Laporan Kasus Spondiliis Tb

download Laporan Kasus Spondiliis Tb

of 17

Transcript of Laporan Kasus Spondiliis Tb

[Year]

[Type the document title][Type the document subtitle]

Oleh : Adhim Setiadiansyah (2007730003) Tutor Pembimbing : dr.Jofizal Jannis, Sp.S

KEPANITRAAN KLINIK STASE SYARAF RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2012

Status pasien IdentitasNama Usia Alamat Pekerjaan Tanggal masuk Tanggal diperiksa No rekam medis : Tn.R : 28 tahun : Jl. Cikini Kramat No.8 Jakarta Pusat : Pegawai swasta : 27 Januari 2012 : 15 Februari 2012 : 722458

AnamnesaKeluhan utama : Nyeri pinggang Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluh nyeri pinggang sejak 5 tahun lalu, nyeri pinggang dirasakan menjalar hingga ke-2 kaki. Kaki sudah dirasakan baal saat itu, namun masih bisa digerakkan dan dipakai untuk beraktifitas. Pasien hanya pergi ke tukang pijit kemudian sembuh. 4 sampai 5 bulan kemudian hal yang sama muncul dan membaik dengan dipijit dan berulang setelah 4 atau 5 bulan kemudian. 4 tahun lalu pasien merasa adanya benjolan dipunggung, benjolan sebesar kelereng, namun tidak nyeri. 1 bulan SMRS pasien mengaku sulit menggerakkan kedua kakinya, dan terasa baal. 3 hari lalu pasien merasa nyeri dipinggang semakin hebat, demam disertai menggigil saat malam hari, keringat malam hanya saat itu saja, perut terasa begah, mual-muntah disangkal, riwayat minum obat lama disangkal, BAB lancar namun agak keras dan tidak berwarna hitam, BAK agak tersendat-sendat, tidak terasa seperti berpasir, berwarna kuning, tidak nyeri. Riwayat penyakit dahulu TB paru disangkal, Asma disangkal, Diabetes melitus disangkal, riwayat stroke disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal, riwayat epilepsi disangkal. Riwayat keluarga Hal yang sama disangkal, Darah tinggi disangkal, diabetes melitus disangkal

Riwayat alergi Disangkal Riwayat kebiasaan Merokok (+)

Pemeriksaan fisikKeadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : kompos mentis Tanda vital : Tekanan darah Nadi Laju napas Suhu : 120/50 mmHg : 80 x/menit : 20 x/menit : 36,00C

Status generalisKepala : tampak normocephal

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, 2mm/2mm, reflex cahaya langsung +/+, reflex cahaya tidak langsung +/+ Telinga Hidung Mulut : hiperemis -/-, sekret -/: deviasi septum -, sekret : mukosa bibir tampak lembab, perioral sianosis

Leher : tidak tampak dan tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid, JVP 5-2cmH2O Dada Inspeksi ictus cordis Palpasi Perkusi : normochest, tampak simetris, tidak tampak retraksi intercostae, tak tampak

: vocal fremitus sama kanan dan kiri, ictus cordia tak teraba : terdengar sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : terdengar suara napas vesikular pada kedua lapang paru, ronchi -/-, wheezing -/-, bunyi jantung I & II reguler, gallop -, murmur

Abdomen Inspeksi Auskultasi Palpasi Perkusi Anus Ekstremitas : tampak kembung : Bising usus (+) N : teraba supel, nyeri tekan -, tak teraba hepatomegali & spleenomegali : timpani : Bulbo cavernosus refleks (+) : Akral teraba hangat, RCT < 2 detik, edema

Status neurologis GCS : 15 E(4), M(6), V(5)

Kemampuan bicara : baik Cara berjalan : tidak dapat dinilai, pasien lumpuh

Pemeriksaan nervus kranialis Nervus I (olfaktorius) Daya pembau Nervus II (ophtalmikus) Penglihatan Lapang pandang Fundus okuli Nervus III (Occulomotor), Nervus IV (trochlear), Nervus VI (abdusens) Ptosis Gerak bola mata Medial Superomedial Superolateral Inferolateral Inferomedial Lateral abduksi Pupil Dextra Normosmia Dextra N N Tidak dilakukan Dextra Sinistra Normosmia Sinistra N N Tidak dilakukan Sinistra

