Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

21
Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap JAKARTA (Lampost.Co): Salah satu perubahan besar yang terjadi setelah runtuhnya Orde Baru adalah diterapkannya kembali desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah, yang membawa perubahan sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Saat ini, pemerintahan daerah menikmati kekuasaan yang sangat besar sebagai konsekuensi diberlakukannya desentralisasi dan otonomi daerah tersebut. Sayangnya, desentralisasi kekuasaan dan implementasi otonomi daerah tidak diimbangi dengan perubahan mental aparatur negara. Visi untuk penyeimbangan kekuasaan yang diharapkan bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat di daerah, dalam beberapa kasus, justru membawa dampak negatif. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti mengemukakan, persoalan ini terjadi karena biaya pemilihan kepala daerah (pilkada) yang mahal, yang mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar rupiah. Menurutnya, bagi kepala daerah yang tidak memiliki dana cukup, posisi kepala daerah akan menjadi sebuah tahta untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan. Kepala daerah dapat memanfaatkan celah-celah hukum dan lemahnya kontrol pusat dengan melakukan korupsi. Bahkan, korupsi juga sudah terjadi pada saat pilkada. "Baik para kandidat penantang ataupun kandidat petahana, pada saat kampanye pilkada sudah melakukan praktik-praktik korupsi politik, yaitu dengan sistem ijon. Model ini berupa kandidat mendapatkan dana kampanye dari para penyumbang dana yang mengharapkan mendapatkan proyek atau order bisnis, apabila kandidat yang didanainya memenangi pilkada," kata Ikrar di Jakarta, Kamis (17/1). Ikrar menjelaskan, dalam teori politik, model seperti ini disebut "bribe and kickback", yaitu calon kepala daerah disogok terlebih dahulu, dan ketika ia terpilih menjadi kepala daerah, ia akan memberikan umpan balik kepada para penyandang dananya dalam bentuk kemudahan-kemudahan memperoleh proyek atau izin proyek. Model korupsi lainnya, menurut Ikrar, adalah dalam bentuk mark-up APBD dan pungutan liar (pungli). Kasus

description

Pilkada

Transcript of Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

Page 1: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

JAKARTA (Lampost.Co): Salah satu perubahan besar yang terjadi setelah runtuhnya Orde Baru adalah diterapkannya kembali desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah, yang membawa perubahan sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Saat ini, pemerintahan daerah menikmati kekuasaan yang sangat besar sebagai konsekuensi diberlakukannya desentralisasi dan otonomi daerah tersebut.

Sayangnya, desentralisasi kekuasaan dan implementasi otonomi daerah tidak diimbangi dengan perubahan mental aparatur negara. Visi untuk penyeimbangan kekuasaan yang diharapkan bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat di daerah, dalam beberapa kasus, justru membawa dampak negatif.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti mengemukakan, persoalan ini terjadi karena biaya pemilihan kepala daerah (pilkada) yang mahal, yang mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar rupiah. Menurutnya, bagi kepala daerah yang tidak memiliki dana cukup, posisi kepala daerah akan menjadi sebuah tahta untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan. Kepala daerah dapat memanfaatkan celah-celah hukum dan lemahnya kontrol pusat dengan melakukan korupsi. Bahkan, korupsi juga sudah terjadi pada saat pilkada.

"Baik para kandidat penantang ataupun kandidat petahana, pada saat kampanye pilkada sudah melakukan praktik-praktik korupsi politik, yaitu dengan sistem ijon. Model ini berupa kandidat mendapatkan dana kampanye dari para penyumbang dana yang mengharapkan mendapatkan proyek atau order bisnis, apabila kandidat yang didanainya memenangi pilkada," kata Ikrar di Jakarta, Kamis (17/1).

Ikrar menjelaskan, dalam teori politik, model seperti ini disebut "bribe and kickback", yaitu calon kepala daerah disogok terlebih dahulu, dan ketika ia terpilih menjadi kepala daerah, ia akan memberikan umpan balik kepada para penyandang dananya dalam bentuk kemudahan-kemudahan memperoleh proyek atau izin proyek. Model korupsi lainnya, menurut Ikrar, adalah dalam bentuk mark-up APBD dan pungutan liar (pungli). Kasus pungli merupakan salah satu penyakit yang dapat membahayakan ekonomi secara keseluruhan.

"Hubungan pribadi dengan kepala daerah berperan penting dalam mendapatkan proyek-proyek pemerintahan. Namun, hal ini membuat risiko bagi pengusaha, karena akan diartikan sebagai korupsi oleh penegak hukum," ujarnya.

Menurut Ikrar, otonomi daerah mengakibatkan risiko dan ketidakpastian berusaha makin tinggi. Hal ini terlihat dari ketidakberdayaan aparat untuk menenangkan massa, dan mengakibatkan pengusaha harus membayar sejumlah fee agar tidak mengakibatkan kerugian operasional yang lebih besar. Ini merupakan salah satu sebab mengapa biaya bisnis menjadi besar karena persoalan korupsi yang dilakukan beberapa pejabat daerah.

