Ikterus Neonatorum_2

38
IKTERUS NEONATORUM I. Definisi Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya menjadi kuning pertama kali. Pada orang neonatus, ikterus tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL (> 86 μmol/L). Bilirubin serum normal adalah 0,1 – 0,3 mg/dl. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah > 13 mg/dL. Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis. 1,2,3 Bilirubin dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk dan bilirubin indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin. Sedangkan bilirubin indirek tidak larut dalam air dan terikat pada albumin. Bilirubin total merupakan penjumlahan bilirubin direk dan indirek. 2,5 Ikterus terjadi selama usia minggu pertama pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% pada bayi prematur. Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross- sectional yang dilakukan di RSCM selama tahun 2003, 1

description

ikterus

Transcript of Ikterus Neonatorum_2

BAB II

IKTERUS NEONATORUM

I. DefinisiIkterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya menjadi kuning pertama kali. Pada orang neonatus, ikterus tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL (> 86 mol/L). Bilirubin serum normal adalah 0,1 0,3 mg/dl. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah > 13 mg/dL. Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis.1,2,3 Bilirubin dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk dan bilirubin indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin. Sedangkan bilirubin indirek tidak larut dalam air dan terikat pada albumin. Bilirubin total merupakan penjumlahan bilirubin direk dan indirek.2,5Ikterus terjadi selama usia minggu pertama pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% pada bayi prematur. Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di RSCM selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. 2

II. Klasifikasi Ikterus Neonatorum

II. 1 Ikterus FisiologisIkterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari terjadinya fenomena berikut:2,5,6 Peningkatan produksi bilirubin karena peningkatan penghancuran eritrosit janin (hemolisis). Hal ini adalah hasil dari pendeknya umur eritrosit janin dan massa eritrosit yang lebih tinggi pada neonatus (Kadar Hb neonatus cukup bulan sekitar 16,8 gr/dl). Kapasitas ekskresi yang rendah dari hepar karena konsentrasi rendah dari ligan protein pengikat di hepatosit (rendahnya uptake) dan karena aktivitas yang rendah dari glukuronil transferase, enzim yang bertanggung jawab untuk mengkonjugasikan bilirubin dengan asam glukuronat sehingga bilirubin menjadi larut dalam air (konjugasi). Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih sedikitnya flora normal di usus dan gerakan usus yang tertunda akibat belum ada intake nutrien.Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3 mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103 mol/L), dan menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Secara umum karakteristik ikterus fisiologis adalah sebagai berikut:2 Timbul pada hari kedua ketiga. Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang bulan Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg % Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari. Tidak mempunyai dasar patologis.

Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih lambat daripada kenaikan bilirubin bayi cukup bulan, tetapi jangka waktunya lebih lama, biasanya menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai pada hari ke-4 dan ke-7.2,6

II. 2 Ikterus PatologikPeningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong dalam ikterus patologis, antara lain:2 Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan. Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis) Ikterus yang disertai oleh: Berat lahir 8 hari (pada aterm) atau >14 hari (pada prematur)

Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas golongan darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), dan defisiensi enzim G6PD. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus > 95 persentil menurut Nomogram Bhutani.7

Gambar 1 Nomogram Bhutani. Panduan untuk fototerapi pada bayi dengan usia kehamilan 35 minggu atau lebih.7

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus patologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:5,8 Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanik. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

III. Metabolisme BilirubinBilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin tak terkonjugasi atau bilirubin IX . Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Selain itu juga bersifat non-polar (bereaksi indirek).2,5,6Metabolisme bilirubin bayi baru lahir berada dalam transisi dari stadium janin dimana plasenta menjadi tempat utama eliminasi bilirubin yang larut lemak, ke stadium dewasa dimana bentuk bilirubin yang terkonjugasi yang larut air diekskresikan dari sel hati ke dalam sistem biliaris dan kemudian ke dalam saluran pencernaan.2,5

Gambar 2. Metabolisme bilirubin dalam hati dibagi menjadi 3 proses, yaitu pengambilan (uptake) bilirubin oleh sel hati, konjugasi bilirubin dan sekresi bilirubin ke dalam empedu5

Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada dalam sel hepar terjadi persenyawaan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation hepar lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya didekonjugasikan oleh enzim B-glukoronidase di usus menjadi bentuk yang tidak terkonjugasi. Selanjutnya diuraikan oleh bakteri usus menjadi sterkobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian bentuk yang tak terkonjugasi tersebut diabsorpsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorpsi entero-hepatik.2,9

IV. Etiologi dan PatofisiologiPeningkatan produksi bilirubin, defisiensi dari uptake hepar, gangguan konjugasi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik bilirubin menjadi sebagian besar penyebab ikterus patologis pada bayi baru lahir.1,2,6

IV. 1 Peningkatan produksiPeningkatan produksi bilirubin terjadi pada neonatus dengan berbagai ras, sebanding dengan neonatus dengan inkompatibilitas golongan darah, defisiensi enzim eritrosit, atau defek struktural dari eritrosit. Kecenderungan terjadinya hiperbilirubinemia pada kelompok ras tertentu belum dimengerti secara jelas.1Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat di ekskresi dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan urine. Urine dan feses berwarna lebih gelap.6,8Beberapa penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada anemia sel sabit), eritrosit abnormal ( sperositosis herediter), antibodi dalam serum (inkompatibilitas Rh atau transfusi atau akibat penyakit hemolitik autoimun), pemberian beberapa obat, dan peningkatan hemolisis. Sebagian kasus ikterus hemolitik dapat disebabkan oleh suatu proses yang disebut sebagai eritropoiesis yang tidak efektif. Proses ini meningkatkan dekstruksi eritrosit atau prekursornya dalam sumsum tulang ( talasemia, anemia pernisiosa, dan porfiria). Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin berlebihan yang berlangsung kronis dapat menyebabkan terbentuknya batu empedu yang mengandung sejumlah besar bilirubin; diluar itu, hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak membahayakan. Pengobatan langsung ditujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik.8IV. 2 Gangguan ambilan bilirubin Ambilan bilirubin tak terkonjugasi terikat-albumin oleh sel hati dilakukan dengan memisahkan dan mengikatkan bilirubin terhadap protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin oleh hati : asam flavaspidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), novobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografi. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat pencetus dihentikan. Dahulu, ikterus neonatal dan beberapa kasus sindrom gilbert dianggap disebabkan oleh defisiensi protein penerima dan gangguan ambilan oleh hati. Namun pada sebagian besar kasus ditemukan adanya defisiensi glukoronil transferase, sehingga keadaan ini paling baik dianggap sebagai defek konjugasi bilirubin.1,9,10

