Prak_Raphael Elhan Argasae_12.70.0158_C_UNIKA SOEGIJAPRANATA

download Prak_Raphael Elhan Argasae_12.70.0158_C_UNIKA SOEGIJAPRANATA

of 17

description

Pada pengujian mengenai bab kitin dan kitosan dilakukan dengan memilih sampel kulit udang yang diberikan berbagai perlakuan yang berbeda di setiap kelompoknya dengan tujuan untuk membandingkan data yang akan diperoleh. Berdasarkan jurnal yang berjudul “Production and Characterization of Chitosan From Shrimp Waste” yang ditulis oleh Hossain & Iqbal (2014), mengatakan bahwa kulit dan kepala udang memiliki nilai ekonomis yang rendah. Pada industri udang, limbah udang biasa digunakan untuk proses selanjutnya dan dapat menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi yaitu kitosan.

Transcript of Prak_Raphael Elhan Argasae_12.70.0158_C_UNIKA SOEGIJAPRANATA

  • ACARA II

    KITIN KITOSAN

    LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

    TEKNOLOGI HASIL LAUT

    Disusun oleh:

    Nama : Raphael Elhan Argasae

    NIM : 12.70.0158

    Kelompok : C1

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2015

  • 1

    1. MATERI METODE

    1.1. Alat dan Bahan

    1.1.1. Alat

    Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan gelas.

    1.1.2. Bahan

    Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75N; 1N; dan

    1,25N, NaOH 3,5%, 40%, dan 60%.

    1.2. Metode

    1.2.1. Demineralisasi

    HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan

    HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

    Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air

    panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

    Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan

    ayakan 40-60 mesh.

  • 2

    Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan

    pengadukan.

    Lalu dicuci sampai pH netral.

    Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

  • 3

    1.2.2. Deproteinasi

    Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

    Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

    Kemudian disaring dan didinginkan

    Lalu dicuci sampai pH netral.

    Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

  • 4

    1.2.3. Deasetilasi

    Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,

    NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

    Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

    Lalu dicuci sampai pH netral.

    Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

  • 5

    2. HASIL PENGAMATAN

    Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

    Tabel 1. Kitin dan Kitosan

    Kelompok Perlakuan Rendemen

    Kitin I (%)

    Rendemen

    Kitin II (%)

    Rendemen

    Kitosan (%)

    C1 HCl 0,75N + NaOH 40% +

    NaOH 3,5% 23,45 30,00 27,43

    C2 HCl 0,75N + NaOH 40% +

    NaOH 3,5% 37,82 44,00 27,38

    C3 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH

    3,5% 41,67 54,55 32,16

    C4 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH

    3,5% 40,00 58,30 24,30

    C5 HCl 1,25N + NaOH 60% +

    NaOH 3,5% 21,19 40,32 11,25

    Berdasarkan hasil pengamatan diatas, dapat dilihat bahwa nilai rendemen kitin I tertinggi

    terdapat pada kelompok C3 yaitu 41,67%, sedangkan untuk nilai rendemen kitn I terendah ada

    pada kelompok C5 yaitu 21,19%. Akan tetapi pada nilai rendemen kitin II tertinggi ada pada

    kelompok C4 yaitu 58,3%, sedangkan untuk nilai terendah ada pada kelompok C1 yaitu 30%.

    Rendemen kitosan yang dihasilkan, nilai tertinggi ada pada kelompok C3 yaitu 32,16% dan nilai

    terendah ada pada kelompok C5 yaitu 11,25%. Berdasarkan data yang diperoleh tersebut,

    semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH yang ditambahkan, maka akan semakin tinggi pula

    nilai rendemen yang dihasilkan, walaupun ada beberapa kelompok yang menunjukkan

    penurunan nilai.