Ikrar menegaskan, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Pertama, pemerintah harus meningkatkan capacity building bagi pegawai negeri sipil maupun kepala daerah yang berada di daerah secara kontinyu. Ini dapat dilakukan melalui rekrutmen politik dan pendidikan politik yang baik bagi para calon kepala daerah dan birokrasi pemerintahan daerah. Hal ini diperlukan agar terdapat perubahan mentalitas para pejabat dari yang berbudaya dilayani masyarakat, menjadi negarawan yang mau melayani

Page 2: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

rakyat.

Kedua, pemerintah harus menerapkan prinsip "stick and carrot". Memberikan insentif bagi kepala daerah yang terbukti bersih, atau pemberian hukuman kepada kepala daerah yang terindikasi melakukan korupsi. Mungkin bisa dipakai beberapa indikator, seperti penyerapan APBD maupun pembuatan indeks transparansi untuk mengukur seberapa bersih wilayah tersebut, seperti Survei Integritas (SI) yang dijalankan KPK. SI diharapkan bisa meningkatkan integritas layanan publik, dan akan sangat baik jika pemerintah bisa memberikan dukungan serupa, seperti pendanaan maupun bantuan teknis.

Ketiga, kata Ikrar, pemerintah harus meningkatkan legitimasinya di daerah dengan memobilisasi polisi secara tepat dan bertanggung jawab saat terjadi kerusuhan. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi fenomena "raja kecil" di daerah, yang membuat kepala daerah memiliki pengaruh lebih besar daripada polisi. Hal ini ironis, karena pemerintah pusat dapat menempatkan Densus 88 maupun militer di Papua, namun gagal meredam situasi di daerah lain.

"Tanpa adanya kepastian berusaha, akan sulit untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam jangka panjang, dan pada akhirnya membuat pertumbuhan ekonomi tidak optimal. Sebelum situasi berkembang semakin parah, pemerintah pusat perlu bergerak cepat untuk menanggulanginya," tuturnya.

Mahalnya Pesta Demokrasi

Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah menjadi pesta demokrasi yang banyak menyedot energi dan perhatian masyarakat. Uang pun berhamburan, tidak saja untuk membiayai penyelenggaraannya yang terbilang tidak murah, tetapi juga untuk biaya pemenangan para calon yang bertarung. Pemilu memang diselenggarakan tiap lima tahun sekali, tetapi pemilukada bisa berlangsung sepanjang tahun. Bayangkan, berapa biaya politik yang berhamburan dalam pesta demokrasi tersebut, belum lagi jika menghitung ongkos sosial.

Menurut catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) biaya pemilukada untuk kabupaten/kota Rp25 miliar, untuk pemilukada provinsi Rp100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia yang terdiri dari 530 pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota, diperlukan Rp17 triliun.

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Johan juga mengakui bahwa pemilukada yang dilakukan secara langsung, selain menandai berjalannya proses demokrasi, tetapi ternyata juga berkonsekuensi kepada mahalnya biaya yang membebani APBD dan bakal calon peserta.

Selain itu, banyaknya waktu tersita untuk pelaksanaan pesta pemilukada, penyelesaian perkara hukum pasca pemilukada yang berlarut-larut, serta bertambahnya secara pesat jumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tersangkut persoalan hukum.

Perubahan UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, membawa konsekuensi bahwa kepala daerah mulai dari gubernur,

Page 3: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

bupati dan walikota dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung.

Sejalan dengan menguatnya semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 lalu pemilukada tidak lagi menganut sistem demokrasi perwakilan. Artinya yang memilih kepala daerah tidak lagi DPRD, tetapi rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Hal yang sama juga berlaku pada pemilihan presiden dan wakil presiden, tidak lagi dipilih DPR, namun oleh seluruh rakyat Indonesia yang memenuhi kriteria sebagai pemilih.

Perubahan sistem memilih pemimpin, dari cara perwakilan menjadi secara langsung, apalagi di tengah masyarakat yang sedang belajar berdemokrasi, tentu membawa sejumlah konsekuensi. Dampaknya amat besar tidak saja dari segi sosial tetapi juga dari sisi anggaran.

Mahalnya pesta demokrasi tersebut dipastikan akan berimbas pada pengeluaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Jika mengacu pada data FITRA tersebut, anggara Pemilu diperkirakan menyerap sekitar 5% dari total APBN. Ini tentu sangat memboroskan anggaran negara. Untuk itu, muncul wacana penyelenggaraan Pemilukada secara serentak demi efesiensi anggaran. Namun, hingga saat ini wacana tersebut masih mengalami sejumlah kendala terkait masa jabatan kepala daerah yang tidak serentak.

Apa kelebihan dan kekurangan pemilukada serentak menurut pemerintah? Djohermansyah menjelaskan, dengan adanya pemilukada serentak rakyat tidak perlu berulang kali datang ke tempat pemungutan suara. Selain itu, akan ada efisiensi biaya dan waktu, tidak banyak tim sukses. Kelebihan lainnya pelantikan kepala daerah dapat digelar secara serentak. Menurut Djohermansyah, jika pemilukada serentak dapat dilaksanakan, pemerintah akan bisa menghemat 3-5 triliun.