-

-

+ + + + + Isokor, ukuran 2mm

+ + + + + Isokor, ukuran 2mm

Refleks cahaya langsung Refleks cahaya tak langsung Diplopia Nervus V (Trigeminal) Kekuatan menggigit Membuka rahang bawah Chvostek sign Sensibilitas Ophtalmica Maxila mandibula Jaw refleks Nervus VII (fascial) M.frontalis M. Orbikulari okuli M. Buccinator M. Orbikularis oris M. Platisma Nervus VIII (akustikus) Mendengar jentikan jari Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Nervus IX (Glossopharingeus), Nervus X (vagus) Arkus pharings, uvula Daya kecap 1/3 lidah Refleks muntah Suara Menggembungkan pipi Refleks menelan Refleks wahing Fungsi otonom

+ + Dextra

+ + Sinistra

Baik Baik (tak tampak deviasi) + + + + Dextra + + + + + Dextra + Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Sinistra + + + + + Sinistra + Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan + + +

Tidak deviasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan Normal Normal Normal Normal Normal

Nervus XI (aksesorius) M.Sterno kleidomastoideus M.Trapezius Nervus XII (hipoglossus) Atrofi lidah Lidah mencong Tremor lidah Penekanan lidah ke pipi Motorik 5555 1111 Sensori

Dextra + +

Sinistra + +

Normal

5555 1111

Sensibilitas eksteroseptif setinggi segmen Th 11

Refleks fisiologis Triseps Biseps Patella Achilles Refleks patologis Babinski Chaddock Oppenheim Gordon Kaku kuduk Kernig sign Refleks meninges Brudzinsky I Brudzinsky II

Dextra + + Dextra Pasien lumpuh Pasien lumpuh Pasien lumpuh Pasien lumpuh -

Sinistra + + Sinistra Pasien lumpuh Pasien lumpuh Pasien lumpuh Pasien lumpuh -

-

Lasegue sign Keseimbangan dan koordinasi Romberg sign Fukuda Jari ke jari Jari ke hidung

-

Tidak dilakukan Tidak dilakukan Normal Normal

Pemeriksaan penunjang Lab. Lengkap27/1-2012 Hb Leu : 13,1 g/dl : 26,92 ribu/ul Ur Cr : 38 : 1,0

Urinalisis Warna Kejernihan Leukosit Eritrosit :kuning : keruh : 20-30/ Lpb :40-50/Lpb

Tromb : 473 ribu/ul Ht : 39 %

SGOT : 36 SGPT : 28

Ro. Thoraco lumbal 3/2-2012

Kesan : fraktur kompresi dan destruksi korpus vertebrae Th 8,9,10 disertai massa jaringan lunak paravertebrae mulai Th 5-6 sampai Th 8,9,10. Susp. Spondylitis Penebalan jaringan setinggi T8 sampai dengan L1 cold abses

MRI Thoraco lumbal 30/1-2012Kesan : Destruksi Th 9, 10, 11 dan L1 spondilitis Penekanan medulla spinalis setinggi Th9 sampai dengan L1

ResumeBerdasarkan anamnesis : pria, 26 tahun Pasien mengeluh nyeri pinggang sejak 5 tahun lalu, menjalar hingga ke-2 kaki. Kaki baal, namun masih bisa digerakkan, 4 tahun lalu pasien merasa adanya benjolan dipunggung, benjolan sebesar kelereng, namun tidak nyeri. 1 bulan SMRS kedua kaki sulit digerakkan, dan terasa baal. 3 hari lalu nyeri dipinggang semakin hebat, demam disertai menggigil saat malam hari, keringat malam (+), perut terasa begah, BAK agak tersendat-sendat, tidak terasa seperti berpasir, berwarna kuning, tidak nyeri.. Berdasarkan periksaan fisik : pada periksaan anus didapatkan bulbocavernosus refleks (+), refleks patella dan achiles (-/-), pemeriksaan motorik inferior 1111 / 1111, Sensibilitas eksteroseptif setinggi segmen Th 11. Ro. Thracolumbal : fraktur kompresi dan destruksi korpus vertebrae Th 8,9,10 disertai massa jaringan lunak paravertebrae mulai Th 5-6 sampai Th 8,9,10. Susp. Spondylitis, penebalan jaringan setinggi T8 sampai dengan L1 cold abses MRI Thoracolumbal : Destruksi Th 9, 10, 11 dan L1 spondilitis, penekanan medulla spinalis setinggi Th9 sampai dengan L1

