Responsi Pulmonologi

40
RESPONSI PULMONOLOGI PASIEN TUBERKULOSIS DENGAN KOMORBID DIABETES MELLITUS TYPE 2 Oleh: Oktavinayu Sari Latif (0910711015) Inaas Azmi Haidar (0810713017) Ahnia Novita (0910714023) Putri Kartika Sari (0910714048) Pembimbing: dr. Teguh Rahayu Sartono, SpP (K) LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG

description

paru

Transcript of Responsi Pulmonologi

Page 1: Responsi Pulmonologi

RESPONSI PULMONOLOGI

PASIEN TUBERKULOSIS DENGAN KOMORBID DIABETES MELLITUS TYPE 2

Oleh:

Oktavinayu Sari Latif (0910711015)

Inaas Azmi Haidar (0810713017)

Ahnia Novita (0910714023)

Putri Kartika Sari (0910714048)

Pembimbing:

dr. Teguh Rahayu Sartono, SpP (K)

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG

2013

Page 2: Responsi Pulmonologi

BAB I

PENDAHULUAN

Angka prevelensi DM akan meningkat menjadi 199.541.000 di Asia pada

tahun 2030. Indonesia merupakan negara yang kedua tertinggi yang mempunyai

angka kasus DM tipe II setelah India di Asia. Angka kejadian DM tipe II di

Indonesia pada tahun 2030 akan meningkat menjadi 21.257.000 (WHO 2010).

Menurut WHO, penyakit tuberkulosis suatu penyakit global emergency. TB

paru adalah suatu penyakit yang juga mempunyai angka kematian yang tinggi

secara global. Prevelensi TB pada tahun 2007 di Indonesia adalah sebanyak

565,614(WHO, 2010). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan

estimasi sebanyak 20.7 milion dengan DM dan sebanyak 900,000 insidensi

kasus TB paru orang dewasa (Stevenson, R. dan Forouhi, G. et al,2007).

Dari tahun 1997 hingga 2003, semua kasus penderita DM yang juga

menderita TB dan kasus TB sahaja di Esrefpasa Tuberculosis Dispensary

dianalisa secara retrospektif. Sejumlah 78 (7,3%) kasus TB pada penderita DM

dijumpai dari 1.063 kasus TB. Pembentukan kavitas dan lokalisasi atipikal lebih

banyak dijumpai pada penderita DM (Tatar,et al, 2009).

Terdapat 203 pasien DM dengan TB (DM tipe 1, 7 [3.4%]; DM tipe 2, 196

[96.6%]). Kadar kekambuhan jangka panjang TB (2 tahun setelah keluar rumah

sakit) lebih tinggi pada penderita DM berbanding non-DM (20% banding 5.3%)

(Zhang, Xiao, & Sugawara, 2009).

Selain itu, suatu penelitian data yang telah dilakukan selama 5 tahun di

rumah sakit pendidikan di Karachi,Pakistan terhadap penderita TB paru dengan

DM menunjukkan jumlah penderita TB dengan DM adalah sebanyak 173 dari

42.358 pasien yang datang berobat di rumah sakit ini. Prevelensi kejadian TB

paru pada penderita DM adalah 10 kali lebih besar daripada non diabetes dan

prevelensi ini meningkat dengan lama waktu riwayat DM. Penemuan kavitas

pada gambaran radiologis sebanyak 32% pada laki-laki dan 15% pada wanita

yang menderita TB paru dengan DM (Jabbar, Hussain,F., dan Khan,A., 2006).

Page 3: Responsi Pulmonologi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberculosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex yang diidentifikasi dari spesimen klinik

(jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan kultur. Pada negara dengan

keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi M. Tuberculosis

maka kasus TB paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dahak

BTA positif. Atau seorang pasien yang setelah dilakukan pemeriksaan penunjang

untuk TB sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan

diobati dengan panduan dan lama pengobatan yang lengkap.

2.2 Etiologi Tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit

melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 –

0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri

dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.

tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa

dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan

dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 –

C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan

dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada

dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan

arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan

bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan

tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan

asam–alkohol.

2.3 Patogenesis Tuberculosis

Paru merupakan port d’entrie lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena

ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang

Page 4: Responsi Pulmonologi

terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi

oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit

kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.

Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan

kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam

makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di

tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus

Primer GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke

lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran

limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus

primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat

adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks

paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer

merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang

membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini

berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu

yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang

waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga

mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons

imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan

logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi

terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat

terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.

Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama

masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,

imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu

dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler

Page 5: Responsi Pulmonologi

berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB

dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman

TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan

menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang

terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus

primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis

fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair

dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru

(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal

saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut.

Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan

eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi

dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,

sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju

dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan

gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi

segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat

terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman

menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan

pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan

menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang

menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,

kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ

di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai

Page 6: Responsi Pulmonologi

vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks

paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan

bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler

yang akan membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.

Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi

untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai

Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu

menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di

organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran

hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada

bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke

seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit

TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam

waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada

jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya

penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem

imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic

spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan

melalui cara iniakan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier

berasal dari gambaranlesi diseminata yang menyerupai butir

padi-padian/jewawut (millet seed). Secarapatologi anatomik, lesi ini berupa nodul

kuning berukuran 1-3 mm, yang secarahistologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan

menyebar kesaluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan

masuk danberedar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe

ini tidak dapatdibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini

dapat terjadisecara berulang.

Page 7: Responsi Pulmonologi

2.4 Manifestasi Klinis Tuberculosis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala

lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal

ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)

1. Gejala respiratorik

- batuk > 2 minggu

- batuk darah

- sesak napas

- nyeri dada

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai

gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis

pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,

maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena

iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik

- Demam.

- Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat

badan menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstraparu

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada

limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri

dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala

meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas

dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2.5 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari

organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas

kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya

tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya

terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1

& S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat

ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki

basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Page 8: Responsi Pulmonologi

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada

auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang

terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,

tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-

kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold

abscess”

2.6 Pemeriksaan Radiologis

Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran

bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai

sebagai lesi TB aktif :

- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas

paru dan segmen superior lobus bawah

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan

atau nodular

- Bayangan bercak milier

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

- Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

- Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat

dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :

- Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru

dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak

di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus

spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta

tidak dijumpai kaviti

- Lesi luas, Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

2.7 Pemeriksaan Mikroskopis

Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Page 9: Responsi Pulmonologi

Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya

untuk screening).

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

- 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif

- 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian

- bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif

- bila 3 kali negatif® BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD

(rekomendasi WHO).Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis

and Lung Disease) :

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman

yang ditemukan

- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan

cara :

- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh

- Agar base media : Middle brook

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat

mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than

tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara,

baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji

niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen

yang timbul.

2.8 Klasifikasi Tuberculosis Berdasarkan Riwayat Pengobatannya

1)      Kasus Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (empat minggu).

2)      Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah

dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA

Page 10: Responsi Pulmonologi

positif (asupan atau kultur).

3)      Kasus setelah Putus Berobat (Defaul)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat  dua bulan atau lebih

dengan BTA positif.

4)      Kasus setelah Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali positif

pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5)      Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain  untuk

melanjutkan pengobatan.

6)      Kasus Lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok

ini juga termasuk kasus kronik, yaitu pasien yang hasil pemeriksaan masih BTA

positif setelah pengobatan ulangan.(2)

2.9 Pengobatan Tuberculosis

Obat yang dipakai:

Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

- INH

- Rifampisin

- Pirazinamid

- Streptomisin

- Etambutol

Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

- Kanamisin

- Amikasin

- Kuinolon

Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat.

Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :

o Kapreomisin

o Sikloserino

o PAS (dulu tersedia)

o Derivat rifampisin dan INH

o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Page 11: Responsi Pulmonologi

Kemasan

- Obat tunggal, obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,

rifampisin, pirazinamid dan etambutol.

- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC), kombinasi

dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis

yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih

termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.Pada kasus yang mendapat

obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus

dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu

menanganinya.

2.10 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus memiliki gejala klasik dan gejala yang menyertai yaitu:

polyuria, polidipsi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

penyebabnya, lemah badan, kesemutan serta mata kabur.

Diabetes Mellitus dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu:

1. Jika gejala klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu

>200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa >125 mg/dl dengan adanya gejala

klasik

3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Tes toleransi glukosa oral)

≥200 mg/dl

TTGO merupakan pemeriksaan yang sensitif dan spesifik bila dibandingkan

dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa. Namun pemeriksaan ini jarang

dilakukan dalam praktek karena memerlukan persiapan khusus.

