PERMUKIMAN LIAR (SQUATTER SETTLEMENT) DI JALUR …
Transcript of PERMUKIMAN LIAR (SQUATTER SETTLEMENT) DI JALUR …
Jurnal Planologi E-ISSN : 2615-5257Vol. 17, No. 2, Oktober 2020 P-ISSN : 1829-9172Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
150
PERMUKIMAN LIAR (SQUATTER SETTLEMENT) DI JALURKERETA API KOTA SEMARANG
Mohammad Agung RidloDosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, UNISSULA
Penulis Korespondensi E-mail: [email protected]
ABSTRACTSquatter settlement is increasingly spreading in various urban corners of Indonesia, including in
Semarang Metropolitan City. The reality of existing squatter settlements invaded vacant land, unpreservedand lacked (no) supervision from landowners, eventually forming slum enclaves, one of which was on therailway line in Semarang City. Railways should not be allowed to be used as residential areas. The squattersettlement is inhabited by people on low incomes (economically incapable). Research methods are conductedin a qualitative scriptive way, through empirical observation, interactively, with inductive methods. Theapproach of the room system is carried out to interpret circum citizen activity related to the request orzoning.Meanwhile, theoretical studies were conducted to help identify and analyze in this study. Thisresearch illustrates that squatter settlement occurs in addition to the retardation and poverty experienced bycitizens, also due to the inability of the government and its apparatus in terms of supervision (Uncontrolled).Therefore, space arrangement is required (including planning, coaching, implementation, supervision andcontrol).
Keywords: squatter settlement, railway
ABSTRAKSquatter settlement makin merebak di berbagai sudut perkotaan di Indonesia, termasuk di Kota
Semarang Metropolitan. Realita yang ada squatter settlement merebak menginvasi lahan-lahan kosong, tidakterpelihara dan kurang (tidak ada) pengawasan dari pemilik lahan, akhirnya membentuk enclave-enclavekumuh, salah satunya di jalur kereta api di Kota Semarang. Jalur kereta api semestinya tidak diperkenankanuntuk dijadikan sebagai kawasan permukiman. Squatter settlement tersebut dihuni oleh orang-orang yangberpenghasilan rendah (tidak mampu secara ekonomi). Metode Penelitian dilakukan secara diskriptifkualitatif, melalui observasi empirik, interaktif, dengan metoda induktif. Pendekatan sistem keruangandilakukan untuk menginterpretasikan circum aktivitas warga kaitannya dengan permintakatan atauzoningnya. Sedangkan kajian teoritis dilakukan untuk membantu mengidentifikasi dan menganalisis dalampenelitian ini. Penelitian ini menggambarkan bahwa squatter settlement terjadi selain masih adanyaketerbelakangan dan kemiskinan yang dialami oleh warga, juga dikarenakan ketidakmampuan pemerintahdan aparatnya dalam dalam hal pengawasan (Uncontrolled). Karenanya, diperlukan adanya penataan ruang(meliputi perencanaan, pembinaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian).
Kata Kunci: squatter settlement, jalur kereta api
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I151Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
1. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang
Kota-kota di negara ini menghadapi paradoks perkembangan yang sering disebut
dengan dualisme perkotaan atau kota berwajah ganda (Dieters, Hans Dan Rudiger Korff,
2002). Di satu sisi adanya percepatan pembangunan fisik dan ekonomi, maraknya gedung
gedung pencakar langit, namun pada sisi lain di sudut sudut kota tampak permukiman
kumuh yang berupa gubug-gubuk liar atau squatter settlement. Fenomena keberadaan
squatter settlement terbentuk secara organik, sebagai bagian dari suatu permukiman kota
yang merebak sejalan dengan perkembangan kota.
Squatter settlement makin merebak di berbagai sudut perkotaan di Indonesia,
termasuk di Kota Semarang Metropolitan. Realita yang ada squatter settlement merebak
menginvasi lahan-lahan kosong secara liar (illegal/tanpa hak milik) tanpa ijin kepada
pemiliknya, lahan tidak terpelihara dan kurang (tidak ada) pengawasan dari pemilik lahan,
akhirnya membentuk enclave-enclave kumuh.
Laju pertambahan penduduk (sumber daya manusia yang tidak mampu secara
ekonomi atau minimnya pendapatan) yang makin pesat disetiap tahun merupakan salah
satu faktor yang memicu perkembangan squatter settlement di beberapa tempat yang
semestinya tidak diperkenankan untuk dijadikan sebagai kawasan permukiman.
Squatter settlement menyebar di berbagai lokasi di Kota Semarang, yakni di
kawasan Urban Centre, Urban dan Sub Urban. Merebaknya squatter settlement tentu
berkaitan erat dengan permasalahan sosial ekonomi masyarakat marginal, termasuk
penyakit masyarakat (pathology social) yang berupa bentuk penyimpangan perilaku seperti
kriminalitas dan vandalisme.
Squatter settlement tersebut dihuni oleh orang-orang yang berpenghasilan rendah
(tidak mampu secara ekonomi). Lokasi squatter settlement berada di sekitar pasar
tradisional, pemakaman umum, pasar tradisional, terminal lama, di bawah jembatan,
dipinggir kali/sungai dan di jalur kereta api. Pada penelitian ini dipilih squatter settlement
yang berada di jalur kereta api. Realita yang ada di jalur kereta api tampak bahwa telah
terjadi konflik keruangan antara masyarakat dengan pengelola transportasi kereta api.