IV. 3 Gangguan konjugasi bilirubin Defisiensi dari enzim uridine diphosphate glucuronosyltransferase (UDPGT), enzim yang dibutuhkan dalam proses konjugasi bilirubin merupakan penyebab lain yang penting pada ikterus neonatorum. Tiga gangguan herediter yang menyebabkan defisiensi progresif enzim glukoronil transferase adalah: sindrom Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Meskipun seluruh bayi baru lahir relatif kekurangan enzim tersebut, mereka yang menderita sindrom CriglerNajjar tipe 1, dimana defisiensi enzim tersebut cukup parah, dapat bermanifestasi sebagai ensefalopati bilirubin pada hari-hari atau bulan-bulan pertama kehidupannya. Sebaliknya, ensefalopati jarang terjadi pada sindrom CriglerNajjar tipe II, dimana kadar bilirubin serum jarang melebihi 20 mg/dl.Sindrom Gilbert merupakan suatu penyakit familial ringan yang dicirikan dengan ikterus dan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (2-5 mg/ml) yang kronis. Sindrom Crigler najjar tipe 1 merupakan gangguan herediter yang jarang terjadi. Penyebabnya adalah suatu gen resesif, dengan tidak adanya glukoronil transferase sama sekali sejak lahir. Oleh karena itu tidak terjadi konjugasi bilirubin sehingga empedu tidak berwarna dan kadar bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/100ml. Hal ini menyebabkan terjadinya kernikterus. Fototerapi dapat mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi untuk sementara waktu, tetapi biasanya bayi meninggal pada usia satu tahun. Sindrom CiglerNajjar tipe II adalah bentuk penyakit yang lebih ringan, diwariskan sebagai suatu sifat genetik dominan dengan defisiensi sebagian glukoronil transerase. Kadar bilirubin tak terkonjugasi serum lebih frendah (6-20 mg/dl) dan ikterus mungkin tidak terlihat sampai usia remaja. Fenobarbital yang meningkatkan aktivitas glukoronil transferase seringkali dapat menghilangkan ikterus pada pasien ini.Pada ras Asia, varian DNA (Gly71Arg) menyebabkan perubahan asam amino dalam protein enzim UDPGT, yang berhubungan dengan hiperbilirubinemia neonatus.9IV. 4 Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasiGangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional maupun obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi dalam urine dan menimbulkan bilirubinuria serta urine yang gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen urine sering menurun sehingga feses terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali, AST, kolesterol, dan garam empedu dalam serum. Kadar garam empedu yang meningkat dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus akibat hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari oranyekuning muda atau tua sampai kuninghijau muda atau tua bila terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain ikterus obstruktif. Kolestatis dapat berupa intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu diluar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang serupa.Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular dengan kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis pada penyakit ini, pembengkakan dan dis organisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyalit hepato selular biasanya mengganggu semua pase metabolisme bilrubin-ambilan, konjugasi, dan ekskresi-tetapi ekskresi biasanya paling terganggu, sehingga yang paling menonjol adalah hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab kolestasis intrahepatik yang lebih jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin-Johnson serta sindrom Rotor (jarang terjadi). Pada keadaan ini terjadi gangguan trasfer bilirubin melalui membran hepatosik yang menyebabkan terjadinya retensi bilirubin dalam sel. Obat yang sering mencetuskan gangguan ini adalah halotan (anastetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazit, dan klorpomazin.Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pankreas menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar; demikian juga dengan karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah striktur paska peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmosis, syphilis, hepatitis neonatus.1,9

IV. 5 Gangguan transportasiAkibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.

Tabel 1 Faktor resiko hiperbilirubinemia neonatorum1Maternal factorsPerinatal factorsNeonatal factors

Race or ethnic group Asian Native American Greek IslanderBirth trauma Cephalhematoma EcchymosesPrematurityHipoglikemiaHipoalbuminemia

Complications during pregnancy Diabetes mellitus Rh incompatibility ABO incompatibilityInfection Bacterial Viral ProtozoalGenetic factors Familial disorders of conjugation Gilberts syndrome CriglerNajjar syndrome types I and II Other enzymatic defects Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency Pyruvate kinase deficiency Hexokinase deficiency Congenital erythropoietic porphyria Erythrocyte structural defects Spherocytosis Elliptocytosis

Use of oxytocin in hypotonic solutions during laborPolycythemia

Breast-feeding Breast milk is a competitive inhibitor of hepaticUGT (breast-milk jaundice)Drugs Streptomycin Chloramphenicol Benzyl alcohol Sulfisoxazole

Low intake of breast milk (breast-feeding jaundice)

Meningkatnya sirkulasi enterohepatik bilirubin dalam keadaan puasa dapat pula menyebabkan hiperbilirubinemia yang berlebihan. Bayi baru lahir yang tidak diberi asupan yang benar atau yang mendapatkan ASI ekslusif memiliki kadar bakteria intestinal yang rendah, sementara bakteri tersebut dapat mengubah bilirubin menjadi derivatnya yang tidak dapat diresorbsi, sehingga sirkulasi enterohepatik bilirubin dapat meningkat pada bayi tersebut.9

