Responsi Pulmonologi
-
Upload
putri-kartika -
Category
Documents
-
view
51 -
download
6
description
Transcript of Responsi Pulmonologi
RESPONSI PULMONOLOGI
PASIEN TUBERKULOSIS DENGAN KOMORBID DIABETES MELLITUS TYPE 2
Oleh:
Oktavinayu Sari Latif (0910711015)
Inaas Azmi Haidar (0810713017)
Ahnia Novita (0910714023)
Putri Kartika Sari (0910714048)
Pembimbing:
dr. Teguh Rahayu Sartono, SpP (K)
LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Angka prevelensi DM akan meningkat menjadi 199.541.000 di Asia pada
tahun 2030. Indonesia merupakan negara yang kedua tertinggi yang mempunyai
angka kasus DM tipe II setelah India di Asia. Angka kejadian DM tipe II di
Indonesia pada tahun 2030 akan meningkat menjadi 21.257.000 (WHO 2010).
Menurut WHO, penyakit tuberkulosis suatu penyakit global emergency. TB
paru adalah suatu penyakit yang juga mempunyai angka kematian yang tinggi
secara global. Prevelensi TB pada tahun 2007 di Indonesia adalah sebanyak
565,614(WHO, 2010). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan
estimasi sebanyak 20.7 milion dengan DM dan sebanyak 900,000 insidensi
kasus TB paru orang dewasa (Stevenson, R. dan Forouhi, G. et al,2007).
Dari tahun 1997 hingga 2003, semua kasus penderita DM yang juga
menderita TB dan kasus TB sahaja di Esrefpasa Tuberculosis Dispensary
dianalisa secara retrospektif. Sejumlah 78 (7,3%) kasus TB pada penderita DM
dijumpai dari 1.063 kasus TB. Pembentukan kavitas dan lokalisasi atipikal lebih
banyak dijumpai pada penderita DM (Tatar,et al, 2009).
Terdapat 203 pasien DM dengan TB (DM tipe 1, 7 [3.4%]; DM tipe 2, 196
[96.6%]). Kadar kekambuhan jangka panjang TB (2 tahun setelah keluar rumah
sakit) lebih tinggi pada penderita DM berbanding non-DM (20% banding 5.3%)
(Zhang, Xiao, & Sugawara, 2009).
Selain itu, suatu penelitian data yang telah dilakukan selama 5 tahun di
rumah sakit pendidikan di Karachi,Pakistan terhadap penderita TB paru dengan
DM menunjukkan jumlah penderita TB dengan DM adalah sebanyak 173 dari
42.358 pasien yang datang berobat di rumah sakit ini. Prevelensi kejadian TB
paru pada penderita DM adalah 10 kali lebih besar daripada non diabetes dan
prevelensi ini meningkat dengan lama waktu riwayat DM. Penemuan kavitas
pada gambaran radiologis sebanyak 32% pada laki-laki dan 15% pada wanita
yang menderita TB paru dengan DM (Jabbar, Hussain,F., dan Khan,A., 2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tuberculosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex yang diidentifikasi dari spesimen klinik
(jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan kultur. Pada negara dengan
keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi M. Tuberculosis
maka kasus TB paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dahak
BTA positif. Atau seorang pasien yang setelah dilakukan pemeriksaan penunjang
untuk TB sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan
diobati dengan panduan dan lama pengobatan yang lengkap.
2.2 Etiologi Tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 –
0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 –
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada
dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan
bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan
tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan
asam–alkohol.
2.3 Patogenesis Tuberculosis
Paru merupakan port d’entrie lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer
merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal
saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut.
Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi
dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju
dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler
yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai
Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di
organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada
bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke
seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit
TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam
waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan
melalui cara iniakan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier
berasal dari gambaranlesi diseminata yang menyerupai butir
padi-padian/jewawut (millet seed). Secarapatologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secarahistologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar kesaluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk danberedar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapatdibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadisecara berulang.
2.4 Manifestasi Klinis Tuberculosis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1. Gejala respiratorik
- batuk > 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
- Demam.
- Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun.
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas
dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2.5 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1
& S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”
2.6 Pemeriksaan Radiologis
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
- Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
- Fibrotik
- Kalsifikasi
- Schwarte atau penebalan pleura
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
- Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak
di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta
tidak dijumpai kaviti
- Lesi luas, Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
2.7 Pemeriksaan Mikroskopis
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening).
