Makalah Ger Gangguan Tidur
-
Upload
anasti-putri-paramatasari -
Category
Documents
-
view
147 -
download
11
description
Transcript of Makalah Ger Gangguan Tidur
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
PENDAHULUAN 2
SKENARIO KASUS 3
PEMBAHASAN 8
A. Identitas Pasien 8
B. Analisis Masalah dan Hipotesis 8
C. Anamnesis 9
D. Status Psikogeriartik 12
E. Pemeriksaan Fisik 13
F. Pemeriksaan Psikometri 14
G. Pemeriksaan Penunjang 15
H. Diagnosis dan Dasar Diagnosis 16
I. Patogenesis Skenario 17
J. Penatalaksanaan 19
K. Prognosis 21
TINJAUAN PUSTAKA 22
A. Ganggguan Tidur 22
B. Dementia 25
C. Dementia Alzheimer 26
KESIMPULAN 32
DAFTAR PUSTAKA 33
1
PENDAHULUAN
Tutorial kasus I sesi 1 mengenai seorang wanita usia lanjut sejak satu minggu ini mengalami
problem tidur. Tutorial sesi 1 dilaksanakan pada hari Selasa,27 November 2012pukul 13.00-
14.50 WIB dengan :
Tutor : Dr. Lenny Gunawan
Ketua : Fadhilla Eka Novalya
Sekretaris : Fransisca Stefani Wibisono
Tutorial berjalan dengan lancar. Peserta membahas masalah, dasar masalah, anamnesis, dan
hipotesis.
Tutorial kasus I sesi 2 dilaksanakan pada hari Kamis, 29November 2012 pukul 08.00-09.50
WIB dengan:
Tutor : Dr. R. Sukamto, Sp.B
Ketua : Fadhilla Eka Novalya
Sekretaris : Disa Edralyn
Tutorial berjalan dengan lancar. Peserta membahas masalah, pemeriksaan anjuran, pemeriksaan
fisik, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis.
2
SKENARIO KASUS
Sesi 1
Ny. Ani, 65 tahun datang diantar oleh kedua anaknya ke unit gawat darurat RS. Sejak 3 hari
ini pasien tampak gelisah bila hendak memulai tidur. Pasien mengatakan ada orang yang tidak
dikenalnya masuk ke kamar tidurnya, yang katanya bermaksud jahat pada dirinya. Kemarin
malam pasien berulang kali berteriak “ pergi kamu” dengan ekspresi ketakutan. Kadang diikuti
pula dengan gerakan seperti memukul orang. Hal itu tidak jelas ditujukan kepada siapa, karena
tidak ada orang lain di kamarnya, Walau semalaman tidak tidur, pagi hari pasien tampak lebih
tenang. Pasien tidak mengeluh lagi ada masalah fisik seperti yang dialami beberapa hari
lalu.Namun, keluarga pasien mengkhawatirkan kondisi pasien yang sudah beberapa hari tidak
tidur, sehingga pagi ini pasien dibawa berobat ke rumah sakit.
Sejak dua minggu ini keluarga memberikan pasien obat untuk mengatasi masalah tidurnya.
Setelah “obat tidur” habis, tidak dilanjutkan lagi dan diganti dengan obat “ Amitri…..” (keluarga
lupa namanya). Selanjutnya pasien tampak gelisah, mengeluh pusing, sulit BAB, mulut/bibir
tampak kering dan selera makan menurun.Keluarga menduga timbulnya perubahan pada pasien,
baik fisik maupun mental terkait dengan obat yang diminumnnya tanpa instruksi dokter. Dan
keluarga berharap kondisi pasien akan segera pulih bila makan dan minumnya teratur.
Satu bulan yang lalu pasien diajak menginap di rumah anak bungsunya, Tn. Ardi di Tangerang
untuk menjenguk cucunya yang baru lahir. Selama ini pasien tinggal di Jakarta dengan anaknya
yang kedua, Nn. Ade. Keluarga berpendapat, keadaan pasien mungkin bisa membaik apabila
dekat dengan cucu- cucunya. Kenyataannya, pasien kesal mendengar tangisan atau teriakan cucu
yang justru dianggap mengganggu. Paginya badan pasien terasa lemah, siang mengantuk dan
menjelang senja mulai gelisah. Malam sering marah- marah bila mendengar suara berisik
anak/cucunya atau dari televisi, hingga beberapa hari tidak tidur.
3
Sesi II
Menurut kedua anak pasien.” Obat Amitri….”( nama obat masih belum diingat) sudah biasa
dikonsumsi ibunya bila mengalami “down”. Di samping mudah diperoleh dari took obat dekat
rumahnya (harusnya dengan resep dokter), obat relatif murah juga ampuh. Juga aman terhadap
jantung pasien yang menurut dokter kondisinya cukup baik, demikian dengan hasil pemeriksaan
fisik lainnya.
Tahun 2004 obat tersebut mulai dikonsumsi pasien setelah meninggalnya sang suami akibat
serangan jantung. Saat kondisi ayahnya kritis, apalagi setelah wafat, anaknya yang tertua( Tn.
Ahmad) terus bertanya tentang warisan rumah dan sempat mengancam bila haknya tidak
diberikan. Saat itu pasien sangat terpukul, sehingga mengalami depresi berat dan harus dirawat.
Tahun 2005 setelah pensiun dari pekerjaannya pasien ingin total beristirahat. Fungsi
pekerjaan rumah masih baik, mau membantu memasak atau merapikan rumah. Namun pasien
menjadi jarang berkomunikasi dan mulai enggan menelepon rekan sekerjanya dulu, juga malas
beraktivitas di luar rumah.
Tahun 2006 pasien kembali merasa terpukul akibat desakan Tn Ahmad terhadap kepemilikan
rumah warisan tersebut. Setiap kali “down’, Ny Ani merasakan pikirannya selalu buntu, telat
mikir, susah konsentrasi, malas beraktivitas, tanpa selera makan dan problem tidur. Setelah
minum “ obat Amitri…” biasanya kondisi membaik. Selanjutnya obat dikonsumsi di luar anjuran
dokter.
Sejak tahun 2008 terlihat perubahan pada perilaku pasien. Obat- obatan atau vitamin sering
diminum melebihi dosis, karena pasien lupa apakah ia sudah meminumnya atau belum. Keluarga
menyadari pasien semakin sering lupa apakah ia sudah meminumnya atau belum. Keluarga
menyadari pasien semakin sering lupa sejak rentetan peristiwa yang sangat membebaninya.
Selain penurunan daya ingat, terjadi pula gangguan dalam daya pikir lainnya. Menurut cucu-
cucunya, sang nenek mulai telmi/ telat mikir dan tidak nyambung, sering mengulang pertanyaan
dan ucapannya. Akhirnya cucu- cucu malas berbicara dengan sang nenek.
