Laporan Kasus Tb Mdr

46
LAPORAN KASUS Tuberculosis Paru Multi Drugs Resistance Untuk Memenuhi Tugas Internship di RSUD Aloei Saboe, Gorontalo Pembimbing : dr. Zukri Antuke, Sp.P Disusun oleh : dr.Ozie Ramanda Dilly

description

tubercolusis

Transcript of Laporan Kasus Tb Mdr

LAPORAN KASUS

Tuberculosis Paru

Multi Drugs Resistance

Untuk Memenuhi Tugas Internship

di RSUD Aloei Saboe, Gorontalo

Pembimbing :

dr. Zukri Antuke, Sp.P

Disusun oleh :

dr.Ozie Ramanda Dilly

2015

BAB I

PENDAHULUAN

Resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terlebih lagi multi drug

resistant tuberculosis (TB-MDR) telah menjadi masalah kesehatan yang serius di

beberapa negara, termasuk Indonesia.1 Laporan WHO tahun 2007 menyatakan telah

terjadi mono resisten OAT 10,3%, poli resisten OAT 17,0% dan TB-MDR 2,9%.1

Pada tahun 2009 di dunia diperkirakan terdapat kasus TB-MDR sebanyak 250.000

kasus namun hanya 12% atau 30.000 kasus yang sudah terkonfirmasi.2 Berdasarkan

data WHO, Indonesia berada pada peringkat ke-8 dari 27 negara dengan kasus TB-

MDR terbanyak di dunia.3

Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari

Amerika, khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka

kematian yang amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16

minggu lamanya antara diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian

berdatangan dari berbagai rumah sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New

York dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang menyebutkan bahwa

setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan

dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang telah diteliti

detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resisten

terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan

empat macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB

dilaporkan masing-masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi

terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua

obat atau lebih adalah 41%. Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa

resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%. 4

Kasus TB dengan resistensi OAT merupakan kasus yang sulit ditangani,

membutuhkan biaya yang lebih besar, efek samping obat yang lebih banyak dengan

hasil pengobatan yang kurang memuaskan. TB dengan resistensi OAT ini terutama

berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya yang tidak adekuat.5 Pada

pasien yang memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya kemungkinan terjadi

resistensi sebesar 4 kali lipat sedangkan terjadinya TB-MDR sebesar 10 kali lipat.3

Data di Indonesia menyatakan pada TB kasus baru didapatkan TB-MDR 2% dan

kasus TB yang telah diobati didapatkan 19%.4 Oleh karena itu sangat diperlukan

strategi penatalaksanaan yang tepat pada kasus TB dengan resistensi OAT agar tidak

berlanjut menjadi extensively drug resistant tuberculosis (TB-XDR).5

BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Tn. W

Usia : 32 tahun

Alamat : ds.Limbatihu

Pekerjaan : Nelayan

No. CM : 10 36 46

Tanggal Masuk RS : 11 Mei 2015

Jumlah Kontak serumah : 2 orang ( < 14 taahun : 1 orang > 14tahun : 1

orang

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa

1. Keluhan utama : Batuk

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Batuk darah (+), keringat malam (+)..

3. Riwayat penyakit Dahulu

Riwayat pengobatan TB sebelumnya (dari pertama hingga akhir ) :

1.Tahun 2003 : tuntas dan sembuh

2.Tahun 2013 : tuntas dan sembuh

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat TB (tidak ada data)

5. Riwayat Sosial Ekonomi

1.Rokok : dulu (24 batang sehari)

2.Alkohol : dulu

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 11 Mei 2015

1. Keadaan Umum : Normal

2. Kesadaran : CM

3. Berat Badan : 49 kg

4. Status Generalisata :

a. Thorax

Jantung & Paru (otot bantu napas ) : dalam batas normal

b. Abdomen

Dalam batas normal

Ekstremitas

Dalam batas normal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Laboratorium tanggal 2 Mei 2015

Jenis HasilLeukosit 6.200/ulHemoglobin L 14,2 gr/dlHematokrit L 44,1 %Trombosit 291.000/ulGDS 95 mg/d;TSH 0,8u/mlKalium 3,7 mmol/LNatrium 133 mmol/LChlorida 106 mmol/L

Rontgen Thorax :

Paru kanan : infiltrat dan fibrosis

Paru kiri : infiltrat dan fibrosis

V. PENILAIAN

Kriteria terduga TB resisten obat :

Pasien TB Kasus Kambuh (relaps),Kategori 1 dan Kategori 2

VI. RENCANA TINDAK LANJUT

Mulai pengobatan TB :

Kanamisin : 750 mg

Levofloxacin :750 mg

Sikloserin : 500mg

Etionamid : 500mg

Pirazinamid : 1500mg

B6 :100mg

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Berdasarkan Guidelines for the programmatic management of drug resistant tuberculosis: emergency update oleh WHO (2008)

resisten terhadap OAT dinyatakan bila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro saat terdapat

satu atau lebih OAT.1 Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu: 5

Mono resisten :resisten terhadap satu obat lini pertama

Poli resisten :resisten terhadap lebih dari satu OAT lini

pertama selain kombinasi isoniazid dan

rifampisin.

