referat

37
REFERAT EPISTAKSIS Pembimbing Dr. Satria, Sp.THT-KL Disusun Oleh : Meisya Shabrina 030.08.160 Zonavia Atlanta 030.08.268 Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok RSUD Kota Bekasi Periode 3 September – 6 Oktober 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

description

Epistaksis (referat)

Transcript of referat

REFERAT

EPISTAKSIS

Pembimbing

Dr. Satria, Sp.THT-KLDisusun Oleh :

Meisya Shabrina 030.08.160

Zonavia Atlanta 030.08.268Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok

RSUD Kota Bekasi

Periode 3 September 6 Oktober 2012Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

JakartaKata PengantarPuji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan referat kepaniteraan klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok RSUD Bekasi yang berjudul Epistaksis.

Adapun penyusunan referat ini untuk memenuhi tugas yang diberikan pada kepaniteraan klinik di RSUD Bekasi periode 3 September 2012- 6 Oktober 2012, dan juga untuk membantu kami, penyusun, untuk memahami lebih lanjut mengenai epistaksis.

Penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Satria, Sp. THT-KL dan dr. Sudjarwadi, Sp. THT-KL selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dengan sabar hingga akhirnya laporan kasus ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga saya sampaikan kepada orangtua dan teman- teman yang telah memberikan dukungan selama kami menjalan kepaniteraan klinik di RSUD Bekasi.

Penyusun menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini yang menyebabkan referat ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari berbagai pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.Bekasi, 19 September 2012

Lembar Pengesahan

Referat yang berjudul

Epistaksis

Telah diterima dan disetujui oleh

Pembimbing

Pada tanggal 19 September 2012

Sebagai salah satu syarat menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Telinga Hidung Tenggorok RSUD BekasiPembimbingDr. Satria, Sp.THT-KL

Daftar Isi

Lembar Pengesahan..i

Kata Pengantar.ii

Daftar Isi.iii

Bab I Pendahuluan..1

Bab II Tinjauan Pustaka.

I. Anatomi.

II. Histologi..

III. Definisi.

IV. Epidemiologi..

V. Etiologi

VI. Patofisiologi

VII. Diagnosis

VIII. Diagnosis Banding

IX. Penatalaksanaan

X. Prognosis

XI. Komplikasi

XII. Pencegahan

Bab III Kesimpulan.

Daftar Pustaka

BAB I

PendahuluanEpistaksis atau sering disebut juga mimisan yaitu, suatu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung akibat adanya kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh. Mimisan terjadi pada hidung karena hidung punya banyak pembuluh darah, terutama di balik lapisan tipis cupingnya. Epistaksis sendiri bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit, itu artinya epistaksis bisa terjadi karena bermacam sebab dari yang ringan sampai yang berat. Pada umumnya ini terjadi pada anak-anak karena pembuluh darahnya masih tipis dan sensitif.Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa bantuan medis. Akan tetapi, epistaksis atau perdarahan hidung seringkali dapat menjadi berat, berubah menjadi kasusgawat darurat dan memerlukan tindakan segera. BAB II

Tinjauan Pustaka

II. I. Anatomi

Hidung terbagi menjadi hidung luar dan kavum nasi. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian dari atas ke bawah :

1. Pangkal hidung (bridge)

2. Batang hidung (dorsum nasi)

3. Puncak hidung (hip)

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung (Nares Posterior)Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.Kerangka tulang terdiri dari :

1. Tulang hidung (os nasal)

2. Prosesus frontalis os maksila

3. Prosesus nasalis os frontal

Kerangka tulang rawan terdiri dari :

1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut kartilago ala mayor

3. Tepi anterior kartilago septum

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengah nya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan nares anterior dan lubang hidung belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai yang mempunyai banyak kelenjar sebasea, dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.

Bagian tulang penyusun septum adalah :

1. Lamina perpendikularis os etmoid

2. Vomer

3. Krista nasalis os maksila

4. Krista nasalis os palatina.Bagian tulang rawan penyusun septum adalah :

1. Kartilago septum (Lamina kuadrangularis)

2. Kolumela

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang. Sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferor, yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya rudimenter.

Konka inferior adalah tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin ethmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin ethmoid.

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus ethmoid anterior. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus ethmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.BATAS RONGGA HIDUNG

Batas inferior terdiri dari os maksila dan os palatum.Batas superior dibentuk oleh lamina kribiformis. Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os ethmoid. Tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius.

Batas posterior dibentuk oleh os sfenoid.

Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum ethmoid, hiatus semilunaris, bula ethmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, ethmoid anterior dan frontal.