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
- 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif
- 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian
- bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif
- bila 3 kali negatif® BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO).Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) :
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan
cara :
- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
- Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than
tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara,
baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji
niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen
yang timbul.
2.8 Klasifikasi Tuberculosis Berdasarkan Riwayat Pengobatannya
1) Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (empat minggu).
2) Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA
positif (asupan atau kultur).
3) Kasus setelah Putus Berobat (Defaul)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat dua bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4) Kasus setelah Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatan.
6) Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok
ini juga termasuk kasus kronik, yaitu pasien yang hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah pengobatan ulangan.(2)
2.9 Pengobatan Tuberculosis
Obat yang dipakai:
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
- INH
- Rifampisin
- Pirazinamid
- Streptomisin
- Etambutol
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
- Kanamisin
- Amikasin
- Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat.
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino
o PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
- Obat tunggal, obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol.
- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC), kombinasi
dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.Pada kasus yang mendapat
obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus
dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu
menanganinya.
2.10 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus memiliki gejala klasik dan gejala yang menyertai yaitu:
polyuria, polidipsi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya, lemah badan, kesemutan serta mata kabur.
Diabetes Mellitus dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu:
1. Jika gejala klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa >125 mg/dl dengan adanya gejala
klasik
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Tes toleransi glukosa oral)
≥200 mg/dl
TTGO merupakan pemeriksaan yang sensitif dan spesifik bila dibandingkan
dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa. Namun pemeriksaan ini jarang
dilakukan dalam praktek karena memerlukan persiapan khusus.
2.11 Pengobatan Tuberculosis dengan Komorbid Diabetes Mellitus
Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol
Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan
dianggap belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu
konsul ke ahli paru)
Gula darah harus dikontrol
Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping
etambutol pada mata; sedangkan pasien DM
2.12 Pneumonia
2.12.1 Definisi Penumonia
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan kimia,
radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
2.12.2 Klasifikasi Pneumonia
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia /
nosocomial pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromisedpembagian
ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia.
Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang
yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,
Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder.
Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang
pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu
lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh
obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau
proses keganasan
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat
pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun
virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan
dengan obstruksi bronkus
c. Pneumonia interstisial
2.12.3 Pengobatan Penumonia
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan
yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.
BAB III
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn.G
Umur : 47 th
Jenis kelamin : Pria
Status : Kawin
Alamat : Ds. Kepulungan RT 5/RW 3, Gempol, Pasuruan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMU
Pekerjaan : Swasta (Makelar di
Tanggal MRS : 31 Juli 2013
2.2 Anamnesa
Keluhan Utama: Sesak Nafas
Pasien mengeluh sesak nafas sejak 6 bulan yang lalu dan memberat
sejak 1 minggu terakhir. Sesak dirasakan apabila pasien berjalan jauh dan
beraktivitas. Pasien sering terbangun malam hari karena sesak sehingga
pasien biasa tidur dengan 2 bantal.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 8 bulan yang lalu. Batuk memberat
dalam 1 minggu terakhir. Pasien batuk berdahak. Dahak berwarna hijau.
Tidak ada riwayat batuk darah.
Pasien mengeluh badan sering sumer-sumer sejak 1 bulan tetapi pasien
tidak mengukur suhu tubuhnya. Pasien mengeluh berat badan menurun
dalam 2 bulan terakhir kurang lebih 13 kg. Pasien tidak mengeluh mual dan
muntah.
Riwayat Penyakit Dahulu: hipertensi (-); DM (+) tidak terkontrol,
terdiagnosa sejak 1 tahun yang lalu dengan gula darah puasa 270an dan
gula darah setelah makan (?) ; TB (+) terdiagnosa sejak 6 bulan yang lalu.
Riwayat Pengobatan: 6 bulan yang lalu pasien periksa ke RS Mitra
Keluarga, Waru karena batuk. Kemudian pasien diperiksa dahak dan hasil
positif TB. Pasien diterapi OAT selama 1,5 bulan tapi pasien berhenti karena
merasa keluhannya membaik.
