jurnal keperawatan

27
BERKEMBANGNYA RADIKALISME DI PERGURUAN TINGGI TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA disusun oleh Muhammad Aliakov 11.12.5874 Kelompok I JURUSAN SISTEM INFORMASI 11-S1SI-08 Dosen Pembimbing : Drs. Muhammad Idris P, MM SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA SEMESTER GANJIL T.A. 2011/2012

Transcript of jurnal keperawatan

Page 1: jurnal keperawatan

BERKEMBANGNYA RADIKALISME DI PERGURUAN TINGGI

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

disusun oleh

Muhammad Aliakov

11.12.5874

Kelompok I

JURUSAN SISTEM INFORMASI

11-S1SI-08

Dosen Pembimbing : Drs. Muhammad Idris P, MM

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER

AMIKOM

YOGYAKARTA

SEMESTER GANJIL T.A. 2011/2012

Page 2: jurnal keperawatan

1

BERKEMBANGNYA RADIKALISME DI PERGURUAN TINGGI

Muhammad Aliakov Jurusan Sistem Informatika

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

ABSTRAK

Persatuan dan kesatuan NKRI sejatinya adalah amanah dari nilai-

nilai luhur Pancasila yang telah diwariskan oleh seluruh pendiri-pendiri

bangsa. Kedamaian dan ketentraman di negara ini merupakan garis besar

cita-cita bangsa yang tertulis di Pembukaan UUD 1945. Namun di era

reformasi ini nilai-nilai dan cita-cita luhur Pancasila seperti mulai pudar

dari jati diri bangsa ini karena mulai suburnya sikap radikalisme

dikalangan masyarakat. Kemunculan organisasi yang berlatarbelakang

agama garis keras semakin marak pasca tumbangnya orde baru. Syariat-

syariat agama yang sejatinya mengajarkan akan cinta kedamaian, sopan

santun, dan toleransi umat beragama hanya ditafsirkan oleh suatu

kelompok sebagai alat landasan dalam menegakkan ajaran agama

dengan jalan kekerasan dan pemaksaan. Paham radikal kelompok itu

yang dulunya cenderung diarahkan kepada masyarakat bawah mulai

bergeser ke kelompok pelajar baru-baru ini. Bahkan pelajar di perguruan

tinggi. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena sesungguhnya para

pelajar lah yang akan menjadi tonggak masa depan negara ini.

Kata kunci : Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Radikalisme, Syariat

Agama, Persatuan.

Page 3: jurnal keperawatan

2

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Mental radikalisme yang kerap berhubungan langsung dengan

aksi-aksi terorisme di Indonesia ini seakan tidak pernah putus dan habis.

Setelah peristiwa penggrebekan dan eksekusi mati ditempat kepada buronan

teroris nomor satu, Noordin M. Top, berhasil dilakukan 2 tahun lalu yang

sempat dianggap puncak keberhasilan pemberantasan terorisme di negara ini

ternyata malah menjadi batu loncatan munculnya inovasi baru pergerakan

radikal di Indonesia. Keberhasilan mengeksekusi pimpinan teroris di

Indonesia itu diharapkan dapat menyurutkan angka terorisme yang terjadi,

namun sebaliknya malah makin gencar pergerakan radikalis yang menjurus ke

dalam aksi teroris terjadi.

Setelah sebelumnya aksi-aksi radikal lebih ditunjukan dengan aksi

pengeboman dan juga aksi bom bunuh diri, dua tahun terakhir ini terlihat

mulai bergeser menjadi semacam aksi perekrutan yang malah makin

meresahkan. Aksi semacam ini memang tidak dilakukan oleh kelompok

ataupun mantan anggota teroris yang dipimpin oleh Noordin dulu, NII, suatu

organisasi tersembunyi yang memimpikan Indonesia menjadi negara Islamlah

yang telah diselidiki bertanggungjawab atas perekrutan radikal semacam itu.

Dalam prakteknya, anggota yang telah direkrut ini menghalalkan

segala cara demi memenuhi kebutuhan dana operasional organisasi. Penipuan,

pencurian, dan perampokan halal bagi mereka dilakukan kepada orang yang

tak sepaham untuk memenuhi kewajiban aliran organisasi semacam ini.

Buruknya lagi, paham seperti ini mulai menyebar dan masuk di kalangan

mahasiswa. Sebagian besar dari mereka yang telah terpengaruh pada akhirnya

dengan sadar dan tanpa penyesalan meninggalkan kewajiban kuliah mereka.

Tentu masalah seperti ini sangat memprihatikan dan disesalkan juga harus

sangat diwaspai, karena mahasiswalah yang akan menjadi pemimpin bangsa di

masa depan. Kemudian potensi kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa

itulah yang paling dikhawatirkan dapat dimanfaatkan organisasi radikal ini

untuk melancarkan aksi yang dapat merugikan bahkan mengancam kehidupan

orang banyak.

Page 4: jurnal keperawatan

3

2. RUMUSAN MASALAH

Beberapa rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini diantaranya:

1. Apa yang melatar belakangi berkembangnya paham-paham radikal di

Indonesia?

2. Bagaimana proses masuknya paham radikal ke dalam lingkungan

perguruan tinggi?

3. Bagaimana solusi untuk menangkal dan juga menghentikan perkembangan

radikalisme di lingkungan kampus?