Konflik tersebut berupa terjadinya pemanfaatan ruang (penyerobotan lahan milik PT
Kereta Api Indonesia) menjadi kawasan squatter settlement pada jalur kereta api (koridor
rel kereta api). Konflik pemanfaatan ruang yang terjadi di jalur kereta api, menggambarkan
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I152Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
bahwa tidak adanya kontrol dan pengawasan yang ketat dari pihak berwenang
(pemerintah).
1.2. Rumusan Masalah
Terjadi konflik keruangan antara tempat tinggal dengan fungsi jalur kereta api.
Merebaknya squatter settlement di jalur kereta api.
Terjadi degradasi lingkungan pada jalur kereta api.
kawasan rawan kecelakaan transportasi kereta api.
1.3. Tujuan PenelitianTujuan dari penelitian ini antara lain :
Mengetahui konflik keruangan di jalur kereta api
Memberikan gambaran tentang pemanfaatan ruang di jalur kereta api.
Mengetahui kebijakan ruang pada jalur kereta api.
1.4. Manfaat PenelitianManfaat/kontribusi dari penelitian ini antara lain :
Adanya suatu kajian yang dapat dimanfaatkan bagi pemerintah daerah, maupun semua
pihak yang berkaitan dengan kawasan sepanjang jalur kereta api, dengan harapan
pada kawasan tersebut pemanfaatan ruangnya dapat lebih terarah dan tertata dengan
baik, memperhatikan dan mempertimbangkan kelestarian dan kualitas lingkungan
hidup.
Sebagai upaya penyiapan awal tentang pengelolaan ruang kawasan sepanjang jalur
kereta api, dengan penuh pertimbangan dan tanggung jawab.
1.5. Ruang Lingkup Substansial dan SpasialRuang lingkup substansi penelitian ini adalah kondisi riil kondisi riil kehidupan
orang-orang miskin di squatter settlement di jalur kereta api di Kota Semarang. Sedangkan
ruang lingkup spasial penelitian ini adalah pada jalur kereta api antara Jl.Brotodjoyo-
Jl.Hasanudin, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. Secara lebih jelas dapat
dilihat pada gambar berikut.
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I153Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
LOKASI PENELITIAN SQUATTER SETTLEMENT BERADADI SEBAGIAN KAMPUNG ABIMANYU, KELURAHAN PINDRIKAN LOR,
KECAMATAN SEMARANG TENGAH KOTA SEMARANG
KAB. KENDAL
KAB. DEMAK
Ke Surabaya / Surakarta
Ke Purwodadi
Ke Demak
Ke Jakarta
LAUT JAWALAUT JAWA
Ke Boja
Jl.Kaligawe
Jl.G
enuk
sari
Banji
rKa n
alTi m
ur
Jl .S u
p ri y
adi
Jl.G
a ja h
Jl.Dr
. Cipt
oK .
Bang
er
Jl. Karangroto
Kal i Babon
Jl. Brigjend. Sudiarto
Jl.E.
Tant
ular
Jl.R.
Wars
ito
Jl.Pem
uda
K.Semarang
Jl.A. YaniJl. VeteranJ l. Tol
Jl .Papandayan
Jl. Pandanaran
Jl.Ar
teri
Jl. Si liwangi Jl. Pamularsih
Jl.Se
tiabu
diKa
liGa
rang
Kali
Krip
ik
Kal iKreo
Jl.Ra
yaM
ijen
Jl.Jati
barang
N G A L I A N
SMG. SELATAN
SMG. T
IMUR
GAY
AMSA
RI
CANDISARIGAJAHMUNGKUR
SMG. BARAT
PEDURUNGAN
G E N U K
TEMBALANG
BANYUMANIK
GUNUNGPATI
M I J E N
Banji
rKan
alBa
rat T U G U SMG. UTARA
SMG. TENGAH
PUAD A. YANI
Kec. Semarang Utara
Kel. Pindrikan Kidul
Kec.
Sem
aran
gBa
rat
Kel. S
ekayu
Jl. Indraprasta
Jl. Hasanudin
Sung
aiBa
njir
Kana
l
JAKARTA
SURABAYA
Gambar 1. Lokasi Penelitian di squatter settlement di Kampung Abimanyu, KelurahanPindrikan Lor Kecamatan Semarang TengahSumber: Ridlo, 2014
Lokasi Penelitian disquatter settlement diKampung Abimanyu,Kelurahan PindrikanLor KecamatanSemarang Tengah
Sumber: Ridlo, 2014
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I154Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
2. METODE PENELITIANPenelitian ini dilakukan secara diskriptif kualitatif, melalui:
Observasi empirik, interaktif, dengan metode induktif (dari sejumlah data) perilaku
masyarakat yang dipelajari langsung dari habitat/lingkungannya, yang selanjutnya
dianalisis berdasarkan kesesuaian antara teori dengan observasi yang ada di lapangan.
Kajian teoritis, merupakan metode pendekatan yang dilakukan untuk membantu
mengidentifikasi dan menganalisis dalam penelitian ini, tentunya yang berkaitan dengan
permasalahan slum settlement and squatter settlement. Baik latar belakang terjadinya
slum settlement and squatter settlement, standar suatu permukiman, strategi dan
program-program yang telah dilakukan untuk mengatasi problem permukiman.