2.11 Pengobatan Tuberculosis dengan Komorbid Diabetes Mellitus

Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol

Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan

dianggap belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu

konsul ke ahli paru)

Gula darah harus dikontrol

Page 12: Responsi Pulmonologi

Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping

etambutol pada mata; sedangkan pasien DM

2.12 Pneumonia

2.12.1 Definisi Penumonia

Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang

disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan

peradangan paru yang disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan kimia,

radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.

2.12.2 Klasifikasi Pneumonia

1. Berdasarkan klinis dan epideologis :

a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)

b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia /

nosocomial pneumonia)

c. Pneumonia aspirasi

d. Pneumonia pada penderita Immunocompromisedpembagian

ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.

2. Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia.

Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang

yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,

Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan

Chlamydia

c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder.

Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah

(immunocompromised)

3. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang

pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu

lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh

obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau

proses keganasan

Page 13: Responsi Pulmonologi

b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat

pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun

virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan

dengan obstruksi bronkus

c. Pneumonia interstisial

2.12.3 Pengobatan Penumonia

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian

antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data

mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan

yaitu :

1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab

pneumonia.

3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.

maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.

Page 14: Responsi Pulmonologi

BAB III

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn.G

Umur : 47 th

Jenis kelamin : Pria

Status : Kawin

Alamat : Ds. Kepulungan RT 5/RW 3, Gempol, Pasuruan

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SMU

Pekerjaan : Swasta (Makelar di

Tanggal MRS : 31 Juli 2013

2.2 Anamnesa

Keluhan Utama: Sesak Nafas

Pasien mengeluh sesak nafas sejak 6 bulan yang lalu dan memberat

sejak 1 minggu terakhir. Sesak dirasakan apabila pasien berjalan jauh dan

beraktivitas. Pasien sering terbangun malam hari karena sesak sehingga

pasien biasa tidur dengan 2 bantal.

Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 8 bulan yang lalu. Batuk memberat

dalam 1 minggu terakhir. Pasien batuk berdahak. Dahak berwarna hijau.

Tidak ada riwayat batuk darah.

Pasien mengeluh badan sering sumer-sumer sejak 1 bulan tetapi pasien

tidak mengukur suhu tubuhnya. Pasien mengeluh berat badan menurun

dalam 2 bulan terakhir kurang lebih 13 kg. Pasien tidak mengeluh mual dan

muntah.

Riwayat Penyakit Dahulu: hipertensi (-); DM (+) tidak terkontrol,

terdiagnosa sejak 1 tahun yang lalu dengan gula darah puasa 270an dan

gula darah setelah makan (?) ; TB (+) terdiagnosa sejak 6 bulan yang lalu.

Riwayat Pengobatan: 6 bulan yang lalu pasien periksa ke RS Mitra

Keluarga, Waru karena batuk. Kemudian pasien diperiksa dahak dan hasil

Page 15: Responsi Pulmonologi

positif TB. Pasien diterapi OAT selama 1,5 bulan tapi pasien berhenti karena

merasa keluhannya membaik.

Riwayat Merokok: (-)

Riwayat Penyakit Keluarga: DM (+) ibu pasien, Hipertensi (-), TB (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik

KU: tampak sakit berat

GCS: 456

TD: 130/70

N: 120x/m

RR: 32x/m

Tax:37,7oC

-Kepala dan Leher

Anemis (-), icteric (-), JVP R+1 cmH2O (45o), pembesaran KGB (-)

-Thorax

Cor/ ictus invisible, palpable at ICS V MCL sinistra

RHM ~ SL dextra LHM ~ ictus

S1S2 single, murmur (-), gallop (-)

Pulmo/ I:Simetric, st d=s, dy d=s

Palpasi: Stem Fremitus Perkusi :

N N s s

N N s s

N N s s

Auskultasi :

v v Wh - - Rh + +

v v - - + +

v v - - + -

-Abdomen: flat, soefl, liver span 8 cm, traube space tympani

-Ekstremities: edema (-)