V. Efek Toksik Peningkatan BilirubinPerhatian utama terhadap hiperbilirubinemia yang berlebihan ini yaitu potensiasinya untuk menyebabkan efek neurotoksik, tetapi injuri sel secara umum dapat pula terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim mitokondrial dan dapat mengganggu sintesis DNA, menginduksi penghancuran untaian DNA, dan menghambat sintesis protein dan fosforilasi.1Bilirubin memiliki afinitas terhadap membran fosfolipid dan menghambat uptake tirosin, yang merupakan penanda transmisi sinaps. Bilirubin juga menghambat fungsi reseptor N-methyl-D-aspartate kanal ion. Hal tersebut menunjukkan bahwa bilirubin dapat mengganggu sinyal neuroeksitasi dan menyebabkan kelainan konduksi saraf (terutama saraf auditori). Bilirubin dapat menghambat pertukaran ion dan transpor air di sel-sel renal, yang dapat menjelaskan fenomena pembengkakan neuronal pada ensefalopati bilirubin (kernikterus). Penelitian yang dilakukan pada tikus percobaan yang imatur menunjukkan bahwa peningkatan kadar laktat, penurunan kadar glukosa seluler, dan gangguan metabolisme glukosa serebral berhubungan dengan hiperbilirubinemia.1,9Konsentrasi bilirubin di dalam otak dan durasi paparan terhadap bilirubin merupakan determinan penting efek neurotoksik bilirubin, dimana korelasi antara konsentrasi bilirubin serum dan ensefalopati bilirubin pada bayi tanpa hemolisis tidak begitu bermakna. Satu alasan untuk korelasi yang lemah ini adalah durasi hiperbilirubinemia juga menjadi determinan penting paparan otak terhadap bilirubin. Konsentrasi bilirubin serum tidak menunjukkan estimasi produksi bilirubin yang sebenarnya, konsentrasi bilirubin jaringan, atau konsentrasi bilirubin yang terikat albumin. Lebih lanjut, fototerapi dapat mengubah konfigurasi bilirubin dan hasil fotoisomer-nya yang dapat diekskresikan, mempersulit penentuan konsentrasi pasti bilirubin serum pada bayi yang mendapat terapi dengan bayi yang tidak diterapi. Sebaliknya, konsentrasi puncak bilirubin serum > 20 mg/dl biasanya menunjukkan outcome yang buruk pada bayi dengan penyakit hemolitik Rh, tetapi bayi-bayi lain yang memiliki konsentrasi bilirubin 25 mg/dl dapat normal.1Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum bertambah dengan adanya faktor-faktor berikut: Faktor-faktor yang menurunkan jumlah ikatan bilirubin-albumin. Bilirubin dapat memasuki otak jika tidak berikatan dengan albumin atau berada dalam bentuk tidak terkonjugasi. Albumin dapat mengikat bilirubin pada ratio molar 1 - 8,2 mg bilirubin per gram albumin. Oleh karena itu, bayi baru lahir yang memiliki konsentrasi albumin serum 3 gr/dl, dapat memiliki konsentrasi bilirubin serum yang terikat albumin sebanyak 25 mg/dl. Jika konsentrasi albumin serum rendah, jumlah bilirubin yang dapat terikat oleh albumin juga rendah sehingga meningkatkan resiko kernikterus. Obat-obatan seperti sulfisoxazole dan benzyl alkohol dapat menggeser ikatan bilirubin dari albumin sehingga dapat meningkatkan resiko kernikterus.1,2 Faktor-faktor yang meningkatkan retensi bilirubin dalam sirkulasi seperti asidosis, kenaikan sekunder kadar asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia.2 Faktor-faktor yang meningkatkan kerentanan sel otak terhadap toksisitas bilirubin. Pada otak sendiri, kerentanan untuk terjadinya efek neurotoksik dari bilirubin bervariasi tergantung tipe sel, maturitas otak, dan metabolisme otak. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan substrat bagi protein membran plasma yang tergantung ATP (ATP-dependent plasma-membrane protein) dan P-glikoprotein dalam sawar darah otak. Kondisi-kondisi yang dapat mengubah sawar darah otak seperti keadaan infeksi, asidosis, asfiksia, sepsis, prematuritas, dan hiperosmolaritas dapat mempengaruhi masuknya bilirubin ke dalam otak. Sekali bilirubin memasuki otak, presipitasi bilirubin pada pH yang rendah dapat berefek toksik. Terutama neuron yang sedang mengalami diferensiasi juga rentan terhadap injuri akibat bilirubin. Hal ini dapat menjelaskan mengapa prematuritas merupakan predisposisi terjadinya ensefalopati bilirubin.1,2

Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak. Gambaran klinis kernikterus bervariasi, dan > 15% bayi baru lahir tidak menunjukkan gejala neurologis yang nyata. Penyakit ini dapat dibagi menjadi bentuk akut dan kronik.1,2

