mengemukakan bahwa negara adalah persekutuan hidup
yang berbentuk polis (he koinonia politike). Aristoles berpendapat
bahwa polis, yang dalam ilmu kenegaraan berarti negara kota
merupakan bentuk persekutuan hidup. Sebagai bentuk persekutuan
hidup tertinggi, negara memiliki tujuan paling tinggi, mulia, dan luhur
dibanding persekutuan hidup keluarga dan desa.34
Ide negara hukum yang diajarkan Aristoles merupakan
gambaran ajarannya mengenai cara yang ditempuh oleh negara untuk
mewujudkan tujuannya, yaitu memberikan kebaikan tertinggi kepada
warga negaranya. Dalam rangka mencapai tujuan negara untuk
memberikan kebaikan tertinggi kepada negara, Aristoteles
mengemukakan bermacam bentuk negara ideal. Bentuk negara yang
ideal menurut Aristoteles tersebut ditentukan berdasarkan kriteria
tertentu. Ada dua kriteria yang disebutkan oleh Aristoteles untuk
menentukan bentuk negara ideal kedua kriteria tersebut berpatokan
pada: (a) Jumlah orang yang memegang kekuasaan; dan (b) Tujuan
pemerintahan untuk kepentingan umum atau pribadi35. Lebih lanjut,
34 Hotma P. Sibuae, op.cit., h. 17. 35 Ibid., .
18
Aristoteles menyebutkan ada tiga negara ideal, diantaranya: (a) negara
monarki; (b) negara aristokrasi; dan (c) negara politea.36
Bagi Aristoteles, hukum adalah akal atau kecerdesan yang tidak
dapat dipengaruhi oleh keinginan dan nafsu. Jika negara
diselenggarakan berdasarkan hukum, penyelenggaraan negara tidak
dapat dipengaruhi oleh keinginan dan nafsu. Jika penguasa tidak
dipengaruhi oleh keinginan dan nafsunya, moralitas terpuji dan
keadaban tinggi sanggup mencegah para penguasa dipengaruhi oleh
godaan kesewenang-wenangan akan serta-merta tumbuh.37
Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar
dan tenggelam dalam waktu yang panjang. Hingga kemudian muncul
kembali secara eksplisit istilah rule of law yang dianut di negara-negara
bersistem comman law yang kemudian dikembangkan oleh A.V. Dicey
pada tahun 1959.38 Begitupula pada muncul istilah rechstaat dari F.J
Stahl yang dianut dinegara-negara bersistem civil law.39
1. Negara Hukum Rule of Law
Konsep rule of law berjalan secara evolusioner. Konsep ini
bertumpu pada di atas sistem hukum comman law yang amat
36 Monarki merupakan bentuk negara yang dipimpin oleh raja-filsuf sebagai figure penguasa idaman. Aristokrasi adalah bentuk negara yang dipimpin oleh sekelompok orang-orang yang paling baik, sesuai pengertian aristos yaitu paling baik. Politea berasal dari bahasa Yunani yang berarti konstitusi. Politea merupakan pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan seluruh warga negara. Pelaksanaan pemerintahan yang berdasar pada konstitusi seperti itu berdasarkan kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum.., selngkapnya dalam ibid., bandingkan pula pembagian bentuk negara oleh Herodotus kemudian diteruskan oleh Aristoteles…., dalam Romi Librayanto, op.cit., h.185-186. 37 Hotma P. Sibuae, op.cit., h. 18. 38 Aminuddin Ilmar, op.cit., h. 67. 39 Ibid., h. 3.
19
menonjolkan karateristik judicial.40 Unsur-unsur rule of law
sebagaimana yang dikemukan oleh A.V Dicey diantaranya sebagai
berikut:41
a. Supremasi aturan-aturan hukum dalam arti tidak boleh ada
kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh
dihukum bila dilanggar;
b. Kedudukan yang sama di muka hukum baik bagi rakyat biasa
maupun bagi para pejabat; dan
c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan
keputusan-keputusan pengadilan.
Unsur negara hukum di atas disampaikan oleh A.V Dicey
dalam sebuah karyanya yang berjudul “Introduction to the Study of
Constitution”, pada tahun 1952. Jika kita melakukan penelusuran
pustaka, maka terma dari “rule of law” sebenarnya merupakan
bentuk kekaguman Tocqueville terhadap sistem kenegaraan yang
berlaku di Inggris.
Menurut A.V Dicey, bahwa melalui pengkajian tata cara
orang Inggris, para peneliti asing, termasuk pula Toqueville,
dibandingkan dengan orang Inggris sendiri ternyata jauh lebih
terkejut oleh fakta bahwa Inggris adalah suatu negeri, yang ini
jarang di bagian lain Eropa, diatur oleh aturan hukum (rule of law);
dan kekaguman atau raja takjub akan legalitas kebiasaan dan
40 Fajar Laksono dan Subarjo, op.cit., h .18. 41 Ibid., h. 17.
20
perasaan orang Inggris tidak ada yang dikemukan secara baik
daripada pemaparan yang menarik dari tulisan Tocqueville, yang
membandingkan Swiss dengan Inggris pada 1836 terkait dengan
semangat yang menjiwai hukum dan tata cara mereka.42
Tocqueville menulis,
“saya tidak berniat membandingkan Swiss dengan Amerika
Serikat, akan tetapi Inggris Raya. Ketika anda mengkaji
kedua negeri tersebut, atau bahkan hanya melihat secara
sekilas, menurut penilaian saya, anda akan melihat
perbedaan paling menakjubkan antara keduanya. Dipahami
secara menyeluruh, tampaknya Inggris jauh lebih Republik
daripada Republik Helvetik. Perbedaan prinsipil dapat
ditemukan di dalam istitusi kedua negeri tersebut bdan
khusunya dalam hal adat istiadat” 43
Beranjak dari uraian di atas, apa yang digariskan oleh A.V
Dicey dalam konsep rule of law, pada dasarnya bagimana
kemudian memberi jaminan kepada warga masyarakat agar tidak
terjadi tindak sewenang-wenangan dari penguasa, mendapat
tanggapan dari E.C.S Wade dan Gdfrey Phillips dalam bukunya
“Contitusional and Administrative Law”.44 Dengan mengemukaan
42 A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Constitution, (terjemahan), Bandung: NusaMedia, 2014, h.251-252. 43 Selengkapnya dalam ibid., h.252-253. 44 Aminuddin Ilmar, op.cit., h. 68-69.
21
tanggapannya kepada A.V Dicey, maka Wade dan Phillips
mengetengahkan pula konsepnya tentang rule of law yaitu:
a. Rule of law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat daripada anarkhi; dalam pandangan ini konsep rule
of law merupakan suatu pandangan filosofis terhadao
masyarakat yang dalam tradisi Barat berkenaan dengan konsep
demokrasi;
b. The rule of law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa
pemerintahan harus dijalankan sesuai dengan hukum; dan
c. The rule of law menunjukkan suatu kerangka pola pikir politik
yang harus dirinci dalam peraturan-peraturan hukum, baik
hukum subtantif maupun hukum acara, misalnya apakah
pemerintah mempunyai kekuasaan untuk menahan warga
negara tanpa melalui proses peradilan dan mengenai proses
misalnya “presumption of innocence”.45
2. Negara Hukum Rechstaat
Selain sistem hukum rule of law, juga dikenal sistem hukum
rechstaat. Konsep negara hukum rechtstaat lahir dari sebagai
reaksi penentangan dari absolutisme yang sifatnya revolusioner.
Menurut Adnan Jamal, bahwa terma rechtstaat diadopsi dari
45 Ibid.,
22
khasanah pemikiran hukum klasik (formal) yang berkembang di
Eropa Kontinental yang menganut civil law atau roman law.46
Sejarah rechtstaat secara terperinci disebutkan oleh
Aminuddin Ilmar. Diuraikan bahwa rechtstaat lahir dari sebuah
upaya perjuangan menentang absolutisme kekuasaan raja
sebagaimana yang dipraktekkan di Perancis sehingga konsep
tersebut sifatnya sangatlah revolusioner adanya. Dengan
meletusnya revolusi Perancis pada 1897 yang melahirkan adanya
tiga tuntutan dasar yakni, “agalite” (kesamaan), “fernalite”
(kemanusian) dan “liberte” (kebebasan), memberikan penegasan
bahwa kesewenang-wenangan yang diperlukan oleh raja dalam
menyelenggarakan pemerintahan sudah tidak dapat ditahan atau
ditolerir lagi oleh rakyat dikarenakan telah menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan yang sangat dalam bagi rakyat.
Bersatunya atau bertumpunya semua kekuasaan di tangan raja
baik dalam membuat peraturan, melaksanakan atauran maupun
melakukan proses peradilan berakibat tindakan atau perbuatan raja
yang seringkali bersifat sewenang-wenang dan pada akhirnya
menimbulkan otoriter, sehingga semua proses penyelenggaraan
pemerintahan dalam kerajaan di bawah oritas penuh dari raja.47
Sejak itu, kemudian timbullah berbagai pandangan konsep
bagaimana melakukan kontrol atau bagaimana melakukan 46 Adnan Djamal, Konfigurasi Politik dan Hukum Institusionalisasi Judical Review di Indonesia, Makassar: Pustaka Refleksi, 2009, h. 23. 47 Aminuddin Ilmar, op.cit., h. 59.
23
pengawasan terhadap kekuasan raja yang begitu besar sehingga
dapat membatasi kekuasaan dari raja tersebut. Pada masa itu
bermunculanlah berbagai macam pandangan atau konsep baik dari
masa John Locke, J.J. Rosseau dan sampai kepada Montesquieu
yang pada prinsipnya mengemukakan bagaimana seharusnya
kekuasaan itu dapat dikontrol atau diawasi dan bahkan kalau bisa
dapat dibatasi, dengan menggunakan pemisahan kekuasaan
(separation of powers) atau pembagian kekuasaan (distribution of
power).48
Bertitik tolak uraian di atas, F.J. Stahl mengidentifikasi unusr-
unsur negara hukum rechtstaat, sebagai berikut:49
a. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia (grondrechten);
b. Pemisahaan kekuasan negara (scheiding van machten);
c. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan hukum (wet
matigheid van het bestuur); dan
d. Adanya peradilan adaministrasi negara (administratief recht-
praak).
Sedangkan, menurut Friedman bahwa pada prinsipnya
rechtstaat mengandung arti pembatasan kekuasaan kekuasan oleh
hukum. Konsepsi negara hukum dalam pengertian rechtstaat ini
nampaknya memiliki relevansi dengan konsepsi negara hukum
48 Ibid., h. 60. 49 Adnan Djamal, op.cit., h. 24.
24
yang diidenfikasi karasteristiknya oleh Paul Scholten. Menurutnya,
ciri-ciri negara hukum adalah:
a. Diakuinya hak-hak asasi manusai;
b. Adanya pemisahan kekuasaan; dan
c. Adanya pemeintahan berdasarkan undang-undang.50
Berdasarkan uraian di atas, maka menjadi perhatian utama
terhadap adanya konsep pemisahan atau pembagian kekuasaan
yang menjadi salah satu unsur negara hukum rechstaat.
a. Konsep Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya,
bahwa untuk membatasi kekuasan yang sewenang dari Raja
akibat penumpukan kekuasaan yang terlalu absolut, maka
digagaslah adanya konsep pemisahan atau pembagaian
kekuasaan. Lebih lanjut, Jimly Ashiddiqie mengemukakan
bahwa konsep pembatasan kekuasaan (limitation of power)
berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation
of power) dan teori pembagian kekuasaan (division of power
atau distribution of power). Penggunaan istilah, division of
power, separation of power, dan distribution of power, memiliki
nuansa yang sebanding dengan pembagian kekuasaan,
50 Ibid.,
25
pemisahan kekuasaan, pemilahan kekuasaan dan distribusi
kekuasaan.51
Ide pemisahan atau pembagian kekuasaan ini
sebenarnya muncul dari gagasan John Locke dalam karyanya
yang berjudul “Two Treaties of Civil Government”. Pada
dasarnya karya ini merupakan kritikan terhadap kekuasaan raja
yang terlalu absolut dan menganggap bahwa tahta atau
kekuasaan yang dimiliki merupakan mandat langsung dari
Tuhan. Secara khusus gagasan ini sesungguhnya dimaksudkan
untuk menentang ajaran Robert Filmer yang memberikan dasar
pembenar kepada keluarga raja-raja Inggris untuk memegang
tampuk kekuasaan.52 Oleh karena itu, bagi John Locke bahwa
kekuasaan negara harus dibagi menjadi tiga fungsi kekuasaan
diantaranya:
1) Kekuasaan legislatif, yakni kekuasaan untuk membuat
undang-undang;
2) Kekuasaan eksekuti, yakni kekuasaan untuk menjalankan
undang-undang; dan
3) Kekuasaan Federatif, yakni kekuasaan untuk mengadakan
perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan
semua orang dan badan-badan di luar negeri.53
51 Jimly Ashiddiqie, op.cit., h. 284-285. 52 Hotmat P. Sibuae, op.cit., h. 23-25. 53 Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi dalam Perspektif HAN, Jakarta, Sinar Grafika, 2013. h. 78.
26
Menurut John Locke, ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan
satu sama lainnya.
Selanjutnya, ide pemisahan atau pembagian kekuasaan
dari John Locke diilhami oleh Charles de Secondat, Baron de La
Brede et de Montesquieu (atau biasa dikenal Montesquieu),
seorang ahli politik dan filsafat Prancis. Ajaran Montesquieu
secara umum dikenal dengan sebutan trias politica (tiga poros
kekuasaan). Sebutan trias politica pada dasarnya bukanlah
berasal dari Montesquieu sendiri, melainkan berasal dari
Emmanuel Kant54.
Dengan ajaran trias politica, Montesquieu bertujuan
untuk menentang kekuasaan raja yang absolut demi
memberikan terhadap hak-hak individu.55 Melalui karyanya yang
berjudul “L ‘Esprit des ois (Jiwa Undang-Undang)” yang
diterbitkan di Jenawa pada tahun 1748 (2 jilid). Dari hasil karya
ini, Montesquieu menulis tentang Konstitusi Inggris yang
mengatakan bahwa setiap pemerintahan terdapat tiga jenis
kekuasaan.56 Monstesquieu mengemukan sebagai berikut,
“Tidak ada kebebasan jika kekuasaan yudisial tidak
dipiisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif. Jika
kekuasaan yudisial bersatu dengan kekuasaan legislatif,
kehidupan dan kebebasan warga negara akan
diperhadapkan pada pengawasan yang sewenang- 54 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD dalam op.cit., h. 43. 55 Hotma P. Sibuae, op.cit., h. 52. 56 Jawade Hafidz Arsyad, op.cit., h. 79.
27
wenang karena hakim menjadi pembentuk undang-
undang. Jika kekuasaan yudisial bersatu dengan
kekuasaan eksekutif, hakim akan berperilaku jahat dan
kejam.”57
Maka dari itu, menurut Montesquieu kekuasaan dalam
negara harus dipisah menjadi tiga fungsi diantaranya:
1) Kekuasan Legislatif, yang membentuk undang-undang
dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan (parlemen);
2) Kekuasaan Eksekutif, yang melaksanakan undang-undang,
memaklumkan perang, mengadakan perdamaian dengan
negara lain, menjaga tata tertib, menindas pemberontak,
dan lain-lain, yang dilaksanakan oleh pemerintah (presiden
atau raja dengan bantuan menteri atau kabinet); dan
3) Kekuasaan Yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas
kejahatan dan memberi putusan apabila terjadi perselisihan
antara para warga, yang dilaksanakan oleh badan peradilan
(mahkamah agung dan pengadilan dibawahnya).58
Menurut Jimly Ashiddiqie, bahwa konsep pemisahan
atau pembagian kekuasaan dari kedua pakar di atas, dalam
bidang legislatif dan eksekutif, tampaknya mirip. Akan tetapi,
dalam bidang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke
mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Montesquieu
mengutamakan fungsi yudikatif. Montesquieu lebih melihat
57 Hotma P. Sibuae, op.cit. h. 25. 58 Jawade Hafidz Arsyad, op.cit., h. 79-80.
28
pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi
manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih
melihatnya dari segi hubungan ke dalam dan ke luar negara-
negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi pertahanan
(defence) baru timbul apabila fungsi diplomasi (diplomacie)
terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting adalah
fungsi federative, sedangkan fungsi yudikatif bagi John Locke
cukup dimasukkan ke dalam kategori fungsi eksekutif, yaitu
terkait dengan fungsi pelaksanaan hukum. Namun bagi
Montesquieu, fungsi pertahanan dan hubungan luar negerilah
yang termasuk ke dalam fungsi eksekutif sehingga tidak perlu
disebut tersendiri. Justru dianggap penting oleh Montesquieu
adalah fungsi yudisial atau fungsi kekuasaan kehakiman.59
Van Vollenhoven memiliki pandangan yang berbeda,
bahwa tugas negara dapat dibagi dalam empat fungsi yang
lazim disebut “catur praja” yaitu:
1) Regeling (membuat peraturan);
2) Bestuur (pemerintahan dalam arti sempit);
3) Rechtspraak (mengadili); dan
4) Politie (polisi).60
Menurut Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, bahwa
berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut Van
59 Dikutip dari Jimly Ashiddiqie , op.cit., h. 283. 60 Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., h. 147.
29
Vollenhoven adalah tidak hanya melaksanakan undang-undang
saja tugasnya, karena dalam pengertian negara hukum modern
tugas bestuur itu adalah seluruh tugas negara dalam
penyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal
ialah mempertahankan hukum secara prefensif, mengadili dan
membuat pengaturan.61
b. Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan di Indonesia
Dalam pengalaman ketatanegaraan Indonesia, istilah
“pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri
cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara
abslotut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan
secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of
power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang
secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias
politica Montesquieu. Dalam siding BPUPKI pada 1945,
Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1954 tidak
menganut doktrin trias politica dalam arti pemisahan kekuasaan
dari Montesquieu, melainkan menganut sistem pembagian
kekuasaan.62
Menurut Jimly Ashiddiqie bahwa sekarang setelah UUD
1945 mengalami empat kali perubahan, dapat dikatakan bahwa
61 Ibid., 62 Jimly Ashiddiqie, op.cit., h. 290-292.
30
sistem konstitusi kita menganut doktrin pemisahan kekuasaan
itu secara nyata. Beberapa bukti mengenai hal ini adalah:
1) Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan
Presiden ke DPR. Bandingkan saja ketentuan Pasal 5 ayat
(1) UUD 1945 sebelum perubahan dengan Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan.
Kekuasaan untuk membuat undang-undang yang
sebelumnya berada di tangan Presiden, sekarang beralih ke
Dewan Perwakilan Rakyat.
2) Diadopsikannya sistem pengujian konstitusional atas
undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah
Konstitusi. Sebelumnya tidak dikenal adanya mekanisme
semacam itu, karena pada pokoknya undang-undang tidak
dapat diganggu gugat di mana hakim dianggap hanya
menerapkan undang-undang dan boleh menilah undang-
undang.
3) Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaulatan rakyat itu tidak
hanya terbatas pada MPR, melainkan semua lembaga
negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan
penjelmaan kedaulatan rakyat. Presiden, anggota DPR dan
DPD sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat dan
karena itu sama-sama merupakan pelaksana langsung
prinsip kedaulatan rakyat.
31
4) Dengan demikian, MPR juga tidak lagi berstatus sebagai
lembaga tertinggi negara, melainkan merupakan lembaga
(tinggi) negara yang sama derajatnya dengan lembaga-
lembaga (tinggi) negara lainnya, seperti Presiden, DPR,
DPD, MK, dan MA.
5) Hubungan-hubungan antarlembaga (tinggi) negara itu
bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan
prinsip cheks and blances.63
Dari kelima ciri di atas, menurut Jimly Ashiddiqie bahwa
dapat diketahui UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut
prinsip pembagian kekuasaan yang besifat vertical, tetapi juga
tidak dapat dikatakan sebagai menganut paham trias politica
Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa
diiringi oleh hubungan saling mengawasi dan mengendalikan
satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut
oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem
pemisahan kekuasaan dengan prinsip cheks and blances.64
c. Kekuasaan Eksekutif di Indonesia
Kekuasaan eksekutif di Indonesia dilaksanakan oleh
seorang Presiden dan dibantu oleh Wakil Presiden. Hal ini dapat
dilihat pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945. Pada ayat
63 Ibid., 64 Ibid.,
32
(1) menyebutkan, “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Selanjutnya ayat (2) menegaskan bahwa, “dalam melakukan
kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”.
Menurut Sri Soemantri, bahwa yang perlu diketahui
dalam posisi ini adalah yang dimaksud dengan kekuasaan
pemerintahan itu apakah pemerintah(an) yang dimaksud
mempunyai arti luas atau sempit. Seperti diketahui, istilah
pemerintah dalam bahasa inggris adalah government.
Perkataan government dalam bahasa Inggris mempunyai dua
pengertian:
1) Government in broade sense; dan
2) Governmet in narrower sense.
Government dalam arti luas (government in broader
sense) meliputi keseluruhan fungsi yang ada dalam negara,
sedangkan government dalam arti sempit (government in
narrower sense) hanya berkenaan dengan fungsi eksekutif
saja. Dilihat dari teori trias politica, government dalam arti luas
meliputi kekuasaan menjalankan undang-undang, kekuasaan
membentuk undang-undang, dan kekuasaan mengadili.
Dengan demikian, kekuasaan pemerintah dalam arti luas
meliputi kekuasaan membentuk undang-undang yang terbatas,
33
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan kehakiman yang
terbatas.65
Secara garis besar kekuasaan pemerintahan Presiden
dalam UUD NRI 1945 diatur dalam BAB III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara. Dalam bab tersebut terdapat 17 Pasal.
Terkait dengan kekuasaan Presiden dalam memberikan grasi
diatur dalam Pasal 14 ayat (1) yang menyebutkan bahwa,
“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung”.