Page 16: Responsi Pulmonologi

2.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium tgl 31-08-2013

Lab Value Lab Value

Leukocyte 7.130 3500-10000/µL

Hemoglobin 11,10 11.0-16.5g/dl

MCV 74,10 80-97H um3 Bil Total 0.77 < 1,0

MCH 24,40 26.5-33.5H pg Bil Direk 0.39 < 0,25

Hematokrit 33,7 38 – 42 % Bil Indirek 0.38 < 0,75

Trombocyte 204.00

0

150000-390000/

µL

RBS 230 (<200)mg/dL

Ureum 66,1 10-50mg/dL

Creatinine 1,2 0.7-1.5mg/dL SGOT 67 11-41U/L

Albumine 3.03 3,5-5,5 SGPT 34 10-41U/L

Blood Gas Analysis tgl 31-8-2013

pH : 7.54 (N: 7.35-7.45)pCO2 : 27,6 mmHg (N: 35-45)pO2 : 60,2 mmHg (N: 80-100)HCO3 : 23,6 mmol/L (N: 21-28)O2 Sat Arterial : 93,8 % (N > 95)BE : 0.8 mmol/L Catatan: hasil BGA PO2 dan saturasi O2 rendah kemungkinan sampel darah ven, bila hasil tidak sesuai klinis, mohon kirim ulang sampel.

ECG tgl 31-08-2013

Page 17: Responsi Pulmonologi

Sinus rhythm, Heart rate 139 bpm

PR interval : 0.12”

QRS complex : 0.08”

RR interval : 0.44”

Frontal Axis : normal

Horisontal Axis : counter clock wise rotation

Conclusion : sinus rhythm HR 139 bpm

Chest X-ray tgl 31-08-2012 di IGD

Page 18: Responsi Pulmonologi

1. Position: AP setengah duduk

2. Soft tissue: normal

3. Bone: Costae D/S normal, clavicula D/S normal ICS D/S normal

4. Trachea: tertarik ke kanan

5. Hillus: D/S tertutup fibroinfiltrat

6. Cor, site: normal, size :sulit dievaluasi, tertutup fibroinfiltrat

7. Diafragma

D : tertutup fibroinfiltrat

S : domeshape

8. Costrophrenicus angle: dextra:tertutup fibroinfiltrat, sinistra:sudut tajam

9. Pulmo

D: pada upper area terdapat giant cavity dgn diameter 4 cm, pada lower area

terdapat infiltrate tebal, pada seluruh lapang paru dextra terdapat fibroinfiltrat.

S: pada seluruh lapang paru sinistra terdapat fibroinfiltrat, multiple cavitas,

dan air bronchogram

Kesimpulan: TB paru far advanced lesion dengan giant cavity dan Pneumonia

CAP

Page 19: Responsi Pulmonologi

2.5 Problem Oriented Medical Record

Cue and Clue Problem List Initial Dx Planning

Dx

Planning

Tx

Planning

Mo

Pria/47 tahun/R.23iAx:-sesak nafas-batuk dahak berwarna hijau-badan sumer-sumer

PE:KU: tampak sakit beratGCS: 456TD: 130/70N: 120x/mRR: 32x/mTax:37,7oCRh + + + + + -

CXRPneumonia CAP

1. Acute Lung Infection

1.1 Pneumonia CAP

Kultur sputum, uji sensitivitas antibiotik

-O2 2-4 lpm nc-IVFD NS 0,9% 20 tpm-ceftriaxone 2x1 gr

Keluhan sesak TTV

Pria/47 tahun/R.23iAx:-sesak nafas-batuk sejak 8 bulan-badan sumer-sumer sejak 1 bulan yang lalu-penurunan berat badan-pernah terdiagnosa TB 6 bulan yang lalu dan minum OAT 1,5 bulan

PE:KU: tampak sakit beratGCS: 456TD: 130/70N: 120x/m

2. chronic lung infection

2.1 TB paru far advanced lession

Sputum SPS, kultur sputum media LJ

-O2 2-4 lpm nc-IVFD NS 0,9% 20 tpm-tunggu hasil sputum SPS, rencana mulai terapi OAT kategori 2

Subj., TTV

Page 20: Responsi Pulmonologi

RR: 32x/mTax:37,7oCRh + + + + + -

CXRTB paru far advanced lesion dengan giant cavityPria/47 tahun/ R.23iAx:Riwayat DM sejak 1 tahun yang lalu dan tidak minum obatLab:GDS 230