Pendekatan dengan sistem keruangan untuk melihat lokasi slum settlement and squatter
settlement dan aktivitas penduduknya.
3. HASIL DAN PEMBAHASANDari hasil penelitian maka berikut ini disampaikan beberapa kajian yang berkaitan
dengan tema penelitian yaitu kajian mengenai slum settlement and squatter settlement.
Dalam UUD 1945 pasal 38 H ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Menurut UU 1 tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dijelaskan mengenai Hak dan Kewajiban
Warga Negara dalam hal Perumahan. Hak dan kewajiban tersebut adalah (1) setiap warga
negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan / atau memiliki rumah
yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur; (2) Setiap warga negara
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan
perumahan dan permukiman.
3.1. Perumahan dan PermukimanPerumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik
perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum
sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sementara permukiman adalah
bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi
lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (UU no.1 tahun 2011). Menurut
Sumaatmadja permukiman adalah bagian permukaan bumi yang dihuni manusia meliputi
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I155Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
segala sarana dan prasarana yang menunjang kehidupannya yang menjadi satu kesatuan
dengan tempat tinggal yang bersangkutan (Sumaatmadja,1988).
Unsur-unsur utama pembentuk lingkungan permukiman menurut Doxiadis terdiri dari:
1. Alam (nature), Permukiman akan sangat ditentukan oleh adanya alam lingkungan
(biotic maupun abiotic) seperti lingkungan hidup (flora dan fauna) maupun sumber
daya fisik dasar (geologi dan pertambangan).
2. Manusia (antropos), Permukiman dipengaruhi oleh dinamika dan kinerja manusia.
3. Masyarakat (society), hakekatnya dibentuk karena adanya manusia sebagai kelompok
masyarakat. Permukiman akan dipengaruhi oleh aspek-aspek dalam masyarakat antara
lain seperti: kepadatan dan komposisi penduduk, pendidikan, kesehatan, ekonomi,
stratifikasi sosial, struktur budaya, kesejahteraan dan hukum.
4. Ruang kehidupan (shell), manusia sebagai individu maupun sebagai kelompok
masyarakat dalam melangsungkan kiprah kehidupannya dipastikan tidak terlepas
adanya interaksi pada suatu ruang (spatial).
5. Jaringan (network), manusia dalam interaksi pada suatu ruang kehidupan perlu
didukung adanya infrastruktur jaringan jalan, air bersih, drainase dan sewerage, listrik,
telekomunikasi, dan sebagainya) (Doxiadis, 1974).
Dengan demikian bisa disimpulkan pengertian perumahan adalah kumpulan rumah-
rumah sebagai tempat bermukim manusia dalam melangsungkan kehidupannya, yang
dapat memberi rasa aman, tenteram, nikmat, nyaman dan sejahtera, dalam keselarasan,
keserasian dan keseimbangan agar berfungsi sebagai wadah yang dapat melayani
kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat. Sedangkan pengertian permukiman
adalah suatu kawasan perumahan secara fungsional sebagai satuan sosial, ekonomi dan
fisik ruang yang lengkap dengan prasarana lingkungan, prasarana dan sarana umum, dan
fasilitas sosial yang mengandung keterpaduan kepentingan dan keselarasan pemanfaatan
sebagai lingkungan kehidupan.
3.2. Permukiman Kumuh dan Permukiman LiarPermukiman kumuh dan permukiman liar atau sering disebut dengan slum
settlement dan squatter settlement, sebenarnya mudah dirasakan dan dilihat daripada
dikatakan. Cukup sulit untuk membatasi apa sebenarnya yang dimaksud dengan
permukiman kumuh dan liar itu. Gambaran kemiskinan akan selalu nampak jika kita
melihat pemandangan dipermukiman kumuh dan permukiman liar, baik kemiskinan tempat
maupun kemiskinan sosial. Kemiskinan tempat karena kondisinya sebagai tempat tinggal
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I156Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
tidak manusiawi, berupa gubuk-gubuk tidak teratur, berdesak-desakan, terbuat dari barang-
barang bekas seperti seng-seng bekas, plastik, karton, dan sisa-sisa buangan bangunan.
Kadang-kadang tanah yang dipergunakan adalah liar tidak menurut rencana pemerintah,
becek dan tidak memenuhi kesehatan seperti bawah jembatan, dipinggir kali/sungai,
dipinggir rel KA, disekitar pasar, terminal-terminal lama, dan akhirnya membentuk
perkampungan rapat yang padat dan berderet. Kemiskinan penduduk karena ditinjau dari
segi sosial ekonomi kondisinya sangat rendah termasuk penyediaan air dan listrik beserta
prasarana yang minim bahkan cenderung tidak tersedia. Kebanyakan penduduknya
berpendidikan rendah, berstatus rendah, dan mempunyai struktur keluarga yang tidak
menguntungkan. Permukiman tersebut merupakan tempat tinggal sebagian besar golongan
berpenghasilan rendah (Cohen, 1976). Ia adalah tempat penduduk yang status sosial dan
ekonominya rendah dan kondisi perumahan dibawah standar (Krausse, 1976). Demikianlah
batasan permukiman kumuh dan liar menurut Krausse dan Cohen. Sedangkan Muhtar
Lubis menggambarkan di gubuk-gubuk buruk dan kepingan papan, potongan bambu,
beratap plastik dan berdinding karton, sosok wanita, lelaki dan anak-anak tidur berdesakan,
dipinggir jalan KA, tidur diatas tanah yang hanya berlapis tikar sobek atau kertas koran tua
dan plastik. Di sinilah manusia Indonesia hidup rendah diatas tanah, setiap hari benar-
benar bergulat mencari sesuap nasi (Lubis M, 1977).