4
Sesi III
Tahun 2009 pasien perlahan- lahan menunjukkan perubahan perilaku. Pasien sering
mengatakan bahwa dirinya bodoh karena sering lupa dan seketika tidak tahu apa yang harus
dikerjakan. Belakangan bukan hanya lupa barang- barang, tetapi salah meletakannya. Pernah
didapati makanan di lemari pakaian atau kunci dalam lemari es. Beberapa kali nyaris membakar
rumah karena lupa mematikan kompor gas sehabis memasak; masakannya pun sudah tidak
dilakukan dengan benar. Tak mampu lagi mengurus atau menghitung uang dengan benar, padahal
mantan karyawati senior bagian keuangan. Sebelumnya pasien dikenal sebagai orang yang
disiplin, sangat rapi, pembersih, menyukai keteraturan( termasuk pemberian nama anak- anaknya
yang disesuaikan dengan inisial namanya, yaitu Ahmad, Ade, Ardi), dalam keluarga sering trjadi
kesalahpahaman akibat perfeksionisnya. Kini keadaan sang ibu berubah drastis. Atas kejadian
selama ini membuat keluarga bingung apa yang sebenarnya terjadi. Sementara keluarga
menganggapnya sebagai sakit tua akibat usia dan peristiwa berat yang dialami pasien.
Sejak tahun 2011 pasien semakin sering lupa. Lupa nama anak- anaknya dan keliru
mengenalinya. Anak perempuannya dikira adiknya atau anak laki- lakinya dianggap suaminya.
Pasien terkadang berbicara sendiri sambil menyebut nama sang suami dan marah ketika
dijelaskan bahwa suaminya telah tiada. Pasien pernah keluar sendirian dan tidak tahu alamat
rumah sehingga diantar pulang oleh petugas keamanan. Pasien menganggap ia hanya menginap
sementara di rumah saudaranya( sebenarnya itu adalah rumahnya sendiri) dan harus segera
pulang karena orang tua ( padahal sudah lama meninggal) menunggu di rumah. Mondar- mandir
tanpa tujuan, membongkar dan merapikan baju secara berulang. Marah- marah tanpa sebab yang
jelas, tiba- tiba menangis dan sebaliknya gembira berlebihan. Sementara keluarga masih tetap
menganggap sebagai “ sakit tua” dan kekambuhan dari depresinya.
Sejak Juni 2012 ini keadaan pasien makin memburuk, aktivitas dan perawatan diri menurun.
Walau pasien masih dapat melakukan sendiri, seperti makan, mandi, atau berpakaian, namun
hasilnya akan berantakan, sehingga perlu dibantu.
Gejala yang sama dialami pula oleh kakak perempuan pasien yang sebelum meninggal
menderita radang paru- paru, immobilitas dan tidak bisa berbicara lagi.
5
Sesi IV
Keadaan Umum
Seorang wanita lansia 65 th, tampak lebih tua dari usianya, berpenampilan kurang rapi,
ekspresi gelisah.
Status Internus dan Status Neurologis
Saat kondisi fisik lebih tenang dalam posisi berbaring , hasil menunjukkan : TD: 110/80
mmHg; N: 90x/menit, RR: 20x/m, suhu afebril, kulit lembab. Konjungtiva/ sclera normal. Paru:
sonor, vesikuler, ronkhi-/-. Jantung: BJ: murni, murmur- , gallop -. Abdomen: NT epigastrium,
H/L: tidak teraba, BU + normal. Fungsi motorik, sensorik, dan koordinasi: dalam batas normal,
kecuali tremor kasar; refleks fisiologis normal, patologis:-.
Laboraturium
Dalam batas normal
Status Psikogeriatrik
Keadaan neurologis: compos mentis, psikologis dan social: terganggu. Aktivitas psikomotor
pada awal wawancara hiperaktif dengan ekspresi gelisah, irritable, sikap tidak kooperatif, lalu
pada pertengahan wawancaara tampak tenang. Arus pikir produktivitas kurang, kontinuitas
inkoherensi, tanpa hendaya berbahasa. Gangguan persepsi halusinasi visual dan auditorik +, ilusi
-. Pemeriksaan fungsi kognitif: penurunan memori jangka pendek/ segera dan remote memory,
perhatian/konsentrasi terganggu (seven serial test +) , disorientasi waktu, tempat, orang, fungsi
eksekutif (+ pikiran abstrak) terganggu; Agnosia +. Kemampuan menolong diri terganggu
( indeks ADL 11, Apraxia +, IADL 8, fungi eksekutif lainnya terganggu).
Pemeriksaan Diagnostik Lanjut/Penunjang
6
Keluarga menolak dilakukan pemeriksaan diagnostic lanjut (misal CT Scan), kecuali
pemeriksaan laboratorium, EKG, rontgen dengan alasan biaya. Pemeriksaan Psikometri akan
dilakukan bila kondsi pasien mulai tenang.
Sesi V
Pemeriksaan Fungsi Kognitif
Hasil CDT dan MMSE sebagai berikut:
Gambar 1. Hasil Pemeriksaan CDT
Hasil pemeriksaan MMSE (Mini Mental Status Examination):
Orientasi : 2
Registrasi : 3
Atensi dan kalkulasi : 1
Recall : 1
Bahasa : 3 (nama benda: 1; pengulangan/pebgertian verbal: 0; baca:
1; tulis: 1)
Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Visuospasial MMSE
7
8
PEMBAHASASAN
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Ani
Usia : 65 tahun
Pekerjaan : pensiunan pegawai
Alamat : -
Agama : -
Suku bangsa : -
Status : janda ditinggal mati
Jumlah Anak : 3 orang anak
B. Analisis Masalah dan Hipotesis
Berdasarkan skenario masalah yang membawa pasien datang ke unit gawat darurat ialah
gangguan tidur. Tidur merupakan mekanisme fisiologis yang penting bagi tubuh, karena pada
saat itu terjadi perbaikan sel-sel, regeneraasi bahkan pertumbuhan sel-sel baru terutama pada usia
dini dan produktif. Struktur anatomi yang berperan dalam mekanisme tidur-bangun adalah
formatio reticularis pars medularis, talamus, basal forebrain yang bertangggung jawab terhadap
proses tidur; sedangkan brainstem formatio reticularis, talamus, subtalamus, midbrain, dan basal
forebrain bertanggung jawab dalam wakefulness.1 Dan secara neurokimiawi, neurotransmitter
juga ikut andil dalam terjadinya proses tidur. Serotonin yang diproduksi terutama di raphe nuclei
dari brainstem merupakan neurotransmitter utama pencetus tidur (the primary neurotransmiter
promoting sleep), sedangkan catecholamins, berperan dalam mekanisme wakefulness.1
Neurotransmitter lainnya, seperti histamine, acetylcholine, dopamine, serotonin dan
noradrenalin, berdasarkan bukti farmakologis juga meningkatkan wakefulness.2
Secara luas gangguan tidur dapat dibagi menjadi:
9
1. Kesulitan masuk tidur (sleep onset problems)
2. Kesulitan mempertahankan tidur nyenyak (deep maintenance problem)
3. Bangun terlalu pagi (early morning awakening)
Gejala dan tanda yang muncul sering kombinasi dari ketiga gangguan tersebut dan dapat
muncul sementara atau kronik.