Page 5: jurnal keperawatan

4

3. Pendekatan

3.1. Historis

Lahirnya paham radikal yang sampai sekarang ini terus

berkembang baik secara terang-terangan maupun rahasia, berkaitan erat

dengan peristiwa diproklamirkannya Negara Islam Indonesia pada 7

Agustus 1949. Negara Islam Indonesia yang saat itu memiliki organisasi

Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam

Indonesia, memanfaatkan momentum untuk memproklamasikan NII disaat

daerah Jawa Barat ditinggalkan oleh TNI karena dikuasai Belanda sesuai

perjanjian Renville. Selama masa itu juga dikumandangkan jihad

suci melawan penjajah Belanda. Kartusuwiryo, seorang yang disebut

sebagai imam atau pemimpin tertinggi memimpin gerakan ini dari tahun

1942 hingga tahun 1962. Disamping itu, NII memiliki empat wilayah

yakni Jawa Barat dan sekitarnya, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan

Selatan.

Gerakan NII kocar-kacir setelah pemberontakan di Jawa Tengah

dan Jawa Barat. Gerakan ini dilumpuhkan lewat penumpasan operasi

militer yang disebut operasi Bharatayuda. Pada tanggal 4 juni 1962,

Kartosuwiryo berhasil ditangkap oleh pasukan Siliwangi di Gunung

Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman

mati pada 16 Agustus 1962.

Eksekusi mati atas Kartosuwiryo membuat NII vakum selama 10

tahun. NII kembali bergerak di bawah pimpinan Tengku Daud Beureueh

pada tahun 1974. Tengku Daud Beureueh pada tanggal 20 September 1953

memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam

Indonesia di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Daud memimpin NII hingga

tahun 1979. Setelah Daud, kepemimpinan NII beralih ke kader-kader

Kartosuwiryo. Pada tahun 1978, Adah Jaelani meneruskan kepemimpinan

NII hingga tahun 1987. Adah ditangkap dan dipenjara pada tahun 1987

dan baru bebas pada tahun 1993.

Page 6: jurnal keperawatan

5

Imam NII lalu diambil alih oleh Ajengan Masduki. Kiai Jawa Barat

ini mengomando NII dari 1987 hingga 1990. Namun Ajengan Masduki

kemudian pindah ke Malaysia. Di negeri jiran ini, Masduki bergabung

dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir mengembangkan

jaringan Jamaah Islamiyah.

Karena Ajengan Masduki pindah ke Malaysia, kepemimpinan NII

di Jawa dilanjutkan oleh Haji Karim hingga tahun 1992. Kemudian Haji

Karim meninggal dunia, imam NII lalu diambil alih Abu Toto atau yang

sering diisukan Panji Gumilang, pimpinan Pondok Pesantren Al Zaitun.

Panji selama 1992-1994 menjadi imam sementara NII. Pada 1994, setelah

Adah Jaelani bebas dari penjara, NII kembali dipimpin Adah. Namun

tahun 1996, NII kembali diserahkan pada Panji Gumilang karena Adah

sudah tua.

Lalu di tahun terakhir ini, kerap terjadi kasus pencucian otak dan

menghilangnya beberapa penduduk. Kasus ini ditengarai dilakukan oleh

NII KW9. Menurut Mustofa B Nahrawardaya, Koordinator Indonesian

Crime Analyst Forum (ICAF), NII yang masih beroperasi sekarang bukan

lagi NII yang murni. NII KW 9 merupakan NII palsu yang disusupi

intelijen. Alhasil, NII bentukan intelijen ini sungguh jauh benar

karakternya dengan NII yang semula dirintis Kartosoewirjo maupun Daud

Beureuh.

Sementara itu, NII juga memiliki banyak kelompok sempalan.

Kelompok sempalan ini misalnya yang dikembangkan oleh Ajengan

Masduki dan Baasyir serta Abdullah Sungkar. Pada tahun 1990, Masduki

dan Baasyir berkonflik. Akhirnya Baasyir dan Abdullah Sungkar

mengembangkan JI. Sementara kelompok yang setia pada Ajengan

Masduki membentuk jaringan Angkatan Mujahidin Nusantara (AMIN).

Kelompok AMIN ini, menurut pengamat militer Wawan Purwanto, juga

melakukan pencucian otak dalam merekrut anggotanya.

Page 7: jurnal keperawatan

6

3.2. Sosiologis

Menyebar luasnya gerakan radikal yang dibelakangi oleh

pergerakan beratas namakan ajaran agama seperti itu tentu sangat

meresahkan kalangan masyarakat secara luas. Tidak lagi condong kepada

aksi pengrusakan ataupun kriminalitas semata seperti pengeboman dan

ancaman terror bom yang dilakukan pergerakan sejenis sebelumnya,

namun lebih kepada mengarah ke ajaran, paham, aqidah, bahkan

pengerukan dana terhadap jamaahnya dan sering kali harta masyarakat

luas.

Dalam aksinya juga, pergerakan ini dapat mengakibatkan orang-

orang disekitar kita yang menjadi incaran berubah sikap menjadi karakter

yang tidak bias kita pahami. Mereka akan menjadi orang yang sepertinya

tidak pernah kita kenal sebelumnya bahkan mungkin akan menghilang

keberadaannya dari masyarakat. Hal ini akibat doktirinisasi yang

kemudian dilakukan perekrutan secara intensif dan efektif oleh para

anggota gerakan radikal. NII lah yang sekarang ini ditengarai marak

melakukan aksi tersebut.

Ajaran agama yang disalahtafsirkan seenaknya sesuai kepentingan

gerakan NII KW9 ini dijadikan alat untuk mendoktrin para korbannya.