Selanjutnya, sebagaimana yang dikutip oleh Miriam
Budiardjo dalam buku “Modern Political Constitution” karya C.F
Strong, mengungkapkan bahwa kekuasaan badan eksekutif
mencakup beberapa bidang:
1. Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-
undang dan peraturan perundangan lainnya dan
menyelenggarakan administrasi negara;
2. Legislatif, yaitu membuat rancangan undang-undang dan
membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai
pada undang-undang;
3. Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan
angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang,
pertahanan negara, serta keamanan dalam negeri;
65 Sri Soemantri, Hukum Tata Negara di Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2014. h. 173.
34
4. Yudikatif, memberi grasi, amnesti dan sebagainya; dan
5. Diplomatik yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan
hubungan diplomatik dengan negara lain.66
Sementara itu, Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
membagi kekuasaan Presiden menurut UUD 1945 ke dalam tiga
tiga hal yaitu:
1) Kekuasaan Presiden dalam bidang eksekutif;
2) Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif; dan
3) Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara.
Yang perlu menjadi perhatian dalam konteks ini, Moh. Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim menerangkan kekuasaan presiden dalam
menetapkan keputusan grasi bertindak sebagai kepala
negara.67
Terkhusus kekuasaan Presiden dalam bidang eksekutif
(kepala pemerintahan) dan kekuasaan Presiden dalam bidang
kepala negara, dijelaskan secara eksplisit oleh Titik Triwulan T.
dan Ismu Gunadi Widodo. Menurutnya kekuasan Presiden
sebagai kepala eksekutif (pemerintahan) termaktub dalam Pasal
4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945. Sedangkan
dalam hal dalam pemberian grasi pada Pasal 14 ayat (1) UUD
66 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (edisi revisi), Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. h. 196-197. 67 Selengkapnya, dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., h. 207-208.
35
NRI 1945, merupakan kekuasaan Presiden sebagai kepala
negara.68
Pada dasarnya adanya penyebutan kekuasaan
Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kekuasaan
Presiden sebagai kepala negara, merupakan konsekuensi dari
adanya pemahaman sistem pemerintahan presidensil69 dan
sistem pemerintahan parlementer70 yang dianut suatu negara.
Jika sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensil,
maka Presiden bertindak sebagai kepala pemerintahan. Akan
tetapi, jika sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem
parlementer, maka Presiden atau Raja bertindak sebagai kepala
negara.
Namun dalam hal ini Jimly Ashiddiqie menilai dalam
sistem pemerintahan presidensil, tidak terdapat perbedaan atau
tidak perlu diadakan pembedaan antara kedudukan Presiden
68 Titik Triwulan T., op.cit., h. 112-114. 69 Ciri-ciri sistem pemerintahan Presidensil (S.L. Witman & J.J Wuest) diantaranya: a. sistem itu didasarkan atas asas pemisahan kekuasaan; b. eksekutif tidak mempunyai kedudukan mutlak untuk membubarkan badan perwakilan rakyat atau esksekutif tidak harus mengundurkan diri jika kehilangan dukungan dari badan perwakilan rakyat; c. tidak ada pertanggungjawaban bersama antara Presiden dengan anggota kabinetnya; bahkan para anggota kabinet sepenuhnya bertanggungjawab kepada kepala eksekutif (Presiden); dan d. eksekutif dipilih oleh para pemilih…., selengkapnya dalam Sri Soemantri, op.cit., h. 178. 70 Ciri Ciri-ciri sistem pemerintahan Parlementer (S.L. Witman & J.J Wuest) diantaranya: a. Sistem itu didasarkan atas asas percampuran kekuasaan; b. adanya pertanggungjawaban bersama antara eksekutif dan badan perwakilan rakyat; eksekutif dapat membubarkan badan perwakilan rakyat jika atau eksekutif harus mengundurkan diri bersama anggota kabinetnya apabila kebijaksanaannya tidak diterima lagi oleh mayoritas anggota badan perwakilan rakyat (badan legislatif); c. di samping itu terdapt pula pertanggungjawaban bersama antara perdana menteri dengan anggota kabinetnya; dan d. eksekutif (Prime Minister, Premier atau Chancellor) diangkat oleh kepala negara (Presiden atau Raja), sesuai dengan dukungan yang diberikan oleh mayoritas anggota badan perwakilan rakyat…., selengkapnya dalam ibid.,
36
selaku kepala negara dan kedudukan Presiden sebagai kepala
pemerintahan. Beliau menambahkan bahwa kapasitas Presiden
sebagai kepala negara dan sebagai pemerintahan tidak dapat
dipisahkan. Oleh karena itu, tidak mungkin membedakan jenis
surat Keputusan Presiden dalam dua macam kedudukan.
Keputusan Presiden selaku kepala negara dan selaku kepala
pemerintahan tidak relevan untuk dibedakan. Yang ada hanya
Keputusan Presiden saja.71
B. Teori Keputusan (Beschikking) Tata Usaha Negara
1. Pengertian dan Istilah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
Defisini keputusan tata usaha negara, secara normatif dapat
dilihat pada Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1
angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara,
“Keputusan Tata Usaha adalah penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
berisikan tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau hukum perdata”
Selanjutnya, definsi badan atau pejabat tata usaha negara
dapat dilihat pada Pasal 1 angka 7 UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa,
71 Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2012. h. 108-109.
37
“Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah”.
Kemudian, beberapa sarjana hukum administrasi
memberikan rumusan pengertian beschikking, misalnya E. Utrecht
yang menyebutkan, bahwa:
“beschikking (ketetapan) ialah suatu perbuatan hukum publik
yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah
berdasarkan suatu kekuasaaan istimewa”72
Nampaknya E.Utrech memiliki pandangan bahwa beschikking
sama halnya dengan ketetapan bersegi satu, dimana terbitnya
suatu beschikking, merupakan hak yang dimiliki oleh pemerintah
tanpa tawar-menewar atau campur tangan dari rakyat.
Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh WF. Prins,
yang menyebutkan, bahwa:
“beschikking sebagai suatu tindakan hukum sepihak dalam
lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat
pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada pada alat
atau organ itu”73
Adanya penggunaan term “hukum sepihak” menunjukkan
bahwa beschikking ditetapkan oleh pemerintah tanpa melalui tawar-
menawar dan merupakan kehendak dari undang-undang secara
kasual, individu.
72 S.F. Marbun, op.cit. h. 127. 73 Ibid.,
38
Adapun pendapat yang berbeda, dikemukan oleh Van der
Pot, bahwa:
“beschikking ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
alat-alat pemerintahan dan pernyataan-pernyataan alat-alat
pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hal istimewa
dengan maksud mengadakan perubahan dalam hubungan-
perhubungan hukum.74
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa beschikking
dapat mengakibatkan adanya perubahan hukum berupa perubahan
hak dan kewajiban yang dimiliki oleh warga negara (subjek dari
keputusan).
Sedangkan menurut Prajudi Atmosudirjo menyebutkan,
bahwa,
“Penetapan (beschikking) dapat dirumus sebagai perbuatan
hukum sepihak yang bersifat administrasi negara dilakukan
oleh pejabat atau instansi penguasa (negara) yang
berwenang dan berwajib khusus untuk itu”75
Adapun menurut SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, bahwa
keputusan (beshikking) dapat diartikan sebagai,
“Perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau perbuatan
hukum sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil
persetujuan dua pihak”.76
Beranjak dari uraian pengertian keputusan (beschikking) di
atas, secara historis keputusan (beschikking) tata usaha negara
pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto 74 Ibid., 75 Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994. h.94. 76 S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, op.cit., h. 75.
39
Mayer, dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini diperkenalkan di
negeri Belanda dengan nama beschikking oleh van Vollenhoven
dan C.W. van der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti AM.
Donner, H.D. Van Wijk/ Willem Konijnenbelt, dan lain-lain, dianggap
sebagai “de vader van het modern beschikkingsbegrip”, (bapak dari
konsep beschikking modern).77
Di Indonesia istilah beschikking diperkenalkan pertama kali
oleh WF. Prins. Istilah beschikking ada yang menerjemahkan
dengan ketetepan, seperti E.Utrecth, Bagir Manan, Sjachran
Basah, dan lain-lain.78 Sedangkan penejemahan sebagai
keputusan, seperti WF. Prins, Philipus M. Hadjon, dan S.F
Marbun.79 Menurut Djenal Hoesen dan Muchsan, sebagaimana
yang dikutip oleh Ridwan HR., menyebutkan bahwa penggunaan
keputusan barangkali akan lebih tepat untuk menghindari
kesiumpangsiuran pengertian dengan istilah ketetapan.
Menurutnya, di Indonesia istilah ketetapan sudah memiliki
pengertian teknis yuridis, yaitu ketetapan MPR yang berlaku keluar
dan ke dalam.80
Adapun menurut Aminudddin Ilmar, bahwa perbedaan istilah
beschikking dilatarbelakangi oleh adanya pemaknaan yang
berbeda, dimana di Belanda istilah ketetapan digunakan untuk
77 Ridwan HR., op.cit., h. 139-140. 78 Ibid., h. 140. 79 Aminuddin Ilmar, op.cit., h. 178. 80 Ridwan HR., op.cit., h. 140.
40
menunjuk kepada surat keputusan yang dibuat oleh pemerintah
dan berlaku khusus yang normanya bersifat konkret-individual.
Sedangkan, istilah keputusan (besluit) lebih diarahkan kepada
peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan berlaku umum serta
normanya bersifat abstrak (besluiten algemene strekking).81
Namun, bagi Jimly Asshiddiqie, sebagaimana yang dikutip
oleh Titik Triwulan T. dan H. Ismu Gunadi Widodo menyebutkan,
bahwa:
“Saya lebih cenderung pada istilah ketetapan daripada
penetapan untuk menyebut produk keputusan yang bersifat
administrative itu. Hal yang sama juga biasa saya lontarkan
untuk mengkritik istilah yang dipakai dilingkungan
pengadilan. Di lingkungan pengadilan, keputusan-keputusan
yang bersifat administratif biasa disebut sebagai penetapan
yang dibedakan dari istilah putusan (vonis) yang berkaitan
dengan keputusan peradilan atas perkara. Misalnya,
penentuan mengenai hari sidang dituangkan dalam bentuk
keputusan yang disebut ‘penetapan’, bukan ‘ketetapan’.
Demikian pula penentuan anggota majelis yang ditetapkan
oleh ketua pengadilan dituangkan dalam bentuk keptusan
administratif (beschikking) yang disebut ‘penetapan’.
Penggunaan istilah ini menurut saya adalah kekeliruan yang
diterima begitu saja sebagai kelaziman di dunia akdemis
maupun praktik tanpa adanya kritik yang meluruskan.82
Namun, dalam hal ini dalam konteks Indonesia, berdasarkan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
81 Aminuddin Ilmar, op.cit., h. 178-179. 82 Titik Triwulan T. dan H. Isnu Gunadi Widodo, op.cit., h. 315.
41
Peraturan Perundang-undangan (UUP3), maka istilah beschikking
diterjemahkan ke dalam istilah keputusan83, begitupula dengan UU
No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang
menggunakan istilah keputusan.
2. Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
Jika mencermati uraian Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun
1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, yang memberi definisi terhadap keputusan,
maka dapat ditarik unsur-unsur keputusan sebagai berikut:
a. Penetapan tertulis;
b. Dikeluarkan oleh badan/ pejabat tata usaha negara;
c. Berisi tindakan hukum;
d. Bersifat konkret, individual, dan final;
e. Menimbulkan akibat hukum; dan
Berikut uraian secara eksplisit mengenai unsur-unsur
keputusan (beshikking) tata usaha negara:
a. Penetapan tertulis
Di dalam penjelasan, meskipun disebutkan istilah
“penetapan tertulis” itu dimaksudkan terhadap isinya dan bukan
bentuknya, namun diharuskan berbentuk tertulis untuk
memudahkan pembuktian. Misalnya, sebuah memo atau nota
83 Ridwan HR., op.cit., h. 140.
42
tertulis dapat dianggap keputusan Badan atau pejabat TUN
apabila sudah jelas diketahui:
a. Badan atau pejabat TUN yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta hal atau perkara dari isi tulisan tersebut; dan
c. Pihak yang dituju dari tulisan tersebut dalam hal yang
ditetapkannya.84
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
Badan atau pejabat TUN adalah badan di pusat dan
daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut
penjelasam Pasal tersebut, yang dimaksud dengan urusan
pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif.85
c. Berisi Tindakan Hukum TUN
Tindakan hukum TUN (administratieve handeling)
adalah perbuatan hukum badan atau pejabat TUN yang
bersumber pada suatu ketentuan hukum TUN yang dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.86
d. Bersifat Konkret
Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam
keputusan TUN itu berwujud, tidak abstrak, tertentu atau dapat
ditentukan. Umpanya, keputusan mengenai rumah si A, izin 84 Priyatmanto Abdoellah, op.cit., h. 112-114. 85 Ibid., 86 Ibid.,
43
usaha bagi si B, ataupun pemberhentian si A sebagai pegawai
negeri.87
e. Bersifat Individual
Makna individual dimaksudkan tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau
hal yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang
terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan
tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang
menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan
tersebut.
Sesuai dengan sifat keputusan TUN ada yang
merugikan dan ada yang menguntungkan, maka orang atau
badan hukum perdata yang namanya disebut dalam keputusan
TUN tidak selalu merupakan pihak yang dirugikan, bahkan
adakalanya justru sebagai pihak yang diuntungkan. Dengan
demikian, penggugat bukan selalu orang yang namanya
tercantum dalam keputusan TUN yang digugat, seperti misalnya
gugatan tentang pembatasan sertifikat tanah, IMB, dan
sebagainya yang merasa dirugikan.88
f. Bersifat Final
Pengertian dari final dalam hal ini adalah sudah
definitive dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
87 Ibid., 88 Ibid.,
44
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan
atau instansi lain belum bersifat final, karenanya belum dapat
menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang
bersangkutan.89
g. Menimbulkan Akibat Hukum
Unsur terakhir keputusan TUN adalah menimbulkan akibat
hukum bagi orang atau badan hukum perdata. Akibat hukum
(rechtsgevolg) ini adalah berkaitan dengan factor “kepentingan”.
Penggugat yang dirugikan sebagai dasar hak untuk mengajukan
gugatan.90
3. Jenis-Jenis Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
Terlepas dari hal di atas, Soehino telah merinci bentuk-
bentuk keputusan (beschikking) administrasi sebagai berikut:91
a. Keputusan Positif, yaitu ketetapan administrasi yang
menimbulkan suatu keadaan hukum baru. Jadi dengan
dikeluarkannya beschikking ini ditimbulkan suatu keadaan
hukum baru bagi orang atau badan hukum swasta yang
mendapat beschikking, misal perizinan, itu timbul hak dan
kewajiban baru.
b. Keputusan Negatif, yaitu keputusan administrasi yang tidak
menimbulkan akibat hukum yang baru, atau perubahan
89 Ibid., 90 Ibid., 91 Soehino, Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Liberty, 2000. h. 90.
45
keadaan hukum yang telah ada. Misalnya keputusan penolakan
perizinan.
c. Keputusan deklatoir, yaitu keputusan administrasi yang
menyatakan adanya sesuatu hak atau keadaan hukum bagi
seorang atau badan hukum swasta yang telah mengajukan
permohonan agar alat perlengkapan administrasi negara yang
bersangkutan mengatakan sah haknya atau keadaan
hukumnya, yang sebetulnya hak dan keadaan hukum itu ada
dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya hak untuk cuti
bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).
d. Keputusan Konstitutif, yaitu keputusan administrasi yang dapat
menimbulkan hak atau keadaan hukum baru. Dalam
mengeluarkan ketetapan konstitutif ini alat perlengkapan
administrasi negara yang bersangkutan kelihatan lebih
menjalankan fungsinya, kebijaksanaan serta freies ermessen.
Contohnya perpanjangan cuti ASN yang masa cutinya telah
berakhir.
e. Keputusan Kilat, yaitu keputusan administrasi yang demikian
dikeluarkan dan dinyatakan mulai berlaku, dan pada saat itu
juga keputusan tersebut berakhir dan habis kekuatan
berlakunya. Misalnya:
1) Merubah redaksi ketetapan administrasi lama;
46
2) Mencabut, membatalkan, atau menarik kembali keputusan
lama;
3) Mulai berlakunya sesuatu; dan
4) Termasuk keputusan negatif.
f. Keputusan Tetap, yaitu keputusan administrasi yang
dikeluarkan untuk jangka waktu lama atau jangka waktu tidak
tertentu. Misalnya izin usaha perhotelan, dll.
g. Keputusan Lisan, yaitu keputusan administrasi negara dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu yang cukup dikeluarkan
secara lisan.
h. Keputusan Tertulis, yaitu keputusan administrasi dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu, dianggap perlu
dikeluarkan secara tertulis demi kepastian hukum.92
Selanjutnya, dalam karya Ridwan HR ditemukan tambahan
jenis-jenis keputusan, selain jenis-jenis keputusan yang diatas
yaitu:
a. Keputusan yang menguntungkan dan yang memberi beban
Keputusan bersifat menguntungkan (begunstigende
beschikking) artinya keputusan itu memberikan hak-hak atau
memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang
tanpa adanya keputusan itu tidak aka nada atau bilamana
keputusan itu memberikan keringanan beban yang ada atau
92 Ibid., h. 90-94. Bandingkan pula macam-macam beschikking yang diulas dalam Ridwan. HR., op.cit., h. 157- 161.
47
mungkin ada, sedangkan keputusan yang meletakkan
kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau keputusan
mengenai penolakan terhadap permohonan untuk memperoleh
keringanan. Pemilahan jenis keputusan yang menguntungkan
dan memberi beban ini penting terutama dalam kaitannya
dengan pencabutan keputusan. Keputusan yang memberi
beban atau yang memberatkan ini relatif lebih mudah dalam
pencabutannya. Di samping itu, relevansi perbedaan ini adalah
kemungkinan terjadinya gugatan. Dalam hal KTUN itu
menguntungkan, gugatan bakal muncul dari pihak III,
sedangkan dalam hal KTUN memberi beban (misalnya
penetapan pajak), gugatan berasal dari pihak II.93
b. Keputusan Perorangan atau Kebendaan
Keputusan perorangan (persoonlijk beschikking) adalah
keputusan yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi orang
tertentu atau keputusan yang berkaitan dengan orang, seperti
keputusan tentang pengangkatan atau pemberhentian
seseorang sebagai pegawai negeri atau sebagai pejabat
negara, keputusan mengenai surat izin mengemudi, dan
sebagainya, sedangkan keputusan yang diterbitkan mengenai
surat izin (zakelijk beschikking) adalah keputusan yang
diterbitkan atas dasar misalnya sertifikat atas tanah. Dapat
93 Ridwan HR., op.cit., h. 158-159.
48
terjadi suatu keputusan itu dikategorikan bersifat perorangan
sekaligus kebendaan, misalnya surat izin mendirikan bangunan
atau izin usaha industry. Dalam hal ini keputusan itu
memberikan hak pada seseorang yang akan mendirikan
bangunan industry (tertuju pada orang), dan di sisi lain
keputusan itu memberikan keabsahan didirikannya bangunan
atau industry (tertuju pada benda).94
C. Tinjauan Umum Tentang Grasi
1. Pengertian dan Istilah Grasi
Secara normatif pengertian Grasi juga ditemukan dalam
hukum positif Indonesia, yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang No.
22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang
Grasi, disebutkan bahwa:
“Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana
kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”
Pengertian Grasi dalam arti sempit merupakan tindakan
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana atau hukuman yang telah
diputuskan oleh hakim. Menurut JCT Simorangkir, Rudy T Erwin
dan JT Prasetyo, sebagaimana yang dikutip oleh Dhian Deliana,
bahwa:
94 Ibid., h. 161.
49
“Gratie (grasi) adalah wewenang dari kepala negara untuk
memberikan pengampunan hukuman yang telah dijatuhkan
oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian atau
merubah sifat/ atau bentuk hukuman itu.95
Secara historis istilah terkait pemberian grasi di negara
Amerika Serikat dan Filiphina dikenal dengan istilah “pardon” yang
artinya pengampunan dan istilah “clemency” atau “executive
clemency” yang artinya pengampunan secara luas. Selanjutnya,
istilah Grasi berasal dari bahasa Belanda “gratie” atau “genade”
yang berarti rahmat.96
Istilah pemberian grasi dalam prakteknya di Indonesia
memiliki perbedaan amnesti, abolisi, rehabilitasi dan remisi. Istilah
amnesti berasal dari bahasa Yunani “amnestia” yang artinya
melupakan. Pengertian amnesti, merupakan pernyataan terhadap
banyak orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk
meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak
tersebut. Sedangkan istilah abolisi berasal dari kata “abolition” yang
berarti tindakan untuk mengakhiri sesuatu atau menghentikan
sesuatu. Pengertian abolisi merupakan suatu keputusan untuk
mengakhiri pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, di mana
pengadilan belum menjatuhkan terhadap perkara tersebut.
Sedangkan istilah rehabilitasi berasal dari kata “rehabilitation” yang
artinya pengembalian hak. Pengertian rehabilitasi merupakan suatu
95 Ibid., 96 Dhian Deliani, op.cit., h.128-129.
50
tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang
yang telah hilang karena suatu putusan hakim yang ternyata dalam
waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan
seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan
semula atau bahkan ia tidak bersalah. Adapun istilah remisi berasal
dari kata “remission” yang artinya pengurangan, peringan,
pengampunan. Jadi pengertian remisi adalah pengurangan masa
pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidan yang
telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.97
Nampak perbedaan yang mencolok antara Grasi, dengan
amnesti, abolisi, rehabilitasi dan remisi. Titik pokok perbedaan
adalah adanya subjek pemohon Grasi secara individu, yang
berbeda dengan amnesti (secara berkelompok; melibatkan banyak
orang), dan alasan pengabulan Grasi didasarkan atas pertimbangan
hak asasi manusia (HAM), yang berbeda dengan abolisi (karena
kepentingan stabilitas negara); rehabilitasi (karena adanya fakta
baru terungkap; atau majelis hakim keliru menerapkan fakta hukum);
dan remisi (terpidana telah berkelakuan baik selama menjalani
pidana).