  • 6

    3. PEMBAHASAN

    Pada pengujian mengenai bab kitin dan kitosan dilakukan dengan memilih sampel kulit udang

    yang diberikan berbagai perlakuan yang berbeda di setiap kelompoknya dengan tujuan untuk

    membandingkan data yang akan diperoleh. Berdasarkan jurnal yang berjudul Production and

    Characterization of Chitosan From Shrimp Waste yang ditulis oleh Hossain & Iqbal (2014),

    mengatakan bahwa kulit dan kepala udang memiliki nilai ekonomis yang rendah. Pada industri

    udang, limbah udang biasa digunakan untuk proses selanjutnya dan dapat menghasilkan produk

    yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi yaitu kitosan. Dalam jurnal ini juga juga tertulis

    bahwa kitosan merupakan polimer karbohidrat yang didapat dari kitin yang mudah didapatkan

    dari golongan crustaceans, fungi, serangga dan beberapa alga (Tolamite et al., 2000). Kitin

    (C8H13NO5)n merupakan biopolymer yang berasal dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling

    berikatan dengan ikatan (14). Kitin memiliki beberapa ciri-ciri jika dilihat dari segi fisik,

    antara lain tidak dapat larut dalam air, tidak berbau, pelarut organic umumnya, berupa kristal

    amorphous dengan warna putih, asam-asam anorganik serta basa encer (Muzzarelli, 1985). Peter

    (1995) mengatakan bahwa kitin merupakan kelompok polisakarida yang tersedia melimpah di

    alam setelah selulosa. Kitin ini sering dijumpai di dalam komponen struktur eksoskeleton dari

    serangga dan spesies crustacean serta dapat juga ditemui di dalam dinding sel ragi dan jamur.

    Di dalam crustacean kitin bergabung dengan protein, pigmen, dan garam anorganik (CaCO3).

    Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kitin yang terdapat di alam tidak berdiri sendiri akan tetapi

    bergabung dengan senyawa lainnya (Suhardi, 1992). Di sisi lain Peter (1995) mengatakan

    penggunaan kitin yang paling besar dan banyak ada pada industry pangan dan kosmetik. Ada

    beberapa manfaat dari kitin yaitu sebagai bahan pendukung beberapa macam enzim antara lain

    enzim lactase, papain, asam fosfatase, kimotripsin, dan glukosa isomerase. Jika dilihat dari segi

    komersialnya, kitin mempunyai biaya yang rendah apabila ingin dikembangkan, karena kitin

    dapat diperoleh dari limbah industry pengolahan makanan laut (Wang et al., 2010). Salah satu

    contoh produk turunan dari kitin dimana hanya dapat larut dalam asam yang encer seperi asam

    format, asam asetat, dan asam sitrat atau disebut dengan kitosan. Keberadaan gugus karboksil

  • 7

    pada asam asetat dapat memperudah proses pelarutan kitosan. Hal tersebut dapat terjadi karena

    adanya interaksi hydrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan.

    Dalam jurnal yang berjudul Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the

    Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis oleh Rumengan et al. (2013) tertulis

    bahwa struktur molekul dari rotifer yaitu C18H26N2O10 dimana gugus hidroksil pada rantai kedua

    digantikan oleh asetil amida. Kitosan yang dihasilkan tidak memiliki ikatan amida, tetapi gugus

    hidroksil dan amino dapat dilihat pada spectra hingga 3500 cm-1. Kitosan yang dihasilkan dari

    isolasi kitin yang menggunakan biomassa rotifer dan keduanya menunjukkan gugus fungsional

    yang berbeda. Kitin tersusun atas 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa, sedangkan kitosan 2-amino-

    2-deoksi-D-glukosa. Berdasarkan jurnal tersebut berarti kitosan lebih sering digunakan untuk

    keperluan farmasi.

    Dunn et al., (1997) mengatakan bahwa kitosan mempunyai sifat polikationik, sehingga dapat

    dijadikan sebagai agen penggumpal dalam proses penanganan limbah yang terutama banyak

    mengandung protein. Kitosan mampu berikatan secara crosslink jika diberi tambahan crosslinked

    agent contohnya glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+. Sampai saat ini sudah terdapat lebih

    dari 200 aplikasi dari kitin dan kitosan beserta turunannya di dalam industri pangan, pemrosesan

    makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan. Kitin kitosan ini sudah

    tidak jarang lagi digunakan sebagai penanganan penyakit setelah panen pada buah jeruk, tomat,

    pir, strawberry, anggur meja, dan longan. Kitosan adalah prospek yang baik bila digunakan

    sebagai pilihan untuk perlakuan terhadap buah dan sayur setelah panen, hal tersebut dapat terjadi

    karena sifat alamiahnya, aktivitas antimikrobial, dan mampu menimbulkan efek pertahanan pada

    jaringan tumbuhan.