Penyimpangan seperti ini tentu sangat disesalkan karena sungguh jauh

benar dari kemuliaan syariat-syariat Islam yang sesungguhnya. Misalnya

saja paham jika ingin menjadi umat Islam yang benar, maka umat Islam di

Indonesia harus segera melaksanakan hijrah dari Negara Indonesia ke

Negara Islam Indonesia (NII). Setiap muslim yang berada di luar gerakan

tersebut dituduh kafir dan dinyatakan halal darahnya. Untuk membangun

sarana fisik dan biaya operasional gerakan, setiap anggota diwajibkan

menggalang dana dengan menghalalkan segala cara, di antaranya menipu.

Qanun asasi (aturan dasar) gerakan tersebut dianggap lebih tinggi

derajatnya dibadingkan kitab suci Alquran, bahkan tidak berdosa bila

menginjak Mushaf Alquran. Tauhid RMU, yang merupakan singkatan dari

rububiyah (hukum), mulkiyah (tempat), uluhiyah (umat), merupakan

Page 8: jurnal keperawatan

7

konsep negara bagi NII, orang-orang di luar NII dianggap kafir, zalim, dan

fasik.

Paham yang radikal seperti itu tentu sangat mengkhawatirkan.

Disamping ajarannya yang memperbolehkan kepada jamaahnya

menghalakan segala cara dalam mencari dana yang bias berujung

kriminalitas, juga dapat memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI.

Ajaran yang mengatakan halal darah setiap muslim yang berada di luar

NII, berarti dengan kata lain paham ini ingin mengatakan boleh

membunuh umat muslim yang berbeda paham. Tentu hal ini sangat

membahayakan dan patut diatasi secepatnya. Karena bukan hal yang tidak

mungkin jika kelompok ini benar-benar melakukan tindakan yang

membahayakan banyak jiwa. Namun jika kita mau mengkritisi lebih

dalam, mengapa pada ajaran tersebut hanya mengatakan halal darah

muslim di luar NII? Mengapa umat agama lain tidak dihalakan darahnya?

Apakah ada konspirasi dibalik organisasi NII itu yang ingin memecah

belah antar sesama muslim?

3.3. Yuridis

Kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia ini sesungguhnya

merupakan kewajiban bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.

Dalam bangsa yang plural ini, tentu akan selalu dihadapkan kepada

berbagai keberagaman di antara warganya. Baik itu keberagaman agama,

budaya, suku, adat istiadat, norma, juga pemikiran-pemikiran yang

berkembang di segenap warga negara. Untuk itulah diperlukan beberapa

landasan yuridis yang mampu mengikat perbedaan-perbedaan tersebut

menjadi satu kesatuan dalam NKRI.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dalam alenia empat menyuratkan bahwa tujuan nasional

adalah segenap daya upaya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

Page 9: jurnal keperawatan

8

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa setiap warga negara

wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata

tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hak Asasi

Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara

kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa

meliputi; hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak

keadilan, hak kemerdekaan, hak kesejahteraan, oleh karena itu tidak boleh

diabaikan atau dirampas oleh siapapun.

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan

hidup dan kehidupannya. Negara tidak memiliki kewenangan untuk

merubah atau menafikan hak tersebut. Negara justru harus menjamin hak-

hak setiap individu warga negara untuk menjalankan hajat hidupnya.

Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan

tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal

balik. Oleh sebab kewajiban dasar itu, individu warga negara mengemban

konsekwensi identitas kolektifnya, sebagai bagian dari ke-Indonesiaan,

sehingga setiap warga negara Indonesia wajib ikut serta dalam upaya

pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Page 10: jurnal keperawatan

9

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang

Pertahanan Negara menyatakan, bahwa setiap warga negara berhak dan

wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam

penyelenggaraan pertahanan negara. Keikutsertaan setiap warga negara

dalam upaya bela negara, diselenggarakan melalui:

a. Pendidikan kewarganegaraan;

b. Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;

c. Pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara

sukarela atau secara wajib; dan

d. Pengabdian sesuai dengan profesi.

Page 11: jurnal keperawatan

10

4. PEMBAHASAN

4.1. Mengenai Latar Belakang Tindakan Radikalisme

Radikalisme yang seringkali dibungkus dengan aliran agama,

ternyata masih mewarnai tindakan terorisme di Indonesia. Kasus bom

bunuh diri (bom di Mariot Dubes Australia, Bom Bali I&II dan yang

lainnya), konflik yang berbau sentimen agama di Poso, Maluku, dan yang

lainnya, semakin memperjelas bahwa adanya korelasi antara radikalisme

di masyarakat dengan doktrin agama. Namun, apakah memang radikalisme

yang menyebabkan timbulnya terorisme di Indonesia itu memang terjadi

karena doktrin ideologi tertentu? Atau mungkin ada latar belakang lain?

Faktor Kemiskinan

Dalam kacamata intelektual kampus, radikalisme yang berbasis

kelompok agama terkait erat dengan kemiskinan. Selama kemiskinan

masih melekat dalam irama kehidupan rakyat, radikalisme akan beranak

pinak. Pandangan tersebut, memang sangat realistis dengan kenyataan

yang terjadi. Hal itu bisa dilihat dari berkembangnya radikalisme di

seluruh pelosok dunia, ternyata lebih marak terjadi di negara-negara

berkembang dan negara-negara miskin. Bentuk radikalisme tersebut sering

terjadi dalam bentuk pemberontakan sebagian masyarakat yang kecewa

terhadap pemerintahannya yang dinilai telah gagal menciptakan

kesejahteraan rakyatnya, perang saudara antar-etnis, golongan, ideologi

demi sebuah kekuasaan dan untuk menguasai kekuasaan, dan yang

lainnya. Semua itu tidak terlepas dari usaha masyarakat untuk melakukan

perubahan nasibnya agar menjadi lebih baik (sejahtera) dari keadaan

kemiskinan yang menimpanya.