2. Sejarah dan Tujuan Pemberian Grasi
Pengampunan pertama ditemukan dalam hukum Perancis
pada awal abad ke-15 dan berasal dari bahasa latin “perdonare”
97 Ibid., h. 1301-132.
51
(untuk memberikan kebebasan). Menunjukkan hadiah diberikan
oleh penguasa. Lebih lanjut bahwa akar sejarah grasi dan amnesti
telah ditemukan dalam hukum kuno. Lembaga yang serupa dengan
pengampunan modern telah muncul di Babilonia kuno dan hukum
Ibrani. Amnesti pertama umumnya dikaitkan dengan Thrasybulus di
Yunani kuno (403 SM bangsa Romawi selanjutnya
mengembangkan sejumlah bentuk grasi dan memengaruhi
perkembangan selanjutnya dalam hukum Eropa.98
Di Eropa pada abad pertengahan kekuasaan untuk
memberikan pengampunan diselenggarakan oleh berbagai badan,
termasuk Gereja Katolik Roma dan penguasa lokal tertentu, tetapi
pada abad ke-16 biasanya kekuasaan ini terkonsentrasi di tangan
raja. Dalam pasca-reformasi Inggris, hak prerogatif kerajaan
sebagai “kemurahan hati raja/ ratu” digunakan untuk tidak tujuan
utama: (1) sebagai pendahuluan pada pembelaan diri yang belum
diakui; (2) untuk mengembangkan metode baru mengenai para
pelaku yang belum diakui oleh undang-undang; dan (3) untuk
menghilangkan atas diskualifikasi kriminal.99
Jika dilihat dalam praktiknya Grasi memiliki tujuan untuk
menegakkan dan hak-hak asasi manusia secara materil. Grasi
diberikan oleh Presiden kepada narapidana bertujuan untuk
mengembalikan harkat dan martabat kemanusiaan yang selama
98 ibid., h. 132. 99 Ibid.,
52
menjalani proses hukum, harkat dan martabat tersebut telah
berkurang. Di sisi lain, adanya mekanisme pemberian Grasi
menunjukkan bahwa adanya upaya untuk menghapuskan secara
perlahan hukuman mati yang ada di Indonesia.
Selain disebutkan di atas, keputusan Grasi juga bertujuan
untuk memberikan rasa keadilan yang tidak hanya kepada subjek
pemohon, akan tetapi kepada segenap masyarakat. Grasi harus
mencerminkan nilai keadilan sebagai basis dari negara hukum.
Lebih lanjut, keputusan Grasi tidak boleh menggunakan
pertimbangkan dangkal, dan politis, namun ia mesti melalui
pertimbangan yang mendalam dan sejalan dengan rechtmatigheid
van bestuur. Pertimbangan yang dimaksud ialah mulai dari
pertimbangan rasa keadilan masyarakat, sampai kepada stabiltas
negara. Adapun maksud harus sesuai dengan rechmatigheid van
bestuur, ialah bahwa Grasi tidak boleh menggunakan penerapan
“atas kemurahan hati raja/ atau Presiden” namun mesti
menggunakan acuan norma hukum yang mengikat.
Di sisi lain, dalam sistem kenegaraan dan pembagian
kekuasaan (distribution of power) Grasi memiliki tujuan sebagai
pelaksanaan cheks and blance dalam konsep negara hukum.
Artinya Presiden dapat kembali menilai putusan peradilan melalui
pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Melalui keputusan Grasi
kemudian dapat memberikan pengurangan, pengampunan dan
53
sebagainya terhadap penjatuhan putusan pengadilan kepada
nararapidana.
Dari segi hukum administrasi negara, bahwa keputusan Grasi
bertujuan sebagai instrument pelaksanaan fungsi pemerintahan.
Dalam hal ini, pemerintah melaksanakan fungsinya sebagai umpire
(wasit) yang menengahi perbuatan melanggar hukum dari subjek
hukum. Pelaksanaan fungsi pemerintahan ini merupakan bentuk
untuk menciptakan keadilan dan penghormatan hak-hak asasi
manusia di tengah-tengah masyarakat.
3. Proses Pemberian Grasi di Indonesia
Proses pemberian grasi di Indonesia dapat dicermati melalui
UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun
2002 tentang Grasi, dengan tahapan sebagai berikut:
a. Pengajuan Permohonan Grasi
a. Hak untuk mengajukan grasi kepada terpidana oleh hakim
atau hakim ketua siding yang memutus perkara pada tingkat
pertama, [Pasal 5 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002].
b. Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana maupun
kuasa hukum atau keluarga terpidana kepada Presiden,
[Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2002].
c. Menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia dengan alasan kemanusaian
dan keadilan, dapat meminta kepada terpidana, kuasa
54
hukum atau keluarga terpidana untuk mengajukan grasi dan
berwenang meneliti permohonan grasi tersebut, [Pasal 6A
ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 2010].
d. Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap, [Pasal 7 ayat (1) UU No.
22 Tahun 2002]. Mengenai batas waktu pengajuan grasi
sebelumnya dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010
tentang Grasi membatasi dengan jangka waktu paling lama
satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum yang
tetap. Namun dalam hal ini, berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU/-XIII/2015 tertanggal
15 Juni 2016, telah menganulir norma Pasal 7 ayat (2),
bahwa jangka waktu pengajuan grasi tidak batasi, karena
apabila dibatasi maka akan melanggar hak asasi manusia.
e. Permohonan diajukan secara tertulis kepada Presiden, dapat
pula sampaikan kepada Kepala Lembaga Permasyarakatan
tempat terpidana menjalani pidana, kemudian melalui Kepala
Lembaga Permasyarakatan tersebut kepada Presiden.
Salinan permohonan grasi ini diteruskan kepada pengadilan
negeri yang memutus perkara tingkat pertama untuk
kemudian diteruskan kepada Mahkamah Agung, [Pasal 8
ayat (1), s/d (4) UU No. 22 Tahun 2002].
55
b. Penyelesaian Permohonan Grasi
a) Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari
terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan
grasi yang disampaikan kepada pengadilan yang memutus
perkara tingkat pertama, maka selanjutnya pengadilan
tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan
berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung, [Pasal
9 UU No. 22 Tahun 2002].
b) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan
berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis
kepada Presiden. [Pasal 10 UU No. 5 Tahun 2010].
c) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi
setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau
penolakan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan
grasi paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya
pertimbangan Mahkamah Agung. [Pasal 11 ayat (1) s/d (3)
UU No. 5 Tahun 2010].
d) Keputusan Presiden pemberian atau penolakan grasi
disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya
56
Keputusan Presiden. Kemudian salinan keputusan tersebut
disampaikan kepada:
a) Mahkamah Agung;
b) Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama;
c) Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan
d) Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani
pidana.
57
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi100. Penelitian hukum berbeda
dengan penelitian ilmu sosial lainnya. Penelitian ilmu sosial
berhubungan dengan apa yang ada, meneliti kebenaran fakta, bukan
pada yang seharusnya101. Berbeda dengan penelitian hukum yang
memiliki metode kajian yang khas102, atau dengan kata lain bersifat sui
generis103, yang berfokus pada telaah kaidah atau norma, sesuatu
yang seharusnya.
Selanjutnya, Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa
penelitian hukum yang meneliti kaidah atau norma disebut sebagai
penelitian normatif104. Penelitian hukum normatif atau banyak pula
para ahli menyebutnya sebagai penelitian hukum dogmatif, sesuai
dengan bidang tugas dan karakternya dalam rangka evaluasi hukum
positif, mengandung elemen preskriptif atau dimensi mengkaidahi,
100 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 34. 101 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (edisi revisi), Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka, 2014, h. 36. 102 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum (Legal Argumentasi/ Legal Reasoning) Langkah-Langkah Legal Problem Solving dan Penyusunan Legal Opinion, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, h. 3. 103 Sui generis, memiliki arti bahwa ilmu hukum merupakan ilmu jenis tersendiri, (dikutip dalam ibid., h. 1). 104Sudikno Mertokusumo, op.cit., h. 37.
58
yaitu seperti apa baiknya jika ditujukan terhadap perundang-undangan
maupun terhadap putusan pengadilan105. Dengan kata lain,
rekomendasi-rekomendasi penelitian normatif sangat mungkin berupa
amandemen peraturan perundang-undangan atau rekomendasi
bagaimana sebaiknya hakim memutus perkara dalam suatu kasus
setelah memberikan anotasi atas suatu putusan pengadilan106.
Begitupula pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto107
bahwa sebagai objek penelitian hukum normatif anatara lain asas-asas
hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertical dan horizontal.
Berdasarkan hal di atas, maka penelitian ini menggunakan jenis
penelitian hukum normatif yang akan mengevaluasi dan menganalisis
peraturan perundang-undangan terkait. Selain itu, penelitian ini akan
menganalisis karasteristik norma keputusan Presiden tentang
pemberian grasi dengan menggunakan pisau analisis norma
keputusan tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
B. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan, diantaranya:
Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach); Pendekatan
Kasus (case approach); dan Pendekatan Konseptual (conceptual
105 Titon Slemet Kurnia, dkk, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia Sebuah Reorientasi, Yogyakarta: Pustka Belajar, 2013, h. 149. 106 Ibid, h. 149. 107 Sudikno Mertokusumo, op.cit. h. 37.
59
approach)108. Pendekatan perundang-undangan yang berkaitan
dengan peraturan grasi dan peraturan yang mengatur tentang
keputusan tata usaha negara serta undang-undang terkait lainnya.
Pendekatan kasus berkaitan dengan pemberian grasi serta keputusan
Presiden tentang pemberian atau penolakan grasi yang pernah
dipersengketakan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Adapun
pendekatan konseptual berkaitan dengan teori negara hukum
rechstaat, teori pemisahaan atau pembagian kekuasaan serta
kekuasaan eksekutif di Indonesia, teori keputusan (beschikking) dan
tinjauan umum pemberian grasi di Indonesia.
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah
sejumlah peraturan perundang-undangan yang memiliki relevansi
dengan isu hukum yang dikaji.
Pendekatan kasus dilakukan dengan dengan menelaah ratio
decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim
untuk sampai pada keputusannya.109 Dengan kata lain, pendekatan ini
dilakukan dengan mencari beberapa keputusan Presiden tentang
pemberian atau penolakan grasi serta mencari putusan PTUN
mengenai sengkata keputusan Presiden tentang pemberian atau
penolakan grasi yang telah berkekuatan hukum tetap.
Adapun pendekatan konseptual dilakukan untuk menganalisis
dan memahami pandangan dan doktrin hukum mengenai teori
108 Peter Mahmud Marzuki, op.cit., h. 137. 109 Ibid., h. 199.
60
pemisahaan kekuasaan dan kekuasan eksekutif (Presiden) dalam
pemberian grasi dan teori keputusan (beschikking), termasuk pula di
dalamnya mengenai keputusan Presiden tentang pemberian grasi.
C. Jenis dan Sumber Bahan
Jenis data yang digunakan adalah data skunder110, yang terdiri
dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang
berlaku sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia, yurisprudensi serta norma hukum berupa keputusan
(beschikking);
2. Bahan hukum skunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai bahan hukum primer meliputi,
tulisan hukum yang dipublikasikan dalam bentuk buku, hasil-hasil
penelitian yang telah ada, jurnal dari kalangan sarjana hukum dan
karya ilmiah lainnya yang memiliki relevansi dengan objek kajian;
dan
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum skunder, seperti
kamus hukum dan ensiklopedia.
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan invertarisasi
hukum positif terkait dan melakukan penelusuran kepustakaan berupa
110Selengkapnya, Sudikno Mertokusumo, op.cit., h. 37.
61
tulisan hukum yang dipublikasikann dalam bentuk buku, hasil-hasil
penelitian yang telah ada, jurnal dari kalangan sarjana hukum dan
karya ilmiah lainnya.
E. Analisis Bahan Hukum
Semua data yang dikumpulkan kemudian dilakukan analisis
bahan hukum berupa pemaparan material111, pengkajian, dan analisis
sehingga mengahsilkan pemecahan masalah terhadap objek kajian.
Pemaparan material penelitian adalah langkah awal setiap penelitian.
Analisis dilakukan dengan menggunakan interpretasi hukum guna
untuk mencari kesesuaian antara peraturan perundang-undangan
dengan teori terkait, sehingga dapat memecahkan isu hukum.
Selanjutnya, dari hasil telaah, analisis dan interpretasi tersebut,
diharapkan dapat melahirkan hasil pembahasan yang sistematis,
holistik dan komprehensif.
111 Pemaparan material ini tidak sepenuhnuya objektif. Tiap pengetahuan tentang kenyataan adalah yang diwarnai oleh penafsiran, dan karena itu diwarnai oleh teori…. Pengungkapan hasil penetapan isi aturan hukum dapat dirumuskan melalui hipotesis. Selengkapnya, Bernard Arief Sidharta, op.cit., 2009, h. 43.
62
BAB IV
PEMBAHASAN
A. SYARAT DAN PROSES PEMBERIAN GRASI
1. Syarat Pemberian Grasi
Jika dikaji secara normatif, sumber kewenangan pemberian
grasi ini merupakan kewenangan yang diatribusikan kepada
presiden melalui UUD NRI 1945 pada pasal 14 ayat (1). Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung. Memang secara jelas ketentuan
tersebut hanya mengatribusikan kewenangan kepada presiden
untuk memberi grasi, tanpa menyebut adanya persyaratan. Oleh
karena itu, melalui proses legislasi112 dengan lahirnya UU No. 22
Tahun 2002 tentang Grasi telah mengatur mengenai persyaratan
untuk mengajukan permohonan grasi.
Syarat untuk mengajukan permohonan grasi dalam UU No.
22 Tahun 2002 jo. UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi dapat dilihat
pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Grasi menegaskan bahwa,
“(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan
permohonan grasi kepada Presiden”.
112 Menurut Mohammad Fajrul Falaakh bahwa perubahan konstitusi (UUD 1945) kerap terjadi secara nonformal melalui lembaga legislasi (DPR) dalam proses perumusan suatu undang-undang. Terkadang melalui produk hukum berbentuk UU dapat membatasi maupun memperluas makna yang terkandung dalam konstitusi, yang pada akhirnya akan mengubah konstitusi secara nonformal. Lihat selangkapnya dalam Mohammad Fajrul Falaakh Model dan Pertumbuhan Konstitusi, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2014.
63
Selanjutnya,
“(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati,
penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua)
tahun”.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka syarat permohonan
atau pemberian grasi dapat ditinjau dari segi: pertama, sifat
putusan (putusan inkrach); kedua, kategori lama pemidanaan
(pidana mati, pidana seumur hidup, dan penjara diatas 2 tahun).
Hal ini dapat dimaknai bahwa hanya putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang dapat diajukan
permohonan grasi kepada presiden. Dengan kata lain, selama
masih ada proses upaya hukum terhadap putusan hakim berupa
banding di pengadilan tinggi, kasasi atau Peninjauan Kembali (PK)
di Mahkamah Agung maka permohonan pengajuan grasi kepada
presiden tidak dapat dilakukan sesuai dengan UU No. 22 Tahun
2002 tentang Grasi.
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002
tentang Grasi nampak adanya kategorisasi narapidana yang dapat
mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Republik
Indonesia. Ada tiga kategori narapidana yang dapat mengajukan
permohonan grasi terdiri dari: 1) Terpidana Mati; 2) Penjara
Seumur Hidup; dan 3) Penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
64
Kategorisasi di atas didasarkan atas lama pemidanaan
(berat-ringannya hukuman) dalam menjalani proses pemidanaan.
Bagi syarat terpidana mati merupakan bentuk penjaminan terhadap
hak hidup yang pada prinsipnya tidak dapat kurangi maupun
dicabut—sebagaimana yang telah dijamin oleh konstitusi
(constitutional right). Selain itu, adanya permohonan grasi yang
dapat diajukan oleh terpidana mati merupakan pengejawantahan
dari karasteristik cita hukum baik Rechstaat maupun Rule of Law
yang menekankan adanya perlindungan hukum dan HAM bagi
setiap warga negara—utamanya hak untuk hidup113 sebagai bentuk
fundamental right. Ada empat gagasan utama HAM dalam DUHAM
yang disampaikan oleh Micelin R Ishay114: 1) Kemuliaan manusia,
2) Kebebasan manusia, 3) Kesetaraan manusia, dan 4)
Persaudaran manusia. Mohammad Fajrul Falaakh kemudian
mendekskripsikan keempat gagasan utama HAM di atas, dengan
mengemukan bahwa aspek kemulian martabat manusia tidak
dibedakan oleh asal usul ras, agama, kepercayaan, bangsa, jenis
kelamin. Manusia memiliki kebebasan: hak hidup, hak atas rasa
aman, bebas dari perbudakan, bebas dari penyiksaan, privasi,
bebas bergerak dan bertempat tinggal, kebebasan berpikir,
berekspresi, berkeyakinan dan beragama. Kesetaraan manusia
113 Tercatat vonis hukuman mati di Indonesia dalam rentang waktu 3 tahun terakhir (2015-2017) mencapai angka 81 vonis.., selengkapnya dalam Andhigama A. Budiman, dkk., Menyiasati Eksekusi Mati dalam Ketidakpastian: Melihat Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia, Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, 2017. 114 Mohammad Fajrul Falaakh, Model dan Pertumbuhan…, op.cit., h.122.
65
untuk atau dalam hal: berserikat, berkumpul, partisipasi politik
dalam negara, memperoleh akses pelayanan publik, jaminan sosial
dan bekerja, penghasilan, indikator kehidupan yang memadai,
pendidikan, kesehatan. Persaudaraan: hak komunal, ketertiban
sosial-politik, kewajiban untuk menghormati hak orang lain.115
Maka dari itu adanya ruang bagi terpidana mati untuk
mengajukan permohonan grasi maka akan menjamin eksistensi
dari perlindungan HAM itu sendiri. Begitupula jika disandarkan pada
konsep dan teori negara hukum—baik rechstaat maupun rule of
law—yang mana ide negara hukum pada mulanya hadir untuk
membatasi kekuasaan raja yang absolut dalam rangka
perlindungan HAM, maka jaminan HAM merupakan salah satu
subtansi utama yang melekat pada negara hukum rechstaat
maupun rule of law.
Lebih lanjut, dari perspektif berbeda adanya kesempatan
bagi terpidana mati untuk mengajukan permohonan grasi kepada
presiden dinilai sebagai salah satu instrument untuk meminimalisir
hukuman mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Sekedar
tambahan Intitute for Criminal Justice Reform (selanjutnya disingkat
ICJR) mencatat di tahun 2015, setidaknya ada 1 pengabulan
permohonan grasi terhadap vonis putusan mati.116 Secara
115 Andhigama A. Budiman, dkk., Menyiasati Eksekusi Mati…, op.cit., 116 Ibid.,
66
kuantitatif menunjukkan dengan adanya pemberian grasi telah
mengurangi eksekusi mati di Indonesia.
Selanjutnya, terhadap syarat pidana seumur hidup dan
penjara paling rendah dua tahun, dapat dimaknai sebagai upaya
yang dapat ditempuh bagi terpidana agar terbebas dari jeratan
hukum dan dapat melangsungkan kehidupannya untuk berbaur
kembali ditengah-tengah masyarakat. Pada prinsipnya grasi
memiliki tujuan untuk menegakkan hak-hak asasi manusia secara
materil. Grasi diberikan oleh Presiden kepada narapidana bertujuan
untuk mengembalikan harkat dan martabat kemanusiaan yang
selama menjalani proses hukum, harkat dan martabat tersebut
telah berkurang.
Syarat mengenai kategorisasi lama pemidanaan di atas—
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2002— jika
dibandingkan dengan undang-undangan yang pernah berlaku di
Indonesia mengenai permohonan grasi sebagaimana yang diatur
pada UU No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, memiliki
segi perbedaan terkait narapidana yang dapat mengajukan
permohonan grasi.
Misalnya pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) UU No.
3 Tahun 1950, dapat dicermati adanya beberapa narapidana yang
dapat mengajukan permohonan grasi. Misalnya narapidana dengan
hukuman pidana mati [vide Pasal 2 ayat (1)]; hukuman tutupan,
67
penjara dan kurungan, termasuk pula hukuman kurungan
pengganti [vide Pasal 3 ayat (1)]. Dari ketentuan yang tersebut,
nampak tidak terdapat syarat mengenai lama pemidanaan, bahkan
hukuman kuranganpun dapat mengajukan permohonan grasi.
Setelah diubah melalui UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi, maka terdapat syarat untuk mengajukan permohonan grasi
harus terpidana mati, penjara seumur hidup dan hukuman pidana di
atas dua tahun atau dengan kata lain minimal dua tahun. Ketiga
kategorisasi syarat ini menunjukkan bahwa semua pidana penjara
maupun kurungan dibawah dua tahun tidak memenuhi persyaratan
untuk mengajukan permohonan grasi. Menurut penulis, kategorisasi
persyaratan tersebut bertujuan untuk menciptkan kepastian hukum
bagi terpidana dalam melakukan permohonan grasi. Di sisi lain
dengan adanya persyaratan tersebut maka akan menutup
kemungkinan adanya permohonan grasi yang bertumpuk —baik di
presiden maupun pertimbangan di Mahkamah Agung (selanjutnya
disebut MA)—sebab jika tidak diatur mengenai persyaratan
tersebut maka narapidana semua di Indonesia memiliki hak dan
kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi meskipun tidak
terlalu subtansial, misalnya pidana kurungan, dan sebagainya
(pidana dibawah dua tahun).