Berdasarkan DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Gangguan tidur yang berkolerasi dengan gangguan mental lain
2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medik umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan/keadaan tertentu
4. Gangguan tidur primer (disini gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan
kondisi mental, fisik/penyakit ataupun obat-obatan)
Jadi, keadaan keadaan yang menimbulkan gangguan pada mekanisme tidur bangun ini, baik
secara anatomis maupun fisiologis (neurokimiawi-neurotransmitter) dapat menimbulkan
gangguan tidur, seperti pasca trauma, pasca stroke dan penggunaan obat-obatan
(sympathomimetis, adrenergic agonist, antidepressan). Perlu dipikirkan juga comorbid yang
terjadi pada gangguan tidur, seperti gangguan mental (gangguan cemas, mania/hypeomania),
gangguan neurologis (dementia, parkinsonism, Parkinson disease), dan gangguan medis umum
(asthma, cardiac ischmeia, paroxysmal nocturnal dyspnea).
C. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan cermat dan teliti dengan tujuna mencari comorbid yang ada
pada pasien ini, gangguan yang mendasari, proses perjalanan penyakit dan factor-faktor lain yang
ikut mempengaruhi perjalanan penyakit pasien, selain factor usia yang sudah lanjut. Mengingat
bahwa usia pasien sudah lanjut, dan bila keterangan dari pasien kurang dapat dipercaya akibat
adanya hendaya baik dalam berbahasa, pikiran maupun tingkah laku yang timbul, maka perlu
dilakukan alloanamnesis. Berikut pertanyaan yang dapat diajukan baik pada autoanamnesis
maupun alloanamnesis.
10
Autoanamnesis
Riwayat Gangguan Sekarang
1. Sejak kapan Ibu mengalami problem tidur?
2. Apa yang Ibu rasakan menjelang waktu tidur? Apakah tidak mengantuk atau mudah
tertidur tapi sering terjaga di malam/dini hari?
3. Apa saja pencetus kesulitan tidur yang Ibu alami?
4. Apa yang Ibu rasakan di pagi hari setelah semalaman mengalami kesulitan tidur?
Riwayat Gangguan Dahulu
1. Apakah Ibu pernah mengalami problem serupa sebelumnya?
2. Apakah Ibu pernah menghadapi masalah berat yang membuat stress dan menjadi
beban pikiran? (dugaan terjadinya depresi pada pasien)
Riwayat Medis Umum
1. Adakah keluhan fisik yang Ibu alami, seperti demam, sakit kepala atau lemah lesu
lelah? (dugaan efek samping obat dan pengaruh dari kurang tidur pada pasien)
Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Apakah Ibu masih bekerja sekarang? Apa kegiatan Ibu sehari-hari?
2. Apakah Ibu masih berkomunikasi dengan teman-teman? (ditanyakan untuk mengtahui
hubungan sosial pasien)
Alloanamnesis
Riwayat Gangguan Sekarang
1. Apakah pasien sedang mengalami stress berat atau mungkin sedang menghadapi
masalah yang cukup berat?
2. Bagaimana kondisi pasien di pagi hari? Apakah merasa lelah dan mengantuk?
3. Apakah pasien mengkonsumsi obat tertentu untuk mengatasi masalah tidur
belakangan ini? Jika iya, bagaimana penggunaan dosisnya?
11
4. Adakah keluhan lain yang dialami pasien selain problem tidurnya? Apakah pasien
mengalami halusinasi?
5. Adakah gangguan ingatan/memori pada pasien? Bila iya, bagaimana keluarga dan
orang sekitar pasien menanggapinya?
Riwayat Gangguan Dahulu
1. Sebelum dibawa ke UGD RS saat ini, apakah pasien pernah dirawat atau dibawa ke
dokter dengan masalah serupa?
2. Apakah pasien pernah mengalami masalah yang membuatnya terpukul? (dugaan
pasien mengalami depresi)
Riwayat Medis Umum
1. Adakah keluhan fisik yang dialami pasien, seperti demam, sakit kepala atau lemah
lesu lelah? (dugaan efek samping obat dan pengaruh dari kurang tidur pada pasien)
Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Bagaimana sifat dan sikap pasien sehari-hari?
2. Adakah perubahan sikap yang terjadi pada pasien dibandingkan dengan sikap
sebelum sakit ?
3. Bagaimana sikap pasien dalam menghadapi menghadapi masalah?
4. Bagaimana aktivitas sehari-hari yang dilakukan pasien? Apakah pasien
membutuhkan pertolongan orang lain? (untuk menilai produktivitas pasien dalam
melakukan activities of daily living)
Riwayat Penyakit Keluarga
1. Apakah ada anggota keluarga mengalami masalah yang serupa dialami pasien?
(dugaan faktor predisposisi genetik)
12
D. Status Psikogeriartik
Keadaan Umum
Pasien terlihat lebih tua dari usianya, penampilan kurang rapi, ekkspresi gelisah
Kesadaran
Kesadaran neurologis : normal
Kesadaran psikologis : terganggu
Kesadaran sosial : terganggu
Aktivitas Psikomotor
Pada awal wawancara terlihat hiperaktif, ekspresi wajah gelisah irritable, tidak kooperatif
Afek dan Mood
Tidak ada keterangan
Presepsi
Terdapat halusinasi visual dan auditorik. Pada auto anamnesis didapatkan pasien berulang
kali berteriak “pergi kamu” dengan ekspresi ketakutan. Kadang diikuti juga dengan gerakan
seperti memukuli seseorang. Hal itu tidak jelas ditunjukkan kepada siapa, karena tidak ada
orang lain dikamarnya.
Proses Pikir
Arus pikir produktivitas kurang, kontuitas inkoherensi, tanpa hendaya berbahasa
Isi Pikir
Terdapat waham curiga, non-bizzare, sistematis
Pengendalian Impuls
Tidak ada keterangan
13
Daya nilai dan Tilikan
Tidak ada keterangan
Kognitif
Penurunan memori jangka pendek dan remote memory Perhatian atau konsentrasi terganggu (seven serial test +) Disorientasi waktu, tempat dan orang Fungsi eksekutif tergaanggu Agnosia (+)
Taraf Intelektual
Tidak ada keterangan
Penilaian Fungsional
Kemampuan menolong diri terganggu dengan indeks:
ADL : 11 (terdapat apraxia) IADL : 8 (fungsi eksekutif lainnya terganggu)
Kompetensi
Tidak ada keterangan
E. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari comorbid (penyakit penyerta)
yang terdpaat pada pasien. Adapun hasil pemeriksaan fisik ialah sebagai berikut:
“Saat kondisi fisik lebih tenang dalam posisi berbaring, hasil menunjukkan : TD: 110/80
mmHg; N: 90x/menit, RR: 20x/m, suhu afebril, kulit lembab. Konjungtiva/ sclera normal. Paru:
sonor, vesikuler, ronkhi-/-. Jantung: BJ: murni, murmur- , gallop -. Abdomen: NT epigastrium,
H/L: tidak teraba, BU + normal. Fungsi motorik, sensorik, dan koordinasi: dalam batas normal,
kecuali tremor kasar; refleks fisiologis normal, patologis:-.”