Di negara-negara maju sangat jarang terjadi radikalisme dengan

latar masalah ekonomi (kemiskinan). Meskipun di negara maju tidak

sepenuhnya bersih dari tindakan radikalisme, namun motif radikalisme di

negara maju mempunyai latar belakang yang berbeda dengan negara-

negara berkembang dan negara-negara miskin. Dalam ajaran Islam juga

Page 12: jurnal keperawatan

11

dijelaskan bahwa timbulnya kekufuran (termasuk radikalime masyarakat)

itu bisa terjadi karena kemiskinan. Karena pada dasarnya kemiskinan bisa

menyebabkan manusia untuk berbuat kufur.

Keadaan rakyat Indonesia sampai dengan saat ini masih dililit

dengan problem kemiskinan. Bank Dunia memperhitungkan 108,78 juta

orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin

dan rentan menjadi miskin. Kalangan ini hanya hidup dengan kurang dari

2 dolar AS atau sekitar RP 19.000 per hari (Kompas, 8 Desember 2006).

Kondisi Indonesia seperti ini memang sangat rentan timbulnya

radikalisme. Menurut kalangan intelektual kampus untuk menghentikan

radikalisme di masyarakat perlu ada usaha dari seluruh elemen bangsa

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Peran ulama dan pemerintah sangat penting dalam melakukan misi

suci ini. Ulama (da’i dan para guru/dosen) bisa terus mengarahkan

masyarakat dan para siswa/mahasiswanya, untuk menciptakan masyarakat

dan generasi mudanya, untuk mengasah bakat di suatu bidang

(profesional) dan berbuat jujur dalam bidangnya. Begitu juga pemerintah

sebagai pelayan masyarakat, harus bisa menciptakan iklim perekonomian

yang stabil. Dengan semua usaha itu, masyarakat Indonesia bisa terhindar

dari problem kemiskinan yang berkepanjangan. Radikalisme pun akan bisa

diminimalisasi.

Faktor Kebodohan

Keterpurukan ekonomi yang dialami oleh sebagian lapisan

masyarakat mengakibatkan ketidakmampuan dalam mengeyam

pendidikan. Hal ini akan berakibat keterpurukan intelegensi dan

pengetahuan bagi warga yang kurang mampu. Mereka tidak akan cukup

dibekali oleh ilmu pengetahuan yang sedang berkembang. Juga akan lebih

rentan terhadap pengaruh-pengaruh yang datang dari pihak lain. Termasuk

juga akan mudah diprovokasi oleh paham-paham radikal.

Page 13: jurnal keperawatan

12

Hal ini dianggap oleh sebagian besar orang terjadi karena

kegagalan pemerintah dalam merealisasikan program-program

pendidikannya. Program wajib belajar 9 tahun misalnya, mungkin bagi

sebagian masyarakat masih terjangkau untuk dipenuhi. Namun bagi rakyat

miskin, program tersebut cukup sulit untuk dipenuhi. Karena bagi mereka

mempertahankan kelangsungan hidup lebih penting, sehingga kebutuhan

akan pendidikan mereka sampingkan. Meski pemerintah juga telah

memberikan fasilitas dana BOS bagi setiap siswa di Indonesia, namun

dana yang diberikan itu belum cukup untuk membayarkan biaya-biaya

tambahan yang sering dibebankan oleh sekolah. Seperti biaya tunjangan

pembangunan, sarana prasarana, les tambahan, buku pelajaran, dll.

Parahnya lagi, marak terjadi kasus-kasus penyelewengan dana BOS oleh

oknum-oknum tertentu yang berakibat tidak tersalurkannya hak para

siswa.

Maka dari itu, sudah jadi hal maklum jika banyak generasi muda

saat ini tidak banyak mengenyam pendidikan dan sudah tentu menjadi

tugas pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih tepat untuk

membela rakyat-rakyat kecil. Sehingga akan tercapai kesejahteraan sosial

yang lebih merata.

Selain itu, tingkat pemahaman agama yang rendah juga dapat

mengakibatkan lebih rentan terpengaruh ajaran-ajaran yang menyesatkan.

Misalnya saja mengenai ajaran jihad. Jihad sendiri berasal dari kata arab

artinya bersungguh-sungguh melakukan sesuatu dalam rangka beribadah

mencari ridho Allah. Namun ada beberapa kelompok yang terus saja

memaksakan paham bahwa jihad dalam Islam yang hukumnya wajib

haruslah dipenuhi dengan berperang. Padahal sesungguhnya jihad di jaman

ini tidak harus selalu dengan cara berperang, namun bisa berupa usaha

mencari nafkah secara halal demi keluarga. Generasi muda mencari ilmu

demi masa depannya. Seorang pedagang yang jujur tidak mengurangi

timbangan. Jadi jihad itu banyak macamnya bukan dengan terror dan aksi

bom bunuh diri karena itu makin mengotori wajah Islam dimata dunia.

Page 14: jurnal keperawatan

13

Faktor Politik

Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi

yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua negara. Kehadiran

para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi

bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan

melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan

memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga

kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar.

Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor,

politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing,

bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan

melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-

kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang

mudah saling menghancurkan satu sama lainnya.

Bukankah kita pernah membaca sejarah lahirnya garakan khawarij

pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA. yang merupakan mascot

gerakan terorisme masa lalu yang juga disebabkan oleh munculnya stigma

ketidakstabilan dan ketidakadilan politik pada waktu itu. Sehingga

munculah kelompok-kelompok yang saling mengklaim paling benar,

bahkan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Tentu kita tidak ingin

sejarah itu terulang kembali saat ini.