Meski demikian, pemilukada serentak mengalami banyak kendala, banyak pihak yang tidak setuju karena apabila dilakukan maka banya pemilukada yang diundur. Oleh karena itu, di beberapa pemerintahan daerah diperlukan pejabat (PNS) untuk memimpin sementara sampai hasil pemilukada ditetapkan. Kecuali jika masa jabatan kepala daerah incumbent diperpanjang. Hal lain yang juga tidak kalah mahal harganya, adalah jika terjadi ekses pemilukada seperti kerusuhan secara bersamaan di banyak daerah akan mengancam stabilitas nasional.

Masalah lain, jika penyebaran aparat keamanan belum merata di setiap daerah. Hal ini tentu berdampak pada pengawasan jalannya pemilukada yang relatif jauh lebih sulit. Begitu pula ketika berhadapan dengan sengketa hasil pemilukada lantaran waktu penyelesaian sengketa yang berlangsung singkat namun jumlah perkara yang masuk terbilang banyak.

Politik Utang Budi

Pemilukada yang dilaksanakan secara langsung faktanya memang banyak membawa masalah. Selain masalah biaya yang tinggi dari sisi penyelenggaraan, para calon yang bersaing, seringkali menggunakan kekuatan uang untuk mempertahankan harga dirinya agar tidak malu karena kalah, juga demi mengejar kekuasaan. Jelas, demi itu semua, berbagai cara bisa dilakukan. Tidak sedikit cerita, ada calon bupati yang kalah pemilukada kemudian masuk rumah sakit jiwa gara-gara tertekan sebab utang di mana-mana.

Page 4: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

Dalam kerangka motif kekuasaan bisa dipahami bahwa politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di masyarakat. Juga karena terkait kehormatan, banyak calon yang berasal dari ketua partai di daerah memaksakan diri maju dalam pemilukada meskipun tidak memiliki kapabilitas yang cukup.

Banyak alasan melatarbelakangi para ketua partai itu maju dalam pemilukada langsung. Dari mulai yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, hingga calon yang maju hanya unuk mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan pribadi dan kroninya.

Memenangi pemilu, baik legislatif maupun eksekutif bagi partai politik sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan. Oleh karena itu, cara-cara seperti lobbying, pressure, threat, bargaining dan compromise seringkali dipakai untuk melanggengkan kemenangan. Nah, dalam jalur-jalur inilah yang sering dikatakan orang sebagai tidak ada yang gratis. Ada ongkos yang amat mahal dalam proses-proses tersebut. Tentu yang bisa melakukannya hanyalah orang-orang berduit.

Contoh lain, dalam proses mencari bakal calon misalnya, partai politik kerap menggunakan strategi tarik ulur, menciptakan ketidakpastian dan enggan mengeluarkan biaya, tetapi justru berusaha mendapatkan keuntungan. Tentu bukan isapan jempol jika biaya ratusan juta harus dirogoh oleh seorang kader parpol ketika ingin menjadi caleg dari partainya.

Belum lagi dalam kasus pemilukada, tokoh dari luar parpol yang ingin mencalonkan diri lewat sebuah parpol biasanya dijadikan “mesin atm” untuk mengisi pundi-pundi kekayaan parpol. Parpol yang mempunyai organisasi terstruktur sampai di tingkat desa dan massanya relatif banyak, tentu dapat dengan mudah saja menjaring para tokoh “berduit” tersebut.

Parpol yang mestinya menjadi wadah bagi lahirnya kader mumpuni yang bakal didorong ke gelanggang perpolitikan bangsa ini, nyatanya hanya menjadi agen percaloan belaka. Mereka bekerja secara instan, mengusung calon-calon pemimpin intan, dan mendapatkan keuntungan secara instan pula. Maka jangan heran biaya politik yang dikeluarkan oleh para peserta pemilu baik pusat maupun daerah akan sangat tinggi.

Sebagai akibatnya, untuk menutupi biaya yang tinggi itu, tidak jarang bakal calon mencari sponsor, pihak-pihak tertentu seperti pengusaha atau perusahaan yang berkepentingan dengan kekayaan sumber daya alam setempat misalnya. Dari sinilah lahir politik “balas budi” untuk membayar ongkos yang telah dikeluarkan.

Selanjutnya, jika calon yang memenangkan pemilukada tersebut berasal dari koalisi partai politik, maka konsekuensinya dia harus mau ‘bagi-bagi’ kue kekuasaan terhadap partai-partai yang mencalonkannya. Dan anehnya, dalam sistem ketatanegaraan kita, sebenarnya tidak dikenal koalisi pada pemerintah daerah. Koalisi hanya ada pada pemerintah pusat. Sebab, dalam sistem pemerintahan daerah kita, secara adminstratif semua pejabat daerah merupakan seorang pegawai negeri karier. Akibat yang terjadi, pembagian kekuasaan kemudian tidak didasarkan pada asas profesionalitas atas pengelolaan pemerintahan. Banyak pejabat daerah tidak profesional karena merupakan titipan-titipan parpol.

Page 5: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

Misteri Sumber Keuangan Parpol

Uang pada akhirnya memainkan peran penting dalam pengelolaan partai politik. Banyaknya pengurus pusat dan daerah jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, mengatur secara ketat sumber penerimaan keuangan partai. Sumber pendanaan bisa berasal dari sumbangan perseorangan, badan hukum dalam jumlah tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.

