DISERTASI IMUNOPATOGENESIS TUBERKULOSIS PARU : …
Transcript of DISERTASI IMUNOPATOGENESIS TUBERKULOSIS PARU : …
DISERTASI
IMUNOPATOGENESIS TUBERKULOSIS PARU : ANALISIS EKSPRESI mRNA GEN HIGH-MOBILITY
GROUP BOX 1 (HMGB-1), SOLUBLE PROTEIN HMGB 1, SOLUBLE PROTEIN TOLL LIKE RECEPTOR 4 (sTLR 4) DAN
INTERLEUKIN 6 (IL 6)
IMMUNOPATHOGENESIS OF PULMONARY TUBERCULOSIS : ANALYSIS EXPRESSION OF mRNA HIGH-MOBILITY GROUP BOX 1 (HMGB-1) GENE, SOLUBLE PROTEIN
HMGB 1, sOLUBLE PROTEIN TOLL LIKE RECEPTOR 4 (sTLR 4) AND INTERLEUKIN 6 (IL 6)
TRI ARIGUNTAR WIKANNING TYAS ( NPM : P02003140450 )
PROGRAM STUDI S3 ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2019
ii
IMUNOPATOGENESIS TUBERKULOSIS PARU : ANALISIS EKSPRESI mRNA GEN HIGH-MOBILITY
GROUP BOX 1 (HMGB-1), SOLUBLE PROTEIN HMGB 1, SOLUBLE PROTEIN TOLL LIKE RECEPTOR 4 (sTLR 4) DAN
INTERLEUKIN 6 (IL 6)
IMMUNOPATHOGENESIS OF PULMONARY TUBERCULOSIS : ANALYSIS EXPRESSION OF mRNA HIGH-MOBILITY GROUP BOX 1 (HMGB-1) GENE, SOLUBLE PROTEIN
HMGB 1, sOLUBLE PROTEIN TOLL LIKE RECEPTOR 4 (sTLR 4) AND INTERLEUKIN 6 (IL 6)
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai Gelar Doktor
Program Studi Ilmu Kedokteran
Disusun dan diajukan oleh
TRI ARIGUNTAR WIKANNING TYAS P0200314050
Kepada:
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM S3 ILMU KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
iii
TIM PENILAI UJIAN PROMOSI
Promotor : Prof. dr. Muhammad Nasrum Massi , Ph.D
Ko-promotor : dr. Uleng Bahrun, Ph. D, Sp.PK(K)
Ko-promotor : Dr. dr. Irawaty Djaharuddin, Sp.P(K)
Penilai : Prof. Dr. dr. Muh. Amin, Sp.P(K)
Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam,Sp.BS(K)
Prof. dr. Mochammad Hatta, Ph.D, Sp.MK(K)
Dr. dr. Ilhamjaya Patellongi, M.Kes
Dr. dr. Nur Ahmad Tabri, Sp.PD(K), Sp.P(K)
Dr. dr. Nursin Abdul Kadir, Sp.PK
iv
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Tri Ariguntar Wikanning Tyas
Nomor Mahasiswa : P0200314050
Program Studi : Ilmu Kedokteran
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penelitian yang saya tulis ini adalah
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Februari 2019
Yang menyatakan
Tri Ariguntar Wikanning Tyas
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan disertasi ini. dengan judul
“IMUNOPATOGENESIS TUBERKULOSIS PARU :
ANALISIS EKSPRESI mRNA GEN HIGH-MOBILITY GROUP BOX 1
(HMGB1), SOLUBLE PROTEIN HMGB 1, SOLUBLE PROTEIN TOLL LIKE
RECEPTOR 4 (sTLR4) DAN INTERLEUKIN 6 (IL6)” sebagai salah satu
persyaratan mencapai gelar Doktor pada Program Studi S3 Ilmu Kedokteran
Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Shalawat dan salam
senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat dan pengikut-Nya hingga akhir zaman.
Pertama-tama penulis haturkan rasa hormat dan terimakasih yang
setulus-tulusnya kepada orang tua saya tercinta, Almarhum Bapak Drs.
Gunanto dan almarhumah Ibunda Hj. Sutarsih yang semasa hidupnya
memelihara, mendidik dan membesarkan dengan penuh kasih sayang,
selalu mendukung dan memotivasi penulis, serta senantiasa mendoakan
kami dari kecil hingga mampu seperti sekarang ini. Semoga Allah SWT
mencatat amal ibadahnya dan diberi tempat yang layak disisiNya.
vi
Penyusunan dan penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari
keterlibatan dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis
dengan tulus menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kasih yang tak
terhingga kepada:
Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas
Hasanuddin. Prof. Dr. Budu, Ph.D, SpM-KVR, M.Med.Ed, selaku dekan
Fakultas kedokteran UNHAS dan Prof. Dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS(K),
selaku Dekan Fakultas Kedokterann FK UNHAS periode 2014-2018 atas izin
dan dukungannya dalam mengikuti pendidikan doktor. Dan selaku anggota
tim penilai, terima kasih yang tidak terhingga atas asupan dan koreksi yang
diberikan pada penulisan disertasi ini. dr. Agussalim Bukhari, M.Clin.Med,
Ph.D, Sp.GK, selaku ketua Program studi S3 UNHAS dan Prof. dr. H.
Mochammad Hatta, Ph.D, Sp.MK(K), selaku Ketua Program Studi S3
Kedokteran UNHAS sebelumnya dan anggota penilai, saya sampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang tak terhingga atas atas segala bantuan,
dorongan, motivasi, bimbingan yang tiada lelah dalam menyelesaikan
penelitian ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan
membalas amal kebaikan mereka.
Prof. dr. Muhammad Nasrum Massi, Ph.D, selaku promotor dan guru
yang telah meluangkan waktu mengarahkan, mendorong, memotivasi,
memberikan ide dan saran untuk perbaikan dalam penyusunan dan
penyelesaian disertasi ini. dr. Uleng Bahrun, Ph.D, Sp.PK(K) dan Dr. dr.
Irawati Djaharuddin, Sp.P(K), selaku Co-Promotor dan guru, yang telah
vii
meluangkan waktu dengan penuh kesabaran membimbing, mengarahkan
dan memotivasi penulis hingga penyelesaian disertasi ini. Saya ucapkan
terimakasih yang tak terhingga dan permohonan maaf yang sebesar-
besarnya kepada promotor dan kopromotor, bila selama bimbingan ada
kesalahan dan kekhilafan yang penulis perbuat, Semoga Allah SWT
senantiasa melimpahkan rahmat dan membalas amal kebaikan mereka.
Prof. Dr. dr. Muhammad Amin, Sp.P(K), selaku Penguji Eksternal yang
selalu menyempatkan waktu di sela kegiatannya yang padat untuk memberi
masukan dan perbaikan sejak persiapan hingga akhir penulisan disertasi ini.
Semoga Allah SWT mencatat semua amal kebaikan beliau.
Dr. dr. Ilhamjaya Patellongi, M.S., selaku penguji yang banyak
memberikan inspirasi, bimbingan dan koreksi khususnya bidang pengolahan
statistik dan metodalogi penelitian dari awal hingga penyelesaian disertasi
ini, Dr. dr. Nur Ahmad Tabri, Sp.P(K), Sp.PD, dan Dr. dr. Nursin Abdul
Kadir, Sp.PK. atas kesediaannya membimbing sekaligus menjadi penguji.
Koreksian dan saran yang tajam membangun substansi disertasi ini. Semoga
Allah SWT, senantiasa melindungi dan mencatat seluruh amal kebaikan
mereka.
viii
Kepada Prof. dr. Mochammad Hatta, Ph.D, Sp.MK(K) selaku kepala
Laboratorium Biomolekuler dan Imunologi FK Unhas beserta staff H. Romi
dan Pak Mus atas bantuan dan fasilitas selama penelitian. Semoga Allah
SWT membalas semua amal kebaikan mereka.
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta. Prof. Dr. Syaiful Bahri,
S.H., M.H. dan jajarannya atas dukungan baik moril muapun materi.. Dekan
FKK UMJ, dr. Muhammad Fachri, Sp.P sekaligus teman seperjuangan
dalam menempuh pendidikan S3, terima kasih atas dukungan, motivasi dan
bantuannya terutama bantuan dana selama pendidikan dan penelitian, dari
awal pendidikan hingga selesainya disertasi ini. Keluarga besar fakultas
kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta, Guru Besar, para Dosen
dan seluruh staf yang selama ini mendoakan dan memotivasi hingga
selesainya disertasi ini. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga Allah SWT
membalas semua amal kebaikan mereka.
Direktur RSIJ Pondok Kopi dan Sukapura atas ijinnya sebagai tempat
pengambilan sampel penelitian selama pendidikan, seluruh perawat yang
telah membantu pengambilan sampel. Dr. Murtiyas Galuh, Sp.PK selaku
kepala Laboratorium Patologi Klinik di RSIJ Pondok kopi dan Sukapura dan
juga sebagai Ketua PDS PATKLIN cabang Jakarta,yang selalu mendorong
dan memotivasi serta membantu selama proses sampling dan penanganan
sampel penelitian. Terima kasih yang sebesar-besarnya semoga Allah SWT
membalas semua amal kebaikan mereka.
ix
Para Direktur dan seluruh analis di RS Karya Medika Bantar Gebang,
RS Bhineka Bakti Husada, dan RS Kartika Husada Setu. Terima kasih yang
tak terhingga atas dukungan dan ijin selama menempuh pendidikan
sehingga penulis dapat mengikuti Program Doktor ini dengan baik.
dr. Amir Syafruddin, M.Med.Ed, dan dr. Slamet Sudi Santoso,
M.Pd.Ked, selaku rekan kerja sekaligus teman angkatan pendidikan S3
UNHAS, yang selalu memotivasi dan berbagi ilmui. dr. Indah Pratiwi yang
sangat membantu selama proses pengambilan sampel dan tabulasi data.
Terima kasih yang tak terhingga semoga Allah SWT membalas segala amal
baik mereka.
Staf Program S3 Ilmu Kedokteran UNHAS, Pak Akmal, Pak Mumu dan
Ibu Nur, atas dukungan dan bantuannya baik secara moril maupun secara
administratif.
Seluruh pasien maupun keluarga pasien serta sukarelawan yang secara
ikhlas tanpa paksaan, ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.
Secara khusus kami sampaikan rasa terimakasih dan penghormatan tak
terhingga kepada Bapak dan ibu mertua saya, almarhum Prof. Dr.
Sudjinggo dan ibunda Hj. Lasmiyati atas dukungan moril serta doanya yang
senantiasa diberikan. Kepada Kakak-kakak & Adik-adikku yang selalu
mendukung dan mendoakan, Eko Ariguntar P, Dwi Ariguntar S, Catur
Ariguntar A, dan Panca Ariguntar W.
Tak terhingga ungkapan rasa syukur, telah memiliki Yoga Fortuna
Wisnu Wardana, S.E., M.M., suami tercinta yang penuh pengertian dan
x
setia mendampingi dalam keadaan susah maupun senang. Kesabaran,
pengertian, dorongan serta doa yang senatiasa dipanjatkan yang sangat
mendukung terselesainya disertasi ini. Juga untuk ketiga putraku
Muhammad Reynaldi Anandita Ganing, Muhammad Reyzandi Anandita
Ganing, dan Muhammad Rafialdi Anandita Ganing sebagai penyemangat
dan penghibur selama menempuh pendidikan doktoral. Semoga perjuangan
Ibu dapat menjadi tauladan bagi kalian, serta disertasi ini menjadi motivasi
kalian untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya karena sesungguhnya “Allah
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu” (QS. Al-
Mujadalah 58:11), semoga Ridho Allah senantiasa bersama kalian dan
menjadi anak-anak yang soleh dan sukses. Aamiin.
Kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
Pendidikan Doktor dan penerbitan disertasi ini, yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, dengan ketulusan hati, saya sampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan Bapak, Ibu, saudara dan saudari sekalian dengan pahala yang
berlipat ganda. Aamiin.
Saya menyadari bahwa disertasi ini tidak luput dari kekurangan dan
keterbatasan, karena itu kritikan dan saran membangun sangat diharapkan
dari berbagai pihak untuk penyempurnaan disertasi ini.
Akhir kata, semoga dengan terbitnya disertasi ini dapat bermanfaat
untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan untuk kepentingan aplikasi klinis
xi
kepada masyarakat, khususnya dalam penanganan, pencegahan dan
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia.