PENDARAHAN HIDUNG

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. ethmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan ateri sfenopalatina yang keluar dari arteri foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, a.ethmoid anterior, a. labia superior dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles Area). Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bagian bawah memrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata diatas konka media dan inferior, serta bagian bawah septum dimana ia membentuk jaringan erektil. Drainae vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predeposisi untuk memudahkan penyebaran infeksi intrakranial.SISTEM LIMFATIK

Suplai limfatik hidung sangat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung vestibulum dan daerah prekonka.

Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidug ,menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang, yaitu saluran superior, media, dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan diatas tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.

PERSARAFAN HIDUNG

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus ( N.V-1)

Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit diatas ujung posterior konka media.

Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor peghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (1)II. II. Histologi

1. Mukosa Hidung

Secara histologi dan fungsional dibagi atas :

Mukosa pernapasan (mukosa respiratori)

Mukosa penghidu (mukosa olfaktorius)

Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung. Epitel organ pernapasan biasanya berupa epitel torak bersilia, bertingkat palsu (pseudo stratified columnae ephitelium), berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara, suhu, dan derajat kelembaban udara. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Lamina propria dan kelenjar mukosa tipis pada daerah dimana aliran udara lambat atau lemah. Jumlah kelenjar penghasil secret dan sel goblet, yaitu sumber darimucus, sebanding dengan ketebalan lamina propria.Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior,dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudo stratified columnar non ciliated ephitelium. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal, dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

2. Silia

Silia mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir didalam cavum nasi akan didorong kearah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan.

3. Area Olfaktorius

Epitel penghidu bertingkat torak terdiri dari tiga jenis sel:

1. Sel saraf bipolar olfaktoris

2. Sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya

3. Sejumlah sel basal yang kecil. Merupakan sel induk dari sel sustentakular

Sel-sel penghidu ini merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat yang mencapai permukaan tubuh.

;l4. Pembuluh Darah

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propia dan tersusun secara pararel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglandular dan subepitelial. Pembuluh eferen dari anyaman kapler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengaliskan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.

Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengambang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi saraf otonom. (2)II. III. Definisi

Epistaksis adalah perdarahan dari hidung atau keluarnya darah dari hidung yang terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). (1)Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Berdasarkan sumber perdarahannya, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.

2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat menimbulkan syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir dengan kematian. Pemberian infus dan transfusi darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan modalitas pengobatan yang terbaik. (1)II. IV. Epidemiologi

Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada orang dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua. Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia 50 tahun. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak- anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia lebih tua, terutama pada laki- laki berusia 50 tahun dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung dan penyakit hidung lebih rentan terhadap terjadinya epistaksis, karena mukosanya lebih kering dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi. (3)Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5 tahun, 56% umur 6-10 tahun dan 64% berumur 11- 15 tahun mengalami satu kali epistaksis. Sebagai tambahan, 56% orang dewasa dnegan perdarahan hidung berulang pernah mengalami kejadian serupa pada saat kecil. (3)II. V. Etiologi

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital. (1)Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bias terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.

Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.

Kelainan pembuluh darah (lokal)

Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit.Infeksi lokalEpistaksis bias terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis. Bias juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberculosis, lupus, sifilis, atau lepra.

Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering kali hebat dan dapat berakibat fatal.Kelainan darahKelainan darah penyebab epistaksis anatara lain leukemia, trombositopenia, bermacam-macam anemia serta hemofilia.Kelainan KongenitalKelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease), juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.

Infeksi sistemik

Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai epistaksis.

Perubahan udara dan tekanan atmosfir

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat industry yang menyebabkan keringnya mukosa hidung

Gangguan hormonal

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh perubahan hormonal.

Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan sistemik. (1)Etiologi local

1. Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.

2. Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan bercampur lendir atau ingus.

3. Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.

Etiologi lainnya yaitu

Iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa hidung;

Keadaan lingkungan yang sangat dingin

Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba

Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama

Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai Ingus berbau busuk.

Etiologi sistemik

1. Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis. Hipertensi yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun, perdarahan biasanya hebat berulang dan mempunyai prognosis yang kurang baik,

2. Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.

3. Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam tifoid dll.

Termasuk etiologi sistemik lain

A. Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada kehamilan, menarke dan menopause

B. kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau penyakit Rendj-Osler-Weber;

C. Peninggian tekanan vena seperti pada ernfisema, bronkitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung

D. pada pasien dengan pengobatan antikoagulansia.II. VI. Patofisiologi

Epistaksis berdasarkan sumber perdarahannya terbagi atas epistaksis anterior dan posterior, dimana hal ini penting untuk mencari sumber perdarahannya dan menentukan penatalaksanaan yang akan dilakukan.