Peda kenyataannya, banyak parpol yang tidak mampu memenuhi ketentuan undang-undang. Setiap pemilu tiba dana-dana siluman yang berasal dari subyek pemberi yang tidak jelas selalu saja terjadi. Sumber dana papol pun pada akhirnya seperti misteri di mata publik. Parpol juga enggan melakukan transparansi atas sumber dana yang mereka dapatkan.

Namun hal semacam ini seolah-olah dipahami oleh publik sebagai “tahu sama tahu”, sehingga publik pun tidak berusaha pula menyelidik lebih dalam mengenai asal muasal sumber dana yang digunakan parpol itu. Karena publik pun mafhum, jika parpol hanya menggunakan sumber dana resmi sesuai apa yan diatur undang-undang maka tidak akan cukup. Kasus Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin membuka fakta secara telanjang betapa dana hasil korupsi bisa mengalir secara liar dan ilegal kepada kader-kader parpol.

Dalam sistem pendanaan parpol sebenarnya dikenal sumber pemasukan resmi keuangan partai seperti iuran anggota, sumbangan perseorangan dan badan hukum, serta bantuan APBN/APBD. Tapi iuran anggota yang diharapkan menjadi basis pendanaan dan kemandirian parpol justru banyak tidak berjalan hampir pada semua partai. Sebabnya banyak, salah satunya sifat elitis partai dalam memandang hubungan dengan anggota. Atau ada pula parpol yang merasa malu jika harus meminta dan menggalang dana dari anggotanya sendiri.

Selain itu, ada dari penyumbang individual maupun badan usaha, yakni penyumbang yang berasal dari luar kader partai. Jenis sumbangan ini dibatasi, yakni Rp 4 miliar untuk perseorangan dan Rp 7,5 miliar untuk badan hukum. Tapi pada kenyataannya sumbangan model ini gampang dimanipulasi, karena penyumbang bisa mengatasnamakan pihak lain bila sudah melampaui batas sumbangan. Sementara, pada sumbangan anggota partai politik dibiarkan tidak terbatas dengan mekanisme yang tidak jelas.

UU Nomor 2 Tahun 2011 sebetulnya memerintahkan agar parpol melakukan pengaturan sumbangan anggota parpol dalam AD/ART masing-masing. Namun, sembilan parpol besar yang ada saja ternyata tidak mengatur sumbangan jenis ini dalam AD/ART-nya. Kelemahan pengaturan ini sengaja dibikin pembuat undang-undang agar partai politik leluasa menggali dana sebanyak-banyaknya dari para kadernya, terutama yang tengah menduduki jabatan publik.

Masalah pendanaan parpol semakin kompleks ketika parpol bersikap tidak terbuka mengenai sumber keuangan dan pengelolaannya. Jangankan secara sadar memberi informasi yang memadai kepada publik, untuk mematuhi UU saja mereka sulit melakukannya.

Padahal UU Nomor 2/2008 dan UU Nomor 2/2011 memerintahkan agar mekanisme penggalangan, pengelolaan hingga pertanggungjawaban keuangan parti diatur dalam

Page 6: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

AD/ART. Tapi apa faktanya? banyak AD/ART parpol tidak mau mengatur itu, dan kebanyakan malah mendelegasikan kepada peraturan partai dan peraturan organisasi. Namun, ketika ditelusuri lebih jauh, peraturan teknis mengenai hal tersebut juga tidak ada, kalaupun ada tidak berfungsi, karena semua urusan keuangan partai ada di tangan ketua umum, bendahara umum, dan pengurus partai tertentu.

Model pengelolaan keuangan parpol yang seperti itu sesungguhnya menunjukkan keengganan parpol untuk memenuhi prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan parpol sebagai lembaga publik, yakni transparan dan akuntabel.

Pada akhirnya uang dalam partai politik adalah segalanya. Yang punya uang, dialah pemenangnya. Demokrasi pada akhirnya hanyalah sebuah pesta. Ya, betul-betul sebuah pesta, di mana rakyat hanya kebagian mencuci gelas dan piringnya, serta mengais sedikit demi sedikit makanan yang tersisa. Lalu, sampai kapan?

 

Bantuan Dana Negara untuk Parpol

  

Berdasarkan UU No. 2/2008 tentang Partai Politik dan PP No. 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Parpol, keluar Permendagri Nomor 24 Tahun 2009 mengatur tentang Pedoman Tata Cara Perhitungan Bantuan keuangan kepada Parpol yang mendapat kursi di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari APBN/APBD diberikan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah setiap tahunnya.

 

Tiga macam pemberian bantuan keuangan kepada Partai Politik:

1. APBN diberikan kepada Parpol di tingkat pusat bagi yang mendapat kursi di DPR.

2. APBD provinsi diberikan kepada Parpol di tingkat provinsi bagi yang mendapat kursi di DPRD provinsi.

3. Bantuan keuangan yang bersumber dari APBD kabupaten/kota diberikan kepada parpol di kabupaten/kota bagi yang mendapat kursi di DPRD kabupaten/kota.