Aamiin, aamiin, Ya Rabbal Aalamiin.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Makassar, Februari 2019
Tri Ariguntar Wikaning Tyas
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL I
LEMBARAN PENGESAHAN II
TIM PENILAI PROMOSI III
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI IV
KATA PENGANTAR V
ABSTRAK XII
ABSTRACT XIII
DAFTAR ISI XIV
DAFTAR TABEL XVII
DAFTAR GAMBAR XVIII
DAFTAR SINGKATAN XIX
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 6
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum 7
1.3.2. Tujuan Khusus 7
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Aspek Pengembangan Ilmu 8
1.4.2. Aspek Aplikasi Klinis 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Definisi Tuberkulosis 10
2.1.2. Etiologi Tuberkulosis 11
2.1.3. Faktor Risiko Tuberkulosis 11
2.1.4. Cara penularan Tuberkulosis 12
2.1.5. Patogenesis Tuberkulosis 13
2.1.6. Klasifikasi TB 17
2.1.7. Gejala Klinis TB 22
2.1.8. Pemeriksaan Fisik TB 23
2.1.9. Pemeriksaan Penunjang TB 24
2.1.10. Diagnosis TB 27
2.1.11. Pengobatan TB 29
2.1.12. Evaluasi Pengobatan TB 35
2.1.13. Pencatatan dan Pelaporan TB 36
2.2. Infeksi TB Laten (ITBL)
2.2.1. Definisi TB Laten 38
xv
2.2.2. Diagnosis TB Laten 39
2.2.3. Pemeriksaan TB Laten 40
2.2.4. Kelompok Risiko TB Laten 44
2.2.5. Kelompok Risiko Tinggi TB Laten 45
2.3. Sistem Imunitas Tubuh Terhadap Infeksi
2.3.1. Respon Imun Terhadap MTB 46
2.4. High Mobility Group Box 1 (HMGB1)
2.4.1. Definisi HMGB1 51
2.4.2. Struktur HMGB1 51
2.4.3. Fisiologi dan Peranan HMGB1 53
2.4.4. Peran Proimflamatorik HMGB1 56
2.4.5. Peran HMGB1 pada Infeksi 58
2.4.6. Peranan HMGB1 pada Infeksi TB 63
2.5. Penanda Biologis Interleukin 6 (IL6)
2.5.1. Definisi 74
2.5.2. Biosintesis dan Sekresi IL6 74
2.5.3. Aktivitas Biologi IL6 75
2.6. Penanda Biologis Toll Like Receptor 4 (TLR4)
2.6.1. Definisi 77
2.6.2. Peranan TLR4 sebagai reseptor
transmembran
78
2.6.3. Peranan TLR4 terhadap Patogen 79
BAB III KERANGKA TEORI 82
BAB IV KERANGKA KONSEP
4.1. Kerangkap Konsep 83
4.2 Hipotesis 83
BAB V METODA PENELITIAN
5.1. Disain Penelitian 84
5.2. Populasi 84
5.3. Tempat dan Waktu 84
5.4. Sampel Penelitian
5.4.1. Tehnik Sampling 85
5.4.2. Besar Sampel 85
5.4.3. Kriteria Sampel 86
5.5. Cara Kerja
5.5.1, Pemilihan Subjek Penelitia 87
5.5.2. Pengumpulan data Penelitian 88
5.5.3. Persiapan Alat dan Reagen 89
5.6. Etika Penelitian 103
5.7. Alur Penelitian TB Aktif 104
xvi
5.8. Alur Penelitian TB Laten 105
5.9. Definisi Operasional 106
5.10. Metoda Analisis Data 107
BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
6.1. Hasil Penelitian 109
6.2. Pembahasan 119
6.3. Keterbatasan Penelitian 130
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Ringkasan 131
7.2. Simpulan 132
7.3. Saran 133
PUSTAKA 134
LAMPIRAN 143
xvii
DAFTAR TABEL
2.1. Jenis dan dosis obat antituberkulosis (OAT) 32
2.2. Dosis Panduan OAT KDT kategori 1 33
2.3. Dosis Panduan OAT KDT kategori 2 34
2.4. Perbedaan TB Aktif dan TB Laten 40
2.5. Interpretasi test Tuberkulosis 42
6.1. Karakteristik dasar subjek penelitian 112
6.2. Hasil pemeriksaan parameter variabel yang diteliti 113
6.3. Hubungan antara ekspresi HMGB1, kadar protein HMGB1,
kadar TLR4 dan kadar IL6 pada TB aktif dan TB laten
115
6.4. Nilai rentang ekspresi gen HMGB1 dan kadar protein
HMGB1, TLR4 dan IL6 pada TB aktif dan TB laten
119
xviii
DAFTAR GAMBAR
1. Faktor risiko kejadian TB 12
2. Patogenesis TB 16
3. Spektrum infeksi MTB dan daur hidup MTB 17
4. Klasifikasi TB 20
5. Klasifikasi TB berdasarkan tipe kasus 22
6. Alur diagnosis TB 29
7. Imunitas Innate 50
8. Struktur HMGB1 52
9. Mekanisme sekresi dan peran HMGB1 55
10. Reseptor HMGB1 dan pengaktivan jalur transduksi
signal
56
11. Alat Real Time PCR 97
12. Kurva standar dan siklus amplifikasi RT PCR 98
13. Prinsip Elisa sanwich 100
14. Pengenceran sampel pemeriksaan HMGB1, TLR4, IL6 101
15. Pengenceran standar pemeriksaan HMGB1, TLR4, IL6 102
16. Mesin ELISA 104
17. Perbandingan ekspresi mRNA gen HMGB1 pada TB
aktif dan TB laten
114
18. Perbandingan kadar soluble protein HMGB1 pada TB
aktif dan TB laten
19. Perbandingan kadar protein TLR 4 pada TB aktif dan
TB laten
20. Perbandingan kadar protein IL6 pada TB aktif dan TB
laten
114
117
117
xix
DAFTAR SINGKATAN
AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome
BCG : Bacillus Calmette-Guerin
BTA : Basil Tahan Asam
CRP : C-Reactive Protein
DAMPs : Damaged assosiated molecular patterns
DNA : Deoxyribonucleic acid
EDTA : Etilen diamin tetra acetat
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay
HMGB1 : High mobility group box 1
HIV : Human Immunodeficiency Virus
IL : Interleukin
IFN : Interferon
IGRA : Interferon gamma release assay
IRF3 : Interferon respon factor 3
IUATLD : International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease
KDT : Kombinasi Dosis Tetap
LPS : Lipopolysaccharide
LTA : Lipoteichoic acid
MyD 88 : Myeloid differentiation primary respone protein 88
MMR : Macrophage Mannose Receptors
MIP : Macrophage Inflamatory Protein
mRNA : Messenger Ribonucleic acid
MTB : Mycobacterium tuberculosis
NFκβ : Nuclear Factor kappa beta
NK : Natural Killer
OAT : Obat Anti Tuberculosis
PAMPs : Pathogen assosiated moleculer patterns
xx
PDPI : Persatuan Dokter Paru Indonesia
PI3K : Phosphatidyl Inositol 3 Kinase
PMO : Pengawas Minum Obat
PMN : Polymorphonuclear neutrophils
RT PCR : Real time polymerase chain reaction
RAGE : Receptors for advanced glycation end product
ROS : Reactive oxygen spesies
SAA : Serum Amyloid A
TIR : Toll interleukin 1 receptor
TLR4 : Toll like receptors 4
TNFα : tumor necroting factor alpha
TRIF : TIR domain containing adapter inducing IFNβ
TST : Tuberculin Skin Test
WHO : World Health Organization
VDR : Vitamin D Receptors
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Terutama mengenai paru disebut TB
paru tetapi dapat juga mengenai organ lain disebut TB ekstraparu (PDPI.,
2011; WHO., 2015). Tuberkulosis merupakan satu dari sepuluh penyakit
penyebab kematian dan sebagai agen infeksi tunggal penyebab utama
kematian diatas Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS). Global Tuberculosis Report 2018
melaporkan terdapat 1,3 juta kematian pada orang dengan HIV negatif dan
300.000 kematian pada orang dengan HIV positif. Diperkirakan terdapat 10
juta penderita TB pada 2017 di dunia: 5,8 juta pada pria, 3,2 juta pada
wanita dan 1 juta pada anak-anak dan lebih dari 90% pada orang dewasa,
lebih dari 15 tahun (WHO., 2018).
Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan Cina dengan
jumlah penderita TB sekitar 8% dari total jumlah kasus TB paru di dunia
(WHO., 2018). Hingga saat ini tuberkulosis masih menjadi masalah
kesehatan utama di Indonesia walaupun upaya pengendalian TB dengan
strategi Directly Observed Treatment Shorcourse chemotherapy (DOTS)
telah diterapkan sejak 1995. Laporan kementerian kesehatan Republik
Indonesia 2018, mendapatkan jumlah kasus baru TB sebesar 420.994
2
kasus. Tingkat keberhasilan pengobatan (success rate) sebesar 85,1%.
Tingginya insiden TB ini akan berdampak terhadap ekonomi maupun sosial
yang akan membebani individu maupun negara. Masalah ini bertambah
dengan makin meningkatnya kasus HIV dan resistensi terhadap obat
antituberkulosis (Kemenkes RI., 2018).
Pasien TB dapat menyebarkan kuman MTB ke udara dalam bentuk
percikan dahak, yang sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 droplet
nuclei/percik renik. Dengan Imunitas yang baik seseorang yang terpapar
kuman MTB, dapat menghilangkan kuman MTB atau tidak akan
bermanifestasi klinik dan tidak menularkan kepada orang lain yang disebut
infeksi laten TB, akan tetapi saat imunitas tubuh menurun keadaan ini dapat
berkembang menjadi penyakit TB yang berpotensi menjadi sumber
penularan (Kemenkes., 2014). Sekitar 2-5% infeksi TB laten ini dapat
berkembang menjadi TB aktif dan merupakan reservoar paling besar untuk
menularkan kuman MTB. (Druszczynska M et al., 2012; Cliff J. M et al.,
2015; PDPI., 2016). Proses imunopatogenesis TB merupakan proses yang
dinamis yang melibatkan faktor pejamu dan agen. Faktor pejamu berupa
sistem imunitas, genetik, gizi dan lingkungan, sedangkan faktor agen
berupa virulensi dan jumlah kuman /bacterial load (Subowo, 2014). Oleh
karena itu perlu pemahaman tentang patomekanisme imun respons pada
infeksi TB, dengan harapan dapat mengurangi berkembangnya TB laten
menjadi TB aktif dan juga dapat menemukan secara dini kemungkinan
terjadinya proses reaktivasi TB laten menjadi aktif.
3
Sistem imunitas sangat penting pada saat terjadinya infeksi oleh
kuman MTB. Mekanisme imun respons baik alami maupun adaptif berperan
untuk menentukan seseorang menjadi TB laten atau aktif. Respons
inflamasi lokal merupakan hal yang krusial dalam proses imunopatogenesis
tuberkulosis (Russel D.G., 2007). Infeksi MTB akan menyebabkan MTB
difagositosis oleh makrofag dan sel dendritik melalui berbagai reseptor
yang ada pada permukaan membran seperti Toll Like Reseptor 2 (TLR2),
TLR4, TLR9 dan Receptors for Advanced Glycalation End products
(RAGE). Ikatan dengan reseptor TLR4 yang kemudian akan mengaktivasi
jalur signal Natural Killer Kappa Beta (NK-κβ) untuk memproduksi sitokin
proinflamasi seperti Interleukin 6 (IL6) dan Tumor Necrosis Factor α (TNFα)
oleh makrofag (Magna M., et al., 2014). Sedangkan respons imun adaptif
terstimulasi saat makrofag dan sel dendritik yang terinfeksi MTB
mempresentasikan MTB ke sel limfosit T naive. Sel limfosit T kemudian
berproliferasi dan berdiferensiasi untuk memproduksi interferon gamma
(IFNɣ) yang berfungsi mematikan mikobakterial intrasel dalam makrofag.
Sekresi IFNɣ akan mengaktivasi makrofag untuk mengeluarkan berbagai
sitokin seperti IL1,TNFα, IL6, IL12 dan berperan dalam pembentukan
granuloma pada tempat infeksi (Dheda K et al., 2010; Subowo, 2014.,
PDPI., 2016). Respons inflamasi lokal berupa perekrutan makrofag maupun
sel-sel limfosit T yang kemudian akan memicu pelepasan limfokin dan
kemokin yang mengaktivasi pembentukan granuloma (Subowo., 2014;
Erika de witt., 2009; Van Crevel R., 2002).
4
Selama proses infeksi MTB, berbagai mediator proinflamasi terlibat
dan berkontribusi terhadap pembentukan granuloma pada TB yang
merupakan pertahanan tubuh untuk membunuh MTB atau menghambat
pertumbuhan MTB oleh makrofag. Selain mengeluarkannya berbagai
sitokin, makrofag yang teraktivasi maupun yang nekrosis juga mensekresi
High mobility group box 1 (HMGB1). High mobility group box 1 adalah
protein inti non histon yang bertindak seperti sitokin proinflamasi yang
dilepaskan oleh monosit dan makrofag saat teraktivasi. Sel imun alami
termasuk makrofag, monosit, sel dendritik, sel mast, neutrofil, eosinofil, dan
sel natural killer merupakan produsen utama dari HMGB1 (Zeng JC et al.,
2015). Makrofag secara aktif mensekresi HMGB1 sebagai respons
terhadap infeksi MTB yang bertindak sebagai sinyal dari jaringan atau sel
yang cedera dan mempertinggi respons imun. Sel Nekrotik secara pasif
juga melepaskan HMGB1 ditempat kerusakan jaringan yang menginduksi
berbagai respons seluler, termasuk ekspresi mediator proinflamasi. Proses
ini dimediasi oleh RAGE, TLR2, TLR 4 dan TLR 9. Diantara berbagai
reseptor ini, terutama TLR4 menyebabkan aktivasi jalur signaling akhir
NFκB, interferon regulatory factor-3 (IRF 3) dan phosphatidylinositol 3-
kinase (PI3K) yang kemudian mengaktivasi pengeluaran sitokin
proinflamasi TNF α, IL 1 dan IL 6 oleh makrofag (Yu Y et al., 2015).
Interferon ɣ tidak hanya menstimulasi fragmentasi caspase yang tergantung
DNA dan apoptosis pada infeksis berat makrofag, tetapi juga meningkatkan
kerusakan mitokondria dan pelepasan LDH yang mengindikasikan
5
nekrosis, dan proses ini juga akan meningkatkan pelepasan protein
HMGB1 dan TLR4, sehingga soluble protein HMGB1 dan protein TLR4
dapat dipakai sebagai penanda nekrosis atau rusaknya makrofag (Lee J.,
2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Agnieszka M, dkk menunjukkan
bahwa HMGB1 dapat terdeteksi pada aliran darah berbagai penyakit paru
dengan konsentrasi tertinggi pada pasien dengan infeksi MTB (aktif dan
laten). Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa konsentrasi HMGB1
mengalami peningkatan pada pasien dengan aktif tuberkulosis
47,5 ng/mL dibandingkan pada pasien dengan penyakit paru lainnya
36,87 ng/mL (Magrys A et al., 2013). Penelitian lain oleh Jin-Cheng Zeng,
dkk menunjukkan bahwa HMGB1 terdeteksi pada plasma dan sputum
pasien yang memiliki hasil kultur MTB positif dan mengalami peningkatan
dibandingkan dengan kelompok sehat selain itu juga terdapat peningkatan
kadar IL-6, IL-10, dan TNF-α pada plasma, darah dan sputum subjek
dengan infeksi TB (Zeng JC et al., 2015). Penelitian Houben, dkk
memperlihatkan sitokin proinflamasi (TNF α, IL 1 dan IL 6) berperan
memediasi proses inflamasi dan bertanggung jawab terhadap kerusakan
jaringan akibat tuberkulosis pada hewan coba (Grover A. et al., 2008;
Houben et al., 2006). Studi in vitro dan studi percobaan hewan
menunjukkan bahwa MTB dan Mycobacterium bovis BCG dapat secara
efektif menginduksi sekresi HMGB1 yang menyebabkan hiperaktivasi
sitokin dan kerusakan jaringan paru (Kim SY et al., 2017).
6
Strategi eliminasi TB yang disebut End TB Strategy mempunyai misi
untuk mencapai angka zero TB pada 2050. Target di 2020 adalah
penurunan angka kematian TB 35% dan penurunan angka kejadian TB
20% dibanding tahun 2015. Kecepatan penurunan ini tergantung pada
terobosan teknologi yang bisa secara substansial mengurangi risiko
berkembangnya infeksi TB laten ke arah penyakit TB aktif. Terobosan
tehnologi tersebut termasuk pembuatan vaksin yang efektif pasca
vaksinasi, pengobatan yang singkat, manjur dan aman untuk infeksi TB
laten serta teknologi diagnostik yang cepat dan efektif dalam mendiagnosis
TB dan pengembangan regimen obat dan vaksin (WHO., 2018). Sehingga
diperlukan penanda/biomarker yang baik, yang dapat menjelaskan proses
imunopatogenesis infeksi tuberkulosis, khususnya perubahan TB laten
menjadi TB aktif. Ekspresi gen HMGB1 sebagai penanda terstimulasinya
makrofag akibat infeksi MTB akan memicu sekresi sitokin proinflamasi IL6
dan antiinflamasi IL10, serta menstimulasi proses apoptosis maupun
kerusakan/nekrosis makrofag yang ditandai dengan pelepasan soluble
protein HMGB1 dan protein TLR4 kedalam serum. Sitokin yang dihasilkan
selanjutnya akan menstimulasi kembali makrofag. Berdasarkan hal tersebut
peneliti ingin mengetahui peranan ekspresi mRNA gen HMGB1, soluble
protein HMGB1, TLR4 dan IL6 pada imunopatogenesis tuberkulosis serta
kemungkinan soluble protein HMGB1, protein TLR 4 dan protein IL 6
digunakan sebagai penanda reaktivasi TB.
7
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka
permasalahan penelitian ini, dirumuskan dalam pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
“ Bagaimanakah peranan ekspresi mRNA gen HMGB1, soluble protein
HMGB1, TLR4 dan IL6 pada imunopatogenesis tuberkulosis paru baik yang
aktif maupun yang laten dan dapatkah dipakai sebagai penanda proses
reaktivasi TB? “
Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Apakah ada perbedaan ekspresi mRNA gen HMGB1 antara TB aktif
dan TB laten ?
2. Apakah ada perbedaan kadar soluble protein HMGB1 antara TB aktif
dan TB laten ?
3. Apakah ada perbedaan kadar protein TLR4 antara TB aktif dan TB
laten ?
4. Apakah ada perbedaan kadar protein IL 6 antara TB aktif dan TB
laten ?
5. Apakah ada korelasi antara ekspresi mRNA gen HMGB1 dengan
kadar soluble protein HMGB1 pada infeksi tuberkulosis ?
6. Apakah ada korelasi antara kadar soluble protein HMGB1 dengan
kadar protein TLR4 pada infeksi tuberkulosis ?
8
7. Apakah ada korelasi antara kadar soluble protein HMGB1 dengan
kadar protein IL6 pada infeksi tuberkulosis ?
8. Apakah ada korelasi antara kadar protein IL6 dengan ekspresi
mRNA gen HMGB1 pada infeksi tuberkulosis ?
9. Apakah ekspresi mRNA gen HMGB1, soluble protein HMGB1,
protein TLR4 dan protein IL6 terlibat pada mekanisme
Imunopatogenesis TB dan dapat dipakai sebagai penanda proses
reaktivasi TB laten ?