Riwayat Merokok: (-)
Riwayat Penyakit Keluarga: DM (+) ibu pasien, Hipertensi (-), TB (-)
2.3 Pemeriksaan Fisik
KU: tampak sakit berat
GCS: 456
TD: 130/70
N: 120x/m
RR: 32x/m
Tax:37,7oC
-Kepala dan Leher
Anemis (-), icteric (-), JVP R+1 cmH2O (45o), pembesaran KGB (-)
-Thorax
Cor/ ictus invisible, palpable at ICS V MCL sinistra
RHM ~ SL dextra LHM ~ ictus
S1S2 single, murmur (-), gallop (-)
Pulmo/ I:Simetric, st d=s, dy d=s
Palpasi: Stem Fremitus Perkusi :
N N s s
N N s s
N N s s
Auskultasi :
v v Wh - - Rh + +
v v - - + +
v v - - + -
-Abdomen: flat, soefl, liver span 8 cm, traube space tympani
-Ekstremities: edema (-)
2.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium tgl 31-08-2013
Lab Value Lab Value
Leukocyte 7.130 3500-10000/µL
Hemoglobin 11,10 11.0-16.5g/dl
MCV 74,10 80-97H um3 Bil Total 0.77 < 1,0
MCH 24,40 26.5-33.5H pg Bil Direk 0.39 < 0,25
Hematokrit 33,7 38 – 42 % Bil Indirek 0.38 < 0,75
Trombocyte 204.00
0
150000-390000/
µL
RBS 230 (<200)mg/dL
Ureum 66,1 10-50mg/dL
Creatinine 1,2 0.7-1.5mg/dL SGOT 67 11-41U/L
Albumine 3.03 3,5-5,5 SGPT 34 10-41U/L
Blood Gas Analysis tgl 31-8-2013
pH : 7.54 (N: 7.35-7.45)pCO2 : 27,6 mmHg (N: 35-45)pO2 : 60,2 mmHg (N: 80-100)HCO3 : 23,6 mmol/L (N: 21-28)O2 Sat Arterial : 93,8 % (N > 95)BE : 0.8 mmol/L Catatan: hasil BGA PO2 dan saturasi O2 rendah kemungkinan sampel darah ven, bila hasil tidak sesuai klinis, mohon kirim ulang sampel.
ECG tgl 31-08-2013
Sinus rhythm, Heart rate 139 bpm
PR interval : 0.12”
QRS complex : 0.08”
RR interval : 0.44”
Frontal Axis : normal
Horisontal Axis : counter clock wise rotation
Conclusion : sinus rhythm HR 139 bpm
Chest X-ray tgl 31-08-2012 di IGD
1. Position: AP setengah duduk
2. Soft tissue: normal
3. Bone: Costae D/S normal, clavicula D/S normal ICS D/S normal
4. Trachea: tertarik ke kanan
5. Hillus: D/S tertutup fibroinfiltrat
6. Cor, site: normal, size :sulit dievaluasi, tertutup fibroinfiltrat
7. Diafragma
D : tertutup fibroinfiltrat
S : domeshape
8. Costrophrenicus angle: dextra:tertutup fibroinfiltrat, sinistra:sudut tajam
9. Pulmo
D: pada upper area terdapat giant cavity dgn diameter 4 cm, pada lower area
terdapat infiltrate tebal, pada seluruh lapang paru dextra terdapat fibroinfiltrat.
S: pada seluruh lapang paru sinistra terdapat fibroinfiltrat, multiple cavitas,
dan air bronchogram
Kesimpulan: TB paru far advanced lesion dengan giant cavity dan Pneumonia
CAP
2.5 Problem Oriented Medical Record
Cue and Clue Problem List Initial Dx Planning
Dx
Planning
Tx
Planning
Mo
Pria/47 tahun/R.23iAx:-sesak nafas-batuk dahak berwarna hijau-badan sumer-sumer
PE:KU: tampak sakit beratGCS: 456TD: 130/70N: 120x/mRR: 32x/mTax:37,7oCRh + + + + + -
CXRPneumonia CAP
1. Acute Lung Infection
1.1 Pneumonia CAP
Kultur sputum, uji sensitivitas antibiotik
-O2 2-4 lpm nc-IVFD NS 0,9% 20 tpm-ceftriaxone 2x1 gr
Keluhan sesak TTV
