Imunopatogenesis Efek Samping Sistemik PPOK

38
1 PENDAHULUAN Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama morbiditas dan kecacatan di Amerika Serikat dan Inggris yang akan terus meningkat selama beberapa dekade mendatang. 1 Penyakit ini dapat terjadi pada banyak orang selama bertahun-tahun dan merupakan penyebab utama kematian urutan keempat di dunia. 2 Penyakit paru obstruktif kronik diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia pada tahun 2020. 3 Definisi PPOK didasarkan pada patofisiologi dari hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan bersifat progresif. Obstruksi saluran napas berhubungan dengan respon inflamasi abnormal terhadap gas atau partikel berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan penyakit. 4,5 Penyakit paru obstruktif kronik dipahami sebagai kelainan spesifik struktur saluran napas (bronkitis dan bronkiolitis) dan parenkim paru (emfisema). 4 Kelainan struktural paru berkaitan dengan reaksi inflamasi saluran napas, alveoli, dan pembuluh darah paru. 6 Derajat dan tingkat keparahan PPOK ditentukan dari tekanan ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1 ) dan rasio VEP 1 dengan kapasitas vital paksa/ KVP (VEP 1 %). 7 Inflamasi saluran napas ini mempengaruhi struktur dan fungsi paru- paru yang menyebabkan terjadinya obstruksi saluran napas. 8 Dampak PPOK bermanifestasi sistemik yang berhubungan dengan penyakit ini. 9 Tinjauan pustaka ini akan membahas immunopatogenesis efek sistemik PPOK terhadap beberapa organ tubuh yang sering mengenainya.

Transcript of Imunopatogenesis Efek Samping Sistemik PPOK

  • 1

    PENDAHULUAN

    Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama

    morbiditas dan kecacatan di Amerika Serikat dan Inggris yang akan terus

    meningkat selama beberapa dekade mendatang.1 Penyakit ini dapat terjadi pada

    banyak orang selama bertahun-tahun dan merupakan penyebab utama kematian

    urutan keempat di dunia.2 Penyakit paru obstruktif kronik diperkirakan akan

    menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia pada tahun 2020.3

    Definisi PPOK didasarkan pada patofisiologi dari hambatan aliran udara

    yang tidak sepenuhnya reversibel dan bersifat progresif. Obstruksi saluran napas

    berhubungan dengan respon inflamasi abnormal terhadap gas atau partikel

    berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap tingkat

    keparahan penyakit.4,5

    Penyakit paru obstruktif kronik dipahami sebagai kelainan spesifik

    struktur saluran napas (bronkitis dan bronkiolitis) dan parenkim paru

    (emfisema).4 Kelainan struktural paru berkaitan dengan reaksi inflamasi saluran

    napas, alveoli, dan pembuluh darah paru.6

    Derajat dan tingkat keparahan PPOK ditentukan dari tekanan ekspirasi

    paksa detik pertama (VEP1) dan rasio VEP1 dengan kapasitas vital paksa/ KVP

    (VEP1%).7

    Inflamasi saluran napas ini mempengaruhi struktur dan fungsi paru-

    paru yang menyebabkan terjadinya obstruksi saluran napas.8

    Dampak PPOK bermanifestasi sistemik yang berhubungan dengan

    penyakit ini.9

    Tinjauan pustaka ini akan membahas immunopatogenesis efek

    sistemik PPOK terhadap beberapa organ tubuh yang sering mengenainya.

  • 2

    DEFINISI

    Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit paru yang dapat dicegah

    dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya

    reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru

    terhadap partikel atau gas beracun/ berbahaya, disertai efek ekstra paru yang

    berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.2,4

    Asap rokok merupakan faktor resiko terbesar meskipun pada beberapa

    daerah polusi udara juga merupakan penyebab utama PPOK.2,4,7

    PATOGENESIS

    Penyakit paru obstruktif kronik berhubungan dengan komponen inflamasi

    yang akhirnya mengarah pada kerusakan jaringan.10

    Emfisema merupakan

    kontributor terbesar pada kejadian PPOK. Kelainan pada emfisema berbentuk

    pelebaran abnormal dan permanen ruang udara distal bronkiolus terminalis yang

    diakibatkan oleh destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata,

    bersifat kronik, progresif dan memberikan kecacatan menetap.11-13

    Kerusakan serat elastin dinding saluran napas diakibatkan oleh ketidak-

    seimbangan enzimatis antara elastase dan anti elastase. Elastin merupakan

    senyawa protein yang berfungsi mempertahankan elastisitas paru sedangkan

    elastase merusak jaringan elastin dinding saluran napas dan paru. Kerusakan

    jaringan elastin mempengaruhi jaringan ekstra seluler parenkim paru berupa

    peningkatan serat kolagen sebagai konsekuensi remodeling jaringan ikat paru

    dan sifat elastisitas paru menjadi hilang.11

    Asap rokok merupakan salah satu penyebab penting dalam penyakit

    PPOK.2,4,12

    Kebiasaan merokok mempengaruhi sistem pertahanan tubuh bawaan

    dengan peningkatan produksi mukus dan penurunan bersihan mukosilier, dimana

    membuat kerusakan pada pertahanan epitelial dan merangsang migrasi dari

    polymorphonuclear neutrophils (PMNs), monosit/ makrofag (M), cluster of

  • 3

    differentiation 4+

    (CD4+), cluster of differentiation 8

    + (CD8

    +), sel limfosit B, sel

    dendritik dan sel natural killer (NK), masuk ke dalam jaringan yang rusak.13

    Gambar 1 menunjukkan faktor-faktor inflamasi yang berperan pada PPOK.

    Partikel asap rokok melewati sel epitel paru dan ditangkap oleh antigen

    presenting cell (APC). Makrofag alveolar mempengaruhi sel-sel inflamasi,

    dengan cara mengeluarkan kemokin. Limfosit T CD8 menyebabkan kerusakan

    parenkim paru, melalui perforin dan granzyme.12

    Gambar 1. Sel inflamasi pada patogesesis PPOK. APC: antigen presenting cell,

    CXCL8 : C-X-C motif chemokine 8, CXCL10 : C-X-C motif

    chemokine 10, MMP's : matriks metaloproteinase, CD 4 : cluster of

    differentiation 4, CD 8 : cluster of differentiation 8,

    dikutip dari 12

  • 4

    Etiologi dari obstruksi jalan napas dan emfisema yang membuat

    keterbatasan jalan napas adalah kerusakan jaringan paru yang bersifat menetap

    dan disebabkan karena inhalasi kronis dari partikel dan gas beracun. Gambar 2

    memperlihatkan hasil penelitian bronkitis kronis dan emfisema yang dilakukan

    oleh Fletcher dan rekan, dengan kategori derajat PPOK dari Global Initiative for

    Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) yang ditunjukkan sebagai garis

    horisontal. 13

    Gambar 2. Hubungan antara onset patologis PPOK dan tingkat keparahan PPOK

    dari GOLD

    dikutip dari (13)

    Sekitar 20% dari populasi perokok terdapat penurunan fungsi paru.

    Makrofag, netrofil, dan subtipe limfosit menginfiltrasi jaringan paru perifer

    perokok dengan fungsi paru normal (GOLD 1). Infiltrasi ini meningkat seiring

    dengan tingkat keparahan PPOK. Peningkatan proses remodelling (penebalan

    dari saluran napas kecil dan pengecilan diameter saluran napas oleh mukus yang

  • 5

    berisi eksudat inflamasi) dari tingkat sedang (GOLD 2) sampai tingkat sangat

    berat (GOLD 4). Peningkatan formasi dari folikel limfoid memperlihatkan

    respon imun adaptive naik pada level berat (GOLD 3) dan sangat berat (GOLD

    4). Penelitian oleh Fletcher dan rekan mengindikasikan bahwa ukuran dari hasil

    proses remodelling, berhubungan erat dengan kelainan saluran napas kecil dan

    VEP1 pasien PPOK, dibandingkan dengan luas dan beratnya infiltrasi sel radang

    yang menginfiltrasi jaringan paru.13

    Seorang perokok menunjukkan penurunan VEP1 yang memicu pada

    tingkat keparahan berat (GOLD 3) dan sangat berat (GOLD 4) dari PPOK.