DiagnosaKlinis Topis Etiologi : Paraplegia inferior, , low back pain : medulla spinalis segmen Th 11 : spondilitis tuberkulosa

Patologis dengan L1

: Destruksi Th 9, 10, 11 dan L1, dan Penebalan jaringan setinggi T8 sampai

Tatalaksana Tirah baring Operasi (sudah dilakukan pada tanggal 9 februari 2012) Fisioterapi Obat-obatan : o Pirazinamid : 1 x 1000 mg o Etambutol : 1 x 1000 mg o Rifampisin : 1 x 450 mg o Ibuprofen : 3 x 400 mg

TINJAUAN PUSTAKA Latar belakang(1)Pott disease, atau sering disebut dengan spondilitis tuberkulosis, merupakan penyakit tertua yang ditunjukkan sebagai penyakit manusia. Penyakit ini didokumentasikan dalam sisa-sisa tulang belakang pada zaman besi dan pada mumi kuno dari Egypt dan Peru. Pada tahun 1779, Pervical Pott mempresentasikan deskripsi klasik mengenai tuberkulosis spinal. Sejak munculnya obat antituberkulosis, tuberkulosis spinal menjadi jarang ditemukan pada negara-negara berkembang. Keterlibatan TB tulang belakang memiliki potensi untuk menyebabkan morbiditas serius, termasuk defisit neurologis permanen dan cacat parah.

Epidemiologi(1)Pott disease merupakan bentuk dari muskuloskeletal yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan destruksi tulang , deformitas, dan paraplegia. Menurut WHO , Indonesia adalah negara yang menduduki peringkat ketiga dalam jumlah penderita TB setelah India dan Cina. Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat TB setiap tahun atau setiap 4 menit ada satu penderita yang meninggal dinegara negara tersebut , dan setiap 2 detik terjadi penularan.

Anatomi(2)Spinal cord memiliki fungsi serta teologi yang sangat penting, meskipun begitu spinal cord hanya mewakili 2 % dari volume seluruh sistem syaraf pusat. Spinal cord terrletak dalam kanal vertebra membentang dari atlas diteruskan oleh medula hingga melewati foramen magnum, hingga mencapai 1st dan 2nd vertebra lumbal. Kemudian mengerucut kekonus medularis dan berakhir sebagai kauda ekuina.

Spinal cord dan ventral rami in situ(2)

Ada 31 pasang saraf tulang belakang, masing-masing memiliki akar syaraf dorsal sensori dan ventral motorik yang keluar dari cord (8 servikal, 12 thorak, 5 lumbal, 5 sakral, 1 coccygeal), Meskipun terdapat 7 vertebra servikal namun terdapat 8 akar syaraf.

Relation of spinal cord to vertebra(2)

PatofisiologiSpondilitis tuberkulosis paling sering mengenai vertebra T8-L3, dan paling jarang pada C1-2. Berdasarkan lokasi awal, biasanya infeksi dimulai dari korpus vertebra bagian sentralnya, sisi intervertebra (paradiskus), atau anterior. Destruksi awal yang terletak di sentral korpus vertebra sering terjadi pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa lebih sering terjadi di paradiskus. Destruksi anterior biasanya lebih karena penjalaran perkontiunatum dari vertebra diatasnya, juga karena berdekatan dengan lapsan subkhondral. Destruksi tulang akibat perkejuan menyebabkan fraktur kompresi.(3)

