Presus KATARAK
-
Upload
aziz-andriyanto -
Category
Documents
-
view
188 -
download
5
Transcript of Presus KATARAK
UNIVERSITAS
ISLAM
INDONESIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT
MATA
STATUS PASIEN
Nama Dokter Muda Aziz Andriyanto Tanda Tangan
NIM 05.711.131
Gelombang Periode 20-12-2010 – 15-01-2011
Rumah Sakit RSUD Muntilan
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien Bp.H
Umur 36 Tahun
Jenis Kelamin Laki-Laki
Agama Islam
Alamat Bojong, Mungkid, Magelang
Pekerjaan Karyawan
Tanggal Masuk
No.RM 13.24.38
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama Mata kanan merah dan pegal
Riwayat
Penyakit
Sekarang
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Muntilan dengan keluhan
mata kanan merah dan pegal. Keluhan dirasa sejak ± 1 minggu
yang lalu. Pasien juga mengeluhkan mata nyerocos dan kelopak
mata bagian atas terasa gatal, terasa kelilipan. Saat bangun tidur
mata lengket. Untuk melihat agak kabur. Sebelumnya pasien tidak
memeriksakan keluhannya ke dokter dan belum diobati. Riwayat
1
kelilipan (-), HT(-), DM(-).
Kesimpulan
Anamnesis
Bp.H,♂ 36 tahun datang dengan keluhan mata kanan merah,
pegal,kelopak bagian atas terasa gatal, nyerocos, terasa kelilipan
dan lengket saat bangun tidur , pandangan kabur.
III. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Pemeriksaan OD OS
Visus Jauh 6/20 →PH 6 / 9 6/9 →PH 6 / 7,5
Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Visus Dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Proyeksi Sinar Baik, dapat mengenali
arah sinar
Baik, dapat mengenali
arah sinar
Persepsi Warna (merah,
hijau)
Tidak dilakukan karena visus pasien masih bias dinilai
dengan kartu Snellen.
IV. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
Pemeriksaan OD OS
1. Sekitar Mata
Supercilia Warna hitam, tumbuh
teratur, simetris dan
distribusi merata
Warna hitam, tumbuh
teratur, simetris dan
distribusi merata
2. Kelopak Mata
Pasangan Simetris Simetris
2
Gerakan Simetris,dapat
membuka dan menutup
sempurna
Simetris, dapat
membuka dan menutup
sempurna
Lebar Rima ± 1 cm ± 1 cm
Kulit Peradangan (-)
Perdarahan (-)
Hematom (-)
Sikatrik (-)
Peradangan (-)
Perdarahan (-)
Hematom (-)
Sikatrik (-)
Tepi Kelopak Normal, Entropion (-),
Ektropion(-)
Normal, Entropion (-),
Ektropion(-)
Margointermarginalis Normal Normal
3. Apparatus Lakrimalis
Sekitar Gld. Lakrimalis Normal, tanda
inflamasi (-)
Normal, tanda inflamasi
(-)
Sekitar Saccus
Lakrimalis
Normal, tanda
inflamasi (-)
Normal, tanda inflamasi
(-)
Uji Fluoresin Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Uji Regurgitasi Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
4. Bola Mata
Pasangan Simetris Simetris
Gerakan Normal ke segala arah Normal ke segala arah
Ukuran Normal
Enoftalmus (-)
Eksoftalmus (-)
Normal
Enoftalmus (-)
Eksoftalmus (-)
5. Tekanan Bola Mata N (+) N(0)
6. Konjungtiva
K. Palpebra Superior Hiperemi (+)
Perdarahan (-)
Hiperemi (-)
Perdarahan (-)
3
Folikel dan Papil (-)
Sikatrik (-)
Folikel dan Papil (-)
Sikatrik (-)
K. Palpebra Inferior Hiperemi (+)
Perdarahan (-)
Folikel dan Papil (-)
Sikatrik (-)
Hiperemi (-)
Perdarahan (-)
Folikel dan Papil (-)
Sikatrik (-)
K. Fornik Hiperemi (+)
Perdarahan (-)
Secret (-)
Hiperemi (-)
Perdarahan (-)
Secret (-)
K. Bulbi Hiperemi (+)
Perdarahan (-)
Subkonjungtiva (-)
Pinguekula (-)
Pterygium(-)
Hiperemi (-)
Perdarahan (-)
Subkonjungtiva (-)
Pinguekula (-)
Pterygium(-)
7.