Pria/47 tahun/R.23iAx:-sesak nafas-batuk sejak 8 bulan-badan sumer-sumer sejak 1 bulan yang lalu-penurunan berat badan-pernah terdiagnosa TB 6 bulan yang lalu dan minum OAT 1,5 bulan
PE:KU: tampak sakit beratGCS: 456TD: 130/70N: 120x/m
2. chronic lung infection
2.1 TB paru far advanced lession
Sputum SPS, kultur sputum media LJ
-O2 2-4 lpm nc-IVFD NS 0,9% 20 tpm-tunggu hasil sputum SPS, rencana mulai terapi OAT kategori 2
Subj., TTV
RR: 32x/mTax:37,7oCRh + + + + + -
CXRTB paru far advanced lesion dengan giant cavityPria/47 tahun/ R.23iAx:Riwayat DM sejak 1 tahun yang lalu dan tidak minum obatLab:GDS 230
3.DM type 2 poorly controlled normoweight
Gula darah puasa dan gula darah 2 jam PP
-insulatard 0-10 iu sc
Subj, TTV, GDS / hari
Pria/47 tahun/R.23iAlbumin 3.03
4.Hipoalbumin 4.1 dt hipercatabolic state4.2 dt low intake
Diet TKTP 2100 kcal + ekstra kutuk
Subj, TTV, Albumin / hari
2.6 Follow Up
Tgl Subjective Objective Assesment Planning
1/8/2013 Pasien masih batuk berdahak
KU: tampak sakit sedangGCS: 456TD: 130/80N: 132xRR: 28x-K/L anemis (-) icteric (-)JVP R+1 cmH2O-Thoraxc/ ictus invisible palpable at ICS V MCL SRHM=SL DLHM=ictusS1S2 single p/ inspeksistatis, dynamis D=Sperkusi s s s s s spalpasiSF D=S
auskultasi v v v v v v Rh + + Wh - - + + - - + - - -Abdomen:Flat, soefl, BU + normal, LS 8 cm, traube space tympaniExtremitas:Akral hangat, edema (+)Lab:GDS 241GD 1/ GD 2 = 194/201UL: Protein 1+Na/K/Cl = 122/4,74/101
1.TB paru far advance lesion 2.pneumonia CAP3.DM type II uncontrolled4. hypoalbumin
PDx: -PTx: O2 4 lpm ncIVFD NaCl 0.9% 20 tpm-diet DM 1500 kcal/dayProt 1,2-1,5 gr/kgBB/hari-insulatard 0-0-10 iu sc-inj ceftriaxone 2x1 gr IV-inj. gentamycin 1x60mg-po: ambroxol 3x30 mgParacetamol 3x500 mg
PMo:VS, Subj, tanda2 hipoglikemi/hiperglikemi
2/8/2013 KU: tampak sakit sedangGCS: 456TD: 130/80
1.TB paru far advance lesion 2.pneumonia
PDx: -PTx: O2 4 lpm ncIVFD NaCl
N: 132xRR: 28x-K/L anemis (-) icteric (-)JVP R+1 cmH2O-Thoraxc/ ictus invisible palpable at ICS V MCL SRHM=SL DLHM=ictusS1S2 single p/ inspeksistatis, dynamis D=Sperkusi s s s s s spalpasiSF D=S
auskultasi v v v v v v Rh + + Wh - - + + - - + - - -Abdomen:Flat, soefl, BU + normal, LS 8 cm, traube space tympaniExtremitas:Akral hangat, edema (+)Lab: Hb/Leu/ Plt=10,9/6.200/164.000
CAP3.DM type II uncontrolled4. hypoalbumin
0.9% 20 tpm-diet DM 1500 kcal/dayProt 1,2-1,5 gr/kgBB/hari-insulatard 0-0-10 iu sc-inj ceftriaxone 2x1 gr IV-inj. gentamycin 1x60mg-po: ambroxol 3x30 mgParacetamol 3x500 mg
PMo:VS, Subj, tanda2 hipoglikemi/
hiperglikemi
3/8/2013 KU: tampak sakit sedangGCS: 456TD: 130/80N: 132xRR: 28x-K/L anemis (-) icteric (-)JVP R+1 cmH2O-Thoraxc/ ictus invisible palpable at ICS V MCL SRHM=SL DLHM=ictusS1S2 single p/ inspeksistatis, dynamis D=S
1.TB paru far advance lesion 2.pneumonia CAP3.DM type II uncontrolled4. hypoalbumin
PDx: -PTx: O2 4 lpm ncIVFD NaCl 0.9% 20 tpm-diet DM 1500 kcal/dayProt 1,2-1,5 gr/kgBB/hari-insulatard 0-0-10 iu sc-inj ceftriaxone 2x1 gr IV-inj. levofloxacin 1x750mg-po: ambroxol 3x30 mgParacetamol 3x500 mg