Perjalanan infeksi pada vertebra dimulai setelah terjadi fase hematogen atau reaktivasi kuman dorman. Vertebra yang paling sering terinfeksi adalah vertebra torako-lumbal (T8L3). Bagian anterior vertebra lebih sering terinfeksi dibandingkan dengan bagian posterior. Basil masuk ke korpus vertebra melalui 2 jalur utama , jalur arteri dan jalur vena serta jalur tambahan.(4) a. Jalur utama berlangsung secara sistemik, mengalir sepanjang arteri ke perifer masuk kedalam korpus vertebra ; berasal dari arteri segmental interkostal atau arteri segmental lumbal yang memberikan darah ke separuh dari korpus yang berdekatan, dimana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri nutrisia. Didalam korpus arteri ini berakhir sebagai end artery, sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering dimulai didaerah paradiskal.7 b. Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson , suatu anyaman vena epidural dan peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah perivertebral. Pleksus ini beranastomose dengan pleksus-pleksus pada dasar otak, dinding dada, interkostal, lumbal dan pelvis ; sehingga darah dalam pleksus Batson terjadi aliran retrograd akibat perubahan tekanan pada dinding dada dan abdomen maka basil dapt ikut menyebar dari infeksi tuberkulosa yang berasal dari organ didaerah aliran vena-vena terbut. c. Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinuitatum dari abses paravertebral yang telah terbentuk, dan menyebar sepanjang ligamentum longitudial anterior dan postrior ke korpus vertebra yang berdektan.

Skema arteri-arteri spinal cord(2)

Penyakit ini umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau dari daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebral dan ke korpus yang berada didekatnya. Diskus intervertebralis relatif resisten terhadap infeksi tuberkulosis karena avaskular. Bila diskus terkena infeksi maka diskus akan rusak karena jaringan granulasi dan kehilangan cairan, celah sendi akan menyempit.(4) Kerusakan pada bagian depan korpus vertebra menyebabkan korpus menjadi kolaps sehingga dapat terjadi kifosis ; kemudian eksudat menyebar ke anterior dibawah ligamentum longitudinale anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum longitudinale anterior dan berekspansi ke berbagai arah disepanjang garis ligamentum yang lemah.(4)

Manifestasi klinisGambaran klinis spondilitis TB hampir sama dengan gejala sistemik infeksi TB yaitu malaise, penurunan berat badan, ditambah gejala lokal dipunggung atau pinggang. Nyeri punggung atau pinggang terjadi akibat spame otot-otot punggung, makin lama punggung makin kaku karena sudah mulai terjadi deformitas.(3) Spondilitis TB servikal dapat menimbulkan nyeri di oksiput atau ekstremitas atas, dan bila terbentuk abses dingin retrofaring dapat timbul disfagia, disfoni, atau dispnea. Spondilitis TB thorakal dapat menimbulkan neuralgia interkostalis dan rasa tidak enak diabdomen, sedangkan spondilitis TB lumbal dapat menimbulkan nyeri ekstremitas bawah hingga paraplegia akibat tekanan abses atau akibat kerusakan medula spinalis.(3)

Kerusakan motorik berkaitan dengan trauma spinal cord(2)

Kerusakan sensori berkaitan dengan trauma spinal cord(2)

Pemeriksaan penunjangHematologi dan biokimia marker Eritrosit sedimen rate (ESR) merupakan marker yang sensitif untuk menilai adanya infeksi namun kurang spesifik. Pada beberapa kasus dilaporkan meningkat hingga lebih dari 90 % kasus dengan mean value berkisar antara 43-87 mm/h.(5) Secara umum, sama dengan penderita penyakit kronik lainnya,sering ditemukan anemia hipokrom. Hitung-jumlah leukosit berguna sebagai inflamasi marker, namun pada beberapa peneliti mencatat adanya peningkatan pada hitung jumlah neutrophil saat dibandingkan dengan spodilitis tuberkular. Laju endap darah meningkat tetapi tidak dapat menjadi indikator aktivitas penyakit. (4,5) PCR, target yang paling sering digunakan pada pemeriksaan ini adalah IS6110. Deteksi dengan menggunakan IS6110 ini dilakukan dari sputum (pada tuberkulosa paru) dan darah (pada tuberkulosa diluar paru). Pemeriksaan PCR memberikan sensitifitas 94.7% , spesifisitas 83.3% dan akurasi 92% terhadap bahan pemeriksaan yang berasal dari spondilitis tuberkulosa.(4)