Sklera Normal , Ikterik (-) Normal , Ikterik (-)
Episklera Normal , Ikterik (-) Normal , Ikterik (-)
8. Kornea
Ukuran ± 11mm ± 11mm
Kecembungan Normal Normal
Limbus Arkus Senilis (-) Arkus Senilis (-)
Permukaan Infiltrat (+) Rata, licin
Medium Jernih, edema (-) Jernih, edema (-)
Dinding Belakang Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Uji Fluoresin Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Placido Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
9. Camera Occuli Anterior
Ukuran Kedalaman Dalam Dalam
4
Isi Jernih Jernih
10. Iris
Warna Coklat Kehitaman Coklat Kehitaman
Pasangan Simetris Simetris
Gambaran Radier Radier
Bentuk Bulat Bulat
11. Pupil
Ukuran ±3mm ±3mm
Bentuk Bulat Bulat
Tepi Reguler Reguler
Reflek Direk (+) (+)
Reflek Indirek (+) (+)
12. Lensa
Ada / Tidak ada Ada Ada
Kejernihan Jernih Jernih
Letak Sentral Sentral
Warna Kekeruhan Keruh (-) Keruh (-)
13. Korpus Vitreum Jernih Jernih
14. Reflek Fundus Positif Positif
5
V. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
OD : OS :
Visus 6/20 → PH 6/9, injeksi
konjungtiva (+), infiltrate kornea (+)
Visus 6/9 → PH 6/7,5
DIAGNOSIS BANDING
OD Keratokonjungtivitis suspek Herpes
Simpleks DD Herpes Zoster
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
OD & OS Slit Lamp
Ophtalmoskop
TERAPI
Tarivid / 3 jam
Glaucon 2 x 1/2 tablet
KCL 1 x 125 mg
Acyklovir 5 x 400 mg
Hervis 5 dd gtt 1 OD
Neurosanbe 1 x 1 tablet
Vitamin A 1 x 1 tablet
PROGNOSIS
Ad Vitam Ad bonam
Ad Fungsionam Ad bonam
Ad Kosmetikam Ad bonam
6
KERATOKONJUNGTIVITIS
Keratokonjungtivitis merupakan suatu peradangan konjungtiva dan kornea
yang bersifat dwipihak. Disebabkan infeksi adenovirus tipe 8. Masa inkubasi 5
sampai 10 hari. Gejala radang mata timbul akut dan selalu pada satu mata terlebih
dahulu berupa konjungtivitis folikular akut. Pada setengah jumlah kasus, mata
lainnya meradang sesudah minggu kedua. Kelenjar pre-aurikular dapat membesar dan
nyeri tekan. Radang akut berlangsung 8 sampai 10 hari dengan kelopak mata yang
membengkak, konjungtiva tarsal yang hiperemi dan konjungtiva bulbi yang kemosis.
Terdapat perdarahan subkonjungtiva. Pada akhir minggu pertama perjalanan
penyakit, baru timbul gejala-gejala di kornea.
Pada kornea terdapat infiltrasi bulat kecil, superficial, sub-epitel. Tidak pernah
timbul neovaskularisasi kornea. Kelainan kornea ini terdapat pada 50% kasus.
Sensibilitas kornea tidak terganggu.
Gejala-gejala subjektif berupa mata berair, silau dan seperti ada pasir. Gejala
radng akut mereda dalam tiga minggu, tetapi kelainan kornea dapat menetap
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah sembuhnya
penyakit. Penyakit ini dapat mengenai anak-anak dan dewasa.
Untuk penyakit ini tidak ada pengobatan yang spesifik. Dianjurkan member
obat lokal sulfasetamid atau antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder.
Patofisiologi
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang
insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Pada
konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan
diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan
jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan
menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone.
Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan
sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada
konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi
7
papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam
kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel kornea.
Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan
hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada
limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan dalam
kualitas maupun kuantitas stem cells limbus. Kondisi yang terakhir ini mungkin
berkaitan dengan konjungtivalisasi pada penderita keratokonjungtivitis dan di
kemudian hari berisiko timbulnya pterigium. Di samping itu, juga terdapat kista-kista
kecil yang dengan cepat akan mengalami degenerasi.
Sekresi mukus yang kental dan melekat pada penderita keratokonjungtivitis,
menurut Neumann dan Krantz, mengandung banyak mukopolisakarida serta asam
hyaluronat. Dalam hal ini memungkinkan timbulnya tarikan sel epitel kornea dan
gesekan dari papil tarsal pada kornea akan mengakibatkan kerusakan kornea yang
meluas ke tepi. Kerusakan kornea diduga juga berkaitan dengan infiltrasi sel radang
yang berasal dari konjungtiva. Menyusul kerusakan kornea ini dapat menjadi difus,
pembentukan ulkus, dan perubahan degeneratif lainnya seperti pseudogerontoxon.
Pembentukan ulkus epitelial non-infeksi yang berbentuk oval atau perisai dapat
terjadi yang mendasari timbulnya kekeruhan stroma kornea di sentral maupun
superior. Lebih jauh, kurvatura kornea juga akan memperlihatkan perubahan disertai
astigmatisme miopik dan pada tahap lanjut dapat terjadi keratokonus serta
keratoglobus.
Gambaran Histopatologik
Tahap awal keratokonjungtivitis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam kaitan ini,
akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh
satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di antara papil serta
pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini berhubungan dengan infiltrasi
stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil, dan sel mast. Tahap berikutnya akan
dijumpai sel-sel mononuklear seperti limfosit makrofag. Sel mast dan eosinofil yang
dijumpai dalam jumlah besar dan terletak superficial. Dalam hal ini, hampir 80% sel
8
mast dalam kondisi terdegranulasi. Keberadaan eosinofil dan basofil, khususnya di
dalam konjungtiva, sudah cukup menandai adanya abnormalitas jaringan.
Hasil penelitian histopatologik terhadap 675 konjungtivitis mata yang
dilakukan oleh Wang dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma pada
konjungtiva. Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid.
Sementara itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil,
menghasilkan bahan sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan
keratokonjungtivitis. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi
hipersensitivitas. Tidak hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix,
serta pada beberapa kasus melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar.
Fase vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen,
hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel
radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler
mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada
pemeriksaan klinis. Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant papil
bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Kolagen maupun pembuluh darah akan
mengalami hialinisasi. Epiteliumnya berproliferasi menjadi 5-10 lapis sel epitel yang
edematous dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah besarnya papil, lapisan
epitel akan mengalami atrofi di apeks sampai hanya tinggal satu lapis sel yang
kemudian akan mengalami keratinisasi.
Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang sama berupa
pertumbuhan epitel yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel
(acanthosis). Horner-Trantas dot`s yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri
atas eosinofil, debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan
limfosit. Di dalam ulkus kornea non-infeksi pada kasus keratokonjungtivitis dapat
ditemukan kristal Charcot Leyden yang merupakan granula eosinofil dan plak
mukoid.
Membuat Diagnosis Keratokonjungtivitis
9
Keluhan utama adalah gatal yang menetap, disertai oleh gejala fotofobia,
berair, dan rasa mengganjal pada mata. Adanya gambaran spesifik pada
konjungtivitis ini disebabkan oleh hiperplasi jaringan konjungtiva di daerah tarsal,
daerah limbus, atau keduanya. Selanjutnya, gambaran yang tampak akan sesuai
dengan perkembangan penyakit yang memiliki 3 bentuk, yaitu palpebra, limbal, dan
campuran. Bentuk palpebra hampir terbatas pada konjungtiva tarsalis superior dan
terdapat cobble stone. Cobble stone ini dapat demikian berat sehingga timbul
pseudoptosis. Bentuk limbal disertai hipertrofi limbus yang dapat disertai bintik-
bintik yang sedikit menonjol keputihan dikenal sebagai Horner-Trantas dot`s.