14
Ditemukan bahwa kondisi fisik pasien lebih tenang saat berbaring. Hal ini terjadi dapat
dikarenakan kondisi pasien yang mengalami kelelahan akibat gangguan tidur.
Pada pemeriksaan palpasi abdomen ditemukan nyeri tekan epigastrium. Nyeri tekan di
daerah epigastrium lebih banyak mengindikasikan adanya gangguan pada gaster, yaiitu gastritis.
Tremor kasar. Tremor kasar atau juga dapat disebut dengan tremor halus merupakan
manifestasi klinis yang khas dari parkinsonism/parkinson disease. Pada pasien ini tremor kasar
yang tejadi kemungkinan besar akibat dari neurodegenerative neuron dopaminergic, Parkinson
disease. Kemungkinan parkinsonism dapat disingkirkan karena tidak didapatkan riwayat
penggunaan obat antipsikotik tipikal yang memberikan efek samping berupa gangguan
ekstrapiramidal.
F. Pemeriksaan Psikometri
Hasil Pemeriksaan CDT
Gambar 1. Hasil Pemeriksaan CDT
Tabel 1. Penilaian Hasil Pemeriksaan CDT
Aspek Penilaian Kemampuan Pasien ScoreMenggambar lingkaran tertutup
√ 1
Menempatkan angka-angka 1-12 dalam posisi yang benar
X 0
15
Ke-12 angka diletakkan dengan tepat
√ 1
Kedua jarum pada posisi yang benar
X 0
Total Score 2Indikasi Terdapat gangguan kognitif
Hasil pemeriksaan MMSE (Mini Mental Status Examination):
Orientasi : 2
Registrasi : 3
Atensi dan kalkulasi : 1
Recall : 1
Bahasa : 3 (nama benda: 1; pengulangan/pebgertian verbal: 0; baca:
1; tulis: 1)
Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Visuospasial MMSE
Dari hasil pemeriksaan MMSE didaptkan total score 10. Hal ini menunjukkan bahwa pada
pasien terjadi moderate cognitive impairment (normal: ≥ 25; mild cogniitive impairment: 21-24;
moderate cognitive impairment: 10-20; severe cognitive impairment: ≤ 9).
16
G. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan keputusan dari keluarga pasien pemeriksaan penunjang tidak dilakukan.
H. Diagnosis dan Dasar Diagnosis
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan pola perilaku dan psikologis yang secara klinis
bermakna dan menimbulkan suatu penderitaan (distress) dan hendaya (disability) dalam
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa, pemanfaatan waktu luang dan hubungan
sosial dan fungsi pekerjaan.
Aksis I
Pada status mental didapatkan deteriorasi yang cepat dengan gangguan multiple yang nyata
dari fungsi kortikal luhur, serta onset sebelum usia 65 tahun, disertai perkembangan gejala yang
cepat dan progresif, maka dapatdikelompokkan ke dalam Dimensia.
Berdasarkan data ini kemungkinan organik sebagai penyebab kelainan yang secara fisiologis
menimbulkan disfungsi otak serta mengakibatkan gangguan jiwa yang diderita saat ini tidak bisa
disingkirkan, sehingga diagnosis gangguan mental organik (F00-F09) tidak dapat di singkirkan.
Pada pemeriksaan status mental pasien ditemukan suatu gejala yang jelas dan bermakna,
yaitu terjadi penurunan daya ingat yang nyata secara cepat dan progresif, terdapat gangguan isi
pikir berupa waham curiga, non bizar, sistematik. Gangguan persepsi halusinasi visual dan
auditorik positif. Progresi pikiran produktifitas : berkurang, inkontinuitas inkoherensi.
Secara keseluruhan gejala tersebut timbul perlahan-lahan dan menyebabkan gangguan
bermakna pada fungsi sosial dan pemanfaatan waktu luang.
Aksis II
Dari pemeriksaan anamnesis pasien diduga pasien tidak memiliki gangguan kepribadian
namun ada ciri kepribadian anankastik, karena pribadi pasien yang perfeksionis.
Aksis III
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan abdomen, kemungkinan nyeri pada pasien ini
disebabkan oleh gastritis yang dipicu oleh hipersekresi dari asam lambung akibat depresi.
Aksis IV
17
Ada stresor yang berasal dari anak pasien, dimana sang anak meminta bahkan memaksa dan
mengancam pasien untuk diberikan warisan. Disamping itu kurangnya dukung dari pihak
keluarga seperti para cucunya malas berbicara dan meninggalkan sang pasien karena sang pasien
tidak nyambung dan sering mengulang pertanyaan dan ucapan.
Berdasarkan data-data tersebut diatas, maka sesuai kriteriaPPDGJ III, untuk
Aksis I :
F 00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer Onset Dini
Axis II :
Ciri kepribadian anankastik
Axis III :
Bab XI K00-K93 Gangguan sistem pencernaan
Axis IV :
Masalah dengan primary support group ( Keluarga )
Axis V :
Current : 60-51 Gejala sedang (moderete), disabilitas sedang
HLPY : 70-61 Beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan
dalam fungsi, secara umum masih baik.
I. Patogenesis Skenario
Berdasarkan anamnesis, ditemukan bahwa Ny. Ani kemungkinan mengalami depresi dan
juga ada riwayat keluarga yang menderita Demensia Alzheimer, sehingga kedua hal ini menjadi
faktor predisposisi timbulnya Demensia Alzheimer pada Ny. Ani tersebut.
Demensia Alzheimer terjadi karena adanya pembentukan plak senilis dan neuritik,
neurofibrillary tangles, hilangnya neuron atau sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan adanya
Hirano bodies.3 Plak neuritik ini mengandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis
distrofik. Pembentukan b-amyloid ini menimbulkan adanya proses oksidasi dan exitocoxicity
yang menyebabkan kematian sel neuron yang berujung pada defisiensi neurotransmitter, yang
18
berperan penting dalam fungsi kognitif.3 Dengan menurunnya jumlah neurotransmitter, akan
terjadi abnormalitas fungsi kognitif dan perilaku, seperti manifestasi pada penyakit Alzheimer.
Pembentukan b-amyloid yang terjadi juga akan menimbulkan agregasi b-amyloid, dan
didalam b-amyloid tersebut mengandung protein komplemen, microglia yang teraktivasi, sitokin-
sitokin, dan protein fase akut, sehingga kemungkinan ada komponen inflamasi yang terlibat
dalam kematian sel neuron yang berujung pada defisit neurotransmitter. Selain itu, pembentukan
neurofibrillary tangles mengandung protein tau yang terhiperfosforilasi yang juga mengakibatkan
abnormalitas kognitif dan perilaku pada penyakit Alzheimer, yang bermanifestasi menjadi mudah
lupa, halusinasi, waham, dan ketidakmampuan Ny. Ani untuk melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa bantuan.