    Proses inflamasi terjadi pada paru perokok, dan respon ini menjadi lebih berat

    (amplifikasi) pada 20% populasi perokok yang membuat tingkat penyakit PPOK

    menjadi lebih berat. Mekanisme amplifikasi ini masih belum dipahami, tetapi

    mungkin melibatkan kedua fitur dari genetik dan/atau epigenetik, serta

    perbedaan dalam dosis partikel dan gas terhirup.13,14

    Sistem pertahanan alami dari paru, termasuk bersihan mukosilier,

    pertahanan epitel, faktor-faktor koagulasi (yang menghentikan perdarahan

    mikroskopis saat terjadi cedera jaringan), dan sel-sel inflamasi (yang

    mengeksudasi plasma dan migrasi sel-sel imun inflamasi ke dalam bagian yang

    rusak), memberikan respon awal yang cepat terhadap berbagai mekanisme

    patologis, tetapi tidak memiliki kekhususan (spesifitas), keanekaragaman yang

    terbatas, dan tidak mempunyai memori. 2,4,7,10-12

    Kebiasaan merokok tembakau juga merangsang komponen humoral dan

    seluler dari respon imun adaptive untuk memberikan reaksi jauh lebih spesifik

    dan sangat beragam yang memiliki memori untuk paparan sebelumnya pada

    bahan asing yang masuk ke dalam paru.14

    Ciri histologis respon imun adaptif

    adalah terdapat folikel limfoid dengan pusat germinal yang biasa ditemukan pada

    kelenjar getah bening regional. Jaringan limfoid bronkus (bronchus associated

  • 6

    lymfoid tissue/ BALT), jarang ditemukan di paru yang sehat, tampak pada 5%

    dari perokok dengan fungsi paru normal (GOLD 1), yang naik secara tajam pada

    penderita PPOK tingkat berat (GOLD 3) dan sangat berat (GOLD 4). Keadaan

    ini mungkin disebabkan adanya peningkatan dari respon kekebalan adaptive

    terhadap kolonisasi dan infeksi pada saluran napas bawah yang sering didapat

    pada tingkat PPOK yang berat.13,15

    Secara umum, empat mekanisme utama yang bertanggung jawab untuk

    perubahan terlihat pada PPOK: stres oksidatif, inflamasi, ketidakseimbangan

    protease-antiprotease, dan apoptosis.16

    Infeksi dan asap rokok menyebabkan

    gangguan keseimbangan oksidan dan antioksidan, menimbulkan stress oksidatif,

    dan selanjutnya menyebabkan cedera langsung ke komponen paru, yang

    memicu/memperburuk mekanisme pathogenik lainnya. Proses ini ditunjukkan

    pada gambar 3 dibawah .17

    Gambar 3. Stres oksidatif pada PPOK.

    Dikutip dari (17)

  • 7

    Oklusi lumen dan penebalan dinding jalan napas lebih mempengaruhi

    penurunan VEP1 dibanding luas (jumlah) saluran udara yang terlibat atau

    keparahan (volume akumulasi) dari sel-sel inflamasi dalam saluran

    udara.13,16

    Sumber utama oksidan pada saluran napas adalah makrofag alveolar,

    sel epitel, sel endotel dan sel-sel inflamasi melibatkan seperti neutrofil, eosinofil,

    monosit dan limfosit. Aktivasi sel-sel menghasilkan pembentukan ion negatif

    oksigen (O2-), yang dengan cepat diubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2)

    oleh enzim superoxide dismutase (SOD).16

    Asap rokok mengaktifkan sel-sel epitel dan makrofag melepaskan

    beberapa faktor kemotaktik yang menarik sel-sel inflamasi ke paru, termasuk

    ligan CC kemokin 2 (CCL2). Faktor kemotaktik CCL2 bekerja pada reseptor CC

    kemokin 2 (CCR2), (untuk menarik monosit), CXC kemokin ligan 1 (CXCL1)

    dan CXC-kemokin ligan 8 (CXCL8), yang bekerja pada reseptor kemokin CXC-

    2 (CXCR2) untuk menarik neutrofil juga monosit, dan CXC-kemokin ligan 9,

    10, dan 11 (CXCL9, CXCL 10, dan CXCL 11) bekerja pada reseptor kemokin

    CXC 3 (CXCR3) untuk menarik sel T helper 1 (Th1) dan sel tipe 1 T sitotoksik

    (Tc-1). Sel T helper 1 (Th1) dan sel tipe 1 T sitotoksik (Tc-1) melepaskan

    interferon (IFN-). Sel inflamasi ini bersama dengan makrofag dan sel-sel

    epitel, melepaskan protease, seperti matriks metalloproteinase 9 (MMP9) yang

    menyebabkan degradasi elastin dan menyebabkan emfisema.17

    Netrofil elastase juga menyebabkan hipersekresi lendir. Sel epitel dan

    makrofag melepaskan transforming growth factor (TGF-) dan fibroblast

    growth factor (FGFs), (merangsang proliferasi fibroblas) mengakibatkan fibrosis

    pada saluran udara kecil. Sitokin proinflamasi tumors necrotic faktor ,

    interleukin 1, dan interleukin 6 dapat memperkuat efek peradangan.

    Hipersekresi lendir disebabkan oleh epidermal growth factor (EGF) dan

    transforming growth factor (TGF-).17

  • 8

    Gambar 4. Jaringan sitokin pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).

    CCR3 : reseptor C-C kemokin tipe 3; CTGF : connective tissue growth

    factor); CCL5 : Kemokin (C-C motif) ligan 5; IL-4 : interleukin 4; IL-

    5 : interleukin 5; TGF- : tranforming growth factor ; FGF :

    fibroblast growth factor; IFN- : interferon ; CXCR3 : reseptor

    kemokin CXC 3; Th1: sel T helper 1; Tc1 : sel tipe 1 T sitotoksik;

    Th17 : sel T helper 17; CXCL9, CXCL 10, dan CXCL 11 : CXC-

    kemokin ligan 9, 10, dan 11; IL-23 : interleukin 23; TNF- : tumors

    necrotic faktor ; IL-1 : interleukin 1; IL6 : interleukin 6; CXCL1 :

    CXC kemokin ligan 1; CXCL8 : CXC-kemokin ligan 8; CXCL1 :

    CXC-kemokin ligan 1; CXCL5 : CXC-kemokin ligan 5; CXCR2 :

    reseptor kemokin CXC-2; CCL2 : kemokine (C-C motif) ligan 2;

    CCR2 : CCR2 : reseptor CC kemokin 2; MMP-9 : matrix

    metaloproteinase 9; MMP-12 : matrix metaloproteinase 12; EGF :

    epidermal growth factor; TGF- : transforming growth factor

    (dikutip dari (17)