Penebalan konjungtiva palpebra superior akan menghasilkan pseudomembran yang
pekat dan lengket, yang mungkin bisa dilepaskan tanpa timbul perdarahan. Penebalan
ini disertai pertumbuhan papil. Papil akan tumbuh lebih besar secara perlahan,
kemudian bersatu menjadi papil raksasa. Jika semula hanya elevasi 0,l mm, dalam
perkembangannya papil dapat berbentuk deposit poligonal yang tidak beraturan,
berwarna merah muda keabuan, dan dapat mencapai diameter 7-8 mm. Papil yang
besar memiliki puncak yang datar dan dipisahkan satu dengan lainnya oleh celah-
celah berisi mukus.
Eksudat konjungtiva pada keratokonjungtivitis sangat spesifik, berwarna putih
susu kental, lengket, elastik, dan fibrinous. Peningkatan sekresi mukus yang kental
pada tear film dan adanya peningkatan jumlah asam hyaluronat, mengakibatkan
eksudat menjadi lengket. Hal ini memberikan keluhan adanya sensasi seperti tali atau
cacing pada matanya.
Lesi limbal yang meluas ke tepi kornea akan menimbulkan keratitis pungtata
superfisialis. Pada yang lebih berat akan menjadi difus, dan biasanya terletak
setengah di bagian atas kornea. Kadang-kadang epitelnya terkelupas, kemudian
membentuk ulkus dwipihak tanpa vaskularisasi. Ulkus ini mempunyai permukaan
kasar keputihan dan tampaknya berhenti pada membran Bowman. Pada
perkembangan selanjutnya, bila sembuh akan menyisakan daerah oval abu-abu.
10
Biasanya, dalam keadaan ini terjadi keratokonus dan pada tahap akhir terjadi
keratoglobus8.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva untuk
mempelajari gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan banyak eosinofil
dan granula-granula bebas eosinofilik. Di samping itu, terdapat basofil dan granula
basofilik bebas.
Diagnosis banding pada umumnya tidak sulit, kecuali yang dihadapi penderita
dewasa muda, karena mungkin suatu keratokonjungtivitis atopik. Kelainan mata pada
keratokonjungtivitis atopik berupa kelopak mata yang tebal, likenisasi, konjungtiva
hiperemi dan kemosis, disertai papil-papil di konjungtiva tarsalis inferior. Kadang-
kadang, papil ini bisa besar mirip cobble stone, dan dapat dijumpai pada konjungtiva
tarsalis superior. Trantas dot’s juga bisa dijumpai pada atopik meskipun tidak
sesering pada konjungtivitis vernalis. Seperti pada konjungtivitis vernalis, pada atopik
bisa didapatkan keratitis epitel, ulserasi, dan kekeruhan stroma. Pada atopik cepat
terjadi neovaskularisasi. Pada pemeriksaan kerokan konjungtiva jarang dijumpai
eosinoil dan tidak dijumpai granula-granula eosinofilik yang bebas.
Selain keratokonjungtivitis atopik, perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya Giant
Papillary Conjunctivitis pada pemakaian lensa kontak, baik yang hard maupun yang
soft. Gejalanya mulai dengan gatal disertai banyak mukus serta timbulnya atau
ditemukannya papil raksasa di konjungtiva tarsalis superior. Kelainan ini dapat timbul
baik satu minggu sesudah pemakaian lensa kontak maupun setelah lama pemakaian.
Pada kelainan ini, tidak ada pengaruh musim. Pemeriksaan sitologi hanya
menunjukkan sedikit eosinofil. Dengan dilepasnya lensa kontak, gejala-gejalanya
akan berkurang. Konjungtivitis vernalis kadang-kadang perlu didiagnosis banding
dengan trakhoma stadium II yang disertai folikel-folikel yang besar mirip cobble
stone.
Penatalaksanaan Keratokonjungtivitis Vernalis
Seperti halnya semua penyakit alergi lainnya, terapi keratokonjungtivitis vernalis
bertujuan mengidentifikasi alergen dan bahkan bila mungkin mengeliminasi atau
11
menghindarinya. Untuk itu, anamnesis yang teliti baik pada pasien maupun orang
tuanya akan dapat membantu menggambarkan aktivitas dan lingkungan mana yang
harus dihindari. Dengan demikian, penatalaksanaan pada pasien ini akan terbagi ke
dalam tiga bentuk yang saling menunjang untuk dapat memberikan hasil yang
optimal. Ketiga bentuk penatalaksanaan tersebut meliputi: (1) tindakan umum, (2)
terapi medikasi, dan (3) pembedahan.