Faktor Pendidikan

Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat

menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang

dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya.

Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama

yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci

pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan.

Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada

mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul,

Page 15: jurnal keperawatan

14

lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat

yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara

yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan

kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan

kurikulum-kurikulum umum, sementara sekolah umum alergi memasukan

kurikulum agama.

Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme

justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter,

insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit

dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat

dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan

memiliki pemahaman agama yang serabutan.

Demikianlah penjabaran enam faktor penyulut terorisme, semoga

dapat bermanfaat. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka diperlukan

kerjasama yang sinergis antara semua elemen bangsa, baik ulama,

pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke

akar-akarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara

meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama,

menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah.

Serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat

yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertaqwa dan memiliki

semangat kecintaan tanah air yang kuat.

Dengan langkah ini kita memohon kepada Allah Swt, semoga

bangsa dan negara kita terlindung dari bahaya terorisme, sesuai dengan

janji dan spirit al-Qur’an: Yang artinya: Seandainya penduduk suatu kaum

itu beriman dan bertakwa, maka niscaya akan kami bukakan pintu berkah

kepada mereka dari arah langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustkan

(agama), maka akan kami binasakan mereka akibat dari perbuatanya itu

sendiri (Q.S. al-A’raf: 69).

Page 16: jurnal keperawatan

15

Faktor Psikologis

Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual

seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, lingkungannya,

kegagalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk

melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan

yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan

perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung

tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan

melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar

menampakkan eksistensi dirinya.

Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian

besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka

yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya.

Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya

kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib

kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan

dibrain washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu.

Doktrin Radikalisme

Ralp Dahrendororf, pelopor sosiologi konflik, menjelaskan

radikalisme dengan mengacu pada pemikiran Karl Marx. Di setiap

pergantian zaman, radikalisme selalu dimotori oleh kelompok yang

kondisi ekonominya relatif lebih baik. Kelompok ini merasa dipinggirkan

dalam proses perubahan yang sedang berlangsung. Muncul kekecewaan

bercampur kebencian kepada rezim yang berkuasa, yang dianggap

memblokir peluang mobilitas sosial mereka.

Dalam hal ini, kesenjangan antara harapan dan kenyataan

merupakan bahan bakar radikalisme. Dahrendorf berpendapat kelompok

miskin cenderung apatis (The Politics of Frustration, Oktober 2005).

Hasil penelitian Dr. Marc Sageman, psikiater forensic AS, sangat

membantu menjelaskan hal tersebut. Sageman mengambil sempel biografi

Page 17: jurnal keperawatan

16

400 anggota Al-Qaeda maupun jaringannya. Hasilnya dituangkan dalam

buku Understanding Terror Networks (2004). Menariknya, Sageman

adalah mantan anggota CIA yang bertugas di Pakistan tahun 1980-an.

Biografi yang dikumpulkan Sageman sebagian besar warga Arab,

komunitas imigran Eropa Barat, dan warga Indonesia dan Malaysia.

Mereka ternyata bukan berasal dari negara termiskin. Lebih mengejutkan

lagi, tidak ada satupun dari 400 sampel yang berasal dari Afganistan, salah

satu negara termiskin di dunia.

Dalam kaitannya dengan latar belakang sosial-ekonomi, tiga

perempat berasal dari keluarga kelas atas dan menengah. Mereka lahir dan

dibesarkan dalam keluarga yang rukun, penuh perhatian terhadap anak,

taat beragama, dan menaruh perhatian terhadap masalah kemasyarakatan.

Sekitar 60 persen sampel pernah menjadi mahasiswa. Padahal, di negara

asal imigran tersebut tidak semua orang berkesempatan untuk masuk

perguruan tinggi. Umumnya mereka bergabung dengan organisasi teroris

pada usia rata-rata 26 tahun. Tiga seperempat sudah menikah dan sangat

bertanggung jawab kepada keluarga.

Dari keseluruhan sampel tidak ditemukan “pencucian otak” oleh

keluarga maupun pendidikan. Sekitar 50 persen mereka sejak kecil sudah

menekuni agama. Hanya 13 persen dari sampel, yang hampir semua dari

Asia Tenggara, mengikuti pendidikan di pondok pesantren.

Hal yang menarik lainnya, 70 persen di antara mereka bergabung

dalam jihad global ketika di perantauan. Sekitar 10 persen lagi adalah

imigran baru arab magrib di Eropa. Dengan demikian, lebih kurang 80

persen terasing di negeri rantau, terputus dari ikatan sosial budaya asli, dan

jauh dari sanak keluarga.

Data-data di atas menunjukkan bahwa radikalisme lahir tidak

hanya karena kesenjangan ekonomi (kemiskinan) tetapi juga karena

ideologi tertentu, khususnya yang bersumber dari oktrin agama. Jika

sebagian pelaku terorisme di Indonesia kebetulan berasal dari keluarga

Page 18: jurnal keperawatan

17

miskin dan terdorong oleh suatu ideologi, maka terdoronglah keinginan

untuk meluluhlantakkan ketertiban dan keamanan masyarakat.

4.2. Berkaitan dengan Proses Masuknya Paham Radikal ke dalam

Lingkungan Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi merupakan wadah bagi mahasiswa yang memiliki

banyak keanekaragam potensi yang dimiliki setiap perorangannya. Baik

itu bakat, keahlian, pengetahuan, kepemimpinan, dan intelektual.