  • 9

    PPOK DAN INFLAMASI SISTEMIK

    Pasien PPOK pada saat eksaserbasi dan perburukan penyakit, timbul

    inflamasi sistemik, yang dapat dilihat dengan peningkatan sitokin, kemokin dan

    protein fase akut, juga terdapat abnormalitas pada sirkulasi sel. Asap rokok dapat

    menimbulkan inflamasi sistemik dan peningkatan jumlah total lekosit pada orang

    normal, tetapi pada pasien PPOK tingkat inflamasi sistemik yang timbul lebih

    besar lagi.18

    Faktor inflamasi sistemik yang keluar dari perifer paru, masih belum

    dapat dipastikan, apakah kelainan paralel, ataukah terdapat hubungan dengan

    beberapa penyakit komorbid yang lalu menimbulkan efek pada paru. Komponen

    inflamasi sistemik ini merupakan manifestasi sistemik PPOK dan dapat

    memperburuk penyakit komorbid pada penderita PPOK.6,8,9,18

    Tabel 1 menunjukkan beberapa efek sistemik PPOK. Mekanisme yang

    mendasari efek-efek sistemik masih belum jelas, diperkirakan terdapat hubungan

    antara peradangan sistemik, hipoksia jaringan, stres oksidatif, dan

    sedentarism.8,18

    Dikutip dari (18)

  • 10

    Pasien tanpa PPOK, merokok adalah salah satu faktor risiko penting

    penyakit kardiovaskular (keberadaan PPOK pada perokok, secara signifikan

    meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular). Asap rokok menginduksi

    inflamasi dan menstimuli disfungsi endotel, juga pada perokok pasif. 3,8

    Penelitian Vernooy dan rekan menunjukkan bekas perokok juga terjadi

    peradangan sistemik, hal ini menunjukkan bahwa merokok bukan satu-satunya

    faktor menginduksi inflamasi sistemik pada PPOK. Peradangan yang terjadi

    setelah berhenti merokok juga terjadi di paru pasien dengan PPOK yang

    menimbulkan pemikiran kemungkinan bahwa patogenesis PPOK dapat termasuk

    komponen autoimun. Temuan ini juga dapat berkontribusi untuk menjelaskan

    inflamasi sistemik pada pasien ini.6,18

    Gambar 5. Efek sistemik dan komorbid pada PPOK. IL-6 : interleukin 6; IL-1 :

    interleukin 1; TNF- : tumors necrotic faktor .

    dikutip dari (18)

    Sitokin-sitokin dikeluarkan dari jaringan perifer paru seperti interlukin 6

    (IL-6), interleukin 1 (IL-1) dan tumors necrotic faktor (TNF-) ke dalam

    sirkulasi sistemik yang meningkatkan fase akut protein seperti C-reactive protein

  • 11

    (CRP). Inflamasi sistemik dapat menimbulkan atrofi otot skeletal dan cachexia,

    selain itu juga memperburuk penyakit komorbid yang ada. Inflamasi sistemik

    mempercepat pertumbuhan kanker paru.18

    Tabel 2. Mediator inflamasi sistemik yang meningkat pada PPOK.

    C-reactive peptide

    Copeptin

    IL-8

    IL-6

    Tumor necrosis factor- Leptin

    Eosinophillic cationic protein

    Myeloperoxidase

    1-Antitripsin Leukotrin E4 and B4

    Fibrinogen

    Myeloid progenitor inhibitory factor-1 (MPIF-1)

    Pulmonary and activationregulated chemokine (PARC) Soluble intercellular adhesion molecule-1 (sICAM-1)

    Adiponectin (ACRP-30)

    Dikutip dari (5)

    Asap rokok atau penyebab iritasi saluran napas lainnya dapat

    menginduksi makrofag alveolar, sel epitel alveolar, atau sel dendritik untuk

    mensekresi faktor kemotaksis sel-sel inflamasi.13

    Tabel 2 menunjukkan

    terjadinya peningkatan regulasi pada beberapa mediator inflamasi saat

    eksaserbasi PPOK. Faktor-faktor tersebut pada darah meningkat dibandingkan

    dengan orang normal yaitu CRP, IL-8, TNF- , leptin, endotelin-1, eosinofil

    protein myeloperoxidase, kationik, fibrinogen, IL-6, 1-antitripsin, dan leukotrin

    E4 dan leukotrin B4.5,13,18

    Interleukin 6 dan C-reactive protein meningkat terutama saat terjadi

    infeksi oleh bakteri patogen.5 Kemokin (CXC motif) ligan 1 (CXCL-1) dan

    kemokin (CXC motif) ligan 8 (CXCL-8), ligan untuk reseptor kemokin CXC 1

    (CXCR-1) dan reseptor kemokin CXC 2 (CXCR-2), yang meningkat pada

  • 12

    induksi dahak dan cairan bilasan bronkus dari pasien dengan PPOK. Kemokin

    CXC menarik berbagai jenis leukosit.13

    1. DISFUNGSI OTOT DAN MALNUTRISI PADA PPOK

    Kelemahan otot rangka adalah salah satu efek sistemik utama PPOK dan

    sering disertai dengan kehilangan massa bebas lemak/ free fatty mass (FFM).2,3,6-

    9,14,18,19,21 Kelemahan otot dapat mendahului keadaan kakeksia. Otot skeletal

    sekitar 40%-50% dari jumlah total massa berat tubuh. Perubahan protein otot

    rangka adalah suatu proses keseimbangan antara sintesis dan pembongkaran

    protein. Pasien dalam keadaan akut, seperti trauma dan sepsis, pembongkaran

    protein otot terjadi dengan cepat dan luas. Pasien dengan keadaan kronis,

    berkurangnya massa otot terjadi dalam waktu yang lambat.1,18

    Disfungsi otot ditandai oleh dua fenomena yang terkait: a) gangguan

    fungsi otot, dan, b) banyaknya hilangnya massa otot, yang terjadi pada pasien

    PPOK. Sarkopenia adalah pengurangan massa otot dalam jangka waktu sangat

    lama, yang disebabkan faktor usia.19

    Data dari penelitian menunjukkan fungsi

    dan struktur otot rangka berhubungan dengan PPOK, terutama tipe otot IIa/IIx

    yang mengalami atropi pada pasien PPOK.18,19

    Fungsi otot dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan

    kekuatan otot, dan mempertahankan kontraksi otot. Disfungsi otot perifer,

    sebagian besar terjadi pada pasien PPOK. Pasien PPOK terjadi gangguan

    kekuatan, daya tahan, dan kelelahan otot perifer ditunjukkan pada gambar 6.19

    Disfungsi otot perifer merupakan hal yang sering diteliti pada efek

    sistemik PPOK, namun mekanismenya masih belum diketahui, tetapi

    berkurangnya aktifitas pada pasien PPOK merupakan faktor yang penting.

    Degradasi protein otot rangka terjadi melalui sistem proteolitik, termasuk jalur

    lisosomal, kalsium protease, calpain dan jalur 26s proteasome ubiquitin.18

  • 13

    Gambar 6. Disfungsi otot perifer pada PPOK.

    Dikutip dari (19)

    Inflamasi sistemik adalah faktor penting dalam patogenesis berkurangnya

    berat badan dan hilangnya massa otot.19

    Nuclear factor kappa (NF-B) yang

    teraktifasi pada otot rangka pasien PPOK dapat menginduksi atrofi otot rangka.

    Penghambatan NF-B mengembalikan massa otot di sejumlah percobaan.