Berikut riwayat perjalanan penyakit pasien dimulai sejak tahun 2004-sekarang.
2004 Pasien mulai mengonsumsi Amitriptilin setelah suaminya meninggal akibat penyakit
jantung. Kemudian pasien mengalami depresi berat dan harus dirawat akibat anaknya
terus bertanya mengenai warisan rumah serta mengancam pasien.
2005Setelah pasien pensiun dari pekerjaannya, pasien total istirahat. Fungsi pekerjaan rumah
masih baik, namun pasien menjadi jarang berkomunikasi dan mulai enggan menelepon
rekan-rekan kerjanya dulu serta malas beraktivitas di luar rumah.
2006Pasien merasa pikirannya buntu, telat mikir, susah konsentrasi, malas beraktivitas,
penurunan selera makan dan gangguan tidur. Pasien mulai mengonsumsi obat Amitriptilin
diluar anjuran dokter.
2008Mulai nampak perubahan perilaku pada pasien. Obat-obatan dan vitamin sering diminum
lebih dosis, karena pasien lupa. Selain penurunan daya ingat, terjadi pula gangguan daya
pikir pasien.
19
2009Perubahan perilaku pasien semakin jelas perlahan-lahan, sering lupa dan seketika tidak
tahu apa yang dikerjakan. Tak mampu lagi mengurus atau menghitung uang.
2011Pasien semakin sering lupa dan disorientasi lingkungan. Selain itu terlihat abnormalitas
mood pada pasien.
2012Keadaan pasien memburuk, aktivitas dan perawatan diri menurun serta butuh bantuan
dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Sebulan sebelum dibawa ke unit gawat darurat,
gangguan tidur pada pasien semakin bertambah dipicu oleh teriakan maupun tangisan
cucunya. Paginya badan pasien terasa lemah, siang mengantuk dan menjelang senja mulai
gelisah. Dua minggu sebelum dibawa ke unit gawat darurat pasien mulai mengonsumsi
obat tidur dan kemudian kembali diganti dengan Amitriptilin dan menimbulkan efek
tampak gelisah pada pasien, pusing, sulit BAB, mulut tampak kering dan selera makan
menurun. Tiga hari sebelum dibawa ke unit gawat darurat pasien tampak gelisah bila
hendak tidur dan timbul waham curiga .
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Umum
1. Menghentikan obat-obat yang bersifat sedative dan mempengaruhi fungsi kognitif.
2. Antidepresi. Pada pasien degenerative sering muncul depresi. Antidepresi memiliki efek
samping minimal terhadap fungsi kognitif seperti: SSRI (serotonin selective
reuptakeinhibitor), lebih dianjurkan pada pasien demensia dengan gejala depresi.
3. Antikonvulsi. Kadang dibutuhkan untuk mengendalikan kejang..
4. Mengatasi factor-faktor yang mencetuskan gangguan perilaku, sehingga tidak perlu
memberikan obat-obat antipsikosis
20
5. Haloperidol dosis rendah (0,5-2 mg), trazodone, buspiron, atau propranolol. Obat-obat
untuk meredam agitasi dan insomnia tanpa memperberat demensia.
6. Intervensi perilaku.
7. Kolinesterase inhibitor. Terapi terpilih untuk menigkatkan fungsi kognitif pada pasien
demensia, seringkali dapat pula mengurangi gejala apati, halusinasi visual, dan beberapa
gejala psikiatrik lain.
8. Mempertahankan kondisi fisis atau kesehatan pasien, mencegah komplikasi seperti
pneumonia, ispa, septicemia, ulkus dekubitus, fraktur, dan berbagai masalah nutrisi.
9. Pada stadium awal penyakit, dokter harus mengusahakan berbagai aktivitas untuk
mempertahankan status kesehatan pasien, seperti: olahraga, mengendalikan hipertensi
dan penyakit lain, imunisasi terhadap pneumokokok dan influenza, memperhatikan
hygiene mulut dan gigi, serta mengupayakan kacamata dan alat bantu dengar bila ada
gangguan penglihatan dan pendengaran,
10. Memenuhi kebutuhan dasar pasien, seperti: nutrisi, hidrasi, mobilisasi, dan perawatan
kulit untuk mencegah ulkus dekubitus..
Pengobatan untuk mempertahankan fungsi kognitif
Kolinesterase inhibitor. Tacrine, donepezil, rivastigmin, dan galantamin untuk pengobatan
AD. Obat-obat ini menghambat enzim kolinesterase, sehingga kadar asetilkolin meningkat.
Tacrine jarang digunakan karna memiliki efek samping hepatotoksik. Efek samping obat-obat
kolinesterase inhibitor adalah mual, muntah, diare, penurunan berat badan, insomnia, mimpi
abnormal, kram otot, bradikardi, sinkop, dan fatig. Efek-efek tersebut umumnya mucul saat awal
terapi tapi dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya diperpanjang, dan dosis rumatan
diminimalka, serta efek samping pada gastrointestinal juga dapat diminimalkan bila diberikan
bersamaan dengan makan. Indikasi untuk berpindah dari satu kolinesterase inhibitor ke obat lain
adalah adanya reaksi alergi, efek samping yang tidak teratasi, keinginan keluarga, dan tidak ada
respon pengobatan setelah pemakaian 6 bulan. Bila akan berpindah, dianjurkan untuk
menghenrikan pemberian obat sementara (washout period) selama 3-4 minggu. Kolinesterase
inhibitor umumnya digunakan bersama dengan memantin dan vitamin E.
21
Antioksidan. Vitamin E dapat memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih
berat. Vitamin E juga digunakan sebagai pencegahan primer demensia. Efek terapi vitamin E
pada pasien demensia maupun dengan gangguan kognitif ringan tampaknya hanya bermanfaat
bila dikombinasi dengan kolinesterase inhibitor.
Memantin. Sebagai terapi pada demensia sedang dan berat yang merupakan suatu antagonis
N-metil-D-aspartat. Efek terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada glutaminergic
excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus.
Penatalaksanaan Nyeri Tekan Epigastrium
PPi. Dapat diebrikan obat ini untuk menurunkan kadar asam lambung, sehingga dapat
mengunagi kadar keasamnan lambung.
Asupan makanan haruslah dikontrol. Harus terjaga untuk mengurangi resiko terkena infeksi
saluran pencernaan, dan makanan yang diberikan jjangan yang dapat mernagsang asam lambung,
seperti makanan asam, kpoi, teh.
Psikologis. Faktor psikologis juga dapat mempengaruhi sekresi asam lambung. Oleh karena
itu, hindari stressor—stressor penyebab stress.
K. Prognosis
Ad vitam bonam . Pada pasein ini tidak didapatkan penyakit penyerta (comorbid) yang dapat
mengancam nyawa, ataupun memperparah perkembangan penyakit pasien.