    Berikut merupakan struktur dari selulosa, kitin, serta kitosan yang bisa dilihat pada gambar

    dibawah ini :

  • 8

    Gambar 1. Struktur dari selulosa, kitin, kitosan.

    (Zhang et al., 2010).

    Dalam jurnal yang berjudul Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources, Structure,

    Properties and applications, Younnes & Rinaudo (2015) mengatakan bahwa ekstraksi kitin dari

    kelompok crustaceans dapat dilakukan dengan tahap pertama yaitu penghilangan protein atau

    yang dinamakan deproteinasi, kemudian dilanjutkan dengan penghilangan kalsium karbonat

    dengan proses demineralisasi. Proses isolasi kitin diawali dengan pemilihan cangkang dari

    limbah yang digunakan. Pemilihan ini dilihat dari kualitas bahan yang digunakan. Idealnya

    cangkang yang digunakan harus yang mempunyai ukuran dan dari spesies yang sama.

    Pada praktikum kali ini yang dilakukan pertama kali adalah tahap demineralisasi. Tahap ini

    diawali dengan mencuci limbah udang menggunakan air yang mengalir kemudian dikeringkan,

    lalu dicuci lagi menggunakan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Bastaman

    (1989) mengatakan bahwa sebelum dilakukan proses demineralisasi, bahan dilewatkan pada

    proses pencucian terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel.

    Pencucian dengan menggunakan air panas dilakukan dengan tujuan sebagai tahap sterilisasi agar

    mikroba yang merugikan dapat hilang. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan pada suhu

    800C. Proses pengeringan ini dilakukan dengan tujuan menghilangkan air bekas perlakuan

    pencucian yang menempel pada kulit udang sehingga kadar air berkurang dan didapatkan hasil

    kulit udang yang kering. Setelah dipastikan bersih, cangkang udang tadi dihancurkan sampai

    menjadi serbuk dan diayak menggunakan ayakan ukuran 40 60 mesh. Langkah berikutnya

    adalah serbuk yang sudah didapat, dicampur dengan larutan HCl dengan perbanding 10 : 1.

  • 9

    Untuk kelompok C1 dan C2 ditambahan HCl dengan konsentrasi 0,75 N, kelompok C3 dan C4

    ditambahkan HCl dengan konsentrasi 1 N, dan kelompok C5 ditambahkan HCl 1,25 N. (Sahidi

    & Syonowiecki, 1991) mengatakan bahwa penambahan senyawa HCl ini bertujuan untuk

    melarutkan senyawa-senyawa mineral yang ada pada serbuk kulit udang tersebut khususnya

    kalsium karbonat. Kemudian campuran serbuk tadi diaduk selama 1 jam dan dipanaskan dengan

    suhu 90C selama 1 jam. Selanjutnya dicuci lagi hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu

    80C selama 24 jam. Khorrami et al. (2012) mengatakan dalam jurnalnya yang berjudul

    Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus

    plantarum bahwa produksi kitin dan kitosan yang diperoleh dari bahan dasar udang tidak hanya

    diperoleh dengan cara batch culture, menggunakan bakteri Lactobacillus plantarum, yang

    diinkubasi pada suhu 30C. Penggunaan bakteri ini dapat juga digunakan dalam proses

    demineralisasi dan deproteinasi dari kulit udang. Larutan alkali yang dipakai pada penelitian ini

    juga sama dengan yang digunakan di dalam praktikum kali ini yaitu larutan NaOH yang

    menandakan bahwa kitin dan kitosan memang bisa di konversi menggunakan larutan tersebut.