    Penurunan aktivitas fisik dapat mendorong inflamasi sistemik yang dimediasi

    oleh penurunan fungsi dari faktor transkripsi peroxisome proliferator-activated

    receptor gamma coactivator 1-alpha (PPAR/PGC-1), pada otot rangka pasien

    PPOK regulator ini berkurang jumlahnya.18,19

    Hipertrofi dan atrofi otot dipengaruhi beberapa faktor. (Gambar 7)

    Protein kinase serin/ treonin intraseluler (Akt) merupakan pengatur sentral jalur

    sinyal yang terlibat dalam regulasi hipertrofi dan atrofi otot. Insulin like growth

    factor-1 (IGF-1) mengaktifkan Akt melalui fosforilasi Akt-P oleh

    phosphoinositide 3-kinase (PI3K), dan pe-nonaktifasi-an dari faktor transkripsi

  • 14

    forkhead box O (FOXO), mampu memblok kerusakan protein otot yang

    disebabkan pemecahan muscle-specific E3-ligases atrogin-1 dan protein muscle-

    specific RING finger 1 (MuRF1). Jalur hipertrofik otot dirangsang oleh Akt yang

    terfosforilasi (Akt-P) juga merangsang berbagai mammalian target of rapamycin

    (mTOR) dan glikogen sintase kinase-3 (GSK3). Mammalian target of

    rapamycin (mTOR) dapat mempromosikan sintesis protein melalui aktivasi 70-

    kD ribosomal S6 protein kinase (p70S6K

    ) dan penghambatan eukaryotic

    translation initiation factor 4E binding protein-1 (BP1-4E).19

    Degradasi ubiquitin memiliki peran dalam pemecahan protein otot rangka

    pada pasien PPOK. Pasien PPOK dengan atrofi otot menunjukkan peningkatan

    ekspresi p70S6K, GSK3, dan 4EBP1.19 Gangguan fungsional otot rangka dan

    hubungannya dengan perubahan patofisiologi dan mekanisme patogenik

    menyebabkan penurunan fungsi otot pada pasien PPOK.19

    Gangguan fungsi

    otot rangka pada PPOK berkaitan dengan peningkatan produksi reactive oxygene

    species (ROS) dan/ atau menurunkan kapasitas antioksidan. Otot rangka pasien

    PPOK saat istirahat, beraktifitas dan eksaserbasi, terjadi peningkatan produksi

    peroksidase (O2-).

    19

    Proteolisis dan peningkatan apoptosis sel otot rangka dapat disebabkan

    ROS. Biopsi otot pasien PPOK didapatkan peningkatan karbonilasi protein yang

    menunjukkan adanya peningkatan stres oksidatif. Peningkatan ekspresi dari

    inducible nitric oxide synthase (iNOS) dan formasi nitrotirosin (stres nitrosative)

    akan menimbulkan degradasi protein sel otot rangka. Stres oksidatif pada pasien

    PPOK ditunjukkan dengan adanya jumlah antioksidan yang meningkat.18-20

  • 15

    Gambar 7. Jalur sinyal yang mengatur hipertrofi dan atrofi otot. IGF-1 : insulin

    like growth factor-1, IGF 1-Rc : insulin like growth factor-1receptor,

    Akt : protein kinase B, Akt-P : Akt yang terfosforilasi, PI3K :

    phosphoinositide 3-kinase, FOXO-1,3 : forkhead box O, FOXO-1,3-P

    : forkhead box O yang terfosforilasi, NF-B : Nuclear factor kappa ,

    MuRF1 : muscle-specific RING finger 1, GSK3 : glikogen sintase

    kinase-3, 4E- BP1 : eukaryotic translation initiation factor 4E

    binding protein-1, mTOR : mammalian target of rapamycin, p70S6K

    :

    70-kD ribosomal S6 protein kinase.

    Dikutip dari (19)

    Gambar 8 menunjukkan mekanisme hubungan iNOS dengan penyusutan

    otot pada PPOK. Penyusutan massa otot diinduksi oleh TNF- yang terikat pada

    reseptor di sel otot dan mengaktifkan jalur sinyal NF-. Transkripsi iNOS pada

    tingkat mRNA (messenger ribonucleic acid) akan naik melalui jalur sinyal

  • 16

    tersebut dan berikatan dengan human antigen R (HuR) pada adenylate uridine

    rich element (ARE) di 3'-UTR (3-untranslated region). L-arginin akan diubah

    oleh iNOS menjadi citrulline yang melepaskan NO dalam prosesnya. Beberapa

    jalur NO-dependen menginduksi penyusutan otot.20

    Nitric oxide (NO) berdifusi keluar dari sel dan bergabung dengan

    superoksida (O2-) untuk membentuk peroksinitrit (ONOO

    -). Peroxynitrite

    berdifusi kembali ke dalam sel, dan secara selektif menghambat MyoD

    (myoblast determination protein 1), faktor transkripsi myogenic pada tingkat

    pasca-transkripsi. Hilangnya MyoD mengarah ke pengurangan dalam ekspresi

    MyHC (myosin heavy chain), dan mengganggu integritas dari kompleks protein

    myofibrillar.20

    Produksi NO mengoksidasi Jun-D yang bersama dengan myogenin,

    meregulasi protein spesifik otot rangka, seperti CKM (creatine kinase muscle).

    Produksi NO dapat menghambat sintesis protein dengan menginhibisi sinyal

    mammalian target of rapamycin (mTOR) dan peningkatan fosforilasi eIF2

    (alpha subunit of eukaryotic initiation factor 2) dan eEF2 (eukaryotic translation

    elongation factor 2), meskipun mekanisme yang terjadi masih belum diketahui.20

    Rehabilitasi paru memperbaiki disfungsi otot rangka pasien PPOK yang

    didukung oleh peningkatan dalam kapasitas latihan dan peningkatan kandungan

    enzim oksidatif pada mitokondria seperti yang terdapat pada biopsi dari otot

    vastus lateralis. Fungsi otot tidak dapat kembali normal bahkan setelah

    transplantasi paru-paru. Terapi di masa mendatang diharapkan dapat membantu

    mengurangi stres oksidatif atau mengubah mekanisme patofisiologi dasar untuk

    disfungsi otot perifer sehingga memulihkan fungsi otot secara penuh.18

  • 17

    Gambar 8. Mekanisme induksi iNOS-penyusutan otot. TNF- : tumors necrotic

    faktor , NF-B : Nuclear factor kappa , iNOS : inducible nitric

    oxide synthase, ARE : adenylate uridine rich element, HuR : Human

    antigen R, Jun-D : faktor transkripsi pada gen jund, Ub : ubiquitin,

    MyoD : myoblast determination protein 1, NO : nitric oxyde.

    dikutip dari (20)

    2. PENYAKIT KARDIOVASKULAR

    Paru dan jantung berhubungan secara anatomis dan fungsional yang

    saling mempengaruhi. Interaksi ini penting pada pasien PPOK dan terdapat dua

    jenis asosiasi. Pertama, berkaitan dengan kelainan dari faktor resiko yang sama,

    contohnya asap rokok dan coronary arterial disease (CAD), atau gagal jantung

    kongestif dan PPOK. Kedua, disfungsi jantung akibat dari penyakit paru primer,

    seperti hipertensi pulmonal dan gangguan ventrikel.18,21

  • 18

    Penelitian Sin dan rekan menyatakan 1237% pasien PPOK meninggal

    akibat penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskuler pada pasien PPOK

    meliputi infark myocard akut, aritmia, gagal jantung kronik, penyakit pembuluh

    darah perifer dan stroke. Pasien PPOK mempubyai resiko tinggi terhadap

    penyakit kardiovaskular.21

    2.1. PENYAKIT JANTUNG KORONER DAN ATEROSKLEROSIS

    Paparan asap rokok, usia tua dan sedentarism merupakan faktor resiko

    PPOK dan penyakit jantung koroner (PJK). Pasien dengan keterbatasan aliran

    udara memiliki risiko tinggi kematian karena infark miokard. Pasien PPOK

    ringan dapat menderita penyakit kardiovaskular yang lebih berat dibandingkan

    penyakit pernapasannya. Secara klinik terdapat hubungan kuat antara penurunan

    VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama), angka kesakitan, dan angka

    kematian dari penyakit kardiovaskular.2,3,8,9,18

    Faktor inflamasi menjadi

    pendorong kedua patologi pada ateroskelosis dan PPOK. Plak aterosklerotik

    dapat disebabkan inflamasi dengan peningkatan jumlah makrofag dan limfosit

    Th1 (sel limfosit T helper 1) mensekresi IFN- (interferon ).22,23

    Ateroma secara dominan dibentuk dan dikembangkan oleh Th1.