3.DM type 2 poorly controlled normoweight

Gula darah puasa dan gula darah 2 jam PP

-insulatard 0-10 iu sc

Subj, TTV, GDS / hari

Pria/47 tahun/R.23iAlbumin 3.03

4.Hipoalbumin 4.1 dt hipercatabolic state4.2 dt low intake

Diet TKTP 2100 kcal + ekstra kutuk

Subj, TTV, Albumin / hari

Page 21: Responsi Pulmonologi

2.6 Follow Up

Tgl Subjective Objective Assesment Planning

1/8/2013 Pasien masih batuk berdahak

KU: tampak sakit sedangGCS: 456TD: 130/80N: 132xRR: 28x-K/L anemis (-) icteric (-)JVP R+1 cmH2O-Thoraxc/ ictus invisible palpable at ICS V MCL SRHM=SL DLHM=ictusS1S2 single p/ inspeksistatis, dynamis D=Sperkusi s s s s s spalpasiSF D=S

auskultasi v v v v v v Rh + + Wh - - + + - - + - - -Abdomen:Flat, soefl, BU + normal, LS 8 cm, traube space tympaniExtremitas:Akral hangat, edema (+)Lab:GDS 241GD 1/ GD 2 = 194/201UL: Protein 1+Na/K/Cl = 122/4,74/101

1.TB paru far advance lesion 2.pneumonia CAP3.DM type II uncontrolled4. hypoalbumin

PDx: -PTx: O2 4 lpm ncIVFD NaCl 0.9% 20 tpm-diet DM 1500 kcal/dayProt 1,2-1,5 gr/kgBB/hari-insulatard 0-0-10 iu sc-inj ceftriaxone 2x1 gr IV-inj. gentamycin 1x60mg-po: ambroxol 3x30 mgParacetamol 3x500 mg

PMo:VS, Subj, tanda2 hipoglikemi/hiperglikemi

2/8/2013 KU: tampak sakit sedangGCS: 456TD: 130/80

1.TB paru far advance lesion 2.pneumonia

PDx: -PTx: O2 4 lpm ncIVFD NaCl

Page 22: Responsi Pulmonologi

N: 132xRR: 28x-K/L anemis (-) icteric (-)JVP R+1 cmH2O-Thoraxc/ ictus invisible palpable at ICS V MCL SRHM=SL DLHM=ictusS1S2 single p/ inspeksistatis, dynamis D=Sperkusi s s s s s spalpasiSF D=S

auskultasi v v v v v v Rh + + Wh - - + + - - + - - -Abdomen:Flat, soefl, BU + normal, LS 8 cm, traube space tympaniExtremitas:Akral hangat, edema (+)Lab: Hb/Leu/ Plt=10,9/6.200/164.000

CAP3.DM type II uncontrolled4. hypoalbumin

0.9% 20 tpm-diet DM 1500 kcal/dayProt 1,2-1,5 gr/kgBB/hari-insulatard 0-0-10 iu sc-inj ceftriaxone 2x1 gr IV-inj. gentamycin 1x60mg-po: ambroxol 3x30 mgParacetamol 3x500 mg

PMo:VS, Subj, tanda2 hipoglikemi/

hiperglikemi

3/8/2013 KU: tampak sakit sedangGCS: 456TD: 130/80N: 132xRR: 28x-K/L anemis (-) icteric (-)JVP R+1 cmH2O-Thoraxc/ ictus invisible palpable at ICS V MCL SRHM=SL DLHM=ictusS1S2 single p/ inspeksistatis, dynamis D=S

1.TB paru far advance lesion 2.pneumonia CAP3.DM type II uncontrolled4. hypoalbumin

PDx: -PTx: O2 4 lpm ncIVFD NaCl 0.9% 20 tpm-diet DM 1500 kcal/dayProt 1,2-1,5 gr/kgBB/hari-insulatard 0-0-10 iu sc-inj ceftriaxone 2x1 gr IV-inj. levofloxacin 1x750mg-po: ambroxol 3x30 mgParacetamol 3x500 mg