Tabel 2 Gambaran klinis kernikterus1

Bentuk akut biasanya memiliki tiga fase. Sedangkan bentuk kronik dikarakteristikkan dengan hipotonia pada tahun pertama, dan setelah itu terjadi abnormalitas ekstrapiramidal dan ketulian sensorineural. Perubahan spesifik yang tampak pada gambaran MRI yaitu berupa peningkatan intensitas sinyal dalam globus palidus pada gambaran T2-weighted menunjukkan korelasi yang erat dengan terjadinya deposisi bilirubin dalam ganglia basalis.1,4Beberapa perubahan akan menghilang secara spontan atau dapat dibalikkan dengan transfusi tukar. Pada sebagian besar bayi dengan hiperbilirubinemia sedang hingga berat, respon yang ditimbulkan dapat menghilang setelah 6 bulan, dan pada sebagian kecilnya yang lain abnormalitas tersebut dapat menjadi permanen. Pada sebuah penelitian yang melakukan follow-up setelah 17 tahun mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara bayi yang mengalami hiperbilirubinemia berat (konsentrasi bilirubin serum 20 mg/dl) dengan IQ yang rendah pada anak laki-laki saja, tidak pada anak perempuan.4

VI. Diagnosis Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus, tergantung pada etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika kadar serum bilirubin bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke ekstremitas. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.7

Anamnesis1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan etiologinya.2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)3. Usia gestasi4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau transfusi tukar pada bayi sebelumnya6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin)7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu, intoleransi susu, dan ketidakstabilan temperatur. 9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek10. Gejala-gejala kernikterus 5,7

Pemeriksaan FisikSecara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.Hal-hal yang perlu diperiksa pada ikterus ini antara lain: Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis, status hidrasi Tanda-tanda kernikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high pitch cry Pallor, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik Tanda-tanda infeksi intrauterin seperti pateki, splenomegali. Progresi sefalo-kaudal pada ikterus berat 7

Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu: Kramer I Daerah kepala (Bilirubin total 5 7 mg) Kramer II Daerah dada pusat (Bilirubin total 7 10 mg%) Kramer III Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total 10 13 mg) Kramer IV Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai pergelangan kaki (Bilirubin total 13 17 mg%) Kramer V hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%) 7

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin. 2,5Transcutaneous bilirubinometer (TcB) atau ikterometer dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL ( 10 mg/dl dalam 2-5 jam. Saat ini, banyak bayi mendapatkan fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik yang optimal. Tetapi terapi ini cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan area permukaan tubuh yang terpapar dan intensitas dari sinar.1,16Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan bohlam lampu fluoresens) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata tertutup. Temperatur dan status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat sementara dihentikan selama 1 2 jam untuk mempersilahkan keluarga berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat untuk memulai fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus, berat badan lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika konsentrasi bilirubin serum berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.10

VIII. 2 Transfusi tukarTransfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik ini secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang bersirkulasi yang menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar sangat menguntungkan pada bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel darah merah dari donor yang telah dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat volume darah telah digantikan. Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum harus diukur secara periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung jumlah bilirubin di jaringan yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis. Pada beberapa kasus, prosedur ini perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah cukup. Infus albumin dengan dosis 1 gr/kgBB 1 4 jam sebelum transfusi tukar dapat meningkatkan jumlah total bilirubin yang dibuang dari 8,7 12,3 mg/kgBB, menunjukkan kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin.1

VIII. 3 Terapi farmakologisFenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim glukoronil-transferase, tetapi penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang dilakukan pada mencit menunjukkan fenobarbital mengurangi metabolisme oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga meningkatkan resiko efek neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada neonatus karena:1,5a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari pemberian.b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin.c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi.

Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase yang diperoleh dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim bilirubin oksidase. Ketika darah melalui filter yang mengandung bilirubin oksidase tersebut maka > 90% bilirubin didegradasi dalam sekali langkah. Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam terapi hiperbilirubinemia neonatorum, tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan dapat terjadi reaksi alergi pada penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh dari fungus.1