    Makrofag, sel foam, dan sel T mensekresi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-8, IL-

    15, TNF-, IFN-, dan IL-18). Sitokin proinflamasi menyebabkan ekspresi LAM

    (leukocyte adhesion molecules), kemotaksis monosit, dan sitokin spesifik yang

    mempunyai efek pada matrix metalloproteinase (MMPs), sintesis kolagen 1,

    angiogenesis, apoptosis, tissue factor (TF), dan ekspresi platelet-derived growth

    factor (PDGF). Sitokin Th2 menghambat efek pada jalur-jalur inflamasi,

    sehingga mendorong stabilitas plak. (gambar 9) 22

  • 19

    Gambar 9. Sitokin Th1/Th2 dalam meregulasi aterosklerosis. LAM : leukocyte

    adhesion molecules, IFN- : interferon , TNF- : tumors necrotic

    faktor , IL-1 : interleukin 1, IL-1 : interleukin 1, IL-18 :

    interleukin 18, IL-1 : interleukin 1, Th1: sel T helper 1, Th2 : sel T

    helper 2, IL-10 : interleukin 10, VSMC : vascular smooth muscle

    cell, EC : endothelial cell, MMPs : matrix metalloproteinase, TF :

    tissue factor, PDGF : platelet-derived growth factor, ROS : reactive

    oxygene species.

    Dikutip dari (22)

    2.2. GAGAL JANTUNG

    Inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK dapat menurunkan fungsi

    ventrikel kiri. Diagnosis gagal jantung pada PPOK sulit dikenali karena

    gejalanya yang hampir sama. Pengukuran B-type natriuretic peptide atau N-

    terminal prohormone brain natriuretic peptide (NT-proBNP) merupakan cara

  • 20

    untuk membedakan gagal jantung pada pasien PPOK dan dapat membedakan

    PPOK eksaserbasi akut dari gagal jantung dekompensasi.18

    Kadar NT-proBNP yang meningkat pada pasien PPOK (kurangnya

    aktivitas fisik) menunjukkan kerusakan fungsi ventrikel kiri. Penilaian fungsi

    paru merupakan prediktor mortalitas yang baik dibandingkan faktor risiko

    jantung (seperti kolesterol serum) pada pasien PPOK.18

    2.3. HIPERTENSI PULMONAL

    Hipertensi pulmonal (pulmonary arterial hipertension/ PAH) pada pasien

    PPOK dapat terjadi melalui beberapa faktor.(gambar 10) Oklusi unilateral arteri

    meningkatkan PAP (pulmonary arterial pressure) diatas normal (nilai normal 20

    mmHg). Obstruksi akut pada vaskularisasi pulmonal berhubungan langsung

    dengan peningkatan PAP (PAP 40 mmHg menunjukkan obstruksi sekitar

    80%).23

    Sekitar 1-3% pasien PAH didapatkan obstruksi saluran napas yang tidak

    sebanding dengan tingkat PAH-nya. Pasien PPOK yang menjalani LVRS (lung

    volume reduction surgery) atau transplantasi paru, 50% menderita PAH derajat

    sedang sampai berat. PPOK derajat ringan sampai sedang arteri paru memiliki

    pembesaran lapisan intima karena terjadi gangguan proliferasi dan diferensiasi

    dari sel otot polos, deposisi kolagen dan serat elastis dengan pengurangan

    diameter lumen juga muskularisasi arteriol.

    Penyakit paru obstruktitif kronik fase awal terjadi disfungsi endotel

    (perubahan ekspresi dari endothelial nitric oxide synthase, prostacyclin synthase

    dan pelepasan mediator vasoaktif) yang akan menimbulkan PAH. Pasien PPOK

    derajat berat terjadi deposisi fibrosis, elastosis, dan otot-otot intima arteri

    pulmonaris.18,23

  • 21

    Gambar 10. Patogenesis hipertensi pulmonal dan cor pulmonale.

    Dikutip dari (23)

    Hasil akhir akan membentuk remodelling dari vaskular paru. Pemberian

    vasodilator tidak memberikan hasil yang baik karena gangguan utama pada

    pertukaran gas. Terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK dengan PAH,

    merupakan pilihan utama karena dapat memperlambat proses perburukan dari

    PAH. Peradangan di pembuluh darah paru pasien PPOK sama seperti yang

    terlihat pada saluran napas perifer dan parenkim, yaitu makrofag, limfosit T -

    CD8 +

    dan neutrofil, juga terlihat pada pasien PPOK derajat ringan.18

    2.4. KEKAKUAN PEMBULUH DARAH ARTERI DAN

    GANGGUAN FUNGSI ENDOTEL

    Kekakuan arteri akibat penyakit vaskular adalah prediktor yang baik dari

    gangguan kardiovaskular dan dapat dinilai dengan aortic pulse wave velocity

    atau dengan tonometry arteri radialis. Kekakuan arteri pada pasien PPOK

  • 22

    mencerminkan mekanisme patologis pada jaringan ikat dan/ atau respon

    inflamasi sistemik PPOK.18

    Gangguan atau kerusakan endotel merupakan awal terjadinya

    aterosklerosis. Sitokin proinflamasi dapat menginduksi gangguan endotel.22

    Pasien PPOK dengan emfisema menunjukkan gangguan aliran akibat

    vasodilatasi yang mencerminkan penurunan fungsi endotel, sebagai respon

    peradangan sistemik. Penurunan fungsi endotel disebabkan gangguan sel

    progenitor endotel yang memperbaiki cedera pada endotel paru.18

    3. ANEMIA NORMOSITIK

    Anemia tipe normokromik normositik, yang resisten terhadap

    eritropoetin, didapatkan pada 15-30% pasien PPOK tingkat berat. Pemberian

    suplemen besi tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan stres oksidatif

    sistemik. Terapi yang dianjurkan adalah dengan pemberian transfusi darah.18

    Interleukin-1 (IL-1) dan interferon- (IFN- ) menghambat mobilisasi

    besi dengan peningkatan regulasi mRNA feritin. Eritropoesis juga dihambat oleh

    penurunan regulasi dan internalisasi dari reseptor transferin. Sitokin TNF

    (tumors necrotic factor) dan IL-1 juga terlibat dalam penghambatan pemakaian

    besi melalui mekanisme yang belum diketahui.24,25

    Gangguan respon eritropoesis pada sumsum tulang disebabkan aktifitas

    IL-1, TNF- dan transforming growth factor- (TGF-) yang menghambat

    produksi eritropoetin (EPO) pada ginjal. IL-1, TNF- dan IFN- juga

    menghambat respon erythroid progenitor untuk EPO, dan INF-c menyebabkan

    apoptosis erythroid (dimediasi oleh ceramide dan nitrat oksida). Pada tingkat

    protein dan mRNA, INF- juga menurunkan ekspresi reseptor EPO. 24,25

  • 23

    Gambar 11. Patogenesis anemia dan faktor inflamasi

    Dikutip dari (25)

    4. OSTEOPOROSIS

    Pasien PPOK tingkat ringan menunjukkan prevalensi osteoporosis dan

    menurunnya densitas mineral tulang (bone mineral density/ BMD. Pasien PPOK

    tingkat 4 dari GOLD, didapatkan osteoporosis sekitar 75%,. Keadaan tersebut

    berhubungan dengan berkurangnya free fatty mass (FFM).18

    Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu lama juga berhubungan

    dengan osteoporosis pasien PPOK. Faktor sistemik ikut memegang peranan

    dalam keadaaan ini karena pada pasien PPOK yang tidak menerima

    kortikosteroid juga didapatkan osteoporosis.9

    Pasien PPOK memiliki beberapa faktor risiko untuk osteoporosis,

    termasuk usia lanjut, kurangnya mobilitas, merokok, gizi buruk, body mass index

  • 24

    (BMI) yang rendah dan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi serta pemakaian

    steroid oral. Penurunan BMD berhubungan dengan rendahya FFM pasien

    PPOK.18

    Gambar 12. Hubungan inflamasi dan osteoporosis. IL-6 : interleukin 6, IL-1 :

    interleukin 1, IL-10 : interleukin 10, IL-12 : interleukin 12, IFN- :

    interferon , LDL : low density lipoprotein, TNF- : tumors

    necrotic faktor , BMPs : bone morphogenic proteins, M-CSF :

    macrophage colony stimulating factor, OPG : osteoprotegerin,

    PLTs : platelets, RANKL : receptor activator of nuclear factor B

    ligand, GFs : growth factors.