Gambar 2. Kondisi Aktifitas Ekonomi Di Koridor Rel
Menurut Huque, Asraf, 1975 menjelaskan permukiman kumuh sebagai terjemahan
dari “marginal settlement” atau “shanty town” yang diberbagai negara memperoleh nama
tersendiri seperti barriada (Peru), gececondu (Turki), buste (India), Chika (Ethiopia),
bidonville (Afrika) dan sebagainya (Ridlo, 2001).
Tempat tinggal sekaligus menjadi tempat aktifitas ekonomiwarga (berupa warung sayur) lokasi berada di koridor rel
kereta api.
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I157Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
Sedangkan Clerence Schubert 1979 dari United Nations Centre for Human
Settlements (UNCHS) memberikan batasan tentang “marginal settlement” tersebut sebagai
“primarily residential communities which are populated by low to middle income residents
but which generally lock municipal infrastructure and social services and develop outside
the formal urbanization process” (Ridlo, 2001).
Kandang burung dan ayam berada ±3m dari rel kereta api. Letaknya dekat dengantempat tinggalnya dan tidak menghiraukan nilai estetika, maupun nilai kesehatan.
Tampak sanitasi buruk tentu berdampak pada kesehatan warga di sekitarnya.Gambar 3. Gambar Aktifitas Lainnya di Sempadan Rel
Dengan batasan semacam itu yang mengartikan “marginal settlement”sebagai
lingkungan permukiman yang dihuni oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah
dan menengah akan tetapi yang kurang didukung oleh infrastruktur (Graham, Stephen,
2001), fasilitas dan pelayanan sosial dan berkembang di luar proses urbanisasi yang
formal, maka tercakuplah dua kategori permukiman yang lazim disebut kumuh (slum) dan
Liar (squatter).
Keduanya dengan ciri-ciri yang mirip tetapi pada hakekatnya berbeda, tidak bisa
begitu saja di satukan dengan istilah permukiman kumuh. Cara penanganannyapun pastilah
akan berlainan. Adapun batasan permukiman yang lazim disebut kumuh (slum settlement)
dan Liar (squatter settlement) sebagai berikut:
Slum settlement adalah suatu kawasan (bisa disebut dengan kampung) yang terdiri
dari beberapa rumah dengan kondisi kumuh, kurang layak huni dengan kepadatan
tinggi, umur bangunannya sudah menua; kepemilikan lahannya absah atau legal;
kurang tersedianya sarana dan prasarana lingkungan (fasilitas publik); fisik
kawasannya buruk dan kurang terpelihara. Slum settlement ini merupakan potret yang
mencerminkan wujud adanya kemiskinan di perkotaan. Beberapa kampung kumuh
(Slum settlement) di perkotaan di Indonesia telah memperoleh Program Perbaikan
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I158Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
Kampung (PPK) atau Kampong Improvement Programme (KIP) berubah menjadi
lingkungan permukiman yang layak huni (Jellinek, Lea, 1995).
Squatter settlement adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa rumah dengan
kondisi kumuh, kurang layak huni dengan kepadatan tinggi, berada di lahan milih
orang lain atau milik pemerintah (kepemilikan lahannya tidak absah, liar atau illegal);
tidak tersedianya sarana dan prasarana lingkungan (fasilitas publik); fisik kawasannya
buruk dan kurang terpelihara. Yang dimaksud dengan lahan illegal adalah antara lain
lahan kuburan, tempat pembuangan sampah, tanggul dan bantaran sungai, dibalik
dinding tembok milik orang lain, sepanjang tepi rel kereta api, di bawah jembatan, dan
lain-lain (Ridlo, 2001).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa permukiman kumuh (slum settlement)
dan permukiman liar (squatter settlement) adalah kawasan yang dipergunakan sebagai
tempat tinggal. Kondisi sosial dan ekonomi penduduknya rendah, penghasilan dibawah
standar, dan merupakan kantong-kantong (enclave-enclave) kemiskinan perkotaan.
Karakteristik dari permukiman kumuh (slum settlement) antara lain:
Lingkungan fisiknya dengan kondisi buruk dan kurang sehat.
Tidak/kurang tersedia sarana dan prasarana umum yang layak dan memadai untuk
penduduk.
Bangunan tempat tinggal (rumah) dengan tata letak yang tidak teratur, kondisinya
rapat dan padat.
Lahan yang ditempati merupakan lahan miliknya sendiri yang berarti absah atau legal.
Bangunan tempat tinggal sudah menua, karena ketidakacuhan sehingga kurang
terpelihara, disamping faktor ekonomi penduduk kurang mendukung.