    Dari metode pertama tadi didapatkan hasil pengamatan nilai rendemen kitin I dari kelompok C1

    hingga C5 secara berurutan adalah 23,45% ; 37,82% ; 41,67% ; 40% ; dan 21,19%. Hal tersebut

    kurang sesuai dengan pendapat Truong et al. (2007) yang mengatakan bahwa konsentrasi

    perubahan penambahan asam yang sesuai akan mampu melarutkan mineral secara sempurna

    sehingga apabila semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka akan menghasilkan

    rendemen kitin I yang semakin besar pula. Tetapi yang terjadi pada percobaan kali ini adalah

    nilai rendemen kitin C5 yang menggunakan HCl 1,25 N lebih kecil dibandingkan dengan

    kelompok C1 yang menggunakan HCl 0,75 N. Hal tersebut dikarenakan pada saat pemanasan

    menggunakan hot plate suhu tidak stabil dan mengakibatkan overheat pada sampel dan timbul

    letupan hingga menyembur tumpah dari gelas beker, sehingga sampel yang didapat jumlahnya

    tidak sama tiap kelompoknya. Kesalahan tersebut berdampak pada langkah selanjutnya yaitu

    proses deproteinasi dan deasetilasi.

    Tahap yang kedua adalah deproteinasi bertujuan untuk mengurangi kadar protein dengan

    menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan yang cukup (Wu et al, 2005). Larutan alkali

    yang digunakan adalah NaOH. Tahap ini diawali dengan mencampurkan tepung dari hasil proses

  • 10

    demineralisasi dengan NaOH menggunakan perbandingan 6 : 1 dan diaduk selama 1 jam setelah

    itu disaring dan didinginkan. Pengadukan dilakukan untuk meratakan pemanasan supaya derajat

    deproteinasi meningkat namun tidak terjadi kegosongan. Tujuan pendinginan dalam proses ini

    adalah agar bubuk kitin yang dihasilkan dapat mengendap di bawah sehingga tidak akan

    terbuang ketika dilakukan pencucian berulang kali (Younes et al., 2012). Selanjutnya residu

    yang didapatkan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80C selama 24 jam. Dari

    proses ini didapatkan produk kering terakhir yang disebut kitin.

    Hasil yang didapat pada tahap kedua ini dapat dilihat pada tabel hasil pengamatan (tabel 1). Nilai

    rendemen kitin II yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rendemen I. Hal ini

    tidak sesuai dengan teori yang seharusnya dari proses deproteinasi dan pencucian ini didapatkan

    hasil yang lebih rendah dari proses demineralisasi (Angka & Suhartono, 2000). Hal ini

    kemungkinan dikarenakan terjadi kesalahan proses pembuatan kitin seperti menurut Rao &

    Stevens (2000) mengatakan bahwa proses demineralisasi seharusnya dilakukan setelah proses

    deproteinasi karena dalam proses demineralisasi akan memicu terjadinya kontaminasi protein

    terhadap cairan esktrak mineral.

    Tahap terakhir ialah deasetilasi bertujuan memperoleh kitosan dari kitin dengan melepas gugus

    asetil pada kitin. Kitin yang hasil dari proses sebelumnya ditambahkan dengan NaOH 40% untuk

    kelompok C1 dan C2, 50% untuk kelompok C3 dan C4, dan untuk kelompok C5 ditambahkan

    NaOH 60%. Penambahan tersebut dilakukan sambil diaduk selama 1 jam untuk kemudian

    didiamkan selama 30 menit. Kemudian dipanaskan pada suhu 90C selama 60 menit untuk

    selanjutnya disaring dan residu yang dihasilkan dicuci sampai pH netral. Residu tersebut di oven

    pada suhu 70C selama 24 jam dan dihasilkanlah kitosan sebagai produk akhir. Berdasarkan

    teori yang dikemukakan oleh Rogers (1986), proses pendinginan dilakukan dengan tujuan agar

    bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap secara maksimal dibagian bawah dan tidak ikut

    terbuang selama pencucian.

    Hasil yang diperoleh setelah tahap terakhir, dapat dilihat pada tabel hasil pengamatan (tabel 1).

    Nilai rendemen kitosan III yang didapat lebih kecil bila dibandingkan dengan rendemen kitin II.