1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan umum
Untuk mengetahui imunopatogenesis tuberkulosis baik TB aktif
maupun TB laten yang melibatkan ekspresi gen HMGB1, TLR4 dan
IL6; serta kemungkinan ekspresi mRNA gen HMGB1, soluble
protein HMGB1, protein TLR4 dan protein IL6 dijadikan biomarker
penanda proses reaktivasi TB laten menjadi TB aktif.
1.3.2.Tujuan Khusus
1. Diketahuinya perbedaan ekspresi mRNA gen HMGB1 antara TB
aktif dan TB laten.
2. Diketahuinya perbedaan kadar soluble protein HMGB1 antara TB
aktif dan TB laten.
3. Diketahuinya perbedaan kadar protein TLR4 pada TB aktif dan TB
laten.
9
4. Diketahuinya perbedaan kadar protein IL 6 pada TB aktif dan TB
laten.
5. Diketahuinya korelasi antara ekspresi mRNA gen HMGB1 dengan
kadar soluble protein HMGB1 pada infeksi Tuberkulosis.
6. Diketahuinya korelasi antara kadar soluble protein HMGB1 dengan
kadar TLR4 pada infeksi Tuberkulosis.
7. Diketahuinya korelasi antara kadar soluble protein HMGB1 dengan
kadar IL6 pada infeksi Tuberkulosis.
8. Diketahuinya korelasi antara kadar protein IL6 dengan ekspresi
mRNA gen HMGB1 pada infeksi Tuberkulosis
9. Diketahuinya ekspresi mRNA gen HMGB1, kadar soluble protein
HMGB1, kadar protein TLR4 dan kadar protein IL6 sebagai penanda
reaktivasi TB laten.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat dari aspek pengembangan ilmu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih
lengkap tentang peranan mRNA gen HMGB1, soluble protein HMGB1,
soluble protein TLR4 dan IL6 pada respons imun penderita tuberkulosis
paru.
1.4.2. Manfaat dari aspek aplikasi klinis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu klinisi dalam
memahami mekanisme molekuler respons imun penderita TB Paru yang
melibatkan HMGB1, TLR4 dan IL6, serta membantu klinisi untuk
10
memperoleh biomarker penanda reaktivasi TB laten untuk pertimbangan
pemberian profilaksis antituberkulosis pada penderita TB laten.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex (PDPI., 2011). Suspek TB adalah
seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB paru adalah
batuk produktif lebih dari 2 minggu yang disertai gejala pernafasan (sesak
nafas, nyeri dada, hemoptisis) dan/atau gejala tambahan (tidak nafsu
makan, penurunan berat badan, keringat malam dan mudah lelah). Dalam
menentukan suspek TB harus dipertimbangkan faktor seperti usia pasien,
imunitas pasien, status HIV atau prevalensi HIV dalam populasi (Kemenkes
RI., 2014).
Kasus TB adalah seorang pasien yang setelah dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk TB sehingga didiagnosis TB oleh dokter
maupun petugas kesehatan dan diobati dengan paduan dan lama
pengobatan yang lengkap (PDPI., 2011).
Kasus TB pasti adalah pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium
tuberculosis complex yang diidentifikasi dari spesimen klinik (jaringan,
cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan kultur. Pada negara dengan
keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi MTB maka
12
kasus TB paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dahak
dengan BTA positif (PDPI., 2011).
2.1.2. Etiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
yang berbentuk batang dengan panjang 1 – 10 mikron dan lebar 0,2 – 0,6
mikron (Kemenkes., 2014). Mycobacterium tuberculosis memiliki dinding
yang sebagian besar terdiri atas asam lemak (lipid) peptidoglikan dan
arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman ini lebih tahan terhadap
asam (asam alkohol) sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA), serta lebih
tahan terhadap gangguan kimia dan fisis (Amir B., 2014). Mycobacterium
tuberculosis sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar
ultraviolet/UV (paparan langsung dari sinar UV dapat membunuh kuman
dalam waktu beberapa menit), tetapi dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu 40C sampai minus 700 C (Kemenkes RI., 2014).
2.1.3. Faktor Risiko Tuberkulosis
Faktor risiko terjadinya TB paru adalah usia produktif 15 – 50 tahun,
daya tahan tubuh rendah (HIV/AIDS), malnutrisi/gizi buruk, DM, pemakaian
immunosupresan, jumlah/konsentrasi kuman dan lama kontak dengan
penderita TB paru. Selain itu, faktor perilaku hidup bersih dan sehat serta
faktor lingkungan seperti ventilasi, kepadatan penduduk dan keadaan
dalam ruangan juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
timbulnya penyakit TB paru (Kemenkes RI., 2011; Kemenkes RI., 2014).
13
Faktor risiko kejadian TB secara ringkas dapat dijelaskan pada
gambar berikut:
Gambar 1. Faktor risiko kejadian TB (Kemenkes RI, 2011)
2.1.4. Cara Penularan Tuberkulosis
Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif yang pada
saat batuk atau bersin dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei/ percik renik), sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Infeksi akan terjadi apabila
orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang
infeksius tersebut. Pasien TB paru dengan BTA negatif juga masih memiliki
kemungkinan untuk menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB
paru BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur
positif adalah 26% dan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks
positif adalah 17% (Kemenkes RI., 2014).
14
2.1.5. Patogenesis Tuberkulosis
Setelah terhirup, droplet infeksius berada pada seluruh saluran
pernafasan.Sebagian besar basil terjebak di bagian atas saluran
pernafasan di mana sel goblet akan mensekresi mukus. Mukus yang
dihasilkan akan menangkap benda asing, dan silia pada permukaan sel
bergerak secara terus menerus untuk mengeluarkan mucus yang berisi
benda asing tersebut (Frieden TR et al., 2003). Tubuh mempunyai sistem
pertahanan fisik awal yang dapat mencegah infeksi pada kebanyakan
individu yang terpapar kuman tuberculosis (Jensen PA et al., 2005).
Bakteri dalam droplet menembus sistem mukosiliar dan mencapai
alveoli , kemudian secara cepat akan dikelilingi dan difagosit oleh makrofag
alveolar, sebagai efektor imun paling banyak pada daerah alveolar tersebut
(CDC.,2009; Frieden TR et al.,2003). Makrofag, merupakan pertahanan
tubuh berikutnya, yang merupakan bagian dari sistem imun alami/innate
yang memberikan tubuh kemampuan untuk menghancurkan mikrobakteri
yang menyerang dan mencegah infeksi akibat mikrobakteri tersebut (Van
Crevel R., 2002).
Makrofag merupakan sel fagosit yang tersedia dalam melawan
banyak patogen tanpa membutuhkan paparan sebelumnya dengan
patogen. Beberapa mekanisme dan reseptor makrofag terlibat dalam
proses fagositosis mikobakterium (Van Crevel R., 2002).
Lipoarabinomannan mikobakteri adalah ligan kunci untuk receptor
makrofag. Sistem komplemen juga berperan dalam fagositosis bakteria
15
(Nicod LP., 2007). Komplemen protein C3 mengikat dinding sel dan
meningkatkan pengenalan MTB oleh makrofag. Opsonisasi oleh C3
berlangsung cepat, bahkan di rongga udara tubuh tanpa paparan
sebelumnya oleh MTB (Ferguson JS., 2004). Proses fagositosis oleh
makrofag berikutnya menginisiasi kaskade yang menyebabkan suksesnya
kontrol terhadap infeksi, diikuti dengan TB laten, atau pengembangan
menjadi penyakit aktif, yang disebut tuberkulosis progresif primer. Hasil
infeksi MTB pada dasarnya ditentukan oleh kualitas pertahanan tubuh dan
keseimbangan yang terjadi antara pertahanan tubuh dan invasi MTB (van
Crevel R., 2002; Goyot-revol V., 2006). Setelah difagosit oleh makrofag,
mikobakteri terus untuk memperbanyak diri secara lambat. dengan
pembelahan sel bakteri terjadi setiap 25-32 jam (CDC., 2009).
Terlepas dari apakah infeksi terkontrol atau menjadi progresif,
perkembangan awal akan melibatkan produksi enzim proteolitik dan sitokin
oleh makrofag dalam upaya untuk menghilangkan bakteria (van Crevel R.,
2002; Nicod LP., 2007). Sitokin yang dikeluarkan akan menarik limfosit T
ketempat infeksi, sel-sel ini merupakan bagian dari imunitas seluler.
Makrofag kemudian mempresentasikan antigen mikobakterium permukaan
selnya ke sel limfosit T ( van Crevel R., 2002 ). Proses imunitas awal
berlangsung selama 2 sampai 12 minggu; mikroorganisme terus tumbuh
sampai mereka mencapai jumlah yang cukup untuk sepenuhnya
mendapatkan respons imun seluler dan dapat dideteksi dengan
pemeriksaan skin test (Freiden TR et al., 2003; van Crevel R., 2002 ). Pada
16
orang dengan imunitas seluler yang baik, tahap pertahanan selanjutnya
adalah pembentukan granuloma yang mengelilingi MTB terlihat pada
Gambar 1. Lesi tipe nodular ini terbentuk dari akumulasi limfosit T yang
teraktivasi dan makrofag, yang membuat lingkungan mikro yang membatasi
replikasi dan menyebaran mikobakterium ( Freiden TR et al.,2003; Nicod
LP., 2007). Lingkungan ini menghancurkan makrofag dan menghasilkan
awal nekrosis padat di pusat lesi. Basil dapat beradaptasi untuk bertahan
hidup, bahkan MTB dapat mengubah ekspresi fenotip mereka, seperti
regulasi protein, untuk meningkatkan hidupnya (Dheda K et al., 2005).
Lingkungan nekrotik dalam 2 atau 3 minggu, menjadi menyerupai keju
lembut, sering disebut nekrosis caseous, dan ditandai dengan tingkat
oksigen rendah, pH rendah, dan nutrisi yang terbatas. Kondisi ini
membatasi pertumbuhan lanjut dan keadaan laten yang tetap yang berupa
infeksi TB laten. Lesi pada orang dengan sistem imunitas tubuh baik secara
umum akan menjadi fibrosis dan kalsifikasi, keberhasilan mengendalikan
infeksi yang menjadikan basil menjadi dorman, dan lesi hilang . Orang
dengan kekebalan tubuh yang kurang efektif, akan menjadi tuberkulosis
progresif primer (Frieden TR.,2003; Dheda K.,2005). Orang dengan
imunokompeten, pembentukan granuloma dimulai, namun akhirnya tidak
berhasil membendung basil tuberkulosis. Jaringan nekrotik mengalami
pencairan, dan hilangnya integritas struktur dinding fibrous. Bahan nekrotik
semicair kemudian mengalir ke dalam bronkus atau pembuluh darah di
dekatnya, meninggalkan rongga/ cavitas berisi udara di tempat asal. Pada
17
pasien yang terinfeksi dengan MTB, droplet dapat dibatukkan dari bronkus
dan menginfeksi orang lain. Jika cairan masuk ke pembuluh darah dapat
terjadi tuberkulosis ekstrapulmoner. Basil juga dapat masuk ke sistem
limfatik dan berkumpul di kelenjar getah bening trakeobronkial yang
mempengaruhi paru-paru, di mana organisme dapat membentuk
granuloma caseous baru (Dheda K.,2005).
Gambar 2. Patogenesis tuberkulosis: A. Infeksi Laten, B. Tuberkulosis Aktif (Koch A et al.,2018).
18
Lima puluh sampai 70% individu yang terpajan MTB diperkirakan
dapat mengatasi infeksi tersebut melalui mekanisme imun bawaan atau
adaptif. Sisanya 30-50% akan berkembang menjadi TB aktif (5%) dan TB
laten (95%). Infeksi TB laten sekitar 2-15% dapat berkembang menjadi TB
aktif (PDPI. ,2016; Getahun H., 2015).
Gambar 3. Spektrum infeksi MTB dan daur hidup MTB (Dheda K.,2010).
2.1.6. Klasifikasi Tuberkulosis
Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan:
1) Berdasarkan letak anatomi penyakit
19
a) Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim
paru. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya
yang terletak dalam paru.
b) Tuberkulosis ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ
lain selain paru seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk
mediastinum dan/atau hilus), abdomen, traktus genitourinarius,
kulit, sendi, tulang dan selaput otak (PDPI., 2011).
2) Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
a) Tuberkulosis paru BTA positif, apabila :
Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan
dahak menunjukan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat
quality external assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak
tersebut berasal dari dahak pagi hari. Saat ini Indonesia sudah memiliki
beberapa laboratorium yang memenuhi syarat EQA. Pada negara atau
daerah yang belum memiliki laboratorium dengan syarat EQA, maka TB
paru BTA positif adalah:
1. Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau
2. Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung
hasil pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB
yang ditetapkan oleh klinisi, atau
3. Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil
kultur MTB positif (PDPI., 2011).
20
b) Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila :
Hasil pemeriksaan dahak negatif (sedikitnya dua hasil
pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium yang memenuhi syarat
EQA) tetapi hasil kultur positif (dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil
pemeriksaan dahak BTA negatif untuk memastikan diagnosis terutama
pada daerah dengan prevalensi HIV > 1% atau pasien TB dengan
kehamilan ≥ 5%).
1. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif di daerah
yang belum memiliki fasilitas kultur MTB.
2. Jika hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan
disertai salah satu dibawah ini : Hasil pemeriksaan HIV positif
atau secara laboratorium sesuai HIV, atau jika HIV negatif
(atau status HIV tidak diketahui atau prevalensi HIV rendah),
tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian antibiotik
spektrum luas (kecuali antibiotik yang mempunyai efek anti
TB seperti fluorokuinolon dan aminoglikosida) (PDPI., 2011).
c) Kasus bekas TB, apabila :
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif atau foto
serial (dalam 2 bulan) menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
Pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan
gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2
21
bulan tetapi pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran
radiologi. (PDPI., 2011).
Gambar 4. Klasifikasi TB (PDPI., 2011).
3) Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat
risiko resistensi obat atau MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan
pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT. Tipe pasien berdasarkan
riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :
a) Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan
OAT kurang dari satu bulan. Pasien dengan hasil dahak BTA
positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit dimanapun.
b) Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien
yang sudah pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya
minimal selama satu bulan, dengan hasil dahak BTA positif atau
negatif dengan lokasi anatomi penyakit dimanapun (PDPI., 2011).
TB paru BTA (-)
TB Ekstraparu
TB paru TB paru BTA (+)
TB
22
3. Kasus kambuh adalah pasien yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
4. Pasien lalai/putus berobat (default/lost to follow-up) adalah
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow-up.
5. Pasien gagal (failure) adalah pasien TB yang pernah diobati
dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. (Kemenkes.,
2011; Kemenkes., 2014).
c) Pasien pindah (transfer in) adalah pasien yang dipindahkan ke
register lain untuk melanjutkan pengobatannya (Kemenkes.,
2011).
d) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi kriteria
diatas (Kemenkes., 2011; Kemenkes., 2014; PDPI., 2011).
4) Berdasarkan status HIV
Status HIV pasien merupakan hal yang penting untuk
keputusan pengobatan
23
Gambar 5. Klasifikasi TB berdasarkan tipe kasus (PDPI, 2011).
2.1.7. Gejala Klinis Tuberkulosis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
sesuai organ yang terlibat dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena
adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (PDPI., 2011).
1) Gejala respiratori
Batuk ≥ 2 minggu, Batuk darah,Sesak nafas,Nyeri dada. Gejala
respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang
pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus
belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak
ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak keluar (PDPI., 2011).
2) Gejala sistemik
Riwayat pengobatan sebelumny
a
Baru
Pindah
Kasus lain
TIPE Lalai
Kambuh
Gagal
24
Demam , Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam,
anoreksia dan berat badan menurun (PDPI., 2011).
2.1.8. Pemeriksaan Fisik Tuberkulosis
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada saat
inspeksi dapat ditemukan tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediatinum, sedangkan saat auskultasi dapat ditemukan suara nafas
bronchial yang melemah, ronki basah dan amforik (PDPI., 2011). Ronki
basah muncul karena terbentuknya sekret dan jaringan nekrotik (semakin
banyak sekret dan semakin besar bronkus tempat sekret berada, semakin
kasar suara ronki yang terdengar, sedangkan amforik timbul karena
terbentuknya kavitas pada jaringan paru biasanya disertai dengan suara
timpani pada saat perkusi kedua lapang paru (Danusantoso., 2014).