68
2. Proses Pemberian Grasi
Melalui UU No. 22 Tahun 2002 jo. UU No. 5 Tahun 2010
telah diatur mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian
(proses) permohonan grasi. Secara umum proses permohonan
grasi berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut, terbagi atas
dua proses: pertama, pengajuan permohonan grasi; dan kedua,
penyelesaian permohonan grasi. Berikut pemaparan secara
mendetail terhadap kedua proses tersebut:
a. Proses Pemberian Grasi berdasarkan UU No. 5 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi
1) Pengajuan Permohonan Grasi
a) Hak untuk mengajukan grasi kepada terpidana oleh
hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara
pada tingkat pertama, [Pasal 5 ayat (1) UU No. 22 Tahun
2002].
b) Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana maupun
kuasa hukum atau keluarga terpidana kepada Presiden,
[Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2002].
c) Menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia dengan alasan
kemanusaian dan keadilan, dapat meminta kepada
terpidana, kuasa hukum atau keluarga terpidana untuk
69
mengajukan grasi dan berwenang meneliti permohonan
grasi tersebut, [Pasal 6A ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun
2010].
d) Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, [Pasal 7
ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002]. Mengenai batas waktu
pengajuan grasi sebelumnya dalam Pasal 7 ayat (2) UU
No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi membatasi dengan
jangka waktu paling lama satu tahun sejak putusan
memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Namun dalam
hal ini, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 107/PUU/-XIII/2015 tertanggal 15 Juni 2016, telah
menganulir norma Pasal 7 ayat (2), bahwa jangka waktu
pengajuan grasi tidak batasi, karena apabila dibatasi
maka akan melanggar hak asasi manusia.
e) Permohonan diajukan secara tertulis kepada Presiden,
dapat pula sampaikan kepada Kepala Lembaga
Permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana,
kemudian melalui Kepala Lembaga Permasyarakatan
tersebut kepada Presiden. Salinan permohonan grasi ini
diteruskan kepada pengadilan negeri yang memutus
perkara tingkat pertama untuk kemudian diteruskan
70
kepada Mahkamah Agung, [Pasal 8 ayat (1), s/d (4) UU
No. 22 Tahun 2002].
2) Penyelesaian Permohonan Grasi
a) Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari
terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan
grasi yang disampaikan kepada pengadilan yang
memutus perkara tingkat pertama, maka selanjutnya
pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan
permohonan dan berkas perkara terpidana kepada
Mahkamah Agung, [Pasal 9 UU No. 22 Tahun 2002].
b) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan
dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis
kepada Presiden. [Pasal 10 UU No. 5 Tahun 2010].
c) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi
setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau
penolakan grasi. Jangka waktu pemberian atau
penolakan grasi paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
[Pasal 11 ayat (1) s/d (3) UU No. 5 Tahun 2010].
71
d) Keputusan Presiden pemberian atau penolakan grasi
disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
ditetapkannya Keputusan Presiden. Kemudian salinan
keputusan tersebut disampaikan kepada:
1) Mahkamah Agung;
2) Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat
pertama;
3) Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana;
dan
4) Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana
menjalani pidana.
Dari proses di atas, nampak adanya penambahan subjek
pemohon dalam UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Adapun
penambahan dari subjek hukum pemohon yang dimaksud, dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Penambahan UU No. 22 Tahun 2002 UU No. 5 Tahun 2010
Subjek Pemohon
1. Narapidana yang bersangkutan
2. Kuasa Hukum 3. Keluarga narapidana
1. Narapidan yang bersangkutan
2. Kuasa Hukum 3. Keluarga narapidana 4. Kementerian Hukum dan
HAM Tabel 1. Penambahan subjek pemohonan grasi pada UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi
Adanya penambahan dalam undang-undang tersebut, maka
subjek pemohon yang memiliki hak untuk mengajukan permohonan
grasi bukan hanya narapidana, kuasa hukum, dan keluarga
72
terpidana, namun juga Kementerian Hukum dan HAM (selanjutnya
disingkat Kemenkumham) memiliki hak untuk mengajukan
permohon grasi kepada presiden. Adanya hak Kemenkumham
untuk mengajukan permohonan grasi, didasarkan atas kepentingan
kemanusiaan dan keadilan sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 6A ayat (1) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Adanya dasar permohonan grasi atas kepentingan
kemanusaian dan keadilan oleh Kemenkumham, namun makna
“kepentingan kemanusiaan dan keadilan” tidak terjabarkan dalam
penjelesan undang-undang tersebut, dinilai oleh Dhian Delliana
akan menimbulkan multi-interpretasi terhadap kepentingan
Kemenkumham dalam memakai dasar “kepentingan kemanusiaan
dan keadilan”. Menurutnya penjelasan terhadap makna tersebut
sangat diperlukan dalam menghindari kepentingan lain yang
melatarbelakangi Kemenkumham dalam mengajukan permohonan
grasi.117 Namun untuk sementara itu, definisi “kepentingan
kemanusiaan dan keadilan” menurut Staf Subbidang Pidana Umum
yang menangani pelaksanaan grasi di Ditjen Administrasi Hukum
dan Perundang-undangan, setidaknya dapat dinilai dari:
1. Atas dasar kemanusiaan, jika terpidana sudah lanjut usia;
2. Atas dasar hak asas manusia;
117 Dhian Delliana, op.cit., h. 160.
73
3. Atas hak kesehatan; dan
4. Atas perlindangan anak.118
Bertolak dari uraian di atas, untuk lebih memudahkan dalam
memahami proses permohonan grasi di Indonesia, berikut
gambaran bagan alur permohonan grasi.
Bagan 1. Proses Penyelesaian Permohonan Grasi Menurut UU No. 22 Tahun 2002
(Sumber: Dhian Dellina)
Proses permohonan yang digambarkan pada bagan di atas
merupakan permohonan yang diajukan berdasarkan UU No. 22
Tahun 2002 tentang Grasi, yang belum mencantumkan hak bagi
Kemenkumham untuk mengajukan permohonan Grasi. Adapun
118 Ibid., h. 160-161.
74
proses permohonan Grasi bagi Kemenkumham—berdasarkan UU
No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi—dapat dilihat pada bagan di
bawah ini:
Bagan 2. Proses Penyelesaian Permohonan Kemenkumham berdasarkan UU No. 5 Tahun 2010
tentang Grasi (Sumber: Dhian Delliana)
Pada proses permohonan yang digambarkan bagan di atas,
secara menyeluruh dapat diuraikan:119
1. Permohonan diajukan oleh pemohonan/ Menkumham;
2. MA memberikan pertimbangan berupa “Tolak” atau “Kabul”;
3. Presiden mendistribuskan kepada Menteri Sekretaris Negara
(selanjutnya disingkat Mensesneg) untuk proses;
4. Mensesneg mendistribusikan permohonan grasi beserta
pertimbangan MA kepada Menkumham;
119 Ibid., hlm. 162.
75
5. Permohonan dikirim ke Ditjen AHU untuk tindak lanjut
menyiapkan koordinasi;
6. Permohonan dikirim ke Ditjen PAS untuk tindak lanjut
menyiapkan data-data;
7. Ditjen AHU memberikan pertimbangan “Tolak” atau “Kabul”
dari hasil koordinasi kepada Menkumham untuk diputus;
8. Pertimbangan yang sudah diputus Menkumham berupa
“Tolak/Kabul” dikirim ke Mensesneg;
9. Mensesneg meneruskan berkas untuk diputus dan disetujui
Presiden;
10. Presiden menetapkan Keppres tentang grasi narapidana.
Dari uraian di atas, terdapat dua proses: pertama, proses
permohonan grasi yang dilakukan oleh pemohon (Narapidana,
Kuasa Hukum, dan Keluarga terpidana); kedua, proses
permohonan grasi yang dilakukan oleh Kemenkumham. Pada
proses kedua, permohonan grasi yang diajukan oleh
Kemenkumham harus terlebih dahulu meminta pertimbangan
kepada Ditjen AHU, selanjutnya hasil pertimbangan tersebut dikirim
ke Mensesneg, selanjutnya diteruskan kepada MA dan ke Presiden
untuk diputuskan.
b. Problematika Proses Pemberian Grasi di Indonesia
Setidaknya dari proses di atas, terdapat tiga
permasalahan hukum dalam proses permohonan grasi di
76
Indonesia, diantaranya: Pertama, kepastian hukum mengenai
batas waktu permohonan grasi bagi terpidana mati pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi120. Kedua, makna kata
“memerhatikan” pertimbangan Mahkamah Agung—
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD
NRI 1945; begitupula dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 22 Tahun
2002 tentang Grasi. Ketiga, keriteria atau indikator yang
digunakan presiden dalam mengeluarkan Keputusan baik
berupa penolakan maupun pemberian grasi.
1) Kepastian Hukum mengenai Batas Waktu Permohonan Grasi
bagi Terpidana Mati—pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Batas waktu permohonan grasi dalam UU No. 22 Tahun
2002 tentang Grasi tidak dibatasi, namun kemudian melalui
perubahan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi, batas waktu
permohonan grasi dibatasi. Berikut perubahan batas waktu
permohonan grasi berdasarkan kedua ketentuan tersebut:
Perubahan UU No. 22 Tahun 2002 UU No. 5 Tahun 2010
Batas Waktu Permohonan
Grasi
Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu [vide Pasal 7 ayat (2)]
Permohonan grasi dapat diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap [vide Pasal 7 ayat (2)]
Tabel 2. Perubahan batas waktu permohonan grasi
120 Sebelum adanya Putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015, batas waktu permohonan grasi disebutkan secara jelas dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi, Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Setelah adanya putusan MK tersebut, maka norma yang terdapat pada Pasal 7 ayat (2) di atas dianulir sehingga batas waktu permohonan grasi tidak ditentukan.
77
Perubahan mengenai batas waktu permohonan grasi
yang sebelumnya tidak ditentukan dalam UU No. 22 Tahun
2002 tentang Grasi, dan melalui UU No. 5 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas UU No. UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi
telah ditentukan batas waktu permohonan, dinilai sebagai
upaya untuk menciptakan kepastian hukum—utamanya waktu
pelaksanaan eksekusi mati bagi terpidana mati.
Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut MK) melalui constitusional review dengan
Nomor Register: 107/PUU-XIII/2015 tertanggal 27 Agustus
2015, telah menganulir norma Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun
2010 tentang Grasi terkait batas waktu permohonan grasi.
Dalam amar putusan, MK mengadili:
“Mengatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 2010, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”121
Putusan ini secara otomatis telah meniadakan batas waktu
permohonan grasi—yang sebelumnya telah ditentukan paling
lama 1 (satu) tahun setelah putusan berkuatan hukum tetap
berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang
Grasi.
121 Dikutip dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor: 107/PUU-XIII/2015, tertanggal 15 Juni 2016.
78
Jika kita feedback melihat duduk perkara dalam
pengujian undang-undang (constitusional review) ini, terdiri dari
tiga pemohon: Pemohon I Su’ud Rusli (narapidana); Pemohon
II Marselinus Edwin Hardian (mahasisiwa); Pemohon III H.
Boyamin Saiman (swasta/advokat). Ketiga pemohon ini jika
dilihat duduk perkaranya maka Pemohon I yang paling
berkepentingan dalam pengujian undang-undang tersebut.
Kepentingan Pemohon I dapat diuraikan di bawah ini:122
1. Pemohon I adalah terpidana pada perkara pidana di
Pengadilan Militer II-08 Jakarta Nomor PUT/14-K/PM II-
08/AL/II/2005 yang telah diputus pada tanggal 8 Februari
2005 junto Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta
Nomor PUT/32-K/BDG/PMT-II/AL/VIII/2005 tanggal 04
Agustus 2005. Putusan telah memiliki kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) dengan Putusan Mahkamah Agung
nomor PUT/34-K/MIL/2006 Pid/2010 tanggal 07 Julu 2006;
2. Bahwa putusan telah inkracht pada tanggal 07 Juli 2006,
maka berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi, Pemohon I tidak memiliki upaya untuk mendapatkan
keringanan hukuman atau penghapusan pidananya;
3. Bahwa kemudian Pemohon I mengajukan judicial review
Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan
Atas UU No. 22 Tahun 2010 tentang Grasi untuk digunakan
Pemohon I memperoleh kesempatan mendapatkan Grasi
yang telah diajukan Pemohon I pada tanggal 27 Januari
2014.
Adapun yang menjadi pertimbangan hukum dari Hakim
MK dalam mengabulkan permohonan ini, diantaranya:123
122 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 107/PUU-XIII/2015, h. 4-5. 123 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 107/PUU-XIII/2015, h. 78-80.
79
Memimbang bahwa keberadaan lembaga grasi secara
eksplisit sebagaimana terdapat dalam Pasal 14 ayat (1).
Keberadaan grasi tersebut dalam rangka memberikan
kesempatan kepada narapidana yang sedang
melaksanakan hukuman untuk mendapatkan pengampunan
berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau
penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan
kepada narapidana berdasarkan putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap yang diajukan kepada
Presiden sehingga grasi merupakan salah satu hak
konstitusional setiap Terpidana. [….]
Bahwa secara historis hak atau kekuasaan presiden untuk
memberi grasi berasal dari tradisi sistem monorki Inggris
dimana raja dianggap sebagai sumber keadilan sehingga
kepadanya diberikan hak yang dikenal sebagai hak
proregatif eksekutif (executive prerogative) dalam bentuk
hak untuk memberi pengampunan kepada warganya yang
telah dijatuhi pidana. [….]
Bahwa oleh karena hak untuk memberikan grasi adalah hak
konstitisional presiden yang secara umum disebut sebagai
hak proregatif yang atas kebaikan hatinya memberikan
pengampunan kepada warganya maka tergantung pada
presiden untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan. Grasi
ini memang sangat penting tidak hanya untuk kepentingan
terpidana, juga bisa jadi untuk kepentingan negara terhadap
besarnya beban politik yang ditanggung atas penghukuman
yang diberikan kepada terpidana yang mungkin ada
kaitannya dengan rezim kekuasaan sehingga akan
melepaskan dari beban politik sedemikian rupa. [….].
Demikian pula grasi dapat dipergunakan sebagai jalan
keluar terhadap seorang narapidan yang sangat memilukan
keadaannya yang mengalami sakit keras, sakit tua, penyakit
menular yang tidak dapat bertahan hidup dalam lembaga
permasyarakatan, terpidan menjadi gila, sehingga secara
akal yang sehat dan atas dasar pertimbangan
perikemanusiaan haruslah diberi kesempatan dalam hal ini
melalui pemberian grasi.
80
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, pembatasan
jangka waktu pengajuan permohonan grasi sebagaimana di
atur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010 ternyata potensial
menghilangkan hak konstitusional terpidana, khusunya
terpidana mati, untuk mengajukan permohonan grasi.
Pembatasan demikian juga menghilangkan hak Pemohon
jika hendak mengajukan upaya hukum luar biasa
peninjauan kembali (PK) yang persyaratannya salah
satunya ada novum, sedangkan ditentukannya novum itu
sendiri tidak dapat dipastikan jangka waktunya.
Namun demikian, untuk mencegah digunakannya hak
mengajukan grasi oleh terpidanana atau keluarganya,
khususnya terpidana mati, untuk menunda eksekusi atau
pelaksanaan putusan, seharusnya jaksa sebagai eksekutor
tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu tersebut
apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak
menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan
permohonan grasi, atau setelah jaksa selaku eksekutor
demi kepentingan kemanusian telah menanyakan kepada
terpidana apakah terpidana atau keluarganya akan
menggunakan haknya mengajukan permohonan grasi.
Menurut Mahkamah, tindakan demikian secara doktriner
tetap dibenarkan meskipun ketentuan demikian tidak diatur
secara eksplisit dalam undang-undang a quo, sehingga
demi kepastian hukum tidak ada larangan bagi jaksa selaku
eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana atau
keluarganya perihal digunakan atau tidaknya hak untuk
mengajukan grasi tersebut.
Berdasarkan pertimbangan hukum yang diuraikan di
atas, Hakim MK kemudian memutuskan untuk menganulir
jangka waktu permohonan grasi sebagaimana yang terdapat
pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi,
dengan salah satu amar putusan:
81
“Mengatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 2010, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”124
Perubahan UU No. 22 Tahun 2002 UU No. 5 Tahun 2010 Putusan MK
Batas Waktu
Permohonan Grasi
Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu [vide Pasal 7 ayat (2)]
Permohonan grasi dapat diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap [vide Pasal 7 ayat (2)]
Permohonan grasi tidak dibatasi tenggat waktu. [Mencabut Pasal 7 ayat (2)]
Tabel 3. Perubahan batas waktu permohonan grasi pasca putusan MK
Pasca putusan MK tersebut telah menyulitkan jaksa
dalam melaksanakan eksekusi mati bagi terpidana mati.
Meskipun dalam pertimbangannya MK mengatakan bahwa
jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat dengan tidak
adanya batas waktu ini dalam melaksanakan eksekusi mati dan
jaksa sebagai eksekotor dapat menanyakan kepada terpidana
mati atau keluarganya apakah akan mempergunakan haknya
dalam mengajukan permohonan grasi demi kepastian hukum
pelaksanaan eksekusi mati, meskipun tidak di atur dalam
undang-undang tentang grasi.
Menurut hemat penulis, pertimbangan MK tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai dasar hukum oleh jaksa. Pertimbangan
tersebut, hanyalah sebatas argumentasi hukum yang tidak
memiliki kekuatan yang mengikat. Pertimbangan hakim dalam
124 Dikutip dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor: 107/PUU-XIII/2015, tertanggal 15 Juni 2016.
82
memutus suatu perkara di lingkungan peradilan manapun, tidak
dapat bermetamorfosis menjadi sebuah norma hukum yang
mengikat, sebab kedudukannya tidak dikenal dalam hierarki
peraturan perundang-undangan, maupun hierarki norma hukum
berjenjang—seperti misalnya Hans Kelsen dalam teorinya
stufenbau des rechts125; maupun Hans Nawiaski dalam teorinya
die Theori vom stufenordnung der Rechtnormen 126. Namun
sifat yang mengikat dalam sebuah putusan dari pengadilan
adalah amar putusan sedangkan pertimbangan hukum
tidaklah memiliki daya ikat.
Terlepas dari uraian di atas, berdasarkan penelusuran
yang dilakukan, ada satu kajian tesis-(S2) yang pernah
mengkaji mengenai implikasi pasca putusan MK ini. Melalui
tesis “Implikasi Pembatalan Perubahan Regulasi Grasi
terhadap Eksekusi Pidana Mati (Studi Putusan MK
125 Teori stufenbau des recht diintrodusir Hans Kelsen dapat dimaknai: 1) Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; 2) isi atau meteri muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan pearturan perundang-undangan yang lebih tinggi…., selengkapnya dalam Adnan Djamal, op.cit., h. 65-66. Dalam konteks validasi norma hukum, baik dalam teori maupun tatanan hukumnya Kelsen membagi dua bentuk sistem norma yaitu norma statis (monostatic) dan norma dinamis (monodynamic. Norma statis didasarkan pada kekuatan isinya di mana suatu norma oleh norma dasar baik validitasnya maupun materinya. Norma dinamis dilihat dari berlakunya suatu norma atau dari cara pembentukan dan penghapusannya…., selengkapnya dalam H. Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, h. 151. 126 die Theori vom stufenordnung der Rechtnormen teori yang diperkenalkan oleh Hans Nawiasky yang yang dikembangkan dari teori Hans Kelsen stufenbau des rechts. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas: 1) Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara); 2) Staatsgrudgesetz (aturan dasar/ pokok negara); 3) Fomeel Gesetz (undang-undang formal); 4) verodnung & autonome satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom)…., dalam H. Imam Soebechi, Judicial Review…., ibid., h. 155-156.
83
No:107/PUU-XIII/2015)”, Dwi Purnama Wati mengkaji
pembatalan perubahan regulasi grasi tersebut terhadap
implikasi hukum. Dwi Purnama Wati mengemukakan bahwa
implikasi pembatalan perubahan regulasi grasi terhadap
terpidana mati, yaitu berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor : 107/PUU-XIII/2015 dengan dicabutnya Pasal
7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 yang
menentukan waktu dan banyaknya pengajuan grasi, sehingga
Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002
diberlakukan kembali yaitu tidak memberikan batasan waktu
pengajuan grasi sehingga mengakibatkan ketidakpastian
hukum.127
Lebih lanjut, dengan tidak ada pembatasan tenggang
waktu dalam pengajuan grasi, maka pelaksanaan putusan
pemidanaan terpengaruh dengan ketentuan tersebut.
Terjadinya ketidakpastian hukum dalam melaksanakan
eksekusi hukuman mati karena terpidana menunda-nunda
proses permohonan grasi. Prosedur grasi yang cukup lama
inilah yang sering kali menghambat jalannya eksekusi,
sehingga grasi dijadikan upaya untuk menghindari hukuman
mati.128
127 Dwi Purnama Wati, op.cit., h.113. 128 Ibid.,
84
Apa yang diungkapkan oleh Dwi Purnama Wati
merupukan kondisi faktual, bahwa dengan tidak adanya batas
waktu permohonan grasi maka pelaksanaan eksekusi mati
akan terkendala. Begitupula dengan tidak adanya regulasi yang
mengatur menganai kekosongan hukum ini (wet vacum)
menjadikan proses permohonan grasi sebagai tempat
berlindung bagi terpidana mati untuk mengulur-ulur waktu
dalam permohonan grasi.