Multi drug resistant (MDR) :resisten terhadap sekurang-kurangnya

isoniazid dan rifampisin

Extensively drug resistant (XDR) :TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah

satu obat golongan flourokuinolon dan

sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini

kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).

Total Drug Resistance(TDR) :resisten baik dengan lini pertama maupun lini

kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat

yang bisa dipakai.

Gambar 1. Tahapan perkembangan resistensi TB 6

Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer,

resistensi sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang

terjadi M. tuberculosis terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki riwayat

pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari 1 (satu)

bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien telah mempunyai riwayat pengobatan

OAT minimal 1(satu) bulan. Pada resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah

pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.7

EPIDEMIOLOGI

Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan

masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun

2010 WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2%

pertahun. Prevalens TB diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan

lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. Di Negara berkembang prevalens TB-

MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.”WHO Report On Tuberculosis Epidemic 1995”

menyatakan bahwa resisitensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai

belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman

tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya

Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya.

Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari

Amerika, khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka

kematian yang amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16

minggu lamanya antara diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian

berdatangan dari berbagai rumah sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New

York dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang menyebutkan bahwa

setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan

dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang telah diteliti

detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resisten

terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan

empat macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB

dilaporkan masing-masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi

terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua

obat atau lebih adalah 41%. Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa

resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%.4

Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai

bebantinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR/XDR. Beban TB-MDR di 27 negara

ini menyumbang 85% dari beban TB-MDR global. Di negara-negara yang termasuk

dalam daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus TB-MDR atau

sekurangkurangnya10% dari seluruh kasus baru TB-MDR. Laporan WHO

memperkirakan bahwa pada tahun 2008 kasus TB-MDR di Indonesia sebesar 6.427.

Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka TB-MDR sebesar 2% dari kasus TB

baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang.8

Gambar 2. Atas: Persentase kasus baru TB-MDR di tahun 2010-2011. Bawah: Persentase TB-MDR

dari pasien TB yang telah di tangani di tahun 2010-2011.13

SUSPEK TB-MDR

Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah:9

1. Kasus TB paru kronik.

2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2.

3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti

kuinolon dan kanamisin.

4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.

5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan

dengan kategori 1.

6. TB paru kasus kambuh.

7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1

dan atau kategori 2.

8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR

konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR.

FAKTOR FAKTOR TERJADINYA RESISTENSI

Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDRakan

menyebabkan lebih banyakOAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis.

Kegagalan ini bukan hanya merugikanpasien tetapi juga meningkatkan penularan

pada masyarakat.TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu

fenomena buatan manusia,Sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak

adekuat yang menyebabkan terjadinyapenularan dari pasien TB-MDR ke.orang lain /

masyarakat. Faktor penyebab resitensi OATterhadap kuman M. tuberculosis antara

lain: 9

1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK

Resisten yang natural

Resisten yang didapat

Amplifier effect

Virulensi kuman

Tertular galur kuman –MDR

2. FAKTOR KLINIK

A. Penyelenggara kesehatan

Keterlambatan diagnosis

Pengobatan tidak mengikuti guideline

Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang

kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi

terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH

Tidak ada guideline/pedoman

Tidak ada / kurangnya pelatihan TB

Tidak ada pemantauan pengobatan

Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu

paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman

tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka ”penambahan” 1

jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten.