    Hal tersebut kurang sesuai dengan pendapat yang dikatakan oleh Hong et al. (1989), bahwa jika

  • 11

    semakin tinggi konsentrasi pada larutan NaOH, maka nilai rendemen kitosan yang diperoleh

    akan semakin rendah, hal tersebut dapat terjadi karena adanya proses depolimerisasi rantai

    molekul kitosan sehingga akan mengakibatkan berat molekul dari kitosan akan menurun. Tetapi,

    hasil yang didapat ketika konsentrasi NaOH yang besar, justru mendapatkan hasil rendemen

    yang paling kecil, seperti halnya pada kelompok C5 yang menggunakan larutan NaOH 60% dan

    mendapatkan nilai rendemen 11,25%, sedangkan pada kelompok C2 yang ditambahkan dengan

    NaOH 40% mendapatkan nilai rendemen 37,38%. Kesalahan yang terjadi kemungkinan terjadi

    akibat tidak rata dan tidak stabilnya suhu dan pengadukan yang dilakukan oleh praktikan.

    Padahal menurut teori dari Kurita et al. (1993), dikatakan bahwa kualitas dan penggunaan

    produk kitosan ditentukan dari seberapa besar derajat deasetilasinya. Derajat deasetilasi ini

    bervariasi pada pembuatan kitosan tergantung pada bahan dasar dan kondisi proses seperti

    konsentrasi suhu, larutan alkali, dan waktu.

    Dalam jurnal yang berjudul Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F.

    Solani CBNR BKRR, Synthesis of Their Bionanocomposites and Study of Their Productive

    Application oleh Krishnaveni & Ragunathan (2015) terutlis bahwa banyak manfaat yang

    didapatkan dari pembuatan kitin dan kitosan. Kedua produk tersebut banyak digunakan sebagai

    antibakteri dan desinfektan. Namun, yang paling penting kitin dan kitosan dapat diaplikasikan

    untuk bidang pangan, seperti pembuatan pembungkus makanan. Hal ini dikarenakan kitosan

    yang merupakan hasil dari proses deasetilasi memiliki umur simpan yang panjang, fleksibel,

    cukup keras, sangat sulit untuk disobek serta memiliki aktivitas antimikroba, dan memiliki sifat

    biodegradable.

  • 12

    4. KESIMPULAN

    Kitin dan kitosan merupakan hasil ekstraksi dari limbah crustacea seperti udang yang

    dapat dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi.

    Kitin memiliki ciri-ciri fisik tidak dapat larut dalam air, tidak berbau, berupa kristal

    amorphous dengan warna putih, asam-asam anorganik serta basa encer.

    Pemanfaatan kitin dan kitosan selain diaplikasikan ke industri pangan namun juga dapat

    digunakan pada industri pembuatan kosmetik dan pestisida.

    Demineralisasi yang dilakukan dengan penambahan HCl bertujuan untuk menghilangkan

    senyawa mineral dari kulit udang terutama kalsium karbonat.

    Deproteinasi yang dilakukan dengan penambahan NaOH bertujuan untuk memisahkan

    protein dengan kitin.

    Deasetilasi bertujuan untuk memperoleh kitin dan kitosan dengan melepas gugus asetil

    yang ada pada kitin.

    Semarang, 18 Oktober 2015

    Praktikan, Asisten Dosen

    Raphael Elhan Argasae Tjan, Ivana Chandra

    12.70.0158

  • 13

    5. DAFTAR PUSTAKA

    Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya

    Pesisir dan Lautan. Bogor.

    Bastaman, S. (1989). Studies on Degradationb and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn

    Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical

    Engineering. The Queen's University. Belfast.

    Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of

    Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

    Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from

    crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

    Hossain, M. S. and A. Iqbal. (2014). Production and Characterization of Chitosan From Shrimp

    Waste. Journal Bangladesh Agricultural University. 12 (1) : 153-160.

    Khorrami, M., G. D. Najafpour, H. Younesi, and M. N. Hosseinpour. (2012). Production of

    Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum.

    Chem. Biochem. 26 (3) 217-223.

    Krishnaveni, B., and R. Ragunathan. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and

    Chitosan from F. Solani CBNR BKRR, Synthesis of Their Bionanocomposites and Study of

    Their Productive Application. Journal of Pharmacy Science. Vol. 7 (4) : 197-205.