PMo:VS, Subj, tanda2 hipoglikemi/

Page 23: Responsi Pulmonologi

perkusi s s s s s spalpasiSF D=S

auskultasi v v v v v v Rh + + Wh - - + + - - + - - -Abdomen:Flat, soefl, BU + normal, LS 8 cm, traube space tympaniExtremitas:Akral hangat, edema (+)Lab:Ph = 7,33PCO2 = 36,2PO2 = 36,8HCO3 = 19,3BE = -6.8Sat O2 = 66,7%

hiperglikemi

4/8/2013 KU: tampak sakit sedangGCS: 456TD: 130/80N: 132xRR: 28x-K/L anemis (-) icteric (-)JVP R+1 cmH2O-Thoraxc/ ictus invisible palpable at ICS V MCL SRHM=SL DLHM=ictusS1S2 single p/ inspeksistatis, dynamis D=Sperkusi s s s s s spalpasiSF D=S

auskultasi v v v v v v Rh + + Wh - -

1.TB paru far advance lesion start OAT kategori II2.pneumonia CAP3.DM type II uncontrolled4. hypoalbumin

PDx: -PTx: O2 4 lpm ncIVFD NaCl 0.9% 20 tpm-diet DM 1500 kcal/dayProt 1,2-1,5 gr/kgBB/hari-insulatard 0-0-10 iu sc-inj ceftriaxone 2x1 gr IV-inj. gentamycin 1x60mg-po: ambroxol 3x30 mgParacetamol 3x500 mg

PMo:VS, Subj, tanda2 hipoglikemi/hiperglikemi

Page 24: Responsi Pulmonologi

+ + - - + - - -Abdomen:Flat, soefl, BU + normal, LS 8 cm, traube space tympaniExtremitas:Akral hangat, edema (+)Lab:Sputum BTASewaktu: 3+Pagi: 2+Sewaktu: 3+Kultur sputum yeast like fungiSaran lab mikro: dapat dipertimbangkan pemberian antifungal sistemik

5/8/2013 KU: tampak sakit sedangGCS: 456TD: 130/80N: 132xRR: 28x-K/L anemis (-) icteric (-)JVP R+1 cmH2O-Thoraxc/ ictus invisible palpable at ICS V MCL SRHM=SL DLHM=ictusS1S2 single p/ inspeksistatis, dynamis D=Sperkusi s s s s s spalpasiSF D=S

auskultasi v v v v v v Rh + + Wh - - + + - - + - - -Abdomen:Flat, soefl, BU + normal, LS 8 cm, traube space tympani

1.TB paru far advance lesion start OAT kategori II2.pneumonia CAP3.DM type II controlled4. hypoalbumin

PDx: -PTx: O2 4 lpm ncIVFD NaCl 0.9% 20 tpm-diet DM 1500 kcal/dayProt 1,2-1,5 gr/kgBB/hari-insulatard 0-0-10 iu sc-inj ceftriaxone 2x1 gr IV-inj. Levofloxacin 1x750 mg-inj. Streptomycin 1x1 gram-po: ambroxol 3x30 mgParacetamol 3x500 mgOmeprazole 2x20 mgB6 1x1OATR/H/Z/E/S450/300/1250/750/1000

PMo:VS, Subj, tanda2 hipoglikemi/hiperglikemi

Page 25: Responsi Pulmonologi

Extremitas:Akral hangat, edema (+)Lab:GD 1/ GD 2 = 91/145Na/K/Cl = 130/4,28/100

Page 26: Responsi Pulmonologi

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada anamnesa pasien didapatkan bahwa pasien mengalami sesak

nafas, batuk selama 8 bulan, badan sering sumer-sumer sejak 1 bulan yang lalu,

dan penururan berat badan dalam 2 bulan ini sebanyak 13 kg. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan RR 32x/menit dan terdengar rhonki pada seluruh

lapang paru kanan dan apeks serta middle pada paru sinistra. Dari hasil tersebut

dapat dikatakan bahwa pasien mengalami infeksi paru kronis dengan 2 gejala

respiratorik ( batuk dan sesak nafas) dan 2 gejala sistemik (demam dan

penurunan berat badan). Ditambah lagi dengan adanya riwayat minum OAT

selama 1,5 bulan dan hasil CXR dengan cavitas, dan fibroinfiltrat semakin

mendukung bahwa infeksi kronis pasien tersebut disebabkan oleh TB paru.

Pasien ini sudah mendapatkan terapi TB untuk 6 bulan pada tapi pasien

hanya mengonsumsi selama 1,5 bulan saja. Berdasarkan pembagian kategori

obat pasien ini termasuk pada pasien putus obat. Regimen obat yang diberikan

adalah RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / 5

RHE. (PDPI, 2006). Pasien ini termasuk dalam kategori suspect TB MDR.