Sejalan dengan pertambahan jumlah penghuni, maka bangunan tempat tinggal dibagi-
bagi menjadi petak-petak ruang bangunan yang semakin kecil dan padat penghuni.
Sedangkan karakteristik dari permukiman liar (squatter settlement) antara lain:
Lingkungan fisiknya dengan kondisi buruk dan kurang sehat.
Tidak tersedia sarana dan prasarana umum untuk penduduk.
Bangunan tempat tinggal (rumah) dengan tata letak yang tidak teratur, kondisinya
rapat dan padat.
Squatter settlement menempati lahan milik orang lain, swasta atau milik pemerintah,
yang berarti tidak absah atau illegal.
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I159Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
Squatter settlement lepas dari pengawasan (tidak terkontrol) pemilik lahan (swasta
maupun pemerintah), dengan kata lain squatter settlement terkesan adanya pembiaran
oleh yang berwenang.
Lokasi squatter settlement berada di sekitar pasar tradisional, pemakaman umum,
pasar tradisional, terminal laman, di bawah jembatan, dipinggir kali/sungai dan di jalur
kereta api.
Kondisi fisik lingkungan dan
Bahan bangunan yang dipakai berupa sisa-sia bongkaran bangunan seperti kayu, papan
dan seng bekas, kardus/karton, spanduk (MMT) bekas dan bahan lain yang bersifat
semi permanen.
Lokasi squatter settlement tidak sesuai dengan peruntukan kawasan (peraturan rencana
tata ruang) dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Ke semua itu pada akhirnya akan membentuk suatu perkampungan rapat yang
sangat padat dan berderet, tanpa sarana dan prasarana yang memadai.
Lingkungan permukiman kumuh dan liar di perkotaan sebagian besar merupakan
permukiman yang kehadirannya tidak terencana atau sesuai dengan rencana kota.
Pembangunan permukiman di perkotaan melibatkan berbagai aktor pembangunan yaitu:
pemerintah, swasta dan masyarakat.
3.3. Squatter Settlement di Kota SemarangPermasalahan squatter settlement di Kota Semarang muncul karena pemukimnya
para “migran” dan “urbanis” memerlukan tempat tinggal sebagai tempat berteduh (shelter)
sementara. Mereka melepas penat setelah seharian bekerja (sebagian besar di sektor
informal). Hal tersebut berlangsung terus menerus tanpa pengawasan oleh pemerintah
(terkesan adanya pembiaran), semakin lama bertambah jumlah penduduknya dan akhirnya
squatter settlement semakin merebak dan padat (Ridlo, 2020).
Melihat realita di Kota Semarang, terdapat issue strategis yang berkaitan dengan
masalah squatter settlement, antara lain:
Faktor migrasi (baca: urbanisasi) penduduk yaitu terjadinya pergeseran atau
perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain (Gilbert, A & Gugler, J, 1996).
Faktor lahan perkotaan yaitu terjadinya invasi lahan perkotaan oleh penduduk, seperti
pada lahan di jalur rel kereta api, koridor sungai/kali, area pemakaman, tempat
pembuangan akhir sampah, dana lahan lahan kosong yang tidak diawasi oleh
pemiliknya.
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I160Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
Pertumbuhan penduduk yang berdampak pada kebutuhan lahan sebagai tempat tinggal
dan beberapa diantaranya tumbuh menjadi permukiman illegal atau sering disebut
dengan Squatter settlement yang tidak teratur dan padat (Ridlo, 2011).
Squatter settlement di Kota Semarang tersebar di berbagai sudut (enclave-enclave)
kota. Berdasarkan sistem keruangan, penyebaran permukiman kumuh dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) kawasan keruangan (spatial area), yakni kawasan Urban Centre, Urban
dan Sub Urban. Sistem keruangan yang dimaksud adalah pola penggunaan lahan pada
suatu kawasan (area) yang berhubungan dengan aktivitas masyarakatnya. Dengan kata lain
bahwa sistem keruangan diinterpretasikan dalam circum aktivitas yang tampak (Sesuai
dengan permintakatan atau zoningnya) , baik secara ekonomi seperti: perdagangan,
perkantoran, industri, pertokoan, perdagangan dan lain-lain.Tabel 1. Squatter Settlement Sesuai Dengan Permintakatan dan Zoning Di Kota Semarang
NoLokasi
Urban Centre Urban Sub UrbanMintakat1. Pergudangan,
Transportasi KAdan Pelabuhan
Kampung Melayu/Jawa/Arab
Plombokan,Tawang,Tawangmas,Kebonhardjo,Dadapsari, Kuningan,Purwosari,Tanjungmas,Bandarhardjo,Panggung Kidul,Panggung Lor
Tambakrejo
2. Perkantoran - Bojong Salaman,Sleko,Sayangan
-
3. Industri,Transportasi
- - Tugurejo, Jrakah,Terboyo Kulon,TerboyoWetan,Trimulyo,Genuksari
4. Pantai (nelayan,Tambak)
- - Mangunharjo,Mangkang Kulon,Mangkang Wetan,Randugarut,Karanganyar
5. Makam/ Kuburan Kalisari Kobong -6. Perdagangan,
Pertokoan, Pasar.Pekojan,Purwodinatan(Sumeneban), LemahGempal,Banjirkanal,Bulu,Bulu Lor, KarangAyu
Krakasan, Bubakan,Dargo, Peterongan,Pandean Lamper
-
7. Pertanian - - SukorejoSumber: Ridlo, Mohammad Agung; Sugiono Soetomo; Nurdien H Kistanto, 2014.
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I161Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
Gambar 4. Kondisi Squatter Settlement di Kampung Abimanyu Kelurahan Pindrikan Lor,Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang
Kec. Semarang Utara
Kel. Pindrikan Kidul
Kec.