 

Simulasi Perhitungan Bantuan

 

Page 7: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

Tahun 2009

 

Jumlah Kursi di DPR Tahun 2004 adalah 555 Kursi; bantuan untuk Partai Politik perkursi berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 2005 dihargai Rp.21.000.000,-/Kursi. Jadi, bantuan untuk Parpol Tahun 2009 berarti Rp.11.550.000.000,- Sedangkan Suara Sah Pada Pemilu 2004 sebesar 113.462.414 suara dan Pemilu 2009 sebesar 104.095.847 suara. Di antaranya Partai Demokrat yang memperoleh suara 21.703.137 atau 20,85%.

 

Bantuan Parpol 2009                 = Rp.11.550.000.000,-

Suara Sah Pemilu 2004              = 113.462.414 suara

Suara Sah Pemilu 2009              = 104.095.847 suara

Suara Partai Biru 2009               = 21.703.137 suara

 

Setelah mengetahui Jumlah Bantuan APBN untuk Partai Politik Tahun Anggaran 2009 dan Suara Sah Pada Pemilu 2004, kita bisa mengetahui nilai bantuan persuara, yakni 11.550.000.000/113.462.414 = 102. Jadi nilai bantuan persuaranya Rp.102,-

 

Jumlah bantuan keuangan yang yang dialokasikan APBN setiap tahunnya untuk partai politik, 104.095.847 x 102 = Rp.10.617.776.394,-

 

Jumlah bantuan keuangan yang akan diterima oleh setiap partai politik, contohnya partai Demokrat, yakni: 21.703.137 x 102 = Rp. 2.213.719.974,-

 

Jumlah Bantuan Partai Politik Yang Lolos Parliamentary Threshold

 

No Partai

Nama Partai Kursi

Perolehan Suara

Jumlah Bantuan

1 Partai Hati Nurani Rakyat 18 3.922.870 400.132.7405 Partai Gerakan Indonesia Raya 26 4.646.406 473.933.4128 Partai Keadilan Sejahtera 57 8.206.955 837.109.4109 Partai Amanat Nasional 43 6.254.580 637.967.160

Page 8: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

13 Partai Kebangkitan Bangsa 27 5.146.122 524.904.44423 Partai Golongan Karya 107 15.037.757 1.533.851.21424 Partai Persatuan Pembangunan 37 5.533.214 564.387.82828 Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan95 14.600.091 1.489.209.282

31 Partai Demokrat 150 21.703.137 2.213.719.974J u m l a h : 560 85.051.132 Rp.

8.675.215.464,- 

Jadi, bantuan yang diberikan oleh Negara kepada Partai Politik Setiap Tahunnya adalah Rp.8.675.215.464,-

 

Sumber: Fitra

Korupsi untuk Kembalikan Modal Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri

Lebih dari 50 persen kepala daerah terpilih 2010 menjadi tersangka dan terdakwa tindak pidana korupsi. Akar masalahnya adalah terjebaknya kepala daerah dalam jebakan korupsi. Karena dilakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung, yang membutuhkan biaya yang besar. Sumbernya ada dua, kantongnya sendiri dan sponsor atau cukong-cukong.

Nah, setelah  dia menang, ingin kembali modal, karena dalam kamusnya tidak ada politik yang gratis. Tidak ada makan siang gratis. Setelah dia menjabat tahu-tahu gaji bupati hanya Rp 5 jutaan, gaji gubernur sekitar Rp 8 jutaan.

Berarti seorang bupati mendapatkan gaji sekitar Rp 60 jutaan pertahun atau Rp 300 jutaan selama lima tahun menjabat. Sedangkan gubernur hanya sekitar Rp 96 jutaan pertahun atau Rp 480 jutaan selama lima tahun menjabat. Sementara ongkos untuk memenangkan pilkada besar, belasan hingga ratusan milyar!

Iklan di tv, radio, media cetak. Belum lagi pasang spanduk, poster. Ditambah biaya rapat-rapat, pertemuan akbar, penggalangan massa.  Calon kepala daerah pun harus membayar biaya saksi yang Rp 100 ribu per tempat pemilihan suara (TPS), kalau di daerahnya ada 5.000 TPS berarti mau tidak mau dia harus merogoh kocek Rp 500 juta.

Kalau dihitung-hitung biayanya ya ada yang 15 milyar, 20 milyar untuk seorang calon bupati. Kalau gubernur paling sedikit lima kali lipatnya! Belum lagi untuk sewa perahu. Maksudnya membayar parpol yang mau mengusung dia jadi kepala daerah, bisa ratusan milyar juga.

Untuk mengganti uang yang sudah keluar itu, maka kepala daerah mengkorupsi dana Anggaran Pembelanjaan Belanja Daerah (APBD) dengan cara menaikkan harga barang yang dibeli (mark up). Menyalahgunakan wewenang. Caranya dengan meminta komisi sekitar 10-

Page 9: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

20 persen bagi siapa saja yang ingin memenangkan tender proyek. Akibatnya akan mengurangi kualitas proyek.

Uang lainnya didapat dari memberikan izin kepada perusahaan yang bermasalah dalam persyaratan izinnya. Misal tidak memenuhi syarat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tetapi kepala daerah mengizinkan perusahaan tersebut beroperasi lantaran ada dana pelicin alias suap. Akibatnya terjadi pencemaran air, tanah, atau pun udara. Belum lagi izin penambangan emas, batu-bara, dan lainnya yang intinya semua dapat izin setelah kepala daerah mendapatkan suap. Nah, ini kan tindak pidana korupsi namanya.