Hal yang serupa diungkapkan dari Jaksa Agung
Republik Indonesia, bahwa dengan adanya putusan MK
tersebut terpidana sengaja mengulur-ulur waktu dalam
mengajukan upaya hukum setelah pengadilan menjatuhkan
vonis.129 Oleh karena itu pasca putusan tersebut, Jaksa Agung
meminta fatwa kepada MA untuk terkait kepastian hukum
pelaksaanaan permohonan grasi dan eksekusi mati bagi
terpidana mati.130
Implikasi atas ketidakpastian hukum ini, di tahun 2016
banyak narapidana maupun terpidana mati yang mengajukan
kembali permohonan grasi kepada presiden, meskipun vonis
dijatuhkan sebelum tahun 2014. Banyak pihak yang menilai
bahwa Putusan MK tersebut dapat berlaku surut sehingga
129 Lihat selengkapnya dalam http://icjr.or.id/putusan-mahkamah-konstitusi-mk-soal-grasi-harus-jadi-patokan-rencana-pengajuan-fatwa-ke-mahkamah-agung-jangan-mengacaukan-hak-terpidana-mati-berdasarkan-putusan-mk/ (diakses pada tanggal 09/01/2018). 130 Ibid.,
85
dapat digunakan sebagai dasar pengajuan grasi meskipun
status putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) sebelum
tahun 2014.131
2) Makna “memerhatikan” Pertimbangan Mahkamah Agung
Presiden dalam pemberian grasi setelah memerhatikan
pertimbangan MA. Proses ini merupakan amanat konstitusi
[vide Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945] dan perintah undang-
undang [vide Pasal 11 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi]. Namun dalam prakteknya pertimbangan MA ini
terkadang diabaikan oleh presiden dalam pemberian atau
penolakan grasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dhian
Delliana, mengungkapkan bahwa dalam kurung waktu 2004-
2010 keputusan presiden mengenai grasi yang tidak mengikuti
pertimbangan MA berjumlah 9 buah dengan presentase
presiden tidak memerhatikan pertimbangan MA dalam
mengeluarkan keputusan grasi sebesar 14,5%.132 Hal ini
menunjukkan bahwa pertimbangan MA kepada presiden dalam
mengeluarkan keputusan grasi, tidak selalu diikuti oleh
presiden.
Padahal perintah “memerhatikan” pertimbangan
Mahkamah Agung dalam pemberian grasi merupakan perintah
dari konstitusi. Perintah ini secara eksplisit tertuang dalam
131 Andhigama A. Budiman, Menyiasati Eksekusi…., op.cit., 132 Dhian Delliana, op.cit., hlm. 172-173.
86
Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung”. Begitupula dalam Pasal 11
ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan,
“Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi
setelah memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”.
Selanjutnya untuk mengetahui maksud terhadap kalimat
memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dalam proses
pemberian grasi oleh presiden, maka kajian akan diarahkan
pada konsep cheks and balances dalam sistem kelembagaan
negara (yudikatif-eksekuti); dan diakhirnya dengan analisis
interpretasi historical yang akan memperlihatkan jiwa hukum
para perumus norma tersebut.
Pertama, alasan pemberian grasi dengan
“memerhatikan” pertimbangan MA dapat dimaknai bahwa
pemberian grasi merupakan perkara yustisial yang wajib
melalui proses pertimbangan matang dari lembaga peradilan.
Sebab, bagaimanapun juga pemberian grasi secara tidak
langsung telah mengeliminasi vonis dari kekuasaan yudikatif.
Dari perseptif lain, adanya pertimbangan MA dalam pemberian
grasi relevan konsep cheks and balance (saling mengawasi
dan mengimbangi) sebagai implikasi adanya pembagian atau
87
pemisahan kekuasaan (separation of power/ distribution of
power) dalam ajaran trias politica.
Separation of power/ distribution of power baik secara
horizontal maupun secara vertical133 merupakan salah cara
untuk mengurangi sentralisasi kekuasaan yang cenderung
absolut dan tak terbatas. Namun dalam perkembangannya
konsep pemisahan kekuasan— melalui teori trias politica oleh
Montesquieu—tidak dapat dipertahankan sebab kehidupan
ketatanegaraan yang mengalami dinamisasi dalam
mewujudkan welfararestate dan mengharuskan adanya
harmonisasi antara kelembagaan, sehingga melahirkan konsep
konsep cheks and blances.
Menurut Jimly Asshidiqie—sebagaimana yang dikutip
Mohammad Fajrul Falaakh—hubungan antarlembaga negara
dalam doktrin separation of power diikat dengan prinsip cheks
and balances, di mana lembaga-lembaga tersebut memiliki
kedudukan sederajat/ sejajar, tetapi saling mengendalikan/
mengawasi antara lembaga yang satu dengan lembaga yang
lain.134 Oleh karena itu, menurut Mohammad Fajrul Falaakh
prinsip cheks and balances dimaknai sebagai prinsip yang
133 Ditinjau dari segi pembagian kekuasaannya, organisasi pemerintah itu dibagi menurut garis horizontal dan vertical. Pembagian kekuasaan secara horizontal didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara, sedangkan pembagian kekuasaan secara vertical melahirkan dua garis hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi, dalam Moh. Kusnardy dan Harmaily Ibrahim, op.cit., h. 173 134 Fajrul Falaakh, op.cit., h. 139-140.
88
harus ada dalam pemisahan lembaga penyelenggara
kekuasaan negara, karena kedudukan lembaga-lembaga itu
yang sederajat/sejajar, serta untuk mencegah kekuasaan yang
absolut dari lembaga-lembaga tersebut.
Bagi penulis, adanya konsep cheks and balances pada
sejatinya akan mengurangi tindakan penyalahgunaan
kewenangan (detournement de pouvier) maupun tindakan
sewenang-wenang (willikeur) penyelenggara negara akibat
atribusi kewenangan yang terlalu luas. Adanya pertimbangan
dari MA dalam pemberian grasi merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan konsep cheks and balance dalam meminimalisir
kemungkinan kewenangan pemberian grasi dilakukan secara
sewenang-wenang oleh presiden. Meskipun pada prinsipnya,
grasi sering disebut sebagai hak proregatif seorang presiden,
namun dalam pelaksanaan hak tersebut haruslah tetap sesuai
koridor cheks and blances antara yudikatif-eksekutif. Oleh
karena itu, pemberian grasi dengan memerhatikan
pertimbangan MA merupkan wujud konkretisasi adanya cheks
and balances.
Kedua, pemahaman terhadap norma “memerhatikan”
pertimbangan MA dalam pemberian grasi, tidak bisa dilepaskan
dari sejarah perumusan amandemen UUD 1945 pada tahun
1999-2002. Hal ini berguna untuk melihat jiwa hukum para
89
perumus amandemen UUD 1945—utamanya ketentuan
mengenai pemberian grasi.
Melihat sejarah perumusan suatu aturan hukum
merupakan upaya untuk memahami maksud dan tujuan dari
suatu ketentuan hukum tersebut. Von Savigny sebagai pelopor
mazhab historis mengemukakan bahwa hukum itu ditentukan
secara historis: hukum tumbuh dan kesadaran hukum bangsa
di suatu tempat pada waktu tertentu. Peraturan hukum terutama
merupakan pencerminan dalam kehidupan bersama.135 Oleh
karena itu, pemahaman terhadap sejarah perumusan ketentuan
grasi dalam proses amandemen UUD 1945 patut diperhatikan.
Pada sidang amandemen UUD 1945, khususnya
mengenai kekuasaan presiden dalam pemberian grasi,
rehabilitasi, amnesti dan abolisi, sejumlah fraksi menyampaikan
pendapat mengenai perubahan Pasal 14 dengan
menambahkan frasa, “atas persetujuan”, “dengan
memperhatikan pertimbangan”, “atas rekomendasi”, “dengan
persetujuan” dan ada juga yang mengusulkan Pasal 14 tidak
dilakukan perubahan.136
135 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 124-125. 136 Sekritariat Jenderal MPR RI. Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang1999, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2008 dalam Dhian Dellliana, op.cit., h. 146.
90
Pasal ini baru dibicarakan dalam rapat PAH II BP MPR
ke-5 Harun Kamil selaku ketua rapat, menyampaikan sebagai
berikut:
“…Naskah asli Undang-Undang Dasar Pasal 14
berbunyi, “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi.” Kemudian dalam naskah hasil kompilasi ini
dipecah dua sesuai dengan sifat daripada pemberian
keringanan atau kebebasan tersebut. Jadi untuk, saya
bacakan Pasal 14 ayat (1): “Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi berdasarkan pertimbangan Mahkamah
Agung”. Sedangkan ayat (2): “Presiden memberi amnesti
dan abolisi berdasarkan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat”. Jadi kami minta, seperti yang saya
sampaikan tadi ya, karena perbedaan sifat daripada
keringanan, maupun kebebasan maupun
pengampunan…”137
Adapun rangkuman pendapat fraksi-fraksi mengenai
naskah kompilasi sebagai berikut:138
FRAKSI PENDAPAT KEPUTUSAN AKHIR
F-TNI/ POLRI …semngat dari amandemen ini adalah untuk memberdayakan lembaga tinggi negara juga untuk memperjelas kekuasaan presiden… Kita melihat bahwa “memerhatikan pertimbangan”. Jadi dengan sendirinya dari awal, semula itu sepenuhnya menjadi kewenangan presiden, maka ini menjadi dibagi-bagilah. Jadi ada interaksi antara presiden dengan Mahkamah Agung dalam hal amnesti dan abolisi sehingga pertimbangannya akan lebih matang.
Setuju
F-Utusan Golongan
…Kita tadi sudah katakan ingin memberdayakan lembaga tinggi negara dan juga ingin secara tegas mengatur soal kewenanngan presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Karena kalau dalam Pasal 14 yang lama ini berarti bahwa seoarang presiden, disamping sebagai kepala eksekutif tertinggi, dia juga mempunyai kekuasaan yudikatif, yaitu grasi amnesti dan abolisi, artinya bahwa presiden itu
Setuju
137 Ibid., h. 146-147. 138Dikutip dalam Ibid., hlm. 147-150
91
mempunyai kewenangan untuk campur tangan di dalam bidang peradilan, dapat mengubah keputusan MA dalam perkara pidana yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
F-PDKB …Pasal 14 lama sudah dilakukan oleh Presiden selalu dengan meminta pertimbangan MA. Akan tetapi, memang kita patut memilah-milah karena ada bagian-bagian daripada hak presiden sebagai kepala negara yang bisa memiliki implikasi politis, bisa berkaitan dengan vasted intrest dalam persoalan politik…
Setuju
F-PDU Pasal 14 ini menyangkut kekuasaan presiden sebagai kepala negara, yaitu di bidang yudikatif. Dalam UU No. 3/1945 tentang grasi sudah diatur, akan tetapi lebih konkret lagi manakala pertimbangan itu dimuat di dalam konstitusi.
Setuju
F-KB …Hak yudikatif itu dimiliki oleh Presiden kemudian ketika akan menggunakannya harus meminta pertimbangan lembaga tinggi lain,… sudah dilakukan presiden dengan meminta pertimbangan Menteri Kehakiman dan MA. … Jadi kalau ayat (2) disepakati, maka DPR selain memiliki fungsi legislasi juga memiliki fungsi yudikatif, apakah perlu harus ditambah fungsinya?
Tidak Setuju
F-Reformasi …Grasi itu adalah upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan setelah adanya kepastian hukum yang ditetapkan oleh MA. Apabila grasi ini akan dimintakan pertimbangan bagi kepada MA, maka aka nada konflik antara kepastian hukum yang telah ditetapkan MA dengan pertimbangan yang akan diberikan
Tidak Setuju
F-Reformasi …Masalah pengampunan, memulihkan nama baik, pengurangan hukum, penghapusan hukuman itu semuanya adalah suaranya hukum. Sesungguhnya menurut teori hukum murni, semua keputusan-keputusan pengadilan terhadap seseorang harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non yuridis, katakanlah faktor politis, tidak boleh mempengaruhi satu keputusan. Apabila kita menempatkan memberikan pertimbangan kepada DPR maka berarti politis lebih mendominasi badan peradilan ketimbang putusan yuridis. Oleh karena itu maka putusan awal lembaga peradilan itu tidak murni dan akan merugikan orang lain, dan karena muaranya adalah semua lembaga hukum maka pertimbangan itu semata-mata diberikan kepada Mahkamah Agung. Berbeda dengan Saudara Hatta, dalam memberikan pertimbangan terhadap badan peradilan yang terakhir adalah MA, maka satu-satunya lembaga yang berhak dan kita hormati bahkan justru kita ingin memberdayakan MA maka pertimbangan
Tidak Setuju
92
itu hanyalah diberikan pada MA, tidak ada urusan DPR dalam memberikan pengampunan atau pengurangan hukuman, tidak ada sama sekali, jika terjadi berarti juga sudah ingin menceburkan diri masuk kepada lembaga yudikatif. Hal ini adalah merupakan hak yang diberikan kepada oleh negara kepada presiden merupakan hak proregatif presiden untuk memberikan empat lembaga ini dengan pertimbangan khusus, barangkali ada juga pertimbangan politis, tapi itu adalah urusan Presiden dengan MA saja, di luar urusan DPR.
F-PPP …Dengan memakai kata berdasarkan pertimbangan bukan memerhatikan artinya presiden harus memberikan grasi atas dasar apa yang dikatakan oleh MA, padahal grasi tidak nuansa hukum 100 persen. Malah dalam pelaksanaan hukuman mati tidak akan dijalankan sebelum ada keputusan presiden, sehingga presiden tidak harus terikat kepada pertmbangan Mahkamah Agung. Kata berdasarkan artinya tidak bisa lain dari apa yang dinasehatkan oleh MA, padahal mestinya bisa lain dari itu. Demikian pula dengan amnesti dan abolisi, tidak semata-mata masalah hukum, juga ada masalah politiknya. Oleh karena itu, dengan memperhatikan pertimbangan DPR, juga tidak ada masalah sebenarnya…
Setuju, tetapi frasa “berdasarkan pertimbangan” diganti dengan frasa “dengan memperhatikan”
F-KKI Usul F-KKI, “Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi atas rekomendasi MA.” Karena untuk keputusan hukum tetap ada pada presiden selaku kepala negara. Oleh karena itu, kami ingatkan bahwaa pada saat kita bicara mengenai Pasal 1 ayat (1) di sana kita sudah sebutkan negara kesatuan republic berdasarkan atas hukum dengan supremasi hukumnya. Barangkali lembaga MA kita tempatkan disana, dimana presiden dalam memberikan pertimbangan dari MA sehingga DPR tidak terlihat. Karena untuk tidak memberikan kemungkinan campur tangan politik mempengaruhi keputusan MA.
Tidak Setuju
F-PG …Kami juga bisa menerima kata-kata dengan pemikiran yang berkembang menyangkut masalah kata “berdasarkan” diubah dengan “memerhatikan” dengan beberapa argumentasi. Pertama, bahwa presiden sebagai kepala negara tentunya dia memiliki kewenangan dalam memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi. Khusus untuk grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA karena dalam praktek sudah berlangsung sedemikian rupa. Untuk ayat kedua harus dengan pertimbangan DPR, karena menyangkut masalah amnesti, masalah pengampunan dan masalah abolisi. Masalah
Setuju, tetapi frasa “berdasarkan pertimbangan” diganti dengan frasa “dengan memperhatikan”
93
penghapusan ini sarat sekali dengan muatan-muatan politik… oleh karena itu, DPR sudah sepantasnya dilibatkan dengan diberikan kesempatan untuk pertimbangannya diberikan kepada presiden, tapi tidak dengan “berdasarkan”
…grasi, rehabilitasi di satu pihak, sedangkan amnesti dan abolisi di satu pihak, memang sepintas serupa, tapi sesungguhnya merupakan dua spesies yang tidak sama. Ada tiga hal yang membedakan, pertama, grasi dan rehabilitasi adalah proses yustisial dan biasanya diberikan kepada orang yang sudah mengalami proses politis. Kedua, grasi dan rehabilitasi lebih banyak bersifat perorangan, sedangkan amnesti dan abolisi biasanya bersifat massal. …karena dua spesies ini berbeda, maka pertimbangan yang didengar oleh kepala negara juga berssumber dari dua institusi yustisial ialah MA, sedangkan yang bersifat politis karena memang belum tersentuh oleh proses yustisial adalah DPR sebagai lembaga politik….
Setuju, tetapi frasa “berdasarkan pertimbangan” diganti dengan frasa “dengan memperhatikan”
F-PDIP Dimana-dimana di seluruh dunia kepala negara itu selalu mempunyai hak proregatif yang acapkali juga disebut ekstra yustisial… saya juga harus kemukakan bahwa tidak ada hukum murni yang lepas dari politik. Kita juga harus sadar, karena hukum digodok dalam wadah politik yaitu DPR. Bahwa hukum tidak mirni, hanya dulu mungkin guru besar yang berasal dari zaman colonial yang seperti begitu. Tapi sekarang saya kira sudah tidak ada lagi, bahkan hukum tidak sendirinya adil. Undang-undang Kehakiman Pasal 1 mengatakan begitu, menegakkan hukum dan keadilan. Jadi keadilan bukan komponen yang otomatis sudah termuat dalam hukum. …grasi prosesnya berjalan dari bawah, kalau orang minta grasi berarti dia mengaku bersalah. …MA harus memberikan pertimbangan, apakah pertimbangan itu nanti diambil oleh presiden atau tidak, itu wewenang daripada presiden.
Setuju
F-PDIP …persoalan grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi adalah kekuasaan yudisial, itu salah, sama sekali di luar kekuasaan yustisial… kalau kita lihat bahwa sebagaimana konstitusi Amerika, jelas mengatakan tiga cabang kekuasaan pemerintah adalah eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pardon powers, ada pada presiden dan tidak ada pada kekuasaan yudisial. Oleh karena itu pengertian bahwa ini menjadi bagian kekuasaan yudisial, saya kira perlu dikoreksi kembali. Kemudian apa yang diharapkan sebetulnya dari kepala negara? Kepala negara diposisikan sebagai seoarang
Setuju, tetapu frasa “berdasarkan pertimbangan” diganti dengan frasa “dengan memperhatikan”
94
yang wise, seorang yang bijak… Kata “berdasarkan” terlalu instruktif. Oleh karena itu, kalau bisa diperlunak dengan kata “memerhatikan”. Dan persoalan ada conflict interest, pada saat MA sudah memberikan keputusan. Bagaimana instansi memutuskan kemudian diminta pertimbangan lagi, sebetulnya bukan persoalan pertimbangan putusannya, tapi dia bisa memberikan data persoalan perorangan yang akan diberi grasi, Presiden bisa memerhatika dengan baik apakah dia akan memberikan grasi atau tidak….
Tabel 4. Pendapat Fraksi-frasi dalam rapat PAH III BP MPR (Sumber: Dikutip dari Dhian Delliana)
Dari usulan dan pendapat fraksi di atas, kemudian
melahirkanlah rumusan finalisasi terhadap pasal 14 ayat (1)
UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung”.
Berdasarkan uraian pendapat fraksi-fraksi di atas,
nampak bahwa sebenarnya para perumus amandemen UUD
NRI 1945 me8 nghendaki upaya untuk memperjelas
kewenangan presiden dalam pemberian grasi, rehabilitasi,
amnesti dan abolisi. Sebelum sidang menyejutui kata
“memertihatikan” juga sempat muncul kata “berdasarkan”
pertimbangan MA. Salah satu fraksi menilai bahwa kata
“berdasarkan” pertimbangan MA terlalu inklusif, yang artinya
dalam pemberian grasi presiden harus benar-benar
memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Namun
menurutnya, dalam praktek tidak semua pertimbangan MA
diperhatikan oleh presiden. Oleh karena itu, untuk lebih
95
melunakkan kata “berdasarkan” maka digunakanlah kata
“memerhatikan” pertimbangan MA dalam pemberian grasi.
Penggunaan kata “memerhatikan” ini sifatnya opsional
tergantung pada presiden apakah akan menggunakannya atau
tidak. Memerhatikan pertimbangan MA juga dapat dinilai bukan
persoalan pertimbangan putusannya, tapi dia bisa memberikan
data perorangan yang akan diberi grasi. Namun adanya unsur
memerhatikan pertimbangan MA merupakan implikasi dari
pemberian grasi yang sifatnya menyentuh perkara yudisial.
Menurut penulis, jika kita memaknai bahwa pemberian
grasi merupakan suatu perkara yustisial, seharusnya presiden
memerhatikan dengan sungguh-sunguh pertimbangan MA. Dan
jika grasi dinilai bukan merupakan tindakan eksekutif di ranah
yudisial, maka tidak perlu adanya pertimbangan MA. Sebab
eksistensi kedudukan MA merupakan pelaku kekuasaan
kehakiman (Yudisial).
3) Kriteria atau indikator hukum yang digunakan presiden dalam
pemberian grasi
Dalam Pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa, “Presiden
memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Selanjutnya
pada ayat (2), “Keputusan Presiden dapat berupa pemberian
atau penolakan grasi.” Dalam pasal tersebut nampak tidak
96
adanya kriteria atau indikator jelas yang digunakan bagi
presiden dalam mengeluarkan keputusan grasi.
Berbeda dengan praktik di negara-negara lain yang
juga mengenal mekanisme grasi dalam pemberian
pengampunan kepada narapidana. Misalnya di negara Amerika
Serikat dan Filipina.
1) Amerika Serikat
Presiden Amerika Serikat mempunyai kekuasaan
untuk memberikan pengampunan (grasi) dan penundaan
terhadap pelaksanaan hukuman bagi pelanggaran terhadap
hukum di Amerika Serikat yang di atur dalam Article II,
section 2 “…he shall have power to Grant Reprieves and
Pardon for Offenses against the United States except in
Cases of Impeachment…”
Permohonan grasi ditujukan kepada Presiden
Amerika Serikat dan akan diserahkan kepada Pardon
Attomey, Departemen of Justice.
Dalam hal pengajuan grasi, Attomey General akan
mengadakan penyelidikan yang dianggap perlu. Apabila
seorang dihukum atas tindak kejahatan yang dimiliki korban,
maka Attomey General akan menofikasi korban atas adanya
permohonan grasi tersebut, kemudian melaporkan
97
rekomendasinya kepada Presiden yang pada intinya
menyampaikan penilaiannya atas permohonan grasi.