Sem
aran
gBa
rat
Kel. S
ekayu
Jl. Indraprasta
Jl. Hasanudin
Sung
aiBa
njir
Kana
l
JAKARTA
SURABAYA
Kondisi squatter settlement: Rumah dengan petak bangunan yang sempit Letaknya berdesak-desakan Berada di kanan-kiri jalur rel kereta api Sangat rawan dari bencana adanya
kecelakaan kereta api Tidak terlayani prasarana dan sarana MCK,
drainase air bersih, listrik, komunikasi,kecuali memanfaatkan dari wilayah lain.
Sumber: Ridlo, 2014
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I162Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
3.4. Squatter Settlement di jalur kereta apiKhusus pada kajian ini adalah squatter settlement yang berada di jalur kereta api.
Squatter settlement mempunyai kondisi eksisting seperti: rawan banjir, kebakaran,
prasarana tidak memadai, sanitasi lingkungan buruk, tidak ada sumber air bersih, tempat
tinggal atau hunian yang tidak/kurang layak, serta padat penduduk (Ridlo, 2014).
Kondisi eksisting kehadiran pemukim squatter di jalur kereta api di Kota Semarang
seperti:
Pertama, Warga secara sendiri-sendiri menginvasi lahan (menetap di atas lahan) yang
mereka anggap tidak ditempati dengan atau tanpa izin kepada yang memiliki (dalam hal ini
PT. KAI).
Kedua, Squatter settlement yang didasarkan pada transaksi non resmi, yaitu warga
awalnya membangun tempat tinggal seadanya diatas lahan dengan membayar uang sewa
pada petugas PT KAI, namun sudah lama tidak ditarik lagi uang sewanya. Kemudian
terdapat jual beli tempat tinggal di sebidang lahan dari seorang penjual yang mengatakan
menguasai lahan tersebut atau yang sebenarnya tidak mempunyai hak, baik untuk
memiliki atau menjual lahan tersebut kepada siapa pun.
Kondisi ekonomi penduduk seperti: berpenghasilan rendah dan sangat rendah, tingkat
pengangguran tinggi, kondisi sosial rendah (tingkat pendidikan dan kesehatan rendah serta
sumber kriminalitas), kondisi aspek hukum (hunian illegal, tidak sesuai dengan ketentuan dan
peraturan).
Jalur kereta api seharusnya menjadi lahan bebas dari permukiman, mengingat lahan
tersebut ditetapkan sebagai ruang milik jalur kereta api. Penetapan ruang milik jalur kereta
api selain menyangkut keselamatan bagi transportasi kereta api juga menyangkut
keselamatan penduduk yang wilayah nya terlintasi oleh jaringan rel kereta api.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pasal
42 menyebutkan bahwa ruang milik jalur kereta api adalah bidang tanah di kiri dan di
kanan ruang manfaat jalur kereta api yang digunakan untuk pengamanan konstruksi jalan
rel. Lebih lanjut pasal 43 menyebutkan: ruang milik jalur kereta api diluar ruang manfaat
jalur kereta api dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain atas izin dari pemilik jalur
dengan tidak membahayakan konstruksi jalan rel dan fasilitas operasi kereta api. Selain
ruang manfaat rel kereta api dan ruang milik jalur kereta api terdapat juga ruang
pengawasan jalur kereta api. Definisi ruang pengawasan jalur kereta api menurut terdapat
pada pasal 44 yang menyebutkan bahwa “ruang pengawasan jalur kereta api adalah
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I163Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
bidang tanah atau bidang lain di kiri dan di kanan ruang milik jalur kereta api untuk
pengamanan dan kelancaran operasi kereta api”.
Diantara ke tiga fungsi ruang rel kereta api diatas, ruang manfaat kereta api lah yang
tidak diperuntukkan untuk umum mengingat berfungsi sebagai pengoperasian kereta api
(Pasal 38). Ruang milik jalur kereta api biasanya di lapangan di tandai dengan tanda batas
tertentu (berupa patok besi).
Kemudian pada Pasal 178 UU Perkeretaapian, bahwa setiap orang dilarang
membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, bangunan lainnya, menanam jenis
pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api yang dapat
mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.
Warung sembako dan PKL(gerobak kucingan)tepat disisi rel kereta api, jaraknya
±1m dari badan kereta api saat lewat. Sangat rawan kecelakaan, mengingat
jaraknya yang terlalu dekat dengan rel kereta api.
Gambar 5. Warung sembako dan PKL(gerobak kucingan)
Squatter settlement di jalur kereta api di Kota Semarang kondisinya sangat
memprihatinkan. Lokasi bangunan tempat tinggal dan aktivitasnya sangat mepet ke ruang
manfaat rel kereta api. Kondisi eksisting permukiman warga yang berupa squatter
settlement dibangun sangat dekat dengan jalur rel kereta api, yaitu sekitar 3 m.