Epistaksis Anterior

Sumber perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach di septum anterior atau arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan sering terjadi pada anak-anak, biasa terjadi akibat trauma ringan seperti mengorek hidung, udara yang terlalu kering, bersin terlalu kuat. Jumlah perdarahan sedikit, sering berulang, dan bisa berhenti spontan.

Epistaksis Posterior

Sumber perdarahan sebagian besar berasal dari arteri sfenopalatina atau arteri ethmoidalis posterior. Perdarahan sering terjadi pada dewasa dengan riwayat hipertensi, ateriosklerosis, atau kelainan kardiopulmoner atau pembuluh darah lainnya. Jumlah perdarahan lebih banyak dan sukar berhenti spontan.

II. VII. Diagnosis

Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan jika diperlukan bersamaan dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis. Setelah perdarahan berhenti, lakukan evaluasi untuk menentukan penyebab. (2)Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal yang penting adalah sebagai berikut:

1. Riwayat perdarahan sebelumnya

2. Lokasi perdarahan

3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?

4. Lama perdarahan dan frekuensinya

5. Kecenderungan perdarahan

6. Hipertensi

7. Diabetes mellitus

8. Penyakit hati

9. Penggunaan antikoagulan

10. Trauma hidung yang belum lama

11. Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon (2)

Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital, pemeriksaan kepala sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum pasien baik, tidak ada gangguan tanda vital, dan tidak ditemukannya tanda hipoperfusi. Sedangkan pada epistaksis posterior, pemeriksaan fisik sangat bergantung dengan jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien dapat menurun, dapat terjadi gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda syok seperti nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral dingin.

Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3) nyata dari pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior. (2)Epistaksis AnteriorEpistaksis Posterior

SumberPleksus Khiesselbach, arteri ethmoidalis anteriorArteri sfenopalatina, arteri ethmoidalis posterior

PenyebabTrauma, udara keringHipertensi, kelainan kardio pulmoner dan pembuluh darah

Jumlah darahSedikitBanyak

PerdarahanSering berhenti spontanJarang berhenti spontan

Keadaan pasienBaikBaik sampai gangguan tanda vital dan tanda hipoperfusi

Pemeriksaan yang dapat dianjurkan untuk menunjang tegaknya diagnosis epistaksis antara lain adalah:

a) Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

b) Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

c) Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI

Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.

e)Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya

f) Skrining terhadap koagulopati

Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.

g) Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis.

II. VII. Diagnosis Banding

Diagnosis banding epistaksis adalah semua etiologi dari epistaksis itu sendiri seperti trauma, tumor, kelainan darah seperti leukemia, trombositopenia, infeksi sistemik seperti demam berdarah, perubahan tekanan, atau gangguan hormonal. Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.

II. VIII. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. (1)Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap. Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior. (1)Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah masuk ke saluran napas bagian bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak. (1)Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian dipasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000 1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung. (1)Perdarahan Anterior

Perdarahan seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil. (1) Pasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan hidung harus duduk tegak, menggunakan apron plastic serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pakaiannya. Gulungan kapas yang telah dibasahi larutan kokain 4% dimasukkan dengan hati-hati ke dalam hidung sambil mengaaspirasi darah yang berlebihan.(2)

Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik. (1)

Bila dengan cara ini perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga hidung, serta harus dapat menekan asal perdarahan. (1,2 )Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilaukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan belum berhenti dipasang tampon baru. (1)

Bila hanya memerlukan tampon anterior tanpa adanya gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan ssebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit. (2)Perdarahan Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Penanganan epistaksis posterior antara lain adalah blok ganglion sfenopalatinum, tampon hidung posterior, atau ligase pembuluh spesifik.

Blok Ganglion Sfenopalatinum

Pada kasus epistaksis posterior, blok sfenopalatinum dapat bersifat diagnostik dan terapeutik. Injeksi 0,5 ml Xilokain 1% dengan epinefrin 1:100.000 secara hati-hati ke dalam kanalis palatina mayor yang akan menyebabkan vasokontriksi arteri sfenopalatina. Disamping vasokontriksi, injeksi ini juga menimbulkan anastesia untuk prosedur pemasangan tampon hidung posterior. Bila perdarahan berasal dari cabang arteri sfenopalatina, maka epistaksis akan berkurang dalam beberapa menit. Berkurangnya perdarahan ini hanya berlangsung singkat hingga Xilokain diabsorbsi, untuk itu dapat digunakan Gliserin (USP 2%) dan Xilokain untuk efek yang lebih lama. Jika injeksi tidak member efek, maka perdarahan mungkin berasal dari arteri etmoidalis posterior. Metode ini lebih sering digunakan oleh spesialis karena komplikasinya ke okular. (2)Tampon Hidung Posterior