PMo:VS, Subj, tanda2 hipoglikemi/
perkusi s s s s s spalpasiSF D=S
auskultasi v v v v v v Rh + + Wh - - + + - - + - - -Abdomen:Flat, soefl, BU + normal, LS 8 cm, traube space tympaniExtremitas:Akral hangat, edema (+)Lab:Ph = 7,33PCO2 = 36,2PO2 = 36,8HCO3 = 19,3BE = -6.8Sat O2 = 66,7%
hiperglikemi
4/8/2013 KU: tampak sakit sedangGCS: 456TD: 130/80N: 132xRR: 28x-K/L anemis (-) icteric (-)JVP R+1 cmH2O-Thoraxc/ ictus invisible palpable at ICS V MCL SRHM=SL DLHM=ictusS1S2 single p/ inspeksistatis, dynamis D=Sperkusi s s s s s spalpasiSF D=S
auskultasi v v v v v v Rh + + Wh - -
1.TB paru far advance lesion start OAT kategori II2.pneumonia CAP3.DM type II uncontrolled4. hypoalbumin
PDx: -PTx: O2 4 lpm ncIVFD NaCl 0.9% 20 tpm-diet DM 1500 kcal/dayProt 1,2-1,5 gr/kgBB/hari-insulatard 0-0-10 iu sc-inj ceftriaxone 2x1 gr IV-inj. gentamycin 1x60mg-po: ambroxol 3x30 mgParacetamol 3x500 mg
PMo:VS, Subj, tanda2 hipoglikemi/hiperglikemi
+ + - - + - - -Abdomen:Flat, soefl, BU + normal, LS 8 cm, traube space tympaniExtremitas:Akral hangat, edema (+)Lab:Sputum BTASewaktu: 3+Pagi: 2+Sewaktu: 3+Kultur sputum yeast like fungiSaran lab mikro: dapat dipertimbangkan pemberian antifungal sistemik
5/8/2013 KU: tampak sakit sedangGCS: 456TD: 130/80N: 132xRR: 28x-K/L anemis (-) icteric (-)JVP R+1 cmH2O-Thoraxc/ ictus invisible palpable at ICS V MCL SRHM=SL DLHM=ictusS1S2 single p/ inspeksistatis, dynamis D=Sperkusi s s s s s spalpasiSF D=S
auskultasi v v v v v v Rh + + Wh - - + + - - + - - -Abdomen:Flat, soefl, BU + normal, LS 8 cm, traube space tympani
1.TB paru far advance lesion start OAT kategori II2.pneumonia CAP3.DM type II controlled4. hypoalbumin
PDx: -PTx: O2 4 lpm ncIVFD NaCl 0.9% 20 tpm-diet DM 1500 kcal/dayProt 1,2-1,5 gr/kgBB/hari-insulatard 0-0-10 iu sc-inj ceftriaxone 2x1 gr IV-inj. Levofloxacin 1x750 mg-inj. Streptomycin 1x1 gram-po: ambroxol 3x30 mgParacetamol 3x500 mgOmeprazole 2x20 mgB6 1x1OATR/H/Z/E/S450/300/1250/750/1000
PMo:VS, Subj, tanda2 hipoglikemi/hiperglikemi
Extremitas:Akral hangat, edema (+)Lab:GD 1/ GD 2 = 91/145Na/K/Cl = 130/4,28/100
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada anamnesa pasien didapatkan bahwa pasien mengalami sesak
nafas, batuk selama 8 bulan, badan sering sumer-sumer sejak 1 bulan yang lalu,
dan penururan berat badan dalam 2 bulan ini sebanyak 13 kg. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan RR 32x/menit dan terdengar rhonki pada seluruh
lapang paru kanan dan apeks serta middle pada paru sinistra. Dari hasil tersebut
dapat dikatakan bahwa pasien mengalami infeksi paru kronis dengan 2 gejala
respiratorik ( batuk dan sesak nafas) dan 2 gejala sistemik (demam dan
penurunan berat badan). Ditambah lagi dengan adanya riwayat minum OAT
selama 1,5 bulan dan hasil CXR dengan cavitas, dan fibroinfiltrat semakin
mendukung bahwa infeksi kronis pasien tersebut disebabkan oleh TB paru.