Terhadap setiap permohonan grasi yang diterima,
Attomey General akan menyampaikan penilaiannya
berdasarkan indikator-indikator yang telah ditentukan,
diantaranya perilaku baik selama menjalankan hukuman dan
telah menjalani masa menjalani masa hukumannya selama 5
(lima) tahun.
Ketika pemohon grasi dikabulkan, pemohon atau
kuasa hukumnya harus diberitahu tentang hal tersebut dan
surat perintah pengampunan akan dikirim ke pemohon.
Setiap kali Presiden menyampaikan penolakannya terhadap
permohonan grasi, Attomey General wajib memberikan
saran kepada pemohon grasi dan menutup permohonan
tersebut.139
2) Filipina
Presiden Filipina memiliki kekuasaan untuk memberi
grasi atau pengampunan untuk narapidana berdasarkan
rekomendasi dari Dewan Pengampunan dan Pembebasan
Bersyarat (Board of Pardon and Parole). Pemberian Grasi
oleh Presiden diatur dalam Konsitusi Filipina dalam Article
VII section 29 “… except in cases of impeachment, or as
139 Dikutip dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XIII/2015. h. 22-23
98
otherwise provided in this Constitution, the President may
grant reprieves, communitations, and pardons, and remit
fines and forfeitures, after conviction by final judgment. He
shall also have the power to grant amnesty with the
concurrence of a majority of all the Members of the
Congress…”
Dewan Pengampunan dan Pembebasan Bersyarat
(Board of Pardon and Parole) berada di bawah Departemen
Kehakiman. Dewan ini bertugas memberikan pembebasan
bersyarat dan merekomendasikan kepada Presiden
mengenai segala bentuk grasi untuk seseorang atau
tahanan yang berhak mendapatkannya. Fungsi dewan
termasuk melakukan studi dan review serta pembahasan
tahanan yang memenuhi syarat untuk pembebasan
bersyarat maupun grasi Presiden dan mereview laporan
disampaikan oleh Parole and Probation Administration dan
membuat keputusan yang diperlukan.
Dalam hal seorang narapidana yang sedang
dipertimbangkan untuk memperoleh grasi presiden, Board of
Pardon and Parole harus memberitahukan kepada pihak
yang dirugikan, apabila pihak yang dirugikan tidak ketahui
keberadaanya, maka disampaikan kepada keluarga terdekat
dari pihak yang dirugikan tersebut.
99
Board of Pardon and Parole harus mempublikasikan
dalam surat kabar yang beredar secara nasional seluruh
nama-nama narapidan yang sedang dipertimbangkan untuk
memperoleh grasi presiden. Setiap pihak yang
berkepentingan dapat mengirimkan keberatan/ komentar/
informasi yang relevan terkait narapina dimaksud secara
tertulis kepada Board of Pardon and Parole.140
Mencermati praktik pemberian grasi di Amerika Serikat
dan Filipina dari uraian di atas, secara jelas terdapat perbedaan
yang sangat mencolok dengan praktik pemberian grasi di
Indonesia, utamanya indikator dan penilaian yang digunakan
oleh presiden dalam pemberian grasi. Di Indonesia, penilaian
terhadap pemberian grasi hanya diperoleh dari pertimbangan
MA berupa tolak atau kabul, namun tidak ada penelitian lebih
lanjut mengenai pantas atau tidaknya narapidana tersebut
diberikan grasi. Begitupula tidak adanya konfirmasi kepada
korban maupun keluarga korban atas permohonan grasi yang
dimohonkan oleh terpidana, seperti di Amerika dan Filipina.
Secara rinci perbedaan mendasar antara proses
pemberian grasi di Indonesia dengan Amerika Serikat dan
Filipina dapat dicermati melalui tabel di bawah ini:
Perbedaan Indonesia Amerika Serikat Filipina
Lembaga Pemberi
Mahkamah Agung MA
Attorney General, Departement of
Board of Pardons and Parole
140 Ibid.,
100
Pertimbangan Justice
Indikator maupun
penilaian yang digunakan
oleh Presiden
Hanya melalui pertimbangan MA berupa tolak atau Kabul (itupun tidak wajib untuk diikuti oleh presiden)
Attorney General melakukan penyidikan yang dianggap perlu dan menetapkan indikator-indikator yang telah ditentukan seperti perilaku baik terpidana dalam menjalani hukuman dll.
Dilakukan studi atau review serta pembahasan tahanan yang memenuhi syarat untuk untuk pembebasan bersyarat maupu grasi.
Konfirmasi kepada korban atau keluarga
korban
Tidak ada Menofikasi korban atas adanya permohonan grasi tersebut sebelum pertimbangan diberikan kepada presiden
Memberitahukan kepada pihak yang dirugikan, apabila pihak yang dirugikan tidak diketahui keberadaannya, maka disampaikan kepada keluarga terdekat dari pihak yang dirugikan, sebelum pertimbangan diberikan kepada presiden.
Tabel 5. Perbedaan indikator dan keriteria dalam pemberian grasi di Indonesia dengan
Amerika Serikat dan Filipina
Proses pemberian grasi oleh presiden di Indonesia
sebagaimana yang terdapat pada Pasal 11 ayat (2), tidak sama
sekali ditemukan adanya indikator atau keriteria penilaian yang
dapat digunakan oleh presiden dalam mengeluarkan keputusan
grasi. Padahal indikator atau keriteria ini merupakan suatu hal
yang penting untuk dijadikan dasar pertimbangan bagi presiden
dalam memberikan keputusan grasi. Meskipun telah diatur,
Presiden dalam memberikan keputusan grasi, memerhatikan
pertimbangan MA, namun pertimbangan ini sifatnya tidaklah
mengikat, tergantung apakah presiden akan menggunakannya
101
atau tidak. Jadi sangat memungkinkan bagi presiden untuk
menggunakan pertimbangan subjektif apabila tidak sepaham
dengan pertimbangan MA.
Lebih lanjut, pada prinsipnya pemberian grasi yang
dilakukan oleh presiden haruslah memiliki indikator dan keriteria
yang jelas. Seperti misalnya yang disampaikan oleh E. Utrecht
bahwa setidaknya terdapat 4 (empat) alasan dalam pemberian
grasi, sebagai berikut:
1) Kepentingan keluarga dari terpidana;
2) Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat;
3) Terpidana terkena penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
atau
4) Terpidana berkelakuan baik selama berada di Lembaga
Permasyarakatan dan memperlihatkan keinsyafan atas
kesalahannya.141
Begitupula keterangan ahli yang disampaikan Firman
Wijaya (2015) dalam sidang pengujian undang-undang grasi di
MK, beliau menguraikan bahwa menurut Pompe, keadaan
tertentu yang dapat dipakai sebagai alasan untuk memberikan
grasi adalah:
1) Ada kekurangan di dalam peraturan perundang-undangan
yang di dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim
141 Argumentasi Pemohon dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XIII/2015. h. 18.
102
terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila
kepada hakim itu telah diberikan kebebasan yang lebih
besar akan menyebabkan seorang itu harus dibebaskan
dan tidak akan diadili oleh pengadilan atau harus dijatuhi
suatu tindak pidana yang lebih ringan.
2) Adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut
diperhitungkan oleh hakim pada waktu menjatuhkan pidana
yang sebenarnya perlu diperhitungkan untuk meringankan
atau meniadakan pidana yang telah ia jatuhkan. Misalnya
keadaan terpidana yang sedang sakit atau keadaan
terpidana tidak mampu membayar pidana yang telah
dijatuhkan oleh hakim.
3) Pemberian grasi sebagai terpidana selesai menjalankan
suatu masa percobaab yang menyebabkan terpidana
memang dapat dipandang sebagai pantas untuk
mendapatkan pengampunan.
Juga pendapat yang disampaikan oleh JE. Sahetapy
(2007), menyebutkan secara terperinci alasan bagi presiden
untuk memberikan grasi adalah sebagai berikut:
1) Bila seorang terhukum tiba-tiba menderita penyakit parah
yang tidak dapat disembuhkan;
103
2) Hakim adalah seorang manusia yang mungkin saja hilaf
atau ada perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh
hakim pada waktu mengadili si terdakwa;
3) Perubahan ketatanegaraan atau perubahan
kemasyarakatan sedemikian rupa misalnya ketika Soeharto
dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan reformasi, mak
kebutuhan grasi tiba-tiba terasa mendesak;
4) Bila terdapat ketidakadilan yang begitu mencolok misalnya
sehabis revolusi atau peperangan.
Jika mencermati indikator atau keriteria dalam
pemberian grasi—sebagaimana pendapat para ahli di atas—
maka pemberian grasi dapat diberikan kepada para pemohon
jika keadaan dan peristiwa hukum memang memungkinkan
untuk pemberian grasi tersebut, misalnya terpidana lagi sakit
keras dan penyakitnya menular, juga ketika ada aturan hukum
yang tidak dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus
perkara terpidana.
Oleh karena dalam pemberian grasi perlu adanya
penelitian lebih lanjut mengenai keadaan dan peristiwa hukum
terhadap pemohon, sehingga penolakan ataupun pengabulan
suatu permohonan grasi didasarkan atas penilaian yang
objektif.
104
Tidak adanya penilaian atau pertimbangan yang layak
bagi presiden dalam memberikan grasi di Indonesia yang diatur
dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi, menyebabkan di tahun 2015 Pasal 11 ayat (1) dan (2)
tersebut diuji materilkan di MK. Melalui Register Perkara
Nomor: 56/PUU-XIII/2015 pada tanggal 23 April 2015,
argumentasi permohonan dapat dilihat pada tabel di bawah:
Pasal yang Diuji Rumusan
Pasal 11 ayat (1) UU Grasi
Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperthatikan pertimbangan Mahkamah Agung
Pasal 11 ayat (2) UU Grasi
Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi
Tabel 6. Pasal yang diuji oleh para pemohon (Sumber: Putusan MK Nomor 56/PUU-
XIII/2015)
Selanjutnya terhadap permohonan tersebut, para
pemohon mendalilkan bahwa tidak satupun frasa yang
menunjukkan bahwa presiden wajib untuk mempertimbangkan
permohonan grasi yang diajukan atau mewajibkan presiden
untuk memberikan pertimbangan yang layak. Ketentuan pada
pasal 11 ayat (1) dan (2) hanya menggambarkan wewenang
presiden tanpa memberikan kewajiban hukum apapun
terhadapnya, padahal kewenangan tersebut muncul bersamaan
dengan hak dari terpidana untuk mengajukan grasi.142
Bahwa tidak adanya kewajiban untuk memberikan
pertimbangan di dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi,
142 Dikutip dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XIII/2015. h. 25-26.
105
Presiden dapat sekedar menyatakan bahwa “terdapat cukup
alasan untuk memberi grasi” atau “tidak terdapat cukup alasan
untuk memberi grasi” di dalam keputusan pemberian atau
penolakan grasi bagi pemohon grasi.143
Maka dari itu para pemohon dalam pengujian undang-
undang ini, mengingkan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No. 22
Tahun 2002 tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dibaca:
(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan
grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung dan melakukan penelitian terhadap pemohon
grasi dan permohonan grasinya.
(2) Keputusan presiden dapat berupa pemberian atau
penolakan grasi dengan disertai alasan yang layak
Namun permohonan tersebut ditolak oleh MK dengan
amar putusan:144
1. Menolak permohonan Pemohon I;
2. Permohonan Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan
Pemohon V tidak dapat diterima.
Hakim MK dalam pertimbangannya menilai bahwa
Pasal 11 ayat (1) UU Grasi tersebut, telah sangat jelas
memerintahkan bahwa pertimbangan yang diberikan oleh
Presiden adalah pertimbangan yang layak. Menurut
Mahkamah, justru ketika dalam suatu istilah “pertimbangan”
143 Dikutip dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XIII/2015. h.28 144 Dikutip dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XIII/2015. h. 39.
106
yang dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan,
kemudian ditambahkan dengan kata “layak” sehingga berubah
menjadi frasa “pertimbangan yang layak”, maka akan
memunculkan ambiguitas yang jika menuruk pada perspektif
biner mengharuskan pula adanya suatu jenis “pertimbangan
yang tidak layak”. Padahal menurut Mahkamah, sebuah kata
atau istilah “pertimbangan” sudah mengandung di dalamnya
makna yang “layak”.145
Terlepas dari problem di atas, pada prinsipnya adanya
pengaturan mengenai persyaratan dan proses permohonan grasi yang
diatur dalam UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22
Tahun 2002 tentang Grasi akan memberikan kejelasan dan
keteraturan dalam mengajukan permohonan grasi. Selain itu, dengan
adanya persyaratan proses tersebut akan menjadi pedoman yang jelas
bagi pemerintah (dalam arti luas) dan pihak pemohonan sehingga
tercipta suatu bentuk transparansi dan akuntabilitas dalam proses
permohonan dan penyelesiaan permohonan grasi.
B. KEDUDUKAN HUKUM KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG
PEMBERIAN/ ATAU PENOLAKAN GRASI
Kewenangan presiden dalam pemberian atau penolokan grasi
dituangkan dalam bentuk keputusan. Hal ini dapat dilihat pada pada
Pasal 11 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang
145 Dikutip dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XIII/2015. h. 38
107
menyebutkan, “Presiden memberikan keputusan atas permohonan
grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”.
Selanjutnya di ayat (2) juga disebutkan, “Keputusan presiden dapat
berupa pemberian atau penolakan grasi”. Dua ayat dalam pasal
tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa pemberian atau
penolakan grasi dituangkan dalam bentuk keputusan.
Memaknai kata “keputusan” dalam konteks tata usaha negara
secara secara normatif dapat dilihat pada Pasal 1 angka 3 UU No. 5
Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara,
“Keputusan Tata Usaha adalah penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
berisikan tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau hukum perdata”
Sebelum dilakukan analisis terhadap unsur-unsur dari
pengertian keputusan di atas, maka terlebih dahulu penulis akan
menguraikan jenis-jenis keputusan yang dalam Pasal 2 UU No. 5
Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, diantaranya:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata.
108
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata, misalnya keputusan yang menyangkut masalah
jual beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan
perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata. 146
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum
Yang dimaksud dengan “pengaturan yang bersifat umum”
adalah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang
dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya
mengikat setiap orang.147
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan
persetujuan
Yang dimaksud dengan “Keputusan Tata Usaha Negara
yang masih memerlukan persetujuan” adalah keputusan untuk
dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan
atasan atau instansi lain. Dalam kerangka pengawasan
adminstratif yang bersifat preventif dan keseragaman
kebijaksanaan seringkali peraturan yang menjadi dasar keputusan
menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha
Negara diperlukan persetujuan instansi atasan terlebih dahulu.
Adakalanya peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan
instansi lain itu diperlukan karena instansi lain tersebut akan
146 Penjelasan Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 147 Penjelasan Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
109
terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh keputusan
itu. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan akan tetapi
sudah menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan
Negeri.148
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum pidana
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya dalam perkara lalu
lintas, dimana terdakwa dipidana dengan suatu pidana bersyarat,
yang mewajibkannya memikul biaya perawatan si korban selama
dirawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu merupakan syarat
yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka Jaksa yang menurut
Pasal 14 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditunjuk
mengawasi dipenuhi atau tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam
pidana itu, lalu mengeluarkan perintah kepada terpidana agar
segera mengirimkan bukti pembayaran biaya perawatan tersebut
kepadanya.
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana misalnya kalau
148 Penjelasan Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
110
Penuntut Umum mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap
tersangka.
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana
ialah umpamanya perintah jaksa untuk melakukan penyitaan
barang-barang terdakwa dalam perkara tindak pidana ekonomi.
Penilaian dari segi penerapan hukumnya terhadap ketiga
macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilakukan
hanya oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.149
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada huruf
ini umpamanya:
a. Keputusan Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan
sertifikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan
didasarkan atas pertimbangan putusan pengadilan perdata
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang
menjelaskan bahwa tanah sengketa tersebut merupakan tanah
negara dan tidak berstatus tanah warisan yang diperebutkan
oleh para pihak;
149 Penjelasan Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
111
b. Keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan atas amar
putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
c. Keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri yang tugas
dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris, setelah
menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar
kewenangannya menurut ketentuan Undang-Undang Peradilan
Umum.
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara
Nasional Indonesia.
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Apabila pengecualian keputusan di atas ditafsirkan dengan
cara a contrario150 maka semua keputusan di luar dari pengecualian
tersebut, tetap merupakan keputusan tata usaha negara (KTUN). Dari
tujuh pengecualian keputusan disebutkan, tidak ditemukan adanya
pengecualian keputusan presiden tentang pemberian atau penolakan
grasi. Artinya bahwa keputusan presiden tentang grasi tidak
dikecualikan dalam ketentuan undang-undang di atas. Ini
mengindikasikan bahwa apabila tidak terdapat pengecualian—dengan
150 Argumentum a Contrario merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang. Cara menemukan hukumnya ialah dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Ini merupakan metode a contrario., selengkapanya dalam Sudikno Mertokusomo, op.cit., h. 89.
112
penafsiran a contrario—maka keputusan presiden tersebut merupakan
jenis keputusan tata usaha negara (KTUN).
Selanjutnya terhadap interpretasi pengertian keputusan
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya maka unsur-unsur
keputusan terdiri atas:
1. Penetapan tertulis;
2. Bersifat konkret, individual, dan final;
3. Menimbulkan akibat hukum;
4. Keluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara.
Berikut akan diuraikan masing-masing unsur di atas dengan
dan relevansi dengan keputusan presiden tentang pemberian atau
penolakan grasi:
1. Penetapan Tertulis
Menurut Priyatmanto, bahawa meskipun dalam penjelasan
disebutkan istilah “penetapan tertulis” itu dimaksudkan terhadap
isinya dan bukan bentuknya, namun diharuskan berbentuk tertulis
untuk memudahkan pembuktian. Misalnya, sebuah memo atau
nota tertulis dapat dianggap keputusan Badan atau pejabat TUN
apabila sudah jelas diketahui:
a. Badan atau pejabat TUN yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta hal atau perkara dari isi tulisan tersebut; dan
113
c. Pihak yang dituju dari tulisan tersebut dalam hal yang
ditetapkannya.151
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, jika merurujuk
Pasal 12 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang
menyebutkan bahwa dalam penerbitan keputusan tersebut
salinannya diteruskan kepada: 1) Mahkamah Agung; 2)
Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama; 3)
Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan 4)
Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana,
maka unsur tertulis telah terpenuhi.
2. Bersifat konkret, individual, dan final;
Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam
keputusan TUN itu berwujud, tidak abstrak, tertentu atau dapat
ditentukan. Umpanya, keputusan mengenai rumah si A, izin usaha
bagi si B, ataupun pemberhentian si A sebagai pegawai negeri.152
Sedangkan makna individual dimaksudkan tidak ditujukan
untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju.
Kalau hal yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang
yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan
tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang
151 Priyatmanto Abdoellah, op.cit., h. 112-114. 152 Ibid.,
114
menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan
tersebut.153
Pengertian dari final dalam hal ini adalah sudah definitive
dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang
masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain
belum bersifat final, karenanya belum dapat menimbulkan suatu
hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.154
Lebih lanjut, terhadap posisi keputusan presiden umum
pemahaman terhadap Keppres menurut A. Hamid S. Attamimi
bahwa Keppres merupakan pernyatan kehendak di bidang
ketatanegaraan dan tata pemerintahan, yang dapat berisi
penetapan (beschikking) dan dapat pula berisi pengaturan
(regeling), dengan perkataan lain, Keppres adalah nama keptusan
yang isinya dapat berupa penetapan dan pengaturan.155
Selanjutnya A. Hamid S. Attamini menguraikan bahwa
Keppres dalam hal yang berfungsi sebagai pengaturan dapat
berupa:
a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Peraturan Pemerintah (Keputusan Presiden delegasian);
dan
153 Ibid., 154 Ibid., 155 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pascasarjana UI, Depok, 1990. h. 227.
115
b. Pengaturan hal-hal lain yang tidak termasuk salah satu jenis
peraturan perundang-undangan negara tersebut di atas
(Keputusan Presiden mandiri).156
Secara terperinci A. Hamid S Attamimi, sebagaimana yang
dikutip oleh H. Abdul Latief157, menyebutkan bahwa Keppres dapat
mengandung berbagai norma hukum yang rentangnya luas, dari
norma hukum yang umum-abstrak sampai norma hukum konkret-
individual. Apabila demikian, maka dalam perkembangannya
dewasa ini, Keppres merupakan “wadah” bagi menampung aneka
ragam peraturan dan keputusan yaitu:
a) Gedelegeerde wettelijke regels (peraturan perundang-
undangan yang delegasian);
b) Bleidsregel atau pseudo-wetgeving (peraturan yang
melaksanakan kebijaksanaan pemerintah yang tidak terikat);
c) Besluiten van algamene strekking (keputusan administratif yang
berentang umum); dan
d) Besluiten gericht tot bepalde person/ personen atau
beschikkingen (keputusan administratif ditunjukkan kepada
orang atau orang-orang tertentu, yang disebut keputusan tata
usaha negara).
156 Ibid, h. 234. 157 A. Hamid S. Attamimi, Hukum tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993.h.5., dalam H. Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: UII Press, 2005, 138-139.
116
Pendapat agak serupa disampaikan oleh Anna Erliyana
yang mengaklasifikasikan Keppres ke dalam tiga klasifikasi:
a. Keputusan Presiden sebagai peraturan umum (regeling);
b. Keputusan Presiden sebagai keputusan (beschikking); dan
c. Keputusan Presiden sebagai Peraturan Kebijakan
(beleidregels, policy rules).158
Bertolak dari kedua pendapat di atas, menurut H. Abdul
Latief, pemahaman terhadap Keputusan Presiden (Keppres) dalam
sistem UUD NRI 1945, dapat ditinjau dari dua segi, diantaranya:159
1) Dari segi kewenangan
Ditinjau dari kewenangan, Keppres dapat dibedakan Keppres
sebagai pelaksanaan kewenangan konstitusional Presiden.
Baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala
pemerintahan, Presiden berwenang menetapkan keputusan.
Hal tersebut sesuai dengan asas umum, bahwa salah satu ciri
yang selalu melekat pada pejabat atau jabatan adalah adanya
wewenang membuat keputusan. Selain berdasarkan
kewenangan konstitusi (the original power), Keppres dapat juga
dikeluarkan sebagai peraturan delegasi (delegated legislation).
Sebagai peraturan delegasi, Keppres ditetapkan untuk
melaksanakan perintah UUD NRI 1945, Tap MPR, Undang-
158 Selengkapnya dalam Anna Erliyana, Keputusan Presiden Analisis Keppres RI 1987-1998. Program Pascasarjana UI, Depok, 2005. h. 131-140. 159 Dikutip dari, H. Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: UII Press, 2005, h. 137-140.
117
Undang/ Perpu, atau Peraturan Pemerintah. Jadi, sebagai
peraturan delegasi Keppres mempunyai cakupan yang luas
daripada Peraturan Pemerintah, karena hanya untuk
melaksanakan undang-undang.
2) Dari segi muatan
Philipus M. Hadjon, sebagaimana yang dikutip oleh H.
Abdul Latief, mengemukakan bahwa dalam praktik ada dua
macam Keppres. Pertama, yang materi muatannya masih
bersifat umum. Kedua, Keppres yang bersifat konkret-
individual. Dengan demikian, dari segi materi muatan Keppres
dapat dibedakan menjadi Keppres yang bersifat mengatur
(regeling) dan Keppres yang bersifat penetapan atau
ketetapan/ keputusan (beschikking). Misalnya, Keppres tentang
pengangkatan seorang pada jabatan tertentu. Keppres yang
bersifat pengendalian seperti Bapedal dan lain semacamnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik sebuah
pengertian bahwa pada dasarnya Keppres itu dapat berbentuk
keputusan yang bersifat konkret- individual. Oleh karena itu,
Keputusan Presiden tentang Pemberian atau Penolakan Grasi160
160 Keputusan Presiden tentang Grasi, khusunya Keputusan Presiden tentang Penolakan Grasi terpidana mati merupakan informasi publik yang dikecualikan (bersifat rahasia). Pada 11 Mei 2016, Komisi Informasi Publik (KIP) memutuskan sengketa informasi antara ICJR lawan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) terkait ketersediaan informasi publik Keputusan Presiden (Keppres) Grasi terpidana mati. Dalam Putusan No. 58/XII/KIP-PS-A-M-A/2015, dinyatakan bahwa dokumen Keputusan Presiden terkait penolakan grasi terpidana mati merupakan dokumen yang terbuka bagi publik. Namun, Kemensetneg tidak menerima putusan tersebut, maka Kemensetneg melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.
118
memenuhi unsur keputusan yang besifat konkret, individual dan
final.
3) Menimbulkan akibat hukum
Menurut Priyatmanto, bahwa keputusan menimbulkan
akibat hukum berarti menimbulkan akibat hukum bagi orang atau
badan hukum perdata. Akibat hukum (rechtsgevolg) ini adalah
berkaitan dengan factor “kepentingan”. Penggugat yang dirugikan
sebagai dasar hak untuk mengajukan gugatan.161 Dianggap
menimbulkan hukum apabila terjadi perubahan hak dan kewajiban
terhadap subjek hukum baik perorangan maupun badan hukum
perdata.
Berdasarkan uraian di atas, maka keputusan presiden
tentang pemberian dan penolakan grasi merupakan bentuk
Putusan ini memutus sidang sengketa keterbukaan informasi publik mengenai Keppres Grasi selama ini, dimana Pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara RI (Kemensetneg) menyatakan bahwa Keppres Grasi merupakan dokumen yang dikecualikan dari keterbukaan informasi berdasarkan Peraturan Menteri Sekretaris Negara No. 2 Tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Klasifikasi Keamanan dan Arsip Kementerian Sekretariat Negara (Permensesneg Arsip) yang disahkan pada 9 Februari 2016. Pada 1 November ICJR mendaftarkan permohonan kasasi sengketa informasi publik ke Mahkamah Agung. Tujuan dari Keterbukaan Informasi Publik mengenai Keppres Grasi ini adalah agar ICJR dalam kepentingan penelitian terkait hukuman mati pada khususnya dan masyarakat pada umumnya dapat mengetahui rencana pembuatan kebijakan Presiden, program kebijakan Presiden, dan proses pengambilan keputusan Presiden, serta alasan pengambilan suatu keputusan Presiden, dalam hal ini termasuk untuk mengetahui salinan Keputusan Presiden mengenai Grasi, dan bukan justru ditutup-tutupi atau dirahasiakan tanpa alasan yang jelas;24 Jaminan informasi tersebut tertuang dalam Pasal 3 UU Keterbukaan Informasi Publik yang pada pokoknya menjamin hak warga negara untuk mengetahui alasan pengambilan suatu keputusan publik. Pada 4 Januari 2017, Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan mengenai sengketa informasi publik terkait Keppres Grasi Terpidana mati. Dalam putusan nomor register perkara 568 K/TUN/2016, Majelis hakim menyatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sudah benar dan tidak terdapat kesalahan dalam penerapan hukum bahwa Keputusan Presiden mengenai Grasi Terpidana mati merupakan termasuk informasi yang dikecualikan untuk diketahui secara umum., selengkapnya dalam Adhigama A. Budiman, dkk., Menyiasiti Eksekusi dalam Ketidakpastian: Melihat Kebijakan Hukuman Mati 2017, Institue for Criminal Justice Reform (ICJR), Jakarta, 2017. h.22-23 161 Priyatmanto Abdoellah, op.cit., h. 112-114.
119
keputusan yang menimbulkan akibat hukum bagi seoarang
(terpidana), berupa pengurangan, perubahan, peringanan dan
pengahapusan terhadap kewajiban dalam menjani proses
pemidanaan, sehingga unsur menimbulkan akibat hukum telah
terpenuhi.
4) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Terhadap makna nomenklatur “tata usaha negara” merujuk
pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo.
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 yang menentukan bahwa,
“Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakkan urusan
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah”.
Selanjutnya yang dimaksud “urusan pemerintahan”
disebutkan sebagai kegiatan yang bersifat eksekutif. Jika ditinjau
dari konsep trias politika maka kegiatan yang bersifat eksekutif
adalah kegiatan yang bersifat pelaksanaan peraturan perundang-
undangan.
Kekuasaan eksekutif di Indonesia dijalankan oleh Presiden
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI
1945 yang menyebutkan bahwa, “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar”. Kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan162 dapat
162 Pada dasarnya adanya penyebutan kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kekuasaan Presiden sebagai kepala negara, merupakan konsekuensi dari adanya pemahaman
120
dikelompokkan ke dalam: kekuasan presiden sebagai kepala
pemerintahan (chief executive) dan kekuasan presiden sebagai
kepala negara (head of state).163
Dalam kedudukannya melaksanakan urusan pemerintahan
presiden bertindak sebagai kepala pemerintahan yang
melaksanakan perudang-undangan (eksekutif). Maka keputusan
presiden tentang pemberian dan penolakan grasi merupakan
bentuk presiden melaksanakan perundang-undangan, dalam hal ini
Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945 dan ketentuan Undang-Undang
No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22
Tahun 2002 tentang Grasi, sehingga dapat dikualifisir bahwa
keputusan presiden tentang pemberian atau penolakan grasi
memenuhi unsur keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara.
Berdasarkan uraian di atas, oleh karena semua unsur-unsur
pada Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU
No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah
sistem pemerintahan presidensil dan sistem pemerintahan parlementer maupun sistem pemerintahan quasi yang dianut suatu negara. Selengkapnya dalam Mexsasai Indra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2011. h. 153. 163 Menurut Jimly Ashiddiqie, dalam UUD NRI 1945 tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang adanya kedudukan kepala negara (head of state) ataupun kedudukan kepala pemerintahan (head of government) atau chief executive. Akan tetapi, dalam penjelasan UUD 1945 yang kemudian oleh Soepomo, pembedaan itu dituliskan secara eksplisit. Penjelasan tentang UUD 1945 itu diumumkan secara resmi dalam Berita Repoeblik Tahun 1946 dan kemudian dijadikan bagian lampiran tidak terpisahkan dengan naskah UUD 1945 oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1945. Dalam penjelasan tersebut istilah kepala negara dan kepala pemerintahan memang tercantum secara jelas dan dibedakan satu sama lain. Kedua istilah ini dipakai untuk menjelaskan kedudukan Presiden Republik Indonesia menurut UUD 1945 yang merupakan kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan (head of governmet) sekaligus, dalam Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi…,op.cit., h. 108.
121
terpenuhi, serta tidak terdapatnya pengecualian terhadap keputusan
presiden tentang pemberian atau penolakan grasi sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka secara tegas
penulis mengatakan bahwa kedudukan Keputusan Presiden tentang
Pemberian atau Penolakan Grasi merupakan Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN).
Akan tetapi, Keputusan Presiden tentang Pemberian atau
Pemberian Grasi bukanlah merupakan kompetensi absolut PTUN dan
tidak dapat dijadikan objek sengketa, sebab Keppres tersebut
merupakan tindakan yudisial presiden sebagai kepala negara yang
juga sering disandingkan dengan hak proregatif seorang presiden.
Apabila kita merujuk pada kompetensi absolut PTUN
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 jo.
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tata Usaha
Negara, pada Pasal 47 disebutkan bahwa, “Pengadilan bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara”.
Penjelasan lebih lanjut mengenai kata “sengketa tata usaha
negara” dapat dilihat pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo.
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009) yang menjelaskan,
“sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat
122
Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”.
Terlepas dari pengaturan objek sengketa PTUN di atas, dalam
praktiknya telah ada beberapa yurisprudensi PTUN terhadap gugatan
Keputusan Presiden tentang Pemberian maupun Penolakan Grasi.,
Misalnya yurisprudensi perkara dengan register No: 92/G/2012/PTUN-
JKT. Dalam perkara ini, penggugat adalah Dewan Pimpinan Pusat
Gerakan Nasional Anti Narkotika (DPP GRANAT) yang diwakili oleh
Yusril Ihza Mahendra, dkk., menggugat Keputusan Presiden tentang
Pemberian Grasi kepada Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim
Franz Grobmann (terpidana narkotika). Penggugat menilai bahwa
keputusan presiden tentang pemberian grasi tersebut tidak sejalan
dengan semangat bangsa Indonesia dalam memberantas narkotika.
Gugatan ini dinyatakan tidak dapat diterima dan hanya pada
tahap dismissal procedur (rapat permusyawaratan) dan tidak sampai
pada tahap pemeriksaan perkara atau persidangan. Ada beberapa
pertimbangan mejelis hakim yang menarik dalam memutus perkara
ini, diantaranya:164
Menimbang, bahwa dengan demikian grasi merupakan
tindakan yudisial karena tidak dapat dipisahkan baik
secara langsung atau tidak langsung dari proses yustisial,
walaupun tidak termasuk ke dalam bentuk upaya hukum;
164 Salinan Penetapan PTUN Jakarta Pusat terhadap Perkara No: 92/G/2012/PTUN-JKT, h. 5-6.
123
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas menurut
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dalam hal
Tergugat mengeluarkan obyek gugatan a quo termasuk hak
prerogatif Presiden berdasarkan kewenangan yang diatur
dalam Undang- Undang Dasar dan merupakan kewenangan
Presiden bersifat Yudisial, bukan tindakan Presiden dalam
melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana ketentuan
Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo
Pasal 1 angka 7 dan 8 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009,
oleh karenanya Pengadilan Tata Usaha Negara tidak
berwenang mengadili obyek gugatan a quo karena bukan
merupakan sengketa Tata Usaha Negara;
Begitupula di tahun 2015 dengan gugatan register Perkara No:
51/PLW/2015/PTUN-JKT. Penggugat merupakan Warga Negara
Nigeria atas nama Sylvester Obiekwe Nwolise yang dijatuhi Hukuman
Mati berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI. Penggugat menilai
dirugikan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
11/G tahun 2015 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Februari
2015 yang menolak permohonan grasi bahwa penggugat (Sylvester
Obiekwe Nwolise). Oleh karena itu penggugat mengajukan gugatan
terhadap keputusan tersebut.
Namun, gugatan ini juga tidak dapat diterima dan hanya sampai
pada tahap dismissal procedur dan tidak sampai pada tahap
pemeriksaan perkara atau persidengan. Berikut beberapa
pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara ini:165
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas menurut
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dalam hal
Tergugat mengeluarkan obyek gugatan a quo termasuk hak
165 Putusan PTUN Jakarta Pusat terhadap perkara No: 51/PLW/2015/PTUN-JKT., h.16-17.
124
prerogatif Presiden berdasarkan kewenangan yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan merupakan kewenangan Presiden yang bersifat
Yudisial, bukan tindakan Presiden dalam melaksanakan
urusan pemerintahan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka
1 dan 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Pasal 1 angka 7
dan 8 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009, oleh karenanya
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadili
obyek gugatan a quo karena bukan merupakan sengketa Tata
Usaha Negara;
Menimbang, bahwa dengan demikian pokok gugatan
Penggugat nyata-nyata tidak termasuk wewenang
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana ketentuan
Pasal 62 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 51
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No. 5 Tahun 198 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,[…].
Terhadap kedua kasus di atas, secara jelas adanya
pertimbangan dari Majelis Hakim yang mengatakan bahwa keputusan
grasi merupakan tindakan yudisial presiden. Selain itu, juga digunakan
pertimbangan bahwa keputusan presiden tentang pemberian dan
penolakan grasi merupakan hak proregatif seorang presiden.
Sebenarnya kekuasaan pemberian grasi sebagai bentuk
tindakan yudisial presiden telah diintrodusir oleh C.F Strong—
sebagaimana yang dikutip oleh Mirriam Budiarjo— mengungkapkan
bahwa kekuasaan badan eksekutif mencakup beberapa bidang
diantanya:
125
1. Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-
undang dan peraturan perundangan lainnya dan
menyelenggarakan administrasi negara;
2. Legislatif, yaitu membuat rancangan undang-undang dan
membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai pada
undang-undang;
3. Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan
bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta
keamanan dalam negeri;
4. Yudikatif, yaitu memberi grasi, amnesti dan sebagainya; dan
5. Diplomatik yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan
diplomatik dengan negara lain.166
Begitupula halnya keputusan presiden tentang pemberian
atau penolakan grasi merupakan kewenangan presiden sebagai
kepala negara yang telah introdusir, misalnya oleh Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim yang membagi ke dalam tiga kelompok kekuasan
presiden, diantaranya: 1) Kekuasaan presiden di bidang eksekutif; 2)
Kekuasaan presiden di bidang legislatif; 3) kekuasaan presiden
sebagai kepala negara. Beliau memasukkan kewenangan presiden
dalam memberikan grasi ke dalam kekuasaan presiden sebagai
kepala negara.167
166 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…, op.cit., h. 196-197. 167 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., h. 197-208.
126
Terkait penyebutan keputusan presiden tentang pemberian
atau penolakan grasi merupakan hak prerogatif presiden, sebenarnya
tidak ditemukan dalam UUD NRI 1945 baik dalam Pasal 4 ayat (1),
Pasal 14 ayat (1), maupun keseluruhan pasal dalam BAB III
TENTANG KEPALA PEMERINTAHAN NEGARA dalam UUD NRI
1945. Namun dalam Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 2002
tentang Grasi ada satu penyebutan mengenai hak prerogatif, yakni:
[…]. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan
Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif
Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian
grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau
menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan
pengadilan, […]
Istilah hak prerogatif presiden merupakan istilah yang
masih diperdebatkan. Istilah hak prerogatif sama sekali tidak
pernah dinyatakan dalam UUD 1945 atau peraturan perundang-
undangan di Indonesia yang mengatur tentang ketatanegaraan
Indonesia. Namun dalam praktik politik dan ketatanegaraan selama
masa orde baru, hak ini secara nyata dipraktikkan, misalnya dalam
hal pengangkatan menteri-menteri departemen. Hak ini juga
dipadankan terutama dalam istilah presiden sebagai kepala negara
yang sering dinyatakan dalam hal-hal pengangkatan pejabat
negara. Hal tersebut dapat dilihat dari Penjelasan Pasal 10, 11, 12,
13, 14 dan 15 UUD 1945 pra amandemen yang menyebutkan
127
bahwa kekuasaan presiden di dalam pasal-pasal tersebut adalah
konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara.168
Tampak bahwa hak proregatif berkaitan dengan kedudukan
presiden sebagai kepala negara, begitupula halnya pengunaan
istilah hak prerogatif dalam pemberian grasi, merupakan
kewenangan presiden sebagai kepala negara. Dalam pemberian
grasi, presiden memiliki kebebasan untuk menilai dan
mempertimbangkan sebagai bentuk kebijaksanaan presiden
sebagai kepala negara, sehingga dinilai sebagai hak prerogatif.
Hak Proregatif dapat dinilai sebagai hak yang dimiliki oleh
seorang kepala pemerintahan atau kepala negara tanpa ada
intervensi dari pihak manapun dalam menggunakan hak tersebut.
Oleh karenanya, hak prerogatif itu dikatakan sebagai hak privillege
atau hak istimewa seorang kepala negara dalam menjalankan
tugas kenegaraannya.169
Menurut Lord Dunedin—sebagaimana yang dikutip A.V.
Dicey—mengatakan bahwa hak-hak proregatif, secara historis dan
sebagai sebuah fakta aktual, tampaknya tidak lain hanyalah
residu170 kewenangan diskresi atau sewenang-wenang, yang pada
168 Bachtiar Baital, Pertanggungjawaban Penggunaan Hak Proregatif Presiden di Bidang Yudikatif dalam Menjamin Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Cita Hukum, Vol. II No. 1 Juni 2014, h. 25. 169 Bachtiar Baital, op.cit., h. 24. 170 Bagir Banan menyebutkan, prerogatif disebut sebagai “residu” karena kekuasaan ini tidak lain dari sisa seluruh kekuasaan yang semula ada pada Ratu/Raja Inggris (kekuasaan mutlak) yang kemudian makin berkurang karena beralih ketangan rakyat (parlemen) atau unsur-unsur pemerintah lainnya (seperti Menteri), Bagir Manan, Kekuasaan Prerogatif, Makalah yang
128
kurung waktu tertentu secara legal tetap ada di tangan raja.171
Menurut A.V. Dicey, hak proregatif merupakan nama bagi
sebagaian kewenangan asli Raja yang tersisa, dan dengan
demikian menjadi nama residu kekuasaan bebas yang pada saat
kapanpun tetap ada di tangan Raja, apakah kekuasaan tersebut
dalam kenyataannya dijalankan oleh Raja atau oleh menteri-
menterinya.172
Dalam pelaksaanaan di Inggris hak proregatif ini biasa
digunakan oleh Raja untuk memberhentikan para abdinya menurut
kehendak sang Raja itu harus dijalankan sesuai dengan keinginan
Majelis Parlemen. Begitupula dalam hubungan perjanjian
merupakan hak proregatif Raja, namun harus memperoleh
persetujuan dari Majelis Parlemen. Oleh karena itu, dalam
penggunaan Hak Proregatif berupa membuat perjanjian di Inggris,
menurut A.V. Decey adalah hak proregatif terikat.173
Selanjutnya Bagir Manan menyebutkan beberapa karakter
kekuasaan prerogatif, yaitu (1) sebagai “residual power”; (2)
merupakan kekuasaan diskresi (freis ermessen, beleid); (3) tidak
dipublikasikan di Bandung, 20 Agustus 1998, dalam Mei Susanto, MEMAHAMI ISTILAH HAK PREROGATIF PRESIDEN (Pengertian dan Karakter Hak Prerogatif) diakses melalui https://meisusanto.com/2014/10/14/memahami-istilah-hak-prerogatif-presiden-pengertian-dan-karakter-hak-prerogatif/ (pada tanggal 20/01/2018). 171 A.V. Decey, op.cit., h. 454. 172 Ibid., h. 455. 173 Selengkapnya dalam ibid., h. 456-457.
129
ada dalam hukum tertulis; (4) penggunaan dibatasi; (5) akan hilang
apabila telah diatur dalam undang-undang atau UUD.174
Berdasarkan uraian karakter kekuasaan prerogatif di atas,
maka kewenangan pemberian grasi yang sering disandingkan
sebagai hak prerogatif presiden nampaknya akan mengalami
konradiksi. Kontradiksi pertama adalah karakter kekuasan
prerogatif tidak ada dalam hukum tertulis. Namun dalam prakteknya
di Indonesia kewenagan presiden dalam memberi grasi diatur
dalam Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945. Sehinga kontradiksi kedua,
akan hilang jika di atur dalam UUD. Oleh karena itu, impilikasi
adanya pengaturan kewenangan pemberian grasi oleh presiden
dalam Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945, secara tidak langsung
telah menghapuskan kekuasaan proregatif presiden dalam
memberi grasi. Jadi pemberian grasi secara teoritis bukan lagi
sebagai hak prerogatif presiden, melainkan telah bergeser menjadi
hak konstitusional presiden.
Lebih lanjut, Bagir Manan mengatakan bahwa pengertian
hilang (kekuasaan prerogatif) disini bukan selalu materi kekuasaan
prerogatif akan sirna.175 Menurut Mei Susanto, berbagai kekuasaan
prerogatif tersebut dapat diatur dalam undang-undang atau juga
Undang-Undang Dasar (UUD). Apabila telah diatur dalam undang-
174 Bagir Manan, Kekuasaan Prerogatif, Makalah yang dipublikasikan di Bandung, 20 Agustus 1998, dalam Mei Susanto, MEMAHAMI ISTILAH…,op.cit., 175 Bagir Manan, Kekuasaan Prerogatif, Makalah yang dipublikasikan di Bandung, 20 Agustus 1998, dalam Mei Susanto, MEMAHAMI ISTILAH…,op.cit.
