BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes melitus. BAB II post... · Sindrom genetik lain seperti...

29
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes melitus Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Anonim, 2011). Diabetes Melitus ditandai dengan hiperglikemia karena glukosa beredar dalam sirkulasi darah dan tidak seluruhnya masuk ke dalam sel karena insulin yang membantu masuknya glukosa ke dalam sel terganggu sekresinya, glukosa diperlukan dalam metabolisme seluler dalam proses pembentukan energi. Secara garis besar diabetes melitus terkait dengan supply dan demand insulin berdasarkan kualitas dan kuantitas dari insulin itu sendiri (Soegondo, 2005). Menurut American Diabetes Association (2003) dalam penelitian Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia. Sedangkan menurut WHO, diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, mempunyai karakteristik hiperglikemia kronis yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (Soegondo, 2005). Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidakmampuan pankreas untuk menghasilkan insulin dalam jumlah

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes melitus. BAB II post... · Sindrom genetik lain seperti...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

atau kedua-duanya (Anonim, 2011). Diabetes Melitus ditandai dengan hiperglikemia

karena glukosa beredar dalam sirkulasi darah dan tidak seluruhnya masuk ke dalam

sel karena insulin yang membantu masuknya glukosa ke dalam sel terganggu

sekresinya, glukosa diperlukan dalam metabolisme seluler dalam proses pembentukan

energi. Secara garis besar diabetes melitus terkait dengan supply dan demand insulin

berdasarkan kualitas dan kuantitas dari insulin itu sendiri (Soegondo, 2005).

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam penelitian Soegondo

(2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

atau kedua-duanya. Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen

yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia. Sedangkan

menurut WHO, diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronis yang

disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, mempunyai

karakteristik hiperglikemia kronis yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat

dikontrol (Soegondo, 2005). Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang

disebabkan oleh ketidakmampuan pankreas untuk menghasilkan insulin dalam jumlah

9

yang cukup atau ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin yang diproduksi

secara efektif (Suyono, 2005).

Diabetes Melitus merupakan masalah kesehatan utama di dunia dan mencapai

proporsi epidemik. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang

diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi

kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi

sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes

Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM

dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat

perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan

jumlah peyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Anonim, 2011).

Menurut laporan terakhir, jumlah penderita DM di dunia telah meningkat secara

mengkhawatirkan dan biaya pengelolaannya pun menjadi 3 kali lipat termasuk biaya

pemeriksaan laboratorium yang merupakan bagian penting dalam penanggulangan

mortalitas dan morbiditas DM. Pemeriksaan laboratorium ini dapat dilakukan untuk

uji saring, diagnosis, pemantauan perjalanan penyakit maupun deteksi dini adanya

komplikasi DM (Anonim, 2011; Anonim, 2015 ).

2.1.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Klasifikasi Diabetes Mellitus menurut PERKENI (2011) adalah yang sesuai

dengan anjuran klasifikasi diabetes mellitus American Diabetes Association (ADA),

yang membagi klasifikasi diabetes mellitus menjadi 4 kelompok yaitu diabetes

10

mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, diabetes mellitus tipe lain, dan diabetes

mellitus gestasional (Anonim, 2011). Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan karena

terjadinya destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute seperti

autoimun (melalui proses imunologik) dan idiopatik (Anonim, 2011). Diabetes

mellitus tipe 2 bervariasi mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai

defesiensi insulin relative, sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai

resistensi insulin (Anonim, 2011). Diabetes mellitus tipe lain yang dikarenakan defek

genetik fungsi sel beta karena gangguan pada kromosom seperti kromosom 12, HNF

- 1α, kromosom 7, glukokinase, kromosom 20, HNF - 4α, kromosom 13, Insulin

promoter factor, kromosom 17, HNF - 1β, kromosom 2, Neuro D1, DNA

Mitochondria. Defek genetik kerja insulin mengakibatkan resistensi insulin tipe A,

Leprechaunism, Sindrom Rabson Mandenhall, diabetes liproatrofik, lainnya. Penyakit

Eksokrin Pankreas seperti pankreatitis, pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik,

hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus lainnya. Endokrinopati seperti

acromegaly, cushing syndrome, feocromocytoma, hyperthyroidism, somatostatinoma,

aldosteronoma. Karena obat / zat kimia yang mempengaruhi kerja insulin seperti

vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β

adrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya. Infeksi akibat rubella congenital,

cmv, lainnya. Gangguan imunologi seperti sindrom “stiff-man”, insulin antibody –

antireseptor, dan lainnya. Sindrom genetik lain seperti Sindrom Down, Sindrom

Klinefelter, Sindrom Turner, Sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea

Huntington, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prodder Willi, lainnya (Anonim,

11

2011). Diabetes kehamilan ialah diabetes yang terjadi pada saat kehamilan yang

menyebabkan gangguan hormonal sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula

darah (Anonim, 2011).

2.1.2 Diagnosis Diabetes Melitus.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM

seperti keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, keluhan lain dapat berupa lemah badan,

kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae

pada wanita (Anonim, 2011). Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar

glukosa darah Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu

(GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan

Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman

diagnosis DM . Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang

dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma

vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka kriteria

diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan

pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan

glukosa darah kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada

penyandang diabetes. Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa

darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM

(Ndraha, et al. 2014). Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2013,

12

kriteria diagnosis diabetes mellitus meliputi satu dari beberapa tes laboratorium

berikut (Anonim, 2013):

Glukosa plasma puasa ≥ 7,0 mmol/L (≥ 126 mg/dL)

Gejala klinis diabetes disertai dengan kadar glukosa darah acak ≥ 11,1

mmol/L (≥ 200 mg/dL)

2 jam setelah pemberian glukosa 75 g oral, kadar glukosa plasma ≥ 11,1

mmol/L (≥ 200 mg/dL)