1. Tindakan Umum
Dalam hal ini mencakup tindakan-tindakan konsultatif yang membantu mengurangi
keluhan pasien berdasarkan informasi hasil anamnesis tersebut di atas. Beberapa
tindakan tersebut antara lain:
a. Pemakaian mesin pendingin ruangan berfilter;
b. Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa
serbuksari;
c. Menggunakan kaca mata berpenutup total untuk mengurangi kontak dengan
alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari
karena lensa kontak akan membantu retensi allergen;
d. Kompres dingin di daerah mata;
e. Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga
berfungsi protektif karena membantu menghalau allergen;
f. Memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin yang sering juga disebut
sebagai climato-therapy11. Cara ini memang kurang praktis, mengingat
tingginya biaya yang dibutuhkan. Namun, efektivitasnya yang cukup dramatis
patut diperhitungkan sebagai alternatif bila keadaan memungkinkan;
g. Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan,
karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator-
mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegah superinfeksi yang
pada akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan
katarak.
2. Terapi Medik
12
Dalam hal ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan kepada pasien dan orangtua pasien
tentang sifat kronis serta self limiting dari penyakit ini. Jelaskan juga mengenai
keuntungan dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul dari pengobatan yang
ada, terutama dalam pemakaian steroid. Salah satu faktor pertimbangan yang penting
dalam mengambil langkah untuk memberikan obat-obatan adalah eksudat yang kental
dan lengket pada keratokonjungtivitis vernalis, karena merupakan indikator yang
sensitif dari aktivitas penyakit, yang pada gilirannya akan memainkan peran penting
dalam timbulnya gejala. Untuk menghilangkan sekresi mucus, dapat digunakan
irigasi saline steril dan mukolitik seperti asetil sistein 10%--20% tetes mata. Dosisnya
tergantung pada kuantitas eksudat serta beratnya gejala. Dalam hal ini, larutan 10%
lebih dapat ditoleransi daripada larutan 20%. Larutan alkalin seperti 1-2% sodium
karbonat monohidrat dapat membantu melarutkan atau mengencerkan musin,
sekalipun tidak efektif sepenuhnya4.
Satunya-satunya terapi yang dipandang paling efektif untuk pengobatan KKV adalah
kortikosteroid, baik topikal maupun sistemik. Namun, untuk pemakaian dalam dosis
besar harus diperhitungkan kemungkinan timbulnya risiko yang tidak diharapkan.
Untuk KKV yang berat, bisa diberikan steroid topikal prednisolone fosfat 1%, 6-8
kali sehari selama satu minggu. Kemudian dilanjutkan dengan reduksi dosis sampai
ke dosis terendah yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. Bila sudah terdapat ulkus
kornea maka kombinasi antibiotik steroid terbukti sangat efektif. Pada kasus yang
lebih parah, bisa juga digunakan steroid sistemik seperti prednisolone asetat,
prednisolone fosfat, atau deksamethason fosfat 2--3 tablet 4 kali sehari selama 1--2
minggu. Satu hal yang perlu diingat dalam kaitan dengan pemakaian preparat steroid
adalah "gunakan dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin"10.
Antihistamin, baik lokal maupun sistemik, dapat dipertimbangkan sebagai pilihan
lain, karena kemampuannya untuk mengurangi rasa gatal yang dialami pasien.
Apabila dikombinasi dengan vasokonstriktor, dapat memberikan kontrol yang
memadai pada kasus yang ringan atau memungkinkan reduksi dosis. Bahkan,
menangguhkan pemakaian steroid topikal. Suatu hal yang tidak disukai adalah efek
13
samping obat antihistamin, yaitu rasa ngantuk. Pada anak-anak, hal ini dapat
menganggu kinerja sehari-hari. Emedastine adalah antihistamin paling poten yang
tersedia di pasaran dengan kemampuan mencegah sekresi sitokin. Sementara
olopatadine yang dipasarkan sebagai Patanol‚ juga merupakan antihistamin yang juga
berfungsi sebagai inhibitor degranulasi sel mast konjungtiva.