130
undang atau UUD tidak lagi disebut sebagai kekuasaan prerogatif,
tetapi sebagai kekuasaan menurut atau berdasarkan undang-
undang (statutory power) atau kekuasaan menurut atau
berdasarkan UUD (constitutional power).176 Namun menurut Mei
Susanto, bahwa perlu dicatat pula masih sering dipergunakannya
istilah hak prerogatif Presiden walaupun telah diatur dalam UUD
maupun undang-undang, sebagai contoh hak prerogatif Presiden
dalam mengangkat maupun memberhentikan menteri [pen.
termasuk memberi grasi], membuat penggunaan istilah hak
prerogatif Presiden tetap dapat digunakan.177
Berdasarkan uraian di atas, maka keputusan presiden
tentang pemberian atau penolakan grasi merupakan jenis KTUN
yang tidak dapat diajukan dalam sengkata PTUN sebab,
dikeluarkan dalam bentuk tindakan yudisial presiden sebagai
kepala negara, sekaligus merupakan hak proregatif yang melakat
pada presiden sebagai kepala negara.
Sehingga sampai saat ini (2018) belum terdapat
mekanisme pertanggungjawaban terhadap jenis Keppres tersebut,
bagi warga negara yang merasa haknya dirugikan dengan
keluarnya keputusan tersebut. Padahal setiap wewenang melekat
asas pertanggungjawaban sesuai asas “geen bevoegdheid zonder
176 Mei Susanto, MEMAHAMI ISTILAH HAK PREROGATIF PRESIDEN (Pengertian dan Karakter Hak Prerogatif) diakses melalui https://meisusanto.com/2014/10/14/memahami-istilah-hak-prerogatif-presiden-pengertian-dan-karakter-hak-prerogatif/ (pada tanggal 20/01/2018). 177 Ibid.,
131
verant woordelijkheid, (tiada jabatan atau wewenang tanpa
pertanggungjawaban)”.
Menurut Tatiek Sri Djatmiati—sebagaimana yang dikutip
Ridwan—mengatakan bahwa setiap penggunaan kewenangan
apapun bentuknya apakah dalam rangka pengaturan, pengawasan,
maupun penentuan sanksi oleh pemerintah selalu disertai dengan
adanya tanggungjawab. Hal ini merupakan suatu keharusan, oleh
karena di dalam konsep hukum administrasi pemberian
kewenangan dilengkapi dengan pengujiannya, dan bahwa
kesalahan dalam penggunaan kewenangan harus selalu berakses
ke pengadilan, sehingga menjamin perlindungan hukum.178
Berdasarkan uraian di atas, sekdar tambahan bahwa dalam
berbagai kajian kepustakaan menyebutkan konsep
pertanggungjawaban jabatan dikenal adanya liability dan
responsbilty.
a. Liability
Menurut Tatiek Sri Djatmiati dengan menggunakan
istilah state liability (governmental liability) merupakan konsep
tanggung gugat kepada negara atau pemerintah dalam arti
mereka harus memberi kompensasi jika terjadi kerugian atau
178 Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta, FH-UII Press, 2014. h. 188.
132
derita, secara langsung atau tidak langsung, materiil atau
mental kepada warganya.179
Kompensasi kerugian oleh negara dalam konsep
tersebut berasal dari Libertarian teori yang kemudian
berkembang dalam teori Vicarios Liability. Konsep ini dikemukan
oleh Toshiro Fuke, bahwa negara harus memberikan ganti rugi
atas setiap kehilangan atau kerugian yang terjadi, yang
disebabkan secara langsung dan tidak langsung, dan materiil
dan atau mental kepada warga negara.180
Lebih lanjut, Tatiek Sri Djatmiati mengungkapkan
bahwa state liability menyangkut pertanggungjawaban
pemerintah tentang ganti kerugian yang harus dilakukan melalui
pengadilan.181
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Ridwan bahwa
kewajiban pemerintah untuk memikul tanggungjawab karena
perbuatan melanggar hukum, pada prinsipnya diarahkan pada
pengembalian kondisi semula seperti sebelum terjadinya
perbuatan melanggar hukum (herstel in de vorige toetand).
Namun jika upaya mengembalikan pada kondisi semula ini tidak
179 Philipus M. Hadjon, dkk., Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, 2010. h. 104. 180 ibid., 181 Ibid., h. 105.
133
dapat dilakukan, pemerintah dibebani kewajiban memberikan
ganti rugi sebagai konsekuensi tanggung gugat.182
Konsep tanggungjawab dan tanggung gugat ini
dilakukan apabila terdapat kesalahan pada tindakan
pemerintah. Konsep kesalahan dikenal ada dua unsur yakni:
faute personalle (kesalahan pribadi) dan faute de service
(kesalahan jabatan).
1) Kesalahan Pribadi (Faute Personalle)
Menurut Tatiek Sri Djatmiati dikatakan telah terjadi
kesalahan pribadi (faute personalle) jika ada kesalahan
pribadi seseorang yang merupakan bagian dari
pemerintahan. Kesalahan yang dilakukan tidak berkaitan
dengan pelayanan publik tetapi menunjukkan kelemahan
orang tersebut, keinginan-keinginan atau nafsunya yang
kurang hati-hati atau kelalaian-kelalaiannya. Dalam kaitan
tanggung gugat negara, karena adanya faute personalle,
pegawai tersebut dapat digugat oleh seseorang yang
dirugikan di pengadilan umum (ordinary court) selaku pribadi
dan bertanggungjawab gugat terhadap kesalahan sendiri.183
2) Kesalahan Jabatan (faute de service)
Tatiek Sri Djatmiati mengemukanan kesalahan
jabatan (faute de service) terjadi karena adanya kesalahan
182 Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta, FH-UII Press, 2014. h. 194. 183 Dikutip dalam Philipus M. Hadjon, op.cit. h. 90.
134
dalam penggunaan wewenang, dan hanya berkaitan dengan
pelayanan publik. Pejabat publik melindungi diri dengan
alasan adanya prinsip separation of power yang melarang
pengadilan umum untuk menerima aduan atas tindakan
pemerintah yang menyimpang. Bila terjadi terdapat pihak
yang dirugikan gugatan harus diajukan ke peradilan
administarasi.
Mencermati uraian di atas, tampaknya adanya
perbedaan mengenai lembaga peradilan yang dapat
menyelesaikan faute personalle dan faute de service. Khusus
untuk faute personalle menjadi kompetensi peradilan umum,
dan khusus faute de service menjadi kompetensi peradilan
administrasi.
Untuk kesalahan berupa faute personalle maka
menimbulkan tanggungjawab pribadi yang berkaitan dengan
pendekatan fungsionaris atau pendekatan perilaku. Dari sudut
pandang hukum administrasi, tanggungjawab pribadi
berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan
wewenang dalam pelayanan publik. Penggunaan wewenang
yang dimaksud disini meliputi tindakan pemerintaham menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan dan tindakan dalam
menetapkan suatu kebijakan atau diskresi.184
184 Ibid., h. 94.
135
Sedangkan untuk kesalahan dalam faute de service
akan menimbulkan tanggungjawab jabatan yang berkenaan
dengan legalitas (keabsahan) tindak pemerintahan. Dalam
hukum administrasi, persoalan legalitas tindak pemerintahan
berkaitan dengan pendekatan terhadap kekuasaan
pemerintahan.185 Menurut Philipus M. Hadjon—sebagaimana
yang dikutip Tatiek Sri Djatmiati— mengemukakan bahwa
pendekatan kekuasaan berkaitan dengan wewenanang yang
diberikan menurut undang-undang berdasarkan asas legalitas
atau rechmatigheid.186 Tatiek Sri Djatmiati menambahkan
bahwa dengan demikian pendekatan ini menentukan kontrol
atau pengawasan terhadap penggunaan kekuasaan. Dalam hal
terdapat penyimpangan atau pelanggaran terhadap
penggunaan kekuasaan oleh pemerintah maka tanggung jawab
pemerintah dilakukan atas dasar asas legalitas atau
rechtmatigheid.187
Sedangkan menurut Ridwan, tanggungjawab dan
tanggung gugat jabatan di Indonesia dapat dibedakan dalam
bentuk tanggungjawab dan tanggung gugat di bidang publik
dan di bidang perdata yang muncul karena tindakan pemerintah
itu bertentangan dengan norma hukum publik (strijd met een
185 Philipus M. Hadjon, op.cit., h.94. 186 Ibid., 187 Tatiek Sri Djatmiati membagi atas legalitas ke dalam dua bagian, pertama legalitas formal yang berkaitan dengan wewenang, prosedur; kedua, legalitas subtansial yang berkaitan dengan tujuan…, selengkapnya dalam Ibid., h. 95.
136
algemeen verbindend voorshrift) dan hukum privat
(onrehtmatigheid overheidsdaad).188
Dalam prakteknya gugatan yang diajukan di peradilan
umum (perdata) atas tindakan pemerintah yang melawan
hukum (onrechtmatigheid overheidsdaad) biasanya didasarkan
pada Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi, “tiap perbuatan
yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang itu, mewajibkan karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut”.189
Telah banyak yurisprudensi yang terkait dengan gugatan
perbuatan pemerintah yang menimbulkan kerugian bagi warga
negara ini seperti disebutkan oleh M. A. Moegni Djojodirejo,
Rosa Agustina. Selain itu, ada beberapa putusan MA seperti
putusan No. 729 M/SIP/1975 [kasus susu formula yang
direkomendasikan enterobacter sakazakii, tergugatnya adalah
pemerintah RI cq. Menteri Kesehatan RI, Institute Pertanian
Bogor (IPB) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM)], putusan No. 352/PK/Pdt/2010 [Kasus operasi mata,
tergugatnya adalah pemerintah RI cq. Menteri Kesehatan RI,
Direktur Utama Rumah Sakit Umum Dr. Mohammad Hoesin
Palembang]190
188 Ridwan, op.cit., h. 264. 189 Ibid., h. 167. 190 Lihat selengkapnya dalam Ibid., h. 268.
137
Pertanyaannya kemudian apakah konsep
pertanggungjawab liability ini tetap memungkinkan untuk
dilakukan terhadap tanggungjawab keputusan presiden tentang
pemberian atau penolakan grasi? Menurut penulis hal tersebut
memungkinan secara faute de service, dan memang sudah
seharusnya dipertanggungjawabkan di peradilan administrasi
dengan konsistensi pelaksanaan kewenangan dari peradilan
administrasi; atau dengan tanggung gugat melalui peradilan
umum (perdata) dengan dasar perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatigheid overheidsdaad) sesuai dengan kesalahan
pribadi (faute personalle) presiden dalam mempertimbangkan
keputusan grasi yang akan dikeluarkan, namun ini pun masih
perlu telaah dan kajian lebih lanjut.
b. Responsbility
Menurut Tatiek Sri Djatmiati responsibility bentuk
pertanggungjawaban pemerintah kepada parlemen secara
politis. Pada mulanya dalam sistem hukum Inggris, government
responsibility dilakukan oleh menteri karena adanya ketentuan
“the king can do no wrong” namun tidak berarti sesuatu yang
dilakukan oleh raja selalu sesuai dengan hukum, karena itu raja
mengusulkan agar para mengukur tindakan suatu tindakan
138
illegality. Di sini berkembang responsibility yang dilaksanakan
oleh parelemen melalui impeachment.191
Dalam perkembangannya konsep responsibility
menurut Tatiek Sri Djatmiati terbagi atas dua, yakni: collective
responsibility dan individual responsibility. Collective
responsibility digunakan sebagai varitas politik yang membantu
kontrol pemerintahan atas peraturan perundang-undangan dan
belanja publik serta untuk mengisi ketidaksepahaman di antara
departemen-depatemen yang ada. Sedangkan individual
responsibility dilakukan oleh para menteri pada parlemen atas
keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan mereka dan
efisiensi pemerintahan dari dapartemen masing masing.192
Dalam kaitannya dengan individual responsibility,
penegakan hukum di Indonesia telah dilaksanakan dengan
menetapkan kontrak politik yang isinya adalah kesedian untuk
mengundurkan diri dari jabatan sebagai menteri ataupun
pejabat negara yang lain apabila melakukan kesalahan, apalagi
kalau melakukan tindak pidana korupsi.193
Terkait dengan responsibility kewenangan presiden
dalam memberikan grasi dapat dipertanggungjawabkan secara
politis. Misalnya menurut Bachtiar Baital penggunaan hak-hak
konstitusional presiden (termasuk hak memberi grasi) dapat 191 Philipus M. Hadjon, op.cit., h. 101-102. 192 Ibid., h. 102-103 193 Ibid., h. 103.
139
dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang telah memilih
presiden. Beliau menyebutkan bahwa, presiden harus
mempertanggungjawabkan penggunaan hak-hak prerogatif
yang dilekatkan negara kepadanya secara politik kepada rakyat
yang memilihnya, yang wujudnya bisa saja pada pemilu
berikutnya sang Presiden diberikan sanksi oleh rakyat untuk
tidak dipilih lagi sebagai konsekuensi kekecewaan rakyat atas
kepemimpinannya.194
Selain itu, kewenangan presiden dalam memberikan
grasi dapat pula dipertanggungjawabkan melalui proses
impeachment oleh parlemen (DPR dan MPR). Hal ini sejalan
dengan dengan konsep responsibility yang berkembang di
Inggris, seperti yang diuraikan sebelumnya.
Proses impeachment terhadap pertanggungjawaban
penggunaan hak konstitusional presiden (temasuk hak memberi
grasi), juga dipertegas Bachtiar Baital dengan mengatakan, bisa
saja penggunaan kewenangan presiden itu dapat dimintai
pertanggungjawaban secara hukum. Konstitusi sendiri melalui
Pasal 7A UUD 1945 memberikan ruang bagi presiden untuk
mempertanggungjawabkan segenap tindakannya, yang dikenal
dengan istilah pemakzulan (impeachment). Istilah impeachment
itu sendiri sinonim dengan kata accuse yang berarti mendakwa 194 Bachtiar Baital, Pertanggungjawaban Penggunaan Hak Prerogatif Presiden Di Bidang Yudikatif Dalam Menjamin Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Cita Hukum, Vol. II No. 1 Juni 2014. ISSN: 2356-1440, h. 35.
140
atau menuduh. Sementara Encyclopedia Britanica menguraikan
pengertian impeachment sebagai “a criminal proceeding
instituted against a public official by a legislative body”. Dengan
demikian nyatalah bahwa Impeachment diartikan sebagai
proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari
Presiden.195
195 Ibid.,
141
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Persyaratan dan proses permohonan grasi telah diatur dalam UU
No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002
tentang Grasi. Adanya persyaratan dari segi lama pemidanaan dan
proses pemberian grasi yang harus melalui pertimbangan MA
merupakan wujud untuk menciptakan kepastian hukum dan
akuntabilitas bagi presiden dalam menerbitkan keputusan tentang
pemberian atau penolakan grasi.
2. Keputusan Presiden tentang Pemberian atau Penolakan Grasi
merupakan jenis Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang
berisi tindakan hukum badan atau pejabat tata usaha negara
(Presiden) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final dan menimbulkan
akibat hukum, serta tidak termasuk dalam pengecualian KTUN
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo.
UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Akan
tetapi, Keputusan Presiden tentang Pemberian atau Penolakan
Grasi bukan merupakan objek sengkata di Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN), sebab tindakan Presiden dalam mengeluarkan
142
keputusan tentang pemberian atau penolakan grasi merupakan
tindakan yudisial sebagai kepala negara.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka secara tegas penulis
menyarankan, bahwa:
1. Permohonan grasi haruslah sesuai dengan persyaratan dan proses
permohonan sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 5 Tahun
2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi demi menciptakan kepastian hukum dan akuntabilitas. Di sis
lain, presiden sebagai pemerintah yang berwenang memberikan
grasi, perlu memerhatikan dengan cermat pertimbangan MA
sebagai sebagai wujud prinsip cheks and balance.
2. Seharusnya PTUN memiliki konsistensi dalam menjalankan
kewenangannya untuk tetap mengadili objek sengketa keputusan
presiden tentang pemberian atau penolakan karena keputusan
presiden tentang penolakan atau pemberian grasi merupakan
KTUN dan tidak termasuk pengecualian KTUN sebagaimana yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
untuk mewujudkan penegakan dan perlindungan hukum serta untuk
menjamin terlaksananya asas “tiada jabatan atau wewenang tanpa
pertanggungjawaban (geen bevoegdheid zonder verant
woordelijkheid)”.
143
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdoellah, Priyatmanto. Revitalisasi Kewenangan PTUN Gagasan
Perluasan Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
(disertasi). Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.
Ashiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2014.
________. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Atmosudirjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994.
Attamimi, Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Disertasi).
Fakultas Pascasarjana UI: Depok, 1990.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (edisi revisi). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Dicey, A.V. Introduction to the Study of the Constitution, (terjemahan).
Bandung: NusaMedia, 2014.
Djamal, Adnan. Konfigurasi Politik dan Hukum Institusionalisasi Judical
Review di Indonesia (Tesis). Makassar: Pustaka Refleksi,
2009.
Erliyana, Anna. Keputusan Presiden Analisis Keppres RI 1987-1998
(Disertasi). Program Pascasarjana UI: Depok, 2005.
144
Falaakh, Mohammad Fajrul. Model dan Pertumbuhan Konstitusi,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2014.
Hafidz, Jawade Arsyad. Korupsi dalam Perspektif HAN. Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara, (edisi revisi). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2014.
Ilmar, Aminuddin. Hukum Tata Pemerintahan. Makassar: Identitas, 2013.
Indra, Mexsasai. Dinamika Tata Negara Indonesia, Bandung, PT Refika
Aditama, 2011.
Jurdi, Fajlurrahman, Teori Negara Hukum, Malang: Intrans Publishing,
2016.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Universitas Indonesia
dan CV “Sinar Bakti”, 1988.
Laksono, Fajar dan Subarjo. Kontroversi Undang-Undang Tanpa
Pengesahan Presiden. Yogyakarta: UII Press, 2006.
Latief, H. Abdul. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada
Pemerintahan Daerah (disertasi). Yogyakarta: UII Press, 2005.
Librayanto, Romi. Ilmu Negara Suatu Pengantar. Makassar: Arus Timur,
2013.
M. Hadjon Philipus dan Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum (Legal
Argumentasi/ Legal Reasoning) Langkah-Langkah Legal
145
Problem Solving dan Penyusunan Legal Opinion. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005.
M. Hadjon, Philipus. dkk., Hukum Administrasi dan Good Governance,
Universitas Trisakti, Jakarta, 2010.
Marbun, S.F dan Moh. Mahfud MD. Pokok-pokok Hukum Administrasi
Negara. Liberty: Yogyakarta, 2000.
Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi.
Yogyakarta: Liberty, 1997.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010.
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (edisi
revisi). Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka, 2014.
Mr. M. Nasroen. Ilmu Perbandingan Pemerintahan. Jakarta: Aksara Baru,
1986.
Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah (Disertasi).
Yogyakarta: FH-UII Press, 2014.
Sibuae, Hotma. P. Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Jakarta: Erlangga, 2010.
Sidharta, Bernard Arief. Refleksi tentang Struktur ilmu Hukum. Bandung:
Mandar Maju, 2009.
Slemet, Kurnia Titon. dkk, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian
Hukum di Indonesia Sebuah Reorientasi. Yogyakarta: Pustka
Belajar, 2013.
146
Soehino. Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty,
2000.
Soemantri, Sri. Hukum Tata Negara di Indonesia Pemikiran dan
Pandangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Triwulan, Titik T. dan H. Isnu Gunadi Widodo. Hukum Tata Usaha Negara
dn Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Ward, Ian. An Introduction to Critical Legal Theory, (terjemahan).
Bandung: Nusa Media, 2014.
Wati, Dwi Purnama. Impilikasi Pembatalan Perubahan Regulasi Grasi
terhadap Eksekusi Pidana Mati (Tesis), Bandar Lampung,
Fakultas Hukum Universitas Lampung (pdf)., 2016.
Wolff, Jonathan. An Introduction to Political Philosophy, (terjemahan).
Bandung: CV Nusa Media, 2013.
Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002
147
tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 100).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor: 107/PUU-XIII/2015,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIII/2015.
Putusan Register Perkara Nomor: 51/PLW/2015/PTUN-JKT.
Putusan Register Perkara Nomor: 92/G/2012/PTUN-JKT.
Jurnal dan Internet
Bachtiar Baital, Pertanggungjawaban Penggunaan Hak Prerogatif
Presiden Di Bidang Yudikatif Dalam Menjamin Kemerdekaan
Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Cita Hukum, Vol. II No. 1 Juni
2014. ISSN: 2356-1440
Alfred P.S Hasibuan dan Paulinus Sogel, Dasar Pertimbangan Pemberian
Grasi terhadap Terpidana Narkotika (Studi Kasus Schapelle
Leigh Corby), (jurnal), Yogyakarta: Universitas Atma Jaya,
2015. http://e-journal.uajy.ac.id/7599/1/JURNAL.pdf (diunduh
tanggal 18 September 2017).
148
A. Budiman, Andhigama dkk. Menyiasati Eksekusi dalam Ketidakpastian:
Melihat Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia. Jakarta: Institute
for Criminal Justice Reform, 2017.
Dhian Deliani, Pelaksanaan Kekuasaan Presiden dalam Pemberian Grasi
Studi terhadap Pelaksanaan Pemberian Grasi oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono Tahun 2004 s/d 2010 (Tesis),
Jakarta: Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Indonesia, 2011. lib.ui.ac.id/file?file=digital/20238048-T28595-
Pelaksanaan%20kekuasaan.pdf, (diunduh tanggal 17
September 2017).
Mei Susanto, MEMAHAMI ISTILAH HAK PREROGATIF PRESIDEN
(Pengertian dan Karakter Hak Prerogatif) diakses melalui
https://meisusanto.com/2014/10/14/memahami-istilah-hak-
prerogatif-presiden-pengertian-dan-karakter-hak-prerogatif/
(pada tanggal 20/01/2018).