Pasien ini sudah mendapatkan terapi TB untuk 6 bulan pada tapi pasien
hanya mengonsumsi selama 1,5 bulan saja. Berdasarkan pembagian kategori
obat pasien ini termasuk pada pasien putus obat. Regimen obat yang diberikan
adalah RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / 5
RHE. (PDPI, 2006). Pasien ini termasuk dalam kategori suspect TB MDR.
Berdasarkan teori, seseorang dikatakan suspect TB MDR jika pasien itu gagal
kategori 1, BTA (+) setelah sisipan kategori 1, gagal kategori 2, BTA (+) setelah
sisipanl kategori 2, terapi non DOTS, drop out, tinggal dekat dengan pasien TB
MDR yang telah dikonfirmasi, TB HIV, dan kasus relaps. Pasien ini termasuk
pada kasus drop out terapi, jadi ada kemungkinan pasien ini tergolong pada TB
MDR. Namun, untuk menegakkan diagnosis lebih lanjut perlu dilakukan tes
resistensi obat rifampicin dan isoniazid. (PDPI, 2011).
Pengawas Minum Obat (PMO) dalam kasus cukup diperlukan untuk
membantu mengwasi ketaatan minum obat pada kasus TB. KIE tentang
keteraturan meminum obat dan efek samping yang terjadi juga perlu dilakukan
agar tidak terjadi kasus putus obat pada pasien ini.
Pada anamnesa selanjutnya didapatkan bahwa pasien pernah
terdiagnosa diabetes mellitus sejak 1 tahun yang lalu. Namun pasien tidak
pernah kontrol ke dokter dan minum obat. Dari keterangan pasien tersebut maka
pada pasien dilakukan pemeriksaan gula darah acak dan didapatkan nilai 230
yang berarti adanya peningkatan.
Berdasarkan PERKENI 2011, kriteria diagnosis DM adalah munculnya
gejala klasik DM (polidipsi, poliuri, penurunan berat badan) + gula darah acak
>200 mg/ atau gejala klasik DM + gula darah puasa > 126 mg/dl atau gula darah
2 jam TTGO > 200 mg/dl. Pada pasien ini didapatkan riwayat terdiagnosa DM
dan gula darah acak yang >200. Kemudian, untuk menujang diagnosis dilakukan
pemeriksaan gula darah puasa yang hasilnya menunjukkan 194 mg/dl dan gula
darah 2 jam post prandial 201 mg/dl. Hal tersebut telah memenuhi kriteria bahwa
pasien ini menderita Diabetes Mellitus tipe 2.
Pengobatan pasien TB dengan DM pada dasarnya tidak jauh berbeda bila
dibandingkan dengan TB non DM. Berdasarkan panduan diagnosis dan terapi
tuberculosis PDPI 2011, prinsip penatalaksanaan terapi TB dengan DM adalah
dengan mengontrol kadar gula darah karena gula darah yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan pH lambung meningkat. Hal tersebut dapat menurunkan
absorbsi rifampisin pada pasien DM dengan gula darah tidak terkontrol. Pilihan
obat anti diabetes yang diperlukan adalah insulin karena beberapa obat anti
diabetes oral dapat berinteraksi dengan OAT yag dapat menurunkan absorbsi
obat dalam tubuh contohnya sulfonylurea dan thiazonlidindion. Pada pasien ini
diberikan insulatard dengan dosis 0-10 iu sc, yang berarti sudah sesuai dengan
teori penatalaksanaan TB dengan DM.
Pada pasien ini juga didapatkan pneumonia CAP yang berdasarkan
anamnesa pasien mengalami batuk dan demam serta ditunjang dari
pemeriksaan fisik didapatkan rhonki pada hampir seluruh area paru dan CXR
didapatkan air bronchogram pada parenkim paru. Hal tersebut telah mendukung
diagnosa pneumonia.
BAB V
KESIMPULAN
1. Pada pasien ini didapatkan diagnose TB paru far advance lesion
berdasarkan anamnesa ditemukan 2 gejala respiratorik dan 2 gejala sistemik
serta riwayat terdiagnosa TB, pemeriksaan fisik didapatkan rhonki pada
hamper seluruh lapang paru dan foto CXR yang terdapat cavitas dan
fibroinfiltrat. Ditunjang dengan pemeriksaan sputum SPS yang positif.
2. Pasien ini juga mengalami DM tipe 2 yang merupakan komorbid TB
berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah
2 jam PP. Pasien juga diberikan terapi insulin untuk mencegah terjadinya
interaksi OAT bila diberikan obat anti diabetes oral.