    Dikutip dari (27)

    Osteoporosis pada inflamasi kronik dipengaruhi oleh sitokin-sitokin

    proinflamasi seperti TNF, IL-1, IL-6 atau IFN-. Erosi tulang terutama oleh

    TNF dengan mempengaruhi osteoklas dan fungsi osteoblas.25

    Mediator-mediator

    inflamasi (TNF-, IL-1b dan IL-6) bertindak sebagai stimulan dari osteoklas,

    menyebabkan penyerapan tulang. Osteoklas diregulasi oleh reseptor aktivator

  • 25

    NF-B (RANK) dan TNF-like ligan RANK, selanjutnya berikatan dengan TNF-

    , dan dihambat pembentukannya oleh osteoprotogerin, suatu sitokin TNF yang

    diatur oleh TGF-.26,27

    Lesi aterosklerotik terdiri dari makrofag yang mati. Antibodi yang

    dimediasi pertahanan imunologi, merespon inflamasi dengan mengeluarkan

    sitokin (IL-6, IL-1, TNF-, dan interferon) yang kemudian terjadi reaksi

    inflamasi sistemik. Skema dari proses aterosklerotik, berhubungan dengan sel

    tulang dan biomarker dari aterosklerotik dapat dilihat pada gambar 12. 27

    Pasien PPOK dengan osteoporosis dapat diberikan bifosfonat. Pemberian

    alendronate pada pasien dengan PPOK menunjukkan beberapa perbaikan BMD

    di tulang belakang bagian lumbal, tetapi tidak memperbaiki osteoporosis pada

    tulang bagian pinggul, dengan pemberian obat selama 1 tahun.18

    5. DEPRESI

    Gangguan fisik pasien PPOK membuat penurunan dalam aktifitas fisik

    dan keterbatasan dalam kegiatan sosial. Sekitar 10-80% penderita PPOK

    mengalami kecemasan dan depresi yang tampaknya lebih menonjol

    dibandingkan penyakit kronis lainnya.18

    Mekanisme depresi pasien PPOK masih belum banyak diketahui, tetapi

    diperkirakan multifaktor yang mempengaruhinya. Efek penuaan, merokok dan

    hipoksemia pada fungsi otak cenderung untuk memberikan kontribusi penting.

    Peradangan sistemik dapat menimbulkan depresi, IL-6 tampak memainkan peran

    penting pada manusia dan pada hewan percobaan.18

  • 26

    Gambar 13. Proses inflamasi yang mempengaruhi oleh stres dan depresi. BDNF :

    brain-derived neurotrophic factor, CRH : corticotrophin releasing

    hormones, 5-HT : serotonin/ 5-hydroxytryptamine, NE :

    norepinefrin, DA : dopamin, TNF : tumors necrotic faktor, IL-6 :

    interleukin 6, IL-1 : interleukin 1, ACTH : adenocorticotropin

    hormone.

    dikutip dari (28)

    Sitokin proinflamasi mengurangi fungsi neurotropik dan neurotransmisi

    monoamin yang dapat menyebabkan apoptosis neuron dan kerusakan glia. Stres

    menyebabkan pelepasan hormon glukokortikoid, hormon kortikotropin dan

    sitokin proinflamasi (TNF, IL-1, IL-6). Saat depresi terjadi kegagalan fungsi

    transmisi serotonin/ 5-hydroxytryptamine (5-HT), norepinefrin (NE) dan

    dopamin (DA) umpan balik regulasi yang menumpulkan respon stres.

    Peningkatan aktifitas simpatik dapat melepaskan sitokin inflamasi. Sitokin

    inflamasi mengganggu sinyal monoaminergik, neurotropik dan mengurangi

  • 27

    sensitifitas reseptor pusat kortikosteroid, yang akan menyebabkan gangguan

    kontrol umpan balik dari respon stres. (Gambar 13) 28

    Pemberian anti depresi tidak dianjurkan, sebaliknya rehabilitasi paru

    dapat mengurangi depresi pasien PPOK tidak memperbaiki gejala sesaknya.

    Keadaan depresi pasien PPOK harus menjadi sasaran terapi tersendiri.

    Psikoterapi pada rehabilitasi pasien PPOK dapat mengurangi depresi. Terapi

    lainnya, seperti terapi kognitif perilaku, juga dapat mengatasi keadaan depresi

    pada PPOK.18

    Pedoman terapi secara neurobiologis, dengan remisi dan

    pemulihan pasien sebagai tujuan, menekankan pentingnya terapi depresi tidak

    hanya dalam intervensi dini dan komprehensif, tetapi juga perhatian kuat untuk

    gejala sisa dari depresi pasien.28

    6. KANKER PARU

    Pasien PPOK tingkat berat, mempunyai 3-4 kali lebih besar untuk terjadi

    kanker paru. Wanita dengan PPOK, memiliki risiko yang lebih besar kanker

    paru, mungkin disebabkan stimulasi hormon akibat metabolisme karsinogen dari

    asap tembakau.18

    Peningkatan prevalensi kanker paru pada pasien PPOK

    berhubungan dengan peningkatan peradangan dan stres oksidatif melalui aktivasi

    NF-. Sitokin proinflamasi dapat mempromosikan angiogenesis tumor yang

    mempercepat pertumbuhan sel dan metastasis. Faktor transkripsi nuclear factor

    erythroid 2-related factor 2 (Nrf2) yang mengatur beberapa antioksidan dan gen

    detoksifikasi terganggu secara fungsional. Epidermal growth factor receptors/

    EGFR yang mempromosikan proliferasi epitel menunjukkan peningkatan

    ekspresi pada pasien PPOK.18,29

  • 28

    Gambar 14. Peningkatan resiko kanker paru pada PPOK. Inflamasi dan stres

    oksidatif yang meningkat. EGFR : epidermal growth factor

    receptors.

    Dikutip dari (18)

    Peningkatan resiko kanker paru pada PPOK dapat mencerminkan suatu

    peradangan pada paru maka pemberian anti inflamasi dan/ atau terapi

    antioksidan secara teoritis dapat menurunkan resiko kanker paru. Kortikosteroid

    inhalasi tampaknya tidak mengurangi angka kematian kanker paru, karena

    kortikosteroid inhalasi tidak menekan peradangan sistemik pasien PPOK. Pasien

    dengan kanker paru jenis non small cell dan adenokarsinoma, (terjadi mutasi

    EGFR), dapat dapat diberikan terapi tirosin kinase inhibitor EGFR, seperti

    erlotinib atau gefitinib yang juga bermanfaat untuk mengurangi hipersekresi

    lendir.18,25

  • 29

    Gambar 14. Interaksi Nrf2 - NF-1 dalam peradangan dan karsinogenesis. I:

    inhibitor protein of NF-B, NF-B: Nuclear factor kappa , NF-B:

    Nuclear factor kappa reticulum endoplasmic, BHA: butylated

    hydroxyanisole, Nrf2: nuclear factor erythroid 2-related factor 2,

    Keap1: Kelch-like ECH-associated protein 1. MAP3K: Mitogen-

    Activated Protein 3 Kinase, ARE: adenylate uridine rich element.

