Pneumonia Referat
Click here to load reader
-
Upload
muhammad-nazli -
Category
Documents
-
view
74 -
download
1
Transcript of Pneumonia Referat
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah
maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi
akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk
pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12
kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat
infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di
Amerika adalah 10 %.1
Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya
ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu
beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal
pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. Pneumonia komuniti menduduki
peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.1,4,5
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-
akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri Gram negatif.1,4
Pneumonia yang didapat dari masyarakat (CAP) adalah penyebab paling
sering dari kejadian sepsis berat dan penyebab utama kematian akibat infeksi di
Amerika Serikat, dengan biaya tahunan diperkirakan $ 8,4 miyar pada tahun 2001.
Meskipun banyak kemajuan dalam ilmu kedokteran, angka kematian akibat CAP
hanya sedikit berubah dalam empat dekade terakhir, meskipun adopsi secara luas
vaksin 7-valent pneumococcal conjugate pada anak tampaknya memiliki dampak
positif pada penyakit orang dewasa termasuk pneumonia.2
1
Temuan klinis influenza yang tumpang tindih dengan infeksi bakteri
komunitas pneumonia (CABP), dan infeksi influenza dapat dipersulit oleh infeksi
bakteri.3
Para dokter harus mampu untuk mengenali community-acquired
pneumonia (CAP) sehingga intervensi diagnostik dan terapi dapat dimulai segera.
Juga penting untuk memahami penyebab yang paling mungkin terhadap CAP
sehingga dapat dipilih terapi antimikroba inisial yang sesuai. Terutama selama
musim flu, influenza dapat hadir sebagai CAP dan harus dimasukkan dalam
diagnosis banding. Ketika mengelola pasien dengan CAP, dokter harus
menentukan tingkat perawatan, tes diagnostik, agen antimikroba, dan rencana
tindak lanjut yang diperlukan.3
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PNEUMONIA KOMUNITAS
2.1.1 Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.1
Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang didapat di masyarakat.
Pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka
kematian tinggi di dunia.1,4
2
2.1.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-
akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri Gram negatif.1,4
Menurut banyak kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak
disebabkan bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini
laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negatif.1
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia
(Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan
bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil
pemeriksaan sputum sebagai berikut:1
Klebsiella pneumoniae 45,18%
Streptococcus pneumoniae 14,04%
Streptococcus viridans 9,21%
Staphylococcus aureus 9%
Pseudomonas aeruginosa 8,56%
Steptococcus hemolyticus 7,89%
Enterobacter 5,26%
Pseudomonas spp 0,9%
2.1.3 Patogenesis dan Patologi1,4,5
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
3
biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara
Kolonisasi. ecara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui
udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses
infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring)
kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi
paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal
waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol
dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 108-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran
napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis
mikroorganisme yang sama.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan
dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host
dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu:
4
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel
darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan
'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas.
2.1.4 Gejala Klinis dan Diagnosis1,4,5
Diagnosis pneumonia komunitas didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia
komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat
progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
• Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500
Penilaian derajat Kiparahan penyakit
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini:
Tabel 2.1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT
5
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau
lebih' kriteria di bawah ini.
Kriteria minor:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita
riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis
6
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat
inap pneumonia komuniti adalah:
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Kriteria perawatan intensif
Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah
penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu
(membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor >4 jam [syok
sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto
toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg).
Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan
Ruang Rawat Intensif.
