LAPORAN AKHIR Kajian Peranan SNI Untuk Penguatan · PDF fileekonomi, perlindungan konsumen,...
Transcript of LAPORAN AKHIR Kajian Peranan SNI Untuk Penguatan · PDF fileekonomi, perlindungan konsumen,...
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan i
LAPORAN AKHIR
Kajian Peranan SNI Untuk Penguatan Pasar Dalam Negeri dan
Daya Saing Produk Ekspor
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
2015
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ iv
DAFTAR TABEL .................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1.Latar Belakang .................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah .............................................................. 2
1.3.Tujuan dan Output .............................................................. 3
1.4.Manfaat Kajian .................................................................... 3
1.5.Ruang lingkup ..................................................................... 4
1.6. Sistematika penulisan ....................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 7
2.1.Perumusan SNI dan Penetapan SNI Secara Wajib ........... 7
2.2. Peranan Standar Dalam Perdagangan ............................ 9
2.3.Hasil Penelitian Sebelumnya ............................................. 11
2.4. Kerangka Pemikiran ........................................................... 13
BAB III METODOLOGI ....................................................................... 16
3.1. Metode Analisis .................................................................. 16
3.2. Jenis Data dan Metode PengumpulanData ......................... 24
3.3. Operasional Survey ……………………………………………
BAB IV PENERAPAN SNI BAGI PENGUATAN PASAR DALAM
NEGERI
4.1. Standar dan Perlindungan Pasar Dalam Negeri.................33
4.2. Peranan SNI Dalam Melindungi Pasar Dalam Negeri .......34
4.3. Dinamika Penerapan Standar oleh Pelaku usaha Dalam
Melindungi Pasar Dalam Negeri ........................................37
BAB V PENERAPAN SNI BAGI PENINGKATAN EKSPOR
5.1. Hubungan Standar dan Daya Saing .............................38
5.2. Peranan SNI Dalam Mendukung Daya Saing.................39
5.3. Dinamika penerapan Standar oleh Pelaku Usaha Dalam
Peningkatan Ekspor ............................................................42
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 ii
BAB VISTRATEGI PEMENUHAN KESESESUAIAN STANDAR...........26
6.1. Kesesuaian dan Ketidaksesuaian SNI dengan Standar
Negara Tujuan Ekspor ....................................................... 46
6.2. Analisis Kesesuaian Standar............................................... 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Standardisasi dan Regulasi Teknis ....................... 10
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran .......................................................... 15
Gambar 4.1. Pengawasan barang yang SNI-nya telah diberlakukan
wajib sebelum beredar di pasar (tahap pra-pasar) dan
setelah beredar di pasar ................................................... 36
Gambar 5.1. Pengaruh Standar Terhadap Daya Saing ......................... 39
Gambar 5.2. SNI dan Refleksi Pengaruhnya Pada Peningkatan Daya
saing dan Akses Pasar di Dalam dan Luar Negeri ............41
Gambar 6.1. Alur pemrosesan teh hitam ............................................... 48
Gambar 6.2. Beberapa jenis produk teh ................................................ 48
Gambar 6.3. Persyaratan wajib dan tambahan untuk produk teh
di UE ................................................................................. 52
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 iv
DAFTAR TABEL
Tabel1.1 Pertumbuhan Produksi, Ekspor dan Impor Komoditi
yang dikaji ......................................................................... 5
Tabel1.4 Tahapan dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan ..................... 26
Tabel 3.1 Performance Matrix ………………………………………….. 22
Tabel 3.2 Tujuan – Meningkatkan Ekspor Melalui Produk yang
Berstandar …………………………………………………... .23
Tabel 3.3 Tujuan – Melindungi Pasar Dalam Negeri ………………... 24
Tabel 3.4 Tujuan – Meningkatkan Ekspor Melalui Produk yang
Berstandar …………………………………………………... .25
Tabel 3.5 Tujuan – Melindungi Pasar Dalam Negeri ………………... 26
Tabel 3.6 Pengumpulan dan Analisis Data …………………………... 29
Tabel 3.7 Operasional Survey …………………………………………. 31
Tabel 5.1. Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha teh hitam
berdasarkan kriteria ........................................................... 42
Tabel 5.2. Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Produk olahan
kopi berdasarkan kriteria ................................................... 43
Tabel 5.3. Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 4 Penerapan
Standar Tujuan Ekspor .......................................................44
Tabel 6.1 Batasan kandungan kafein pada teh di UE ...................... 49
Tabel 6.2. Perbandingan MRL CODEX dan negara-negara maju
pada teh (mg/kg) .............................................................. 51
Tabel 6.3 Batasan MRL bahan kimia agrikultur pada kategori
“otehr spices, dried”......................................................... 54
Tabel 6.4 Kutipan beberapa persyaratan dalam ISO 3720:2011
Black Tea ......................................................................... 55
Tabel 6.5. Daftar SNI terkait produk kopi dan turunannya ................ 55
Tabel 6.6. Daftar SNI terkait produk mainan dan turunannya............ 62
Tabel 6.7 HS mainan yang diatur dalam Peraturan Menteri..............63
Tabel 6.8 Batasan N-nitrosamines dan N-nitrosatable
sesuai EN 71-12 ............................................................... 66
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 v
Tabel 6.9 Perbandingan klausul pengujian standar
internasional* dan standar EN 71-1 ............................... 67
Tabel 6.10. Rekapitulasi Hasil Survey Tentang Kasus
Penolakan atau Komplain Produk ekspor....................... 73
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Standardisasi dan mutu produk bertujuan untuk mendukung kegiatan
ekonomi, perlindungan konsumen, keselamatan, dan kesehatan. Selain itu,
standardisasi juga berperan dalam memfasilitasi kegiatan perdagangan, baik
pada level domestic, regional, maupun internasional (KADIN, 2012). Faktor-
faktor yang mendorong pentingnya pemberlakuan standardisasi yaitu 1)
peningkatan persyaratan mutu oleh negara-negara di dunia sehingga perlu
kepastian akses ekspor ke negara tujuan utama; 2) kebutuhan di tingkat
regional dalam hal standar dan persyaratan teknis dalam rangka kompetisi dan
komitmen baru perdagangan, sehingga diperlukan infrastruktur mutu yang
sejajar; dan 3) peningkatan perekonomian dalam negeri sehingga masyarakat
membutuhkan produk dengan mutu yang baik serta aman dari bahan
berbahaya.
Standar, atau dalam hal ini Standar Nasional Indonesia (SNI), pada
dasarnya diterapkan secara sukarela. Namun demikian, dalam rangka
kepentingan umum, keamanan, keselamatan, pelestarian lingkungan hidup,
serta perkembangan perekonomian nasional, SNI dapat diberlakukan secara
wajib oleh pemerintah. Pemberlakuan SNI secara wajib dilakukan dengan
dengan menerbitkan regulasi teknis oleh instansi pemerintah yang berwenang
atau kementerian teknis. Pemberlakuan tersebut harus mempertimbangkan
berbagai aspek agar tidak tidak terjadi persaingan yang tidak sehat,
menghambat inovasi industri dan menghambat perkembangan UKM.
Saat ini, ada 107 produk yang SNI-nya diberlakukan secara wajib, 113
SNI yang diberlakukan secara wajib, dan mencakup 269 HS yang terkena
pemberlakuan SNI secara wajib. Namun demikian, SNI yang diberlakukan
secara wajib juga mengalami permasalahan terkait penerapannya, antara lain
(KADIN, 2012) : 1) Banyaknya SNI yang harus di-review dan di-abolisi; 2)
keterbatasan laboratorium dan fasilitas uji untuk penerapan SNI wajib; 3)
Jumlah SNI yang diberlakukan secara wajib masih relatif sedikit dibandingkan
jumlah SNI secara keseluruhan; dan 4) Belum tersosialisasinya program
program SNI wajib secara luas dan intensif. Dengan demikian, tolak ukur
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 7
keberhasilan penerapan SNI secara wajib dapat dilihat dari hal-hal berikut
(Herjanto, 2011): 1) Industri terkait menerapkan SNI tersebut secara konsisten;
2) diterima oleh pasar atau dengan kata lain memenuhi aspek-aspek
penerapan standar; dan 3) ketersediaan lembaga penilaian kesesuaian yang
memadai, yaitu tersedianya lembaga pengujian atau sertifikasi (LSPro).
Dengan demikian, SNI dapat dikatakan berhasil apabila dapat memfasilitasi
perdagangan yaitu diterima oleh pasar dan diterapkan oleh perusahaan.
Dengan kata lain, SNI dapat berperan positif dalam peningkatan daya saing
produk ekspor dan juga dalam menyaring produk-produk impor berkualitas
rendah sehingga SNI sekaligus dapat melindungi konsumen dalam negeri.
Namun demikian, hasil penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa
alasan utama perusahaan belum memiliki SPPT-SNI yaitu bahwa SNI
menambah biaya dan kesulitan teknis, perusahaan menggunakan standar
pembeli (buyer), dan bahwa pasar dianggap tidak memerlukan SNI.
1.2. Perumusan masalah
Saat ini, sesuai dengan target kinerja Kementerian Perdagangan,
berbagai upaya perlu dilakukan untuk mendongkrak peningkatan ekspor
Indonesia di pasar internasional, salah satunya adalah peningkatan daya saing
melalui penerapan standar atau Standar Nasional Indonesia (SNI) sejalan
dengan penguatan pasar dalam negeri guna untuk perlindungan
konsumen.Dalam kaitannya dengan peningkatan perdagangan internasional,
maka produk-produk ber-SNI yang diperdagangkan akan mempunyai daya
saing di negara tujuan ekspor. Hal yang sama juga berlaku untuk produk impor.
Dalam upaya peningkatan ekspor, maka peranan SNI diharapkan
mempunyai dampak positif terhadap perkembangan produk ekspor
Indonesia.Dengan demikian, pertanyaan penelitian dalam kajian ini adalah
“Apakah penerapan SNI wajib pada produk ekspor berpengaruh
terhadappeningkatan ekspor dan penguatan pasar dalam negeri dalam rangka
perlindungan konsumen.”
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 8
1.3. Tujuan dan Output
Tujuan
1. Menganalisis pengaruh SNI bagi peningkatan ekspor dan penguatan pasar
dalam negeri
2. Menganalisis ketidaksesuaian SNI dengan standar di pasar ekspor dan
upaya untuk memenuhi kesesuaian standar
3. Merumuskan usulan kebijakan terkait peran SNI dan upaya pemenuhan
standard
Output
1. Pengaruh penerapan SNI bagi peningkatan ekspor dan penguatan pasar
dalam negeri
2. Strategi untuk memenuhi kesesuaian standar di pasar ekspor
3. Usulan kebijakan terkait peran SNI dan upaya pemenuhan standard
1.4. Manfaat Kajian
a. Manfaat bagi pemerintah
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pemerintah sebagai bahan
rumusan kebijakan dalam mendorong peningkatan ekspor dan merumuskan
kebijakan penerapan SNI secara wajib dalam rangka peningkatan daya
saing dan perlindungan konsumen. Selain itu, pemerintah juga dapat
merumuskan strategi pengembangan industri produk ekspor.
b. Manfaat bagi produsen dan industri produk terkait
Hasil penelitian ini dapat berguna bagi produsen dan industry terkait
sebagai bahan acuan dalam memperbaiki dan mengembangkan standar
mutu produk untuk meningkatkan daya saing dan kinerja ekspor.
c. Manfaat bagi konsumen
Konsumen dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai referensi
jaminan mutu serta Keamanan, Kesehatan, Keselamatan dan pelestarian
Lingkungan (K3L) atas produk-produk elektronik yang beredar di pasar.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 9
1.5. Ruang Lingkup
1.5.1. Produk yang dikaji
Tahapan pemilihan produk yang dikaji
Produk di Kuadran II
(Permintaan dunia tinggi,
ekspor relatif rendah)
a. SNI yang dikaji adalah SNI yang berlaku secara wajib maupun
sukarela
b. Produk/komoditi yang dikaji adalah mainan anak, teh hitam dan kopi
olahan. Alasan pemilihan produk :
- Permintaan dunia bernilai lebih dari 1 milyar US$
- Memiliki tren ekspor yang positif
- Produk tersebut diproduksi di dalam negeri dan memiliki potensi
pertumbuhan produksi yang positif
Strategi Peningkatan Ekspor
(Puska Daglu., 2015)
• Permintan dunia bernilai lebih dari 1
milyar US$
• Tren ekspor positif
• Diproduksi di dalam negeri dan
potensi pertumbuhan positif
Produk Manufaktur
(Mainan Anak)
Produk Primer
(Teh hitam & kopi
olahan)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 10
Tabel 1.1 Pertumbuhan Produksi, Ekspor dan Impor Komoditi yang dikaji
Produk Pertumbuhan rata-rata 2010 - 2014 (%)
Pertumbuhan produksi
rata-rata (%) Permintaan Dunia
Ekspor
Mainan anak 7,05 23,60 4,31
Teh hitam 4,35 5,41 6
Kopi olahan 10,89 76,24 3,5
Sumber :BPS, AEKI, Kemenperind (2015)
1.5.2. Aspek yang dikaji
a. Penerapan standar (SNI) oleh pelaku usaha, pemerintah dan
konsumen antara lain:
- Kemudahan memenuhi persyaratan standar
- Tingkat kepercayaan buyer luar negeri (lebih tinggi)
- Promosi kepedulian (awareness)
- Akses bahan baku yang lebih berkualitas
- Daya saing
- Kepedulian pengusaha
- Kepedulian konsumen
- Pengawasan lebih mudah
- Keberadaan lembaga pendukung
b. Permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam penerapan
standar (SNI)
c. Perkembangan ekspor dan impor produk yang dikaji
d. Permasalahan industri produk yang dikaji dalam meningkatkan
ekspor
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 11
1.6. Sistematika Penulisan
Laporan dalam kajian ini terdiri dari beberapa bab yang terdiri :
Bab I Pendahuluan
Dalam bagian ini dijelaskan tentang latar belakang mengapa perlu
dilakukan kajian ini, tujuan dan output, manfaat, ruang lingkup, dan
sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Memaparkan tinjauan literature terkait peranan standar dalam
perdagangan serta hasil kajian sebelumnya yang terkait dengan
penerapan standar dan peningkatan ekspor
Bab III Metodologi
Memaparkan kerangka pikir, metode analisis, pengambilan data dan
pengolahannya, serta urutan tahapan kajian.
Bab IV Penerapan SNI Bagi Penguatan Pasar Dalam Negeri
Menganalisis dampak penerapan SNI bagi penguatan pasar dalam
negeri
Bab V Penerapan SNI Bagi Peningkatan Ekspor
Menganalisis permasalahan penerapan SNI dan peranannya dalam
meningkatkan daya saing di pasar ekspor
Bab VI Strategi Pemenuhan Kesesuaian Standar
Menganalisis permasalahan dalam pemenuhan ketidaksesuaian SNI
dengan standar di pasar ekspor dan strategi pemenuhannya
Bab VII Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Menyampaikan kesimpulan dari kajian ini, dan rekomendasi yang
berkaitan dengan kebijakan standar.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peranan Standar Dalam Perdagangan
Standar merupakan hasil consensus berupa dokumen standar teknis
tentang penetapan keseragaman teknis, kualifikasi/persyaratan, metode,
proses berdasarkan perkembangan teknologi. Menurut studi yang dilakukan
oleh DFC (2011), standar berfungsi untuk: 1) meningkatkan kualitas produk,
sistem maupun pelayanan; 2) mengurangi hambatan teknis perdagangan; 3)
meningkatkan kerjasama teknis; serta 4) pengurangan biaya bagi produsen,
pemasok dan konsumen.
Gambar 2.1. Proses Standardisasi dan Regulasi Teknis
Sumber: DFC, 2011
Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga pemerintah yang
bertanggung jawab untuk merumuskan dan mengembangkan standar di
Indonesia, mengacu pada standar yang ditetapkan oleh badan dunia seperti
ISO, CODEX Alimentarius, standar internasional lainnya, serta standar
regional. BSN bersama dengan komisi teknis yang terdiri dari kementerian
teknis terkait serta para pemangku kepentingan merumuskan standar terkait
proses, manajemen, produk dan juga jasa/pelayanan dengan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 13
mempertimbangkan kesehatan, keselamatan, lingkungan hidup, serta
perlindungan konsumen. Standar yang telah dirumuskan tersebut bersifat
sukarela dan dapat ditetapkan pemberlakuannya secara wajib oleh
kementerian teknis terkait untuk kemudian dinotifikasi ke World Trade
Organisation (WTO). Dengan demikian, standar tersebut berlaku wajib tidak
hanya untuk barang-barang yang diekspor namun juga berlaku wajib bagi
barang-barang yang diimpor.
2.2. Perumusan SNI dan Penetapan SNI Secara Wajib
• Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011
Tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Secara
Wajib
Penyusunan peraturan teknis yang berkaitan dengan pemberlakuan
SNI secara wajib dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan
penerapan standar serta pemberlakuan regulasi teknis berbasis standar di
tingkat nasional, regional, dan internasional membutuhkan pedoman yang
dapat dijadikan sebagai acuan. Oleh karena itu BSN menerbitkan Peraturan
Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang
pedoman pemberlakuan SNI secara wajib.
SNI pada dasarnya dikembangkan sebagai referensi pasar yang
penerapannya bersifat sukarela (voluntary) dengan tujuan meningkatkan
kepastian, kelancaran serta efisiensi transaksi perdagangan. Selain itu juga
digunakan dalam rangka meningkatkan perlindungan konsumen dan
efisiensi produksi. SNI dapat diimplementasikan dengan baik apabila proses
perumusan dan penetapannya dilakukan secara konsensus oleh pemangku
kepentingan seperti produsen, konsumen, pemerintah, pakar, dan pihak lain
sehingga pemberlakuan SNI secara wajib diharapkan lebih mudah
dimengerti oleh pemangku kepentingan.
Selain pemberlakuan SNI secara wajib, intervensi pasar dapat
dilakukan melalui penerapan regulasi teknis berbasis SNI oleh instansi
teknis. Penetapan regulasi teknis sebaiknya memperhatikan faktor-faktor
seperti kesiapan pelaku usaha, kesiapan lembaga penilai kesesuaian,
validitas SNI, pengawasan, dan perjanjian internasional atau regional.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 14
• Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 86/M-
IND/PER/9/2009 Tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri
Dalam rangka mewujudkan persaingan usaha yang sehat,
perlindungan konsumen dan meningkatkan mutu dan daya saing industri
dalam negeri telah disusun Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia Nomor 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia
(SNI) di bidang industri. Peraturan ini mengatur ketentuan mengenai
perumusan SNI, penerapan SNI, pemberlakuan SNI secara wajib,
penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian, pembinaan SNI, dan
pengawasan SNI bagi barang dan atau jasa di bidang Industri.
Perumusan SNI, kaji ulang SNI dan revisi SNI di bidang industri
dilakukan oleh panitia teknis atau sub panitia teknis yang diusulkan oleh
BPPI dengan mempertimbangkan masukan Direktorat Jenderal Pembina
industri kepada BSN. Pelaksanaan kegiatan tersebut mengacu pada
pedoman yang ditetapkan oleh BSN dan perjanjian yang telah diratifikasi
oleh pemerintah dan menghasilkan rancangan SNI disampaikan kepada
BSN untuk ditetapkan menjadi SNI. Penerapan SNI dilakukan secara
sukarela dan wajib. Untuk produsen yang telah memiliki SPPT SNI dan
menerapkan SNI sukarela dapat memproduksi dan memperdagangakan
produk dengan tanda SNI sedangkan yang tidak mengacu persyaratan SNI
tidak boleh mencantumkan tanda SNI dan jika melanggar dapat dikenakan
sanksi administrasi.
Sementara pemberlakuan SNI secara wajib harus terkait dengan
aspek K3L mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh BSN dan
perjanjian yang telah diratifikasi. Pemberlakuan SNI wajib berlaku sama
pada produk dalam negeri maupun impor. Dalam rangka penerbitan SPPT
SNI yang berlaku selama 4 (empat tahun), lembaga sertifikasi produk,
laboratorium uji dan lembaga inspeksi ditunjuk oleh Menteri Perindustrian.
Lembaga sertifikasi yang ditunjuk adalah lembaga yang telah terakreditasi
oleh KAN, telah memiliki perjanjian kerjasama dengan laboratorium penguji
atau lembaga inspeksi dan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 15
• Pedoman Standardisasi Nasional (PSN01:2007) Tentang Pengembangan
SNI
Pedoman ini dirumuskan bertujuan untuk menciptakan mekanisme
yang seragam dalam mengembangkan SNI, keteraturan dengan praktek
dunia internasional, dan acuan pelaksanaan pengembangan SNI. Ruang
lingkup pedoman ini meliputi program nasional perumusan SNI (PNPS),
pelaksanaan perumusan, penetapan, publikasi, dan pemeliharaan SNI.
PNPS adalah rencana kegiatan untuk merumuskan SNI dalam
periode tertentu yang dipublikasikan agar dapat diketahui semua pihak yang
berkepentingan. Perkiraan waktu yang digunakan acuan dalam PNPS
minimal 19 bulan tanpa mengurangi mutu dari standar yang dirumuskan.
Prinsip dasar dalam proses perumusan SNI adalah transparansi, konsensus,
efektif dan relevan, koheren, dan dimensi pengembangan. Selain itu
perumusan tidak berpotensi menimbulkan hambatan perdagangan dan
sedapat mungkin harmonis dengan standar internasional (jika tidak mengacu
harus dilakukan validasi). Tahapan perumusan SNI dimulai dengan
penyusunan konsep dilanjutkan dengan rapat teknis, rapat konsensu, jajak
pendapat kemudian perbaikan akhir disusul dengan pemungutan suara dan
penetapan. Untuk publikasi SNI harus dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua)
bulan setelah penetapan. Sementara pemeliharaan SNI dilakukan melalui kaji
ulang sekurang-kurangnya satu kali dalam 5 (lima) tahun setelah ditetapkan.
2.3. Penerapan StandarDalam Perdagangan
Standar umumnya diberlakukan secara sukarela sebagai pedoman bagi
pelaku usaha dalam melakukan proses produksi sehingga menghasilkan
produk dengan kualitas tertentu sesuai kebutuhan pasar dan perkembangan
teknologi. Seiring dengan makin berkurangnya hambatan perdagangan dari sisi
tarif, maka peran non-tarif seperti standar menjadi kian penting, terutama bagi
negara berkembang yang juga negara eksportir. Bagi negara eksportir
sekaligus negara berkembang, biaya penerapan standar di negara berkembang
bisa jadi lebih besar daripada di negara maju (Maskus, 2005).
Stephenson (1997) juga mengemukakan bahwa negara berkembang
biasanya cenderung menjadi “standard-taker” daripada “standard-maker”
karena biaya perumusan dan pengembangan standar lebih mahal daripada
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 16
biaya penyesuaian dengan standar di negara tujuan. Studi oleh Maskus (2005)
juga menambahkan bahwa negara berkembang tidak memiliki sumber daya
yang cukup dalam hal laboratorium pengujian dan sertifikasi atau pun
kapabilitas secara kolektif untuk menaikkan standar mereka. Sehingga, biaya
penyesuaian standar untuk produk ekspor biasanya akan ditanggung oleh
perusahaan, dalam hal ini eksportir.
Berbagai studi telah dilakukan terkait dengan standar produk, terutama
standar swasta yang diberlakukan secara sukarela untuk produk pangan dan
produk pertanian seperti GlobalGAP, EuroGAP, Fair Trade, dan BRC Global
Standards. Studi yang dilakukan oleh Henson, Masakure, dan Boselie (2005)
menunjukkan bahwa produsen produk-produk pertanian skala kecil
menghadapi tantangan yang cukup besar dalam hal mengikuti mengikuti
perkembangan keamanan pangan dan standar kualitas, selain kendala biaya
untuk penerapan standar tersebut. Produsen skala kecil tersebut perlu
dimonitor oleh eksportir melalui sistem kontrol yang berlapis dan dinamis untuk
memastikan standar kualitas tetap terjaga. Dengan demikian, peningkatan
kinerja eksportir dapat tercapai.
Sementara itu, retailer sayuran yang berlokasi di Uni Eropa yang
pemasoknya berasal dari negara Afrika terutama Kenya, memiliki konsumen
dengan preferensinya cukup beragam dan standar yang cukup tinggi. Namun
demikian, para eksportir Kenya justru memposisikan diri menjadi pemasok
dengan kategori produk “high-end”. Strategi ini cukup berhasil dengan
melakukan investasi cukup besar dalam perbaikan sistem pengadaan dan
produksi, meng-upgrade fasilitas pengemasan, dan sistem manajemen kualitas
dan keamanan pangan.
Peran standar swasta yang cukup penting dalam perdagangan sayuran
dan buah dari negara-negara Afrika ke negara-negara Uni Eropa juga dibahas
dalam studi oleh Henson, Masakure, dan Cransfield (2011). Para penulis
melakukan studi kuantitatif tentang faktor-faktor pendorong sertifikasi
GlobalGAP yang dilakukan oleh perusahaan dan bagaimana kinerja mereka
setelah sertifikasi tersebut. Responden dari penelitian ini adalah para
perusahaan eksportir produk hasil pertanian di 10 negara Afrika. Mereka
memperoleh keuntungan dari peningkatan ekspor sebesar 2,6 juta Euro. Selain
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 17
sertifikasi GlobalGAP, investasi, infrastruktur, layanan dukungan juga turut
menyumbang kesuksesan dalam peningkatan ekspor mereka.
Sementara, studi terkait penerapan standar dan kinerja ekspor pada
sektor lainnya, seperti industri elektronik tidak banyak ditemukan. Salah satu
dari studi tersebut yang dilakukan oleh Moenius (2004) mengemukakan bahwa
penerapan standar biasanya dianggap sebagai hambatan perdagangan, untuk
itu negara-negara lalu melakukan harmonisasi standar untuk meningkatkan
perdagangan antara negara. Namun demikian, hasil studi ini menunjukkan
bahwa standar bersama antar dua negara secara bilateral terbukti lebih efektif
meningkatkan perdagangan.
Selanjutnya, pemenuhan standar spesifik negara importir untuk produk
manufaktur secara signifikan meningkatkan ekspor. Hal ini terjadi karena
negara eksportir memiliki kesempatan untuk memperoleh infomasi mengenai
persyaratan dalam standar tersebut sehingga eksportir bisa menyesuaikan
spesifikasi produknya sesuai kualifikasi. Dengan kata lain, jika suatu negara
ingin standar negaranya berperan dalam peningkatan ekspor, maka
persyaratan dan kualifikasinya harus disesuaikan dengan standar negara
tujuan ekspor.
2.4. Standar dan Daya Saing (Competitiveness)
Dalam era perdagangan global sekarang ini, daya saing mempunyai kaitan
erat dengan standar.Keterkaitan daya saing dengan standar terutama dalam
hubungannya dengan kualitas produk barang yang beredar di pasar, baik pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri (internasional).
Daya saing produk bisa ditelaah melalui, setidaknya, tiga dimensi daya
saing yaitu (Mbaye dan Gueye, 2015): daya saing harga, daya saing biaya
produksi (efisiensi produksi) dan daya saing kualitas. Dari sisi daya saing biaya
produksi, bagi perusahaan yang mempunyai inovasi produksi dan teknologi
bisa meningkatkan efisiensi produksi, penurunan biaya produksi yang pada
akhirnya mampu meningkatkan daya saingnya (Jaffee dan Henson, 2004).
Dalam konteks perdagangangan global saat ini, isu kualitas menjadi isu sentral
yang menentukan kinerja ekspor (export performance) dan akses pasar suatu
negara (Henson et al., 2002).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 18
Kualitas suatu produk menjadi salah satu pertimbangan untuk membeli
suatu barang (Jaffee dan Henson, 2004). Salah satu cara untuk mengetahui
kualitas produk adalah melalui ketelusuran produk (product traceability) menjadi
penting bagi konsumen untuk bertindak (Mbaye dan Gueye, 2015). Traceability
bisa diketahui salah satunya adalah melalui adanya tanda standar tertentu
yanga da pada produk tersebut. Ketika tidak ada traceability yang cukup maka
informasi public yang beredar bisa menjadi pertimbangan konsumen. Namun
demikian, informasi publik ini tidak mudah dikontrol oleh perusahaan.
Dalam kaitannya dengan traceability dalam kualitas produk, ada dua
kondisi yang mempengaruhi konsumen di pasar (Mbaye dan Gueye, 2015).
Pertama adalah kondisi dimana konsumen mengetahui siapa produsen barang
tersebut. Kedua adalah kondisi dimana konsumen tidak mengetahu produsen
dari barang yang bersangkutan. Untuk kondisi kedua, upaya untuk memperoleh
informasi (signaling) menjadi mahal bagi konsumen. Mahalnya upaya
perolehan informasi ini tentu akan mempengaruhi minat konsumen untuk
membeli produk tersebut. Tanpa adanya informasi yang cukup, produk tersebut
cenderung tidak diterima oleh pasar. Dengan kata lain, daya saing dari produk
itu rendah untuk bisa masuk di pasar (internasional). Dalam kondisi inilah peran
standar (adannya tanda standar) bisa menjembatani antara keterbatasn
informasi kualitas produk dan keinginan konsumen/pasar untuk memperoleh
informasi.
Standar dan regulasi teknis merupakan prasyarat dalam perdagangan
dan akses pasar, sehingga eksportir dituntuk untuk selalu memenuhinya. Daya
saing tidak lagi terbatas pada masalah efisiensi produksi. Standar dan teknis
regulasi mempengaruhi daya saing perusahaan dan produk yang dijualnya
melalui penciptaan restriksi bagi perusahaan yang ingin masuk di pasar ekspor
dengan adanya biaya pemenuhan standar (standard compliance cost) yang
harus ditanggung oleh perusahaan (baru) yang bisa menurunkan kemampuan
daya saingnya (dari sisi harga) (Ignacio, 2015). Lebih lanjut, khususnya untuk
produk-produk pertanian atau produk yang mudah rusak (umur produk
terbatas) selain tuntutan standar dan regulasi teknis juga menuntut adanya
kemampuan perusahaan untuk maslah kemanan pangan dan Sanitary Phyto-
Sanitary (SPS).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 19
Dalam kaitannya dengan ketidaktersediaan infrastruktur pendukung
(pemenuhan standar) yang ada dalam industry/perusahaan mempengaruhi
daya saing produk baik itu melalui penurunan kualitas dan keamanan produk
atau lebih tingginya biaya transaksi (Ignacio, 2015). Lebih lanjut, UNCTAD
(2008) menjelaskan bahwa tingginya biaya transportasi dan ketiadaan system
transportasi yang baik akan mempengaruhi daya saing produk. Tingginya biaya
transaksi ini tentu akan mempengaruhi daya saing dari sisi harga jual produk di
pasar.
Studi yang dilakukan oleh Cao dan Prakash (2011) mengkaji
persaingan dalam perdagangan telah mempengaruhi insentif bagi perusahaan
untuk menerapkan standar dalam rangka meningatkan kualitasnya. Penerapan
standar (ISO) pada produk yang diperdagangankan memberikan tanda
(signaling) bahwa produk tersebut berkualitas dan mempunyai daya saing yang
meningkat. Oleh karena, beberapa negara dan asosiasi perdagangan yang ada
berusaha menerapkan standar untuk meningkatkan daya saing perusahaan
dalam negeri di pasar global.
Standar pada satu sisi bisa bertindak sebagai penghambat ekspor
yang bisa muncul sebagai akibat halangan bahwa suatu produk yang masuk ke
suatu negara harus berstandar (negara yang bersangkutan) (Jaffee dan
Henson, 2004). Di samping itu, standar bisa juga menjadi halangan dalam
kaitannya dengan biaya pemenuhan standar yang bisa mengurangi
kemampuan daya saing ekspor. Terutama untuk produk pertanian, kemampuan
daya saing dari sisi kualitas merupakan tantangan tersendiri yang mungkin
tidak dihadapi oleh produk manufaktur (Jaffee dan Henson, 2004; Mbaye dan
Gueye, 2015).
2.5. Kerangka Pemikiran
Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) dikeluarkan dengan tujuan
agar SNI bisa memberikan manfaat kepada masyarakat baik sebagai
konsumen maupun produsen. Sebagai konsumen, SNI diharapkan mampu
melindungi mereka menyangkut keamanan, kesehatan, keselamatan serta
lingkungan hidup bagi masyarakat. Sementara itu, bagi perusahaan/dunia
usaha, keberadaan SNI bisa meningkatkan daya saing mereka baik di pasar
local maupun global.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 20
Sampai saat ini, sebagain masyarakat dan pelaku usaha belum
memahami arti penting/manfaat dari SNI, baik SNI yang diberlakukan secara
wajib maupun sukarela. Makna penting SNI bagi pelaku usaha adalah lebih
meningkatnya daya saing. Dengan kata lain, suatu industri yang sebagian
besar pengusahanya menyadari akan arti penting SNI dan standar pada
umumnya cenderung mempunyai daya saing yang lebih besar. Perusahaan-
perusahaan yang berada dalam industri yang bersangkutan mempunyai
kemampuan lebih dalam melakukan penetrasi pasar. Demikian juga perusahan
yang melakukan ekspor akan lebih mudah menyesuaikan permintaan produk
dengan standar tertentu yang dilakukan oleh pihak pemesan/luar negeri.
Masih dimungkinkan adanya ketidakmampuan dunia usaha dalam
memenuhi permintaan produk dengan standar tertentu (standar masing-masing
Negara tujuan ekspor) harus menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah.
Ketidakmampuan mereka dalam memenuhi standar bisa berasal dari dalam diri
perusahaan menyangkut teknologi, sumber daya dan lainnya yang ada dalam
perusahaan. Ketidakmampuan mereka juga bisa disebabkan oleh faktor
eksternal menyangkut adanya ketidaksesuaian standar yang ada di Indonesia
(SNI) dan juga faktor/lembaga pendukung standar di Indonesia. Pada kondisi
lain, kondisi domestik, keberadaan SNI mampu memberikan perlindungan pada
konsumen di dalam negeri dari produk yang tidak memenuhi standar (SNI).
Kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah dalam menerapkan SNI
untuk produk yang beredar di masyarakat sangat diperlukan.
Penelitian ini bermaksud untuk menjawab berbagai berbagai
permasalahan yaitu masalah peranan SNI yang diberlakukan secara wajib bagi
peningkatan ekspor dan penguatan pasar dalam negeri, kemungkinan
ketidaksesuaian SNI dengan standar di pasar ekspor untuk produk-produk
prioritas dan upaya untuk memenuhi kesesuaian standar.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 21
Perlindungan
Konsumen
Kegiatan
Perdagangan
Standardisasi
SNI
Teh Hitam (sukarela)
Kopi instan (wajib)
Mainan anak (wajib)
Perlindungan pasar
dalam negeri
Peningkatan ekspor
(secara tidak langsung)
RIA:
• MCA
• Benefit-
cost
Analysis
Standar negara
tujuan SCA
Pilihan Kebijakan
Pilihan Kebijakan Kesesuaian/ketidaksesuaian
Rumusan usulan kebijakan
RIA:
• MCA
• Benefit-
cost
Analysis
Strategi Peningkatan Peran SNI dan
Pemenuhan Standar
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
Merumuskan usulan kebijakan dalam penerapan SNI secara wajib untuk
produk prioritas yang mendukung pencapaian target ekspor, khususnya produk
elektronik menjadi demikian penting. Oleh karena itu, studi ini diharapkan bisa
memberikan masukan bagi pemerintah dalam mengambil langkah perbaikan
terkait dengan penerapan SNI wajib dan mencari solusi terhadap
ketidaksesuaian SNI dengan standar di negara tujuan ekspor (Gambar 2.2).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 22
Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan inventarisasi SNI wajib yang
sudah diberlakukan dan belum diberlakukan (sukarela)pada produk mainan
anak, teh hitam dan produk olahan kopi, kemudian melakukan analisis terhadap
pengaruh penerapan SNI terhadap peningkatan ekspor nasional/pemenuhan
target ekspor, penguatan pasar dalam negeri, dan mencari
kesesuaian/ketidaksesuan SNI dengan standar yang diberlakukan oleh negera
tujuan ekspor (pasar internasional). Dengan diketahuinya kondisi dan
permasalahan yang ada, diharapkan bisa disusun rekomendasi kebijakan
terkait dengan pemberlakuan SNI wajib untuk produk (prioritas)elektronik dan
bisa dicarikan solusi upaya untuk menerapkan standard compliance.
Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif dan
kualitatif. Beberapa alasan mengenai pemilihan metode deskriptif kualitatif ini
adalah karena dalam penelitian ini ingin diketahui gambaran langsung dari
pelaku usaha mengenai pengaruh penerapan SNI terhadap peningkatan
ekspor dan perlindungan pasar dalam negeri. Sementara itu deskriptif kualitatif
juga diperlukan dalam upaya mengkaji faktor lain yang menentukan kesiapan
perusahaanproduk prioritas dalam menerapkan SNI wajib.Deskriptif kuantitatif
didasarkan pada model analisis yang dipakai yaitu Regulatory Impact Analysis
(RIA) dan Standard Compliance Analysis.
Ada asumsi mendasar yang dijadikan pijakan dalam menggunakan
metode analisis tersebut untuk mengetahui pengaruh dari penerapan SNI wajib
pada peningkatan ekspor yaitu: bahwa dengan adanya penerapan SNI wajib,
dianggap bahwa industri yang bersangkutan mempunyai kemampuan baik sisi
teknis, infrastruktur, SDM, sumber daya lainnya dan lembaga pendukung.
Dengan dimilikinya berbagai faktor penentu tersebut, industri dengan berbagai
perusahaan yang ada di dalamnya mempunyai kemampuan yang lebih baik
daripada industri di mana SNI tertentu belum diwajibkan. Kemampuan mereka
ini tentu saja akan lebih mudah dipakai untuk memenuhi persyaratan yang
diminta oleh negara mitra dagang (standar negara tujuan ekspor) dengan lebih
mudah. Memang, SNI bukanlah standar utama yang dijadikan ukuran oleh
negara tujuan ekspor untuk bisa menerima produk Indonesia di pasar mereka,
melainkan standar internasional dan bahkan standar mereka sendiri yang harus
dipenuhi oleh produsen di Indonesia.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 23
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 24
BAB III
METODOLOGI
3.1. Metode Analisis
Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan inventarisasi SNI wajib yang
sudah diberlakukan dan belum diberlakukan (sukarela) pada produk elektronik,
kemudian melakukan analisis terhadap pengaruh penerapan SNI terhadap
peningkatan ekspor nasional/pemenuhan target ekspor, penguatan pasar
dalam negeri, dan mencari kesesuaian/ketidaksesuan SNI dengan standar
yang diberlakukan oleh negera tujuan ekspor (pasar internasional). Dengan
diketahuinya kondisi dan permasalahan yang ada, diharapkan bisa disusun
rekomendasi kebijakan terkait dengan pemberlakuan SNI wajib untuk produk
(prioritas)elektronik dan bisa dicarikan solusi upaya untuk menerapkan
standard compliance.
A. Regulatory Impact Analysis (RIA)
Regulatory Impact Analysis (RIA) adalah sebuat alat analisis yang
digunakan untuk menganalisis suatu kebijakan tertentu berdasarkan
sejumlah opsi (OECD, 2008; Department of teh Taoiseach, 2009). Analisis
ini bisa membantu untuk menentukan opsi mana yang terbaik dalam
mencapai suatu tujuan terkait dengan pelaksanaan suatu kebijakan
(Department of teh Taoiseach, 2009).1 Dengan RIA ini juga bisa diketahui
kemungkinan berbagai dampak/effect/cost sekaligus juga
keuntungan/benefit yang diperoleh. Beberapa langkah yang perlu dilakukan
dalam RIA adalah menentukan permasalahan/tujuan (objective), identifikasi
opsi, criteria dan sub-kriteria, konsultasi (dengan pihak terkait),
perbaikan/revisi (termasuk kriteria, sub-kriteria) dan melakukan analisis.
RIA dilakukan dengan menggunakan teknik analisis Multi-Criteria
Anaysis (MCA). MCA ini merupakan teknik pengambilan keputusan yang
didasarkan pada berbagai criteria yang didasarkan pada tujuan (objective)
tertentu. Tujuan ini bisa dicapai dengan menggunakan beberapa
1Dalam kajian ini, model RIA yang dipakai merujuk pada referensi utama dari Department of teh Taoiseach
(2009).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 25
pilihan/kebijakan (option) yang penilaiannya didasarkan pada beberapa
criteria dan sub-kriteria. Selain penggunaan metode MCA, dalam kajian ini
juga dilengkapi dengan Benefit-Cost Analysis (BCA) untuk melihat
keuntungan (benefit) dan biaya (cost) dalam penerapan SNI wajib dalam
rangka untuk mendukung pencapaian target ekspor dan perlindungan
konsumen (di dalam negeri).
Kriteria pembobotan
Pembobotan ini diperlukan untuk melihat relatif pentingnya suatu
kriteria dibandingkan kriteria lain dalam menilai opsi yang diajukan.
Kombinasi pembobotan dan nilai akan menentukan tingkat preferensi dari
berbagai opsi (kebijakan) yang ada. Pembobotan ini bisa dilakukan dengan:
(1) memberikan nilai (score) secara numeric untuk tiap criteria, misalnya
dari 1 sampai 100 atau dari 1 sampai 10. Bisa juga dilakukan dengan
membagi angka 100 sesuai dengan tingkat relative pentingnya suatu
criteria.
(2) Memberikan nilai berdasarkan penilaian ordinal (nilai relative).
Penilaian ordinal yang dipakai adalah:
� Highly positive (3)
� Moderately positive (2)
� Slightly positive (1)
� Neutral (0)
� Slightly negative (-1)
� Moderately negative; and (-2)
� Highly negative (-3)
Performance matrix
Performance matrix ini disajikan untuk menampilkan hasil/performance
dari beberapa opsi yang diusulkan berdasarkan criteria yang ada. Secara
sederhana performance matrix ditampilkan seperti berikut (Tabel 3.1):
Tabel 3.1: Performance Matrix
Opsi Kriteria A Kriteria B Kriteria C Kriteria D
Opsi I +++ ++ 0 +
Opsi II ++ ++ + 0
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 26
Opsi Kriteria A Kriteria B Kriteria C Kriteria D
Opsi III + - - -
A1. Multi-Criteria Anaysis (MCA): Tujuan, Opsi dan Kriteria Yang
Digunakan
Tujuan ini didasarkan pada asumsi dasar bahwa pencapaian
tujuan tersebut bisa dilakukan apabila produk yang bersangkutan
sudah memenuhi standar, baik SNI maupun standar yang diterapkan di
pasar internasional. Namun demikian, kajian ini menggunakan
pendekatan SNI untuk menentukan tingkat kemampuan daya saing
produk ekspor kita di pasar internasional dan juga di pasar dalam
negeri.
Seperti diuraikan dalam Bab II (Kerangka Pemikiran) ada asumsi
dasar yang dijadikan pijakan dalam mengkaji bagaimana SNI bisa
mempengaruhi peningkatan ekspor (secara tidak langsung). Meskipun
perusahaan yang melakukan ekspor cenderung menerapkan standar
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan,
keberadaan perusahaan di dalam negeri yang sudah mampu
menerapkan SNI menunjukkan bahwa industri yang bersangkutan
mempunyai kemampuan (yang lebih) baik sisi teknis, infrastruktur,
SDM, lembaga pendukung dan sumber daya lainnya. Study yang
dilakukan oleh Maskus (2005) mendukung asumsi tersebut bahwa
infrastruktur dan layanan dukungan standar terkait dengan
kemampuan mereka dalam memenuhi standar yang diminta oleh pasar
negara tujuan (ekspor).
Dalam kajian ini, tujuan yang ingin dicapai adalah (1)
meningkatkan ekspor melalui produk yang berstandar dan (2)
Melindungi pasar dalam negeri/Konsumen dalam negeri melalui produk
yang berstandar. Beberapa opsi yang diajukan adalah: (1) tidak
melakukan apa-apa (do nothing), (2) Penerapan SNI (sukarela), (3)
Penerapan SNI (wajib) dan upaya memenuhi kesenjangan yang ada
dalam standar yang berlaku di negara tujuan/internasional (Standard
Compliance). Opsi ‘do nothing’ yang dimaksudkan dalam kajian ini
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 27
adalah bahwa industri/perusahaan (khusus yang melakukan ekspor)
hanya memenuhi standar yang ada (yang diminta) oleh negara tujuan.
Berikut ditampilkan ringkasan tujuan, opsi dan criteria yang akan
dipakai dalam kajian ini (Table 3.2 dan Table 3.3).
Tabel 3.2: Tujuan - Meningkatkan ekspor melalui produk yang berstandar
Kriteria Opsi Opsi 1
Do Nothing
Opsi 2 Penerapan
SNI sukarela
Opsi 3 Penerapan SNI wajib
Opsi 4 Penerapan
Standar Tujuan Ekspor
Kemudahan memenuhi persyaratan standar � Lebih lengkapnya
peralatan teknis � Lebih baiknya SDM � Lebih baiknya institusi
pendukung (infrastruktur di luar perusahaan)
Tingkat kepercayaan buyer luar negeri (lebih tinggi) � Rendahnya tingkat
penolakan (rejection rate)
� Rendahnya jumlah komplain
Promosi kepedulian (awareness) � Banyak perusahaan
yang lebih peduli � Masyarakat yang lebih
peduli/sadar
Akses bahan baku yang lebih berkualitas � Supplier lebih
cenderung memperhatikan kualitas
� Jumlah bahan baku berkualitas (lebih banyak)
� Harga bahan baku (kompetitif)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 28
Tabel 3.3: Tujuan - Melindungi pasar dalam negeri/Konsumen dalam negeri
melalui produk yang berstandar
Kriteria Opsi Opsi 1
Do Nothing Opsi 2
Penerapan SNI sukarela
Opsi3 Penerapan SNI Wajib
Daya saing � Produk yang lebih berkualitas � Harga yang lebih kompetitif
Kepedulian pengusaha � Kesadaran berstandar yang
lebih tinggi
Kepedulian konsumen � Produk harus ber-SNI � Pelaporan oleh konsumen
Pengawasan yang lebih mudah � Labeling
Kehadiran lembaga pendukung � Jumlahnya yang memadai � Kapasitas, kapabilitas
A2. Benefit – Cost Analysis
Upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor dan melindungi
konsumen di dalam negeri melalui penerapan standar menimbulkan
konsekuensi tersendiri bagi dunia usaha. Demikian juga standar lain
(internasional) yang diminta oleh negara mitra dagang. Upaya
pemenuhan standar (standard compliance) satu sisi memberikan
manfaat (benefits), pada sisi lain juga merupakan suatu biaya (cost)
yang harus ditanggung oleh dunia usaha/perusahaan.
Analisis BCA ini (baik untuk tujuan ekspor maupun perlindungan
pasar dalam negeri) dilakukan untuk melihat bagimana opsi yang ada
(dalam model MCA) mempunyai manfaat sekaligus biaya yang harus
ditanggung oleh industri/perusahaan sebagai upaya untuk memenuhi
SNI ataupun melakukan upaya pemenuhan standar yang diminta oleh
negara tujuan (Standard Compliance). Dengan membandingkan
benefit, cost dan melihat impact yang ditimbulkan, bisa dilihat sejauh
mana penerapan SNI bisa memberikan dampak positif (tidak langsung)
bagi peningkatan ekspor sekaligus perlindungan pasar dalam negeri.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 29
Tabel 3.4: Tujuan - Meningkatkan ekspor melalui produk yang berstandar
Opsi BCA Benefits Cost Impact
1 Do Nothing 2 Penerapan SNI (sukarela) 3 Penerapan SNI (wajib)
Seperti halnya tujuan yang ingin dicapai dan berbagai opsi yang
ada dengan menggunakan model MCA, berikut ditampilkan penerapan
BCA dengan menguji berbagai opsi yang ada (Tabel 3.4. dan Tabel
3.5): (1) tidak melakukan apa-apa (do nothing), (2) Penerapan SNI
(sukarela), (3) Penerapan SNI (wajib) dan upaya memenuhi
kesenjangan yang ada dalam standar yang berlaku di negara
tujuan/internasional (Standard Compliance). Selain benefit dan cost, di
kolom berikutnya juga ditampilkan dampak (impact) dari pilihan
kebijakan yang ada.
Tabel 3.5: Tujuan - Melindungi pasar dalam negeri/Konsumen dalam negeri
melalui produk yang berstandar
Opsi BCA
Benefits Cost Impact 1 Do Nothing 2 Penerapan SNI (sukarela) 3 Penerapan SNI (wajib)
Dalam kajian ini, yang dimaksud dengan benefit adalah
keuntungan/nilai tambah yang diperoleh oleh perusahaan dari berbagai
opsi (pilihan kebijakan yang ada). Keuntungan bisa berupa
kenaikan/pertumbuhan penjualan/ekspor sebagai akibat dari dari
pilihan kebijakan yang ada. Benefit/cost tidak harus selalu diukur
dengan nilai Rp atau USD, tapi juga bisa menggunakan penilaian
kualitatif berupa peningkatan/penurunan akses pasar.
Yang dimaksudkan dengan cost adalah biaya/beban baik yang
berkaitan langsung/tidak langsung dengan sertifikasi, teknik produksi,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 30
dan teknologi dalam upaya pemenuhan standar. Biaya bisa berupa
nilai Rp/USD yang dikeluarkan untuk proses sertifikasi, pemenuhan
standar yang diminta oleh pasar (Negara tujuan ekspor), maupun biaya
yang ditanggung sebagai akibat dari ketidakmampuan pemenuhan
standar yang diminta oleh pasar.
Sementara itu, yang dimaksudkan dengan dampak (impact)
adalah akibat yang muncul dengan adanya penerapan standar (SNI
ataupun lainnya). Dampak tersebut bisa dalam lingkup
mikro/perusahaan/industri juga dalam lingkup makro/ekonomi nasional.
Dampak tersebut bisa berupa, misalnya, meningkatnya daya saing
perusahaan/industri, menurunnya daya saing perusahaan/industry baik
di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Dampak lain juga
bisa berupa perubahan partisipasi perusahaan/industri dalam ikut/tidak
ikut menerapkan standar (SNI/standar lainnya).
B. Standard Compliance Analysis
Analisis standard compliance ini dilakuan untuk mengetahui adanya
kesesuaian/ketidaksesuaian SNI dengan standar yang berlaku di Negara
tujuan ekspor (internasional) dan mencari tahu berbagai kendala yang
dihadapi oleh pelaku usaha dalam memenuhi persyaratan standar untuk
produk-produk prioritas dan upaya yang sudah dilakukannya.
Merujuk pada studi yang dilakukan oleh UNIDO (Kaeser, 2013),
Analisis standard compliance ini dilakukan dengan melalui beberapa sub-
analisis yaitu:
1. Analisis Penolakan Ekspor (Export rejection analysis)
Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi ada tidaknya penolakan
(rejection) yang dilakukan oleh negara pengimpor/mitra dagang.
Penolakan tersebut terkait dengan adanya ketidaksesuaian standar yang
dilakukan oleh pengekspor/perusahaan di dalam negeri. Analisis ini
diharapkan dapat menemukan berbagai permasalahan yang terjadi
dalam proses ekspor-impor produk prioritas, termasuk alasan penolakan
dan standar atau regulasi yang menjadi acuan penolakan.
Semakin sedikit jumlah ekspor yanag dikembalikan/ditolak
(rejected) maka upaya pemenuhan standar yang dilakukan oleh
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 31
industri/perusahaan akan lebih mudah. Dengan kata lain, semakin
kecilnya penolakan menunjukkan semakin besarnya ekspor yang bisa
dilakukan oleh industri/perusahaan. Demikian juga sebaliknya.
2. Estimasi Kehilangan Ekspor (Export lost estimation)
Analisis ini dilakukan dengan mengestimasi kerugianekonomi secara
nominal yang bisa diperoleh industri/perusahaan dalam upaya
memenuhi standar yang diinginkan untuk berbagai produk prioritas.
Namun demikian, bila tidak ditemukan data riil, diharapkan kerugian
yang bersifat kualitatif dari adanya penolakan oleh pihak negara tujuan
bisa diuraikan. Potensi kerugian akibat penolakan ekspor dilihat dari
berapa nilai produk yang diekspor, estimasi stok produk yang memiliki
spesifikasi yang sama serta berapa besar potensi pasar atau ekspor
lanjutan yang mungkin hilang akibat penolakan.Analisis kehilangan
ekspor ini bisa menunjukkan seberapa besar pasar ekspor yang
seharusnya bisa diperoleh seandainya industry/perusahaan mampu
memenuhi standar yang diminta oleh negara tujuan ekspor.
3. Kualitas Infrastruktur (Quality infrastructure)
Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi kualitas dan kapasitas
dari infrastruktur pendukung pelaksanaan SNI atau standar lainnya.
Infrastruktur tersebut tidak hanya menyangkut infrastrukturyang berada
dalam perusahaan tetapi juga di luar perusahaan, seperti laboratorium uji
dan sertifikasi, termasuk di dalamnya sumber daya manusia dan tingkat
teknologi yang digunakannya.Kualitas infrastruktur bisa menentukan
seberapa besar peningkatan ekspor yang bisa dilakukan oleh
industri/perusahaan apabila infrastruktur pendukung penerapan dan
pemenuhan standar memenuhi kualitas yang bagus.
Analisis standard compliance dengan melalui tiga pokok analisis
(export rejection, export lost dan quality infrastructure) ini diharapkan
mampu memberikan informasi mengenai kondisi dan permasalahan standar
yang ada di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan bisa ditemukan
langkah perbaikan oleh pemerintah bersama dengan dunia usaha sehingga
dampak negatif/kerugian bisa diminimalkan atau bahkan dihilangkan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 32
Dengan kata lain, adanya kemampuan industri/perusahaan dalam
memenuhi standar yang diminta oleh negara tujuan bisa memberikan
dampak positif bagi peningkatan ekspor Indonesia.
Tabel 3.6. Pengumpulan dan Analisis Data
Tujuan Analisis Metode analisis/
Pengumpulan Data
Data Sumber Data
Output
Mengkaji pengaruh penerapan SNI Wajib pada peningkatan ekspor dan penguatan pasar dalam negeri
RIA (MCA dan BCA): Survey dan FGD
Primer : respon pelaku usaha thd pertanyaan kuesioner Sekunder : ekspor impor, data terkait perusahaan, SNI, regulasi
Hasil wawancara, BPS, BSN, Kemendag, Kemenperind, asosiasi
Pengaruh penerapan SNI peningkatan ekspor dan perlindungan pasar dalam negeri
Menganalisis ketidaksesuaian standard di pasar ekspor dan upaya pemenuhan standar
Standard compliance analysis: Survey dan FGD
Primer : respon pelaku usaha thd pertanyaan kuesioner Sekunder : ekspor impor, data terkait perusahaan, SNI, regulasi
Hasil wawancara, BPS, BSN, Kemendag, Kemenperind, asosiasi
Strategi untuk memenuhi kesesuaianstandar di pasar ekspor untuk produk-produk prioritas
Merumuskan usulan kebijakan terkait penerapan SNI Wajib dan upaya pemenuhan kesesuaian standar
Sintesa 1, 2: FGD
Pengaruh penerapan SNI wajib, kesesuaian standar, pendapat para pemangku kepentingan
Hasil kajian dan para pemangku kepentingan
Usulan kebijakan terkait penerapan SNI Wajib dan pemenuhan kesesuaian standar
3.2. Metode Pengumpulan Data
3.2.1. Jenis dan sumber data
Data yang digunakan dalam kajian ini meliputi data primer maupun sekunder.
a. Data primer antara lain diperoleh melalui hasil survey/wawancara dengan
pelaku usaha, asosiasi pengusaha dan lembaga/institusi terkait.
b. Data sekunder yang diperlukan adalah data ekspor impor produk, data
industri produk, data SNI dan regulasi terkait.Data sekunderdiperoleh dari
instansi terkait seperti Badan Standardisasi Nasional (BSN), Pusat
Standardisasi Kementerian Perindustrian, Pusat Standardisasi
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 33
Kementerian Perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, Asosiasi pelaku usaha, studi pustaka,
hasil kajian terkait SNI dan lain sebagainya..
3.2.2. Metode pengumpulan data
Survei dilakukan pada pelaku usaha yang memproduksi teh hitam, produk
olahan kopi dan mainan anak, khususnya pelaku usaha yang juga merupakan
eksportir. Teknik pengambilan sampel adalah dengan teknik purposive
samplingdan dilakukan melalui wawancara secara mendalam (indepth
interview) dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan terlebih
dahulu. Respondendalam kajian ini sebagai berikut :
1. Pelaku usaha (produsen dan eksportir) di daerah survey (Sumatera Utara,
Jawa Barat, Jawa Timur, banten dan DKI Jakarta) untuk beberapa produk
prioritas kopi, teh dan mainan anak.
2. Instansi pemerintah dan non-pemerintah terkait : Kementerian
Perindustrian, BSN, lembaga sertifikasi produk (LSPro), Dinas Perindustrian
dan Perdagangan
3. Asosiasi : KADIN, asosiasi pelaku usaha
Daerah yang menjadi wilayah survey adalah DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Banten. Daerah-daerah tersebut merupakan
daerah sentra produksi dan lokasi eksportir.
3.3. Operasional Survei
Pelaksanaan survey dilakukan oleh Tim Peneliti yang dibagi menjadi 4 (empat)
tim berdasarkan wilayah. Adapun susunan tim survey dan target responden
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.7. Operasional Survey
Daerah Waktu
Pelaksanaan
Petugas Survey Target
Responden
Sumatera Utara M-1 Mei 2015 Erizal Mahatama,
Yudha Hadian Nur,
Pelaku usaha
produk olahan kopi
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 34
Dwi Ariestiyanti,
Riska Pujiati
dan teh hitam
Jawa Barat M-3 Mei 2015 Erizal Mahatama,
Ranni Resnia,
Ratna A Carolina,
Dwi Ariestiyanti
Pelaku usaha teh
hitam dan mainan
anak
Jawa Timur M-1 Juni 2015 Erizal Mahatama,
Rahayuningsih,
Ratna A Carolina,
Nasrun
Pelaku usaha
produk olahan
kopi, tehhitam dan
mainan anak
Banten M-3 Juni 2015 Erizal Mahatama,
Ranni Resnia, Ratna
A Carolina, Dwi
Ariestiyanti
Pelaku usaha
mainan anak
DKI Jakarta M-5 Juli 2015
M-1 Agustus
2015
Erizal Mahatama,
Ranni Resnia, Ratna
A Carolina, Riska
Pujiati
Pelaku usaha
produk olahan
kopi, teh hitam,
dan mainan anak
3.4 Jumlah Perusahaan
Penelitian ini dilakukan dengan mengunjungi sejumlah perusahaan dalam
industry kopi instan, teh hitam dan mainan anak. Perusahaan yang menjadi
responden kajian adalah perusahaan yang memasarkan produknya di pasar
dalam negeri sekaligus melakukan ekspor. Secara keseluruhan jumlah
perusahaan di daerah penelitian yang dikunjungi adalah (Tabel 3.8).
Tabel 3.8 Jumlah Responden Perusahaan
Perusahaan Jumlah
Kopi instan 8 perusahaan (dari 15)
Teh hitam 5 perusahaan (dari 10)
Mainan anak 5 perusahaan (dari 6)
Untuk komoditi kopi, perusahaan yang menjadi responden hanya produsen kopi
hitam instan, tidak termasuk kopi mix atau kopi olahan lainnya. Sementara itu,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 35
untuk komoditi mainan anak, perusahaan yang menjadi responden khusus
produsen mainan anak jenis mainan beroda (wheeled toys), dan bola yang diisi
udara (inflated balls).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 36
BAB IV
PENERAPAN SNI BAGI PENGUATAN PASAR DALAM NEGERI
4.1. Standar dan Perlindungan Pasar Dalam Negeri
Dalam rangka terwujudnya perlindungan konsumen, pemerintah telah menetapkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kebijakan
tersebut diimplementasikan melalui pemberian jaminan hak dan kewajiban
konsumen serta mendorong pelaku usaha agar bersikap jujur dan
bertanggungjawab dalam melakukan kegiatan usahanya. Hubungan antara
konsumen dan pelaku usaha terjadi ketika melakukan transaksi baik secara
konvensional maupun menggunakan sistem online. Oleh karena itu informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai harga, standar/mutu, dan jaminan suatu
barang/jasa yang diberikan pelaku usaha menjadi salah satu dasar bagi konsumen
untuk memutuskan membeli suatu barang/jasa.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014, Standar adalah persyaratan teknis
atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun
berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/keputusan internasional yang
terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman,
serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya.
Secara jelas telah disebutkan diatas bahwa penerapan standar harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya kepada semua pihak khususnya pelaku usaha dan
konsumen. Dalam hal standar ditetapkan memiliki tujuan untuk meningkatkan daya
saing barang/jasa dan sebagai filter bagi barang/jasa berkualitas rendah yang akan
masuk ke pasar dalam negeri. Standar umumnya memuat beberapa parameter yang
dapat dijadikan sebagai acuan terkait pengukuran mutu suatu barang/jasa.
Parameter yang ada di dalam standar tersebut dirumuskan dan disusun melalui
mekanisme yang ketat dan konsensu para pemangku kepentingan sehingga menjadi
paramenter ideal dan dapat diakui atau adanya pengakuan keberterimaan standar
antar negara. Pelaku usaha yang mengacu standar dalam menghasilkan suatu
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 37
barang/jasa akan menerima manfaat dari barang/jasa yang dihasilkan berkualitas
baik dan kepercayaan dari para konsumen. Selain itu juga akan memacu pelaku
usaha untuk berkompetisi secara sehat di pasar dengan cara menghasilkan
barang/jasa yang berkualitas baik agar memiliki daya saing dengan barang/jasa
yang dihasilkan oleh pesaing.
Saat ini standar umumnya digunakan sebagai hambatan perdagangan yang bersifat
non tariff dimana standar diajadikan sebagai persyaratan oleh suatu negara dalam
persyaratan barang/jasa asal impor yang akan memasuki pasar. Sehingga
barang/jasa impor yang berkualitas rendah (tidak memenuhi standar) tidak dapat
beredar di pasar dalam negeri. Apabila barang/jasa beredar di pasar dalam negeri
telah memenuhi parameter yang dimuat didalam standar maka secara langsung
dapat melindungi konsumen dari kerugian akibat mengkonsumsi barang/jasa
berkualitas rendah.
4.2. Peranan SNI Dalam Melindungi Pasar Dalam Negeri
SNI pada dasarnya dikembangkan sebagai referensi pasar yang penerapannya
bersifat sukarela (voluntary) dengan tujuan meningkatkan kepastian, kelancaran dan
efisiensi transaksi perdagangan, meningkatkan perlindungan K3L bagi konsumen,
dan menciptakan efisiensi produksi serta menciptakan persaingan usaha yang sehat
dan transparan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan, bahwa barang/jasa yang diperdagangkan di dalam negeri harus
memenuhi SNI/persyaratan teknis/kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib.
Pemberlakuan SNI/persyaratan teknis/kualifikasi ditetapkan oleh Menteri
Perdagangan atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas
dan tanggung jawabnya dengan mempertimbangkan aspek:
a. Keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
b. Daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;
c. Kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau
d. Kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian.
Barang/jasa yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib ,
wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat
kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah. Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 38
sertifikat kesesuaian diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang
terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional dan terdaftar pada Kementerian
Perdagangan. Standar atau penilaian kesesuaian yang ditetapkan oleh negara lain
diakui oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian saling pengakuan antar negara.
Dalam rangka perlindungan konsumen, salah satu langkah yang diambil oleh
pementah adalah melakukan pengawasan terhadap barang beredar dan jasa di
pasar mengingat perlindungan yang diberikan kepada masyarakat harus bersifat
preventif, yaitu perlindungan sebelum konsumen mengalami kerugian akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pengawasan dilaksanakan pada dua tahapan,
yaitu (1) sebelum barang beredar di pasar (tahap pra-pasar) dan (2) setelah barang
beredar di pasar.
Mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M-Dag/Per/3/2007
Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan Dan Pengawasan Standar
Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang Dan Jasa Yang Diperdagangkan,
pengawasan tahap pra pasar dimaksudkan untuk memastikan bahwa barang yang
akan beredar, telah memenuhi standar dan ruang lingkup pengawasan lainnya
sesuai peraturan yang ada. Tahap pra pasar meliputi pengujian mutu dan
pendaftaran barang kepada Kementerian Perdagangan.
Dalam rangka pemberlakuan SNI secara wajib, diharapkan dalam implementasinya
bersifat non diskriminasi, baik barang/jasa dalam negeri dan barang/jasa asal impor
mempunyai perlakuan yang sama. Untuk produk dalam negeri yang sudah berlaku
SNI secara wajib, pelaku usaha mendaftarkan produknya untuk memperoleh Nomor
Registrasi Produk (NRP) dan mencantumkan NRP tersebut pada setiap barang atau
kemasan dibawah tanda SNI. Sedangkan untuk barang impor yang akan memasuki
daerah pabean harus memperoleh Nomor Pendaftaran Barang (NPB) yang
dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian dan mencantumkan NPB tersebut pada
setiap barang atau kemasan dibawah tanda SNI.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 39
Gambar 4.1. Pengawasan barang yang SNI-nya telah diberlakukan wajib sebelum beredar di pasar
(tahap pra-pasar) dan setelah beredar di pasar
Sumber:Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M-Dag/Per/3/2007 dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor: 20/M-DAG/PER/5/2009
Setelah pengawasan pada tahap Pra-Pasar, pengawasan kemudian dilanjutkan
pada tahap setelah barang beredar di pasar. Pengawasan barang beredar
dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 20/M-
DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang dan/atau
Jasa, yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
(Ditwas), bekerjasama dengan pemerintah daerah, badan lain yang berhubungan,
Barang Impor yang SNI-nya
diberlakukan secara wajib
Barang produksi dalam
negeri yang SNI-nya
diberlakukan secara wajib
PASAR
Pengawasan
Barang Beredar
SPB/NPB NRP
Pengawasan
Pra Pasar
Kementerian Perdagangan/
Direktur Pengembangan
Mutu Barang
Kementerian Perdagangan/
Direktur Pengembangan
Mutu Barang
Permohonan
pendaftaran
Permohonan
pendaftaran
Di-terima Di-tolak Di-terima Di-tolak
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 40
dan masyarakat. Pengawasan barang beredar di pasar berperan penting dalam
melengkapi dan memperkuat pengawasan Pra-Pasar serta memastikan bahwa
barang-barang dan jasa yang beredar di pasar telah sesuai dengan parameter
pengawasan yang ada. Secara rinci dapat dilihat pada gambar tersebut (diatas).
4.3. Dinamika Penerapan Standar oleh Pelaku usaha Dalam Melindungi Pasar
Dalam Negeri
Pada bagian ini dibahas mengenai pilihan (opsi) kebijakan yang diambil oleh
pelaku usaha dalam menerapkan SNI sebagai upaya untuk melindungi pasar dalam
negeri. Dalam menentukan pilihan yang diambil oleh pelaku usaha, sebenarnya
pelaku usaha diberi beberapa opsi/pilihan kebijakan yaitu: tidak melakukan apa-apa
(do nothing)/tidak menerapkan SNI, pilihan SNI sukarela, dan pilihan SNI wajib.
Masing-masing pilihan tersebut di atas disertai dengan beberapa kriteria yang bisa
dijadikan acuan bagi pelaku usaha untuk menentukan pilihan yang ada. Untuk
proses yang lebih lengkap dalam melihat bagaimana perusahaan menentukan
pilihan kebijakan yang ada bisa dilihat dalam Lampiran 1.
Tabel 4.1: Kriteria Dalam Menentukan Pilihan: Opsi Do Nothing, Penerapa SNI
Sukarela dan SNI Wajib
Kriteria Daya saing � Produk yang lebih berkualitas � Harga yang lebih kompetitif
Kepedulian pengusaha � Kesadaran berstandar yang lebih tinggi
Kepedulian konsumen � Produk harus ber-SNI � Pelaporan oleh konsumen
Pengawasan yang lebih mudah � Labeling
Kehadiran lembaga pendukung � Jumlah yang memadai � Kapasitas, kapabilitas
Dari hasil pengolahan data untuk tiga jenis produk yaitu teh, kopi dan mainan
anak, terlihat baha pelaku usaha melihat penerapan SNI Wajib merupakan pilihan
yang diambil. Pilihan kebijakan penerapan SNI Wajib dinilai oleh pelaku usaha
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 41
mampu untuk melindungi pasar dalam negeri sekaligus meningkatkan daya saing
perusahaan di pasar dalam negeri.
Selanjutnya setelah diketahui opsi kebijakan, pada bagian selanjutnya dilihat
bagaimana perkiraan manfaat yang diperoleh dan biaya yang ditanggung oleh
pelaku usaha sebagai konsekuensi dari opsi kebijakan yang dibuatnya. Manfaat
yang diperoleh pelaku usaha antara lain peningkatan penjualan, peningkatan
product image, akses pasar dan market share. Sementara itu biaya yang muncul
berupa biaya sertifikasi SNI dan biaya pemenuhan standar yang harus dikeluarkan
oleh pelaku usaha.
a. Teh hitam
Produk teh hitam Indonesia memiliki kualitas yang baik sehingga dapat bersaing
dengan kompetitor di pasar internasional seperti Kenya. Namun hampir mirip
dengan produk asal perkebunan, harga teh hitam tidak mampu bersaing
dikarenakan produktivitasnya rendah dan adanya biaya lain yang timbul akibat
buruknya infrastruktur. Quality control dilakukan melalui penerapan standar yang
mengacu kepada standar internal perusahaan yang menggunakan parameter SNI.
Sementara negara tujuan belum menetapkan standar secara ketat hanya
mewajibkan fumigasi saja.
Tabel 4.2. Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Teh hitam berdasarkan
kriteria
Kriteria SNI Wajib
1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan
teknis, SDM dan infrastruktur pendukung) Sangat setuju
2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur
sertifikasi, biaya, waktu pengurusan, konsultansi)
Sangat setuju
3. Tingkat kepercayaan konsumen (lebih tinggi) (rendahnya
komplain, pemesanan berulang)
Sangat setuju
4. Daya saing thd produk sejenis (kualitas produk, harga
produk)
Sangat setuju
5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing lebih
peduli, standar pendukung daya saing)
Sangat setuju
6. Kepedulian konsumen (produk harus berstandar, pelaporan
oleh konsumen)
Sangat setuju
7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi
bahan, MKG)
Sangat setuju
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 42
8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai,
kapasitas, kapabilitas)
Sangat setuju
Standar Nasional Indonesia (SNI) yang digunakan untuk produk teh hitam adalah
SNI 01-1902-1995, yang masih berlaku secara sukarela. Penerapan SNI yang masih
bersifat sukarela menyebabkan masih banyaknya ditemui produk teh yang belum
memenuhi standar. Umumnya, konsumen dalam negeri tidak mempertimbangkan
penerapan standar pada produk teh, melainkan hanya melihat dari sisi harga. Hal ini
menyebabkan beberapa produk teh yang menerapkan SNI kalah bersaing (dari sisi
harga) dengan produk teh yang tidak menerapkan SNI. Oleh karena itu, hasil
penelitian di lapangan menyatakan bahwa, dari seluruh kriteria terkait dengan
penerapan SNI, produsen teh (pelaku usaha) sangat setuju apabila penerapan SNI
untuk teh yang dijual di dalam negeri, diberlakukan secara wajib. Hal ini diharapkan
dapat meningkatkan daya saing produk teh hitam di dalam negeri terhadap produk
impor maupun produk lokal lainnya yang tidak memenuhi standar. Selain itu, pelaku
usaha juga berharap dilakukan revisi terhadap SNI Teh Hitam yang saat ini berlaku,
karena SNI tersebut dianggap sudah terlalu lama dan tidak sesuai dengan kondisi
perkembangan pasar.
Tabel 4.3 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 3 Penerapan SNI Wajib
Kriteria Penerapan SNI Wajib
Benefit Penjualan meningkat TIDAK
Product image meningkat TIDAK
Akses pasar meningkat TIDAK
Cost Biaya sertifikasi mahal TIDAK
Mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi YA
Biaya pemenuhan standar mahal TIDAK
Impact Daya saing meningkat TIDAK
Partisipasi perusahaan tinggi dalam menerapkan
standar YA
K3L terjamin YA
Pertimbangan untuk memberlakukan SNI teh hitam secara wajib memiliki beberapa
manfaat dan biaya bagi pelaku usaha. Secara umum, pelaku usaha tidak
menganggap bahwa penerapan SNI Teh Hitam secara wajib dapat meningkatkan
penjualan, akses pasar maupun product image. Hal ini dikarenakan pelaku usaha
menganggap bahwa konsumen dalam negeri masih belum terbiasa dalam
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 43
mengkonsumsi teh yang berkualitas. Preferensi konsumen dalam negeri umumnya
hanya pada warna teh, aroma dan terutama pada harga yang terjangkau sehingga
penerapan SNI wajib diperkirakan masih belum mampu untuk meningkatkan
penjualan, akses pasar maupun product image. Namun opsi penerapan SNI wajib
dianggap lebih baik untuk menyaring produk teh yang beredar di pasar dalam negeri
yang tidak memenuhi standar.
Sementara itu, penerapan SNI Teh Hitam secara wajib dianggap tidak terlalu
membebani pelaku usaha. Biaya sertifikasi serta biaya pemenuhan standar
dianggap pelaku usaha masih cukup terjangkau, serta mudah dalam memenuhi
persyaratan sertifikasi. Oleh karena itu, apabila SNI Teh Hitam diberlakukan secara
wajib, maka diperkirakan pelaku usaha lain yang belum memenuhi SNI tidak akan
terbebani dengan biaya penerapan SNI tersebut.
Secara umum, menurut pelaku usaha, dampak dari penerapan SNI Teh
Hitam secara wajib diperkirakan tidak mampu meningkatkan daya saing produk,
Namun penerapan SNI secara wajib dipastikan dapat meningkatkan partisipasi
perusahan dalam menerapkan standar. Dengan demikian, meskipun pelaku usaha
beranggapan bahwa daya saing produk tidak meningkat, namun aspek – aspek
dalam K3L (keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan), dapat terjamin.
b. Produk olahan kopi
Di pasar internasional, kopi asal Indonesia dikenal berkualitas baik dan dapat
bersaing dengan kompetitor seperti Vietnam dan Brazil. Walaupun memiliki daya
saing dari sisi kualitas namun tidak dapat bersaing pada sisi harga yang disebabkan
pengelolaan kopi di negara kompetitor tersebut didukung penggunaan teknologi,
rendhanya produktivitas kopi Indonesia karena usia tanaman yang sudah tua,
tingginya tarif gas dan listrik, dan infrastruktur pendukung seperti jalan dan
pelabuhan di dalam negeri menyebabkan biaya tambahan.
Tabel 4.4 Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Produk olahan kopi
berdasarkan kriteria
SNI Wajib
1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan
teknis, SDM dan infrastruktur pendukung) Setuju
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 44
2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur
sertifikasi, biaya, waktu pengurusan, konsultansi)
Setuju
3. Tingkat kepercayaan konsumen (lebih tinggi)
(rendahnya komplain, pemesanan berulang)
Setuju
4. Daya saing thd produk sejenis (kualitas produk, harga
produk)
Setuju
5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing
lebih peduli, standar pendukung daya saing)
Setuju
6. Kepedulian konsumen (produk harus berstandar,
pelaporan oleh konsumen)
Agak tidak setuju
7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi
bahan, MKG)
Setuju
8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai,
kapasitas, kapabilitas)
Agak tidak setuju
Penerapan SNI wajib untuk kopi instant hanya bertujuan untuk melindungi
produsen dan konsumen di dalam negeri. Berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa pelaku usaha kopi instan, opsi penerapan SNI wajib lebih dibutuhkan
untuk menjadi filter yang dapat menyaring produk impor yang berkualitas rendah
dengan harga yang murah sehingga dapat mendorong daya saing produsen di pasar
dalam negeri dan melindungi konsumen. Namun, konsumen dalam negeri dianggap
masih belum cukup peduli dengan penerapan standar pada kopi instan. Umumnya
konsumen dalam negeri lebih memilih kopi dengan harga yang lebih terjangkau
tanpa memperhatikan standar yang diterapkan pada produk tersebut. Selain itu,
kendala yang dihadapi dalam penerapan SNI wajib di dalam negeri adalah
keberadaan lembaga pendukung seperti laboratorium penguji yang masih terbatas.
Saat ini di Indonesia hanya ada satu laboratorium penguji yaitu Balai Besar Industri
Agro (BBIA) sehingga pelaku usaha membutuhkan waktu yang lama untuk
memperoleh sertifikasi SNI. Sementara itu, biaya sertifikasi SNI cukup terjangkau
yaitu sebesar 18 juta rupiah.
Tabel 4.5 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 3 Penerapan SNI Wajib
Kriteria SNI Wajib
Benefit Penjualan meningkat TIDAK
Product image meningkat TIDAK
Akses pasar meningkat TIDAK
Cost Biaya sertifikasi mahal YA
Mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi YA
Biaya pemenuhan standar mahal YA
Impact Daya saing meningkat YA
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 45
Partisipasi perusahaan tinggi dalam menerapkan standar YA
K3L terjamin YA
Pemberlakuan SNI wajib pada kopi instan memiliki beberapa manfaat dan biaya
yang dirasakan oleh pelaku usaha. Secara umum, penerapan SNI wajib dianggap
tidak dapat meningkatkan penjualan, akses pasar maupun product image. Hal ini
terkait dengan kurangnya kepedulian konsumen akan produk kopi instan yang
berstandar. Umumnya, konsumen memilih produk dengan harga yang terjangkau
(lebih murah). Pelaku usaha menganggap hanya segelintir konsumen yang peduli
dengan penerapan SNI pada produk kopi instan. Oleh karena itu, menurut pelaku
usaha, penerapan SNI wajib pada kopi instan tidak dapat memberikan manfaat yang
signifikan bagi pelaku usaha.
Disamping itu, pelaku usaha menganggap biaya untuk pemenuhan SNI relatif
mahal. Saat ini hanya ada satu laboratorium penguji untuk produk kopi instan,
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mememuhi persyaratan sertifikasi SNI cukup
lama. Biaya sertifikasi SNI diperkirakan mencapai 18 juta rupiah, dan bagi sebagian
besar pelaku usaha, jumlah ini dianggap mahal sehingga menjadi kendala dalam
penerapan SNI wajib.
Namun secara umum, penerapan SNI wajib pada produk kopi instan memiliki
dampak positif seperti peningkatan daya saing terutama terhadap kopi impor yang
tidak memenuhi standar. Selain itu, dengan diwajibkannya penerapan SNI pada kopi
instan, jumlah perusahaan yang berpartisipasi dalam menerapkan standar akan
mengalami peningkatan sehingga dapat menjamin aspek K3L pada proses produksi
kopi instan di dalam negeri.
c. Produk Mainan
SNI untuk mainan anak telah diberlakukan wajib sejak tahun 2013 melalui
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/4/2013 yang kemudian
direvisi dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-IND/PER/11/2013.
Pemberlakuan SNI wajib untuk mainan anak bertujuan untuk meningkatkan daya
saing mainan anak produk lokal terhadap mainan mainan impor yang tidak
memenuhi standar. selain itiu, tujuan lainnya adalah melindungi konsumen dari
mainan anak yang memang mayoritas anak – anak, dari produk yang tidak
memenuhi standar keamanan dan kesehatan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 46
Tabel 4.6 Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Produk Mainan Anak
Berdasarkan Kriteria
SNI Wajib
1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan
teknis, SDM dan infrastruktur pendukung) Setuju
2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur sertifikasi,
biaya, waktu pengurusan, konsultansi)
Setuju
3. Tingkat kepercayaan konsumen (lebih tinggi) (rendahnya
komplain, pemesanan berulang)
Sangat setuju
4. Daya saing thd produk sejenis (kualitas produk, harga
produk)
Setuju
5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing lebih
peduli, standar pendukung daya saing)
Sangat setuju
6. Kepedulian konsumen (produk harus berstandar, pelaporan
oleh konsumen)
Agak setuju
7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi bahan,
MKG)
Sangat setuju
8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai,
kapasitas, kapabilitas)
Setuju
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pelaku usaha mainan anak di
dalam negeri, secara umum mayoritas pelaku usaha setuju dengan pemberlakuan
SNI mainan anak secara wajib. Dari beberapa kriteria dari penerapan standar,
pemberlakuan SNI wajib untuk mainan anak didukung oleh tingkat kepedulian
konsumen akan produk mainan yang berstandar. Selain itu, pelaku usaha juga
beranggapan bahwa saat ini banyak pelaku usaha yang sudah peduli dengan
penerapan standar dengan tujuan meningkatkan daya saing produknya. Oleh karena
itu, opsi penerapan SNI wajib untuk mainan anak menjadi pilihan utama bagi
mayoritas pelaku usaha mainan anak di dalam negeri, dengan tujuan utama untuk
meningkatkan daya saing serta penguatan pasar dalam negeri.
Dari sisi pengawasan, penerapan SNI wajib untuk mainan anak akan
memudahkan pihak pengawas untuk melakukan pengawasan terhadap produk
mainan yang tidak memenuhi standar. Dengan demikian, dengan adanya penerapa
SNI Wajib untuk produk mainan anak bisa menjadi filter terhadap produk maianan
anak yang tidak memenuhi standar.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 47
Tabel 4.7 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 3 Penerapan SNI Wajib
Penerapan SNI Wajib
Benefit Penjualan meningkat TIDAK
Product image meningkat YA
Akses pasar meningkat TIDAK
Cost Biaya sertifikasi mahal YA
biaya: 7 - 10 juta; 50 juta
Mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi YA
Biaya pemenuhan standar mahal YA
Impact Daya saing meningkat TIDAK
Partisipasi perusahaan tinggi dalam menerapkan
standar YA
K3L terjamin YA
Terkait dengan aspek biaya dan manfaat, penerapan SNI wajib pada produk
mainan anak belum dapat memberikan mafaat bagi peningkatan daya saing
produsen mainan anak di pasar dalam negeri. Mereka masih menemui beberapa
halangan tantangan diantaranya adalah masih belum meningkatnya penjualan
secara signifikan dengan penerapan SNI Wajib.
Kemampuan untuk melakukan penetrasi pasar di dalam negeri juga belum
meningkat, meskipun mereka mengakui bahwa dengan penerapan SNI Wajib,
product image yang dijualnya meningkat. Sementara itu di sisi lain, perusahaan
dalam industry mainan anak masih menghadapi kendala yang menurut mereka
adalah masih tingginya biaya pengurusan sertifikasi dan pemenuhan standar yang
mahal. Memang, pada satu sisi mahalnya biaya sertifikasi dan pemenuhan standar
bersifat relative antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, namun perlu
diketahui bahwa banyak dari produsen mainan anak yang merupakan usaha kecil
dan menengah yang menganggap biaya-biaya tersebut sebagai tambahan/beban
tambahan yang harus ditanggungnya.
Ketidakmampuan untuk melakukan penetrasi di pasar dalam negeri yang bisa
dilihat dari tidak signifikannya peningkatan penjualan mereka juga tidak terlepas dari
adanya produk mainan anak lain yang berasal dari luar negeri. Produk impor ini
bahkan sebagian merupakan produk yang tidak ber-SNI yang beredar di pasar
dalam negeri (Republika, 2015). Meskipun sudah diterapkan kebijakan penerapan
SNI Wajib untuk produk mainan anak, akan tetapi masih dijumpai produk mainan
anak impor yang tidak ber-SNI. Hal ini tentu saja merugikan produse mainan anak di
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 48
dalam negeri. Pengawasan barang beredar khususnya untuk produk mainan anak
mutlak harus ditingkakan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 49
BAB V
PENERAPAN SNI DAN PENGARUH TIDAK LANGSUNG
BAGI PENINGKATAN EKSPOR
5.1. Deskripsi Hubungan Standar dan Daya Saing
Standar mempunyai kaitan erat dengan kemampuan daya saing suatu produk
yang dihasilkan oleh industri/perusahaan di suatu negara(Henson et al., 2002; Jaffee
dan Henson, 2004). Daya saing ini bisa dilihat dari kemampuan produk tersebut
untuk bersaing di pasar ekspor (internasional) maupun kemampuan daya saing
produk yang bersangkutan di pasar dalam negeri.
Untuk pasar dalam negeri, standar juga mempunyai kaitan dengan upaya
perlindungan konsumen di dalam negeri dari produk yang tidak memenuhi standar
(bisa berupa produk impor). Dalam kaitannya dengan daya saing, standar menjamin
bahwa produk yang diedarkan di pasar adalah produk yang memenuhi kualitas dan
memberikan perlindungan/keamanan kepada konsumen dan juga lingkungan
Untuk bisa bersaing di pasar internasional, produk yanag dihasilkan oleh
suatu negara harus bisa memenuhi persayaratan minimal sebagaimana yang
ditentukan oleh standar masing-masing negara tujuan ekspor. Persyaratan tersebut
bisa meliputi persyaratan teknis maupun kualitas produk. Sementara itu untuk bisa
bersaing di pasar produk dalam negeri, produk yang dihasilkan oleh industri dalam
negeri harus bisa memenuhi persyaratan SNI (untuk produk yang ber-SNI wajib).
Demikian juga untuk produk impor yang masuk ke pasar dalam negeri juga wajib
memenuhi persyaratan teknis dan kualitas sesuai SNI.
Berikut diuraikan bagaimana standar bisa mempengaruhi daya saing produk
yang dijual di pasar baik di dalam negeri maupun luar negeri (Gambar 5.1).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 50
Gambar 5.1. Pengaruh Standar Terhadap Daya Saing
5.2. Deskripsi Peranan SNI Dalam mendukung Daya Saing
SNI mempunyai peranan dalam mendukung daya saing, terutama daya saing
di pasar dalam negeri. Hal ini karena di pasar dalam negeri, khususnya untuk produk
yang dikenai SNI wajib, wajib mematuhi persyaratan yang diminta oleh SNI. Pada
sisi yang lain, SNI juga mempunyai peran dalam mendukung daya saing di pasar
luar negeri melalui jalur tidak langsung (indirect impact). Kalau untuk jalur langsung,
akan lebih mudah diikuti proses pengaruhnya. Hal ini dikarenakan perusahaan yang
melakukan ekspor cenderung hanya memenuhi persyaratan standar yang diminta
oleh importer/atau konsumen di negara tujuan.
Seperti yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya (khususnya Bab II –
Tinjauan Pustaka dan Bab III – Metodologi Penelitian), kajian ini mempunyai asumsi
dasar yang didukung oleh beberapa hasil kajian bahwa dengan adanya penerapan
SNI wajib, dianggap bahwa industri yang bersangkutan mempunyai kemampuan
baik sisi teknis, infrastruktur, SDM, sumber daya lainnya dan lembaga pendukung.
Lebih lanjut, implikasi asumsi dasar tersebut adalah, perusahaan yang sudah
menerapkan SNI wajib untuk produknya cenderung memilki berbagai fasilitas
pendukung (termasuk prasarana yang berada di luar perusahaan) untuk berhasilnya
penerapan standar yang diminta oleh negara tujuan ekspor. Infrastruktur dan
layanan dukungan standar terkait dengan kemampuan mereka dalam memenuhi
standar yang diminta oleh pasar negara tujuan (Maskus, 2005).
Kualitas dan
Keamanan
Biaya Produksi
Harga
Daya Saing Standar
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 51
SNI sendiri mengacu pada beberapa standar acuan seperti International
Standard Organization (ISO), Codex Alementarius (khususnya untuk produk
pertanian dan makanan), dan HAACCP. Dengan demikian, pada dasarnya
persyaratan minimal yang diacu oleh SNI (dari beberapa referensi standar tersebut
diatas) juga dipakai sebagai acuan oleh negara lain, meskipun tidak menolak
adanya kemungkinan terdapat perbedaan standard (standard gap).
Menilik pada adanya gap ini, berdasarkan hasil kajian Puska Dagri,
Kementerian Perdagangan (2014) bahwa memang ada gap standar antara SNI
dengan standar yang diterapkan di beberapa negara tujuan ekspor. Namun dalam
hal ini ada gap positif dalam arti bahwa pada persyaratan tertentu SNI mempunyai
persyaratan standar yang lebih tinggi. Demikian juga ada gap negatif, dimana
persyaratan standar minimal SNI lebih rendah daripada yang dipersyaratkan oleh
standar yang diterapkan oleh negara lain.
Berikut diilustrasikan pengaruh SNI (untuk perusahaan yang sudah
menerapkan SNI bagai produk yang di jual di dalam negeri, sekaligus juga
mengekspor produk sejenis ke pasar internasional) dalam mendukung daya saing
produk ekspor. Pngaruh ini bukan merupakan pengaruh langsung, tetapi pengaruh
yang terefleksikan dari adanya penerapan SNI (Gambar 4.2).
Dalam Gambar 4.2, baik SNI maupun standar negara lain mempunyai sumber
acuan yang sama (meski diakui ada modifikasi sehingga memunculkan standard
gap). Kemampuan perusahaan untuk memenuhi atau menerapkan SNI akan
terefleksikan kepada kemampuan perusahaan dalam memenuhi standar negara lain
(tujuan ekspor). Hal ini dikarenakan sumber daya baik SDM maupun infrastruktur
penunjang (internal dan eksternal) adalah sama.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 52
Gambar5.2: SNI dan Pengaruh Tidak Langsung Pada Peningkatan Daya saing dan Akses Pasar di Dalam dan Luar Negeri
Yang dimaksudkan dengan pengaruh SNI dalam kajian ini adalah bukan pada ada
tidaknya label SNI pada produk yang diekspor tetapi lebih pada kemampuan
perusahaan untuk mengikuti berbagai permintaan persyaratan dari negara mitra
dagang. Kemampuan dalam hal ini terkait dengan berbagai factor pendudkung
(infrastruktur pendukung) yang dimiliki oleh perusahaan yang bersangutan
(infrastruktur dan SDM internal: seperti lab uji internal, internal auditor dan
kelengkapan teknis internal) maupun infrastruktur pendukung yang berada di luar
perusahaan (infrastruktur DM external: lab uji luar, LSPro, external auditor). Dalam
perspektif yang lebih luas, Kebijakan dalam negeri terkait regaulasi teknis dan
standar mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan produktivitas dan daya saing
perdagangan baik untuk produk manufaktur maupun produk pertanian (Babool,
2007).
Perusahaan
DN
(Infrastruktur
SDM internal)
SNI
Acuan global:
ISO, CODEX,
HACCP
Acuan global:
ISO, CODEX,
HACCP
Standar
Negara Tujuan
Produk
ber-SNI
Produk
ber-Standar
(negara tujuan)
Daya saing
(kualitas)
menngkat
Daya saing
(kualitas)
menngkat
Akses
pasar DN
Akses
pasar LN
Infrastruktur
SDM external
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 53
5.3. Dinamika penerapan Standar oleh Pelaku Usaha Dalam Peningkatan
Ekspor
Pada bagian ini dibahas mengenai pilihan kebijakan yang diambil oleh pelaku
usaha dalam menerapkan standar. Seperti halnya peran SNI dalam melindungi
pasar dalam negeri, untuk peran SNI dalam mendukung peningkatan ekspor juga
dilakukan dengan langkah yang sama, namun dengan tambahan opsi yaitu:
penerapan standar negara tujuan ekspor. Kriteria-kriteria yang dijadikan dasar
pelaku usaha dalam menentukan pilihan adalah sama seperti dalam kasus SNI
untuk perlindungan pasar dalam negeri (Tabel 4.1). Dari hasil pengolahan data
untuk tiga jenis produk yaitu teh, kopi dan mainan anak, terlihat baha pelaku usaha
melihat bahwa pemenuhan standar negara tujuan adalah menjadi pilihan kebijakan
yang diambil. Untuk proses yang lebih lengkap dalam melihat bagaimana
perusahaan menentukan pilihan kebijakan yang ada bisa dilihat dalam Lampiran 1.
Perkiraan manfaat yang diperoleh dan biaya yang ditanggung oleh pelaku
usaha sebagai konsekuensi dari pilihan kebijakan yang dibuat sebelumnya juga
dilihat. Dari hasil survei, hampir seluruh responden pelaku usaha yang juga eksportir
memilih untuk menerapkan standar negara tujuan ekspor dalam rangka
meningkatkan ekspor daripada menerapkan SNI baik secara sukarela maupun
wajib. Manfaat yang diperoleh pelaku usaha antara lain peningkatan penjualan,
peningkatan product image, akses pasar dan market share.
a. Teh hitam
Hasil survey menunjukkan bahwa dalam menerapkan standar pelaku usaha
masih mengacu pada standar negara tujuan ekspor (buyer) dengan alasan
bahwa perusahaan menerapkan prinsip market-oriented atau market-based
dan standard tersebut dianggap lebih tinggi daripada SNI. Sementara
penerapan SNI untuk beberapa produk ditujukan untuk melindungi pasar
dalam negeri dari produk impor yang berkualitas rendah.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 54
Tabel 5.1. Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Teh hitam berdasarkan
kriteria
Kriteria Standard Negara
Tujuan
1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan teknis,
SDM dan infrastruktur pendukung)
Setuju
2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur sertifikasi,
biaya, waktu pengurusan, konsultansi)
Setuju
3. Tingkat kepercayaan konsumen LN (lebih tinggi) (rendahnya
komplain, pemesanan berulang)
Sangat setuju
4. Daya saing thd produk sejenis LN (kualitas produk, harga produk) Setuju
5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing lebih peduli,
standar pendukung daya saing)
Setuju
6. Kepedulian konsumen LN (produk harus berstandar, pelaporan
oleh konsumen)
Setuju
7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi bahan,
MKG)
Setuju
8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai, kapasitas,
kapabilitas)
Setuju
Teh hitam sebagian besar diekspor ke luar negeri yaitu negara-negara Uni
Eropa (Inggris, Jerman, Polandia, dan lain-lain), Rusia, Timur Tengah, Amerika
Utara, Pakistan, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya. Sebagian kecil
dipasarkan di dalam negeri kepada supplier tertentu (bukan secara eceran)
Terkait dengan penerapan standard mutu untuk produk teh, responden
menggunakan standard internasional seperti UTZ, Rainforest Allience, ISO 22000,
dan seluruhnya sudah tersertifikasi dan terakreditasi. Sementara, SNI belum
dikenal baik oleh produsen maupun oleh importir (buyer).
Dalam hal pengujian mutu produk, selain menggunakan laboratorium uji
internal perusahaan, perusahaan juga menggunakan laboratorium uji luar negeri
yang dirujuk oleh negara pengimpor (buyer) dengan pertimbangan independensi
hasil uji dan reliabilitas hasil uji.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 55
Tabel 5.2 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 4 Penerapan Standar
Tujuan Ekspor: Teh
Kriteria Standard Negara Tujuan
Benefit Penjualan (ekspor) emningkat YA
Estimasi peningkatan: 25%
Product image meningkat YA
Akses pasar meningkat YA
JUMLAH & NEGARA TUJUAN EKSPOR:
Inggris, Jerman, Rusia, Polandia, Timur
Tengah, Amerika Utara, Pakistan. Eropa
(UK, Netehrland), Timur Tengah (Mesir,
Arab Saudi), Asia (Pakistan, Singapura,
Jepang, China)
Market share di negara tujuan meningkat TIDAK
Cost Biaya sertifikasi mahal YA
Biaya awal 5000 - 10.000 US$ dan ada
iuran tahunan; BIAYA: 0,12% dari biaya
produksi
Mudah dalam memenuhi persyaratan
sertifikasi YA
Persyaratan fasilitas dan infrastruktur
tertentu
Biaya pemenuhan standar mahal YA
NILAI DAN AKVIFITAS : set up mutu,
investasi peralatan dan alat uji. Alat uji
utama adalah uji fisik, biologi, kimia,
serta residu limit.; Kurang lebih 5% dari
biaya produksi
Impact Daya saing meningkat YA
Partisipasi perusahaan tinggi dalam
menerapkan standar
Tidak, hanya perusahaan besar yang
berpartisipasi
K3L terjamin YA
Analisis Biaya dan Manfaat untuk produk teh dengan menerapkan
standar yang ditetapkan negara tujuan ekspor (buyer), penjualan produk
mengalami peningkatan sampai 25%. Hal ini karena product image mereka
membaik seiring dengan pemenuhan syarat dan kualitas mutu yang sesuai
dengan permintaan pasar tujuan. Selain itu, dengan memiliki sertifikat mutu
dan persyaratan lainnya, perusahaan dapat mengakses pasar yang lebih luas
yang ditandai dengan bertambahnya negara tujuan ekspor mereka. Negara
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 56
tujuan ekspor untuk produk kopi adalah tersebar di berabagai kawasan Eropa,
Amerika dan juga Asia. Negara-negara tujuan ekspor produk teh tersebut
adalah Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, Polandia, Timur Tengah (Mesir, Arab
Saudi), Amerika Utara, Asia (Pakistan, Singapura, Jepang, China). Meskipuun
ada peningkatan ekspor, namun para pelaku usaha tidak melihat adanya
perubahan market share yang dikuasai oleh mereka di pasar internasional
tersebut, karena ketatnya persaingan yang ada di negara tujuan ekspor.
Dalam kaitannya dengan standar, perusahaan penghasil kopi olahan
menilai bahawa upaya untuk memperoleh sertifikasi relative mudah. Namun
demikian, mereka menilai bahwa upaya untuk pemenuhan standar merupakan
halangan tersendir. Biaya pemenuhan standar mahal karena adanya
keterbatasan teknis menyangkut ketersediaan peralatan dan lab uji di
Indonesia.
b. Produk kopi olahan
Sebagian besar pelaku usaha telah menerapkan beberapa sertifikasi
seperti ISO 22000 yaitu suatu standar internasional yang menggabungkan dan
melengkapi elemen utama ISO 9001 dan HACCP dalam hal penyediaan suatu
kerangka kerja yang efektif untuk pengembangan, penerapan, dan peningkatan
berkesinambungan dari Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP),
Rainforest Certificate yaitu standar untuk kelestarian lingkungan dan memastikan
kondisi yang lebih baik pada lingkungan kerja dan meningkatkan kesejahteraan
orang-orang yang bekerja pada suatu industri, Fair Trade Certificate adalah
sertifikasi produk yang telah menerapkan kelaestarian lingkungan, kesejahteraan
tenaga kerja dan pengembangan standar, dan ISO 17025 diterapkan untuk
pengujian laboratorium internal yang dimiliki oleh industri. Standar-standar
tersebut diatas adalah standar yang dipersyaratkan oleh pembeli diluar negeri
yang harus dipenuhi oleh eksportir. Beberapa negara yang menerapkan standar
sangat ketat adalah Jepang dan Amerika Serikat, jika pelaku usaha dapat
mengadopsi persyaratan standar pada negara tersebut maka akan lebih mudah
untuk memasuki pasar di negara lain. Selain itu untuk memastikan kualitas
produk tetap sesuai standar yang dipersyaratkan, buyer juga melakukan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 57
pemerikasaan produk di negara asal baik secara langsung maupun melalui pihak
ketiga yang ditunjuk sebagai representasi pembeli yang dilakukan secara rutin.
Dalam memenuhi persyaratan sertifikasi tersebut, pelaku usaha
berpendapat tidak sulit dan biaya yang dikeluarkan cukup terjangkau serta
jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan dokumen yaitu satu bulan.
Secara umum tidak ditemui kendala dalam memperoleh sertifikasi namun untuk
pelaku usaha menengah dirasa cukup sulit untuk memperoleh sertifikasi tersebut
khususnya pemenuhan persyaratan dan biaya sertifikasi.
Tabel 5.3. Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Produk olahan kopi
berdasarkan kriteria
Standar Tujuan
Ekspor
1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar
(peralatan teknis, SDM dan infrastruktur pendukung) Setuju
2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur
sertifikasi, biaya, waktu pengurusan, konsultansi) Setuju
3. Tingkat kepercayaan konsumen LN (lebih tinggi)
(rendahnya komplain, pemesanan berulang)
Sangat setuju
4. Daya saing thd produk sejenis LN (kualitas produk,
harga produk)
Sangat setuju
5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing
lebih peduli, standar pendukung daya saing)
Sangat setuju
6. Kepedulian konsumen LN (produk harus berstandar,
pelaporan oleh konsumen)
Setuju
7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi
bahan, MKG)
Setuju
8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah
memadai, kapasitas, kapabilitas)
Setuju
Untuk produk kopi olahan, dengana penerapan standar negara tujuan
pengusaha menilai ada manfaat yang diperoleh dengan adanya peningkatan
penjualan, product image dan juga market share di negara tujuan ekspor kopi.
Market share perusahaan meningkat cukup signifikan dengan kisaran 30 –
50% dibanding periode sebelumnya saat belum menerapkan standar negara
tujuan tersebut. Penjualan juga meningkat sampai sekitar 50%. Negara tujuan
ekspor untuk produk kopi adalah negara anggota ASEAN, Jepang, China,
Amerika Serikat, Italia, Arab Saudi dan Uni Eropa.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 58
Tabel 5.4 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 4 Penerapan Standar Tujuan
Ekspor: Kopi
Kriteria Standard Negara Tujuan
Benefit Penjualan (ekspor) meningkat YA
Estimasi peningkatan: 20% - 50%
Product image meningkat YA
Akses pasar meningkat YA
Jepang, As, Italia, ASEAN, Arab Saudi,
China, UE
Market share di negara tujuan meningkat YA
estimasi peningkatan: 30 - 50%
Cost Biaya sertifikasi mahal YA
biaya: 50 - 90 juta
Mudah dalam memenuhi persyaratan
sertifikasi TIDAK
persyaratan: biaya tahunan, mendidik
staf untuk mengikuti sisem iso 22000
Biaya pemenuhan standar mahal YA
TIDAK
nilai dan aktifitas : ada pajak, Untuk uji
Sucofindo Rp 3 juta/produk
Impact Daya saing meningkat YA
Partisipasi perusahaan tinggi dalam
menerapkan standar YA
K3L terjamin YA
Para pelaku usaha dalam industry kopi melihat bahwa mudah dalam
memenuhi persyaratan sertifikasi. Mereka juga menilai bahwa biaya
pemenuhan stadar adalah mahal. Namun demikian, secara keseluruhan
mereka melihat bahwa penerapan standar bagi mereka memberikan
keuntungan/manfaa yang lebih bagi peningkatan daya saing dan juga akses
pasar.
C. Produk Mainan Anak
Seperti halnya untuk produk teh dan kopi olahan, untuk pelaku usaha
produk mainan anak juga melihat hal yang sama dalam pilihan kebijakan.
Pilihan kebijakan yang diambil adalah pilihan kebijakan penerapan standar
negara tujuan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 59
Dari berbagai sub-kriteria yang ada, pelaku usaha setuju bahwa
adanya kemudahan dalam memenuhi persayaratan, kemudahan proses
sertifkasi menjadi hal utama dalam memutuskan untuk menerapkan standar
negara tujuan sebagai pilihan kebijakan. Sub-kriteria lain yang mendukung
keputusan penerapan standar negara tujuan eskpor adalah pada aspek
tingkat kepercayaan dan kepedulian pembeli (konsumen) di luar negeri.
Dari sisi internal (dalam negeri) berbagai kriteria yang menyangkut
keberadaan lembaga pendukung standar dan pengawasan juga berkontribusi
terhadap keputusan yang diambil oleh perusahaan dalam menentukan
kebijakan terkait standar yang diambilnya.
Tabel 5.5 Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Produk Mainan Anak
berdasarkan kriteria
Standard Negara tujuan
1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan
teknis, SDM dan infrastruktur pendukung) Sangat setuju
2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur
sertifikasi, biaya, waktu pengurusan, konsultansi)
Setuju
3. Tingkat kepercayaan konsumen LN (lebih tinggi)
(rendahnya komplain, pemesanan berulang)
Setuju
4. Daya saing thd produk sejenis LN (kualitas produk, harga
produk)
Setuju
5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing lebih
peduli, standar pendukung daya saing)
Setuju
6. Kepedulian konsumen LN (produk harus berstandar,
pelaporan oleh konsumen)
Setuju
7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi
bahan, MKG)
Setuju
8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai,
kapasitas, kapabilitas)
Setuju
Sementara itu, biaya yang harus mereka keluarkan dalam rangka
penerapan standar tujuan ekspor terkait dengan investasi peralatan dan mesin-
mesin produksi dan pengujian mutu dan biaya sertifikasi standar mutu.
Pengeluaran investasi untuk produksi sesuai dengan standar tidak dirinci
karena responden menganggap hal tersebut merupakan informasi internal
perusahaan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 60
Tabel 5.6 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 4 Penerapan Standar Tujuan
Ekspor Mainan Anak
Kriteria Standar Negara Tujuan
Benefit Penjualan meningkat YA
estimasi peningkatan (%): 10 - 15%
Product image meningkat' YA
Akses pasar meningkat TIDAK
Market share di negara tujuan meningkat Tidak tahu
Cost Biaya sertifikasi mahal YA
biaya: 40 jt - 50 juta untuk 2 HS
code, tetapi dihitung oleh LSPro
biayanya utk 4 HS code (SNI belum
ada kepastian soal biaya). Untuk
mainan anak, ada biaya sertifikasi
ulang tiap 6 bulan
Mudah dalam memenuhi persyaratan
sertifikasi YA
TIDAK
Biaya pemenuhan standar mahal YA
TIDAK
Impact Daya saing meningkat YA
Partisipasi perusahaan tinggi dalam
menerapkan standar Cukup tinggi
K3L terjamin YA
TIDAK
Selanjutnya, untuk biaya sertifikasi, mereka mengungkapkan bahwa
kisarannya antara 40 – 50 juta Rupiah per tahunnya tergantung jenis sertifikasi
yang diperlukan. Biaya ini tergolong relatif mahal dibandingkan dengan
sertifikasi SNI untuk produk yang sama. Namun jika dibandingkan dengan
omset perusahaan atau nilai penjualan untuk ekspor, maka biaya tersebut
mencakup sekitar 1 – 5% dari keseluruhan biaya produksi.
Penerapan standar negara tujuan ekspor ini dirasakan pelaku usaha
memberikan dampak secara makro maupun mikro yaitu adanya peningkatan
daya saing. Produk yang dihasilkan perusahaan menjadi lebih memiliki daya
jual dan lebih menarik bagi pasar luar negeri. Hal tersebut yang mendorong
pelaku usaha lainnya untuk juga menerapkan standar mutu dan kualitas yang
baik pada produknya. Kemudian, penerapan standar oleh pelaku usaha juga
menimbulkan dampak, baik secara mikro yang dirasakan perusahaan (berupa
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 61
peningkatan penjualan dan akses pasar, maupun secara makro dalam konteks
perekonomian nasional yaitu meningkatnya daya saing produk nasional secara
umum.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 62
BAB VI
STRATEGI PEMENUHAN KESESUAIAN STANDAR
Standar Nasional Indonesia (SNI) pada dasarnya ditujukan untuk memberikan
perlindungan pasar dalam negeri. Dengan penerapan SNI, maka konsumen di
dalam negeri bisa terlindungi dari produk asing (impor) yang tidak memenuhi
standar. Juga, konsumen memperoleh jaminan dari barang yang beredar (termasuk
produksi dalam negeri) bahwa produk yang dikonsumsinya memenuhi standar
Keamanan, Kesehatan, Keselamatan dan pelestarian Lingkungan (K3L). Demikian
juga, SNI diharapkan bisa meningkatkan eningkatkan daya saing produk lokal di
pasar dalam negeri maupun di pasar luar negeri. Untuk daya saing di pasar luar
negeri, penerapan SNI bisa dikatakan tidak berpengaruh langsung tetapi mempunyai
pengaruh tidak langsung terhadap daya saing produk nasional di pasar
internasional.
Dengan kemamuan produsen dlam nenegri dalam memenuhi persyaratan SNI
wajib, maka bila mereka melakukan ekspor akan lebih mudah menyesauikan
persyaratan yang diminta oleh negara tujuan ekspor. Kemudahan pemenuhan
standar yang diminta oleh negara tujuan ekspor akan lebih mudah, bila SNI yang
berlaku mempunyai kesesuaian dengan standar negara tujuan. Dengan kata lain
standar yang dipakai di negara tujuan dengan segala persyaratan dan parameter
yang ada di dalamnya relatif sama dengan yang ada dalam SNI (tidak ada gap
standar antara SNI dengan negara tujuan ekspor). Bila standar yang diterapkan oleh
negara tujuan ekspor lebih tinggi dari SNI maka sudah seharusnya produsen di
dalam negeri harus menyesuaikan standar tersebut dengan usaha dan biaya yang
lebih. Demikian juga dengan sebaliknya.
Bab VI ini membahas kesesuaian dan ketidaksesuaian yang ada antara SNI
untuk tiga produk yaitu teh (SNI 01-1902-1995), kopi dalam kemasan (Diantaranya
adalah SNI 01-3542-2004, SNI 01-2983-1992 / SNI 2983:2014, SNI 01-4446-1998,
SNI 6685:2009) dan mainan anak (diantaranya SNI ISO 8124-1:2010, SNI ISO
8124-2:2010, SNI ISO 8124-3:2010 dan SNI IEC 62115:2011). Sebagai
perbandingan adalah berbagai standar yang berlaku di negara tujuan ekspor,
khususnya Jepang, dan Uni Eropa.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 63
Selain itu dalam bab ini juga dibahas analisis kesesuaian standar (Standard
Compliance Analysis) yang di dasarkan pada wawancara dengan dunia industry di
tiga industry teh, kopi dan mainan anak. Beberapa aspek yang dilihat dalam
Standard Compliance Analysis ini adalah analisis terhadap ada tidaknya penolakan
ekspor, penghitungan/estimasi hilangnya nilai ekspor sekaligus membahas aspek kualitas
Infrastruktur pendukung penerapan SNI di Indonesia.
6.1. Kesesuaian dan Ketidaksesuaian SNI dengan Standar Negara Tujuan
Ekspor
6.1.1. Teh Hitam
SNI untuk teh hitam
Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk teh hitam adalah SNI 01-
1902-1995. Definisi teh hitam menurut SNI tersebut adalah teh kering hasil
pengolahan pucuk dan daun muda termasuk tangkainya dari tanaman Camellia
sinensis, melalui proses fermentasi.
Mutu teh hitam menurut SNI 01-1902-1995 ditentukan berdasarkan
karakteristik ukuran partikel; kenampakan yang meliputi bentuk-ukuran-berat, tip,
warna, dan kebersihan; air seduhan (liquor) yang meliputi warna, rasa, dan bau;
kenampakan ampas seduhan (infusion) yang meliputi warna dan kerataan
warna. Untuk penggolongannya teh hitam dibagi menjadi teh Orthodox dan teh
Crushing Tearing Curling (CTC). Teh Orthodox dibedakan menjadi 4 (empat)
golongan besar teh yaitu: Teh daun (leafy grades), teh bubuk (broken grades),
teh halus (small grades), teh campuran (mixed grades). Kemudian dari keempat
golongan besar teh orthodox tersebut masih dibagi lagi menjadi:
1. Teh daun (leafy grades)
a. Orange Pekoe (OP);
b. Orange Pekoe Superior (OP Sup);
c. Flowery Orange Pekoe (FOP);
d. Souchon (S);
e. Broken Souchon (BS);
f. Broken Orange Pekoe Superior (BOP Sup);
g. Broken Orange Pekoe Grof (BOP Grof);
h. Broken Orange Pekoe Special (BOP Sp);
i. Leafy Mixed (LM).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 64
2. Teh bubuk kasar (broken grades)
a. Broken Orange Pekoe I / Broken Orange Pekoe (BOP I / BOP);
b. Broken Orange Pekoe II (BOP II);
c. Flowery Broken Orange Pekoe (F BOP);
d. Broken Pekoe (BP);
e. Broken Pekoe II (BP II);
f. Broken Tea (BT);
g. Broken Tea II (BT II);
h. Broken Orange Pekoe Fanning Superior (BOPF Sup);
i. Broken Orange Pekoe Fanning (BOPF);
j. Broken Mixed (BM).
3. Teh bubuk halus (small grades)
a. Tippy Pekoe Fanning (TPF);
b. Pekoe Fanning (PF);
c. Fanning (F);
d. Fanning II (F II);
e. Pekoe Fanning II (PF II);
f. Dust;
g. Dust II;
h. Dust III.
4. Teh Crushing Tearing Curling (CTC)
a. Broken Pekoe 1 (BP 1);
b. Pekoe Fanning 1 (PF 1);
c. Pekoe Dust (PD);
d. Dust 1 (D 1);
e. Fanning CTC (FANN);
f. Dust 2 (D 2);
g. Broken Mixed CTC (BMC );
h. Dust 3 (D 3);
i. Powdery Dust (PW Dust);
j. Mixed CTC (teh campuran CTC).
Standar dan regulasi produk teh di Uni Eropa
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 65
Berdasarkan informasi didalam Compendium of Guidelines for Tea yang
dibuat oleh European Tea Committee (ETC), teh hitam didefinisikan oleh
mereka mengacu kepada ISO 3720:2011 sebagai teh yang diproduksi dengan
proses pelayuan, maserasi, fermentasi, aerasi dan pengeringan. Teh yang
dimaksud berasal semata-mata dan secara eksklusif dari tunas yang baik,
merupakan varietas dari spesies Camellia sinensis (L.) O. Kuntze (Lihat
Gambar6.1).
Gambar 6.1. Alur pemrosesan teh hitam
Sumber: ETC Compendium of Guidelines for Tea
Gambar 6.2. Beberapa jenis produk teh
Sumber: CBI Ministry of Foreign Affairs Teh Netehrland
Dijelaskan pula bahwa teh adalah jenis makanan yang memiliki
kelembapan rendah ambien-stabil, oleh karena itu mikrobiologi stabil apabila
kondisi penyimpanan normal; yaitu suhu pada max. 25 ° C, dan kelembapan
pada max. 65% RH serta dilindungi dari cahaya. Namun demikian ETC
merekomendasikan Microbiological Guideline for Tea dengan batasan: Angka
Lempeng Total ≤ 107/g, khamir ≤ 104/g, Kapang ≤ 105/g, E. Coli ≤ 102/g,
Salmonella negatif dalam 125 g.
Fresh leaf
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 66
Karakteristik umum teh yang dipersyaratkan adalah:
1. Teh bebas dari segala bentuk vegetatif jamur dan harus bebas dari
bahan asing.
2. Kandungan abu larut dalam asam pada bahan kering teh mengacu pada
standar ISO 3720 dengan nilai tidak melebihi 1%. Konten abu larut
dalam asam menyediakan informasi mengenai kontaminasi atau
kemungkinan tercampur dengan komponen mineral seperti tanah atau
pasir.
3. ISO 3720 tidak memberikan spesifikasi batas kandungan air. Namun,
sebagai aturan umum tingkatnya tidak boleh melebihi 8%. Penentuan ini
didasarkan pada ISO 1573.
4. Kafein secara alami ada dalam teh. Teh mengandung tidak kurang dari
1,5% kafein pada bahan kering. Terdapat proses untuk mengurangi
kadar kafein alami pada teh; apabila pengirangan kadar kafein
dilakukan, maka tingkat maksimum kafein dalam bahan kering adalah
0,4%, walaupun batasan ini berbeda-beda antar negara seperti
ditampilkan pada Tabel X. Untuk pelabelan, dekafeinasi ditunjukkan
dengan penggunaan istilah "tanpa kafein" (decaffeinated) atau varian
istilah lain yang mirip.
5. Bahan teh yang larut dalam air biasanya tidak lebih rendah dari 32%.
Pengecualian untuk ini adalah teh dari Turki dan Rusia yang
mengandung setidaknya 26% dalam bahan kering.
Lebih lanjut, dijelaskan dalam kompendium bahwa persyaratan umum adalah
didasarkan kepada Regulasi (EC) No 178/2002 dan evaluasi sensori mengacu
pada standar ISO 3103.
Tabel 6.1 Batasan kandungan kafein pada teh di UE
Negara Kandungan
minimum
Kandungan
maksimum pada teh
tanpa kafein
Austria 1.5% berat
kering
0.4% berat kering
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 67
Belgia - 0.1%
Perancis - 1 g per kg teh
Jerman 1.5% berat
kering
0.4% berat kering
Italia - 0.1%
Slovakia - 0.4 g per 100 g berat
kering
Swiss - 0.1%
Sumber: Sumber: ETC Compendium of Guidelines for Tea
Untuk regulasi lainnya yang terkait ekspor produk teh hitam ke UE adalah
terkait batasan residu pestisida dan kandungan logam berat mengacu pada
regulasi (EC) No. 396/2005, paparan radioaktif mengacu pada regulasi (EC)
No.1609/2000 dan (EU) No. 996/2012, higienitas mengacu pada regulasi (EC)
No. 852/2004, Genetically Modified Organism (GMO) mengacu pada regulasi
(EC) No. 1829/2003 dan No. 1830/2003, dan alergen mengacu pada Directive
2000/13/EC dan regulasi (EU) No. 1169/2011. Kemudian terdapat pula
ketentuan pelabelan yang mengacu pada Directive 2000/13/EC serta regulasi
(EU) No 1169/2011. Kesemua regulasi dan directive tadi apabila terdapat versi
terbaru maka harus merujuk pada versi terbarunya.
Kemudian, terdapat ratusan pestisida yang diatur batasan Maximum
Residue Level (MRL) –nya untuk produk teh (berupa dried leaves and stalks,
fermented or otehrwise of Camellia sinensis) di Uni-Eropa sesuai regulasi (EC)
178/2006 dan (EC) 149/2008. Pengaturan MRL ini jauh lebih banyak dan
beberapa lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh CODEX bahkan terhadap
negara-negara maju lain seperti Amerika, Kanada, Australia dan Jepang
seperti yang diinformasikan FAO Inter Governmental Group on Tea.
Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 68
Tabel 6.2. Perbandingan MRL CODEX dan negara-negara maju pada teh (mg/kg)
Source: FAO Inter Governmental Group on Tea, 2014
Lebih lanjut, CBI Ministry of Foreign Affairs Teh Netehrland menyebutkan
bahwa selain peraturan legal wajib, masih terdapat pula standar privat yang biasa
diminta pelanggan/pengimpor untuk dipenuhi oleh produsen teh (lihat Gambar X).
Lebih lanjut terkait beberapa standar privat tersebut akan dijelaskan pada bagian
produk olahan kopi.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 69
Dengan demikian dapat dirangkum bahwa persyaratan untuk produk teh
hitam yang akan diekspor ke UE adalah mencakup pemrosesan, bebas dari bahan
asing, kandungan abu larut dalam asam, kandungan air, kandungan kafein, bahan
larut dalam air, evaluasi sensori, batasan residu pestisida dan kandungan logam
berat, paparan radioaktif, higienitas, GMO, bahan alergen, ditambah dengan
persyaratan mikrobiologi namun hanya merupakan rekomendasi dari ETC dan tidak
diharuskan dalam peraturan.
Gambar 6.3.. Persyaratan wajib dan tambahan untuk produk teh di UE
Sumber: CBI Ministry of Foreign Affairs Teh Netehrland
Kemudian dari rangkuman diatas maka dapat disimpulkan bahwa untuk
ekspor produk teh hitam, SNI belum cukup untuk digunakan dalam mengakses
pasar UE. SNI 01-1902-1995 tentang teh hitam pada persyaratan mutunya hanya
mengatur hal-hal terkait ukuran partikel dan sensori seperti warna, rasa, bau dan
kenampakan. Berbeda dengan SNI-SNI lainnya terkait produk teh, beberapa hal
yang dipersyaratkan di UE diatur didalamnya (lihat Lampiran X) seperti bebas dari
bahan asing, kandungan abu larut dalam asam, kandungan air, kandungan kafein,
bahan larut dalam air, kandungan logam berat dan mikrobiologi. Dengan demikian
apabila SNI teh hitam direvisi, karena tahun terbitnya sudah lama yaitu tahun 1995,
dan ditambahkan persyaratan seperti milik UE yang memang sudah ada di SNI-SNI
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 70
lainnya terkait teh, maka hal tersebut akan membantu menaikkan standar produk teh
hitam Indonesia dalam mengakses pasar potensial UE.
Standar dan regulasi produk teh di Jepang
Berdasarkan Handbook for Agricultural and Fishery Products Import
Regulations yang diterbitkan oleh Japan External Trade Organization (JETRO)
pada tahun 2010, produk teh dengan kepala kode HS 0902 masuk kedalam
kategori spices, dan terkena regulasi Plant Protection Act, Food Sanitation Act,
dan JAS Law. Plant Protection Act dimaksudkan untuk melindungi tanaman
lokal dari penyakit dan hama berbahaya, namun tidak berlaku pada produk
yang telah dikeringkan dan dimasukkan dalam wadah tertutup. Food Sanitation
Act dimaksudkan untuk mencegah bahaya dari makanan seperti residu bahan
kimia. JAS Law adalah menyangkut pelabelan seperti kandungan bahan dan
jumlahnya, serta mengatur untuk produk organik. Ketidaksesuain terhadap
aturan ini dapat mengakibatkan penolakan dengan pengapalan kembali atau
pemusnahan.
Dalam Specifications and Standards for Foods, Food Additives, etc.
Under Teh Food Sanitation Act 2010 yang diterbitkan Japan External Trade
Organization (JETRO) pada 2011, didalamnya terdapat detail lebih mendalam.
Dijelaskan dalam panduan tersebut, secara umum pangan tidak boleh
mengandung antibiotik atau sintesa substansi kimia antibakteri kecuali yang
memang diperbolehkan, dan GMO perlu di laporkan dan diberi label yang jelas.
Substansi kimia agrikultur berikut ini tidak boleh terdeteksi: 1) 2,4,5-T, 2)
Azocyclotin dan Cyhexatin, 3) Amitrol, 4) Captafol, 5) Carbadox, 6)
Coumaphos, 7) Chloramphenicol, 8) Chlorpromazine, 9) Diethylstilbestrol, 10)
Dimetridazole, 11) Daminozide, 12) Nitrofurans, 13) Nitrofurantoin, 14)
Furazolidone, 15) Furaltadone, 16) Propham, 17) Malachite Green, 18)
Metronidazole, dan 19) Ronidazole. Batasan kontaminan yang terkena adalah
Aflatoxin dengan batasan “undetectable” atau tidak boleh terdeteksi. Terdapat
pula aturan terkait bahan kemasan produk.
Aturan MRL untuk “otehr spices, dried” dari Teh Japan Food Chemical
Research Foundation diberikan pada Tabel X. Jenis kimia yang ditur pada
sumber tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan informasi yang ada pada
Tabel X, dimana dapat dilihat FAO Inter Governmental Group on Tea
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 71
menampilkan data bahwa Jepang mengatur 28 jenis kimia. Dapat diketahui
pula dari Tabel tersebut, Codex hanya mengatur 16 jenis kimia (daftar terbaru
terdapat 17 jenis), dan batasan MRL Jepang yang sama kebanyakan adalah
setara atau lebih longgar.
Tabel 6.3 Batasan MRL bahan kimia agrikultur pada kategori “otehr
spices, dried”
Bahan kimia MRL (ppm)
Dichlorvos dan Naled
0.1
Disulfoton 0.05 Permethrin 0.05 Vinclozolin 0.05
Sumber: Teh Japan Food Chemical Research Foundation
Dari berbagai batasan untuk ekspor ke UE dan Jepang maka SNI untuk teh
hitam perlu ditingkatkan. Peningkatan SNI dapat mengacu pada standar
internasional untuk teh hitam yaitu ISO 3720:2011 Black tea - - Definition and basic
requirements; standar ini dikembangkan oleh ISO/TC 34/SC8 – Tea dimana
Indonesia (melalui BSN) menjadi Participating (P) members. Standar ini
sebagaimana telah diapaparkan diatas juga telah diacu oleh UE. ISO 3720:2011
mengatur berbagai hal yang seperti ditampilkan pada Tabel X, yang bila diidentifikasi
masih terdapat gap bila dibandimgkan dengan hal yang dipersyaratkan oleh UE dan
Jepang. Namun demikian dengan tahun terbit SNI Teh hitam yang telah lama maka
revisi dengan mengacu kepada ISO tentu akan menambah kemungkinan
keberterimaan ke pasar global, terutama untuk UE dan Jepang.
Tabel 6.4 Kutipan beberapa persyaratan dalam ISO 3720:2011 Black tea
Parameter Batasan
Water extract (%) Min. 32 Total ash (%) 4 – 8 Water soluble ash (%)
45
Alkalinity of total ash (%)
1 – 3
Acid soluble ash (%)
Maks. 1,0
Crude fiber (%) Maks. 16,5
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 72
Total polyphenol (%)
Min. 9
Sumber: Nimal Punyasiri, Tea Research Institute of Sri Lanka
6.1.2. Produk kopi
SNI untuk produk olahan kopi
Berdasarkan penelusuran pada sistem informasi SNI (sisni), ditemukan
beberapa SNI untuk produk olahan kopi yang ditampilkan dalam Tabel X dan
kumpulan ekstrak persyaratan mutunya diberikan pada Lampiran X.
Tabel 6.5. Daftar SNI terkait produk kopi dan turunannya
No. No. SNI Judul (Ind) Judul (Eng) 1 SNI 01-3542-
2004 Kopi bubuk Coffee
2 SNI 01-2983-1992 / SNI 2983:2014
Kopi instan Instant coffee
3 SNI 01-4446-1998
Kopi mix Coffee mix
4 SNI 01-4282-1996
Kopi celup Coffee bag
5 SNI 01-4314-1996
Minuman kopi dalam kemasan
Coffee drinks in package
6 SNI 7708:2011 Kopi gula krimer dalam kemasan
Coffee creamer sugar in packaging
7 SNI 6685:2009 Kopi susu gula dalam kemasan
Coffee sugar milk in sachets
Sumber: sisni.bsn.go.id (diolah)
Sebagai penjelasan untuk produk-produk tersebut, kutipan definisi yang diambil
dari SNI-nya dalah sebagai berikut:
(1) Kopi bubuk adalah biji kopi yang disangrai (roasted) kemudian digiling,
dengan atau tanpa penambahan bahan lain dalam kadar tertentu tanpa
mengurangi rasa dan aromanya serta tidak membahayakan kesehatan.
(2) Kopi instan adalah produk kering yang mudah larut dalam air, diperoleh
seluruhnya dengan cara mengekstrak biji tanaman kopi (Coffee Sp.)
yang telah disangrai, hanya dengan menggunakan air.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 73
(3) Kopi mix adalah produk berbentuk serbuk, mudah larut dalam air, yang
diperoleh dari campuran kopi dengan atau tanpa bahan tambahan
makanan lain yang diizinkan.
(4) Kopi celup adalah kopi bubuk hasil dari biji kopi yang disangrai
(roasted) kemudian digiling, dengan atau tanpa penambahan bahan lain
dalam kadar tertentu yang tidak membahayakan kesehatan , dan
dikemas dalam kantong khusus untuk dicelup.
(5) Minuman kopi dalam kemasan adalah minuman yang dibuat dari
campuran ekstrak kopi dan air minum dengan atau tanpa penambahan
bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan,
dikemas secara hermetik.
(6) Kopi gula krimer dalam kemasan adalah produk berbentuk bubuk,
yang terdiri dari campuran kopi bubuk dan atau kopi instan, gula serta
krimer, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan
tambahan pangan yang diizinkan dan dikemas secara kedap
(7) Kopi susu gula dalam kemasan adalah produk berbentuk bubuk, yang
terdiri dari campuran kopi instan, gula putih serta susu dan derivasinya
dengan atau tanpa bahan tambahan pangan lain yang diizinkan dan
dikemas secara hermetis.
Standar dan regulasi produk kopi di Uni Eropa
Dijelaskan dari sumber CBI Ministry of Foreign Affairs of Teh Netehrlands
tentang, produk kopi untuk dapat dipasarkan di Uni-Eropa harus memenuhi
persyaratan legal wajib yang diatur pemerintah dan memenuhi persyaratan
tambahan dari pembeli/pengimpor. Daftar persyaratan legal wajib ini dapat
dilihat pada Tabel 6, dan yang menjadi hal paling utama adalah terkait Regulasi
Umum Pangan (General Food Law, Regulation EC 178/2002) dan kontaminan
dalam pangan (Contaminants in Food, Regulation EC 1881/2006). Sebagai
catatan, persyaratan legal wajib dapat berbeda antara satu negara dan negara
lainnya.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 74
Tabel 6.6 Regulasi dan jenis Persyaratan Produk Kopi di Uni Eropa
Jenis persyaratan Sumber peraturan Penjelasan
Kontaminan dalam
pangan
Regulation (EC)
1881/2006
-
Regulasi umum
pangan
Regulation (EC)
178/2002
Regulasi Umum Pangan adalah
kerangka kerja utama yang
mengatur pangan di Uni Eropa.
Regulasi ini mencakup pula
persyaratan ketertelusuran
sumber pangan, mengatur kasus
temuan ketidaksesuaian untuk
produk pangan yang disampaikan
dalam European Rapid Alert
System for Food (and Feed)
Products (RASFF) sebagai alat
untuk pertukaran informasi di
kawasan UE.
Material kontak
dengan pangan
Regulation (EC)
1935/2004
Directive
84/500/EEC
Directive
2007/42/EEC
Directive 2002/72
EC
Regulation (EC)
282/2008
Regulation (EC)
372/2007
Directive
78/142/EEC
Directive 93/11/EEC
Regulation (EC)
1895/2005
Directive
2008/39/EC
Aturan untuk bahan kontak
dengan makanan adalah untuk
mencegah perubahan yang tidak
dapat diterima dalam komposisi
bahan makanan dan untuk
melindungi kesehatan
Kontrol pangan Regulation (EC)
882/2004
Regulation (EC)
Semua produk pangan yang
masuk ke kawasan Uni Eropa
tunduk pada kontrol resmi untuk
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 75
Jenis persyaratan Sumber peraturan Penjelasan
669/2009 memeriksa apakah produk sesuai
dengan regulasi yang relevan
terkait pangan. Dengan aturan
ini, beberapa produk tertentu
dapat dikenakan tingkat kontrol
yang lebih ketat
Pelabelan pangan Directive
2000/13/EC
Directive 90/496/EC
Regulation
1924/2006/EC
Directive
2005/26/EC
Directive
2007/68/EC
Menjelaskan persyaratan yang
berkaitan dengan label gizi,
kandungan dan alergen.
Good
manufacturing
practice (GMP)
Regulation (EC)
2023/2006
GMP tidak berlaku langsung
untuk produsen diluar Uni Eropa.
Namun, dapat saja berlaku
karena tuntutan pembeli untuk
penerapan sistem mutu
Hygiene of
foodstuffs (HACCP)
Regulation (EC)
852/2004
hygiene of foodstuffs (HACCP)
mengikat secara hukum untuk
pihak pemroses pangan dan
direkomendasikan untuk petani
Maximum Residue
Levels (MRLs) dari
pestisida
Regulation (EC)
396/2005
Regulation (EC)
178/2006
Regulation (EC)
149/2008
-
Kontaminan
mikrobiologi
Regulation (EC)
2073/2005
-
Produksi pangan
organik dan
pelabelannya
Regulation (EC)
834/2007
Regulation (EC)
889/2008
Regulation (EC)
persyaratan produksi dan
pelabelan yang harus dipenuhi
apabila produk diklaim
merupakan produk organik
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 76
Jenis persyaratan Sumber peraturan Penjelasan
1235/2008
Sumber: CBI Ministry of Foreign Affairs of Teh Netehrlands, Compliance with EU
buyer requirements for coffee
Terkait kontaminan yang diatur dalam Regulation (EC) 1881/2006, maka
untuk produk kopi instan hanya terdapat persyaratan batasan Ochratoxin A
sebesar 10,0 mg/kg dan tidak diidentifikasi batasan untuk kontaminan lain
seperti logam berat. Sedangkan untuk Maximum Residue Level (MRL) produk
kopi berdasarkan annex didalam Regulation (EC) 149/2008 dan edaran
International Coffee Organization (ICC) No. 110-3 Rev.2 tertanggal 25 Februari
2013, dari kedua sumber tersebut dapat diketahui bahwa walaupun terdapat
ratusan pestisida yang residunya diatur untuk produk kopi di UE, lebih banyak
daripada yang diatur di Codex yaitu 29 jenis pestisida untuk biji kopi dan yang
hanya sebanyak satu jenis pestisida untuk roasted coffee beans yaitu
Cyprocronazole, hal tersebut hanya berlaku untuk produk biji kopi. Pada
batasan mikrobiologi berdasarkan Regulation (EC) 2073/2005, juga tidak
ditemukan batasan untuk produk kopi.
Untuk persyaratan tambahan, hal tersebut ditambahkan oleh pembeli atau
pihak pengimpor karena mereka dapat saja menambahkannya setelah
persyaratan minimum legal wajib dipenuhi. Persyaratan tambahan ini biasanya
terkait lingkungan dan sosial, antara lain seperti Fair Trade, UTZ dan
Rainforest Alliance. Fair Trade adalah adalah gerakan sosial yang tujuannya
membantu produsen di negara-negara berkembang mencapai kondisi
perdagangan yang lebih baik dan dengan demikian mendukung perdagangan
yang keberlanjutan; dengan penerapan standar Fair Trade maka eksportir
mendapatkan pembayaran harga yang lebih tinggi. UTZ Certified adalah
program yang dan label untuk pertanian berkelanjutan; sertifikasi UTZ
mencakup praktik pertanian yang baik (Good Agicultural Practice, GAP),
manajemen pertanian, kondisi sosial dan kehidupan, serta lingkungan.
Sedangkan Rainforest Alliance adalah sertifikasi yang dimaksudkan untuk
melestarikan keanekaragaman hayati dan menjamin penghidupan yang
berkelanjutan dengan mengubah praktek penggunaan lahan, praktek bisnis
dan perilaku konsumen (Wikipedia).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 77
Sesuai paparan diatas, maka SNI dapat digunakan sebagai alat
pendukung untuk produk olahan kopi dalam melakukan akses pasar UE namun
masih diperlukan penambahan hal-hal lain sesuai daftar peraturan legal wajib
yang berlaku dan permintaan tambahan yang biasanya diminta pembeli yang
memang merupakan pemberi nilai tambah, alat diferensiasi dan biasanya
didorong juga karena permintaan pasar atau konsumen akhir. Persyaratan
terkait kontaminan bila dibandingkan dengan SNI, maka SNI sudah baik namun
perlu penambahan pemeriksaan kandungan kontaminan Ochratoxin A. Aturan
mikrobiologi telah diatur dalam SNI namun tidak teridentifikasi dalam regulasi
European commission sehingga menjadi gap positif, sedangkan aturan batasan
MRL untuk UE sebenarnya cukup sulit karena lebih ketat dari batasan Codex
dimana Indonesia menjadi anggota aktifnya, namun beruntung peraturan
tersebut tidak menjadikan produk olahan kopi sebagai produk yang diatur.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 78
6.1.3. Produk mainan
SNI untuk produk mainan
Saat ini di Indonesia SNI untuk mainan telah diberlakukan wajib
oleh Kementerian Perindustrian dengan Per.Men No. 24/M-
IND/PER/4/2013 yang kemudian direvisi dengan Per.Men No. 55/M-
IND/PER/11/2013. SNI yang diberlakukan wajib terdapat 5 buah seperti
yang terdapat pada Tabel 3; dan turut pula ditetapkan disana sebagian
parameter pada standar EN 71-5 untuk uji ftalat dan SNI 7617:2010 untuk
uji azo dan formaldehida. Produk mainan yang diatur ditetapkan pula
didalam Peraturan Menteri tersebut, yang menyangkut 12 jenis sesuai
Tabel 6.7.
Tabel 6.7. Daftar SNI terkait produk mainan dan turunannya
No. No. SNI Judul (Ind) Judul (Eng)
1 SNI ISO 8124-1:2010
Keamanan mainan – Bagian 1: Aspek keamanan yang berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis
Safety of toys – part 1: safety aspects related to mechanical and physical properties
2 SNI ISO 8124-2:2010
Keamanan mainan – Bagian 2: Sifat mudah terbakar
Safety of toys – part 2: Flammability
3 SNI ISO 8124-3:2010
Keamanan mainan – Bagian 3: Migrasi unsur tertentu
Toy safety – Part 3: Migration of certain elements (ISO 8124-3:1997, IDT)
4 SNI ISO 8124-4:2010
Keamanan mainan – Bagian 4: Ayunan, seluncuran dan mainan aktivitas sejenis untuk pemakaian di dalam dan di luar lingkungan tempat tinggal
Safety of toys – Part 4: Swings, slides and similar activity toys for indoor and outdoor family domestic use (ISO 8124-4:2010,IDT)
5 SNI IEC 62115:2011
Mainan elektrik – Keamanan
Electric toys – Safety
6 EN 71-5 Untuk pengujian phtalat
Safety of toys – Part 5: Chemical toys (sets) otehr than experimental sets
7 SNI 7617:2010 Untuk pengujian non azo dan formaldehida
Tekstil - Persyaratan zat warna azo, kadar
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 79
Tabel 6.7. Daftar SNI terkait produk mainan dan turunannya
No. No. SNI Judul (Ind) Judul (Eng)
formaldehida dan kadar logam terekstraksi pada kain
Sumber: Per.Men No. 24/M-IND/PER/4/2013 dan sisni.bsn.go.id (diolah)
Tabel 6.8 HS mainan yang diatur dalam Peraturan Menteri
No Jenis Mainan Kode HS
1 Baby Walker dari logam Ex. 9403.20.90.00
Baby Walker dari plastik 9403.70.10.00
2 Sepeda roda tiga, skuter, mobil berpedal dan mainan beroda semacam itu; kereta boneka.
9503.00.10.00
3 Boneka; bagian dan aksesorinya 9503.00.21.00 9503.00.22.00 9503.00.29.00
4 Kereta elektrik, termasuk rel, tanda dan aksesoris lainnya
9503.00.30.00
5
Perabot rakitan model yang diperkecil ("skala") dan model rekreasi semacam itu dapat digerakkan atau tidak
9503.00.40.10 9503.00.40.90
6 Perangkat konstruksi dan mainan konstruksional lainnya dari bahan selain plastik.
9503.00.50.00
7 Stuffed toy menyerupai binatang atau selain manusia
9503.00.60.00
8 Puzzle dari segala jenis 9503.00.70.00
9
Blok atau potongan angka, huruf atau binatang; perangkat penyusun kata; perangkat penyusun dan pengucap kata; toy printing set; counting frame, mainan (abaci); mesin jahit mainan; mesin tik mainan
9503.00.91.00
10 Tali lompat 9503.00.92.00
11 Kelereng 9503.00.93.00
12
Mainan lainnya selain sebagaimana yang disebut pada angka 2 sampai dengan 11 terbuat dari semua jenis material baik dioperasikan secara elektrik maupun tidak.
9503.00.99.00
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 80
'- Balon, pelampung renang untuk anak atau mainan. '- Senapan/pistol mainan '- Mainan lain
Sumber: Per.Men No. 24/M-IND/PER/4/2013
Tujuan dari pemberlakuan wajib SNI mainan adalah untuk
meningkatkan daya saing industri nasional dan menjamin mutu hasil
industri, melindungi konsumen atas keselamatan, keamanan, dan
kesehatan khususnya pada bayi dan anak, serta menciptakan persaingan
usaha yang sehat dan adil.
Standar dan regulasi produk mainan di Uni-Eropa
Pembahasan gap atau perbedaan antara SNI terkait mainan
anak dan standar yang berlaku di Uni-Eropa berdasarkan informasi
yang didapatkan dari berbagai sumber, antara lain: (1) website
International Council for Toy Industries (ICTI); (2) website Intertek;
(3) Global Toy Safety Standards Manual, dari TUV Rheinlad Group;
dan (4) Guide to International Toy Safety Requirement, dari
Underwriter Laboratories (UL).
Mainan wajib memiliki CE Marking agar dapat beredar di Uni-
Eropa (UE). Regulasi yang mengaturnya adalah Teh Toy Safety
Directive. Dijelaskan dalam website European Commission, Toy
Safety Directive dimaksudkan untuk memastikan keamanan
maksimum bagi anak-anak dapat dicapai dan untuk
mengharmoniskan peraturan yang mengatur penjualan mainan
didalam internal kawasan UE. Directive terbaru bernomor
2009/48/EC berlaku sejak 20 Juli 2011 kecuali ketentuan terkait
kimianya yang berlaku penuh 2 tahun kemudian pada tahun 2013;
directive ini menggantikan yang lama bernomor 88/378/EEC.
Menambahkan informasi dari ICTI, macam peraturan dan regulasi
terkait mainan agar dapat masuk kedalam kawasan EU ini cukup
banyak, hingga mencapai 27 buah (diberikan dalam lampiran B).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 81
Berbeda dengan regulasi di Indonesia yang penentuan
sebuah produk masuk kedalam kategori mainan atau bukan sangat
tergantung pada golongan HS-nya, Directive 2009/48/EC
mendefinisikan mainan sebagai “any product or material designed or
intended, whetehr or not exclusively, for use in play by children under
14 years of age”. Kalimat ‘wetehr ir not exclusively’ menyatakan
bahwa produk yang penggunaanya dapat lebih dari satu dapat saja
dianggap sebagai mainan; contohnya apabila sebuah gantungan
kunci memiliki bentuk boneka dan dapat dimainkan, maka gantungan
kunci tersebut dapat dikategorikan sebagai mainan. Kalimat lain
terkait adalah perubahan dari “clearly intended…for use in play”
menjadi hanya “intended…for use in play”; hal ini berarti mendukung
konsep bahwa pendugaan yang beralasan akan kemungkinan
penggunaan sebuah produk sebagai mainan lebih dimenangkan dari
pada tujuan penggunaan produk yang dideklarasikan oleh produsen.
TUV Rheinland dalam Global Toy Safety Standards Manual-
nya banyak memaparkan detail aturan terkait kimiawi pada Directive
baru 2009/48/EC. Disebutkan bahwa Toy safety directive yang baru
memiliki aturan terkait kimiawi lebih ketat dan melingkupi lebih
banyak produk. Restriksi kimia lebih ketat tersebut antara lain berupa
peningkatan jumlah elemen logam berat yang diatur menjadi 19
macam, daripada sebelumnya yang hanya 8 macam (perbandingan
diberikan pada Lampiran C). Kemudian terdapat peraturan untuk
migrasi N-nitrosamines dan N-nitrosatable, dan juga pelarangan
untuk 55 jenis wewanginan yang dapat memicu reaksi alergi.
Determinasi substansi N-nitrosamines dan N-nitrosatable
untuk mainan diatur dalam EN 71-12; dengan pengaturan
dimaksudkan bagi mainan yang dimainkan anak berumur dibawah 3
tahun atau mainan dan bagian dari mainan yang dimaksudkan untuk
ditaruh di mulut; batasannya adalah seseuai Tabel 6.9. Kemudian,
mainan juga harus memenuhi regulasi umum UE terkait kimia
termasuk Registrastion, Evaluation, Authorisation and Restriction of
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 82
Chemicals (REACH). Untuk batasan ftalat sendiri aturan Indonesia
sesuai REACH Annex XVII (Teh Previous 2005/84/EC) yaitu sebesar
< 0,1%.
Tabel 6.9 Batasan N-nitrosamines dan N-nitrosatable
sesuai EN 71-12
Sumber: TUV Rheinland
Selanjutnya, setelah persyaratan kandungan logam berat dan
kimia lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya, standar baru
EN 71-9 ditambahkan dalam rangkaian penerapan toy safety
directive baru. Standar ini menyangkut persyaratan senyawa organik
dan digunakan bersama dengan EN 71-10 untuk preparasi sampel
dan ekstraksinya, serta EN 71-11 untuk metode analisisnya. EN-71-9
dimaksudkan untuk mencegah adanya kemungkinan bahaya yang
diakibatkan senyawa organik didalam mainan antara lain seperti
kanker, mutasi organik, kerusakan pada sistem reproduksi. EN 71-9
dengan jelas mendefinisikan kandungan dan migrasi senyawa
berbahaya seperti diberikan pada lampiran D, yang diklasifikasikan
berdasarkan beberapa macam kemungkinan cara paparan, yaitu:
dengan jilatan (lick), tertelan (swallow), kontak kulit (skin contact),
kontak mata (eye contact) dan hirupan (inhale). Dengan demikian
diharapkan dalam penggunaan mainan secara normal, pemberian
perhatian yang lebih harus diberikan pada perilaku anak, serta
pembuatan desain dan fungsi mainan.
Selanjutnya terkait uji fisis dan mekanis, maka perbedaan
antara standar internasional yang diacu SNI dan EN 71-1 ditampilkan
dalam Tabel 6.10.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 83
Tabel 6.109 Perbandingan klausul pengujian standar internasional*
dan standar EN 71-1
Pengujian Internasional* UE Analisis
gap
Torque force 0.45 Nm/10s 0.34 Nm/10s +
Tensile force 70 N/10s Largest accessible
dimension
> 6mm, 90N. 50N for
otehrs.
For protective
component,
60N
NE
Compression 114N/10s (for under 36
months), 136N/10s (for
children 36 months –
96 months)
110 N/10s
+
Drop At a height of 138cm,
10 times (for children
under 18months); At a
height of 93cm, 4 times
(for children
18months – 96 months).
At a height of 850mm, 5
times
+
Tip over Pushing teh toy slowly
past its center of
balance, 3 times
Apply a force not
greater than 120N, 3
times tip over
NE
Impact Test
for Toys
Covering teh
Face
A steel ball with a
diameter 16mm and
weight of 15g, fall from
a height of 130cm
For rigid materials, a
round
piece with a diameter of
80mm, and a weight of
1 kg,
at a height of 100mm, 1
-
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 84
Pengujian Internasional* UE Analisis
gap
time
impact - A round piece with a
diameter
of 80mm, and a weight
of
1 kg, at a height of
100mm,
1 time
-
flexure Bend teh wire or rod 30
cycles at a rate of 1
cycle/2s, with a 60s rest
period after 10 cycles.
Two 120o arc bends
shall constitute one
cycle
Twist 120 degrees, a
circle includes 2 times
and costs 2 seconds;
30 times for wires
intended to bent, 1 time
for wires not designed
and intended to be bent
but likely to
occasionally or
accidentally be bent;
stop for 60 seconds
after 10 times
(precondition:70N can
twist 60 degrees)
0
Dynamic
strength
According to teh test
age, a driving toy
carrying correspondent
load impacts a
nonflexible step (50mm
height) with 2m/s; 3
times
According to teh test
age, load teh toy 25kg
for children under 3;
and 50kg for children
over 3. Impacts a
nonflexible step (50mm
height) with 2m/s; 3
times
0
Static
strenght
35kg for children up to
and including 36
months. 80kg for
1) Ordinary Toy: under
3, 25 kg; above 3 years
old, 50kg; scooter:
+
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 85
Pengujian Internasional* UE Analisis
gap
children from and
including 37 to 96
months. 140kg for
children 97 months or
more
a) suitable to a child’s
weight ≤ 20kg; 50 kg;
b) otehr scooter; 100
kg;
c) teh principle and
assistant devices of teh
handle are locked at teh
same time: teh middle
suspending part 50 kg x
2
Only teh assistant lock
is working as a device.
bottom up teh scooter,
and lock both teh
principle and assistant
devices; 25 kg x 2
Sideways
stability test
A tilt platform of 10
degrees (free legs for
stabilization) or 15
degrees (not free feet
for stabilization),
bearing 25kg for
children under 3 years,
50kg for otehrs
For toys intended for
children of 36 months
and over, if foot can
support teh seat without
any limitation to teh
sideways, teh sides
stability can be
exempted. A tilt
platform of 10 degrees,
bearing 25kg for
children under 3 years,
50kg for otehrs
0
Front-rear
stability test
A tilt platform of 15
degrees, bearing 25kg
for children under 3
years, 50kg for otehrs
A tilt platform of 10
degrees, bearing 25kg
for children under 3
years, 50kg for otehrs
+
Sumber: www.tuv.comKeterangan: (+) SNI lebih tinggi, (-) SNI lebih
rendah, (0) setara, (NE) Not Equal
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 86
(*) standar internasional dianggap sebagai acuan yang mendekati SNI. Standar internasional dimaksud yang digunakan adalah yang telah diadopsi oleh Australia
Walaupun perbandingan persyaratan uji fisik dan mekanis
menunjukkan kemiripan dan cenderung lebih unggul standar
internasional ISO dibandingkan acuan EN 71-1, dapat disimpulkan
bahwa masifnya persyaratan kimiawi dalam Toy Safety Directive
yang baru, 2009/48/EC, menjadi kendala terbesar untuk ekspor
produk mainan Indonesia ke Uni-Eropa. Regulasi di Indonesia yang
mengacu kepada standar internasional baru mengatur 8 jenis logam
berat dibandingkan 19 macam logam berat yang diatur dalam EU
directive; Indonesia juga tidak mengatur migrasi N-nitrosamines dan
N-nitrosatable; 55 jenis wewanginan yang dapat memicu reaksi
alergi juga belum disentuh oleh regulasi dalam negeri.
Lebih jauh, perlu diwaspadai juga terkait interpretasi yang
diperluas dari definisi mainan dalam directive toy safety yang baru.
Definisi tersebut dapat mengakibatkan penolakan pada produk
serupa mainan karena sebuah produk yang pada awalnya menurut
penggolongan kode HS-nya tidak termasuk mainan menurut
deklarasi pelaku ekspor ternyata apabila dinilai ‘dapat saja dimainkan
oleh anak’ maka produk tersebut dapat dikategorikan sebagai
mainan.
6.2. Analisis Kesesuaian Standar (Standard Compliance Analysis):
Analisis Penolakan Ekspor, Estimasi Kehilangan Ekspor, Kualitas
Infrastruktur
Salah satu tujuan utama dari penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI)
adalah untuk melindungi pasar dalam negeri dari produk – produk impor
yang tidak sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan yang
berpotensi dapat merugikan konsumen dalam negeri. Selain itu, SNI juga
berfungsi untuk meningkatkan daya saing produk lokal dari produk –
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 87
produk impor, karena melalui penerapan SNI, pelaku usaha terdorong
untuk menghasilkan produk berkualitas yang sesuai dengan standar
keamanan dan keselamatan yang berlaku.
Namun demikian, meskipun tujuan utama dari penerapan SNI adalah
untuk melindungi pasar dalam negeri, tidak menutup kemungkinan bahwa
penerapan SNI di dalam negeri juga dapat bermanfaat bagi pelaku usaha
yang melakukan ekspor, dikarenakan beberapa parameter yang
tercantum di dalam SNI mengacu pada standar internasional sehingga
bagi pelaku usaha yang sudah menerapkan SNI akan lebih mudah untuk
menyesuaikan dengan standar internasional yang diterapkan di negara
tujuan ekspor.
Tabel 6.11 Analisis Kesesuaian Standar untuk Teh
Varian produk Teh hitam, teh hijau
Komposisi bahan baku bahan baku 100% lokal. Produksi 70% diekspor,
sisanya
dipasarkan lokal (untuk Sariwangi, Unilever)
Kasus penolakan
(rejection)/komplain terkait ketidaksesuaian standar
Jenis produk: teh hitam (sekitar tahun 2005)
dengan nilai: 0,5% dari nilai ekspor. Alasan penolakan: terkaitmutu, daun yang tidak melebar
saat diseduh (bentuk daun). Penolakan dilakukan
oleh pihak importir. Standar yang digunakan:
acuannya merupakan konsensus importir
mengenai bentuk daun teh saat diseduh
Permasalahan (kelengkapan
dokumen ekspor dan permasalahan
pengiriman/shipment)
Pernah ada masalah, kemasan rusak, kadar kimia
tinggi
Tindakan yang dilakukan perusahaan
dengan adanya penolakan/komplain
Mengganti biaya fumigasi; Daun yang tidak
melebar sesuai keinginan pembeli tsb disebabkan
tingkat kelembaban yang bervariasi saat produksi
teh dan tidak mempengaruhi kualitas mutu teh,
sehingga yang dilakukan perusahaan adalah
memperbaiki proses seleksi teh yang diekspor
berikutnya.
Potensi kerugian ekonomi (atau tidak
memenuhi standar yang diinginkan)
Komplain tidak berakibat pada penolakan (ekspor
tersebut tidak ditolak atau pun dikembalikan,
sehingga tidak merugikan perusahaan).
Kualitas dan kapasitas dari
infrastruktur pendukung pelaksanaan
SNI/standar lainnya (SDM, alat uji, akreditasi, teknologi)
Internal perusahaan: Lab memiliki sendiri,
kualitas sudah cukup bagus, sudah memperoleh
ISO 9002, Perusahaan memiliki lab internal sendiri, terutama tempat penampungan yang
higienis dan cangkir uji.
Eksternal perusahaan: Biaya berluktuasi, Lab
eksternal merujuk ke lab di luar negeri yang
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 88
memiliki lab uji untuk kontaminan dan cemaran
kimia
Langkah yang dilakukan bila ada
kendala dalam quality infrastructure
di perusahaan
Merawat mesin dengan baik, ada sertifikasi UTZ,
Rainforest Allianze dsb, tetapi tidak bisa
diterapkan di semua pabrik karena
mengakomodir teh dari petani mitra yang
kualitasnya tidak seragam. Namun untuk teh yang
diekspor, tidak ada kendala dalam quality
infrastructure karena hanya teh yang berasal dari
pabrik
yang tersertifikasi yang diekspor.
Harapan dari perusahaan terhadap pemerintah? (untuk perbaikan)
Kondisi pelabuhan masih kurang, Pemerintah harus mengedukasi masyarakat untuk mencintai
produk dalam negeri, perbaikan harga teh,
mekanisme lelang perlu campur
tangan pemerintah, upgrade SNI . Langkah lain
adalah: 1. SDM penguji perlu disertifikasi 2. Jika
SNI teh akan diberlakukan secara wajib, maka
perlu diperhatikan bahwa teh memiliki 19 grade,
jadi apakah SNI akan ditetapkan untuk semua
grade 3? Yang perlu diberlakukan secara wajib
SNI-nya segera adalah teh hijau. 4. Untuk
spesifikasi teknis teh, sebaiknya merujuk ke
standard Uni Eropa
Tabel 6.12: Analisis Kesesuaian Standar untuk Kopi
Varian produk Green bean, kopi instan, Roasted bean, green
bean, rempah, Kopi instan 3 in 1
Komposisi bahan baku
90% lokal
Kasus penolakan
(rejection)/komplain terkait
ketidaksesuaian standar yang
dilakukan oleh
pengekspor/perusahaan di dalam negeri
Jenis Green bean, Coffee bean. Tahun: 2013.
Dengan nilai: USD 600, satu kontainer. Alasan
penolakan: kadar air tidak sesuai, kemasan rusak,
kadar fumigasi tinggi. Yang melakukan
penolakan: pembeli, perusahaan dengan standar FDA, standar Jepang
Permasalahan dalam proses ekspor-
impor
(kelengkapan dokumen ekspor dan
permasalahan pengiriman/shipment)
Ada karantina negara tujuan, fumigasi produk
organik, inefisiensi pengurusan izin.
Tindakan yang dilakukan perusahaan
untuk mengatasi penolakan/komplain
Mengembalikan uang senilai barang yang rusak,
mengganti produk, menurunkan harga jual
Potensi kerugian ekonomi karena
tidak memenuhi standar yang diinginkan
Harga turun
Kualitas dan kapasitas dari Internal perusahaan: sudah memiliki infrastruktur
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 89
infrastruktur pendukung pelaksanaan
SNI/standar lainnya (SDM, alat uji,
akreditasi, teknologi)
dan lab yang bagus, Lab uji Iso 17025.
Eksternal perusahaan: sudah ada ISO, Lab
pembeli, melakukan tes kimia di Jepang
Langkah yang dilakukan bila
terdapat kendala dalam quality
infrastructure di perusahaan
Tidak ada kendala. Penerapan ISO terus
dievaluasi
Harapan dari perusahaan terhadap
pemerintah (untuk perbaikan)
Infrastruktur pelabuhan dan jalan harus
ditingkatkan, mengurangi impor, pelayanan harus
lebih cepat, menyederhanakan proses karantinan
(fumigasi khussus untuk kopi organic. Perlu
dikaji kembali terkait penerapan SNI wajib
terhadap produk HS tertentu, perlu ada pengecualian untuk bahan baku (tidak
diberlakukan secara general).
Tabel 6.13: Analisis Kesesuaian Standar untuk Mainan Anak
Varian produk Baby Walker, Sepeda Roda Tiga, Stroller,
Puzzle
Komposisi bahan baku
Pelaku adalah pengusaha lokal, dengan bahan
baku impor sebesar 50%
Kasus penolakan
(rejection)/komplain
Rolling Elephant, 2013, tanpa uji
Permasalahan dalam proses
ekspor-impor (kelengkapan
dokumen ekspor
dan permasalahan
pengiriman/shipment
masalah impor karantina, dokumen palsu, HS
Code tidak diterima, adanya pengurusan
dengan calo
Tindakan yang dilakukan
perusahaan untuk mengatasi
penolakan/komplain?
Mengganti dengan unit baru
Harapan dari perusahaan terhadap
pemerintah? (untuk perbaikan)
Waktu penerapan SNI, Mahalnya biaya
sertifikasi, perlu peningkatan dan
penambahan fasilitas LSPro dan lab uji,
pengurusan SNI yang lama. Perusahaan asing
di kawasan berikat (barang dari kawasan luar
daerah berikat tidak boleh
digabung dengan barang dari kawasan
berikat.
Hasil wawancara dengan beberapa pelaku usaha di beberapa daerah
tujuan penelitian menunjukkan bahwa bagi pelaku usaha yang melakukan
ekspor, standar yang diterapkan adalah standar yang berlaku di negara
tujuan, atau standar yang diminta oleh pembeli (buyer) di negara tujuan
ekspor. Pada umumnya, parameter yang ditetapkan di dalam standar
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 90
internasional lebih tinggi dibandingkan dengan parameter yang diterapkan
di dalam SNI. Oleh karena itu, pelaku usaha yang akan melakukan ekspor
harus melakukan penyesuaian dengan standar yang diterapkan oleh
pembeli di luar negeri.
Beberapa perusahaan pernah mengalami penolakan ekspor.
Sebagian besar penolakan disebabkan karena ketidaksesuaian dengan
standar di negara tujuan ekspor, seperti yang terjadi pada ekspor produk
teh, kopi kemasan dan mainan anak (Tabel 6.11, 6.12 dan 6.13).
Penolakan produk kopi yang diekspor terjadi karena kadar air yang
tidak sesuai dengan standar atau kadar fumigasi dan kadar kandungan
zat kimia yang tinggi melebihi batas standar yang ditetapkan di negara
tujuan. Alasan lain dari penolakan ekspor adalah karena kemasan rusak
yang terjadi selama perjalanan dari negara asal ke negara tujuan ekspor.
Kerugian yang diakibatkan dari penolakan ekspor bervariasi
tergantung dari penyebab penolakan serta respon dari buyer. Beberapa
pelaku usaha mengganti produk yang tidak sesuai standar dengan produk
yang baru yang sudah disesuaikan dengan standar buyer, sementara itu
beberapa pelaku usaha lainnya mengembalikan uang sesuai dengan
barang yang rusak dan mengganti biaya fumigasi dan lain – lain. Namun,
ada juga beberapa pelaku usaha yang menurunkan harga jual produknya
dan menjualnya ke negara lain atau pembeli yang lain. Estimasi dari
kerugian sangat bervariasi tergantung dari nilai dan volume produk yang
dijual. Dari beberapa responden yang diwawancarai, estimasi kerugian
akibat penolakan ekspor ini bisa mencapai USD 600.
Secara umum, kualitas infrastruktur laboratorium uji standardisasi
untuk komoditi kopi dan teh, sudah cukup memadai, hanya untuk komoditi
mainan anak belum dapat dilakukan uji di dalam negeri, karena belum ada
laboratorium yang terakdreditasi oleh KAN. Untuk produk yang akan di
ekspor, laboratorium uji yang digunakan berbeda tergantung pada
permintaan dan kebutuhan dari buyer, meskipun beberapa perusahaan
yang diwawancarai sudah memiliki laboratorium uji yang cukup memadai.
Terdapat beberapa perusahaan yang melakukan uji produk di
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 91
laboratorium uji milik buyer di negara tujuan ekspor, atau di negara yang
ditunjuk oleh buyer. Seperti pada produk mainan anak yang akan di
ekspor ke Eropa, pengujian produk dilakukan di negara Hongkong.
Beberapa perusahaan mainan lainnya juga melakukan uji standardisasi di
Taiwan atau di Thailand, karena laboratorium uji di Indonesia belum
terakreditasi KAN.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 92
BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
I. Kesimpulan
1. Pengaruh SNI bagi penguatan pasar dalam negeri dan pengaruh
(tidak langsung) peningkatan ekspor
• Pilihan opsi yang diambil (penerapan SNI-wajib)
berdasarkan kriteria yang ada, secara umum, mempunyai
manfaat (peningkatan penjualan, akses pasar dan product
image) yang lebih besar; di samping adanya biaya yang
muncul (biaya sertifikasi dan pemenuhan standar yang
dianggap masih mahal). Berdasarkan opsi ini, SNI Wajib
mampu memberikan perlindungan terhadap pasar dalam
negeri.
• Pilihan opsi yang diambil (penerapan standar tujuan ekspor)
mempunyai manfaat (peningkatan penjualan, akses pasar dan
product image) yang lebih besar; di samping adanya biaya
yang muncul (biaya sertifikasi dan pemenuhan standar).
2. Penerapan SNI wajib sebagai instrumen penguatan pasar dalam
negeri telah mampu membatasi peredaran produk impor
berkualitas rendah, namun masih belum mampu meningkatkan
daya saing produk lokal di dalam negeri. Kekurangmampuan ini
karena masih terdapat kendala dalam memperoleh SPPT-SNI,
antara lain: proses pengurusan yang lama, biaya pengurusan
yang relatif mahal, dan masa berlaku sertifikasi SNI yang pendek
(contoh masa berlaku SNI pada mainan anak hanya 6 bulan
sementara waktu pengurusan rata-rata 3 bulan, umumnya
pemberlakuan SNI produk lain berlaku 1 tahun).
3. SNI wajib tidak mendukung peningkatan ekspor secara langsung,
namun jika pelaku usaha sudah mampu memenuhi SNI wajib
maka mereka akan dengan mudah dapat memenuhi semua
persyaratan standar negara tujuan.
93
4. Secara umum ekspor produk teh hitam, kopi instan, dan mainan
anak sudah memenuhi standar negara tujuan. Proses pengujian
dilakukan dengan cara menguji sampel pada lab uji yang ditunjuk
oleh buyer luar negeri baik menggunakan lab uji di dalam negeri
maupun luar negeri, namun penerapan SNI baik dalam rangka
penguatan pasar dalam negeri maupun peningkatan daya saing
produk ekspor masih menghadapi beberapa kendala, antara lain:
a. Terdapat sejumlah produk yang dihasilkan oleh produsen
dalam negeri belum bisa diterima oleh pasar internasional
(negara tujuan). Penolakan untuk teh hitam karena masalah
kualitas daun; untuk kopi instan karena masalah kadar air,
residu fumigasi yang berlebihan dan kemasan yang rusak;
serta untuk mainan anak karena tidak adanya pengujian).
Adanya penolakan tersebut menunjukkan bahwa masih ada
kelemahan atau ketidakmampuan perusahaan/industri dalam
negeri dalam memenuhi standar negara tujuan.
b. Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung (infrastruktur
lembaga penilai kesesuaian), kemauan dan kemampuan
perusahaan/industri belum mendukung secara penuh
pemberlakuan SNI secara wajib.
5. Berdasarkan penilaian kesesuaian dan ketidaksesuain antara SNI
dengan standar negara tujuan ekspor diperoleh beberapa
perbedaan yaitu:
a. Untuk produk teh hitam, SNI belum cukup untuk mendukung
akses pasar (UE), terkait dengan persyaratan mutu dalam SNI
yang hanya mengatur hal-hal terkait ukuran partikel, warna,
rasa, bau dan kenampakan. Sementara negara tujuan ekspor
lebih detil (aspek kimiawi, logam berat dan higienitas).
b. Untuk produk kopi, SNI dapat mendukung akses pasar (UE).
SNI sudah mengatur kontaminasi mikrobiologi yang tidak ada
pada standar EU, namun SNI perlu mengakomodasi adanya
penambahan pemeriksaan kontaminan.
94
c. Untuk produk mainan anak ada kesesuaian pada aspek uji fisik
dan mekanik. Namun masih perlu penyesuaian pada definisi
mainan anak dan kandungan logam berat.
II. Rekomendasi Kebijakan
Strategi peningkatan peranan SNI dalam upaya penguatan pasar
dalam negeri dan peningkatan ekspor dilakukan melalui langkah
operasional sebagai berikut:
a. Melakukan penyesuaian SNI dengan standar negara tujuan
ekspor dalam upaya meningkatkan akses pasar di luar negeri.
Sementara persyaratan lain yang sudah ada dalam SNI dan
bersifat unik (tidak ada dalam standar negara tujuan) tetap
dipertahankan. Penyesuaian dilakukan dengan cara
menyempurnakan standar teknis untuk:
1) SNI teh hitam harus memperhatikan masalah teknis terkait
aspek kimiawi, logam berat dan higienitas yang selama ini
belum masuk dalam klausul SNI teh hitam.
2) SNI kopi instant perlu mengakomodasi pemeriksaan
kontaminan.
3) SNI mainan anak perlu memperhatikan kandungan logam
berat dan mempertimbangkan penerapan SNI Wajib untuk
komponen penyusunnya.
b. Upgrading SNI dan pemberlakuan SNI Wajib perlu dilakukan.
Khusus untuk SNI teh hitam perlu direvisi mengingat standar
tersebut yang dibuat tahun 1995 kurang relevan dengan
perkembangan pasar. Selain itu, SNI teh hitam perlu didorong
untuk diberlakukan secara wajib dalam rangka meminimalisasi
peredaran produk teh hitam berkualitas rendah di pasar dalam
negeri.
95
c. Memperbaiki prosedur pengurusan sertifikasi yang dinilai oleh
pelaku usaha masih memberatkan dengan proses yang lama
dan masa berlaku sertifikasi SNI yang pendek.
d. Menambah jumlah lembaga penilaian kesesuaian yang merata
dan mudah diakses oleh pelaku usaha dalam mendukung
penerapan SNI wajib.
e. Melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya
SNI dalam mendukung penguatan pasar dalam negeri.
96
DAFTAR PUSTAKA
Babool, Md. Ashfaqul Islam. (2007). Teh Impact of Domestic Policies on
International Competitiveness. University of Kentucky Doctoral
Dissertations
Cao, Xun and Aseem Prakash. (2011). Growing Exports by Signaling
Product Quality: Trade Competition and teh Cross-National Diffusion
of ISO 9000 Quality Standards. Journal of Policy Analysis and
Management, Vol. 30, No. 1, 111–135 (2011)
CBI Ministry of Foreign Affairs of Teh Netehrlands, Compliance with EU
buyer requirements for coffee.
CBI Ministry of Foreign Affairs of Teh Netehrlands. (2015). CBI Product
Factsheet: Tea in Europe
CMA Testing and Certification Laboratories. New Japan Toy Safety
Standards: ST 2012.
http://www.cmatcl.com/ContentFiles/1111/Japan%20Toy%20Safety
%20Standards%20ST%202012%20v4.pdf (diakses 13 Juli 2015)
Codex Alimentarius. Pesticide Residues in Food and Feed, DT1114-Tea,
Green, Black (black fermented and dried) .
Codex Alimentarius. Pesticide Residues in Food and Feed, SB0716-
Coffee Beans.
http://www.codexalimantarius.net/pestres/data/commodities/details.ht
ml?id=240 (Diakses 22 Juli 2015)
Codex Alimentarius. Pesticide Residues in Food and Feed, SB0716-
Coffee Beans.
http://www.codexalimantarius.net/pestres/data/commodities/details.ht
ml (Diakses 22 Juli 2015)
Department of teh Taoiseach (2009). Revised Ria Guidelines: How To
Conduct A Regulatory Impact Analysis, Department of teh
Taoiseach, Government Buildings, Dublin. June 2009.
Economics.Henson,S., Masakure, O., Cranfield, J. (2011). Do Fresh
Produce Exporters in Sub-Saharan Africa Benefit from GolablGAP
Certification?. World Development Vol.39 No.3, pp 375-386.
EU Export Helpdesk. How to export coffee to teh European Union
97
European Commission, Enterprise and Industry. CE Marking for Teh Toy
Industry.
European Tea Committee. 2014. Compendium of Guidelines for Tea,
issue 3, 18 September 2014
FAO Inter Governmental Group on Tea. 2014. Implications of Maximum
Residue Levels on Tea on Trade
Henson, S. J. et al. (2002), Impact of sanitary and phytosanitary measures
on developing countries, Reading, UK, University of Reading,
Department of Agricultural and Food
Henson,S., Masakure, O., Boselie, D. (2005). Private Food Safety and
Quality Standards for Fresh Produce Exporters : Teh Case of Hortico
Agrisystem Zimbabwe. Food Policy 30, pp 371 – 384.
Herjanto, Eddy. (2011). Pemberlakuan SNI Secara Wajib di Sektor Industri
: Efektifitas dan Berbagai Aspek Dalam Penerapannya. Jurnal Riset
Industri Vol.5 No.2, pp 121 – 130.
http://www.codexalimantarius.net/pestres/data/commodities/details.ht
ml?id=101 (Diakses 22 Juli 2015)
http://www.iso.org/iso/home/standards_development/list_of_iso_technical_
committees/iso_technical_committee_participation.htm?commid=479
18 (Diakses 23 Juli 2015)
http://www.taoiseach.gov.ie/eng/Publications/Publications_Archive/P
ublications_2011/Revised_RIA_Guidelines_June_2009.pdf
Ignacio,Laura L. (2015). Implications of Standards and Technical
Regulations on Export Competitiveness. teh Agriculture and Rural
Development Department, World Bank.
Infomasi keanggotaan Indonesia dalam ISO/TC 34/SC 8 - Tea.
International Council of Toy Industries. Toy safety standards around teh
world. http://www.toy-icti.org/info/toysafetystandards.html (diakses 8
Juli 2015)
Intertek. Japan Toy Safety Standard ST2012.
http://www.intertek.com/sparkles/japan-toy-safety-standard-st-2012/
(diakses 13 Juli 2015)
Jaffe, S., Masakure, O. (2005). Strategic Use of Private Standards to
Enhance International Competitiveness : Vegetable Exports From
Kenya and Elsewhere. Food Policy 30, pp 316 – 333.
98
Jaffee, Steven and Spencer Henson. (2004). Standards and Agro-Food
Exports from Developing Countries: Rebalancing teh Debate. World
Bank Policy Research Working Paper 3348, June 2004
JETRO. 2009. Handbook for Agricultural and Fishery Products Import
Regulations
JETRO. 2011. Specifications and Standards for Foods, Food Additives,
etc. Under teh Food Sanitation Act (Abstracts) 2010
KADIN. (2012). Peningkatan Daya Saing Produksi Indistri Nasional
Melalui Penerapan SNI Wajib. Disampaikan pada Seminar
Perdagangan tanggal 9 Oktober 2012.
Koran SINDO. (2014). Daya Saing Industri Topang Ekonomi. Koran
SINDO
Maskus, K.E. (2005). Teh Cost of Compliance with Product Standards for
Firms in Developing Countries: An Econometric Study. World Bank
Policy Research Working Paper 3590, May 2005.
Mbaye, Ahmadou Aly and Adama Gueye. (2015). SPS standards and
international competitiveness in Africa: teh case of Senegal.
………………… Connecting to global markets
OECD. (2008). Introductory Handbook for Undertaking Regulatory Impact
Analysis (RIA), Version 1.0 October 2008. Organisation for Economic
Cooperation and Development. http://www.oecd.org/gov/regulatory-
policy/44789472.pdf
Punyasiri, Nimal. Tea Research Institute of Sri Lanka. Standards of Tea
for Ensuring Market Requirement.
http://www.tri.lk/userfiles/file/223_E&E/3_223_E&E_Presentation_Pu
nyasiri%282%29.pdf (diakses 23 Juli 2015)
Puska Daglu. (2014). Strategi Melipat-gandakan Ekspor Dalam Lima
Tahun Kedepan. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
Rabu, 17 Desember 2014. Diunduh pada tanggal 13 Februari 2014
dari http://www.koran-sindo.com/read/938328/150/daya-saing-
industri-topang-ekonomi-1418784262
99
Republika. (7 Juli 2014). Produk Impor tak Sesuai SNI Banyak Beredar.
Diunduh tanggal 8 Agustus 2015, dari
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/07/07/nr46qk-
produk-impor-tak-sesuai-sni-banyak-beredar
Sianesi, B. (2010). Introduction to Matching Method for Causal Inference
and Tehir Implementation in STATA. STATA Users’ Group Meeting,
Berlin 25 Juni 2010.
Sistem informasi SNI. www.sisni.bsn.go.id (diakses 9 juli 2015)
SNI 01-1898-2002, Teh wangi
SNI 01-1902-1995, Teh hitam
SNI 01-2983-1992, Kopi instan
SNI 01-3542-2004, Kopi bubuk
SNI 01-3753-1995, Teh hitam celup
SNI 01-3836-2000, Teh kering dalam kemasan
SNI 01-3945-1995, Teh hijau
SNI 01-4282-1996, Kopi celup
SNI 01-4314-1996, Minuman kopi dalam kemasan
SNI 01-4324-1996, Teh hijau celup
SNI 01-4446-1998, Kopi mix
SNI 01-4453-1998, Teh hijau bubuk
SNI 01-6685-2002, Kopi susu gula dalam kemasan
SNI 3143:2011, Minuman teh dalam kemasan
SNI 7707:2011, Teh instan
SNI 7708:2011, Kopi gula krimer dalam kemasan
SNI ISO 8124-1:2010, Keamanan mainan – Bagian 1: Aspek keamanan
yang berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis
SNI ISO 8124-3: 2010, Keamanan mainan – Bagian 3: Migrasi unsur
tertentu
Steffen Kaeser. (2013). UNIDO’s Trade Standards Compliance Analyses
and Reports . Trade and Development Symposium, Session on
Standard Compliance Capacity and Trade, WTO Ministerial
Conference – Bali, 4 December 2013
Stephenson, Sherry M. (1997). Standards, Conformity Assessment and
DevelopingCountries. Policy Research Working Paper 1826, Teh
World Bank, Washington DC.
100
Stuart, E.A. (2010). Matching Method for Causal Inference: A Review and
A Look Forward. Stat Sci. 2010 February 1; 25(1): 1–21.
Teh Commission of Teh European Communities. Commission Regulation
(EC) No. 178/2006, amending Regulation (EC) No 396/2005 of teh
European Parliament and of teh Council to establish Annex I listing
teh food and feed products to which maximum levels for pesticide
residues apply
Teh Commission of Teh European Communities. Commission Regulation
(EC) No. 149/2008, amending Regulation (EC) No 396/2005 of teh
European Parliament and of teh Council by establishing Annexes II,
III and IV setting maximum residue levels for products covered by
Annex I tehreto
Teh Commission of Teh European Communities. Commission Regulation
(EC) No. 1881/2006, Maximum Levels for Certain Contaminants in
Foodstuffs
Teh Japan Food and Chemical Research Foundation. Table of MRLs in
Food, Otehr Spices Dried.
http://www.m5.ws001.squarestart.ne.jp/foundation/fooddtl.php?f_inq
=24900 (diakses 23 Juli 2015)
TUV Rheinland Group. Global Toy Safety Standards Manual
UNCTAD. (2008). Export competitiveness and development in LDCs:
policies, issues and priorities for least developed countries for action
during and beyond UNCTAD XII. United Nations Conference on
Trade and Development.
Underwriter Laboratories (UL). Guide to International Toy Safety
Requirements
Wikipedia. Fair Trade. https://en.wikipedia.org/wiki/Fair_trade (diakses 22
Juli 2015)
Wikipedia. Rainforest Alliance.
https://en.wikipedia.org/wiki/Rainforest_Alliance (diakses 22 Juli 2015)
Wikipedia. UTZ Certified. https://en.wikipedia.org/wiki/UTZ_Certified
(diakses 22 Juli 2015)
101
LAMPIRAN 1. Proses Penentuan Pilihan Kebijakan oleh Pelaku
Usaha
(untuk pengujian SNI dalam mendukung peningkatan ekspor, maka ada
tambahan opsi yaitu penerapan standar negara tujuan ekspor)*
Dalam penentuan opsi oleh pelaku usaha ada beberapa langkah yang
dilakukan yaitu:
1. Langkah 1: memetakan semua jawab responden untuk berbagai
pihan yang ada: do nothing, penerapan SNI Sukarela dan Penerapan
SNI Wajib. Hanya pilihan yang terisi yang diinput datanya. Angka
yang diisikan adalah penilaian yang diberikan oleh pelaku usaha
dengan masing-masing nilai sebagai berikut:
Memberikan nilai berdasarkan penilaian ordinal (nilai relative). Penilaian
ordinal yang dipakai adalah:
� Highly positive (3)
� Moderately positive (2)
� Slightly positive (1)
� Neutral (0)
� Slightly negative (-1)
� Moderately negative; and (-2)
� Highly negative (-3)
2. Langkah 2: mengambil modus (angka yang sering muncul) sebagai
pilihan kebijakan yang diambil untuk tiap-tiap sub-kriteria
3. Langkah 3: mengambil modus dari nilai yang muncul dari sub-kriteria,
kemudian diangkat sebagai pilihan pada kriteria
4. Langkah 4: memindahkan jawaban masing-masing kriteria ke dalam
satu matriks (Performance Matrix)
102
Langkah 1: Pengisian kolom opsi dengan jawaban responden
103
Langkah 2 dan 3: Penentuan jawaban sub-kriteria dan kriteria dengan
MODUS
Langkah 4: Performance Matrix