2.1.9. Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis
Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak
merupakan metode baku emas (gold standard), namun pemeriksaan
kultur merlukan waktu lebih lama, paling cepat sekitar 6 minggu dan
mahal. Pemeriksaan 3 spesimen dahak secara mikroskopis nilainya
identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan.
25
Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang
paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya
dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung
kinerja penanggulangan TB, diperlukan ketersediaan laboratorium TB
dengan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium
tersebut (Kemenkes., 2011).
1) Pemeriksaan bakteriologi
a) Bahan pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis
(PDPI., 2011).
b) Cara pengumpulan bahan pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi dengan menggunakan dahak sebagai
bahan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang berupa dahak sewaktu-pagi-
sewaktu (Kemenkes., 2014). Pemeriksaan bakteriologi terbaru
sesuai dengan kemenkes 2018 pemeriksaan sputum hanya 2 kali
yaitu sputum sewaktu dan pagi hari (Kemenkes., 2018)
c) Cara pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain
(cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, BAL, urin, feses dan jaringan biopsi (termasuk BJH))
dapat dilakukan dengan cara :
26
1. Pemeriksaan mikroskopis MTB
Pemeriksaan mikroskopis biasa yaitu pewarnaan Ziehl-
Nielsen.
2. Pemeriksaan mirkoskopis fluoresens yaitu pewarnaan
auramin-rhodamin (PDPI., 2011).
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan
mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD). Skala IUATLD yaitu :
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif.
b. Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
c. Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
d. Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (2+).
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (3+).
3. Biakan MTB
4. Uji molekular MTB
5. Uji kepekaan MTB
6. Uji serologi MTB
2) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain
sesuai indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang
27
dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah : Bayangan berawan/nodular di
segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior
lobus bawah. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh
bayangan opak berawan atau nodular. Bayangan bercak milier.
Umumnya Efusi pleura unilateral atau bilateral tetapi jarang.
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif adalah :
Fibrotik, Kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura (PDPI., 2011).
Gambaran luluh paru (destroyed lung) adalah gambaran
radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat.
Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/
multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas
lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan
aktivitas proses penyakit (PDPI., 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
a) Analisis cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji rivalta cairan
pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis TB adalah uji rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel
limfosit dominan dan glukosa rendah (PDPI, 2011).
b) Pemeriksaan histopatologi jaringan
28
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah
pemeriksaan histopatologi. Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya
diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan
salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta
sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi
(PDPI., 2011).
c) Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifik untuk TB. Laju endap darah (LED) jam
pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator
penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan TB.
Limfosit juga kurang spesifik (PDPI., 2011).
2.1.10. Diagnosis Tuberkulosis
Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka diagnosis TB
paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud
adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat molekular.
Apabila pemeriksaan bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakkan
diagnosis TB paru dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto
toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB. Pada
29
rumah sakit dengan sarana yang terbatas untuk penegakkan diagnosis
secara klinis, penegakkan diagnosis dapat dilakukan setelah pemberian
terapi antibiotika spektrum luas (non OAT dan non kuinolon) yang tidak
memberikan perbaikan klinis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB paru
hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin, pemeriksaan serologis, atau
hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat
menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis (Kemenkes.,
2014).
30
Gambar 6 Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru (Kemenkes., 2011).
2.1.10. Pengobatan Tuberkulosis
1) Tujuan pengobatan TB (PDPI., 2011)
a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup
dan produktivitas.
31
b. Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek
lanjutannya
c. Mencegah kekambuhan.
d. Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain.
2. Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya. Prinsip
pengobatan TB :
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi.
b. Diberikan dalam dosis yang tepat.
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawas Minum Obat) sampai selesai pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup
terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan (intensif) untuk
mencegah kekambuhan (Kemenkes., 2014).
3. Tahapan pengobatan TB
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal
dan tahap lanjutan dengan maksud :
a) Tahap awal (fase intensif)
Pengobatan pada tahap ini diberikan setiap hari dengan
tujuan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien
32
mendapatkan pengobatan. Pengobatan pada tahap awal pada
semua pasien baru harus diberikan selama 2 bulan.
b) Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh
khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes., 2014).
4. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a) Jenis obat lini pertama adalah :
INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin.
b) Jenis obat lini kedua adalah :
Kanamisin, Kapreomisin, Amikasin, Kuinolon, Sikloserin,
Etionamid/Protionamid, Para-Amino Salisilat (PAS), Obat-
obatan yang efikasinya belum jelas (Makrolid, Amoksisilin +
Asam Klavulanat, Linezolid, Clofazimin) (PDPI., 2011).
Obat Anti Tuberkulosis lini kedua hanya digunakan untuk
kasus resistensi obat, terutama TB multidrug resistant (MDR).
Beberapa obat seperti kapreomisin, sikloserin, etionamid dan PAS
belum tersedia di pasaran Indonesia tetapi sudah digunakan pada
pusat pengobatan TB-MDR (PDPI., 2011).
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terdiri dari dua kemasan yaitu:
33
a. Obat tunggal yaitu obat yang disajikan secara terpisah,
masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid, etambutol dan
streptomisin.
b. Obat Kombinasi Dosis Tetap/KDT (Fixed Dose
Combination/FDC) adalah obat dengan kombinasi dosis tetap
yang terdiri dari 2 – 4 obat dalam satu tablet (PDPI., 2011).
Tabel 2.1. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat Dosis (mg/
kgBB/ hari)
Dosis yang dianjurkan Dosis maks/
hari (mg)
Dosis (mg)/berat badan
(kg)/hari
Harian (mg/
kgBB/ hari)
Intermitten (mg/kgBB/hari)
<40 40 – 60
>60
R 8 – 12 10 10 600 300 450 600
H 4 – 6 5 10 300 300 300 300
Z 20 – 30 25 35 750 1000 1500
E 15 – 20 15 30 750 1000 1500
S* 15 – 18 15 15 1000 Sesuai
BB
750 1000
*pasien berusia lebih dari 60 tahun tidak bisa mendapatkan dosis lebih dari 500
mg perhari Sumber: (PDPI, 2011)
c. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Paduan yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia (sesuai dengan
rekomendasi WHO dan ISTC) yang terdiri dari 2 kategori, yaitu
a) Kategori 1 (2RHZE/4H3R3)
Paduan OAT kategori ini diberikan untuk pasien baru :
34
1. Pasien TB paru yang terkonfirmasi bakteriologis
2. Pasien TB paru terdiagnosis klinis
3. Pasien TB ekstra paru (Kemenkes., 2014).
Tabel 2.2. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1
Berat Badan
Tahap Intensif
(setiap hari selama 56
hari)
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
(3 kali seminggu
selama 16 minggu)
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT
Sumber: (Kemenkes, 2014)
4. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5HR3E3)
Paduan OAT kategori ini diberikan untuk pasien BTA positif
yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang) :
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal pada pengobatan dengan OAT kategori 1
sebelumnya
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
(Kemenkes., 2014).
35
Tabel 2.3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
Berat Badan
Tahap Intensif (setiap hari)
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E
(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg
2 tab 4 KDT + 500 mg Streptomisin
inj. 2 tab 4 KDT
2 tab 2 KDT + 2 tab Etambutol
38 – 54 kg
3 tab 4 KDT + 750 mg Streptomisin
inj. 3 tab 4 KDT
3 tab 2 KDT + 3 tab Etambutol
55 – 70 kg
4 tab 4 KDT + 1000 mg
Streptomisin inj. 4 tab 4 KDT
4 tab 2 KDT + 4 tab Etambutol
≥ 71 kg
5 tab 4 KDT + 1000 mg
Streptomisin inj. 5 tab 4 KDT
5 tab 2 KDT + 5 tab Etambutol
Sumber: (Kemenkes, 2014)
d. Efek samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan
tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek
samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan (PDPI.,
2011).
e. Terapi pembedahan
Indikasi mutlak dilakukannya terapi pembedahan/operasi
pada pasien TB paru adalah:
1. Pasien batuk darah masif yang tidak dapat diatasi dengan
cara konservatif.
2. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak
dapat diatasi secara konservatif.
36
Indikasi relatif dilakukannya terapi pembedahan/operasi pada
pasien TB paru adalah :
a. Pasien dengan dahak negatif tetapi mengalami batuk darah
berulang.
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan disertai keluhan.
c. Sisa kavitas yang menetap (PDPI., 2011).
2.1.11. Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
1) Evaluasi klinis
a. Pasien dievaluasi secara periodik.
b. Evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek
samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.
c. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan dan
pemeriksaan fisis (PDPI., 2011).
2) Evaluasi bakteriologi (0 – 2 – 6/8 bulan pengobatan)
a. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.
b. Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan
uji kepekaan.
c. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis yaitu
pada saat sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan
pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan
(PDPI., 2011).
37
3) Evaluasi radiologi (0 – 2 – 6/8 bulan pengobatan)
a. Sebelum pengobatan.
b. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga
dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan
pengobatan).
c. Pada akhir pengobatan (PDPI., 2011)
4) Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap
dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi
adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai indikasi/bila
ada gejala) (PDPI., 2011).
2.1.13. Pencatatan dan Pelaporan Tuberkulosis
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi program TB paru,
diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan
dengan baik dan benar dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk
diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk
dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan program. Data yang dikumpulkan
harus memenuhi standar yang meliputi:
1. Lengkap, tepat waktu dan akurat.
2. Data sesuai dengan indikator program.
38
3. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah
diintegrasikan dengan sistem informasi kesehatan yang generic
(Kemenkes., 2014).
Dasar untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem
pencatatan dan pelaporan TB. Pencatatan menggunakan formulir standar
secara manual didukung dengan sistem informasi secara elektronik,
sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem informasi eleketronik.
Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua fasilitas
kesehatan dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan
ketersediaan sumber daya di wilayah tersebut. Sistem pencatatan dan
pelaporan TB secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB
Terpadu yang berbasis web dan terintegrasi dengan sistem informasi
kesehatan secara nasional (Kemenkes., 2014). Dinas kesehatan Kab/Kota
menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan : Register TB Kab/Kota
(TB.03). Laporan triwulan penemuan dan pengobatan pasien TB (TB.07).
Laporan triwulan hasil pengobatan (TB.08). Laporan triwulan hasil konversi
dahak akhir tahap intensif (TB.11). Formulir pemeriksaan sediaan untuk uji
silang dan analisis hasil uji silang kabupaten (TB.12) dan Laporan OAT
(TB.13).
Dinas kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai
berikut :Rekapitulasi penemuan dan pengobatan pasien TB per Kab/Kota.
Rekapitulasi hasil pengobatan per Kab/Kota. Rekapitulasi hasil pengobatan
gabungan TB dan TB resistan obat di tingkat Provinsi. Rekapitulasi hasil
39
konversi dahak per Kab/Kota.Rekapitulasi analisis hasil uji silang provinsi
per Kab/Kota.Rekapitulasi laporan OAT per Kab/Kota.Rekapitulasi data
situasi public-private mix (PPM) dalam pelayanan TB (Kemenkes., 2014).
2.2. Tuberkulosis Laten (ITBL)
2.2.1 Definisi Infeksi TB Laten (ITBL)
Infeksi tuberkulosis Laten adalah suatu kondisi adanya infeksi MTB
tanpa adanya tanda dan gejala klinik serta tidak dapat menularkan kepada
orang lain. Hasil foto toraks paru normal dan hasil uji imunologik seperti tes
uji tuberkulin atau interferon Gamma Release Assay (IGRA) positif..Tidak
ada gejala dan tanda Klinis TB aktif di paru maupun ekstraparu
(PDPI.,2016; CDC., 2013; WHO., 2015).
Setelah terpapar MTB diperkirakan 30% dari individu akan
berkembang menjadi ITBL berdasarkan diagnosis tes kulit tuberkulin
(tuberculin skin test/TST) positif. Lima sampai 10% dari orang sehat
dengan TST positif akan berkembang dari ITBL menjadi TB aktif (reaktivasi)
(Kahwati L C et al., 2016).
2.2.2. Diagnosis Infeksi TB Laten (ITBL)
Pada infeksi TB laten tidak didapatkan adanya gejala sehingga
Diagnosis ITBL dilakukan melalui tes kulit tuberkulin atau IGRA. Sebagai
penanda infeksi TB dilakukan pemeriksaan imunologis pada individu ITBL
karena pada kondisi tersebut terjadi induksi imun respons seluler Th-1 yang
cukup kuat dan merupakan penanda(marker) yang sensitif terhadap bakteri
40
tuberkulosis yang dorman (CDC., 2013; WHO., 2015). Saat ini
pemeriksaan imunologi untuk ITBL ada 2 cara yaitu pemeriksaan “in vivo”
berupa uji tuberkulin dan pemeriksaan “ex vivo” yaitu IGRA (PDPI., 2016).
Diagnosis ITBL juga harus dilakukan untuk menyingkirkan tidak
terdapatnya gambaran TB aktif melalui anamnesis, riwayat pengobatan,
foto thorax, pemeriksaan fisik dan pada kondisi tertentu sputum
mikrobiologi, selain TST atau IGRA. Untuk penegakan Diagnosis ITBL baik
IGRA maupun uji tuberkulin memiliki kemampuan yang sama tetapi tidak
untuk diagnosis TB aktif (PDPI., 2016).
Tabel 2.4. Perbedaan TB aktif dan ITBL (WHO ., 2015)
TB Aktif Infeksi TB Laten
1. Memiliki gejala sakit yaitu
demam, batuk, nyari dada,
berat badan menurun, keringat
malam, hemoptisis,lemah dan
nafsu makan menurun
Tidak ada gejala
2. Merasa sakit Tidak merasa sakit
3. Tes Tuberkulin atau IGRA
positif
Tes tuberkulin atau IGRA positif
4. Dapat menular Tidak menular
5. Foto thoraks abnormal tetapi
bisa normal pada orang
imunokompromis atau TB
ekstraparu
Foto thoraks normal
6. Hasil pemeriksaan Mikrobiologi
dapat positif atau negatif,
termasuk TB ekstraparu
Hasil pemeriksaan mikrobiologi
(BTA, kultur dan gene Xpert)
negatif
7. Perlu pengobatan sesuai
standar terapi TB
Perlu terapi pencegahan pada
kondisi tertentu
41
2.2.3. Pemeriksaan Infeksi TB Laten (ITBL)
Untuk penegakan diagnosis ITBL dapat dilakukan tes tuberkulin
dan IGRA, yang mempunyai kemampuan yang sama (CDC., 2013).
2.2.3.1. Tes Tuberkulin
Merupakan pengukuran Imunitas seluler delayed type
hipersensitifity (DTH) terhadap purified protein derevative (PPD)
tuberkulin, yang merupakan antigen berbagai mikobacteria
termasuk MTB, BCG MTB, BCG M bovis dan berbagai
mikobakteria di lingkungan. Reaksi DTH ini terjadi 2-3 minggu
setelah seseorang terinfeksi bakteri TB. Pengukuran reaksi pada
manusia dilakukan dengan mengukur diameter indurasi yang
terjadi pada kulit 48-72 jam setelah penyuntikan antigen (PDPI.,
2016).
Tes tuberkulin dilakukan dengan menyuntikkan
tuberkuloprotein 0.1 mL PPD 5 TU, secara intradermal
menggunakan jarum yang kecil pada daerah volar lengan bawah
(PDPI.,2016). Prosedur tindakan tes tuberkulin :
1. Bersihkan sepertiga tengah sisi volar lengan bawah
menggunakan akuabides steril, kemudian keringkan dengan
menggunakan kasa steril.