Berdasarkan teori, seseorang dikatakan suspect TB MDR jika pasien itu gagal

kategori 1, BTA (+) setelah sisipan kategori 1, gagal kategori 2, BTA (+) setelah

sisipanl kategori 2, terapi non DOTS, drop out, tinggal dekat dengan pasien TB

MDR yang telah dikonfirmasi, TB HIV, dan kasus relaps. Pasien ini termasuk

pada kasus drop out terapi, jadi ada kemungkinan pasien ini tergolong pada TB

MDR. Namun, untuk menegakkan diagnosis lebih lanjut perlu dilakukan tes

resistensi obat rifampicin dan isoniazid. (PDPI, 2011).

Pengawas Minum Obat (PMO) dalam kasus cukup diperlukan untuk

membantu mengwasi ketaatan minum obat pada kasus TB. KIE tentang

keteraturan meminum obat dan efek samping yang terjadi juga perlu dilakukan

agar tidak terjadi kasus putus obat pada pasien ini.

Pada anamnesa selanjutnya didapatkan bahwa pasien pernah

terdiagnosa diabetes mellitus sejak 1 tahun yang lalu. Namun pasien tidak

pernah kontrol ke dokter dan minum obat. Dari keterangan pasien tersebut maka

Page 27: Responsi Pulmonologi

pada pasien dilakukan pemeriksaan gula darah acak dan didapatkan nilai 230

yang berarti adanya peningkatan.

Berdasarkan PERKENI 2011, kriteria diagnosis DM adalah munculnya

gejala klasik DM (polidipsi, poliuri, penurunan berat badan) + gula darah acak

>200 mg/ atau gejala klasik DM + gula darah puasa > 126 mg/dl atau gula darah

2 jam TTGO > 200 mg/dl. Pada pasien ini didapatkan riwayat terdiagnosa DM

dan gula darah acak yang >200. Kemudian, untuk menujang diagnosis dilakukan

pemeriksaan gula darah puasa yang hasilnya menunjukkan 194 mg/dl dan gula

darah 2 jam post prandial 201 mg/dl. Hal tersebut telah memenuhi kriteria bahwa

pasien ini menderita Diabetes Mellitus tipe 2.

Pengobatan pasien TB dengan DM pada dasarnya tidak jauh berbeda bila

dibandingkan dengan TB non DM. Berdasarkan panduan diagnosis dan terapi

tuberculosis PDPI 2011, prinsip penatalaksanaan terapi TB dengan DM adalah

dengan mengontrol kadar gula darah karena gula darah yang tidak terkontrol

dapat menyebabkan pH lambung meningkat. Hal tersebut dapat menurunkan

absorbsi rifampisin pada pasien DM dengan gula darah tidak terkontrol. Pilihan

obat anti diabetes yang diperlukan adalah insulin karena beberapa obat anti

diabetes oral dapat berinteraksi dengan OAT yag dapat menurunkan absorbsi

obat dalam tubuh contohnya sulfonylurea dan thiazonlidindion. Pada pasien ini

diberikan insulatard dengan dosis 0-10 iu sc, yang berarti sudah sesuai dengan

teori penatalaksanaan TB dengan DM.

Pada pasien ini juga didapatkan pneumonia CAP yang berdasarkan

anamnesa pasien mengalami batuk dan demam serta ditunjang dari

pemeriksaan fisik didapatkan rhonki pada hampir seluruh area paru dan CXR

didapatkan air bronchogram pada parenkim paru. Hal tersebut telah mendukung

diagnosa pneumonia.

Page 28: Responsi Pulmonologi

BAB V

KESIMPULAN

1. Pada pasien ini didapatkan diagnose TB paru far advance lesion

berdasarkan anamnesa ditemukan 2 gejala respiratorik dan 2 gejala sistemik

serta riwayat terdiagnosa TB, pemeriksaan fisik didapatkan rhonki pada

hamper seluruh lapang paru dan foto CXR yang terdapat cavitas dan

fibroinfiltrat. Ditunjang dengan pemeriksaan sputum SPS yang positif.

2. Pasien ini juga mengalami DM tipe 2 yang merupakan komorbid TB

berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah

2 jam PP. Pasien juga diberikan terapi insulin untuk mencegah terjadinya

interaksi OAT bila diberikan obat anti diabetes oral.