Sodium kromolin 4% pada kasus KKV terbukti bermanfaat karena kemampuannya
sebagai pengganti steroid bila pasien sudah dapat dikontrol. Ini juga berarti dapat
membantu mengurangi kebutuhan akan pemakaian steroid. Sodium kromolin
berperan sebagai stabilisator sel mast, mencegah terlepasnya beberapa mediator yang
dihasilkan pada reaksi alergi tipe I, namun tidak mampu menghambat pengikatan IgE
terhadap sel maupun interaksi sel – IgE dengan antigen spesifik13. Titik tangkapnya,
diduga sodium kromolin memblok kanal kalsium pada membran sel serta
menghambat pelepasan histamin dari sel mast dengan cara mengatur fosforilasi .
Menurut Iwasaki et al, sodium kromolin cukup toleran terhadap pasien pengguna
lensa kontak dan tidak terjadi kumulasi pada lensa kontak lunak14.
Lodoksamid 0,l% terbukti bermanfaat karena aktivitas antialergi yang akan
mengurangi infiltrat radang, terutama eosinofil dalam konjungtiva. Lodoksamid
digolongkan sebagai stabilasator sel mast. Bila dibandingkan, sodium kromolin
lodoksamid lebih unggul karena pengikatan terhadap CD4(+) cells lebih kuat15.
Levokabastin tetes mata merupakan suatu H1 antihistamin yang spesifik dan sangat
poten terhadap konjungtivitis vernalis. Menurut Richard et al, dengan
membandingkan antara lodoksamid dengan levokabastin ternyata khasiatnya cukup
seimbang, dan simptom KKV hilang dalam 14 hari16.
Studi klinik dan imunohistokimia telah dilakukan oleh Bayoumi et al, tentang
penggunaan siklosporin A2% untuk 30 kasus KKV. Studi ini dibedakan atas 3
kelompok. Kelompok I mendapat siklosporin A 2%; kelompok II mendapat steroid
tetes mata; dan kelompok III mendapatkan keduanya. Hasil penelitian menunjukkan
kombinasi steroid dan siklosporin merupakan yang terbaik, terbukti adanya
penurunan MHC+ cell, IgA stroma, dan IgG sel plasma17. Disebutkan pula bahwa
14
papil-papil besar mulai menghilang pada minggu ketiga pasca pengobatan dengan
siklosporin A topikal.
Pada pasien-pasien yang tidak kooperatif, perlu dilakukan injeksi steroid supratarsal
0,5 ml triamsinolon asetonid (40 mg/ml)13. Hal tersebut untuk menjaga
kesinambungan pengobatan. Injeksi steroid ini dapat berefek dalam l bulan.
3. Terapi Pembedahan
Ulkus kornea yang terjadi pada KKV biasanya ringan, tetapi apabila tidak sembuh
dengan antibiotik dan steroid topikal maupun terapi konservatif lainnya bisa dicoba
dilakukan transplantasi membran amnion. Membran amnion mampu memacu
epitelisasi kornea. Transplantasi membran amnion dianjurkan pada kasus-kasus ulkus
kornea yang berat18. Beberapa kasus steroid glaukoma pada penderita KKV yang
tidak membaik dengan penghentian steroid maupun dengan terapi medikasi sebaiknya
dilakukan trabekulektomi.
Berbagai terapi pembedahan, krioterapi, dan diatermi pada papil raksasa konjungtiva
tarsal kini sudah ditinggalkan mengingat banyaknya efek samping dan terbukti tidak
efektif, karena dalam waktu dekat akan tumbuh lagi. Apabila segala bentuk
pengobatan telah dicoba dan tidak memuaskan, maka metode dengan tandur alih
membran mukosa pada kasus KKV tipe palpebra yang parah perlu dipertimbangkan8.
Akhirnya, sekali lagi perlu ditekankan bahwa KKV biasanya berlangsung selama 4-6
tahun dan bisa sembuh sendiri apabila anak sudah dewasa.
Kesimpulan
15