2.2 MANAJEMEN TERBARU PADA PENYAKIT PNEUMONIA
KOMUNITAS
2.2.1 Pengobatan
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pengobatan CAP yang sesuai
dengan pedoman telah memberikan hasil klinis yang membaik.2
Pemberian antibiotik segera
Berdasarkan studi yang menunjukkan tingkat kematian lebih rendah bila
antibiotik dimulai lebih cepat, Medicare dan Medicaid mengadopsi penilaian
kualitas yang menunjukkan antibiotik mulai diberikan dalam waktu 4 jam pada
pasien yang dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa penelitian selanjutnya
7
menunjukkan bahwa diagnosis pneumonia seringkali tidak benar dan bahwa
pemberian antibiotik yang cepat dapat menyebabkan kesalahan diagnosis, terlalu
sering menggunakan antibiotik, dan risiko infeksi Clostridium difficile yang lebih
tinggi.2
Pedoman IDSA/ATS saat ini merekomendasikan bahwa dosis antibiotik
inisial diberikan saat pasien masih di gawat darurat, tapi jangan menunjukkan
waktu khusus yang harus diberikan. Medicare dan Medicaid kemudian diperbarui
ukuran kualitas mereka menjadai pemberian antibiotik dalam waktu 6 jam.2
Jenis antibiotik yang digunakan
Pemilihan agen antimikroba tergantung pada tingkat keparahan penyakit
pasien dan kondisi komorbiditasnya. Meskipun kebanyakan studi terapi
kombinasi antibiotik secara retrospektif dan pengamatan, mereka mengatakan
bahwa sebuah makrolid (yaitu, salah satu "mycins") ditambahkan ke antibiotik
beta-laktam dapat bermanfaat, mungkin dengan bekerja terhadap organisme
atipikal atau melalui kerja anti-inflamasi. Pemilihan satu antibiotik terhadap yang
lain tampaknya kurang penting, dan tinjauan dari Cochrane baru-baru ini
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam keberhasilan
antara lima pasang antibiotik dipelajari.2
Pengobatan empiris rawat jalan pada pasien CAP yang sebelumnya sehat
dengan tidak adanya faktor risiko yang resistan obat terhadap S. pneumonia harus
diberikan baik makrolid (azitromisin [Zithromax], klaritromisin [Biaxin], atau
eritromisin) atau doksisiklin. Jika pasien memiliki kondisi komorbid kronis seperti
penyakit jantung, paru-paru, hati, atau penyakit ginjal, diabetes melitus,
alkoholisme, keganasan, asplenia, atau imunosupresi atau telah menerima
antimikroba dalam 3 bulan sebelumnya, maka pengobatan harus mencakup baik
fluorokuinolon pernafasan (moksifloksasin [Avelox] atau levofloksasin
[Levaquin]) atau beta-laktam ditambah dengan satu macrolide.2
Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup
sama pada monoterapi fluorokuinolon seperti beta-laktam ditambah terapi
kombinasi makrolida, dan lebih baik dibandingkan dengan monoterapi beta-
laktam.2
8
Pemilihan antibiotik untuk pengobatan CAP rawat inap dipengaruhi oleh
tingkat keparahan penyakit. Pasien rawat inap yang tidak memerlukan perawatan
intensif harus ditangani baik dengan fluorokuinolon pernafasan atau terapi
kombinasi dengan beta laktam (sefotaksim [Claforan], ceftriaxone [Rocephin],
ampisilin, atau ertapenem [Invanz]) ditambah makrolida atau doksisiklin. Jika
diagnosis mikrobiologis khusus dibuat, maka pengobatan dapat dipersempit.