HbA1C ≥ 6,5 %

2.2 Kaki Diabetes

2.2.1 Definisi

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi diabetes yang paling

memberatkan penderita diabetes. Ulkus yang tidak kunjung sembuh disebabkan oleh

adanya neuropati dan vaskulopati di jaringan perifer. Berdasarkan WHO dan

International Working Group on the Diabetic Foot kaki diabetes adalah ulkus,

infeksi, dan atau kerusakan dari jaringan, yang berhubungan dengan kelainan

neurologi dan penyakit pembuluh darah perifer pada ekstremitas bawah

(Katsilambros, et al. 2010). Gangguan pada saraf dan aliran darah ini disebabkan

karena hiperglikemia yang tidak terkontrol. Kesimpulannya, kaki diabetes adalah

kerusakan jaringan pada kaki diakibatkan karena neuropati dan atau vaskulopati

13

perifer yang timbul karena gula darah yang tidak terkontrol (Katsilambros, et al.

2010).

Di Amerika Serikat, prevalensi kaki diabetes pada penderita diabetes

diperkirakan sebesar 4% (Anonim, 2005). Diperkirakan sebesar 5% psien dengan

diabetes pernah menderita kaki diabetes, dengan lifetime risk sebesar 15% (CDC,

2015). Sebagian besar (60-80%) dari ulkus yang timbul dapat sembuh, sedangkan

sebesar 10-15% tidak sembuh dan sisanya sebesar 5-24% berakhir pada amputasi

dalam kurun waktu 6-18 bulan (Katsilambros, et al. 2010).

Terdapat 3 macam bentuk ulkus diabetes yaitu ulkus neuropati, ulkus iskemia

dan ulkus neuroiskemia (campuran). Karakteristik ulkus neuropati adalah bulat,

dikelilingi oleh kalus, tidak nyeri dan berlokasi di atas tulang-tulang yang menenjol

pada jari-jari kaki atau di daerah plantar. Ulkus iskemia biasanya pucat, nekrosis,

sangat sakit, tidak terbentuk kalus dan lokasinya sering pada jari-jari kaki, tepi-tepi

kaki dan tumit (Pinzur, et al. 2009). Luka yang disebabkan oleh neuropati akan lebih

mudah sembuh dibandingkan luka karena neuroiiskemia. Diperkirakan bahwa sekitar

40-70% amputasi non-trauma dikerjakan pada pasien dengan diabetes (Moxey, et al.

2011).

2.2.2 Patogenesis

Faktor risiko paling signifikan terjadinya kaki diabetes adalah, neuropati,

penyakit arteri perifer dan trauma yang terjadi pada kaki (Alexiadou, et al. 2011).

Neuropati diabetes adalah keadaan yang umum dijumpai pada penderita diabetes,

14

sekitar 90% penderita kaki diabetes menderita neuropati. Kerusakan saraf pada

diabetes mengenai saraf motoris, sensoris dan otonom. Neuropati motoris

menyebabkan kelemahan otot, atropi dan paresis. Neuropati sensoris menyebabkan

hilangnya sensasi protektif terhadap nyeri, tekanan dan panas. Disfungsi sistem saraf

otonom menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan produksi keringat berlebih yang

melembabkan, merusak integritas kulit sehingga membuat penderita rentan terhadap

infeksi. Penyakit arteri perifer (PAD) lebih sering terjadi 2-8 kali pada pasien dengan

diabetes. Biasanya PAD terjadi pada segmen antara lutut dengan pergelangan kaki

(TASC, 2000). Cidera pada kaki terutama bila disertai infeksi akan meningkatkan

kebutuhan darah, pada pasien diabetes dengan PAD, akan terjadi gangguan suplai

darah yang menghambat penyembuhan ulkus dan mempermudah terjadinya infeksi

yang dapat berujung pada amputasi (Alexiadou, et al. 2011). Pada pasien dengan

neuropati diabetes, hilangnya sensasi dapat menimbulkan cidera minor yang berulang

ytang tidak dirasakan oleh pasien dan seiring waktu terjadilah ulkus pada kaki yang

sering kali disertai infeksi (Alexiadou, et al. 2011).

2.2.2.1 Neuropati Diabetik

Neuropati menyebabkan lebih dari 60% dari ulkus kaki diabetes dan dapat

mengenai pada pasien dengan DM tipe 1 dan tipe 2. Hiperglikemia menyebabkan

peningkatan produksi enzim seperti aldose reductase dan sorbitol dehydrogenase,

yang mengubah glukosa menjadi sorbitol dan fruktosa. Penumpukan glukosa

menurunkan produksi myonositol yang akhirnya menurunkan konduktivitas sel saraf.

15

Hiperglikemia juga menimbulkan mikroangiopati yang mengakibatkan kelainan

metabolik, kerusakan sistem imun dan iskemik dari saraf autonom, motorik, dan

sensorik (Singh, et al. 2013).

Peningkatan kadar sorbitol intraseluler, menyebabkan pembengkakan saraf

dan gangguan fungsi saraf. Penurunan kadar insulin sejalan dengan perubahan kadar

peptida neurotropik, perubahan metabolisme lemak, stres oksidatif, perubahan kadar

bahan vasoaktif seperti nitrit oxide mempengaruhi fungsi dan regenerasi saraf. Kadar

glukosa yang tidak teregulasi meningkatkan kadar advanced glycosylated end product

(AGE) yang terlihat pada molekul kolagen yang mengeraskan ruangan-ruangan yang

sempit pada ekstremitas superior dan inferior (carpal, cubital, dan tarsal tunnel).

Kombinasi antara pembengkakan saraf yang disebabkan berbagai mekanisme dan

penyempitan kompartemen karena glikosilasi kolagen menyebabkan double crush

syndrome dimana dapat menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan

autonomik .Hal ini yang menyebabkan penurunan sensasi perifer dan kerusakan saraf

yang menginervasi otot pada kaki dan vasomotor pada sistem sirkulasi. Penurunan

sensasi menyebabkan pasien rentan terhadap timbulnya cidera yang disebabkan oleh

hal-hal kecil seperti kalus, deformitas kuku, gesekan dengan sepatu dan lain

sebagainya. Cidera-cidera minor ini biasanya tidak disadari oleh pasien sampai terjadi

infeksi dan timbul ulkus. Resiko terjadinya ulkus kaki diabetes pada pasien dengan

gangguan sensoris meningkat hingga 7 kali lipat, dibandingkan dengan pasien DM

tanpa kelainan neuropati (Singh, et al. 2013)

Hilangnya fungsi sudomotor pada neuropati otonomik menyebabkan

16

anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit yang terbuka akan mengakibatkan masuknya

bakteri dan menimbulkan infeksi. Berkurangnya sensibilitas kulit pada penonjolan

tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka kecil pada kaki.

Perubahan ini pada akhirnya berakibat terjadinya perkembangan ulkus, gangrene, dan

resiko kehilangan anggota tubuh (Singh, et al. 2013; Robolledo, et al. 2011).

2.2.2.2 Vaskulopati Diabetik

Penderita diabetes, seperti orang tanpa diabetes, kemungkinan akan menderita

penyakit atherosklerosis pada arteri besar dan sedang, misalnya pada aortailiaca, dan

femoropoplitea. Alasan dugaan bentuk penyakit arteri ini pada penderita diabetes

adalah hasil beberapa macam kelainan metabolik, meliputi kadar Low Density

Lipoprotein (LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), peningkatan kadar faktor

von Willbrand plasma, inhibisi sintesis prostasiklin, peningkatan kadar fibrinogen

plasma, dan peningkatan adhesifitas platelet. Secara keseluruhan, penderita diabetes

mempunyai kemungkinan besar menderita atherosklerosis, terjadi penebalan

membran basalis kapiler, hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel (Stillman, et al.

2002).

Peningkatan viskositas darah yang terjadi pada pasien diabetes timbul berawal

pada kekakuan mernbran sel darah merah sejalan dengan peningkatan aggregasi

eritrosit, Karena sel darah merah bentuknya harus lentur ketika melewati kapiler,

kekakuan pada membran sel darah merah dapat menyebabkan hambatan aliran dan

kerusakan pada endotelial. Glikosilasi non enzimatik protein spectrin membran sel

17

darah merah bertanggungjawab pada kekakuan dan peningkatan aggregasi yang telah

terjadi. Akibat yang terjadi dari dua hal tersebut adalah peningkatan viskositas darah.

Mekanisme glikosilasi hampir sama seperti yang terlihat dengan hemoglobin dan

berbanding lurus dengan kadar glukosa darah. Penurunan aliran darah sebagai akibat

perubahan viskositas memacu meningkatkan kompensasinya dalam tekanan perfusi

sehingga akan meningkatkan transudasi melalui kapiler dan selanjutnya akan

meningkatkan viskositas darah. Iskemia perifer yang terjadi lebih lanjut disebabkan

peningkatan afinitas hemoglobin terglikolasi terhadap molekul oksigen. Efek

merugikan yang ditimbulkan oleh hiperglikemia terhadap aliran darah dan perfusi

jaringan sangatlah signifikan (Mathes,2006).

Gambar 2.1

Pengaruh peningkatan gula darah terhadap aliran darah dan perfusi jaringan

(Mathes, 2006).

18

Keadaan Hiperglikemia menyebabkan disfungsi sel endotel dan kelainan sel

otot polos pada arteri perifer. Sel endotel mensintesis nitric oxide yang menyebabkan

vasodilatasi dan melindungi pembuluh darah dari cedera endogen. Oleh karena itu,

pada hiperglikemia terjadi gangguan sifat fisiologis dari nitric oxide yang biasanya

mengatur homeostasis endothelial, antikoagulan, adhesi leukosit, proliferasi sel otot

polos, dan kapasitas antioksidan. Penurunan vasodilator endotelium dan nitric oxide

menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan kecendrungan untuk terjadinya

aterosklerosis, dan pada akhirnya menyebabkan iskemia. Sistem mikrosirkulasi juga

terganggu yang disebabkan karena arteriol venular shunting, dimana mengurangi

sirkulasi darah ke tempat yang membutuhkan. Hiperglikemia pada DM juga

berhubungan dengan peningkatan thromboxane A2 menyebabkan hiperkoagulabilitas

plasma. Secara klinis pasien memiliki gejala-gejala dari kelainan pembuluh darah

seperti: klaudikasio, nyeri pada saat istirahat (rest pain), tidak teraba pulsasi,

penipisan kulit, hilangnya rambut pada kaki, dan lain-lain (Singh, et al. 2013).

2.2.2.3 Imunopati Diabetik

Dibandingkan dengan orang yang sehat sistem kekebalan tubuh pada pasien

dengan DM jauh lebih lemah. Dengan demikian infeksi kaki diabetes pada pasien

dengan diabetes adalah mengancam nyawa. Dalam keadaan hiperglikemia

menyebabkan peningkatan dari sitokin pro inflamasi dan penurunan fungsi sel

polimorfonuklear, seperti kemotaksis, fagositosis, dan lain-lain (Singh, et al. 2013).

Fagositosis dan aktivitas bakterisidal intraselular dipengaruhi oleh kontrol glikemia.

19

Peningkatan kadar glukosa darah pada pasien diabetes menyebabkan gagalnya fungsi

neutrofil dan sistem imunologi. Selama fagositosis terjadi peningkatan terhadap

pemakaian glukosa, konsumsi O2 dan produksi laktat. Tetapi energi yang disimpan

PMN relatif sedikit dan memerlukan glukosa eksogen untuk mempertahankan

aktivitasnya, dengan perkiraan kemotaksis PMN dalam keadaan normal berlangsung

selama 4 jam tanpa memerlukan tambahan glukosa. Insulin melekat erat pada sel

PMN dan dapat secara terus-menerus menyumbangkan energi yang besar melalui

jalur Embden-Meyerhof yang diperlukan sel pada proses kemotaksis. Pemakaian

glukosa, produksi laktat, dan sintesis glikogen menurun pada PMN pasien diabetes

yang kehilangan insulin selama 36 sampai 72 jam. Pemakaian glukosa, produksi

laktat, dan sintesis glikogen akan meningkat bila PMN diinkubasi kembali dengan

insulin (Sapico, et al. 2000).

Pasien dengan defisiensi kemotaksis PMN dapat menjadi lebih berat apabila

disertai penebalan membran basalis kapiler. Penebalan membran basalis disebabkan

peningkatan produk akhir glikosilasi yang akan menyebabkan terjadinya

aterosklerosis. Produk akhir glikosilasi akan berinteraksi dengan reseptor pada

makrofag dan sel endotel yang akan menginduksi terjadinya penumpukan bahan

berlebihan dan trombosis setempat. Selain itu makrofag tersebut dapat melepaskan

sitokin yang akan melukai sel endotel dan meningkatkan pembentukan plak.

Penebalan ini akan menghalangi gerakan keluar masuknya leukosit dan mencegah

difusi insulin serta glukosa yang dibutuhkan leukosit dalam jaringan pada tempat

masuknya bakteri (Sapico, et al. 2000; Smith, et al. 2006).

20

Selain itu tingginya kadar gula dalam darah merupakan media yang baik

untuk pertumbuhan bakteri. Organisme yang paling dominan pada infeksi kaki

diabetes adalah kuman aerob gram positif seperti Staphylococcus aureus dan

Streptococcus β hemoliticus.Jaringan lunak pada kaki seperti plantar aponeurosis,

tendon, otot, dan fasia tidak bisa menahan infeksi. Selain itu, beberapa kompartemen

di kaki saling berhubungan dan tidak bisa membatasi penyebaran infeksi dari yang

satu ke yang lain. Infeksi pada jaringan lunak ini dengan cepat dapat menyebar ke

tulang menyebabkan osteoitis. Jadi ulkus sederhana pada kaki dapat dengan mudah

mengakibatkan komplikasi seperti osteitis atau osteomyelitis dan gangren tanpa

perawatan yang tepat (Singh, et al. 2013)

2.2.2.4 Perubahan Struktur Tulang dan Sendi

Perubahan struktural pada anatomi kaki dan persendian menyebabkan

kelemahan dan musclewasting pada otot-otot intrinsik kecil. Hal ini menyebabkan

hilangnya keseimbangan pada saat berjalan, clawing of toes, dan plantar fleksi

metatarsal head (charcot foot). Musculus interosseous dan otot-otot intrinsic

berfungsi sebagai penyeimbang dan menahan phalang agar ekstensi (Rebolledo, et al.

2010).

Gangguan morfologi dan fungsional struktur kaki, jari-jari kaki, dan sendi

mempengaruhi absorbsi dan distribusi tekanan saat berjalan.Efek pada kaki meliputi

reduksi gerakan dan perubahan terhadap sudut subtalar dan sendi

metatarsophalangeal pertama.Pada pasien diabetes, tendon fleksor dan ekstensor

21

cenderung lurus dan kaku. Deformitas equinus dapat terjadi akibat pemendekan

tendon Achilles dan kolaps fascia plantaris, memfasilitasi abduksi dan adduksi kaki

depan. Hal ini menyebabkan terjadinya hammer toes dan tekanan beban tubuh

terpusat pada permukaan anterior jari-jari kaki (Rebolledo, et al. 2010).

Charcot foot merupakan deformitas ulkus diabetes akibat neuropati yang

klasik dengan empat tahap perkembangan. Pada tahap pertama biasanya disertai

riwayat trauma ringan disertai kaki yang panas, merah, dan bengkak. Keadaan ini

harus dibedakan dari selulitis. Tahap kedua terjadi fragmentasi dan fraktur pada

persendian tarsometatarsal. Selanjutnya pada tahap ketiga terjadi fraktur dan kolaps

persendian. Bila pasien tetap berjalan dengan posisi kaki yang tidak tepat maka akan

terjadi tahap keempat yaitu ulserasi plantar (Andrew, et al. 2004).

Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa sistem organ

termasuk sendi dan tendon. Hal biasanya tejadi pada tendon achiles dimana advanced

glycosylated end prodruct (AGEs) berhubungan dengan molekul kolagen pada

tendon sehingga menyebabkan hilangnya elastisitas dan bahkan pemendekan tendon.

Akibat ketidakmampuan gerakan dorsofleksi telapak kaki, dengan kata lain arkus dan

kaput metatarsal mendapatkan tekanan tinggi dan lama karena adanya gangguan

berjalan (gait) (Thorne, et al. 2006). Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan

tekanan yang berulang, injuri dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya

hammertoes, callus, kelainan metatarsal, atau kaki Charcot; tekanan yang terus

menerus dan pada akhirnya terjadi kerusakan jaringan lunak. Tidak terasanya panas

dan dingin, tekanan sepatu yang salah, kerusakan akibat benda tumpul atau tajam

22

dapat menyebabkan pengelepuhan dan ulserasi. Faktor ini ditambah aliran darah yang

buruk meningkatkan resiko kehilangan anggota gerak pada penderita diabetes

(Frykberg, et al. 2002; Amstrong, et al. 2008).

2.2.3 Klasifikasi Penyakit Kaki Diabetes

Terdapat beberapa macam klasifikasi ulkus kaki diabetes yang telah

dipergunakan selama ini. Beberapa sistem klasifikasi ulkus telah dibuat yang

didasarkan pada beberapa parameter yaitu luasnya infeksi, neuropati, iskemia,

kedalaman atau luasnya luka, dan lokasi. Sistem klasifikasi yang paling umum

dipergunakan adalah sistem klasifikasi wagner. Selain itu terdapat pula sistem

klasifikasi of Texas wound classification system, dan lain-lain. Sistem Klasifikasi

Ulkus Wagner-Meggit yang didasarkan pada kedalaman luka dan terdiri dari 6 grade

luka (Tabel 2.1) (Frykberg, et al. 2002).

23

Tabel 2.1

Sistem klasifikasi kaki diabetes menurut Wagner

Kategori Derajat Lesi

Ringan

0

1

2

Kulit utuh, ada kelainan bentuk kaki akibat neuropati

Ulkus superfisial terlokalisir

Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligament, otot, sendi,

belum mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses

Berat

3

4

5

Abses yang dalam dengan atau tanpa osteomyelitis

Gangren jari atau kaki bagian distal

Gangren seluruh kaki

University of Texas membagi ulkus berdasarkan dalamnya ulkus dan

membaginya lagi berdasarkan adanya infeksi atau iskemi. Adapun sistem Texas ini

meliputi (Tabel 2.2) (Doupis, et al. 2008).

Tabel 2.2

Klasifikasi University of Texas

Klasifikasi University of Texas

Grade Lesi

0 Pra atau pasca ulcerasi

1 Luka superfisial mencapai dermis atau epidermisatau keduanya

tetapi belum menembus tendon, kapsul sendi atau tulang.

2 Luka menembus tulang atau sendi tetapi belum mencapai tulang

atau sendi

3 Luka mencapai tulang atau sendi

24

Setiap tingkatan dibagi menjadi 4 stadium, meliputi:

1. A : luka bersih

2. B : luka iskemik

3. C : luka terinfeksi non iskemik

4. D : luka terinfeksi dan iskemik

2.2.4 Gambaran Klinis Kaki Diabetes

Teradapat 3 macam bentuk ulkus diabetes yaitu ulkus neuropati, ulkus

iskemia dan ulkus neuroiskemia (campuran). Karakteristik ulkus neuropati adalah

bula, dikelilingi oleh kalus, tidak nyeri dan berlokasi di atas tulang–tulang yang

menonjol pada jari–jari kaki atau di plantar pedis. Ulkus iskemia biasanya pucat,

nekrosis, sangat sakit, tidak berbentuk kalus dan lokasinya sering pada jari–jari kaki,

tepi–tepi kaki dan tumit (Payne, et al. 2002).

Pertimbangan yang diperlukan dalam mengevaluasi krepitasi pada luka yaitu

membedakan penyebabnya, nonbakteri atau bakteri. Krepitasi nonbakteri dapat

berkaitan dengan fisik atau kimia. Krepitasi yang berkaitan dengan fisik disebabkan

penetrasi dan perforasi udara, sedang yang berkaitan dengan kimia disebabkan kontak

antara tubuh dengan gas, termasuk hidrogen peroksida, benzine, dan kompleks

magnesium tertentu.Krepitasi oleh karena bakteri dapat disebabkan oleh Clostridia

atau non-Clostridia. Krepitasi non-Clostridia dapat disebabkan oleh bakteri anaerob

fakultatif misalnya Klebsiella dan Enterobacter atau bakteri anaerob obligat misalnya

25

Peptostreptococcus danBacteroides. Membedakan kedua macam infeksi ini penting

karena penanganan kedua keadaan ini sangat berbeda (Sapico, et al. 2000;

Hendromartono, et al. 2003).

2.2.5 Pemeriksaan Kaki Diabetes

Pada anamnesa informasi yang penting adalah pasien telah mengidap DM

sejak lama. Gejala neuropati diabetes yang sering ditemukan adalah kesemutan, rasa

panas di telapak kaki, kram, badan sakit semua terutama malam hari. Gejala neuropati

menyebabkan hilang atau menurunnya rasa nyeri pada kaki. Manifestasi gangguan

pembuluh darah berupa nyeri tungkai sesudah berjalan pada jarak tertentu akibat

aliran darah ke tungkai yang berkurang (klaudikasio intermiten). Manifestasi lain

berupa ujung jari terasa dingin, nyeri kaki diwaktu malam, denyut arteri hilang dan

kaki menjadi pucat bila dinaikkan (Frykberg, et al. 2009).

2.2.5.1 Pemeriksaan Fisik

Kesan umum akan tampak kulit kaki yang kering dan pecah-pecah akibat

berkurangmya produksi keringat. Tampak pula hilangnya rambut kaki atau jari kaki,

penebalan kuku, kalus pada daerah daerah yang mengalami penekanan seperti pada

tumit, plantar aspek kaput metatarsal. Adanya deformitas berupa claw toe sering pada

ibu jari (Pinzur, 2006). Pada daerah yang mengalami penekanan tersebut merupakan

lokasi ulkus diabetikum karena trauma yang berulang-ulang tanpa atau sedikit

26

dirasakan pasien (Supartondo, 1998). Tergantung dari derajatnya saat kita temukan,

ulkus yang terlihat mungkin hanya suatu ulkus superfisial yang hanya terbatas pada

kulit dengan dibatasi kalus yang secara klinis tidak menunjukkan tanda–tanda infeksi

(Payne, et al. 2002).

Pada palpasi dinilai ada atau tidaknya denyut atau pulsasi arteri perifer, tidak

terabanya pulsasi dan kaki teraba dingin dapat diasumsikan bahwa terjadi oklusi

arteri. Palpasi dilakukan pada a. femoralis, a. poplitea, a. dorsalis pedis dan a. tibialis

posterior, dibandingkan kanan dan kiri. Kulit yang kering serta pecah-pecah mudah

dibedakan dengan kulit yang sehat. Kalus disekeliling ulkus akan teraba sebagai

daerah yang tebal dan keras. Deskripsi ulkus harus jelas karena sangat mempengaruhi

prognosis serta tindakan yang akan dilakukan. Apabila pus tidak tampak maka

penekanan pada daerah sekitar ulkus sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya

pus. Ulkus harus dibuka lebar untuk melihat luasnya kavitas serta jaringan bawah

kulit, otot, tendo serta tulang yang terlibat (Yasa, 2003).

Disamping gejala serta tanda adanya kelainan vaskuler, perlu diperiksa

dengan test vaskuler noninvasif, ankle-brachial index (ABI), dan toe systolic

pressure (tekanan darah ibu jari). ABI didapat dengan cara membagi tekanan sistolik

betis dengan tekanan sistolik lengan. Pada orang normal ABI > 1, bila ABI < 0,5

menunjukan iskemia yang berat. Toe systolic pressure (tekanan darah ibu jari) lebih

akurat dibandingkan ABI. Mereka menemukan bahwa 25 mmHg merupakan batas

minimal untuk penyembuhan ulkus pada kaki (N: >40 mmHg) (Edmond, 2001).

27

Arteriografi perlu dilakukan untuk memastikan terjadinya oklusi arteri (Pinzur, et al.

2006).

2.2.5.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi akan dapat mengetahui apakah didapat gas subkutan,

benda asing serta adanya osteomielitis (Levin, et al. 2006). Untuk mengetahui adanya

oklusi pada pembuluh darah maka dilakukan pemeriksaan penujang radiologi seperti

ultrasonografi doppler/duplex, angiografi, MR angiografi, dan CT angiografi.

Ultrasonografi doppler yang merupakan prosedur pemeriksaan yang paling sederhana

dan non invasif. Pemeriksaan dengan ultasonografi doppler cukup sensitif untuk

mendiagnosis adanya penyakit arteri perifer oklusif tungkai bawah. Angioografi

merupakan baku emas pemeriksaan vaskular karena akan memberikan informasi

mengenai ada tidaknya sumbatan, luas sumbatan, serta kolateral. Kelemahan

angiografi adalah bersifat invasif, memerlukan waktu dan mahal serta menggunakan

kontras yang nefrotoksik, maka arteriografi jarang dipakai (Payne, et al. 2002; Singh,

2013). Untuk menentukan adanya osteomilitis dapat dikerjakan pemeriksaan seperti

CT Scan, MRI, Gallium Scintigrahy yang semua ini memiliki resolusi yang sangat

baik untuk melihat tulang dan jaringan (Gerhard, et al. 2005).

2.2.6 Penanganan Kaki Diabetes

Tujuan utama penanganan penyakit kaki diabetes adalah, menghilangkan atau

menutup luka yang ada. Penanganan secara umum di biddang bedah dapat hanya

28

berupa perawatan luka, debridement secara bedah maupun biologi, sampai amputasi

ekstremitas. Pemilihan metoda penanganan kaki diabetes sangat bergantung dari

derajat penyakit kaki dibetes, ada tidaknya infeksi dan ada tidaknya penyakit arteri

perifer yang menyertai (Stillman, et al. 2008). Selain perawatan di bidang bedah,

sangat diperlukan kerjasama team dalam penatalaksanaan diabetes seabagai penyakit

primer dan komplikasi lain yang menyertai. Regulasi glukosa darah perlu dilakukan,

meskipun belum ada bukti adanya hubungan langsung antara regulasi glukosa darah

dengan penyembuhan luka. Hal itu disebabkan fungsi leukosit terganggu pada pasien

dengan hiperglikemia kronik. Perawatan meliputi beberapa faktor sistemik yang

berkiatan yaitu hipertensi, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner, obesitas, dan

insufisiensi ginjal (Schwart, et al. 1999; Boulton, et al. 2004).

Perawatan ulkus pada kaki diabetes sangat komplek. Perawatan luka terus

menerus dan kontinyu, menghindari area luka dari beban (off-loading), debridement

berulang, penanganan infeksi dan penanganan iskemia merupakan prodesur yang

harus dilakukan pada pasien dengan kaki diabetes. Lamanya penyembuhan penyakit

kaki diabetes sangat bervariasi dengan rentangan waktu beberapa minggu hingga

beberapa bulan bahkan menahun. Penyembuhan ulkus kaki diabetes, dipengaruhi oleh

penyebab dasar dari ulkus tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Yotsu, et al

(2014) di Jepang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata kesembuhan (healing

rate) antara ulkus neuropati, iskemia dan ulkus neuro-iskemia. Berdasarkan penelitian

tersebut didapatkan bahwa rerata waktu dimana 50% pasien telah sembuh adalah 70

hari pada ulkus neuropati, 113 hari pada pada ul;kus neuroiskemia dan 233 hari pada

29

ulkus iskemia. Sedangkan rerata kesembuhan secara kumulatif dalam 1 bulan adalah

32% untuk ulkus neuropati, 0% untuk ulkus neuro-iskemia dan 11% untuk ulkus

iskemia. Sedangkan dalam 3 bulan rerata kesembuhan secara kumulatif adalah 58%,

42% dan 16% (Yotsu, et al. 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Sheehan, et al

(2003) menyimpulkan bahwa penyembuhan luka kaki diabetes pada minggu keempat

dapat memprediksi kesembuhan luka pada minggu ke dua belas (Sheehan, et al.

2003).

2.2.6.1 Debridement

Bedridement adalah tindakan pembedahan yang bertujuan untuk membuang

jaringan mati (nekrosis), nanah, jaringan fibrotik, dan kalus. Jaringan mati yang

dibuang sekitar 2-3 mm dari tepi luka ke jaringan sehat. Debridement meningkatkan

pengeluaran faktor pertumbuhan yang membantu proses penyembuhan luka. Metode

debridement yang sering dilakukan yaitu surgical (sharp), autolitik, enzimatik, kimia,

mekanis dan biologis. Metode surgical, autolitik dan kimia hanya membuang jaringan

nekrosis (debridement selektif), sedangkan metode mekanis membuang jaringan

nekrosis dan jaringan hidup (debridement non selektif) (Jones, 2007; Bloomgarden,

2008).

Surgical debridement merupakan standar baku pada ulkus diabetes dan

metode yang paling efisien, khususnya pada luka yang banyak terdapat jaringan

nekrosis atau terinfeksi. Pada kasus dimana infeksi telah merusak fungsi kaki atau

membahayakan jiwa pasien, amputasi diperlukan untuk memungkinkan kontrol

30

infeksi dan penutupan luka selanjutnya. Debridement enzimatis menggunakan agen

topikal yang akan merusak jaringan nekrotik dengan enzim proteolitik seperti papain,

colagenase, fibrinolisin-Dnase, papainurea, streptokinase, streptodornase dan tripsin.

Agen topikal diberikan pada luka sehari sekali, kemudian dibungkus dengan balutan

tertutup. Penggunaan agen topikal tersebut tidak memberikan keuntungan tambahan

dibanding dengan perawatan terapi standar. Oleh karena itu, penggunaannya terbatas

dan secara umum diindikasikan untuk memperlambat ulserasi dekubitus pada kaki

dan pada luka dengan perfusi arteri terbatas (Bloomgarden, 2008).

Debridement mekanis mengurangi dan membuang jaringan nekrotik pada

dasar luka. Teknik debridement mekanis yang sederhana adalah pada aplikasi kasa

basah-kering (wet-to-dry saline gauze). Setelah kain kasa basah dilekatkan pada dasar

luka dan dibiarkan sampai mengering, debris nekrotik menempel pada kasa dan

secara mekanis akan terkelupas dari dasar luka ketika kasa dilepaskan (Bloomgarden,

2008).

2.2.6.2 Amputasi pada Kaki Diabetes

Diabetes merupakan penyebab utama terjadinya amputasi di seluruh dunia.

Dan di India ulkus kaki diabetes ini menyebabkan lebih dari 80% amputasi pada

ekstremitas bawah (Jain, et al. 2012).

Amputasi pada kaki diabetes diindikasikan bila terdapat neuropati diabetes,

penyakit pembuluh darah, dan deformitas ulseratif yang telah menyebabkan nekrosis

jaringan lunak, osteomyelitis, sepsis, atau nyeri. Secara keseluruhan, diabetes adalah

31

penyebab utama untuk amputasi non traumatik tungkai bawah (Sage, 2006; Weledji,

2014). Selain itu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi amputasi pada kaki

diabetes antara lain seperti riwayat ulkus kaki diabetes sebelumnya, usia lanjut,

tekanan darah tinggi, jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar glycosidic

hemoglobin, proteinuria (Santos, et al. 2006).

Penyakit oklusi arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD)

merupakan komplikasi yang paling sering pada diabetes melitus dibandingkan

dengan subyek normal.Prevalensi PAD meningkat pada pasien dengan diabetes dan

berhubungan dengan manifestasi klinis yang berat dan resiko tinggi untuk terjadinya

critical limb ischemia(CLI) dan amputasi ektremitas bawah. PAD pada pasien dengan

diabetes berbeda dalam hal histologi, anatomi dari oklusi pembuluh darah (Graziani,

et al. 2007).

Amputasi pada ekstremitas bawah pada penyakit oklusi pembuluh darah harus

dipertimbangkan luas jaringan nekrosis, infeksi sekunder yang menyebabkan gangren

atau osteomyelitis , dan gejala-gejala sepsis. Waktu dan prosedur tindakan tergantung

dari kondisi klinis pasien. Bila terjadi kerusakan jaringan dan berhubungan dengan

infeksi dan sepsis, tindakan amputasi dikerjakan segera untuk menyelamatkan nyawa

(Sefranek, et al. 2007).

Tindakan revaskularisasi pada ekstremitas bawah merupakan terapi pilihan

pada kebanyakan pasien dengan penyakit oklusi arteri perifer.Tindakan rekontruksi

vaskular juga bermanfaat untuk menyelamatkan ekstremitas bawah dari

amputasi.(Sefranek, et al. 2007).

32

Adapun tipe-tipe amputasi yang dilakukan pada ekstremitas bawah (Sage, et

al. 2006; Sefranek, et al. 2007)

1. Amputasi minor: toe amputation, Ray amputation, transmetatarsal

amputation, dan Syme’s amputation

2. Amputasi mayor: below knee amputation, above knee amputation.

2.3 PenyakitOklusi Arteri Perifer (PAD)

2.3.1 Definisi

Penyakit Oklusi Arteri Perifer atau Peripheral Arterial Disease (PAD) adalah

penyakit karena oklusi pembuluh darah perifer bisa pada aorta, iliaka maupun arteri

pada ektremitas bawah. Sementara itu PAD merupakan faktor resiko utama terjadinya

amputasi pada ekstremitas bawah (Anonim, 2003). .

PAD pada tungkai bawah merupakan komplikasi yang sering terjadi pada

pasien DM. Prevalensi PAD meningkat secara signifikan pada pasien dengan DM

(Graziani, et al. 2007). PAD dan diabetes memerlukan perhatian sebab dibandingkan

dengan PAD dengan faktor risiko lain, PAD pada diabetes berbeda dalam biologi,

gambaran klinik dan penatalaksanaan. Keterlibatan vaskular sedikit unik dimana

tersering pada pembuluh darah dibawah lutut dan hampir selalu disertai dengan

neuropati. Oleh sebab itu, sering tanpa gejala atau hanya merasakan keluhan yang

tidak jelas tidak seperti gejala klasik PAD seperti klaudikasio intermiten. Sehingga

sebagai konsekuensi dari adanya neuropati, sering penderita PAD dan diabetes datang

33

terlambat dan sudah dengan gejala rest pain, ulkus sampai gangren dan pada akhirnya

berakhir dengan amputasi (Anonim, 2003).

2.4 Skoring Sistem Tardivo Pada Penyakit Kaki Diabetes

Skor algoritme Tardivo adalah suatu algoritma yang dikembangkan oleh

ilmuwan Brazil Jao Paolo Tardivo, untuk memprediksi prognosis pasien dengan

ulkus kaki diabetes. Perhitungan skor Tardivo berdasarkan pada tiga variabel yaitu

klasifikasi Wagner, tanda tanda Peripheral Artery Disease (PAD) yang dinilai

berdasarkan Peripheral Artery DIsease Classification dan lokasi dari ulkus. Nilai

total didapatkan dengan mengalikan skor dari masing-masing variabel tersebut dan

menghasilkan rentang nilai 1 - 32. (Tardivo, 2015).

Beberapa sistem skoring telah dikemukakan sebelumnya oleh beberapa

peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh beckert, et al (2006) mengemukakan sistem

skoring yang dikenal sebagai DUSS (Diabetic ulcer severity score). Pada penilaian

DUSS, masing-masing parameter memiliki nilai 1 atau 0, dan hasil penjumlahan

seluruhnya bervariasi anatar 0 sampai 4. Semakin tinggi nilai yang diperoleh maka

prognosis akna semakin buruk, namun pasien dengan nilai yang sama dapat

dimasukkan dalam kategori yang berbeda, sehingga seringkali membingungkan

pemeriksa (Beckert, et al. 2006).

Lipsky dan kawan-kawan mengembangkan dan memvalidasi suatu sistem

skoring amputasi untuk pasien yang dirawat dengan penyakit kaki diabetes.

Penelitian ini meliputi 14 faktor risiko yang berhubungan dengan amputasi.

34

Beberapa faktor yang berperan penting terhadap keajadian amutasi antara lain, infeksi

luka operasi, vaskulopaty, riwayat amputasi sebelumnya dan leukosit > 11.000/ mm3

(Lipsky, et al. 2011). Skor dari Lipsky mampu memprediksi kemungkinan amputasi

pada pasien kaki diabetes, namun sistem skoring Lipsky adalah sistem yang rumit

terdiri dari lima lapis penilaian dengan rentangan nilai 0 sampai 21. Selain itu tidak

terdapat panduan tentang cara penggunaan sistem skor ini (Tardivo, et al. 2015).

Skor algoritma Tardivo menghasilkan nilai prognosis terhadap kejadian

amputasi. Skoring ini berdasarakan atas tiga faktor yaitu klasifikasi wagner, tanda

klinis PAD, dan lokasi ulkus pada penyakit kaki diabetes (Tardivo, et al. 2015).

Klasiifikasi penyakit kaki diabetes menurut Wagner-Meggit terdiri dari 5

tingkat (grade) dari 0 sampai dengan 5. Tingkat yang digunakan adalah wagner

tingkat 1 sampai tingkat 4. Wagner 0 tidak dipergunakan karena belum terbentuk

ulkus, dan hanya terdapat kelainan neuropathy. Pasien dengan derajat wagner 1

sampai 4 diberi nilai 1 sampai 4 (Tardivo, et al. 2015).

Gambar 2.2.

Klasifikasi penyakit kaki diabetes berdasarkan klasifikasi Wagner

(Tardivo, et al. 2015).

35

Klasifikasi PAD mengacu kepada Peripheral Arterial Disease Classification

yang terdiri dari pucat (pallor) pada ekstremitas, Tidak terabanya pulsasi distal, ABI

dibawah 0.7, tidak adanya perfusi distal, sianosis dan ganggrene berkepanjangan.

Pasien tanpa gejala PAD mendapatkannilai 1 (PAD 1) dan pasien dengan gejala PAD

mendapatkan nilai 2 (PAD 2) (Tardivo, et al. 2015).

Lokasi ulkus ditentukan berdasarkan lokasinya seperti ditunjukkan pada

gambar 2.2. Forefoot 1 (FF1) merupakan region dari jari-jari kaki. Forefoot 2 (FF2)

di regio metatarsal, midfoot 3(MF3) merupakan regio yang terdiri dari cuneiform,

cuboid, dan tulang naviculare dibatai oleh sendi Lisfranc dan Chopart. Dan hindfoot

(HF4) merupakan area tumit meliputi kalkaneus dan talus. Masing -masing lokasi

memiliki nilai 1,2,3 atau 4 tanpa melihat apakah lokasi di bagian dorsal atau plantar

dan kedalaman ulkus (Tardivo, et al. 2015).

Gambar 2.3.

Lokasi ulkus. FF, Fore foot; MF, midfoot; HF, hindfoot. Lokasi dari ulkus sangat

penting dalam menghitung skor Tardivo (Tardivo, et al. 2015).

36

Nilai akhir dari skor Tardivo adalah perkalian total dari masing-masing nilai

dari tiga variabel tersebut dengan rentangan nilai 1 sampai 32. Pada penelitian

sebelumnya, Tardivo dan kawan kawan melakuakan penelitian terhadap 62 pasien

kaki diabetes, didapatkan bahwa pasien dengan skor lebih dari atau sama dengan 12

memiliki kemungkinan mengalami amputasi sebesar 152 kali dibanding pasien

dengan skor lebih rendah (CI 95%, 12,2 -1886,5) (Tardivo, et al. 2015).

Tabel 2.3.

Skor Tardivo berdasarkan klasifikasi Wagner, gejala klinis PAD dan lokasi ulkus

Klasifikasi Wagner Gejala klinis PAD Lokasi Ulkus

Skor Skor Skor

1 1 PADS (+) 2 FF1 1

2 2 PAD (-) 1 FF2 2

3 3 MF3 3

4 4 HF4 4

5 4 Ankle/cruris 4

Total (Skor wagner X Skor PAD X Skor lokasi ulkus) = ....................