    Dikutip dari (29)

    Sinyal kimia yang dihasilkan oleh zat toksik dan faktor inflamasi dapat

    menyebabkan Nrf2 bertranslokasi nuklear yang menggerakkan koaktifator dan

    korepressor membentuk kompleks dengan Nrf2 multimolekular sebagai respon

    transkripsi modulasi melalui elemen respon antioksidan ARE. Inflamasi

  • 30

    menyebabkan pelepasan NF- dari IB masuk inti sel untuk memodulasi respon

    transkripsi melalui elemen respon NF-, NF--RE (NF- reticulum

    endoplasmic), bersama dengan kofaktor dari NF-. Beberapa anggota mitogen-

    activated protein kinase (MAPK, MAP2K, MAP3K) berikatan dengan Nrf2 dan

    NF-1 yang berinteraksi secara kompleks menimbulkan proses kemoprefentif

    dan farmakotoksikologik pada peradangan dan karsinogenesis. (Gambar 14) 29

    7. DIABETES

    Hotamisligil dan Karasik menunjukkan sitokin proinflamasi TNF- dapat

    menginduksi resistensi insulin. Lemak tubuh melalui TNF- memproduksi

    sitokin dan substansi bioaktif lainnya termasuk leptin, IL-6, resistin, monocyte

    chemoattractant protein-1 (MCP-1), angiotensinogen, visfatin, retinol-binding

    protein-4, serum amyloid A (SAA). Sitokin dan kemokin akan mempromosikan

    jalur intraseluler yang menimbulkan resistensi insulin dan diabetes tipe 2.30

    Peningkatan c-reactive protein/ CRP plasma, TNF- dan IL-6 tampak

    pada sindrom metabolik (resistensi insulin dan penyakit kardiovaskuler).

    Sindrom metabolik juga tampak pada pasien PPOK menunjukkan hubungan

    diabetes, penyakit kardiovaskular dan obstruksi jalan napas.18

    Aktifitas fisik yang menurun akan meningkatkan jumlah malonyl CoA di

    hepar dimana secara de novo akan mempromosikan sintesa asam lemak dan

    menghambat aktifitas carnitine-palmitoyltransferase-1 (CPT1). Long chain acyl

    CoA esters (LC-CoAs) akan menjauh dari proses oksidasi mitokondria (siklus

    tricarboxylic acid/ TCA dan electron transport chain/ ETC) melalui enzim

    glycerol phosphate acyl transferase (GPAT-1), diacylglycerol acyl transferase-1

    (DGAT-1) dan serine palmitoyltransferase-1 (SPT1) yang memproduksi

    trigliserida dan memberikan sinyal antara diacylglycerols (DAG) dan ceramide.

    Nutrisi berlebih juga menghambat proses anabolik pada retikulum endoplasma

    menyebabkan gagalnya pembentukan protein dan mengaktifasi inositol-requiring

  • 31

    kinase1 (IRE1). Stress pada Ser kinases akan timbul dimana fungsinya

    menghambat insulin-mediated glukoneogenesis, dan menimbulkan terjadinya

    sintesis lipid dan membatasi oksidasi . (Gambar 15) 31

    Gambar 15. Proses resistensi insulin di hepar. AKT-2 : dikenal sebagai protein

    kinase B/ PKB, PGC-1 : PPAR- coactivator 1-alpha , PPAR :

    peroxisome proliferator-activated receptor-, IL-6 : interleukin 6,

    TNF : tumour necrosis factor , LC-CoAs : long chain acyl CoA

    esters, TF : transferrin, ACC : acetyl-CoA carboxylase, FAS : fatty

    acid synthase, CPT-1 : carnitine-palmitoyltransferase-1, TCA :

    tricarboxylic acid, ETC : electron transport chain, GPAT-1:

    glycerol phosphate acyl transferase, DGAT-1: diacylglycerol acyl

    transferase-1, SPT-1: serine palmitoyltransferase-1, DAG:

    diacylglycerols, TGs : trigliserides, IRE-1: inositol-requiring

    kinase1, PEPCK: phosphoenolpyruvate carboxykinase

    Dikutip dari (31)

  • 32

    8. OBSTRUCTIVE SLEEP APNOEA (OSA) DAN SINDROMA

    METABOLIK

    Penelitian Fletcher dan rekan menunjukkan sekitar 20% pasien OSA

    menderita PPOK, 10% dari pasien PPOK segala tingkat ditemukan OSA. Pasien

    OSA memiliki beberapa komorbiditas dari PPOK, seperti disfungsi endotel,

    gagal jantung, diabetes dan sindrom metabolik. Pasien OSA mengalami

    peradangan lokal saluran napas bagian atas, peradangan sistemik dan

    peningkatan reactive oxygen species (ROS)/ stres oksidatif. Sitokin interleukin-6

    (IL-6) dan C-reactive protein (CRP) meningkat pada PPOK dan OSA18,32

    Komponen selular akan rusak karena peningkatan stres oksidatif yang

    berkontribusi pada gangguan fungsi endotel pembuluh darah.32

    Pasien PPOK sering ditemukan hipertensi, diabetes dan dislipidemia.32

    Sindrom metabolik menggambarkan suatu sekelompok faktor risiko (obesitas

    perut, dislipidemia aterogenik, hipertensi, dan resistensi insulin) yang

    mempengaruhi pasien dengan peradangan sistemik, penyakit jantung, dan

    kurangnya aktivitas fisik.32-34

  • 33

    SIMPULAN

    1. Penyakit paru obstruktif kronis akan terus meningkat selama beberapa

    dekade mendatang merupakan penyebab utama morbiditas dan kecacatan.

    2. Empat mekanisme utama yang bertanggung jawab untuk perubahan terlihat

    pada PPOK: stres oksidatif, inflamasi, ketidakseimbangan protease-

    antiprotease dan apoptosis

    3. Dampak PPOK mempunyai efek sistemik berdasarkan faktor-faktor

    inflamasi yang keluar dari paru PPOK terutama CRP, IL-1, IL-6, IL-8 dan

    TNF-.

    4. Manifestasi sistemik PPOK adalah kakeksia, gangguan fungsi otot, gangguan

    jantung dan pembuluh darah, osteoporosis, anemia, depresi, OSA, diabetes.

    5. Penatalaksanaan PPOK harus memperhatikan faktor komorbid dan efek

    samping sistemik yang timbul pada PPOK.

    6. Pada masa mendatang diperlukan penelitian untuk sasaran terapi dan

    penatalaksanan PPOK terkait dengan efek sistemik dan komorbidnya.

  • 34

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Paul D. Scanlon, Stefan Andreas, Stefan D. Anker, Virend K. Somers.

    Neurohumoral Activation as a Link to Systemic Manifestations of Chronic Lung

    Disease. CHEST 2005; 128:36183624.

    2. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease. Pathology,

    Pathogenesis, and Pathophysiology. 2009. p. 24-28.

    3. Angshu Bhowmik, Gavin C. Donaldson, Irem S. Patel, Jadwiga A. Wedzicha,

    John R. Hurst, Peter K. MacCallum, Terence A. R. Seemungal, Tom M. A.

    Wilkinson. Airway and Systemic Inflammation and Decline in Lung Function in

    Patients With COPD. CHEST 2005; 128:19952004.

    4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Diagnosis

    dan Penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi pertama. Jakarta : PDPI; 2011. p.

    1-4, 11-18.