Namun dalam kasus tertentu, seperti infeksi pneumokokus invasif, terapi
kombinasi mungkin masih lebih baik. Untuk pasien yang membutuhkan
perawatan intensif, pengobatan harus selalu menyertakan beta-laktam ditambah
baik dengan azitromisin atau fluorokuinolon pernapasan. Dalam situasi tertentu,
juga dapat ditambahkan antibiotik tambahan, seperti obat untuk mengobati
Pseudomonas, MRSA yang didapat dari masyarakat, atau keduanya.2
Pengalihan ke terapi oral; terapi jangka pendek
Dalam rangka menghindari antibiotik yang tidak perlu, banyak penelitian
telah membahas masalah dalam "proses pengalihan awal" terhadap antibiotik oral
dan terapi "jangka pendek" untuk CAP. Secara umum, setelah keadaan klinisnya
stabil, pasien dengan CAP, termasuk pneumonia pneumoniae bacteremic S, dapat
dengan aman beralih ke antibiotik oral.2
Masalah pemberian terapi jangka pendek lebih rumit, dan terapi dengan
masa yang sesuai untuk CAP tidaklah mapan. Namun, pemberin levofloxacin 750
mg selama 5 hari terbukti berhasil seperti juga dengan pemberian dari
levofloxacin 500 mg 7 sampai 10 hari. Dalam studi lain, pada pasien CAP yang
membaik setelah 3 hari pemberian terapi intravena, tidak ada perbedaan hasil
klinis antara mereka ketika dialihkan pada terapi oral selama 5 hari dan mereka
yang menerima obat oral plasebo.2
Kebanyakan pasien yang mencapai stabilitas klinis pada minggu pertama
tidak memerlukan terapi antibiotik yang berkepanjangan. Namun, kondisi
tertentu, seperti pneumonia bacteremic S.aureus, pneumonia komplikata, dan
pneumonia karena organisme yang tidak biasa, mungkin memerlukan pengobatan
jangka panjang.2
Terapi Lainnya2
9
Terapi tambahan yang dipelajari pada pasien dengan pneumonia meliputi
mobilisasi dini, pemberian kortikosteroid tambahan, dan obat statin.
Mobilisasi dini ditunjukkan dalam sebuah studi dapat mengurangi waktu
tinggal di rumah sakit tanpa meningkatkan efek samping.
Kortikosteroid tidak didukung sebagai standar perawatan untuk pasien
dengan CAP parah menurut studi yang ada pada saat ini. Selanjutnya, uji coba,
acak terkontrol menunjukkan bahwa pemberian prednisolon setiap hari selama
seminggu tidak meningkatkan hasil pada pasien CAP rawat inap, dan terkait
dengan kegagalan akhir yang meningkat.
Percobaan tentang penggunaan obat Statin sedang berlangsung. Beberapa
studi observasional menunjukkan bahwa statin mungkin akan bermanfaat dalam
mengelola sepsis melalui pengaruhnya terhadap fungsi sel endotel, efek
antioksidan, anti-inflamasi, dan efek imunomodulator. Namun, studi prospektif
kohort besar multicenter baru-baru ini pasien rawat inap dengan CAP tidak
menemukan bukti efek perlindungan dari statin pada hasil klinis yang berarti
dalam CAP atau perbedaan yang signifikan dalam sirkulasi biomarker. Beberapa
percobaan acak dari terapi statin pada pasien dengan kedua pneumonia ventilator
terkait maupun CAP saat ini sedang berlangsung.
Pengobatan terhadap Influenza: Paling efektif dalam waktu 48 jam
Pengobatan dengan obat antivirus yang paling efektif jika dimulai dalam
waktu 48 jam setelah onset gejala, meskipun beberapa pasien dengan influenza
dikonfirmasi baik yang tidak berkembang atau yang sakit kritis masih dapat
mengambil manfaat dari pengobatan yang dimulai lebih dari waktu tersebut.
Pengobatan harus dipertimbangkan pada pasien dengan influenza yang
dikonfirmasi pada hasil laboratorium atau diduga yang berisiko terkena influenza
komplikata dan pada pasien sehat yang ingin mengurangi durasi penyakit atau
yang berhubungan dekat dengan pasien yang memiliki resiko tinggi komplikasi.
Obat antivirus yang digunakan berupa oseltamivir (Tamiflu), zanamivir (Relenza),
amantadine dan adamantines (Symmetrel) dan rimantadine (Flumadine).2
Karena berkembang pola resistensi virus, pilihan obat antivirus tergantung
pada strainnya. H1N1 musiman paling baik diobati dengan zanamivir atau
10
Adamantine, sementara pandemi H1N1 dan H3N2 2009 terbaik diobati dengan
zanamivir atau oseltamivir. Ketika tipe strain tidak tersedia, harus diberikan terapi
empirik baik dengan monoterapi zanamivir atau kombinasi dari oseltamivir
ditambah rimantadine. Virus Influenza B yang tahan terhadap adamantines dan
harus diobati hanya dengan zanamivir atau oseltamivir.2
Follow-up dan Proses Pencegahan2
Pasien dengan CAP secara umum diharapkan dapat membaik dalam waktu
3 sampai 7 hari. Namun, mungkin beberapa minggu sebelum mereka kembali ke
keadaan awal.