Korupsi, Tradisi Kembalikan Modal?Oleh Gede Agus Budi Adnyana

Sebuah berita yang sangat miris terdengar di telinga kita, bahwa orang Indonesia mudah sekali terjebak dalam lingkaran makan-memakan layaknya sebuah rantai makanan, namun yang satu ini adalah makan uang rakyat dan memanipulasi uang negara agar masuk kantong sendiri alias korupsi. Mengapa orang Indonesia yang begitu gigihnya mendengungkan sebuah idealisme ternyata terjebak dalam situasi yang teramat sangat menyedihkan ini?

Banyak jawaban yang dapat kita temukan dalam setiap kasus korupsi yang melanda negeri tercinta ini. Banyak alasan dan faktor penyebab dari pejabat tingkat bawah hingga bapak-bapak berdasi yang duduk di kursi empuk melakukan korupsi. Secara akal sehat, kompetisi dalam mencapai kedudukan sebagai pejabat negara di negeri kita ini, dilakukan dengan sebuah kapasitas yang di luar batas kemampuan dari bakal calon pejabat itu sendiri.

Banyak orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan dan kompetensi dalam hal tata negara dan menjadi seorang wakil rakyat, namun berkeinginan keras untuk dapat meraih posisi tersebut, alhasil segala macam cara mereka lakukan. Bukan sekadar atas dasar reputasi, namun mencari penghidupan juga merupakan faktor yang paling mendasar dalam kasus ini. Akhirnya mereka menggunakan tata cara kampanye yang di luar koridor, money politics dan suap-menyuap sering terjadi dalam hal perhitungan suara.

Mereka menghabiskan biaya kampanye dengan jumlah yang sangat luar biasa. Setiap kampanye mereka mambagikan uang kepada masyarakat yang mau memilihnya kelak, baju, dan juga uang bensin untuk konvoi keliling jalan memamerkan wajah calon pejabat. Ketika orang tersebut terpilih menjadi pejabat dalam hal ini wakil rakyat, secara otomatis dan secara logika, seluruh modal yang dikeluarkan dan dihabiskan untuk biaya kampanye serta berbgai macam kalkulasi yang berjumlah hingga ratusan juta, harus kembali.

Secara kodrati manusia tidak ada yang mau rugi. Jadi ada sebuah prinsip ekonomi berjalan di atas kepentingan ini. Maka uang negara yang merupakan hak rakyat dimasukkan dalam kas pribadi sebagai usaha untuk mengembalikan modal yang terpakai saat kampanye. Ini adalah sebuah fakta yang sudah lazim. Dan, secara kalkulasi matematika, uang untuk kampanye itu tidak akan kembali dengan hitungan bulan, namun perlu tahunan. Agar menyingkat waktu karena hanya menjabat selama lima tahun maka banyak cara untuk menarik kas negara agar masuk kantong. Akhirnya terjadilah korupsi.

Kalau sudah demikian, kita akan menyalahkan siapa? Apakah orang yang melakukan

Page 10: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

korupsi (koruptor), atau pengawas keuangan negara yang kurang kondusif? Dalam tataran ini mencari kambing hitam bukanlah sebuah jalan keluar yang bijak. Wakil rakyat adalah dipilih oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Jadi sebelum memilih calon wakil rakyat, lihat dulu kompetensi dasar dan juga kemampuannya. Bukan melihat jumlah uang yang dibagikan saat kampanye atau jumlah baliho, spanduk dan juga poster yang tertempel. Jika hal itu yang dijadikan tolok ukur, maka siap-siap saja akan ada seorang koruptor lagi yang akan meraup uang rakyat untuk mengembalikan modal saat kampanye.

Mengapa orang Indonesia mudah terjebak korupsi? Karena dalam memilih wakil rakyat bukan dinilai dari segi kompetensi yang dimiliki dan juga kemampuannya, melainkan dilihat dari jumlah uang yang dibagikan saat kampanye dan jumlah poster yang paling banyak. Siapa yang memberi uang itulah yang menang dan terpilih.

Oleh karena itu, untuk meminimalisasi hal tersebut, yang pertama yang harus dilakukan adalah melihat kemampuan calon wakil rakyat dilihat dari kiprahnya selama ini. Bukan mendadak menjadi dermawan saat kampanye dan lupa ketika naik nanti.

Memberantas korupsi bukan perkara mudah, jadi sebelum jauh melangkah sikap proteksi perlu ditingkatkan dengan jalan memilih secara ketat dan selektif, dengan tolok ukur dasar wawasan serta kemampuannya di bidang tata negara, bukan karena uang. Apabila hal tersebut dimulai sejak dini, diharapkan kasus korupsi yang melibatkan para wakil rakyat kita sedikit tidaknya menurun jumlahnya. Sebab, tindakan korupsi paling menyengsarakan rakyat.

Jika orang tersebut benar-benar kaya raya, kenapa tidak sedari dulu membenahi pola masyarakat dan menyumbang demi kepentingan rakyat? Mengapa baru dilakukan ketika menjadi calon pejabat? Di sinilah nalar dan akal sehat kita harus bicara. Seseorang jika mendadak melakukan sesuatu yang di luar nalar, sudah bisa dipastikan memiliki motif atau tujuan-tujuan tertentu. Jadi perlu pilihan yang cermat dalam hal ini, agar jangan sampai salah pilih. Semoga.