    5. Emiel F. M. Wouters, Juanita H. J. Vernooy, Karin H. Groenewegen, Mieke A.

    Dentener. Systemic Inflammation in Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

    Proceedings Of The American Thoracic Society Vol 4. p. 626634; 2007.

    6. Alvar Agusti. Systemic Effects of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. What

    We Know and What We Dont Know (but Should). Proceedings Of The

    American Thoracic Society Vol 4. p. 522525; 2007.

    7. Jordan P. Metcalf, Kellie R. Jones. The Macrophage and Its Role in The

    Pathogenesis of COPD. In : Bartolome Celli, Klaus Rabe, Robert A. Stockley,

    Stephen I. Rennard, editors. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Victoria :

    Blackwell; 2007. p. 219-28.

    8. Alvar G. N. Agusti. Systemic Effects of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

    Proceedings Of The American Thoracic Society Vol 2. p 367370, 2005

    9. Clifford Smith. COPD is a systemic disease the extrapulmonary manifestations.

    Continuing Medical Education Vol.27 No.4. p.159-161; April 2009

  • 35

    10. Christopher B. Cooper, Leonard Fromer. A Review of the GOLD Guidelines for

    the Diagnosis and Treatment of Patients With COPD. Continuing Medical

    Education. p.1219-1236; 2008.

    11. H. Suradi, Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Ppok)

    Tinjauan Patogenesis, Klinis Dan Sosial. (cited on 27 Oct 2012). Available from

    : http://www.uns.ac.id/penelitian.php?act=det&idA=26.

    12. Jonathan Corne, Lucy Fairclough, Nina Lane, R. Adrian Robins. Regulation in

    chronic obstructive pulmonary disease: the role of regulatory T-cells and Th17

    cells. Clinical Science 119. p.75-86; 2010.

    13. Christine M. Freeman, James C. Hogg, Jeffrey L. Curtis. The

    Immunopathogenesis of Chronic Obstructive Pulmonary Disease - Insights from

    Recent Research. Proceedings Of The American Thoracic Society Vol 4. p 512

    521; 2007.

    14. William Macnee. Chronic Bronchitis And Emphysema. In : Anthony Seaton,

    Douglas Seaton, A. Gordon Leitch, editors. Crofton And Douglass Respiratory

    Diseases, 5th

    ed. vol. 1. Victoria : Blackwell; 2007. p. 616-57.

    15. Faisal Yunus , Heidy Agustin. Proses Metabolisme Pada Penyakit Paru

    Obstruktif Kronik. Jurnal Respirasi Indonesia Vol.28 No.3. p.155-164; Juli 2008.

    16. Antonio George de Matos Cavalcante, Pedro Felipe Carvalhedo de Bruin. The

    role of oxidative stress in COPD: current concepts and perspectives. Brazillian

    Journal of Pulmonology 35(12). p.1227-1237; 2009.

    17. Peter J. Barnes. The Cytokine Network in Chronic Obstructive Pulmonary

    Disease. American Journal Of Respiratory Cell and Molecular Biology Vol 41.

    p.631-638; 2009.

    18. B.R. Celli, P.J. Barnes. Systemic Manifestations and Commorbidities of COPD.

    European Respirology Journal 33. p.1165-1185; 2009.

  • 36

    19. Jordi Vilar, Roberto A Rabinovich. Structural and Functional Changes of

    Peripheral Muscles in Copd Patients.Current Opinion Pulmonary Medicine

    Vol.16 (2). p.123-133; Maret 2010.

    20. Derek T. Hall, Jennifer F. , Imed-Eddine Gallouzi, Sergio Di Marco. Inducible

    nitric oxide synthase (iNOS) in muscle wasting syndrome, sarcopenia, and

    cachexia. Aging Vol.3 No.8. p.1-14; Agustus 2010.

    21. Thierry Trooster. Cardiovascular Disease. In : Linda Nici, Richard Zu Walack

    editors. Chronic Obstructive Pulmonary Disease Co-Morbidities and Systemic

    Consequences. London : Humana Press. 2012. p.47-60.

    22. Jeffrey R. Bender, Vinod S, Vishal C. Mehra. Ramgolam. Cytokines and

    cardiovascular disease. Journal of Leukocyte Biology Vol.78. p.805-818;

    Oktober 2005.

    23. R. Rodriguez-Roisin, W. MacNee. Pathophysiology of chronic obstructive

    pulmonary disease. European Respirology Journal 38. p.177-200; 2006.

    24. A. Agusti, B. Schonhofer, T. Similowski, W. MacNee. The potential impact of

    anaemia of chronic Disease in COPD. . European Respirology Journal 27. p.

    390396; 2006.

    25. Dr. J. Badenhorst, Anemia of Inflammation (Chronic Disease). The New

    England Journal of Medicine 352. p.1011-23; 2005.

    26. Fayez K. Ghishan, Pawel M. Majewski, Pawel R. Kiela, Rajalakshmy

    Ramalingam, Robert D. Thurston. Cooperative Role of NF-B and Poly(ADP-

    ribose) Polymerase 1(PARP-1) in the TNF-induced Inhibition of PHEX

    Expression in Osteoblasts. The Journal Of Biological Chemistry Vol. 285 No.

    45, p. 3482838; November 5, 2010.

  • 37

    27. Mohammad Abdollahi, Pooneh Salari. A Comprehensive Review of The Shared

    Roles of Inflammatory Cytokines in Osteoporosis and Cardiovaskular Disease as

    Two Common Old People Problem; Action Toward Development of New Drugs.

    International Journal of Pharmacology Vol.7 No.5. p.552-567; 2011.

    28. J. Russell, M. Robinson, S. G. Ball, S. Iyengar, T. Oakes, V. Maletic. Molecular

    Processes Mediating Neurobiological Changes. (cited on 27 Nov 2011).

    Available from : http://www.medscape.com/viewarticle/567400_7

    29. A.N. Kong, J Y Chan, L Cai, S Nair, S T Doh. Regulatory potential for concerted

    modulation of Nrf2- and Nfkb1-mediated gene expression in inflammation and

    carcinogenesis. British Journal of Cancer Vol.99. p. 207082; 2008.

    30. Allison B. Goldfine, Jongsoon Lee and Steven E. Shoelson. Inflammation and

    insulin resistance. The Journal of Clinical Investigation Vol.116 No.7. p.1793-

    1801; Juli 2006.

    31. Christopher B. Newgard, Deborah M. Muoio. Molecular and metabolic

    mechanisms of insulin resistance and -cell failure in type 2 diabetes. Molecular

    Cell Biology Journal Vol.9. p.193-205; Maret 2008.

    32. Ruth Lee, Walter T. McNicholas. Obstructive Sleep Apnea in COPD Patients:

    Cardiovascular Disease in Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Obstructive

    Sleep Apnea Syndrome and Overlap Syndrome. (cited on : 17 Aug 2011),

    Available from : http://www.medscape.com/viewarticle/738111_7

    33. Anne Kirsten, Benjamin Waschki, Gunther Kretschmar, Helgo Magnussen,

    Henrik Watz, Kai-Christian Mller, Olaf Holz. Thorsten Meyer. The Metabolic

    Syndrome in Patients With Chronic Bronchitis and COPD Frequency and

    Associated Consequences for Systemic Inflammation and Physical Inactivity.

    Chest Vol.136. p.1039-1046; June 19, 2009.

  • 38

    34. Atul Malhotra, David Kristo, Edward M. Weaver, Kannan Ramar, Lawrence J.

    Epstein, Michael d. Weinstein, Norman Friedman, Patrick J. Strollo, Jr., Richard

    J. Schwab, Robert Rogers, Susheel P. Patil. Clinical Guideline, for the

    Evaluation, Management and Long-term Care of Obstructive Sleep Apnea in

    Adults. Journal of Clinical Sleep Medicine Vol.5 No.3. p.263-276; 2009.