Rencana follow-up dapat dipandu oleh waktu dari stabilitas klinis. Untuk
pasien yang tidak mencapai stabilitas klinis sampai lebih dari 72 jam setelah
masuk, diindikasikan lebih agresif follow-up pada saat keluar, karena mereka
lebih mungkin mengalami kekambuhan kembali yang segera dan kematian.
Vaksinasi Pneumokokus. Karena S pneumoniae tetap menjadi penyebab
paling umum CAP, harus dilakukan upaya untuk memvaksinasi pasien dengan
tepat. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan US Centers for
Disease Control and Prevention merekomendasikan bahwa vaksin pneumokokus
polisakarida (Pneumovax 23; PPSV23) dapat diberikan pada mereka di atas usia
65 tahun. Mereka yang divaksinasi sebelum usia 65 tahun harus menerima
dosisnya lagi pada usia 65 tahun atau nanti jika minimal 5 tahun telah berlalu
sejak diberikan dosis sebelumnya.
Mereka yang menerimanya pada atau setelah usia 65 harus hanya
menerima dosis tunggal. Dosis kedua dianjurkan 5 tahun setelah dosis pertama
untuk orang usia 19 sampai 64 tahun dengan asplenia fungsional atau anatomis
dan bagi mereka yang immunocompromised.
Vaksinasi Influenza untuk semua. Dengan catatan, ACIP yang diperbarui
pedoman terhadap vaksinasi influenza yang dimulai dengan musim flu 2010-
2011. Proses ini tidak lagi menyarankan pendekatan stratifikasi resiko.
Sebaliknya, merekomendasikan vaksinasi influenza universal untuk semua orang
yang berusia lebih dari 6 bulan.
Proses berhenti merokok harus ditangani. Berhenti merokok adalah
ukuran kualitas Medicare dan Medicaid dan harus didorong setelah episode CAP
11
karena berhenti merokok dapat mengurangi risiko penyakit pneumokokus sekitar
14% setiap tahun setelahnya.
2.2.2 Terapi Antibiotika yang Optimal Terhadap CAP Berat
Angka kematian yang meningkat pada pasien CAP berat yang tidak
menerima antibiotik empiris yang menutupi patogen infeksius telah
didokumentasikan dengan baik. Oleh karena itu, meskipun tes mikrobiologi
tradisional seperti pemeriksaan dahak dan kultur darah memiliki nilai terbatas
dalam banyak kasus CAP, identifikasi patogen lebih mungkin diarahkan terapi
pada patogen yang dikaitkan dengan kecenderungan untuk hasil yang lebih baik
pada pasien dengan penyakit yag parah.3
Beberapa dekade belakangan ini terlihat semakin banyak bukti tentang
hasil yang jauh lebih baik pada pasien CAP berat ketika digunakan antibiotik
kombinasi daripada obat tunggal. Rasio odds kematian antara pasien yang
menerima monoterapi setelah disesuaikan dengan tingkat keparahan penyakit di
seluruh penelitian ini berkisar antara satu setengah dan sampai enam kali lebih
besar untuk pasien yang menerima terapi kombinasi. Tidak mengherankan,
tingkat kematian yang terutama terlihat pada mereka dengan penyakit yang paling
parah.3
Yang menjadi semakin jelas dari analisis ini adalah bahwa manfaat dari
terapi kombinasi dalam CAP berat terlihat hanya bila bagian dari rejimennya
berupa antibiotik macrolide. Meskipun sejumlah besar publikasi, penggunaan
wajib dari macrolide pada CAP berat sejauh ini belum tercakup dalam pedoman.