Mengapa Harus Korupsi?

Alkisah di sebuah negeri yang bernama Astina terdengar kabar yang gegap gempita,

karena berbondong-bondongnya para pejabat elit negeri itu untuk mendaftarkan diri

agar dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi. Mereka pun seperti berlomba

menarik simpati bak selebriti namun tetap tak mengakui sepak terjang sebagai tikus

laci, mungkin kejantanannya sudah dikebiri.

Fenomena korupsi ini sebetulnya sudah lama menjangkiti mental para pejabat negeri itu,

namun secara massive beritanya santer terdengar justru setelah reformasi. Walaupun begitu

penulis sendiri kurang setuju jika perbuatan bejat ini disebut budaya, karena budaya menurut

Mitchel, merupakan seperangkat nilai-nilai inti, kepercayaan, standar , pengetahuan, moral

hukum, dan perilaku yang disampaikan oleh individu - individu dan masyarakat, yang

Page 11: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

menentukan bagaimana seseorang bertindak, berperasaan, dan memandang dirinya serta

orang lain. Nah para koruptor ini khan tidak bertindak berdasarkan perasaan, apalagi

memandang dirinya sebagai pejabat dan harus selalu menjaga integritas moral serta perilaku

kepada masyarakat.

Kalau kita renungkan apa betul korupsi itu diperlukan oleh pejabat negeri Astina itu, atau

jangan-jangan protes-protes anti korupsi itu karena mereka tidak kebagian jatah saja,

benarkah? Togog pun pernah bercerita bahwa sebetulnya sejak Togog diperkenalkan

kegunaan uang di negeri itu, maka bersamaan dengan itu Togog pun juga mendengar desas-

desus suap atau pungli (bentuk paksa dari suap) dalam melicinkan segala urusan terutama

yang berkaitan dengan urusan pemerintah di negeri Astina tersebut.

Kenapa harus korupsi?

Kira-kira jawaban hati para koruptor pastinya bilang “kenapa nggak?, harus bilang

wooouww gitu?”., karena ada 1001 alasan mengapa mereka korupsi antara lain:

Warisan ketrampilan dari leluhurnya

Kenapa bisa jadi begitu, karena mereka masuk pegawai negeri itu dengan jalan KKN dan

“wani piro”, wajarlah kalau mereka sangat bermental koruptor.

Anggapan gaji kecil tidak mengapa yang penting “sabetannya”

Para koruptor ini sebetulnya sosok pribadi yang berminat terjun ke dunia bisnis, namun

apa daya mental pemalasnya tidak mendukung. Mental takut rugi, yang penting untung

dan balik modal. Meskipun gaji juga sudah dinaikkan, tetapi karena mental bisnis

sesatnya sudah terlanjur dihayati, mereka pun lantas kecanduan.

Slogan “kalau bisa lambat kenapa dipercepat, kalau bisa susah kenapa

dipermudah”

Mereka betul-betul memahami slogan ini akan membawa kesuksesan bagi diri dan

keluarganya, karena dibalik slogan tersebut mengalirlah pundi-pundi emas berliannya.

Kita pun dengar ada berbagai proyek pemerintah di negeri Astina itu yang menjadi

proyek-proyek pribadi para pejabatnya, yach termasuk kasus rumah susun itu.

Page 12: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

Oknum Pimpinan selalu memberi contoh korupsi yang baik

Pemimpin yang sudah terlanjur korup selalu menargetkan kepada anakbuahnya sejumlah

upeti-upeti yang harus dialirkan setiap bulannya ke meja pimpinan, maka bak seorang

bankir ternama, mereka pun giat mencari calon untuk dikorbankan menjadi ATM

berjalan, yang bisa digesek kapan saja terutama menjelang lebaran.

Alasan daya beli yang semakin berkurang, sedangkan kenaikan gaji tidak

signifikan

Negeri Astina adalah sebuah negeri yang menyukai inflasi, karena hanya dengan inilah

alasan paling manjur mereka korupsi atau minta kenaikan gaji. Pemerintah negeri itu

tidak pernah menggulirkan gerakan peningkatan nilai tukar mata uangnya agar daya beli

masyarakat naik, tetapi justru memberikan solusi instan dengan menaikkan UMR yang

kemudian disusul kenaikan BBM, kenaikan bahan pokok, kenaikan transportasi dll …

terus rakyat jadi dapat apa?

Kita tidak perlu kaget dengan kondisi negeri Astina tersebut, toh kata orang tua dulu bilang “sing becik bakal ketitik, sing olo bakal ketoro”, karena penulis masih yakin di negeri Astina walupun sangat berbeda dengan Amarta, tetapi masih banyak pejabat Kurawa yang baik dan tidak sekedar mengaku baik. Kita tunggu saja munculnya pendekar kesatria keadilan dan kemakmuran, ia…. tetapi terus kapan mbah……????