IX. PencegahanIX. 1 Reduksi bilirubin dalam sirkulasi enterohepatikBayi baru lahir yang tidak diberi asupan secara adekuat dapat meningkatkan sirkulasi enterohepatik bilirubin, karena keadaan puasa dapat meningkatkan akumulasi bilirubin. Peningkatan jumlah asupan oral dapat mempercepat ekskresi bilirubin, sehingga pemberian ASI yang sering atau asupan tambahan dengan susu formula efektif dalam menurunkan kadar bilirubin serum pada bayi yang sedang menjalani fototerapi. Sebaliknya, asupan tambahan dengan air atau dekstrosa dapat mengganggu produksi ASI, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi bilirubin.1Tidak ada obat-obatan atau agen-agen lain yang dapat menurunkan sirkulasi enterohepatik bilirubin. Pada tikus percobaan, karbon aktif dapat berikatan dengan bilirubin dan meningkatkan ekskresinya, tetapi efikasi dari karbon aktif tersebut pada bayi belum pernah diujikan. Pada sebuah penelitian, penggunaan agar pada bayi yang sedang menjalani fototerapi secara signifikan dapat menurunkan durasi fototerapi dari 48 jam menjadi 38 jam. Cholestyramine yang digunakan untuk terapi ikterus obstruktif, dapat meningkatkan ekskresi bilirubin melalui ikatan dengan asam empedu di dalam intestinal dan membentuk suatu kompleks yang tidak dapat diabsorbsi.1,5

IX. 2 Inhibisi produksi bilirubinMetalloporfirin sintetis dapat menghambat produksi bilirubin dengan menjadi inhibitor kompetitif enzim heme-oksigenase. Pada bayi prematur dengan berat lahir 1500-2500 gram, dosis tunggal mesoporfirin timah intramuskular (6 mol/kg) yang diberikan dalam 24 jam pertama kelahiran dapat menurunkan kebutuhan fototerapi sebesar 76%, dan menurunkan konsentrasi puncak bilirubin serum sebesar 41%. Satu-satunya efek yang merugikan adalah eritema sementara akibat fototerapi. Walaupun tampak sangat menjanjikan, metalloporfirin saat ini belum disetujui penggunaannya pada bayi baru lahir.1

IX. 3 Pencegahan ensefalopati bilirubinSekali bilirubin terakumulasi, peningkatan pH otak dapat membantu mencegah ensefalopati, karena bilirubin lebih mudah larut dalam suasana alkali. Pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia berat, alkalinisasi yang cukup (pH 7,45 7,55) dapat diperoleh dengan infus bikarbonat atau dengan menggunakan strategi ventilator untuk menurunkan tekanan parsial karbon dioksida sehingga pH meningkat.1

X. PrognosisDengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan mengalami kernikterus. Kernikterus didapatkan pada 8% bayi dengan hemolisis Rh yang memiliki konsentrasi bilirubin serum 19-24 mg/dl, 33% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 25-29 mg/dl, dan 73% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl.5Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 75% atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, tuli, dan kuadriplegia sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisikio harus menjalani skrining pendengaran.2,5

DAFTAR PUSTAKA

1. Ennery, P., Eidman, A., Tevenson, D., 2001. Neonatal Hyperbilirubinemia. New England Journal of Medicine, Vol. 344, No. 8.

2. Kliegman, Robert M. 2004. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17th Edition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders.3. Roberts A, Eve. 2000. The Jaundiced Baby Dalam : Deidre A. Kelly Editors. Diseases of the Liver and Biliary System in Children. 2nd Edition. Blackwell Publishing; hal. 35-734. Kliegman, Robert M. 2004. Kernicterus. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17Th Edition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders.5. Chowdhury, Namita-Law. 2000. Bilirubin Metabolism. Dalam : Juan Roders Editors. Textbook of Hepatology: from Basic Science to Clinical Practice. 3rd Edition. Blackwell Publishing.6. Hansen, Thor Willy Ruud. 2010. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews vol. 11; hal. E316-E322.7. Gleadle Jonathan. 2005. At a Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis. Penerbit Erlangga; hal. 388. Maisels, M. J., & Mcdonagh, Antony F. 2008. Phototherapy For Neonatal Jaundice. New England Journal of Medicine; 358:920-8.9. Gartner, Lawrence M. 1994. Neonatal Jaundice. Pediatrics Review. Vol. 15; hal. 422-43210. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004. Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of Gestation. Pediatrics; 114;297-316.

LampiranAlgoritma Penatalaksanaan ikterus neonatorum

27

24