Organisasi program nasional TB yang kurang baik

B. Obat

Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga

membosankan pasien

Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau

sampai selesai gagal

Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah

makan, atau ada diare

Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang

mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang

Regimen / dosis obat yang tidak tepat

Harga obat yang tidak terjangkau

Pengadaan obat terputus

C. Pasien

Kurangnya informasi atau penyuluhan

Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll

Efek samping obat

Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada

Masalah sosial

Gangguan penyerapan obat

3. FAKTOR PROGRAM

Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan

Amplifier effect

Tidak ada program DOTS-PLUS

Program DOTS belum berjalan dengan baik

Memerlukan biaya yang besar

4. FAKTOR AIDS–HIV

Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar

Gangguan penyerapan

Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar

5. FAKTOR KUMAN

Kuman M. tuberculosis super strains

Sangat virulen

Daya tahan hidup lebih tinggi

Berhubungan dengan TB-MDR

Lima penyebab terjadinya TB-MDR (“SPIGOTS”):9

1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten.

Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama

2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan

menyebabkanpenyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya

pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama,

penjara dan keluarga pasien

3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak

sembuh danakan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati

serta memerlukanpengobatan jangka panjang dengan biaya mahal

4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang

mendapatpengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan

bertambah banyakOAT yang resisten (’’The amplifier effect”). Hal ini

menyebabkan seleksi mutasiresisten karena penambahan obat yang tidak

multipel dan tidak efektif

5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan

akanmemperpanjang periode infeksious

Sedangkan menurut Aditama dkk ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi

terhadap OAT yaitu: 11

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.

2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang

kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat

yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada

daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.

3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga

minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah

dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti

lagi, demikian seterusnya.

4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu

paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena

kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan”

(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat

yang resisten saja.

5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara

baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti

pengirimannya sampai berbulan-bulan.

MEKANISME TERJADINYA RESISTENSI

A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH

Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut

air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan

menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting

pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen

seperti rekasi katase peroksidase.12, 14

Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan

kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan

oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau

promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi

katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase.14

Tabel 1. Obat Antitbuberkulosis dan Gen yang terlibat dalam resistensi10

B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei,

yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler.12,14 Obat ini

menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA

polymerase yang tergantung DNA.

Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,

mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada

semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih.12 Resistensi

terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya

mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.

Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari

mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai

(chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA

polymerase manusia tidak terganggu.

Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom

dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3,

dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada

gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan

pada tempat ikatan obat tersebut12.

C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide

Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting

sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja

efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada

keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek.12 Obat ini

merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada

dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah

oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat.14

Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas

pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam

pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi

pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase.14,15

D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol

Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif

hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis

standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase

yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di

dalam dinding sel.14

Resistensi ethambutol pd M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan

mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase.

Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti

asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus.14

E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin

Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari

Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan

menganggu fungsi ribosomal.14

Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah

diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S

rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target

diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal.14 Mutasi yang utama terjadi

pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten

terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%.15Pada  sepertiga yang

lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1

dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap

streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun

amikasin.14

DIAGNOSIS TB-MDR

Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda (TB-MDR) dicurigai kuat jika

kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali

positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat

penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu:

1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan

tidak sesuai standar terapi;

2) Kontak dengan kasus TB-MDR;

3) Gagal terapi atau kambuh;

4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV);

5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB12

Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur

spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien

tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa,

dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus

dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.12

Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan

metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama

untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan

genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan

sebagai petanda TB-MDR khususnya pada suasana dengan prevalensi TB-MDR yang tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan

metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.15

Metode fenotipik

konvensional

Metode fenotipik baru Metode genotipik

Metode proporsional Metode phage-based Rangkaian DNA

Metode rasio resistensi Metode kolorimetri Teknik hybridisasi fase

Agar

Metode konsenstrasi

absolut

The nitrate reductase

assay

Teknik real-time

Polymerase Chain

Reaction (PCR)

Metode radiometri

BACTEC

The microscopic

observation broth-drug

susceptibility assay

Microarrays

Tabung indicator

pertumbuhan

mikobakterial

Metode agar thin-layer

Tabel 2. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT15

TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA

Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun

berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-

masing pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru

dapat diperoleh dalam 1-2 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut ini

antara lain pasien dengan riwayat gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang

sebelumnya pernah mendapat terapi OAT, pasien yang ada kontak dengan kasus TB

resisten OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah endemis TB, resistensi

obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil DST.

Selanjutnya pemilihan regimen pengobatan kasus dengan resistensi OAT disusun

berdasarkan pada pola resistensi obat, regimen pengobatan yang telah digunakan

sebelumnya, penyakit yang menyertai dan efek samping yang berhubungan dengan

obat.5

Tabel 3. Pengelompokan OAT16

Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan

MDR adalah sebagai berikut:16

Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.

Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang

(cross-resistance)

Membatasi pengunaan obat yang tidak aman

Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuaipotensinya.

Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus

dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.

Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap

lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal

6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.

Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan

Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan

jarakpemeriksaan 30 hari.

Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahaplanjutan

menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment,dengan PMO

diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kaderkesehatan.

Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini

adalahpaduan standar (standardized treatment)yaitu:16

Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara

laboratoris dan dapat disesuaikan bila: 16

Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat

penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya

resistensi terhadap etambutol.

Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :

o Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test,

kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang

berbeda.

o Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas

sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.

o Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat

diidentifikasi penyebabnya.

o Terjadi perburukan klinis.

Ting-katan

Obat Dosis

Harian

Aktiviti

antibakteri

Rasio kadar

Puncak Serum

terhadap MIC

1 Aminoglikosid

a.Streptomisin

b. Kanamisin

atau amikasin

c. Kapreomisin

15 mg/kg Bakterisid menghambat organisme yang multiplikasi aktif

20-30

5-7,5

10-15

2 Thionamides

(etionamid

Protinamid)

10-20 mg/kg Bakterisid 4-8

3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid pada pH asam

7,5-10

4 Ofloksasin 7,5-15 mg/kg Bakterisid mingguan

2,5-5

5 Ethambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3

6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4

7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100

Tabel 4. Tingkatan OAT untuk pengobatan TB-MDR11

Fase-fase Pengobatan TB-MDR

I. Fase Pengobatan intensif

Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin

atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan

setelah terjadi konversi biakan

a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu

Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:

Menilai keadaan pasien secara cermat

Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping

Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif

Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:

Tidak ditemukan efek samping

Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan

pedoman pengobatan TB MDR

b. Fase rawat jalan

Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas

kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral

ditelan di rumah pasien hanya pada libur

II. Fase pengobatan lanjutan

Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan

Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan

Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR

mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1

bulan

TATALAKSANA PEMBEDAHAN

Berbagai prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB-MDR, mulai

dari reseksi segmental sampai pleuro-pneumoectomy. Berdasarkan pengalaman yang

ada, tindakan operasi pada penderita TB-MDR dengan mortalitas rendah (<3%).

Tetapi angka komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula bronkopleural dan

empiema yang menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90 persen pasien pemeriksaan

sputumnya menjadi negatif setelah dilakukan tindakan operasi. Pembedahan

reseksional saat ini direkomendasikan pada penderita TB-MDR yang diterapi dengan

obat-obatan cukup jelek. Indikasi pembedahan yaitu (1) kultur sputum positif yang

menetap meskipun sudah diterapi dengan obat yang cukup banyak; dan atau (2)

adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan dengan kegagalan terapi atau

bertambahnya resistensi; dan atau (3) adanya kavitas lokal, nekrosis/destruksi pada

sebuah lobus atau sebagian paru yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa

adanya insufisiensi respiratori dan atau hipertensi pulmonal yang berat. Hal tersebut

dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan regimen obat-obatan,

dimana diharapkan status sputum menjadi negative jika memungkinkan. Dengan

tindakan operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat diperbaiki daripada

meneruskan terapi obat-obatan saja. Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap

dilanjutkan setelah operasi dilakukan, kemungkinan dalam waktu setahun lebih,

sebaliknya ketahanan hidup yang jelek mungkin saja terjadi.18

PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN

Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap

pengobatandan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB –

batuk,berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa

bulanpertama pengobatan.Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan

biakan. Hasil ujikepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan

dahak danbiakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada

faselanjutan.Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:

Penilaian klinis termasuk berat badan

Penilaian segera bila ada efek samping

Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulanpada

fase lanjutan

Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversibiakan

Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan

akankegagalan pengobatan

Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat

suntikan(Kanamisin dan Kapreomisin)

Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tandahipotiroid

Konversi dahak

Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali

berurutandengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set

pertama dari sediaan apus dahak dan kultur yang negatifdigunakan sebagai tanggal

konversi (dan tanggal ini digunakan untukmenentukan lamanya pengobatan fase

intensif dan lama pengobatan).

Penyelesaian pengobatan fase intensif

Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil

konversikultur

Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6

bulandan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan

tetapnegatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur

Lama pengobatan

Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dankultur

Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung

sekurangkurangnya18 bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti

lain untukmemperpendek lama pengobatan

Hasil pengobatan TB-MDR (atau kategori IV)

Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai

protokol program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif

berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12

bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur positif dilaporkan selama

waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti klinis memburuknya

keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang positif

tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturut-turut

yang diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari

Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan

pengobatan sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh

karena tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis

Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa

pengobatan TB MDR.

Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat

dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu

dari 3 kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal

apabila tim ahli klinis memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara

dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau efek samping.

Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama

berturut-turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan

medik

Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan

lain dan hasil pengobatan tidak diketahui

PENCEGAHAN

Pencegahan terjadinya resistensi obat

WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB,

selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko

terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah

dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan

pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi

OAT.

Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus

baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada

pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu

pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting,

pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah

memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan

kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS).

Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai “evidence

based” dan tes kepekaan kuman.

Strategi DOTSPlus

Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan

strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada

penanganan MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci:

1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi

drug resistance)

2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu

menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan

uji kepekaan yang terjamin mutunya.

3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan

pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).

4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu

5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam

penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih

banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan

program DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB

Nasional.

PROGNOSIS

Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis

pada penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya

keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan

OAT dengan jumlah cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2

macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita

tersebut.18

Dengan mengetahui beberapa petanda diatas dapat membantu klinisi intuk

mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi

penyebab seperti malnutrisi.18

BAB III

KESIMPULAN

Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR terus

meningkat. Factor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak

adekuat dan penularan dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada setiap pasien

harus dilakukan penilaian resiko kemungkinan terjadinya resistensi OAT.

Selanjutnya terapi empiris harus segera diberikan pada pasien dengan resiko tinggi

resistensi OAT, terutama pada pasien dengan keadaan penyakit yang berat.

Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat diperlukan untuk keberhasilan

pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus TB-MDR maupun TB-XDR

dan TB-TDR.

Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat. Pilihan

obat yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai obat lini

kedua berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman M.tuberculosis. Pembedahan

perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif

sputum. Pemberian nutrisi yang baik dapat membantu keberhasilan terapi.

Konsep ”Direcly Observed Treatment Short Course” (DOTS) merupakan

salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan

menaggulangi masalah tuberkulosis khususnya TB-MDR. Perkembangan obat baru

mungkin juga diperlukan untuk menanggulangi hal ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis:

emergency update 2008. Geneva, World Health Organization, 2008

(WHO/HTM/TB/2008.402)

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.

3. Dapartemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik. Available

from

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1348penangulangan-

tb-kini-lebih-baik.html

4. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi

RSUP Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis; 2000.

5. Dalimunthe NN, Keliat EN, dan Abidin A. Penatalaksanaan Tuberkulosis

dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi

Imunologi FK Universitas Sumatra Utara. Available from

http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/PENATALAKSANAAN-

TUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-ANTI-

TUBERCULOSIS.pdf

6. Chakroborty A. Drug-resistant tuberculosis: an insurmountable epidemic?

Inflammopharmacol 2011; 19:131-7. Available from

http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs10787-010-0072-2#page-1

7. Sihombing H. 2011. Pola Resistensi Primer Pada Penderita TB Paru Kategori

I di RSUP H. Adam Malik, Medan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu

Kedokteran Resipirasi FK Universitas Sumatra Utara. Available from

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33363?

mode=full&submit_simple=Show+full+item+record

8. Kementrian Kesehatan RI. Rencana Aksi Nasional: Programmatic

Management of Drug Resistance Tuberculosis. 2011.

9. Soepandi PZ. 2010. Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya

TB-MDR. Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS

Persahabatan, Jakarta. Available from

http://ppti.files.wordpress.com/2010/01/makalah-dr-priyanti-diagnosis-dan-

faktor-yg-mempengaruhi-tb-mdr.pdf

10. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis: A Menace That

Threatens To Destabilize Tuberculosis Control. CHEST 2006; 130:261-272.

Available from

http://journal.publications.chestnet.org/data/Journals/CHEST/22045/261.pdf

11. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan

di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.

12. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam

Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah

Berkala. PERPARI. Bandung. 2006.

13. Global Tuberculosis Report 2012. World Health Organization

(WHO/HTM/TB/2012.6). available from

http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/

14. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E

(eds), Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill.

New York. 2004.

15. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in

Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient care,

1st ed. www.textbookcom.

16. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan

Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis. Available from

http://www.scribd.com/doc/130737509/Pedoman-Nasional-Penanggulangan-

TB-2011

17. Alfin SK. 2012. Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB); Sebuah

Tinjauan Kepustakaan. FK: Universitas Syiah Kuala. Available from

http://alfinzone.files.wordpress.com/2012/05/mdr-tb.pdf

18. Syahrini H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departemen Ilmu

Penyakit Dalam RSUP Adam Malik Medan FK USU. Available from

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3375/1/08E00731.pdf