Demokrasi Biaya Tinggi: Biang Korupsi dan Eksploitasi SDA

Dalam beberapa hari ini kita disuguhkan oleh sejumlah berita panggung politik di tanah air. Setelah hiruk pikuk pemilukada di beberapa daerah selesai, minggu lalu kita baru saja dipertontonkan dengan perhelatan demokrasi di Jakarta. Tak ada yang aneh sebenarnya dari pesta demokrasi tersebut. Toh, sejak puluhan tahun lalu kita sudah merasakan tradisi demokrasi prosedural tersebut disuguhkan kepada masyarakat dengan nuansa yang beraneka ragam.

Bedanya adalah bahwa pada masa reformasi ini pemimpin-pemimpin politik formal seperti presiden, gubernur, dan bupati/walikota dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum. Pemilu langsung tersebut tentu sangat menggairahkan masyarakat untuk dapat menentukan pemimpin pilihan mereka secara langsung. Berbeda dengan kondisi pada jaman Orde Baru dimana penguasa politik dipilih oleh elit politik yang duduk di lembaga legislatif. Pada masa itu, elit yang duduk di legislatif juga tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan dipilih oleh partai politik. Rakyat hanya memilih partai politik tanpa mengetahui siapa wakilnya yang akan duduk di parlemen.

Page 13: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

Meskipun pemilihan umum secara langsung sudah berjalan sejak pemilu tahun 2004, namun sejauh ini belum berhasil membuktikan bahwa pemilu langsung tersebut menghasilkan pemimpin-pemimpin politik yang berkualitas. Pesta demokrasi untuk melahirkan pemimpin politik formal menjadi sangat mahal, karena para kandidat berusaha semaksimal mungkin menjadi populer di masyarakat. Untuk itu, upaya promosi dan publikasi dengan berbagai media merupakan pilihan yang tidak bisa dielakkan untuk meningkatkan popularitas. Dalam kondisi seperti ini, maka hanya tokoh-tokoh politik yang mempunyai kekuatan uanglah yang hanya mampu masuk ke dalam sistem politik seperti ini.

Analisis di atas bukan untuk menyimpulkan bahwa pemilihan umum langsung tidak bagus dan harus dikembalikan kepada pemilihan oleh lembaga legislatif, melainkan untuk melihat sejauh mana dampaknya pada eksploitasi sumberdaya setelah pemimpin politik berhasil menduduki jabatan politik sebagai presiden, gubernur, maupun bupati dan walikota. Rata-rata, seorang calon bupati menghabiskan dana promosi kampanye sekitar 5 sampai 10 Milyar Rupiah, sementara calon gubernur sampai 20 Milyar Rupiah. Pertanyaannya tentu saja apakah biaya politik yang sangat tinggi tersebut sebanding dengan pendapatan seorang pemimpin politik dari gajinya?

Kalau gaji Jokowi sebagai Walikota Solo setelah dipotong pajak sebesar 5,5 juta rupiah perbulan, maka gajinya selama 5 tahun adalah sebesar Rp. 330 juta. Penghasilan bersih dari gaji ini tentu saja sangat timpang dengan pengeluaran waktu mereka melakukan kampanye sebagai calon. Karena itu, banyak gubernur dan walikota yang melakukan korupsi dan manipulasi terhadap berbagai proyek ABPD untuk menutupi modal politik yang telah mereka keluarkan dalam jumlah yang sangat besar.

Di daerah-daerah yang kaya sumberdaya alamnya, para bupati dan gubernur melakukan berbagai upaya untuk menarik minat investor melakukan eksploitasi sumberdaya alam di daerahnya, baik hutan, tambang maupun sawit. Yang paling mudah adalah tambang dan sawit karena aturan perundang-undangan membolehkan bupati dan gubernur mengeluarkan ijin untuk tambang dan sawit di wilayahnya. Dari berbagai perijinan yang diberikan, mengalirlah rente ekonomi ke dalam pundi-pundi penguasa politik ini, baik dalam bentuk uang pelicin, fee, suap, saham kosong, hingga manipulasi pajak.

Para penguasa ini kebanyakan tidak lagi menghiraukan janji-janji kampanye ketika pencalonan dulu. Mereka kebanyakan menutup mata bahwa eksploitasi terhadap sumberdaya alam secara berlebihan telah berdampak pada kerusakan hutan dan lingkungan hidup, serta berbagai konflik dengan masyarakat lokal. Janji tinggal janji, yang penting adalah bagaimana hutang politik dapat dilunasi, begitu kira-kira semboyan mereka. Karena itu, banyak orang kecewa dengan kinerja sejumlah pemimpin daerah (dan juga nasional) yang tidak mampu melakukan perubahan dan perbaikan seperti yang diharapkan masyarakat sebelumnya.

Barangkali yang perlu diperhatikan ke depan adalah bagaimana pesta demokrasi langsung ini bisa meminimalkan biaya politik sekecil-kecilnya, dan bisa menghasilkan pemimpin politik

Page 14: Mahalnya Pilkada Lahirkan Suap

yang berkualitas, jujur, tidak rakus dan korup serta visioner dalam membangun masyarakatnya. Sehingga para penguasa politik tersebut tidak mengorbankan kepentingan rakyat melalui berbagai tindakan korupsi yang mereka lakukan bersama dengan pejabat di birokrasinya. Dan yang terpenting jangan sampai mengorbankan Sumberdaya Alam yang menjadi warisan untuk anak cucu nanti. (Adie Usman Musa. Balee IGA, 15 Juli 2012)