Ad fungsionam malam. Penurunan fungsi pada pasien ini sudah tidak dapat dikembalikan
lagi, karena merupakan suatu proses degenerative.. : malam
Ad sanationam bonam. Kekambuhan penyakit tidak akan terjadi, karena merupakan sautu
proses penyakit yang kronik dan progressive. Yang dapat terjadi pada pasien bila tidak diterpai
denngan adekuat ialah perburukan dari manifestasi klinik.
22
23
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ganggguan Tidur Pada Usia Lanjut
Secara luas gangguan tidur pada lansia dapat dibagi menjadi:
4. Kesulitan masuk tidur (sleep onset problems)
5. Kesulitan mempertahankan tidur nyenyak (deep maintenance problem)
6. Bangun terlalu pagi (early morning awakening)
Gejala dan tanda yang muncul sering kombinasi dari ketiga gangguan tersebut dan dapat
muncul sementara atau kronik.
Klasifikasi diagnostik gangguan tidur secara internasional mengacu pada 3 sistem diagnostik
yaitu:4
1. ICD 10
Dalam ICD 10 insomnia dibagi menjadi 2, organik dan non organik. Untuk non
organik dibagi menjadi 2 kategori, yaitu dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan
waktu tidur) dan parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur, seperti
mimpi buruk, berjalan sambil tidur, dll). Insomnia disini adalah insomnia kronik yang
sudah diderita ppaling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan
sosial.
2. DSM IV
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:
3. Gangguan tidur yang berkolerasi dengan gangguan mental lain
4. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medik umum
5. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan/keadaan tertentu
6. Gangguan tidur primer (disini gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali
dengan kondisi mental, fisik/penyakit ataupun obat-obatan)
24
3. ICSD 2
Kategori yang digunakan dalam ICSD 2 meliputi:
I. Insomnia (Insomnias)
II. Gangguan tidur yang berkaitan dengan nafas (Sleep-Related Breathing Disorder)
III. Hipersomnia bukan karena gangguan tidur berkaitan dengan nafas
(Hypersomnias Not Due to a Sleep-Related Breathing Disorder)
IV. Gangguan irama sirkadian tidur (Circadian Rhytm Sleep Disorders)
V. Parasomnia (Parasomnias)
VI. Gangguan tidur berkaitan dengan gerakan (Sleep-Related Movement
Disorders)
VII. Gejala-gejala terisolasi, tampak sebagai variasi normal, isu yang tak
terselesaikan (Isolated Symptoms, Apparently Normal Variants, and Unresolved Issues)
VIII. Gangguan tidur lainnya (Other Sleep Disorders)
Stadium Tidur Normal pada Orang Dewasa4
1. Stadium 0
Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup. Fase ini
ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot
meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase
mengantuk terdapat gelombang alfa campuran.
2. Stadium 1
Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1
NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total
waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa
menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta,
tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot
menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan
dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur.
3. Stadium 2
25
Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas
teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah
gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu
gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi
2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi
dan tekanan darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal.
Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.
4. Stadium 3
Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per detik,
amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi tidak ada
gerakan bola mata.
5. Stadium 4
Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit
dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3
dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan
sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan
setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur.
Siklus tidur dan bangun (irama sirkadian), polanya adalah bangun sepanjang hari saat cahaya
terang dan tidur sepanjan gmalam saat gelap. Stimulasi cahaya cerang akan masuk melalui mata
dan mempengaruhi suatu bagian dihipotalamus yang disebut nukleus supra-chiasmatic (NSC).
NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon
pengatur temperatur badan, cortisol, GH (growth hormone) dan lain-lain yang akan memegang
peran untuk bangun dan tidur. Jika pagi cahaya masuk, NSC akan segera mengelurkan hormon
yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, cortisol, dan GH sehingga orang terbangun.
Jika malam, NSC merangsang pengeluaran hormon melantonin yang diproduksi oleh glandula
pineal yang akan mempengaruhi terjadinya relaksasi dan penurunan temperatur badan serta
cortisol sehingga orang mengantuk dan tidur. Kadar melantonin dalam darah mulai meningkat
pada jam 9 malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi.
26
B. Dementia
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh
penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan tingkat kesadaran. Demensia merujuk pada
sindrom klinis yang mempunyai bermacam penyebab. Pasien dengan demensia harus mempunyai
gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak, penilaian, kepribadian,
bahasa, praksis dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat sehingga mempengaruhi
aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.
Sebagian besar kasus demensia menunjukkan penurunan yang progresif dan irreversible,
namun dapat pula terjadi mendadak (misalnya: pasca stroke atau cedera kepala), dan beberapa
penyebab demensia dapat sepenuhnya pulih (misalnya hematoma subdural, toksisitas obat,
depresi) bila dapat diatasi dengan cepat dan tepat. Demensia dapat muncul pada usia berapapun
meskipun umumnya muncul setelah usia 65 tahun.
Demensia berbeda dengan delirium. Delirium merupakan keaddaan kebingungan biasanya
timbul mendadak, ditandai dengan gangguan memori dan orientasi dan biasanya disertai gerakan
abnormal, halusinasi, ilusi, dan perubahan afek.5 Untuk membedakan dari demensia, delirium
terdapat penurunan tingkat kesadaran selain dapat pula hyperalert. Delirium biasanya berfluktuasi
intensitasnya dan dapat dmenjadi demensia bila kelainan yang mendasari tidak teratasi. Pasien
demensia sendiri secara khusus cenderung untuk timbul delirium.
Epidemiologi5
Insidensi meningkat seiring bertambahnya usia. Setelah usia 65 tahun, prevalensi meningkat
dua kali lipat tiap pertambahan usia 5 tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada
populasi berusia >60 tahun adalah 5,6%. Penyebab tersering demensia di AS dan Eropa adalah
Alzheimer, sedangkan di Asia diperkirakan demensia vascular, dan yang lebih jarang adalah
demensia tipe Lewy body, demensia fronto-temporal (FTD), dan demensia pada penyakit
Parkinson. Proporsi perempuan yang mengalami Alzheimer lebih tinggi disbandingkan laki-laki.
Faktor-faktor risiko lain adalah tingkat pendidikan yang rendah, hipertensi, diabetes mellitus,
27
dislipidemia, serta berbagai factor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi
pembuluh darah otak. (1)
Etiologi Dementia5
1. Etiologi demensia tersering:
a. Penyakit Alzheimer. Penyebab tersering terjadinya demensia.
b. Demensia vaskuler. Penyebab tersering kedua demensia dan sering pada pasien lansia
atau populasi dengan akses pelayanan kesehatan yang terbatas. Seringkali dibarengi dengan
penyakit neurodegenerative.
c. Penyakit Parkinson. Sering menyebabkan demensia.
d. Intoksikasi kronik. Hal ini termasuk intoksikasi obat dan alcohol yang sering merupakan
penyebab demensia yang bisa disembuhkan.