2. Suntukkan 0,1 mL PPD 5 TU secara intradermal dari arah
distal sampai terjadi benjolan dengan diameter ± 5 mm
42
kemudian buat tanda melingkari benjolan tersebut
menggunakan spidol tahan air
3. Bekas suntikan jangan ditekan atau diusap dengan kapas
alkohol atau kasa steril
4. Baca Indurasi yang terjadi setelah 48-72 jam dengan
mengukur diameter transversal dan lihat terjadi bula atau
tidak. Tes tuberkulin positif bila terjadi bula atau vesikel atau
terjadi konversi.
Tabel 2.5. Interpretasi Tes Tuberkulin (PDPI.,2016)
Hasil Uji Tuberkulin positif Kelompok Pasien
Indurasi > 5 mm Pasien HIV
Kontak dengan TB aktif yang infeksius (BTA positif) dalam waktu dekat
Pasien dengan gambaran fibrotik pada foto toraks disertai riwayat TB sebelumnya
Pasien dengan Transpalantasi organ dan pasien dengan gangguan sistem imun
Indurasi > 10 mm Pasien dari negara endemik TB dalam 5 tahun terakhir
Pengguna narkoba suntik
Individu atau pekerja ditempat dengan kepadatan tinggi (RS,Penjara,rumah singgah,panti)
Pekerja Laboratorium Mikrobiologi
Pasien dengan risiko tinggi menjadi TB aktif (DM, malnutrisi)
Anaka yang kontak dengan individu berisiko TB
Indurasi > 15 mm Individu dengan risiko rendah terinfeksi TB (untuk skrining atau syarat masuk sekolah atau bekerja)
43
2.2.3.2. Interferon-Gamma Release Assays (IGRA)
Interferon Gamma Release Assay adalah pemeriksaan
laboratorium diagnostik in vitro dengan cara enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA) yang mengukur reaksi pembentukan interferon-γ dalam
darah pasien dikaitkan dengan infeksi kuman MTB. Dilakukan untuk
menentukan ITBL dengan mengukur respons imun seluler terhadap antigen
spesifik MTB dalam darah. Termasuk early secretory antigenic target-6
(ESAT-6), culture filtrate protein 10 (CFP-10), dan antigen TB7.7. Saat ini
terdapat 2 jenis pemeriksaan IGRA yang terdapat dipasaran yaitu
QuantiFERON-TB Gold In-Tube assay (QFT-GIT) dan T-SPOT-TB .
(ECDC Guidance.,2011). Hasil pemeriksaan IGRA adalah berdasarkan
jumlah IFN ɣ yang dikeluarkan.
Cara Pemeriksaan QFT- GIT (brosur QFT.,2014) :
a. Siapkan 3 tabung darah yaitu tabung Nil, tabung TB Antigen, dan
tabung Mitogen. Tabung TB Antigen berisikan campuran cocktail
peptida yang menyerupai protein-protein ESAT-6, CFP-10, dan
TB7.7 (p4) untuk merangsang sel limfosit T yang memproduksi IFN
ɣ dalam darah heparin tersebut.
b. Tabung-tabung tersebut kemudian segera diinkubasi pada suhu
37 oC dalam jangka waktu 16 jam sejak pengambilan. Inkubasi
selama 16-24 jam, lalu plasma dipisahkan dengan cara pemusingan
(centrifuge). Tabung Mitogen menjadi kontrol positif dan juga untuk
mengetahui apakah prosedur penanganan spesimen darah serta
44
inkubasi sudah benar. Plasma diperiksa dengan cara ELISA
terhadap kadar interferon-γ (IFN-γ) yang dikaitkan dengan infeksi
MTB.
Interpretasi hasil QFT :
Pemeriksaan IGRA menggunakan purified antigens M. Tuberculosis
untuk menstimulasi limfosit darah perifer memproduksi IFN-γ. Interpretasi
pemeriksaan IGRA Quantiferon (QFT) berdasarkan jumlah IFN-γ yang
dikeluarkan menggunakan ELISA. Pada T-SPOT TB dengan menghitung
jumlah sel yang mengeluarkan IFN-γ menggunakan ELISPOT
(PDPI., 2016).
Uji dianggap positif bila kadar IFN-γ yang terbentuk pada tabung TB
Antigen lebih banyak secara bermakna (dalam IU/mL) daripada tabung Nil.
Tabung Mitogen dapat dipakai sebagai kontrol positif. Bila responss rendah
terhadap Mitogen dan hasil tabung TB Antigen juga negatif maka
dinyatakan sebagai indeterminate. Ini dapat dijumpai pada keadaan
limfosit sedikit, keaktifan limfosit rendah karena penanganan spesimen
yang kurang baik. Tabung kosong dipakai untuk menilai latar belakang
(background), pengaruh antibodi heterofil, atau IFN-γ tidak spesifik dalam
darah. Hasil positif menunjukkan amat mungkin ada infeksi TB (baik TBC
aktif maupun LTBI). Hasil negatif menunjukkan tidak sesuai dengan infeksi
TB dan Hasil indeterminate memerlukan penilaian lebih lanjut atau uji
ulangan (Brosur QFT., 2014).
45
Laboratorium harus melaporkan kedua data kuantitatif (berupa angka
meliputi antigenrespons antigen, nil dan mitogen) dan kualitatif (berupa
positif, negatif dan intermediate atau boderline (PDPI., 2016).
2.2.4. Kelompok risiko infeksi TB laten
Terdapat kelompok orang yang berisiko untuk menjadi ITBL,
kelompok tersebut adalah mereka yang berhubungan erat dengan
penderita TB aktif atau tersangka TB, berada pada tempat berisiko
tinggi untuk tertular TB seperti lembaga pemasyarakatan,
penampungan tunawisma, bangsal perawatan jangka panjang untuk
penderita TB. Kelompok risiko tinggi yang lain adalah bayi, anak-
anak dan dewasa muda yang terpajan atau terpapar orang dewasa
yang berisiko tinggi terinfeksi TB aktif (CDC., 2010; PDPI., 2016).
2.2.5. Kelompok risiko tinggi TB laten menjadi TB aktif
Proses reaktivasi ITBL menjadi Tb aktif membutuhkan keadaan
bakteri M.tb tidak berada dalam fase dorman. Ada beberapa sebab yang
dapat memicu proses reaktivasi ini. Keadaan tersebut antara lain (PDPI.,
2016; WHO., 2015)
1. Infeksi HIV
2. Bayi dan anak usia < 5 tahun
3. Pasien yang mendapat pengobatan immunoterapi misal Tumor
Necrosis Faktor-alfa (TNF α) antagonis, kortokosteroid sistemik,
terapi immunosupresi pada transplantasi organ
46
4. Individu dengan riwayat terinfeksi tuberkulosis pada 2 tahun
terakhir
5. Individu tidak pernah mendapatkan pengobatan TB tetapi pada
foto thorax ada fibrotik
6. Pasien diabetes mellitus, silikosis, gagal ginjal kronik,
leukemia,limfoma atau kanker kepala, leher atau paru
7. Pasien yang telah dilakukan operasi gastrektomi atau by pass
usus halus
8. Individu yang berat badannya < 90% berat ideal
9. Tuna wisma, perokok, peminum alkohol atau penyalah gunaan
obat
10. Warga binaan lembaga pemasyarakatan
11. Petugas dan tenaga medis
2.3. Sistem Imunitas Tubuh pada Infeksi
Tubuh manusia mengembangkan mekanisme yang cukup canggih
untuk menghadapi patogen yang memiliki potensi invasi ke dalam tubuh.
Mekanisme tersebut merupakan bentuk dasar dari pertahanan alami,
sistem kekebalan alami (nonspesifik) adalah pertahanan lini pertama tubuh
terhadap infeksi yang diaktifkan bila patogen masuk ke dalam tubuh
manusia melewati barier pertahanan fisik, mekanik dan kimiawi tubuh.
Patogen yang dimaksud termasuk endotoksin lipopolysaccharida (LPS),
peptidoglycan (PG), lipoteichoic acid (LTA), flagelin, mannan, Zymosan dan
47
RNA virus. Sistim kekebalan yang didapat (spesifik) akan membantu sistim
kekebalan alami melalui aktivitas sel limfosit. Limfosit T bersifat seluler dan
limfosit B bersifat humoral.
2.3.1. Respons imun terhadap infeksi Mycobakterium tuberculosis
Respons imun terhadap infeksi tuberkulosis ada 2 macam yaitu
respons imun seluler (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama
sejumlah sitokin dan respons imun humoral (antibodi-mediated). Respons
imun seluler memegang peranan utama sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi tuberkulosis, sedangkan respons imun humoral tidak
bersifat protektif (Bothamley G.H., 1995). Tuberkulosis merupakan penyakit
yang unik respons seluler baru terdeteksi cukup lama setelah 2-12 minggu
setelah infeksi (Fogel N., 2015).
Saat MTB masuk ke paru-paru melalui inhalasi aerosol droplet nuclei
yang selanjutnya akan berinteraksi dengan berbagai reseptor termasuk
pattern recognition receptors seperti toll-like receptors (TLR), complement
receptor, mannose receptor, scavenger receptor. DC-specific intercellular-
adhesion-molecule-3-grabbing non-integrin, pada permukaan makrofag
dan sel dendritik. Reseptor ini mengenali komponen MTB seperti
lipoprotein, CpG-containing DNA, mannose-capped lipoarabinomannan
dan phosphatidylinositol mannoside. Protein D surfaktan paru berikatan
dengan lipoarabinomannan permukaan MTB dan menghambat
pertumbuhan intraselular dari MTB dengan peningkatan fusi fagosom-
lisosom. Selain itu, ikatan cytosolic nucleotide dan oligomerisasi reseptor
48
seperti NOD2 yang mengenali muramyl peptide dan juga C-type lectin
dectin-1 yang berinteraksi dengan MTB bekerja sama dengan TLR-2 untuk
mengaktiviasi NF-kB dan aktivasi jalur vitamin D (Dheda K et al., 2010).
Aktivasi dari jalur TLRs - NFkB mempromosikan translokasi nukleus
NF-kB dan aktivasi jalur vitamin D yang menyebabkan :
1. Aktivasi NF-kB menyebabkan produksi dan sekresi dari berbagai
mediator proinflamasi termasuk sitokin TNF-α, IL-1. IL-12. IL-18 dan
kemokin yang akan mengundang neutrofil, sel NK, sel T, sel
dendritik, dan makrosfag ke lokasi infeksi
2. Aktivasi TLR juga melakukan upregulasi ekspresi reseptor vitamin D
(VDR) yang selanjutnya menyebabkan induksi dari peptida
antimicrobial cathelicidin dan beta-defensin untuk membunuh
mycobacteria intraselular (Dheda K et al., 2010).
Interferon-γ yang disekresikan dari sel T yang teraktivasi dan sel NK
memiliki kemampuan untuk aktivasi makrofag dan mempromosikan
pembunuhan bakteri dengan cara melakukan maturasi fagosomal dan
produksi intermediate nitrogen antimicrobial reaktive dan intermediate
oksigen reaktive. Studi terkini juga menemukan bahwa IFN-γ dan jalur
sinyal TLR menginduksi autofagi pada makrofag yang akan meningkatkan
kemampuan lisosom. Sitokin Th1 IFN-γ memfasilitasi fusi fagosom-lisosom
(autofagi) melalui jalur sinyal sel IRGm1 (LRG-47) dan PI3K dimana sitokin
Th2, IL-4 dan IL-13 memfasilitasi autofagi daan autofagi yang memediasi
pembunuhan MTB. Selain IFN-γ, TNF-α juga berperan dalam membunuh
49
MTB intraselular melalui intermediate nitrogen reaktif bersamaan dengan
IFN-γ dan terlibat dalam pembentukan granuloma. TNF dibutuhkan untuk
mengontrol infeksi laten tuberkulosis sebagai antibodi anti-TNF infliximab
yang meningkatkan risiko aktivasi infeksi TB laten melalui neutralisasi
langsung TNF dan juga deplesi subset granulysin-expressing CD45RA+
dari sel T CD8+ memori efektor yang berkontribusi dalam membunuh MTB
intraselular (Dheda K et al., 2010).
Peran neutrofil dalam pertahanan host melawan MTB masih
kontroversial. Polymorphonuclear neutrophils (PMN) merupakan sel
pertama yang direkrut ke lokasi masuknya mikroba dan mengekspresikan
sejumlah reseptor dan molekul efektor pada makrofag. Sebagian besar
percobaan pada PMN manusia menyebutkan bahwa PMN dapat teraktivasi
dalam responss terhadap MTB dan memiliki kemampuan untuk membatasi
pertumbuhan mikobakterial secara in vitro. Sebagai contoh, PMN
memproduksi human neutrophil peptides 1–3 dan cathelicidin LL-7 dan
lipocalin 2 yang memiliki kemampan untuk membatasi pertumbuhan MTB.
Selanjutnya PMN akan mengaktivasi makrofag melalui pelepasan protein
granulasi dan heat shock protein 72 dari neutrofil apoptotic (Dheda K et al.,
2010).
50
Gambar 2.7. Imunitas innate terhadap infeksi tuberculosis.
Mycobacterium tuberculosis difagosit oleh makrofag dan sel dendritik
melalui reseptor-terikat membran seperti CR3, reseptor scavenger, MMR,
TLR, NOD2 dan DC-SIGN. Hal ini menyebabkan aktivasi dari jalur pesinyal
makrofag (NF-kB), yang menyebabkan sekresi dari sitokin pro-inflamatorik,
kemokin, molekul antimikrobial, dan aktivasi VDR yang mana menginduksi
ekspresi dari peptide antimikrobial cathelicidin dan β-defensin. Selain itu,
induksi autofagi memediasi aktivitas antimikrobial. Sel PMN mengenali dan
memakan M.tuberculosis dan mensekresikan peptida antimikrobial untuk
membunuh bakteri. Sel NK, sel T γδ dan sel CD1-restricted juga diaktivasi
oleh ligan spesifik dan sitokin, menghasilkan faktor sitotoksik dan
mensekresikan IFN-γ yang mengaktivasi makrofag. CR3 : reseptor
komplemen 3; DC-SIGN : sel dendritik-intraselular spesifik-molekul-adesi-
3-grabbing-non-integrin; INF : interferon; MMR : macrophage mannose
receptor ; NK : natural killer ; PMN : polymorphonuclear neutrophils; TLR :
toll-like receptors; TNF : tumour necrosis factor ; VDR : vitamin D receptor
(Dheda K et al. 2010).
51
2.4. High Mobility Group Box 1 (HMGB 1)
2.4.1. Definisi HMGB 1
High Mobility Group Box 1 (HMGB1) merupakan protein pengikat
DNA nuklear. HMGB1 merupakan salah satu Danger Associated Molecular
Patterns (DAMPSs) yang mengaktivasi sistem imun bawaan dan bagian
dari keluarga High Mobility Group (Kang R et al., 2014).
2.4.2. Struktur HMGB 1
Gen HMGB1 manusia terletak di kromosom 13q12 dan enam lokus
polimorfik di seluruh lokus gen yang diidentifikasi baru-baru ini (Chen Q et
al., 2016). Protein HMGB1 mempunyai berat molekul 25--30 kDa terdiri dari
dua domain DNA-binding homolog yaitu kotak A dan kotak B, masing-
masing terdiri dari sekitar 80 residu asam amino dan ujung C terminal asam
bermuatan negatif yang terdiri dari sekitar 30 residu asam aspartat dan
glutamat. Struktur HMGB1 pada Gambar 2.8 memperlihatkan protein
HMGB1 terdiri dari 215 asam amino dalam tiga domain struktural: kotak A
(1--79), kotak B (89--162), dan ujung C terminal asam (186--215). Fungsi
Kotak A adalah pengikatan DNA dan menginduksi efek anti-inflamasi,
sedangkan domain kotak B memainkan peran penting dalam pengiktan
DNA dan merangsang respons proinflamasi. Domain kotak B terdiri dari dua
tempat pengikatan penting untuk TLR4 dan RAGE yang memediasi
pelepasan sitokin proinflamasi. Secara khusus, 20 asam amino tempat
mengikat TLR4 (89--108) adalah urutan minimal yang diperlukan untuk
52
menginduksi aktivitas sitokin. Dua wilayah peptida (1--15, 80--96) dari
HMGB1 mengikat LPS dan LPA (Lee SA et al., 2014).