Pemeriksaan mikrobiologi(4) Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis tuberkulosa lebih rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Juga pada pewarnaan biasa hanya sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya. Kultur, Semua spesimen yang mengandung mikobakteria harus di inokulasi melalui media kultur, karena : kultur lebih sensitif dari pada pemeriksaan mikroskopis, dapat mendeteksi hingga 10 bakteri per ml ; kultur dapat melihat perkembangan organisme yang diperlukan untuk identifikasi yang akurat dan dengan pembiakan kuman dapat dilakukan resistensi tes terhadap obat-obat anti tuberkulosa. Pemeriksaan Radiologik(4) 1. Sinar Rontgen Diperlukan pengambilan gambar dua arah , antero-posterior (AP) dan lateral (L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis, menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak disekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform. Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut gibbus. Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal, merupakan gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang berbentuk fusiform. 2. Mielografi Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang subdural . Secara konvensional dibuat foto AP/L atau dilakukan pemeriksaan dengan CT-Scan ,disebut CTmielografi. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya penyempitan pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medula spinalis. 3. CT-Scan Dapat memperlihatkan bagian-bagaian vertebra secara rinci dan melihat kalsifikasi jaringan lunak. Membantu mencari fokus yang lebih kecil, menentukan lokasi biopsi dan menetukan luas kerusakan. 4. MRI Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman digunakan. MRI juga memiliki kelebihan dalam mendiagnosa penyakit pada masa dini atau lesi multipel dibandingkan CT dan pemeriksaan radiologik konvensional. Gambaran lesi pada T1 weighted image adalah hypointense sedangkan pada T2 weighted image adalah hiperintens. Lesi juga dapat menjadi lebih jelas dengan injeksi Gadolinium DTPA intravena. Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens ; tetapi gambaran ini mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak spesifik untuk spondilitis tuberkulosa. 5. Sidik Tulang Dengan menggunakan Tc 99M methylene diphosphonate dan isotop gallium-67 , sidik tulang memberikan sensitifitas 92% dan spesifisitas 88%. Pemeriksaan ini tidak digunakan secara rutin.

PenatalaksanaanTerapi medis(1) Sebelum adanya kemoterapi tuberkulosis yang efektif, Pott disease diobati dengan imobilisasi yang baik, yaitu prolong bed rest dan pembalut tubuh. Berdasarkan penelitian dari British Medical Research Council menunjukkan, bahwa spondilitis tuberkulosis tulang belakang torakolumbalis harus ditangani dengan kemoterapi kombinasi untuk 6-9 bulan. Mengenai lama terapi, British Medical Research Council tidak mencakup pasien dengan multiple vertebra, lesi serviks, atau gangguan neurologis. Namun banyak ahli tetap menyarankan kemoterapi selama 9-12 bulan. Terapi bedah(1,5) Indikasi terapi bedah meliputi : Defisit neurologi (deteriorasi neurologi akut, paraparese, paraplegia) Spinal deformitas dengan instabilitas atau nyeri Terapi medis tidak memberikan respon (bertambah buruknya kifosis atau instbilitas) Sampel biopsi nondiagnostic percutaneous needle Namun beberapa ahli memilih adanya abses epidural sebagai indikasi operasi meski tanpa defisit neurologi Pada Pott disease yang meliputi vertebra servikalis, faktor-faktor berikut membenarkan adanya intervensi bedah dini : Adanya defisit neurologi yang berat Kompresi abses yang parah hingga menyebabkan disfagia atau asfiksia Instabilitas vertebra servikalis

Dosis obat(4)

Paduan OAT untuk tiap kategori(4)

Referensi1. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis) at http://emedicine.medscape.com/article/226141overview . Updated: Dec 5, 2011 2. Jones, H.Royden. NETTERS NEUROLOGY 2nd EDITION, copyright 2012 3. Sjamsuhidajat,R. BUKU AJAR ILMU BEDAH. 2002 Penerbit Buku Kedokteran EGC 4. Moesbar ,N. INFEKSI TUBERKULOSA PADA TULANG BELAKANG. Majalah Kedokteran Nusantara 280 Volume 39 No. 3 September 2006 5. Theodore Gouliouris*, Sani H. Aliyu and Nicholas M. Brown. Spondylodiscitis: update on diagnosis and management. J Antimicrob Chemother 2010; 65 Suppl 3: iii1124. Published by Oxford University Press on behalf of the British Society for Antimicrobial Chemotherapy