    Kurita, K.; Tomita, K.; Ishi, S.; Nishimura, S-I.; Shimoda, K. -chitin as a convenient starting material for acetolysis for efficient preparation of N-acetylchitooligosaccharides. J. Polym.

    Sci. A Polym. Chem. 1993, 31, 23932395.

    Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando.

    San Diego.

    Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal

    of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

    Rao, M.S.; Muoz, J.; Stevens, W.F. Critical factors in chitin production by fermentation of

    shrimp biowaste. Appl. Microbiol. Biotechnol. 2000, 54, 808813.

    Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

    Rumengan, I. F. M., E. Suryanto, R. Modaso, S. Wullur, T. E. Tallei and D. Limbong. (2013).

    Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of Cultivated

    Rotifer, Brachionus rotundiformis. International journal of fisheries and aquatic sciences. 3

    (1) : 12-18.

  • 14

    Sahidi, F.; Synowiecki, J. Isolation and characterization of nutrients and value-added products

    from snow crab (Chifroeceles opilio) and shrimp (Panda- 111sb orealis) processing

    discards. J. Agric. Food Chem. 1991, 39, 15271532.

    Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin,

    Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

    Tolaimate, A., Desbrires, J., Rhazi, M., Alagui, M., Vincendon, M. and Vottero, P. 2000. The

    influence of deacetylation process on the physicochemical characteristics of chitosan from

    squid chitin. Polymer. 41: 2463-9.

    Truong, T.; Hausler, R.; Monette, F.; Niquette, P. Fishery industrial waste valorization for the

    transformation of chitosan by hydrothermo-chemical method. Rev. Sci. Eau 2007, 20, 253262.

    Wang, Zhengke; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods.

    International Journal of Polymer Science Volume 2010, Article ID 369759, 7 pages.

    Wu, Tao; Svetlana Zivanovic, F. Ann Draughon, William S. Conway,Dan Carl E. Sams. (2005).

    Physicochemical Properties and Bioactivity of Fungal Chitin and Chitosan. J. Agric. Food

    Chem. 2005, 53, 3888-3894.

    Younes, I.; Ghorbel-Bellaaj, O.; Nasri, R.; Chaabouni, M.; Rinaudo, M.; Nasri, M. Chitin and

    chitosan preparation from shrimp shells using optimized enzymatic deproteinization.

    Process Biochem. 2012, 47, 20322039.

    Younes, I., and Marguerite Rinaudo. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine

    Sources. Structure, Properties and Applications. Journal marine drugs. 13, 1133-1174.

    Zhang, Hongyin; Renping Li dan Weimin Liu. (2011). Effects of Chitin and Its Derivative

    Chitosan on Postharvest Decay of Fruits: A Review. Int. J. Mol. Sci. 2011, 12, 917-934;

    doi:10.3390/ijms12020917

  • 15

    6. PERHITUNGAN

    6.1. Perhitungan

    Rumus :

    Rendemen Chitin I =

    Rendemen Chitin II =

    Rendemen Chitosan =

    Kelompok C1

    Rendemen Chitin I =

    = 23,45 %

    Rendemen Chitin II =

    = 30,00 %

    Rendemen Chitosan =

    = 27,43 %

    Kelompok C2

    Rendemen Chitin I =

    = 37,82 %

    Rendemen Chitin II =

    = 44 %

    Rendemen Chitosan =

    = 27,38 %

    Kelompok C3

    Rendemen Chitin I =

    = 41,67 %

    Rendemen Chitin II =

    = 54,55 %

    Rendemen Chitosan =

    = 32,16 %

  • 16

    Kelompok C4

    Rendemen Chitin I =

    =40,00 %

    Rendemen Chitin II =

    = 58,3 %

    Rendemen Chitosan =

    = 24,30 %

    Kelompok C5

    Rendemen Chitin I =

    = 21,19 %

    Rendemen Chitin II =

    = 40,32 %

    Rendemen Chitosan =

    = 11,25 %

    6.2. Laporan Sementara

    6.3. Diagram Alir

    6.4. Abstrak Jurnal