Domain Box A dari HMGB1 berperan dalam pengikatan HMGB 1
dengan DNA yang rusak dan bertindak sebagai antagonis spesifik
HMGB 1, menunjukkan efek antiinflamasi. Hal ini juga terlihat pada domain
pengikatan heparin dan tempat pemecahan yang dimediasi thrombin. Disisi
lain, domain box B berhubungan dengan aktivitas sitokin pada sepanjang
lengan HMGB 1 yang distimulasi oleh pelepasan Tumor necrosis factor α
(TNF α) dan berbagai sitokin proinflamasi dalam makrofag, selain perannya
dalam pengikatan DNA. Terdapat dua tempat pengikatan penting yaitu Toll
like receptor4 (TLR4) (89 - -108) dan Receptor for advanced glycalation end
products (RAGE) (105 - -183) yang krusial dalam aktivasi pelepasan sitokin
oleh makrofag, dimana 20 residu pertama mewakili jumlah minimum
peptida yang diperlukan untuk menginduksi respons inflamasi (Lee SA.,
2014).
Gambar 8. Struktur HMGB 1 (Lee SA.,2014)
53
2.4.3. Fisiologi dan Peranan HMGB 1
HMGB1 merupakan bagian dari keluarga HMG. Beberapa Keluarga
HMG diantaranya adalah HMGA, HMGN, dan HMGBs. HMGB1 termasuk
pada kelompok HMGB yang paling banyak diespresikan (Kang R et al.,
2014).
Peran HMGB1 ada tiga bentuk nuklear, sitosol/sitoplasma dan
ekstraseluler. Bentuk HMGB1 nuklear memiliki peran pada banyak
kegiatan DNA, yaitu replikasi, perbaikan, rekombinasi, trankripsi DNA serta
stabilitas genomic (Kang R et al., 2014). Dalam sitoplasma, HMGB1
mengambil bagian dalam mengatur autophagy dan menjaga keseimbangan
antara autophagy dan apoptosis (Tang D et al., 2010). Selain itu HMGB 1
juga mempromosikan proses autofagi melalui jalur degradasi lisosom.
Dalam beberapa kasus HMGB 1 yang berada di membran sel berkontribusi
pada aktivasi trombosit dan adesi sel (Yu Y et al., 2015).
High Mobility Group Box 1 ekstraseluler memiliki peranan pada
proses inflamasi, imunitas, pertumbuhan sel, proliferasi dan kematian sel.
Fungsi HMGB 1 ekstraseluler untuk aktivasi sitokin dan kemokin, dimediasi
oleh RAGE dan toll like receptors seperti TLR2, TLR 4 dan TLR 9, untuk
mengaktivasi jalur signaling akhir seperti nuclear factor kappa β (NFκβ),
interferon regulatory factor-3 (IRF 3) dan phosphatidylinositol 3-kinase yang
kemudian mengaktivasi pengeluaran sitokin proinflamasi Tumour necrosis
factor α (TNF α), interleukin 1 (IL 1) dan interleukin 6 (IL 6) oleh makrofag
(Yu Y et al., 2015).
54
Translokasi HMGB1 ke lingkungan ekstraseluler melalui dua
mekanisme sekresi: sekresi aktif oleh sel inflamasi atau sekresi pasif oleh
sel nekrotik atau apoptosis. Secara aktif HMGB1 dalam nukleus disekresi
ketika sel-sel imunokompeten diaktifkan oleh stimulus inflamasi dan
mengalami modifikasi paska-translasi seperti asetilasi, fosforilasi, metilasi,
dan perubahan redoks. Sekresi pasif HMGB1 dimediasi oleh kematian sel
nekrotik dan apoptosis yang disebabkan oleh cedera, salah satunya akibat
infeksi MTB. Sekresi HMGB1 memicu responss inflamasi dalam tubuh.
Aktivitas inflamasi akibat sekresi HMGB1 ekstraseluler tergantung pada
keadaan redoksnya. Bentuk HMGB1 terdiri dari tiga residu sistein yaitu
C23, C45 dan C106 yang dimodifikasi selama perubahan redoks pada
Gambar 2.9. Bentuk HMGB1 tereduksi pada semua kelompok tiol
mendefinisikan aktivitas kemokin dari HMGB1, sedangkan bentuk disulfida
HMGB1 pada C23 dan C45, membentuk ikatan disulfida antarmolekul,
menginduksi aktivitas sitokin. Bentuk teroksidasi penuh dari HMGB1
dengan sistein bentuk sufonat berfungsi sebagai imunitas tubuh dalam sel
(Lee SA., 2014).
55
Gambar 9. Mekanisme sekresi dan peranan HMGB1 (Lee SA.,2014)
Interaksi HMGB1 dengan transduksi signal selular RAGE, TLR2,
TLR4, dan TLR 9 melalui jalur umum yang selanjutnya akan mengaktivasi
NF- κβ pada gambar 2.10.. Interaksi HMGB1 dengan LPS, LTA, dan CpG
meningkatkan signal yang dimediasi TLR4, TLR2, dan TLR9 dan mengarah
ke signal akhir aktivasi NF-κβ dan produksi sitokin proinflamasi.
Diaktifkannya NF- κβ akan melepaskan lκβ, kemudian akan bertranslokasi
ke nukleus dan berikatan dengan DNA dalam bentuk bentuk heterodimer
p65 / p50. Interaksi HMGB1 dengan CXCL12, yang mengikat CXCR4 akan
menginduksi kemotaksis dan perekrutan sel inflamasi (Lee S. A.,2014).
56
Gambar 10. Reseptor HMGB1 dan pengaktifan jalur tranduksi signal (Lee S. A., 2014)
2.4.4. Peran pro-inflamatorik HMGB1
Interaksi HMGB1 dengan molekul lainnya (contoh LPS bakterial)
atau berikatan ke reseptor untuk mengaktivasi berbagai gen
proinflamatorik. HMGB1 dihasilkan oleh sel hidup maupun sel mati pada
berbagai jaringan. Sekresi HMGB1 ke lingkungan ekstraselular dari sel
nekrotik maupun makrofag yang teraktivasi, akan menginduksi berbagai
sitokin proinflamatorik termasuk tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin
57
(IL)-1α, IL-1β, IL-6, IL-8, macrophage inflammatory protein (MIP)-1α, dan
MIP-1β, yang akan mempromosikan terjadinya proses inflamasi kronik.
Sekresi HMGB1 disebut juga mediator fase lambat dari inflamasi yang
diinduksi oleh sitokin proinflamatorik dini dan memicu efek imunosupresif
dan patologikal yang mengikuti pengeluaran sitokin selanjutnya seperti
TNF-α, IL-1α, IL-1β, IL-6, and IL-8 selama infeksi (Kim SY et al., 2017).
Peran proinflamatorik yang kuat dari HMGB1 ditunjukkan pada
penyakit autoimun, trauma, sepsis, pneumonia bakterialis dan kondisi
patologis termasuk aterosklerosis, arthritis, cedera paru akut seperti infeksi
TB. Studi ilmiah menunjukkan bahwa kadar serum HMGB1 mengalami
peningkatan pada pasien dengan tuberkulosis (TB). Sekresi HMGB1 yang
oleh makrofag paru merupakan mediator inflamatorik yang penting dan
terlibat dalam sekresi sitokin proinflamatorik dan pengeluaran Nitric Oxide
(NO) selama TB paru. Sebagai tambahan terhadap pelepasan sitokin
inflamatorik contohnya TNF-α, HMGB1 akan mengaktivasi fungsi sel imun
dan menginduksi maturasi sel tersebut seperti monosit dan sel dendritik
myeloid/plasmacytoid (Kim SY et al., 2017).
Selama awal infeksi, makrofag yang teraktivasi akan memproduksi NO
yang akan menghasilkan lingkungan oksidasi tinggi. Produksi NO oleh
makrofag yang teraktivasi akan mengoksidasi HMGB1 dan secara temporer
menekan inflamasi yang berlebih dan menurunkan imunitas protektif.
Selanjutnya, lingkungan oksidatif mengalami penurunan yang diakibatkan
oleh melemahnya aktivasi makrofag, produksi NO yang menurun dan
58
penurunan apoptosis makrofag, menyebabkan penurunan produksi
HMGB1 (Kim SY et al., 2017).
2.4.5. Peran HMGB1 pada infeksi dan cedera
Pelepasan HMGB1 terjadi selama infeksi atau cedera dengan
mekanisme aktif dan pasif. Pengeluaran pasif diinisiasi oleh adanya
kerusakan pada integritas selular yang terjadi secara
langsung.Pengeluaran aktif dinisiasi oleh transduksi sinyal selular melalui
interaksi reseptor membrane plasma dengan produk ekstraselular yang
terjadi lebih lambat. Sekresi aktif dari HMGB1 terjadi ketika monosit,
makrofag, sel Natural-killer, sel dendritik, sel endothelial, platelet, dan sel
komponen imunologis lainnya yang terpajan microbe associated molecular
patterns (MAMPs), pathogen-associated molecular patterns (PAMPs), dan
mediator inflamasi yang berasal secara endogen termasuk TNF, IL-1 dan
INF-γ (Anderson U et al., 2011). Sebagai salah satu mediator proinflamasi
responss lambat HMGB1 disekresi oleh makrofag 20 jam setelah aktivasi
oleh LPS dari bakteri (Wang et al.,1999).
Sel lainnya yang dapat menstimulasi pelepasan HMGB1 secara aktif
termasuk neurons, astrosit, sel eritroleukemia, sel neuroblastoma, dan sel
tumor lainnya. Sebagian besar sel termasuk monosit dan makrofag dapat
mengekspresikan protein HMGB1 dan mRNA HMGB1 pada kondisi basal.
Akibat aktivasi makrofag oleh LPS, kadar mRNA HMGB1 akan meningkat
dalam beberapa jam dan akan tetap terus meningkat selama 24 hingga 48
jam. Sekresi aktif HMGB1 ke ekstraselular dimulai 8 – 12 jam setelah ligasi
59
dengan TLRs dan terus meningkat selama 18-36 jam (Anderson U et al.,
2011).
Pelepasan HMGB1 yang terjadi selama kematian sel terprogram
berasal dari paling tidak 2 sumber : 1) Secara langsung dari sel apoptotik
dan 2) Oleh monosit yang teraktivasi untuk mensekresikan HMGB1
mengikuti pajanan terhadap sel apoptotik. Bukti terakhir menunjukkan
bahwa sel yang mengalami apoptosis dapat menghasilkan sejumlah
HMGB1 yang immunodetectable namun secara imunologikal bersifat
inaktif, oleh karena itu makrofag yang berkaitan akan gagal menstimulasi
pengeluaran TNF dibandingkan dengan saat terjadinya pengeluaran
HMGB1 secara pasif selama nekrosis sel. Hal ini disebabkan adanya
Reactive Oxygen Species (ROS) yang dihasilkan oleh miktokondria pada
sel apoptotik yang dapat menekan aktivitas inflamatorik dari HMGB1
dengan mengoksidasi cystein pada posisi 106. Mekanisme ini memberikan
pemahaman yang penting mengapa apoptosis gagal untuk mengaktivasi
responss inflamatorik yang bermakna karena adanya hambatan pada
tahapan oksidasi HMGB1 yang penting dalam respons inflamatorik. Hasil
sebelumnya yang menunjukkan bahwa HMGB1 endogen (yang didapat dari
sel nekrotik) dibutuhkan untuk stimulasi pengeluaran TNF monosit dan
HMGB1 rekombinan (rHMGB1) yang secara imunologis bersifat inaktif
mengonfirmasi pentingnya C106 pada mekanisme molekular dari inflamasi
yang dimediasi oleh HMGB1. Peran fungsional HMGB1 endogen sangat
penting sebagai molekul pemberi sinyal yang menginformasikan sel lain
60
bahwa kerusakan atau invasi patogen telah terjadi (Anderson U et al.,
2011).
Reseptor pertama yang diimplikasikan merupakan binding-partner
untuk HMGB1 adala Receptor for advanced glycation end products
(RAGE). Reseptor RAGE merupakan anggota superfamili immunoglobulin
transmembran, berada di permukaan sel. Ikatan HMGB1 dengan RAGE
memberikan sinyal untuk memediasi kemotaksis dan stimulasi
pertumbuhan sel, diferensiasi sel imun, migrasi sel imun dan sel otot polos
serta up-regulasi reseptor sel permukaan termasuk RAGE dan TLR4.
Ikatan HMGB1 dengan TLR4-MD2 melalui tranduksi sinyal yang akan
menstimulasi pengeluaran TNF dari makrofag. Pengikatan dan sinyal
keduanya membutuhkan suasana redoks-sensitif pada cystein posisi 106
dan penggantian pada posisi cystein ini akan mencegah pengikatan
HMGB1 terhadap TLR4. Reseptor TLR4 merupakan reseptor primer dari
HMGB1 dalam memediasi aktivasi makrofag, pengeluaran sitokin, dan
kerusakan jaringan (Anderson U et al., 2011).
High Mobility Group Box 1 merupakan mediator awal pada injuri steril
dan merupakan mediator lanjut pada infeksi. Infeksi akan mengaktivasi sel
imun bawaan untuk memproduksi HMGB1 yang bermakna dan kemudian
akan menurun pada kemunculan responss TNF awal. Selama iskema dan
bentuk lain dari kerusakan sel steril, HMGB1 dihasilkan sebagai mediator
dini yang akan mengaktivasi pengeluaran lanjut TNF dan sitokin lainnya
(Anderson U et al., 2011).
61
High Mobility Group Box 1 merupakan protein nuklear non-histon
yang memiliki peran penting sebagai minor-groove binding enhancer.
Secara struktural, HMGB1 terdiri dari 2 kotak dasar yang berperan dalam
pengikatan DNA dan ujung terminal C yang bersifat asidik. (Keyel et al.,
2011) Berkebalikan dengan sitokin, HMGB1 berikatan dengan banyak
reseptor, yang paling utama adalah TLR4 dan receptor for advanced
glycation end products (RAGE). Dalam banyak kasus, pengikatan ini
ditingkatkan atau dipotensiasi oleh ikatan pada pathogen associated
molecular patterns (PAMPs) seperti LPS dan sitokin, termasuk IL-1.
Walaupun HMGB1 berikatan dengan berbagai macam reseptor, namun
bersifat spesifik dan memiliki interaksi afinitas yang rendah. Sebagai
contoh, HMGB1 tidak berikatan dan tidak bersinergi dengan IL-18. Hal ini
disebabkan oleh modifikasi post-translasi dan status redoks (Keyel et al.,
2011).
2.4.5.1 Aktivitas sitokin oleh HMGB1
High Mobility Group Box 1 secara aktif dihasilkan dari sel imun
termasuk makrofag, monosit, sel NK, sel dendritik, sel endothelial, dan
platelet. Sekresi HMGB1 secara pasif dihasilkan dari sel nekrotik dan sel
yang rusak. Kedua mekanisme dapat memproduksi pengeluaran sejumlah
HMGB1 ekstraselular (Yang H et al., 2010). High Mobility Group Box 1
ekstraseluler mempunyai banyak fungsi seperti aktivasi sitokin dan
kemokin, dimana proses ini dimediasi oleh receptor for advanced glycation
end products (RAGE) dan toll like receptors TLR2, TLR 4 dan TLR 9 untuk
62
mengaktivasi jalur signaling akhir seperti NF κβ, interferon regulatory factor-
3 (IRF 3) dan phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K) yang kemudian
mengaktivasi pengeluaran sitokin proinflamasi (Tumour necrosis factor α
(TNF α), interleukin 1 (IL 1) dan interleukin 6 (IL 6) oleh makrofag (Yu Y et
al., 2015). Aktivitas inflamatorik dari HMGB1 bergantung pada status
oksidasi dari cysteine 106 yang terletak pada B box DNA-binding domain
dari HMGB1, yaitu wilayah yang penting dalam stimulasi pengeluaran
sitokin dan inflamasi. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa cysteine 106
dibutuhkan untuk proses sinyal HMGB1 melalui TLR4 untuk menstimulasi
pengeluaran sitokin dan inflamasi (Yang H et al., 2010).