Disamping itu sebenarnya mahasiswa masih mencari kearah mana

orientasi masa depan yang akan ditempuh. Sehingga mereka masih

memerlukan beberapa pengaruh yang dapat menunjang dan memfasilitasi

prinsip dan jati diri yang sedang dicari.

Oleh sebab itulah, ada beberapa kelompok radikal yang

memanfaatkan kondisi mahasiswa yang masih labil untuk dipengaruhi

dengan konsep radikalisme yang mereka bawakan. Padahal sejatinya

konsep radikalisme tidak sepenuhnya mengarah pada kekerasan,

pemaksaan, ataupun menjurus hal-hal yang negatif.

“Radikalisme itu adalah suatu perubahan yang cepat, tak semua

negatif, radikalisme yang destruktif adalah yang tak boleh ditiru, justru

semangat mahasiswa yang radikal terkadang dibutuhkan untuk perubahan

ke arah yang lebih baik,” (Jusuf Kalla, Okezone.com 19/05/11).

Generasi muda yang masih penuh gairah dalam menuntut ilmu

tentulah sangat membanggakan. Apalagi jika dapat meraih suatu prestasi

atau aktif dalam berbagai organisasi yang nasionalis yang barang kali bisa

memfasilitasi rasa nasionalisme pada bangsa ini. Itulah mungkin yang

diharapkan oleh Jusuf Kalla secara tersirat.

Namun kejadian belakangan ini sangat jauh dari apa yang

diharapkan. Kasus terjadinya bom buku di Utan Kayu tanggal 15 Maret

2011 yang sasarannya adalah Ulil Absar Abdala, anggota Jaringan Islam

Liberal, sampai temuan terakhir tanggal 26 April 2011, ditemukannya bom

di pintu air cililitan. Kegiatan teror dan radikal ini meresahkan berbagai

Page 19: jurnal keperawatan

18

kalangan masyarakat. Yang mengejutkan banyak pihak, ternyata sebagian

besar pelaku bom buku dan perencana bom Serpong merupakan lulusan

perguruan tinggi, bahkan diantaranya lulusan perguruan tinggi Islam.

Pelaku jelas-jelas menunjukkan pemahaman keagamaan Islam dengan cara

sempit, bercorak eksklusif, dan keras. (Lutfi Zanwar Kurniawan,

hmimpofeuii.blogspot.com, 2011)

Ada lagi kejadian yang menyebutkan sebelas mahasiswa

menghilang di Malang, Jawa Timur. Kemudian muncul kabar adanya

peristiwa penyekapan mahasiswa di Universitas Diponegoro Semarang.

Kampus dan mahasiswa seakan menjadi lahan dan sasaran utama

kelompok NII untuk merekrut anggotanya. (Radar Lampung, 05/05/ 2011)

Kampus yang selama ini dikenal sebagai tempat persemaian

manusia berpandangan kritis, terbuka, dan intelek, ternyata tidak bisa imun

terhadap pengaruh ideologi radikalisme. Radikalisme menyeruak

menginfiltrasi kalangan mahasiswa di berbagai kampus. Dari masa ke

masa di lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal baik

ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.

Kasus seperti diatas dapat ditemukan dalam skala berbeda di

banyak perguruan tinggi. Beragam penelitian dan pengakuan mereka yang

keluar dari sel-sel radikal dan ekstrim mengisyaratkan, mahasiswa

perguruan tinggi umum lebih rentan terhadap rekruitment daripada

mahasiswa mahasiwa perguruan tinggi agama Islam. Gejala ini jelas

berkaitan dengan kenyataan bahwa cara pandang mahasiswa perguruan

tinggi umum khususnya bidang sains dan teknologi, cenderung hitam

putih. Sedangkan mahasiswa perguruan tinggi agama Islam yang

mendapat keragaman perspektif tentang islam cenderung lebih terbuka dan

bernuansa ( Azyumardi Azra, Kompas, 27/4/11 )

Page 20: jurnal keperawatan

19

Modus perekrutan yang biasa dilakukan oleh jaringan tersebut

secara umum seperti berikut:

1. Mengajak dengan alasan menemui teman yang baru kembali dari

Timur Tengah atau teman yang mendapat pencerahan lewat

seminar tentang bangkitnya Islam.

2. Mengajak dengan alasan mencarikan kerja.

3. Mengajak ke rumah teman atau semacamnya.

4. Setiap jamaah memiliki target 10 orang untuk dihadirkan setiap

bulan, umumnya teman kuliah, SMU, SMP dan SD.

5. Bagi perekrut tanpa target, umumnya “hunting” di kampus-

kampus, mal dan toko buku.

6. Semua modus berakhir di Malja (kantor/markas) dan proses

doktrinasi akan dilakukan di dalam kamar tertutup.

7. Pemberi materi seorang laki-laki, umumnya seorang Mas’ul

(pimpinan).

Selain itu dalam usaha perekrutannya, jaringan NII memiliki

beberapa karakteristik yang bisa dikenali:

1. Untuk merekrut menggunakan dua orang jamaah, satu orang

pemancing dan lainnya pengajak.

2. Pemancing bertugas mengawasi dan mengawal serta memotivasi

calon jamaah.

3. Pemancing berpura-pura sebagai calon jamaah.

4. Pemancing dan pengajak mengawal calon jamaah hingga tahap

hijrah, termasuk menginap dirumah calon jamaah dan pencarian

dana untuk shadaqah hijrah.

5. Umumnya perekrut melakukan screening lewat dialog tentang

gerakan sesat untuk mengukur pengetahuan calon jamaah tentang

NII.