2. Etiologi demensia yang jarang :
Defisiensi vitamin, gagal organ dan endokrin, infeksi kronis, trauma kepala dan kerusakan
otak difus, neoplastik, gangguan toksik, psikiatrik, penyakit degenerative, additional condition
pada anak-anak dan remaja, dan berbagai macam ( sarcoidosis, vaskulitis, CADASIL, porfirian
intermiten akut, demam non konvulsif rekuren). (2)
C. Penyakit Alzheimer/Dementia Alzheimer6
AD adalah penyebab tersering demensia pada pasien lansia dan juga bisa terjadi pada masa
remaja. Pada AD akan terlihat onset kehilangan memori diikuti dengan demensia progresif yang
lambat selama beberapa tahun.
Manifestasi Klinik
Pada AD cenderung mengikuti pola yang khas. Dimulai dengan penurunan fungsi memori,
meluas ke bahasa dan deficit visuospatial. AD dengan pola tidak khas memiliki kesulitan dalam
menemukan kata, organisasional, dan navigasi.
28
Pada stadium awal, kehilangan memori bisa tidak disadari atau yang disebut dengan benign
forgetfulness. Jika kehilangan memori disadari dan jatuh 1,5 standar deviasi dibawah normal pada
standardisasi tes memori, maka telah masuk ke kategori MCI ( Mild Cognitive Impairment).
Sekitar 50% pasien dengan MCI akan berkembang menjadi AD selama 4 tahun. Secara lambat,
masalah kognitif akan timbul pada aktivitas sehari-hari.
Pada stadium menengah, pasien tidak bisa bekerja, mudah lupa dan bingung, dan
membutuhkan pengawasan harian. Etiket, sikap rutin, dan perbincangan biasa akan terpengaruh,
serta bahasa ikut terpangaruh. Pada beberapa pasien, afasia merupkan gejala yang timbul awal
dan menonjol. Kesulitan menemukan kata juga bisa menjadi masalah. Apraksia muncul dan
pasien mengalami kesulitan melakukan aksi motorik yang telah dipelajari. Penurunan
visuospasial mulai muncul saat berpakaian, makan, berjalan, dan pasien gagal menyelesaikan
puzzle atau mengikuti tampilan geometris. Kalkulasi sederhana dan pembacaan jam menjadi
susah secara parallel.
Pada stadium berikutnya, beberapa pasien tetap rawat jalan. Hilangnya pertimbangan dan
penalaran tidak bisa dihindari. Delusi biasa terjadi dan biasanya sederhana, dengan tema umum
seperti pencurian, perselingkuhan, dan misidentifikasi. Sekitar 10% dari pasien AD, akan
mengalami Capgras’ syndrome, sebaliknya dengan Demensia Lewy Body (DLB), sindrom ini
sebagai tanda awal. Kehilangan inhibisi dan agresi dapat terjadi dan berubah menjadi pasif dan
menarik diri, pola tidur-bangun terganggu, beberapa pasien mengalami gaya jalan shuffling
dengan rigiditas otot yang menyeluruh berhubungan dengan kelambatan dan kecanggungan
gerakan. Pasien sering terlihat seperti parkinsonisme, tapi jarang memiliki amplitude tinggi,
ritmik, dan resting tremor.
Pada stadium akhir, pasien AD menjadi kaku, diam, inkontinensia, terbaring di tempat
tidur. Bantuan dibutuhkan dalam aktivitas sehari-hari. Refleks tendon hiperaktif dan myoclonic
jerks bisa terjadi secara spontan atau sebagai respon terhadap stimulasi fisik atau auditorik.
Kejang umum juga bisa terjadi. Kematian sering diakibatkan oleh malnutrisi, infeksi sekunder,
emboli pulmoner, penyakit jantung, atau paling sering yaitu aspirasi. Untuk alasan yang tidak
diketahui, beberapa pasien AD menunjukkan penurunan hebat dalam fungsi, dan lainnya tanpa
kerusakan besar.
29
Patobiologi dan Patogenesis
Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik,
neurofibrillary tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovaskular, dan Hirano bodies.
Plak senilis. Satu gambaran patologis utama untuk diagnosis penyakit Alzheimer.
Sebenarnya jumlah plak meningkat seiring usia dan jugan muncul pada usia lanjut yang tidak
demensia.
Plak neuritik. Mengandung β-amyloid ekstraseluler yang dikelilingi neuritis distrofik. Plak
neuritik juga mengandung protein komplemen, microglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, protein
fase akut, sehingga komponen inflamasi juga diduga telibat pada pathogenesis DA. Plak difus
(non neuritik). Deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya Apo E di dalam plak
β-amyloid menunjukkan bukti hubungan antara amyloidogenesis dan Apo E. Gen yang
mengkode APP (the amyloid precursor protein) terletak pada kromosom 21, menunjukkan
hubungan potensial DA dengan sindrom Down. Pembentukan amyloid merupakan pencetus
berbagai proses sekunder pada pathogenesis DA.
Neurofibrillary tangles. Struktur intraneuron yang mengandung tau yang terhiperfosforilasi
pada pasangan filament helix. Normalnya pada usia lanjut terdapat di beberapa lapisan
hipokampus dan korteks entorhinal, tapi jarang ditemukan di neokorteks pada seseorang tanpa
demensia. Neurofibrillary tangles tidak spesifik pada DA.
Secara biokimiawi, AD berkaitan dengan penurunan beberapa protein dan neurotransmitter,
khususnya asetilkolin, enzim sintetiknya asetilkolin transferase, dan reseptor nikotinik kolinergik. (2)
Diagnosis
Evaluasi terhadap pasien dengan kecurigaan demensia dilakukan dari berbagai segi.
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan criteria diagnosis yang sesuai dengan Diagnosis and
Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV). Tipe lain harus dilakukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, serta pemeriksaan penunjang yang tepat.
Anamnesis. Anamnesis terfokus pada awitan, lamanya, dan bagaimana laju progresi
penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori yang
berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita DA. Hampir 75% pasien DA
30
dimulai dengan gejala memori, tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus
keuangan, belanja, mengikuti perintah, menemukan kata, atau mengemudi. Riwayat penyakit
pasien, factor risiko, riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari evaluasi.
Pemeriksaan Fisis dan Neurologis. Mencari keterlibatan system saraf dan ppenyakit sistemik
yang mungkin dapat dihubungkan dengan gangguan kognitifnya. Umumnya pada DA tidak
menunjukkan gangguan system motorik kecuali pada tahap lanjut.
Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik. Pemeriksaan yang sering digunakan adalah the
mini mental status examination (MMSE), yang dapat pula untuk memantau perjalanan penyakit.
MMSE berupa 30 point-test terhadap fungsi kognitif dan berisikan pula uji orientasi, memori
kerja, memori episodic, komprehensi bahasa, menyebut kata, dan mengulang kata. Pada DA
deficit yang terlibat berupa memori episodic, category generation, dan kemampuan
visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodic visual sering merupakan
abnormalitas neuropsikologis awal yang terlihat pada DA. Pengkajian status fungsional juga
harus dilakukan.