Hal ini sangat mengganggu dan membahayakan sirkulasi moda transportasi kereta
api, tentunya ini menjadi ancaman terjadinya musibah kecelakaan, karena bangunan-
bangunan yang ada konstruksinya mengganggu operasional pengawasan kereta api. Jika
terjadi musibah kecelakaan pastinya yang menjadi korban tidak hanya pengguna moda
kereta api saja, tetapi juga penduduk yang ada di jalur kereta api tersebut.
Dengan kata lain bahwa, sampai saat ini aset-aset PT KAI yang berupa lahan
tampaknya tidak terkelola dengan baik. Buktinya kawasan jalur kereta api yang menjadi
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I164Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
kewenangannya tampak sebagian besar dimanfaatkan oleh penduduk sebagai permukiman
yang kondisinya rapat, padat dan kumuh.
Kondisi eksisting tersebut tentu menyalahi peraturan Aanvullende Bepalingen
Spooren Tramwegen (A.B.S.T). Pada pasal 21 A.B.S.T mengatur mengenai pelarangan
mendirikan berbagai bangunan maupun menanam tumbuhan atau vegetasi di jalur kereta
api yang dapat mengganggu sirkulasi moda transportasi kereta api.
A.B.S.T mengatur jarak minimal diperbolehkan adanya tanaman atau vegetasi adalah
11 meter diukur dari sumbu jalan jalan baja (rel kereta api). Sedangkan diperbolehkan
adanya berbagai bangunan adalah 20 meter diukur dari sumbu jalan jalan baja (rel kereta
api), jika jalur kereta api (jalan baja) dalam posisi lurus. Kemudian jika jalur kereta api
(jalan baja) dalam posisi berbelok, maka jarak yang terletak di lengkungan diperkenankan
minimal 23 meter meter diukur dari sumbu jalan jalan baja (rel kereta api) (Sumber:
Keputusan Direktur Jendral Perkeretaapian dan Menteri Perhubungan, 2000:21).
Area Jalur kereta api meliputi: ruang milik jalan (rumaja) kereta api, ruang milik
jalan (rumija) kereta api dan ruang pengawasan jalan (ruwasja) kereta api. Bantaran rel
kereta api merupakan garis batas luar ruang pengawasan jalan (ruwasja) kereta api.
Sehingga area jalur kereta api tersebut merupakan area (ruang) bebas yang tidak
diperkenankan adanya bangunan. Dengan kata lain bahwa area (ruang) bebas jalur kereta
api adalah ruang yang tidak diperkenankan adanya aktivitas yang dapat menganggu
gerakan dan sirkulasi kereta api, dengan maksud agar kereta api berjalan dengan lancar dan
aman. (Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 52 tahun 2000 Pasal 1 ayat 3 dan 7).
Realita eksiting squatter settlement di kanan-kiri jalur kereta api antara lain seperti:
Tidak layak huni, walaupun ada beberapa yang dibangun dengan menggunakan bahan
yang permanen (batu bata atau setengah batu bata) pada petak sisa lahan dengan ukuran
kecil.
Permukiman tersebut juga tidak tersedia saluran sanitasi dan MCK yang baik. Setiap
kali ingin membuang hajat mereka harus numpang di tetangga yang mempunyai MCK,
ke MCK umum , ke sungai-sungai atau drainase yang ada di sekitar lokasi.
Letak bangunan yang berhimpitan, dengan kondisi lingkungan yang buruk
Squatter settlement tersebut sangat tidak memperhatikan faktor keamanan, karena
jarak permukiman dengan jalur rel kereta api Jakarta-Surabaya sangat dekat, yaitu
berjarak ± 3 meter, sehingga apabila terjadi kecelakaan kereta api di dekatnya tentulah
permukiman tersebut langsung terkena dampak dari kecelakaan.
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I165Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
squatter settlementberada di jalur sempadan rel kereta api
Ruang pengawasan jalur kereta apipadat dengan squatter settlement
Gambar 6. Squatter settlement di sempadan rel
Kondisi rumah kumuh illegal di koridor rel kereta api dengan kondisisangat tidak layak huni. Letak rumah sangat dekat dengan rel kereta api,yang seharusnya kawasan ini tidak diperkenankan didirikan bangunan,
karena rentan terhadap bahaya kecelakaan.Gambar 7. Kondisi rumah kuuh ilegal
4. KESIMPULANDari hasil penelitian mengenai kehidupan orang orang miskin di squatter settlement
yang berada di jalur kereta api Kota Semarang, maka dapat disimpulkan antara lain:
Dilihat dari perspektif keruangan dan berupaya memahami realitas yang terjadi di
balik keberadaan squatter settlement di jalur kereta api, maka terdapat keterkaitan
(aksesibilitas/jaringan) antara manusia dengan lingkungannya (sebagai wadah) serta
aktivitas yang dilakukan (baik dalam aspek fisik, sosial, ekonomi maupun politik) di
keruangan kota.
Squatter settlement merupakan tempat tinggal orang-orang miskin di kota, dengan
berbagai keterbatasan secara fisik bangunan dan lingkungan, aspek sosial maupun
aspek ekonomi.