6. Yang dihindari oleh perekrut adalah anak polisi dan anak TNI.

Page 21: jurnal keperawatan

20

Jika seorang mahasiswa telah terpengaruh oleh paham seperti itu

dan telah berhasil direkrut oleh jaringan NII, dia akan terjebak dengan

banyak kewajiban dan kepentingan. Misalnya saja seperti kewajiban

menyetor dana setiap hari. Hal ini tentu akan memaksa mereka melakukan

tindakan kriminal pada lingkungannya. Mencuri dari orang di luar

kelompok, menipu orang tua dengan alasan menghilangkan laptop, HP,

merusakkan barang teman, membantu operasi orang tua teman, dll. Pada

akhirnya, yang mereka hadapi hanyalah tindakan yang merugikan orang

banyak dan diri sendiri. Perkuliahan pun rela mereka tinggalkan hanya

untuk menjalani aliran yang tak berpedoman secara benar kepada syariat-

syariat Islam sesungguhnya.

4.3. Solusi untuk Menangkal dan juga Menghentikan Perkembangan

Radikalisme di Lingkungan Kampus

Perguruan Tinggi adalah suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas

yang memiliki karakteristik akademik. Disinilah tempat dimana produk

intelektual dilahirkan, dikembangkan dan diimplementasikan. Dengan kata

lain perguruan tinggi merupakan laboratorium bagi masyarakat, yang

memberikan kontribusi bagi terciptanya proses pemberdayaan berfikir

sesuai dengan khasanah ilmu dan kapasitas yang dimiliki untuk

dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Esensi peran dan fungsi perguruan tinggi tersebut tertuang kedalam

pola orientasi yang menjadi bagian dari kegiatan akademik atau yang biasa

dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan

Pengabdian). Berbicara tentang pendidikan, maka perguruan tinggi bukan

hanya menciptakan suatu mekanisme kegiatan belajar-mengajar secara

formal saja. Tetapi ia juga harus mampu menumbuh-kembangkan nilai di

dalam pendidikan. Nilai yang dimaksud itu adalah bahwa di dalam

pendidikan terdapat budaya dan etika yang harus dipegang. Karena

pendidikan hanya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia. Dalam

konteks itulah maka pendidikan (khususnya di perguruan tinggi) harus

Page 22: jurnal keperawatan

21

setidaknya mengambil ikhtiar dari hakekat ilmu, yaitu dikaji secara ilmiah

dan dianalisa secara kontekstual agar bermanfaat bagi individu,

masyarakat bangsa dan negara.

Berkaitan dengan pengaruh radikalisme yang belakangan ini

menyeruak, maka perguruan tinggi mempunyai tanggungjawab besar

dalam menangkal dampak negatif dari jaringan radikal. Sebagai garda

depan dalam memantau perkembangan mahasiswa dari berbagai aspek,

lembaga pendidikan ini diharapkan mempunyai orientasi yang jelas dan

tepat dalam menanamkan nilai nasionalisme yang benar kepada

mahasiswanya. Namun bukan hanya pihak lembaga pendidikan saja yang

harus turut andil dalam menyikapi tuntutan tersebut. Pemerintah sebagai

penyelenggara negara juga memiliki tanggungjawab penuh, khususnya

departemen pendidikan pada masalah ini. Sistem pendidikan yang kurang

maksimal dan kurang mampu memfasilitasi nilai-nilai luhur yang

terkandung dalam pancasila dan ajaran agama secara tepat menjadi celah

bagi jaringan radikal untuk menyebarkan pemahamannya.

Semenjak runtuhnya orde baru, penataran P4 yang saat itu memang

terasa dipaksaan pada akhirnya dihentikan dan ditiadakan. Namun bukan

dampak positif yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi sikap dan

moral bangsa yang terkesan lebih bebas dan tanpa memiliki pedoman

sedikitpun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Persatuan dan kesatuan bangsa pun terasa mulai menipis dengan

makin maraknya aksi perkelahian, tawuran antar kelompok, bahkan

pemberontakan yang mengarah pada keinginan keluar dari NKRI ini.

Makin parahnya lagi, sikap radikal yang tak bermoral tersebut telah

merambah ke ruang lingkup pendidikan di Indonesia. Tawuran antar

pelajar SMA ataupun mahasiswa sudah menjadi hal yang biasa bahkan

menjadi konsumsi bagi beberapa oknum. Hal ini tentu sangat

memprihatinkan karena generasi muda yang kelak menjadi pemimpin

bangsa hanya memiliki moral yang brutal dalam diri mereka.

Page 23: jurnal keperawatan

22

Untuk itulah diperlukannya revitaslisasi mata kuliah yang bersifat

ideologis pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan agama (dengan

tidak menerapkan sistem yang memaksa seperti penataran P4). Dengan

memahami pancasila mahasiswa diarahkan untuk menumbuhkan semangat

kebangsaan keindonesiaan, dan kewarganegaraan yang bertanggung

jawab. Kemudian melalui pendidikan agama, akan diarahkan dalam

penguatan perspektif keagamaan-kebangsaan dan diorientasikan untuk

penguatan sikap intelektual tentang keragaman agama serta toleransi intra

agama dan antar agama serta anatara umat beragama dengan negara.

Sehingga mereka akan memiliki prinsip dan pandangan yang jelas dalam

kehidupan berbangsa ini. Juga mereka akan mampu untuk lebih memilih

dan memilah paham-paham radikal yang berkembang di masyarakat

karena telah mempunyai pemahaman yang cukup berkaitan dengan

korelasi agama dengan kenegaraan.