Sayangnya, penelitian prospektif, acak, double blind industri farmasi yang bisa
memberikan data-data penting gagal untuk mendaftar pasien dengan CAP parah
atau tidak termasuk macrolide pda setidaknya satu jenis terapi.3
Makrolid memiliki efek kerja melawan virus pernapasan pada anak-anak,
dan dengan demikian koinfeksi virus dapat dipengaruhi oleh makrolid. Pada
patogen model hewan tunggal juga menunjukkan keuntungan yang jelas dari
macrolides, bahkan dengan patogen yang resisten terhadap macrolide. Oleh
karena itu, meskipun ada kemungkinan memberikan kontribusi melawan patogen
atipikal, tampaknya hal yang paling penting adalah besarnya keuntungan terhadap
12
tingkat kematian terlihat pada terapi macrolide dalam kombinasi dengan antibiotik
lain pada penanganan CAP yang parah.3
Sifat antiinflamasi dari macrolide telah banyak didokumentasikan, seperti
juga keberhasilannya dalam penanganan penyakit seperti panbronchiolitis,
bronkiolitis obliteran, dan fibrosis kistik. Mekanisme macrolide yang mengubah
respon imun masih belum dijelaskan dengan baik, tetapi mungkin melibatkan
modifikasi pada heat shock protein-70 dan sinyal jalur p38. Makrolid juga dapat
meningkatkan fungsi kemotaktik dan fagositik makrofag, yang mungkin
membantu dalam pembersihan bahan apoptosis dari jalan napas yang dengan
demikian akan mengurangi peradangan. Mengingat peran respon inflamasi yang
terdokumentasi dengan baik dalam menangani cedera organ dalam pasien dengan
sepsis, sifat imunomodulasi dari makrolid mungkin memainkan peran utama
dalam efek yang menguntungkan tersebut.3
2.2.3 Proses Perawatan Klinis Optimal Pada Penderita CAP
Manajemen CAP telah diawasi dengan ketat oleh para penyedia perawatan
kesehatan. Tidak hanya biaya perawatan kesehatan yang signifikan terkait
dengannya, tetapi penyakit CAP juga jauh lebih mudah untuk menentukannya dari
infeksi saluran pernapasan generik bagian bawah. Sayangnya, sebagian besar
pasien menerima terapi yang berbeda dari pedoman yang direkomendasikan dan
kesepakatan dari praktek klinis dengan pedoman tetap menjadi tantangan besar.
Waktu pemberian pertama untuk dosis antibiotik dalam waktu 4 jam (kemudian
santai sampai 6 jam) sebagai kriteria kualitas untuk pelaporan publik telah
memberikan dampak negatif yang signifikan, seperti overdiagnosis CAP, terlalu
sering menggunakan antibiotik, dan terjadinya toksisitas antibiotik termasuk
kolitis Clostridium.3
Analisis penyebab keterlambatan dalam memberikan terapi antibiotik
ditemukan karena fenomena kompleks terkait dengan komorbiditas pasien yang
mengurangi kecurigaan klinis terhadap pneumonia. Selanjutnya, komorbiditas
substansial yang sama menyebabkan keterlambatan dalam dosis antibiotik awal
juga dampak pada kematian, yang menyebabkan korelasi sebab-akibat yang tidak
benar. Keakuratan database studi retrospektif untuk merekam variabel kunci
seperti kegagalan organ kronis ringan atau yang masih dipertanyakan,
13
meningkatkan kemungkinan tidak cukup mengendalikannya dalam analisis
sebelumnya. Mungkin yang lebih penting lagi, mengingat bahwa setidaknya
setengah dari penyebab kematian akibat CAP dianggap terkait dengan nonsepsis,
pengurangan angka kematian mungkin akan tergantung pada tindakan untuk
mengatasi faktor komorbid kunci seperti risiko gagal jantung, iskemia jantung,
profilaksis trombosis, hidrasi yang cukup, gizi, diabetes , dan aspirasi. Indikator
seperti antibiotik yang lebih lambat waktu pengirimannya, untuk mengambil
kultur darah, atau kegagalan untuk mematuhi pedoman antibiotik di gawat darurat
hampir pasti mungkin terkait dengan kurang memperhatikan isu-isu lainnya
manajemen kunci seperti manajemen cairan yang cukup, pengakuan tepat terkait
kardiovaskular kompromi termasuk iskemia miokard, profilaksis trombosis vena,
dan kontrol glikemik. Lembaga terlalu banyak bekerja atau kewalahan juga sangat
kecil kemungkinannya untuk menghadiri faktor lainnya yang dapat meningkatkan
hasil, seperti ambulasi dini.3
2.2.4 Konsekuensi Jangka Panjang terhadap CAP
Sepertinya perubahan terbesar dalam pemahaman kita tentang dampak
pneumonia terhadap host telah menjadi dokumentasi dari tingkat kematian
berkelanjutan selama lebih dari 2 tahun setelah selamat dari sebuah episode CAP.