2.4.5.2. Reseptor yang memediasi aktivitas HMGB1
High Mobility Group Box 1 dapat berikatan dengan reseptor
permukaan sel termasuk RAGE, TLR2, TLR4 dan TLR9. Interaksi HMGB1
dengan reseptor ini menyebabkan transduksi sinyal intraselular dan
memediasi responss selular termasuk perpindahan sel kemotaktik dan
pelepasan sitokin pro inflamatorik (misalnya TNF dan IL-1) secara in vitro
dan inflamasi akut secara in vivo (Yang H et al., 2010). Target utama dari
HMGB1 ekstraseluler adalah TLR4, yang mengarahkan translokasi faktor
nuklir kappa B (NFkB) ke nukleus, dan aktivasi faktor regulasi interferon 3
(IRF3) dan activator protein 1 (AP-1) untuk menghasilkan repertoar sitokin
inflamasi. HMGB1 adalah mediator lambat dari kerusakan infeksi, tetapi
awal salah satu kerusakan steril. Selama aktivasi sel imunitas, HMGB1
diekspresikan dan disekresi sekitar 8-12 jam. Umpan positif HMGB1
63
memperkuat respons imun melalui induksi sitokin selama stres, infeksi, atau
hipoksia (Asavarut P et al., 2013).
Receptor for Advanced Glycation End products (RAGE) merupakan
protein transmembran dan diekspresikan pada sel endothelial, sel otot
polos vascular, neurons,dan makrofag/monosit. Percobaan in vivo
menunjukkan bahwa interaksi HMGB1/RAGE penting dalam pembentukan
tumor dan proliferasi. Terdapat 2 jenis Toll-like receptors (TLRs) yang
terlibat dalam sinyal HMGB1, yaitu TLR2 dan TLR4. TLR4 berperan
sebagai reseptor primer dalam memediasi aktivasi makrofag, pelepasan
sitokin dan injuri jaringan. Sinyal HMGB1 melalui TLR4 pada sel darah
manusia dan makrofag primer akan menginduksi pelepasan sitokin.
HMGB1 dapat juga menghasilkan sinyal selular melalui TLR2. Park, dkk
mengamati bahwa TLR2 dan TLR4 terlibat dalam aktivasi seluler oleh
HMGB1. Fluorescent resonance energy transfer (FRET) dan analisis
immuno-presipitasi pada makrofag menunjukkan bahwa HMGB1 berikatan
dengan TLR2 dan TLR4 pada permukaan sel namun bukan pada RAGE
(Yang H et al., 2010).
2.4.6. Peranan HMGB 1 pada Infeksi tuberkulosis
Infeksi MTB berhubungan erat dengan respons inflamasi lokal yang
mungkin merupakan hal yang krusial dalam proses imunopatogenesis
tuberculosis (Russel D.G et al., 2007). Selain berperan sebagai
proinflamatorik pada penyakit infeksi, HMGB1 juga memiliki peran pada
infeksi Tuberkulosis. Berbagai mediator proinflamasi terlibat dan
64
berkontribusi terhadap pembentukan granuloma pada TB, salah satu yang
terdeteksi dan disekresi jika terjadi infeksi MTB adalah HMGB 1 (Orme I.M
et al., 2001). Sel imunitas bawaan (innate) aktif mensekresi HMGB1
sebagai respons terhadap infeksi mikobakterial yang menstimulasi
mediator proinflamasi. HMGB1 yang disekresi oleh makrofag selama
tuberkulosis dapat bertindak sebagai sinyal dari jaringan atau sel yang
cedera dan mempertinggi respons imun. Sel Nekrotik juga melepaskan
HMGB1 ditempat kerusakan jaringan yang menginduksi berbagai respons
seluler, termasuk ekspresi mediator proinflamasi (Grover A. et al.,2008).
Studi in vitro dan studi percoobaan hewan menunjukkan bahwa MTB dan
M.bovis BCG dapat secara efektif menginduksi sekresi HMGB1 yang
menyebabkan hiperaktivasi sitokin dan kerusakan jaringan paru (Kim SY et
al., 2017).
Penelitian Houben dkk memperlihatkan sitokin proinflamasi (TNF α, IL
1 dan IL 6) mempunyai peran memediasi proses inflamasi dan bertanggung
jawab terhadap kerusakan jaringan oleh tuberkulosis pada hewan coba
(Houben et al.,2006). Penelitian Grover A dkk memperlihatkan pelepasan
HMGB 1 oleh makrofag paru merupakan mediator penting dari respons
inflamasi dan membantu sekresi sitokin proinflamasi (TNF α dan IL 1β)
dan pelepasan NO selama tuberkulosis. Interaksi berbagai mediator
proinflamasi ini berkontribusi pada pembentukan granuloma pada
tuberkulosis (Grover A et al.,2008).
65
Studi yang dilakukan oleh Kim Su Young, dkk menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan sitokin pro-inflamatorik dan aktivasi dari jalur sinyal
HMGB1/RAGE pada tuberkulosis paru aktif, yang mana berkorelasi dengan
keparahan klinik/radiologi. Stimulasi HMGB1 oleh antigen MTB akan
meningkatkan responss inflamasi. Penelitian tersebut juga mendapatkan
adanya jalur sinyal HMGB1/RAGE pada tuberkulosis paru aktif. Gen
HMGB1 dan RAGE keduanya mengalami upregulasi begitu pula ekspresi
transmembran RAGE pada permukaan sel imun, juga mengalami
peningkatan pada infeksi TB aktif. Walaupun hanya terjadi peningkatan
sedikit pada kadar HMGB1 yang bersirkulasi hal ini tetap dapat terdeteksi,
sedangkan reseptor RAGE larut dan hilang disirkulasi . Ekspresi RAGE
meningkat begitu pula kadar sitokin plasma pada perluasan konsolidasi
paru, hasil serupa di dapatk untuk HMGB1. Pada analisis multivariat yang
terkontrol untuk cofounder klinis dan kadar sitokin, HMGB1 diketahui
menjadi prediktor independen untuk hasil yang buruk (Kim Sy et al., 2017).
Kadar HMGB1 serum/plasma dalam banyak studi, dilaporkan
sebesar 1,12 - 3,9 ng/mL lebih besar dibandingkan dengan rerata atau
median subjek kontrol yang sehat (Kim SY et al., 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Jin-Cheng Zeng et al., menunjukkan
bahwa kadar plasma HMGB1 pasien tuberkulosis aktif lebih tinggi
bermakna dibandingkan dengan kelompok sehat. Penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa adanya peningkatan kadar plasma dari IL-6 dan
TNF-α pada pasien tuberkulosis aktif yang konsisten dengan studi pada
66
pasien TB sebelumnya. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa
kadar HMGB1 dan TNF-α pada sputum secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok sehat (Zeng JC et al., 2015). Temuan
tersebut menunjukkan bahwa HMGB1, IL-10 dan TNF-α mungkin terlibat
dalam responss inflamatorik dinamik terhadap infeksi TB pada darah dan
jalan napas atau parenkima paru. Utamanya pada jalan napas, pelepasan
HMGB1, IL-10 dan TNF-α dapat menjadi penanda yang berguna untuk
menilai jalur napas atau responss inflamasi parenkima paru terhadap
infeksi TB (Zeng JC et al., 2015).
Sel innate termasuk makrofag, monosi, sel dendritik, sel mast,
neutrofil, eosinofil, dan sel natural killer merupakan produsen utama dari
HMGB1, IL-10, TNF-α dan IL-6 pada infeksi pulmonal. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Jin-Cheng Zeng et al., menunjukkan bahwa HMGB1
terdeteksi pada plasma dan sputum pasien yang memiliki hasil positif pada
kultur MTB sputum dan mengalami peningkatan dibandingkan dengan
kelompok sehat. Terlebih lagi, peningkatan kadar IL-6, IL-10, dan TNF-α
juga terdeteksi pada plasma, darah dan sputum subjek dengan infeksi TB
(Zeng JC et al., 2015).
Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar HMGB1 secara positif
berkorelasi dengan kadar IL-6 baik pada plasma dan sputum dari pasien
tuberkulosis aktif, pada saat yang sama, baik HMGB1 dan IL-6
berhubungan dengan monosit namun tidak dengan responss dinamik
neutrofil atau limfosit pada pasien tuberkulosis aktif. Hal ini menunjukkan
67
bahwa HMGB1 berperan pada keterlibatan IL-6 dalam responss
inflamatorik dinamis monosit terhadap infeksi TB (Zeng JC et al., 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Rogelio,dkk menunjukkan bahwa
adanya sekresi aktif dan tinggi dari HMGB1 selama infeksi awal dari TB
paru yang diikuti dengan produksi yang rendah dan konstan selama fase
lanjut. Sekresi aktif dari HMGB1 terlihat pada banyak jenis sel seperti
monosit, makrofag, sel dendritik, hepatosit, sel endothelial, sel glial dan
neuron. Sekresi HMGB1 mengalami peningkatan ke puncak tertinggi nya
setelah hari pertama infeksi diikuti dengan penurunan tajam pada hari
ketiga dan meningkat lagi pada hari ketujuh namun 3 kali lipat lebih kecil
dibandingkan dengan hari pertama dan konsentrasi rendah ini terjaga
konstan hingga tahapan lanjut penyakit. Immunostaining HMGB1 paling
jelas terlihat selama infeksi awal yang ditunjukkan oleh sejumlah makrofag
yang teraktivasi sehingga elemen dari imunitas bawaan seperti epithelium
bronchial dan makrofag merupakan sumber yang penting dari HMGB1
selama infeksi TB dini dan epithelium jalan napas dipertimbangkan sebagai
sel yang aktif mensekresikan protein ini ( Hernandez-Pando R et al., 2015).
Secara khusus, ketika HMGB1 dilepaskan dari sel nekrotik dan
setelah berikatan dengan RAGE dan TLR4 maka akan menginduksi
maturasi dari sel dendritik dan sekresi IL-12 dan IFN-γ. Interaksi HMGB1
dengan TLR4 dibutuhkan untuk aktivasi pelepasan sitokin dari makrofag.
Stimulasi neutrofil dan monosit oleh HMGB1 akan menginduksi pelepasan
68
sitokin dan mempromosikan migrasi sel ke jaringan yang mengalami
inflamasi seperti aktivasi endotelium ( Hernandez-Pando R et al., 2015).
Selama fase awal infeksi MTB, kondisi lingkungan oksidatif pada
paru akan membantu produksi dari HMGB1 yang teroksidasi dengan
aktivitas immune-toleragenik. Hal ini terkonfirmasi dengan pemberian
antibodi yang menghambat secara spesifik sejak hari pertama infeksi.
Aktivitas hambatan pada HMGB1 selama minggu pertama infeksi
menginduksi ekspresi yang lebih rendah dari TNF-α, IFN-γ dan IL-17,
menunjukkan aktivitas pro-inflamatorik HMGB1 tertentu namun pada hari
ke-14, ketika bentuk teroksidasi dari HMGB1 dihasilkan dan aktivitasnya
dihambat, terdapat penurunan yang singnifikan pada muatan basil di paru
serta adanya ekspresi yang lebih tinggi dari sitokin pro-inflamatorik.
Responss berkebailkan terlihat ketika rekombinan HMGB1 diberikan
selama infeksi awal maka akan menginduksi peningkatan yang signifikan
dari muatan basil seiring dengan ekspresi rendah dari sitokin
proinflamatorik dan ekspresi yang tinggi mendadak dari IL10 pada sejumlah
sel. Hal ini mengonfirmasi efisiensi HMGB1 dalam melakukan rekruitmen
dan aktivasi dari jenis sel ( Hernandez-Pando R et al., 2015).
Selama fase lanjut infeksi, pada hari ke-28 dan hari ke-60, area
ekstensif dari pneumonia, epithelium bronchial pada zona ini menunjukkan
adanya penurunan immunostaining HMGB1 dan didapatkan makrofag
sebagai sel imunoreaktif yang paling banyak dan padat. Pemberian
penghambat antibodi pada hari ke-60 infeksi menginduksi adanya
69
peningkatan yang signifikan dari beban basil paru seiring dengan ekspresi
rendah dari sitokin pro-inflamatorik. Hal ini menunjukkan bahwa produksi
dari HMGB1 pada fase lanjut infeksi memiliki aktivitas proinflamatorik dan
berkontribusi dalam melakukan kontrol pada pertumbuhan basil.
Menariknya, pemberian rekombinan HMGB1 dengan konsentrasi tinggi
menginduksi muatan basil yang lebih tinggi dan signifikan, kerusakan
jaringan yang lebih ekstensif, ekspresi yang lebih rendah dari sitokin
proinflamatorik dengan ekspresi yang tinggi dari IL-10, seiring dengan
sejumlah sel T regulatorik, menunjukkan bahwa tidak hanya jenis HMGB1,
reduksi atau oksidasi, namun juga jumlah protein penting untuk meregulasi
responss imun dan interaksinya dengan subtype sel T spesifik. Reseptor
RAGE diekspresikan lebih banyak pada sel T regulatorik dibandingkan
pada sel T konvensional sehingga HMGB1 menginduksi migrasi dan
memperpanjang ketahanan hidup dari sel T regulatorik dengan
meningkatkan pelepasan IL-10. Sebagai tambahan, HMGB1 dapat
menekan secara langsung pelepasan IFN-γ dengan sel T efektor dan
menghambat proliferasinya melalui TLR4 pada kondisi inflamatorik kronis
seperti yang dihasilkan oleh infeksi MTB. Oleh karena itu, HMGB1
dilepaskan selama infeksi TB dan dapat memodifikasi respons imun,
mempromosikan atau menekan inflamasi bergantung pada keadaan redoks
dan konsentrasinya ( Hernandez-Pando R et al., 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Grace Lui et al., menunjukkan bukti
bahwa adanya aktivasi jalur sinyal HMGB1/RAGE pada tuberkulosis aktif.
70
Peningkatan ekspresi RAGE dan HMGB1 berkorelasi dengan kadar sitokin
plasma, dan perluasan konsolidasi paru. Pada percobaan hewan dengan
TB aktif, peningkatan ekspresi dari HMGB1 sebagai sitokin pro-infalamtorik
terlihat pada paru, berkorelasi dengan derajat kerusakan jaringan. Sebagai
reseptor terhadap HMGB1, sinyal melalui RAGE akan mengaktivasi jalur
NF-κβ (mungkin melalui ERK dan p38-mAPK) yang mana akan
mempromosikan transkripsi dari gen pro-inflamatorik (contohnya IL8 /
CXCL8 / IL6 / TNF-α) pada paru dan sel imun. Selain itu, data percobaan
hewan terkini menunjukkan bahwa RAGE berperan penting dalam kontrol
mikobakterial. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa mekanisme imun
bawaan memiliki peran patogenik penting pada TB aktif ( Lui G et al., 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Agnleszka et al., menunjukkan bahwa
HMGB1 dapat terdeteksi pada aliran darah berbagai penyakit paru dengan
konsentrasi tertinggi pada pasien dengan infeksi MTB aktif dan laten.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa konsentrasi HMGB1
mengalami peningkatan pada pasien dengan tuberculosis aktif
47,5 ng/mL dibandingkan pada pasien dengan penyakit paru lainnya
36,87 ng/mL( Magrys A et al., 2013).
Pada grup pasien dengan penyakit paru non-TB, hasil menunjukkan
bahwa adanya perbedaan yang secara statistik signifikan pada konsentrasi
TNF-α dan HMGB1 antara pasien dengan infeksi TB laten dan pasien tanpa
infeksi TB laten ( p<0,05). Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya
korelasi positif yang bermakna secara statistik antara TNF-α dan HMGB1
71
pada pasien dengan infeksi TB Laten, r = 0.7, p = 0.04. Korelasi positif yang
bermakna juga terlihat jika membandingan HMGB1 serum dan kadar
TNF-α pada pasien penyakit paru non-TB, r= 0.71, p = 0.0006
( Magrys A et al., 2013).