Suatu tampon posterior yang dimasukkan melalui mulut dapat ditarik memakai kateter melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berukuran 4x4 inchi yang digulung erat dan diikat dengan benang sutera No.1 merupakan tampon yang baik. Dapat diolesi dengan salep antibiotic topikal untuk mengurangi insidens infeksi. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq). Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan. (1,2)Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.(1)

Tamponade dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukkan lewat depan dan kemudian ditiup, dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik membuat balon dengan dua ruang terpisah, yang satu berfungsi sebagai tampon anterior, dan yang satunya sebagai tampon posterior. Suatu kateter Folay no.14 biasa dengan suatu kantung 15cc juga dapat dimasukan tranasal, dikembangkan dan ditarik rapat pada koana posterior. Posisi kateter dapat dipertahankan dengan suatu klem umbilicus. Yang paling sering dilakukan adalah memasukan suatu kateter melalui hidung, ditangkap pada faring dan kemudian dikeluarkan lewat mulut. Dua benang yang melekat pada tampon diikatkan pada kateter yang menjulur dari mulut. Tali ketiga yang melekat pada tampon dibiarkan menggantung dalam faring sebagai tali penarik. Kateter kemudian ditarik keluar melalui hidung depan untuk menempatkan tampon pada koana. Jika perlu, tampon dapat dibantu penempatannya dengan jari dokter hingga berada diatas palatum mole. Posisi tampon harus cukup kuat dan tidak boleh menekan palatum mole. Sementara tegangan dipertahankan melalui kedua tali yang keluar dari hidung depan, dokter harus menempatkan tampon anterior diantara kedua tali dan kedua tali diikatkan simpul pada gulungan kasa kecil. Kedua tali harus dikeluarkan lewat lubang hidung yang sama dan tidak diikatkan pada kolumela, hal ini dapat menimbulkan nekrosis jaringan lunak. Pasien yang memasang tampon harus dirawat dirumah sakit.(2)Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a. sfenopalatina dengan panduan endoskop.(1)Ligasi Pembuluh Spesifik

Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka perlu dilakukan ligase arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis eksterna, arteri maksilaris interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior anterior. (2,4)

II. IX. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. (1)Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bagian bawah, nekrosis septum, aspirasim sinusitis, eksaserbasi dari sleep obstructive apnea, hipoksia, syok, anemia, hipotensi, iskemia serebri, insufisiensi koroner, sampai infark miokard dan hingga kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. (1,5,6,7)Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung dan septum.(1)II. X. PencegahanSetelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi heper dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.(1)II. XI. Prognosis

Prognosis epistaksis baik tapi jika ditangani dengan terapi suportif yang adekuat dan kontrol dari penyebab epistaksis itu sendiri, sebagian besar pasien tidak mengalami perdarahan berulang. Sebagian kecil pasien mengalami perdarahan berulang yang dapat berhenti sendiri atau dengan penanganan sendiri. Sebagian kecil lainnya memerlukan pemasangan tampon ulang dan penanganan tambahan.

Beberapa faktor predileksi yang menyebabkan perdarahan berulang adalah usia, hipertensi berat, penggunaan antikoagulan, tanda vital yang buruk, dan perdarahan masif. (8)II. XII. Daftar Pustaka1. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi Keenam, Jakarta: FKUI, 2010, hal. 155-159.

2. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar THT. Edisi Keenam. Jakarta: EGC. 1997.

3. Ikhsan M, 2001. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari: http://www.kalbe.co.id/files/15 Penatalaksanaan Epistaksis.pdf/15 Penatalaksanaan Epistaksis.html. Diakses tanggal 16 September 2012.4. Applied anatomy: the construction of the human body considered in relation to its functions, diseases and injuries. GWILYM G. DAVIS, md. J.B. Lippincott Company, 1913. Universitas Harvard. 5. Emanuel JM. Epistaxis. In: Cummings CW, Fredrickson JM, Harker LA, Krause CJ, Richardson MA, Schuller DE, eds.Otolaryagology head and neck surgery, 3rd ed. St. Louis: Mosby,1998:852-8656. Wang L, Vogel DH. Posterior epistaxis: comparison of treatment.Otolaryngol Head Neck Surg1981;89:1001-10067. Schaitkin B, Strauss M, Houck JR. Epistaxis: medical versus surgical therapya comparison of efficacy, complications, and economic considerations.Laryngoscope1987;97:1392-13968. Viducich RA, Blanda MP, Gerson LW. Posterior epistaxis : clinical features and acute complications. Ann Emerg Med. 1995;25:592-596.Gambar Dinding Lateral Kavum Nasi