Brancati dan rekannya pertama kali diidentifikasi tingkat kematian saat 2 tahun
yang tinggi pada penderita pneumonia pada semua kelompok umur. Namun,
kelompok mereka tersenut termasuk pasien dengan HIV, keganasan, dan penyakit
penyerta yang berat, menyebabkan beberapa pertanyaan tentang adanya asosiasi.
Dengan menggunakan database Medicare AS, Kaplan dan rekan menemukan
bahwa pasien CAP yang selamat dari rumah sakit memiliki tingkat kematian
setelah 1 tahun sebesar 2,5 kali lebih besar dari subyek kontrol yang usia dan jenis
kelaminnya serupa, tapi tidak ada penyebab yang spesifik. Vergis dan rekan
menunjukkan hasil yang sama dalam studi yang lebih kecil dari pasien usia lanjut
dari fasilitas perawatan perumahan. Analisis ketahanan hidup 5 tahun dari kohort
digunakan untuk memvalidasi PSI menunjukkan tingkat kematian yang cukup
besar dibandingkan dengan subyek kontrol yang usia dan jenis kelaminnya sama.
Saat penyakit penyerta merupakan salah satu penyebab potensi utama mortalitas
14
jangka panjang yang berlebih pada pasien dengan CAP, temuan bahwa kematian
2-tahun pada pasien tanpa penyakit penyerta jelas jauh lebih besar.3
BAB III
KESIMPULAN
- Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pengobatan CAP yang sesuai
dengan pedoman telah memberikan hasil klinis yang membaik.
- Setelah puluhan tahun dengan perubahan yang relatif lambat, ranah klinis
CAP sekarang berkembang dengan cepat.
- Potensi biomarker dan terutama penilaian secara molekuler terhadap
muatan bakteri menawarkan jalan baru yang menarik secara diagnosis,
prognosis, dan sebagai panduan terapi.
15
- Kesadaran bahwa CAP memiliki implikasi jangka panjang terhadap
kesehatan juga merupakan perubahan besar dalam pemikiran klinis dengan
implikasi terapeutik yang signifikan.
- Kepercayaan tradisional mengenai terapi antimikroba telah berubah,
setidaknya terhadap pneumonia pneumokokus bacteremik.
- Perlu dilakukan sejumlah besar penelitian untuk menjawab masalah yang
belum terselesaikan kunci yang disoroti dalam diskusi ini, tetapi banyak
yang optimis tentang hal potensi yang secara signifikan meningkatkan
hasil pasien dengan CAP pada 5 sampai 10 tahun mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. PDPI 2003.
2. Waterer. Grant W. Management of Community-acquired Pneumonia in
Adults. Am J Respir Crit Care Med Vol 183. pp 157–164, 2011
3. Haessler, Sarah. Managing community-acquired pneumonia during flu
season. Cleveland Clinic Journal Of Medicine Vol. 7 9, No. 1, 2012
4. Mandell, Lionel A. Infectious Diseases Society of America/American
Thoracic Society Consensus Guidelines on the Management of
16
Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical Infectious Diseases
2007; 44:S27–72
5. American Thoracic Society Documents. Guidelines for the Management of
Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-
associated Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med Vol 171. pp 388–416,
2005
17