Penelitian tersebut dapat dilihat bahwa HMGB1 serum secara
substansial mengalami peningatan pada TB aktif dan laten bahkan setelah
dilakukan penyesuaian terhadap usia dan jenis kondisi penyerta yang
mengindikasikan peran mediator ini pada tuberkulosis. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kadar HMGB1 serum secara bermakna meningkat
pada pasien dengan TB dibandingkan pada pasien dengan penyakit paru
lainnya dan subjek sehat. Telah diketahui bahwa subjek sehat memiliki
ekspresi HMGB1 yang sangat rendah bahkan tidak ada namun akan
mengalami peningkatan secara dramatis selama kondisi patologis tertentu
( Magrys A et al., 2013).
Beberapa studi sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan
kadar HMGB1 pada kondisi inflamasi seperti kanker, COPD, atau asthma.
Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar HMGB1 dan
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan HMGB1 telah teridentifikasi
pada lokasi spesifik inflamasi dan pada plasma (Hernandez-Pando R et al.,
2015). Tidak ada peningkatan yang signifikan pada konsentrasi HMGB1
pada pasien dengan penyakit paru non-TB. Oleh karena itu, kami
menyimpulkan bahwa peningkatan kadar HMGB1 pada kelompok
72
tuberkulosis aktif sebagaimana dengan kasus infeksi TB laten merupakan
hasil dari infeksi MTB ( Magrys A et al., 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Qiu-yue Liu et al., menunjukkan
bahwa sebanya 124 pasien dengan TB paru menunjukkan adanya
upregulasi sel imun pada serum. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa
kadar konsentrasi serum dari limfosit, plasmasit, neutrofil, dan monosit
secara signifikan meningkat pada pasien dengan infeksi MTB dibandingkan
dengan subjek kontrol sehat (p<0,01). Sebagai tambahan, hasil studi juga
mengindikasikan bahwa makrofag, sel mast dan sel endothelial juga
mengalami peningkatan pada jaringan paru pasien dengan infeksi MTB
dibandingkan dengan subjek kontrol sehat. (Liu QY et al., 2016)
Selanjutnya, studi tersebut juga menunjukkan bahwa kadar ekspresi
HMGB1 yang tinggi secara signifikan mengalami upregulasi pada jaringan
paru pasien dengan infeksi MTB dibandingkan dengan subjek sehat
(p<0,01) yang mana hal ini merupakan kontribusi inflamasi pada pasien.
tersebut juga menunjukkan bahwa adanya asosiasi antara faktor inflamasi
dan MTB, kadar serum faktor inflamasi yang diukur pada pasien dengan TB
paru di ICU dengan subjek sehat sebagai kontrol. Kadar konsentrasi serum
dari IL-1, IL-6, IL-10 dan IL-12 secara signifikan mengalami upregulasi pada
pasien dengan TB paru di ICU dibandingkan dengan subjek sehat (p<0,01).
Akan tetapi, kadar serum dari IL-2 dan IL-15 secara bermakna lebih rendah
pada pasien dengan TB paru dibandingkan dengan subjek sehat (p<0,01).
Hal ini menunjukkan bahwa faktor inflamasi mengalami peningkatan pada
73
serum sementara faktor anti-inflamasi mengalami penurunan pada pasien
dengan infeksi TB paru di ICU (Lui G et al., 2016).
Faktor inflamasi yang dihasilkan dari sel inflamatorik dilaporkan
berhubungan dengan patogenitas dan keparahan dari TB paru dan
mungkin menginduksi penyakit yang berhubungan dengan tuberkulosis
lainnya. Kadar ekspresi dari IL-1, IL-6, IL-10 dan IL-12 diinvestigasi pada
pasien dengan TB paru. Studi tersebut menunjukkan bahwa kadar serum
dari IL-6 berperan sebagai biomarker yang potensial dari kemajuan
penyakit pada tuberkulosis paru setelah terapi obat anti tuberkulosis. Dari
studi tersebut juga diketahui adanya peningkatan kadar serum IL-6 pada
pasien dibandingkan dengan subjek control ( Liu QY et al., 2018).
High Mobility Group Box 1 yang secara pasif dihasilkan oleh sel
apoptotik dan secara aktif dihasilkan oleh sel imun yang teraktivasi memiliki
perbedaan yang signifikan pada modifikasi molekular dan menunjukkan
fungsi yang berbeda. Pelepasan HMGB1 secara pasif dapat menginduksi
toleransi imun sementara HMGB1 yang dilepaskan secara aktif memiliki
efek proinflamatorik ( Ding J et al., 2017).
Bacillus Calmette–Guerin (BCG) dapat secara efektif menginduksi
produksi HMGB1 pada sel phorbol myristate acetate (PMA)-treated THP-1.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa HMGB1 dapat menjadi adjuvant
untuk subunit vaksin tuberkulosis untuk meningkatkan efikasi protektif dan
respons imun seluler dan efek ini tidak bergantung pada interaksi antara
HMGB1 dan reseptor. Hal ini menunjukkan bahwa HMGB1 dapat bertindak
74
sebagai biomarker untuk diagnosis aktif tuberkulosis dan prognosis dan
meningkatkan efikasi subunit vaksin sebagai adjuvant ( Ding J et al., 2017).
2.5. Penanda biologis IL-6
2.5.1. Definisi
Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin proinflamatorik dan sitokin
immunoregulatorik yang berperan dalam pertahanan host dalam melawan
infeksi dan cedera jaringan. Interleukin IL-6 disebut juga sebagai faktor
stimulator sel-B yang meningkatkan sintesis immunoglobulin oleh sel B
yang teraktivasi (Kishimoto T et al., 2015).
2.5.2. Biosintesis dan Pengeluaran IL 6
Interleukin 6 manusia merupakan glikoprotein yang memiliki 212
asam amino. Pada kondisi inflamasi infeksi, IL-6 dihasilkan oleh monosit
dan makrofag setelah stimulasi terhadap Toll-like receptors (TLRs) dengan
pola molekular terkait patogen yang berbeda sementara pada kondisi
inflamasi non-infeksi seperti luka bakar atau cedera trauma, damage
associated molecular patterns (DAMPs) dari sel yang rusak atau mati
menstimulasi TLRs untuk memproduksi IL-6. Sebagai tambahan, IL-6 dapat
diproduksi oleh sel dendritik, sel T dan sel B, neutrofil, sel mast, fibroblast,
sel sinovial, keratinosit, sel endotelial, sel stromal, sel mesangial, sel glia,
neuron, kondrosit, osteoblast, sel otot polos, adiposit, dan sel lainnya
termasuk sel tumor (Kishimoto T et al., 2015).
75
Sintesis IL-6 secara ketat diregulasi oleh mekanisme transkripsional
dan post-transkripsional. Faktor transkripsional meliputi Nuclear factor
kappa B (NF-κβ), nuclear factor IL-6 (NF-IL6), activation protein 1, and
interferon regulatory factor 1 mengaktivasi gen IL-6. Sementara itu,
glukokortikoid, estrogen, aryl hydrocarbon menekan ekspresi gen IL-6
(Tanaka T et al., 2014).
2.5.3. Aktivitas Biologis IL 6
Interleukin 6 merupakan mediator inflamasi yang penting. Diproduksi
oleh lesi infeksi atau lesi yang mengalami kerusakan dan memberikan
sinyal ke seluruh tubuh. Ketika IL-6 memberikan stimulasi terhadap
hepatosit, IL-6 secara kuat akan menginduksi protein fase akut spectrum
luas seperti C-reactive protein (CRP), serum amyloid A (SAA), fibrinogen,
hepcidin, haptoglobin, dan antichymotrypsin dimana protein ini akan
menurunkan albumin, cytochrome p450, fibronectin, dan transferin. Protein
CRP merupakan biomarker inflamasi yang cukup dikenal dan digunakan
untuk mengevaluasi keparahan inflamasi dimana peningkatan IL-6
ditemukan sebelum adanya peningkatan serum CRP yang mengikuti infeksi
akut dan operasi abdominal. Kadar hepsidin tinggi akan menghambat
ferroportin pada makrofag, hepatosit, dan sel epithelial usus yang
menyebabkan hipoferremia dan anemia yang berkaitan dengan inflamasi
(Gantz T et al., 2011). Interleukin IL-6 berperan penting dalam inflamasi
lokal dengan stimulasi produki IL-8 oleh sel endothelial, protein
kemoatraktan monosit, dan ekspresi molekul adesi yang menyebabkan
76
rekruitmen leukosit ke lesi inflamasi. Pada respons imun acquired, IL-6
menginduksi diferensiasi sel B menjadi sel immunoglobulin-producing dan
mempromosikan pertumbuhan plasmablast dan sel myeloma, selain itu
IL-6 juga berperan dalam diferensiasi naïve CD4 positive T cells menjadi
sel T efektor spesifik. Bersama dengan TGF-β, IL-6 mempromosikan
diferensiasi menjadi sel yang memproduksi IL-17 (Th-17) dimana IL-6
menghambat perkembangan TGF-b-induced regulatory T cell (T-reg).
Ketidakseimbangan antara Th17/Treg menyebabkan eradikasi dari
toleransi imunologis dan kepentingan patologikal untuk perkembangan
autoimun dan penyakit inflamasi kronik. Selanjutnya, IL-6 mempromosikan
perkembangan dari T follicular helper cell dan produksi IL-21 yang
berperan dalam meningkatkan sintesis immunoglobulin ( Awasthi A. Et al.,
2009).
2.6 . Penanda Biologis TLR4
2.6.1. Definisi
Toll-like Receptors (TLRs) merupakan pola reseptor pengenal yang
merupakan bagian dari imunitas bawaan yang dapat mengenali dan
menyerang mikroorganisme yang melakukan invasi. Reseptor TLRs dapat
berikatan dengan damage-associated molecular patterns(DAMPs) yang
diproduksi oleh sel yang mengalami apoptosis atau jaringan yang rusak.
Reseptor TLRs dapat membangun koneksi antara imunitas bawaah dan
77
autoimunitas. Terdapat 5 adaptor terhadap TLRs yaitu Myeloid
differentiation factor 88 (MyD88), TIR-related adaptor protein inducing
interferon (TRIF), TIR domain containing adaptor protein (TIRAP)/ MyD88
adaptor like (MAL), TRIF-related adaptor molecule (TRAM) dan Sterile-
alpha and Armadillo motif-containing protein (SARM). Reseptor TLRs
merekrut adaptor spesifik untuk menginisiasi jalur sinyal sehingga terjadi
produksi sitokin dan kemokin inflamasi (Liu Y et al., 2014).
2.6.2. Peranan TLR4 sebagai reseptor transmembran
Toll Like Receptors dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu TLR
transmembran dan TRL intraselular ( Portou MJ et al., 2015). Reseptor
TLRs secara efisien dapat mengenali berbagai komponen patogen yang
berperan dalam metabolisme patogen tersebut, mencegah mutasi yang
menyebabkan patogen menjadi tidak terdeteksi. Reseptor TLRs 1,2, dan 6
mampu mengenali dinding sel bakteri gram positif seperti lipoprotein,
peptidoglikan, asam lipotechoic. Reseptor TLR4 diaktivasi oleh komponen
dinding sel bakteri gram negatif yaitu Lipopolisakarida (LPS) dan flagelin
bacterial. Reseptor TLRs intraselular 3, 7, dan 8 mampu mengenali RNA
virus ds dan ss, dan TLR9 mengenali non-methylated CpG dinucleotides
yang terdapat pada DNA bakteri (Mukherjee S et al., 2016).
Toll Like Receptor 4 merupakan bagian dari sub-kelompok TLR
transmembran. Reseptor TLRs transmembran atau TLRs yang berada
pada sel membran menunjukkan domain ekstraselular yang kaya akan
leucine yang dapat mengenali PAMPs yang berbeda dan domain toll-
78
interleukin 1 (IL-1) receptor (TIR) yang dapat mengaktivasi transcription
factor nuclear factor-B (NF-B) dalam menginduksi sitokin pro-inflamatorik
dan kemokin serta melakukan up-regulasi molekul co-stimulator pada sel
antigen-presenting atau APC seperti makrofag, sel dendritik yang pada
akhirnya dapat mensensitisasi aktivasi sel-T (Portou MJ et al., 2015).
2.6.3. Peran TLR4 terhadap patogen
Peran TLR-4 mampu mensensitisasi PAMPs dari berbagai
organisme mikro dan makro. Penjelasan yang paling mungkn dari aktivasi
TLR pada permukaan sel adalah adanya presentasi dan pengikatan
Lipopolisakarida (LPS) terhadap TLR4. Kompleks LPS-LPB akan bersatu
dengan glycosyl phosphatidyl inositol linked CD14 yang kemudian akan
berikatan dengan kompleks TLR4-MD2. Reseptor TLR4 akan membentuk
kompleks dengan MD2 pada permukaan sel yang berperan dalam
komponen pengikatan LPS yang utama. Kompleks TLR4-MD2-LPS
menyebabkan inisiasi transduksi sinyal dengan cara rekruitmen molekul
adaptor intrasel seperti MyD88, TRIF, TRAM, TIRAP atau MAL dan SARM
(Portou MJ et al., 2015).
Toll Like Receptor 4 diekspresikan pada berbagai sel imun
termasuk neutrofil, monosit dan DCs. Diantara sel-sel ini, neutrofil pertama
kali akan bermigrasi ke lokasi infeksi, melakukan sensitisasi patogen dan
menghasilkan respons imun. Akan tetapi, aktivasi responss adaptif yang
terkoordinasi dimediasi melalui ikatan pada ligan spesifik pada monosit atau
DCs yang juga dimediasi oleh TLR2 dan TLR4. Setelah mengenali PAMPs
79
oleh TLR2 dan 4 pada jenis sel tertentu, domain TIR dan adaptor terkait
(MyD88, TRIF, SARM) teraktivasi yang selanjutnya akan mengarahkan
pada aktivasi dari faktor transkripsi termasuk NF-kB dan atau IRF3. Aktivasi
dari TLRs ini mendorong 2 jalur pesinyal yang berbeda yaitu MyD88
depended dan MyD88 independen atau jalur dependen TRIF. MyD88,
TRIF, TRAM, MAL dan SARM merupakan 5 adaptor yang penting dalam
aktivasi TLR. Adaptor MyD88 merupakan adaptor pertama yang digunakan
oleh semua TLRs kecuali TLR3. Pada aktivasi TLR, MyD88 merekrut
interleukin 1 receptor associated kinase 4 (IRAK-4) yang memfosforilasi
IRAK1 yang mana akan mengaktivasi TNF Receptor-Associated Factor 6
(TRAF6). Kedua protein tersebut meninggalkan kompleks reseptor dan
berinteraksi dengan TGF activated kinase 1 (TAK1) dan 2 protein pengikat
TAK1 yaitu TAB1 dan TAB2. Protein TAK1 terfosforilasi dan selanjutnya
akan mengaktivasi kompleks I-kB kinase (IKK) sehingga akan terjadi
translokasi NF-kB ke nukleus dan menginduksi ekspresi sitokin IL-6, IL-12
dan TNF-α (Oeckinghaus A et al., 2011; Kagan JC et al.,2006). Adaptor
MAL dan TIRAP merupakan adaptor kedua yang mentransmisikan sinyal
dari TLR4 an TLR2 dengan cara memfasilitasi perpindahan MyD88 ke TLR4
untuk mengaktivasi faktor transkripsi seperti NF-kB, JNK, dan Extracellular
regulated kinases 1(ERK-1). Adaptor TRIF merupakan adaptor ketiga pada
TLR4 yang mengaktivasi Interferon regulatory factor 3 (IRF3) dengan cara
mengaktivasi kinase TBK1 dan I-kB kinase. Adaptor TRAM merupakan
adaptor ke 4 yang terlibat dalam transmisi sinyal TLR4 dan menyebabkan
80
produksi dari MyD88 independent interferon-β. Adaptor kelima adalah
SARM yang terutama akan berinteraksi dengan TRIF dan secara negatif
meregulasi NF-kB dan mengaktivasi IRF3 ( Babu S et al., 2011; Carpenter
S et al., 2007) .