Pemeriksaan penunjang. Tes laboratorium tidak dilakukan serta merta pada semua kasus.
Pemeriksaan tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit, dan VDRL direkomendasikan
untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang dipertimbangkan adalah pungsi lumbal,
fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan tokksin di urin/darah, dan Apolipoprotein E. Pemeriksaan
penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI kepala untuk mengidentifikasi tumor
primer atau sekunder, lokasi area infark, hematoma subdural, dan memperkirakan adanya
hidrosefalus bertekanan normal atau penyakit white matter yang luas. Pada DA, terdapat atrofi
hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Umum
1. Menghentikan obat-obat yang bersifat sedative dan mempengaruhi fungsi kognitif.
31
2. Antidepresi. Pada pasien degenerative sering muncul depresi. Antidepresi memiliki efek
samping minimal terhadap fungsi kognitif seperti: SSRI (serotonin selective
reuptakeinhibitor), lebih dianjurkan pada pasien demensia dengan gejala depresi.
3. Antikonvulsi. Kadang dibutuhkan untuk mengendalikan kejang.\
4. Memasukkan lansia dengan demensia ke panti werdha. Agitasi, halusinasi, delusi,
kebingungan, seringkali sulit ditatalaksana. Sebelum memberikan obat, harus
disingkirkan factor lingkungan atau metabolic yang dapat dimodifikasi.
5. Mengatasi factor-faktor yang mencetuskan gangguan perilaku, sehingga tidak perlu
memberikan obat-obat antipsikosis
6. Haloperidol dosis rendah (0,5-2 mg), trazodone, buspiron, atau pr
7. opranolol. Obat-obat untuk meredam agitasi dan insomnia tanpa memperberat
demensia.Intervensi perilaku.
8. Kolinesterase inhibitor. Terapi terpilih untuk menigkatkan fungsi kognitif pada pasien
demensia, seringkali dapat pula mengurangi gejala apati, halusinasi visual, dan beberapa
gejala psikiatrik lain.
9. Mempertahankan kondisi fisis atau kesehatan pasien, mencegah komplikasi seperti
pneumonia, ispa, septicemia, ulkus dekubitus, fraktur, dan berbagai masalah nutrisi.
11. Pada stadium awal penyakit, dokter harus mengusahakan berbagai aktivitas untuk
mempertahankan status kesehatan pasien, seperti: olahraga, mengendalikan hipertensi
dan penyakit lain, imunisasi terhadap pneumokokok dan influenza, memperhatikan
hygiene mulut dan gigi, serta mengupayakan kacamata dan alat bantu dengar bila ada
gangguan penglihatan dan pendengaran,
12. Memenuhi kebutuhan dasar pasien, seperti: nutrisi, hidrasi, mobilisasi, dan perawatan
kulit untuk mencegah ulkus dekubitus.
13. Gastrostomi, pemberian nutrisi dan cairan intravena, serta antibiotic. Pada beberapa
keadaan dalam upaya memperpanjang hidup yang perlu pertimbangan keluarga.
14. Kerja sama yang baik antara dokter dan pramuwerdha.
Pengobatan untuk mempertahankan fungsi kognitif
32
Kolinesterase inhibitor. Tacrine, donepezil, rivastigmin, dan galantamin untuk pengobatan
AD. Obat-obat ini menghambat enzim kolinesterase, sehingga kadar asetilkolin meningkat.
Tacrine jarang digunakan karna memiliki efek samping hepatotoksik. Efek samping obat-obat
kolinesterase inhibitor adalah mual, muntah, diare, penurunan berat badan, insomnia, mimpi
abnormal, kram otot, bradikardi, sinkop, dan fatig. Efek-efek tersebut umumnya mucul saat awal
terapi tapi dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya diperpanjang, dan dosis rumatan
diminimalka, serta efek samping pada gastrointestinal juga dapat diminimalkan bila diberikan
bersamaan dengan makan. Indikasi untuk berpindah dari satu kolinesterase inhibitor ke obat lain
adalah adanya reaksi alergi, efek samping yang tidak teratasi, keinginan keluarga, dan tidak ada
respon pengobatan setelah pemakaian 6 bulan. Bila akan berpindah, dianjurkan untuk
menghenrikan pemberian obat sementara (washout period) selama 3-4 minggu. Kolinesterase
inhibitor umumnya digunakan bersama dengan memantin dan vitamin E.
Antioksidan. Vitamin E dapat memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih
berat. Vitamin E juga digunakan sebagai pencegahan primer demensia. Efek terapi vitamin E
pada pasien demensia maupun dengan gangguan kognitif ringan tampaknya hanya bermanfaat
bila dikombinasi dengan kolinesterase inhibitor.
Memantin. Sebagai terapi pada demensia sedang dan berat yang merupakan suatu antagonis
N-metil-D-aspartat. Efek terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada glutaminergic
excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus.
Terapi lain. Obat anti inflamasi (prednisone, rofecoxib, naproxen) namun belum ada data
yang mendukung terhadap manfaat obat ini dalam pengelolaan pasien demensia. Terapi sulih
estrogen namun penelitian menunjukkan tidak ada manfaat pada perempuan pascamenopause.
Menurut beberapa studi, bebrapa obat memiliki potensi dalam pencegahan dan pengobatan
demensia diantaranya ginkobiloba, huperzin A (kolinesterase inhibitor), imunisasi/vaksinasi
terhadap amyloid, dan beberapa pendekatan yang bersifat neuroprotektif.
33
KESIMPULAN
Pada kasus ini, pasien didiagnosis menderita demensia alzheimer. Diagnosis ini ditegakkan
berdasarkan anamnesis, status mental, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan umum pada pasien ini dengan farmakoterapi, terapi psikososial meliputi terapi
pada pasien, intervensi lingkungan dan terapi keluarga. Bila dilakukan penatalaksanaan dengan
benar dan pasien beserta keluarganya mau mengikuti apa yang dianjurkan dokter dengan baik,
prognosis pada pasien ini diharapkan menjadi baik
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Czeisler CA, Winkelman JW, Richardson GS. Sleep Disorders. Longo, Fauci, Kasper,
editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. USA: McGraw-Hill
Companies; 2012; p. 213-9.
2. Galanter JM, Standaert DG. Pharmacology of Dopaminergic Neurotransmission. Golan
DE, Tashjian AH, Armstrong EJ, editors. Principles of Pharmacology: The
Pathophysiologic Basis of Drug Therapy. 2nd ed. Philadelphia, PA: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008; p.185-201.
3. Rochmah W, Harimurti K. Demensia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. p. 837-9.
4. Potter, Patricia A. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik.
Jakarta: EGC; 2006.
5. Harimurti K, Rochmah W. Demensia. In: Aru WS, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Interna Publishing. 2009.p. 837- 44.
6. Miller BL, Seeley WW. Dementia. In: Jameson, Kasper, Longo, et al, editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine Volume 2. 18th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies; 2012. p. 3300-1, 3305-6.
35