Squatter settlement merupakan tempat tinggal sementara bagi mereka dalam
membangun kehidupan dan mata pencaharian. Lokasi tersebut dipilih karena
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I166Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
berdekatan dengan lokasi (tempat) mereka bekerja atau beraktivitas ekonomi
kesehariaan.
Squatter settlement merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berupa
tempat tinggal (hunian atau shelter) yang berfungsi sebagai tempat beristirahat.dan
berlindung dari berbagai gangguan seperti: cuaca panas, dingin, hujan dan terpaan
angin. Selain itu juga berfungsi sebagai tempat beraktivitas ekonomi bagi
penghuninya, juga sebagai tempat untuk kegiatan yang bersifat pribadi.
Setiap individu mempunyai hak untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal.
Demikian pula halnya orang orang miskin di perkotaan, perlu mendapat perhatian dari
pemerintah dalam mencukupi kebutuhan tempat tinggal yang layak bagi mereka.
Squatter settlement ada karena mereka (orang-orang miskin) menghadapi berbagai
kendala dan keterbatasan dalam mendapatkan perumahan yang layak. Kendala dan
keterbatasan tersebut antara lain seperti: administrasi dan birokrasi yang rumit,
ketersediaan waktu, dan ketidakmampuan keuangan. Oleh karena itu squatter
settlement adalah alternatif bagi mereka sebagai tempat tinggal; dan itu merupakan
fakta riil yang tidak dapat dipungkiri.
Squatter settlement merupakan bentuk penguasaan dan penggunaan lahan oleh warga,
hal tersebut menggambarkan bahwa lemahnya sisi hukum dan administrasi dari
pemerintah setempat dalam pengawasan suatu lahan ruang kota.
Jalur rel kereta menjadi salah satu pilihan para urbanis (dengan segala
keterbatasannya) membangun rumah sebagai tempat tinggal (squatter settlement).
Tempat tinggal yang layak akan menentukan taraf hidup masyarakat.
Konflik pemanfaatan ruang yang terjadi di jalur kereta api, menggambarkan bahwa
tidak adanya kontrol dan pengawasan yang ketat dari pihak berwenang (pemerintah).
Mestinya pemerintah dapat melihat peraturan pemanfaatan ruang (dokumen rencana
tata ruang) maupun peraturan lain yang terkait, sehingga jika terdapat penyimpangan
pemanfaatan ruang dapat melakukan penanganan segera sejak dini.
Ucapan Terima KasihMelalui tulisan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) yang telah mendanai penelitian ini.
Kemudian penulis juga tidak lupa sampaikan terima kasih pula kepada Ketua Lembaga
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 2, Oktober 2020Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa
M Agung Ridlo I167Permukiman Liar (Squatter Settlement) di Jalur Kereta Api Kota Semarang
Penelitian dan Pengembangan Ilmu (LPPM) UNISSULA dan Dekan Fakultas Teknik
UNISSULA yang telah memfasilitasi penelitian ini.
5. DAFTAR PUSTAKACohen, M. (1976). Canda and the United States: Dispute Settlement and the International Joint
Commission--Can This Experience be Applied to Law of the Sea Issues. Case W. Res. J. Int'l
L., 8, 69.
Dieters, Hans Dan Rudiger Korff (2002). Urbanisme Di Asia Tenggara, Terjemahan Zulfahmi,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Doxiadis, C. (1974). Ecumenopolis: The Inevitable City of the Future, W.W Norton & Company,
New York.
Gilbert, A., & Gugler, J. (1996). Urbanisasi dan kemiskinan di dunia ketiga. Tiara Wacana
Yogya.
Graham, S., & Marvin, S. (2001). Splintering urbanism: networked infrastructures,
technological mobilities and the urban condition. Psychology Press.Krausse, G. (1976) “Rural-Urban Migration to Jakarta, Indonesia”, Proceedings of the Canadian
Association of Geographers, 74–76. Laval University, Quebec City, Quebec
Lubis, Mochtar. (1977). Jakarta Kota yang Penuh dengan Kontras, Prisma
Sumaatmadja, Nursyid. (1988). Studi Geografi Suatu pendekatan dan Analisa Geografi. Bandung:
Alumni
Jellinek, Lea. (1995) Seperti Roda Berputar, Perubahan Sosial Sebuah Kampung Di Jakarta,
Terjemahan Eddy Zainuri, Penerbit LP3ES, Jakarta
Ridlo, M. A., Soetomo, S., & Kistanto, N. H. Theoretical Study Of Poverty In Urban Slum
Settlements, Journal of Scientific & Technology Research, 9 (3), 4825-4829.
Ridlo, M. A., Soetomo, S., & Kistanto, N. H. The Phenomenon Of Life Of The Poor In
City Slums. International Journal of Business Economics and Law (IJBEL), 5 (4).
124-130
Ridlo, M. A., Soetomo, S., & Kistanto, N. H. (2014). The Life Pattern Of The Poor Society
In Semarang City-Indonesia State. International Journal of Business Economics and
Law (IJBEL), 4 (3), 25-35.Ridlo, M. A., (2011) Perumahan dan Permukiman di Perkotaan – Fakta, Anaisis dan Solusi,
Cetakan Pertama, UNISSULA PRESS.
Ridlo, M. A., (2001). Kemiskinan di Perkotaan, Cetakan Pertama, UNISSULA PRESS.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman