Jurnal Readingb THT Abstrak
-
Upload
aulia-janer -
Category
Documents
-
view
52 -
download
2
description
Transcript of Jurnal Readingb THT Abstrak
Hasil jangka panjang pada telinga hidung, dan tenggorokkan setelah
tonsilektomi
Therese Ovesen1, Audrius Kamarauskas1, Tinna Hlidarsdottir2, Mads Ronald Dahl2 & Jan
Mainz3, 4
Abstrak
Pendahuluan: Tujuannya adalah untuk melakukan evaluasi jangka panjang pada pasien yang
dilakukan tonsilektomy yang di rawat jalan di praktik telinga, hidung dan tenggorokan (THT)
Denmark dalam hal kepuasan, kualitas hidup dan menghilangkan gejala.
Bahan dan cara: suatu wawancara telepon dilakukan setidaknya tiga tahun setelah operasi
amandel. Atau kuesioner yang diisi oleh pasien. Jawaban dibandingkan dengan kuesioner
pra-operasi.
Hasil: Tingkat respon adalah 63% (386/614). Tidak ada perbedaan yang ditemukan antara
responden dan non-responden kecuali bahwa proporsi perokok lebih tinggi pada kelompok
non-responder. Kualitas hidup meningkat secara signifikan dan 93% merasa puas dengan
pilihan dilakukannya tonsilektomi. 95% mengalami gelaja lengkap atau parsial dari
tenggorokan. Delapan sampai 11% telah dikembangkan gejala baru dari tenggorokan
termasuk gangguan bernafas saat tidur
Kesimpulan: Berkenaan dengan kualitas hidup, kepuasan dangejala, hasil jangka panjang
pasien tonsilektomi yang rawat jalan dalam praktek THTdi Denmark sebanding dengan
diperoleh antara pasien rawat inap dan hal ini disuaikan dengan standar internasional.
Namun, seperti sekitar 10% mengalami gejala baru,yang penting bahwa dokter menyadari
indikasi dari setiap informasi yang diterima selama pengambilan keputusan bersama dengan
pasien / orang tua untuk menyesuaikan harapan.
Pendanaan: Tidak ada
Percobaan pendaftaran: Tidak ada.
Literatur ini mengenai hasil jangka panjang tonsilektomi yang relatif jarang dan
sebagian besar didasarkan pada pasien rawat inap setelah prosedur [ 1-12 ] . Laporan dari
penelitian populasi melapor agak kecil, biasanya kurang dari 150 pasien yang memenuhi
syarat [ 2,4-6, 10] . Follow up memiliki durasi yang bervariasi tetapi jarang melebihi 12 bulan
[ 3-5 , 7 , 11 ] .Menurut penelitian ini, tonsilektomi secara signifikan meningkatkan kualitas
hidup, mengurangi jumlah episode dengan infeksi tenggorokan dan meningkatkan gangguan
pernapasan saat tidur [ 1-12 ]. Selain itu, penggunaan analgesik dan antibiotik berkurang
setelah tonsilektomi bersama dengan beban ekonomi bahkan ketika biaya bedah diakui [ 4-
6 ] . Jumlah Tonsilektomi elektif adalah 16 % dari semua operasi rawat jalan pada anak yang
kurang dari 15 tahun di AS [ 1 ]. Mengingat kondisi yang berhubungan dengan prosedur
rawat jalan, tampaknya diperlukan untuk menunjukkan hasil yang baik dan hasil jangka
panjang dari prosedur yang berpotensi mengancam nyawa. Prosedur untuk membenarkan
penggunaan skala besar ini adalah intervensi bedah.
Dari tahun 2003 sampai tahun 2005, kami mendaftarkan populasi penelitian
dari 614 pasien dalam Proyek Indikator Nasional ( PIN ) dari rawat jalan tonsilektomi di
Denmark. Tonsilektomi dilakukan di praktek telinga , hidung & tenggorokan ( THT )
dengan prosedur rawat jalan yang ketat, yaitu , prosedur yang tidak melibatkan rumah sakit
setempat atau penginapan pasien. Dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip PIN adalah alat
yang berguna untuk mengukur kualitas teknis medis [ 13 , 14 ]. Nyeri dan perdarahan
merupakan penentu utama sebagai kontak yang tidak terjadwal setelah operasi amandel.
Diagnosis , usia, dan lama pengamatan pasca operasi diidentifikasi sebagai faktor prognostik
yang signifikan . Pasien yang melaporkan hasil tiga minggu setelah operasi mengungkapkan
bahwa 30 % tidak puas dengan informasi yang diberikan mengenai komplikasi pasca
operasi . Luasnya nyeri pasca operasi serta jumlah hari absen dari kerja / sekolah karena sakit
telah diabaikan [15].
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hasil jangka panjang dari
tonsilektomi yang rawat jalan dalam hal menghilangkan gejala , kualitas hidup dan kepuasan
dengan hasilnya .
Alat dan metoda
Menurut pendaftaran selama tahun 2003 -2005,diberikannya kuesioner yang telah sah pada
pasien/orang tua,dan kuesioner dipisahkan dari ahli bedah. Kuesioner berisi tentang gejala –
gejala dan nilai kualitas hidup sebelum tonsilektomi. Nilai dari kualitas hidup yang terpilih
diberikan skala analog visual dari 1(buruk) sampai 10 (sangatbaik). Pengisian kuesioner
dilakukan paling sedikit 3 tahun setelah operasi amandel. Pengisisan dilakukan dengan
Wawancara lewat telepon pada orang tua yang buta untuk menentukan standar kuesioner
yang telah disediakan oleh penulis,. Hasilnya didapatkan keluhan yang berasal dari
tenggorokan, selain itu wawancara juga di fokuskan pada pertanyaan kepuasaan dengan
adanya prosedur. Nilai kualitas hidup yang diperoleh ( 1-10). Pada kasus pasien/orang tua
yang tidak bisa dihubungi oleh pewawancara, pengisian kuesioner dilakukan dengan
pengiriman melalui pos. Sedangkan untuk ahli bedah dinggap diperlukan jika
adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan. Izin Penelitian Kasus tonsilotomi dan tonsilekomi
telah dikeluarkan oleh badan perlindungan data di Denmark yang bekerja sama dengan rumah
sakit setempat .
Tabel 1
Berbagai karakteristik yang dibandingkan antara responden dan non responden
( n=386) dan non responden (228) nilai P dicapai dengan X2
Karakteristik Responden Non responden P Value
Median age and range
Jeniskelamin:laki-
laki/ perempuan
Diagnosis:
Tonsil hipertrofi
Recurrent tonsillitis
Tonsillitis kronik
kombinasi
PerokokUnscheduled
contacts
Hospitalization
8 years
(1-49 years)
43%/57%
41%
16%
13%
30%
6.4%
23%
5.7%
9 years
(2-44 years)
49%/51%
44%
18%
7%
32%
13%
25%
4.4%
0.1060
0.4920
0.3205
0.0102
0.5714
0.5076
Median Quality of
Life
score at surgery
7 7 0.7523
Statistik
Kejadian pada berbagai gejala sebelum dan sesudah tonsilektomi dibandingkan juga dengan
nilai kualitas hidup yang menggunakan X2dan uji wilcoxon, diterapkan distribusi pada kasus
normal dan student’s test pada data yang diterapkan
Hasil
Dari keseluruhan 614 pasien, 386 pasien memenuhi kriteria penelitian, dengan tingkat
respon 63%.
Tidak ditemukan perbedaan secara statistik antara responden dengan non responden
berdasarkan umur, jenis kelamin, diagnosis, rawat jalan dan rawat inap atau tabel kualitas
hidup (QoL) (Tabel 1). Secara signifikan, perokok non responden lebih banyak daripada
responden.
Kualitas hidup pasien sebelum tonsilektomi dihitung skornya oleh pasien/orang tua
pasien sebaik ahli bedah. Secara keseluruhan, lebih tinggi skor yang dicatat oleh ahli bedah
dibandingkan skor yang yg dicatat oleh pasien sendiri (daftar peningkat:6,796, p<0,0001).
Dengan demikian, kecocokan antara skor tersebut ditemukan pada 40% kasus.
Sehubungan dengan skor QoL jangka panjang, 89% pasien menunjukkan skor 8, 9
atau 10. Perbedaan antara skor preoperatif dan postoperatif diperlihatkan ditabel 2. Dengan
demikian, 8,4% mengalami perubahan kearah negatif (-1 sampai -6), 12% skornya tidak
berubah dan 73% memiliki skor yang lebih baik setelah operasi (+1 sampai +9). Rata-rata
skor QoL diantara 386 pasien sebelum operasi adalah 7 dibandingkan dengan setelah operasi
skornya adalah 10 (daftar peningkat:23.560, p<0,0001).
Secara keseluruhan, 93% pasien puas dengan tonsilektomi (menjawab “ya” untuk
pertanyaan: akankah kamu merekomendasikan operasi untuk yang lainnya dengan gejala
yang sama). 79% pasien menunjukkan sembuh sempurna dan 16% sembuh sebagian dari
gejala, dimana 2,3% tidak mengalami perbaikan apapun.
Secara keseluruhan, insidensi infeksi tenggorokan akut pada responden mengalami
penurunan secara signifikan setelah dilakukan tonsilektomi (X2=13.1385, p=0,0003). 22%
masih mengalami paling sedikitnya 1 episode setiap tahun dan 5% tanpa infeksi akut pada
riwayat operasi sebelumnya berkembang menjadi keluhan dalam jangka panjang. Insidensi
rinitis akut tidak mengalami perubahan setelah tonsilektomi (X2: 1,0737, p=0,3001).
Disamping tonsillitis akut rekuren, hipertrofi tonsil menimbulkan gangguan nafas saat
tidur seperti snoring dan apnea (> 10 detik) juga merupakan indikasi untuk tonsilektomi.
Secara keseluruhan, gejala-gejala tersebut mengalami penurunan secara signifikan setelah
operasi (11,0537 < X2 < 19.5845, p<0,0009) (Tabel 2). Bagaimanapun, 29% mengeluhkan
snoring dan atau apnea (6%) ketika menjawab kuisioner postoperatif. 7% menunjukkan
bahwa snoring berkembang atau memburuk setelah operasi. Bila dibandingkang dengan
kuisioner postoperatif menunjukkan 4% berkembang menjadi snoring dan 2% menjadi apnea
selama follow up.
Prevalensi jangka panjang bervariasi pada tenggorokan, berhubungan dengan gejala
yang diperlihatkan pada tabel 2. 7 sampai 25% responden mengeluhkan sedikitnya 1 dari
gejala yang ada. Antara 1 dan 46% pasien mengeluhkan gejalanya telah berkembang atau
lebih buruk setelah pembedahan sesuai 1-8% dari seluruh responden. Dibandingkan dengan
kuisioner preoperatif 8-11% kasus , gejala ini tidak ditunjukkan sebelum tonsilektomi.
Banyaknya gejala yang menetap adalah faringitis kronik/laryngitis. Dalam konteks ini, pasien
yang secara signifikan berisiko adalah orang dewasa dibanding kan dengan yang tanpa gejala
ini (p<0,050). Terlebih lagi, pasien yang dioperasi karena tonsillitis kronik cenderung lebih
sering mengeluhkan faringitis kronik/laryngitis dibandingkan pasien dengan diagnosis lain.
Kecenderungannya, secara statistik tidak signifikan (P>0.0811). Angka perokok lebih rendah
pada responden yang tidak mengikuti analisis statistik pada subgroup ini.
Tabel 2
Status setelah tiga tahun tonsilektomi. Persentase pasien dengan gejala yang muncul dari
faringitis / laringitis, masalah menelan, mendengkur dan apnea terdaftar dari total 386 pasien
(kolom kiri). Persentase pasien yang memiliki gejala dikembangkan atau memburuk setelah
operasi ditampilkan di kolom kanan.
Diskusi
Studi ini telah menunjukkan kepuasan umum (93%) pada pasien rawat jalan yang
menjalani tindakan tonsilektomi elektif di Denmark bagian THT. Secara signifikan operasi
meningkatkan kualitas hidup pasien dalam jangka panjang. Dengan 95% gejala dapat pulih
sepenuhnya atau hanya sebagian, dimana kejadian infeksi tenggorokan akut menurun secara
signifikan. Di sisi lain, berbagai gejala tenggorokan yang terkait telah dikembangkan pada
sekitar 10% pasien.
Studi jangka panjang yang dilakukan lebih dari tiga tahun setelah melakukan
tonsilektomi, meperoleh tingkap respon penerimaan sekitar 63%. Sebagai perbandingan,
sebelumnya studi tonsilektomi yang dilakukan selama 16 dan 76 bulan didapatkan tingkat
respon sekitar 26-85%. Tingkat tertinggi dicapai dalam jangka pendek. Perbandingan statistic
antara non responden dengan responden pada penelitian kami menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang signifikan kecuali untuk proporsi yang lebih tinggi pada perokok dikalangan
non-responden dari pada kalangan responden. Hal ini mungkin dapat diakibatkan oleh karena
kecendrungan relatif pada pria dari kelompok non responden yang dikombinasikan dengan
fakta bahwa perokok lebih banyak pada pria dari pada wanita.
93% kepuasan penelitian tonsilektomi dilaporkan sebanding dengan 88-91% dari
tempat lain. sangat sedikit fokus tonsilektomi pada pasien rawat jalan yang melibatkan
fasilitas rumah sakit. Dengan demikian, tujuan prosedur tonsilektomi ini ada;ah menguji
sikap terhadap rawat jalan di bagian mereka , Kubba dan Messersmith menemukan
perubahan menjadi tidak praktis berdasarkan kenyataan bahwa orang tua anak-anak
menentang tonsilektomi. Penelitian kami jelas menunjukkan bahwa rawat jalan tonsilektomi
layak dan menghasilkan hasil yang sesuai dengan yang diperoleh dengan rawat inap.
Sementara itu yang terpenting adalah kriteria seleksi yag harus dihormati dan
mengidentifikasi pasien yang cocok untuk dilakukan operasi.
Beberapa penelitian telah membahas kualitas hidup pada berbagai tindakan pada
pasien yang sedang tonsilektomi. Tanpa memperhitungkan usia dan indikasi, kualitas hidup
umumnya dilaporkan membaik setelah tonsilektomi. korelasi yang baik antara kualitas hidup
ditemukan pada anak-anak dan orang tua, sedangkan tidak difokuskan pada perbandingan
nilai yang diberikan oleh ahli bedah dan pasien /orang tua. Kami mengamati kecenderungan
yang terlalu tinggi terhadap kualitas hidup pasien oleh ahli bedah, suatu penelitian dapat
mempengaruhi proses pengambilan keputusan bersama, dan perlu dialkukan penelitian lebih
lanjut. penilaian jangka panjang menunjukkan peningkatan kualitas hidup di 73% dari pasien.
Hal ini tampaknya menjadi lebih rendah dari beberapa hasil yang diperoleh dalam penelitian
lain. Alasan perbedaan ini mungkin perbedaan panjang yang tindak lanjut, usia pasien dan
Metode yang digunakan untuk pengukuran kualitas hidup. Terutama tindak lanjut yang
diketahui mempengaruhi hasil langkah tonsilektomi. Dengan demikian, efek positif telah
ditemukan menurun dengan waktu di sebagian penelitian.
Sesuai dengan literatur, 79% pasien benar-benar tanpa gejala sisa di tenggorokan
setelah dilakukan tonsilektomi, dan 16% mengalami perbaikan. Ini merupakan gambaran
umum pada beberapa pasien yang mengalami persisten atau perburukan gejala, sementara
pada pasien yang lainnya muncul gejala baru. Kami memiliki suatu tes untuk menilai
pendapat antara pasien yang telah lama menjalani tonsilektomi dengan jawaban pasien yang
akan menjalani tonsilektomi dengan melihat apakah itu merupakan suatu gejala baru atau
tidak. Dengan demikian 8-11% gejala muncul setelah operasi. Sebagai contoh pada 4%
pasien terdapat snoring, 2% apnue, dan 5% pasien yang sebelumnya tanpa infeksi
tenggorokan akut memiliki keluhan jangka panjang tentang hal ini. Gejala kronik
faringitis/laryngitis lebih sering pada dewasa dengan tonsillitis kronis.
Terdapat beberapa alasan pemberat untuk mempertahankan, kelemahan, kekambuhan
atau perkembangan gejala setelah tonsilektomi. Telah sampaikan bahwa pengangkatan tonsil
dapat menurunkan sistem imun dan menjadi penyebab faringitis/ laryngitis kronik yang. disisi
lain, tonsilektomi bermanfaat pada kasus tonsillitis kronis atau tonsillitis eksaserbasi akut
karna ketidakmampuan fungsi sistem imun dari tonsila palatine. Namun tonsilektomi tidak
memiliki efek secara signifikan terhadap sistem imun. Hal itu dapat kemungkinan terjadi
karena gejala samar dari radang kronik sebelum operasi saluran nafas bagian atas tetapi lebih
didominasi dari gejala tonsil. Pengankatan tonsil tidak mempengaruhi banyak struktur
peradangan, pasien dapat juga masih mengalami laryngitis maupun faringitis kronis. Saat ini
follow up lanjutan tiga tahun setelah tonsilektomi kemungkinan terjadi perubahan-perubahan
tertentu. Seperti, pertambahan berat badan yang dapat mengakibatkan sura mendengkur dan
apnu, dan kebiasaan merokok sesuai usia menyebabkan perubahan suara dan alergi pada
saluran nafas atas dapat menimbulkan gejala seperti faringitis/ laryngitis. Sehingga penting
untuk menyesuaikan tampilan pasien sebelum dan sesudah tonsilektomi. Indikasi bedah dapat
mengikuti criteria strict. Diketahui bahwa terjadi perburukan spontan dari episode infeksi
tenggorokan akut sesuai usia. Tonsilektomi hanya memiliki pengaruh yang ringan bahkan
tidak memiliki pengaruh pada pasien dengan episode akut infeksi tenggorokan yang jarang
terjadi dalam setahun. Sehingga perlu diketahui tendensitas kasus dengan gejala infeksi
teggorokan ringan sampai sedang, dan tonsilektomi di rekomendasikan bagi pasien yang
mengalami lebih dari tujuh kali episode akut dalam tahun-tahun sebelumnya, lima kali
episode pertahun dalam dua tahun terakhir, atau tiga kali episode setiap tahun dalam tiga
tahun terakhir. Gangguan bernafas saat tidur dapat menjadi indikasi untuk melakukan
tonsilektomi, tetapi kondisi semacam ini dapat juga terjadi saat kegelisahan. Komorbiditas
lain bahwa hipertrofi tonsil dapat menyebabkan suara mendengkur dan apnu, sehingga
merupakan tanda untuk segera memeriksa ke rumah sakit dan tidak langsung segera di
lakukan pembedahan sebelum diagnosis di tegakkan.
Kesimpulan
Hasil jangka panjang pada pasien post tonsilektomi yang menjalani rawat jalan di
praktek THT Denmark yang dapat dipercaya dan setara dengan standar internasional dalam
hal kualitas hidup dan meringankan gejala. Dengan demikian rawat jalan merupakan prosedur
yang aman. Kriteria yang ketat dan membuat keputusan bersama termasuk memberikan
informasi yang jelas kepada pasien/keluarga merupakan suatu prosedur yang penting.