Selain dari aspek kurikulum yang patut diajarkan di lingkungan

kampus, perlu juga upaya pendorong agar organisasi yang terbentuk di

perguruan tinggi lebih efektif diikuti oleh mahasiswa. Karena, dari lingkup

organisasi inilah mahasiswa akan benar-benar terlatih untuk hidup dalam

suatu masyarakat yang majemuk. Dalam suatu masyarakat yang

mempunyai beragam cara berinteraksi, memiliki berbagai macam ide

kreatifitas, dan pandangan-pandangan mengenai permasalahan negara.

Yang tentunya semua aspek tersebut dibimbing kearah yang positif dan

bermanfaat. Sehingga mereka akan terlatih jiwa kepemimpinan,

kemufakatan, dan nasionalisme kebangsaan.

Page 24: jurnal keperawatan

23

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Radikalisme di ruang lingkup masyarakat memang tak akan bisa

secara total dikontrol dan diatur sedemikian rupa seperti yang kita

kehendaki. Bak aspirasi rakyat yang patut didengar oleh wakil-wakil

rakyat di pemerintahan, sikap radikalisme juga merupakan ungkapan para

pelakunya karena suatu sebab kondisi, kejadian, ataupun kebijakan yang

berlangsung di negeri ini. Setiap jengkal masalah yang menjadi isu negeri

ini bisa jadi penyulut sikap-sikap radikal untuk bangkit. Apalagi jika isu

tersebut berkaitan dengan masalah politik dan sosial.

Sama halnya dengan kalangan mahasiswa. Dalam perjalanannya

menuju kedewasaan tidak dapat dipungkiri bahwa mereka masih mencari

jati diri dan prinsip hidup. Mereka yang dapat dikatakan masih labil acap

kali mudah tersulut emosi dan mudah dipengaruhi pikiran-pikiran

lingkungannya. Untuk itulah perlu diberikan wadah yang tepat bagi masa

peralihan generasi muda ini untuk membentuk pribadi yang kelak

memiliki rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi demi terhindar

dari pengaruh-pengaruh sesat yang berkembang di masyarakat.

Dengan diselenggarakannya pembelajaran Pancasila, pendidikan

kewarganegaraan, dan agama, juga efektifitas kegiatan organisasi yang

diberikan maka sudah tentu mahasiswa akan memiliki karakter yang mulia

sesuai nilai-nilai luhur Pancasila.

5.2. Saran

Disamping membuat sistem pendidikan yang mampu mendorong

tercapainya mahasiswa yang memiliki jiwa kebangsaan dan nasionalisme

tinggi, pemerintah juga harus lebih memperhatikan masalah-masalah yang

masih dihadapi rakyat banyak pada umumnya. Masalah ekonomi dan

pendidikan merupakan aspek mendasar yang paling utama harus dibenahi.

Page 25: jurnal keperawatan

24

Tanpa adanya stabilitas perekonomian yang pada kenyataannya

makin menunjukan kesenjangan antara si kaya dan si miskin, dapat

berakibat munculnya usaha radikal yang bertujuan merubah nasib dan

keadaan suatu kelompok yang terpuruk aspek perekonomiannya. Tanpa

pendidikan layak dan tinggi yang bisa diakses seluruh lapisan rakyat, maka

akan berakibat mudah terpengaruhnya masyarakat yang tak

berpengetahuan lebih untuk mengikuti suatu aliran radikal yang

kedepannya merugikan banyak pihak.

Page 26: jurnal keperawatan

25

6. REFERENSI

Hendriyansyah, 2011, Kampus, Mahasiswa, dan Radikalisme,

http://radarlampung.co.id/read/opini/32682-kampus-mahasiswa-dan-

radikalisme

Trinanda, Andi, 2011, Eksistensi NII dan Matinya Pendidikan Pancasila ?,

http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/04/eksistensi-nii-dan-matinya-

pendidikan-pancasila/

Zanwar Kurniawan, Lutfi, 2011, Mencegah Radikalisme dari Kampus,

http://hmimpofeuii.blogspot.com/2011/05/mencegah-radikalisme-dari-

kampus.html

Mughni, Muladi, 2011, Faktor-faktor Penyulut Radikalisme Agama,

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&vie

w=article&id=1265:faktor-faktor-penyulut-radikalisme-

agama&catid=22:pengajian

Aruji, Iskandar, 2011, Sejarah Ringkas Berdirinya Negara Islam Indonesia,

http://www.iskaruji.com/2011/04/nii-sejarah-ringkas-berdirinya-

negara.html

Hadhi, Mahatma, dkk, 2011, Negara Islam Indonesia: Fakta Sejarah Dan

Perkembangannya,

https://sites.google.com/site/ppmenetherlands/news/sejarahnii

http://news.okezone.com/read/2011/05/19/337/458910/jk-radikalisme-tak-

selamanya-jelek-buat-mahasiswa

Suryana, Dede, 2011, Pancasila Mampu Redam Radikalisme,

http://news.okezone.com/read/2011/10/01/337/509539/pancasila-

mampu-redam-radikalisme

Effendi, Yusuf, 2010, RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA,

http://yusufeff84.wordpress.com/2010/04/21/radikalisme-islam-di-

indonesia/

Page 27: jurnal keperawatan

26

Faisal, Muhammad, 2011, Kebodohan dan Kemiskinan Penyebab Utama

Radikalisme dan Terorisme, http://bogorplus.com/kotabogor/66-

kotabogor/2443-kebodohan-dan-kemiskinan-penyebab-utama-

radikalisme-dan-terorisme.html

Asroni, Ahmad, _________, Radikalisme Islam di Indonesia, Makalah, Pasca

Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.