BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Arbeit1 (“kerja“) dalam Politiklexikon2 dimaknai sebagai suatu kegiatan
yang dilakukan khusus oleh manusia –baik yang bersifat fisik maupun intelektual-
yang bertujuan terutama untuk memperoleh sarana penting dalam rangka
mempertahankan eksistensi kehidupan manusia. Kata Arbeit dewasa ini telah
menjadi kata yang sangat umum dan menjelma menjadi tema yang semakin
penting dalam berbagai sektor kehidupan manusia terutama akibat perubahan
struktur dunia kerja (Strukturwandel der Arbeitswelt) yang berlangsung relatif
cepat. Dalam sejarah manusia modern, tema Arbeit mulai mencuat sejak awal
revolusi industri di Inggris (1750-1850 M) kemudian menyebar ke seluruh Eropa
Barat hingga akhirnya secara perlahan ke berbagai belahan dunia. (lihat Bell,
1969).
Di era global dewasa ini, efesiensi teknologi modern dan perubahan
struktur demografis telah menjadi suatu keniscayaan dalam sejarah manusia.
Ketidakseimbangan antara ketersediaan lapangan kerja dan tenaga
1 Arbeit f ( - ; -en) kerja, pekerjaan, pencaharian; karya; in der Schule ulangan; e-e gute ~ (hasil) karya yg. bagus; keine ~ haben menganggur; et. ist in ~ sst. sedang dikerjakan; ºen itr. bekerja, berkarya, berusaha; ~ an mengerjakan. Adolf Heuken. 1998: Wörterbuch Deutsch-Indonesisch. Leipzig: Verlag Enzyklopädie. Hlm. 31. 2 Arbeit ist eine spezifisch menschliche –sowohl körperliche als auch geistige- Tätigkeit, die v.a. dazu dient, die zur Existenzsicherung notwendigen Mittel zu beschaffen. [...]. Schubert, Klaus/Martin Klein: Das Politiklexikon. 5., aktual Aufl. Bonn: Dietz 2011. Lihat: www.bpb.de/nachschlagen/lexika/17088/arbeit.
2
kerjamerupakan salah satu contoh riil akibat dari perubahan ini. Masalah inipun
tidak hanya menimpa satu atau dua negara saja, tetapi telah meluas dan menjadi
masalah tersendiri di hampir semua negara (lihat Bierwisch, 2003). Dengan
demikian Arbeit telah menjelma menjadi tema global dengan berbagai
problematikanya.
Dalam dunia sastra, tema Arbeit senantiasa mewarnai karya-karya sastra
yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri
misalnya di dalam bunga rampai Arbeit als Thema in der deutschen Literatur vom
Mittelalter bis zur Gegenwart (Arbeit sebagai Tema dalam Sastra Jerman dari
Abad Pertengahan sampai Sekarang) yang dikeluarkan oleh Grimm dan Hermann
(1979) atau dalam bibliografi Krug (1990) Arbeitslosenliteratur (Sastra
Pengangguran) yang secara spesifik menampilkan karya-karya sastra bertema
Arbeit dan Arbeitslosigkeit (pengangguran) sebagai lawan dari tema Arbeit. Dari
sinilah, Krug (1990) akhirnya menyimpulkan bahwa sejak abad ke 20,
Arbeitslosenlitaratur atau sastra yang bertema pengangguran telah menjadi bagian
tak terpisahkan dari isu-isu sosial politik di Jerman.
Kehadiran tema Arbeit dalam dunia sastra sesungguhnya menguatkan
eksistensi tema ini di dalam masyarakat Jerman. Negara yang terletak di Eropa ini
(geografis: tengah; politik/ekonomi: barat) sudah sejak lama menyadari
pentingnya Arbeit dalam kehidupan manusia. Negara dengan mayoritas penduduk
beragama Nasrani ini3, sedikit banyaknya memahami konsep Arbeit berdasarkan
3 Die wichtigste Religion in Deutschland ist das Christentum: Rund 25 Millionen Deutsche sind römisch-katholisch, gut 24 Millionen evangelisch und etwa 1,2 Millionen sind orthodox. Daneben leben rund 4 Millionen Muslime und circa 100.000 Juden in Deutschland. (Agama mayoritas di Jerman adalah kristen: Sekitar 25 juta penduduk Jerman memeluk agama Katolik Roma, hampir
3
ajaran kristiani. Bab pertama dalam Alkitab (Kitab Kejadian, bab 3 ayat 17) sudah
berbicara tentang hukuman Tuhan kepada Adam dan Eva yang harus bersusah
payah mencari rezki dari tanah seumur hidup, karena telah melanggar aturan
Tuhan: „[...], mit Kummer sollst du dich darauf nähren dein Leben lang.“4
(Mose-Kapitel 3: 17). Kejadian inilah yang menjadi dasar pemahaman bahwa
Arbeit als Strafe Gottes für den Sündenfall atau bekerja merupakan hukuman atas
dosa yang diperbuat oleh Adam dan Eva. Namun demikian Arbeit tetap memiliki
nilai yang tinggi, seperti terlihat dalam ungkapan-ungkapan para Benedik: „ora et
labora“ (berdo‘a dan bekerja). Penganut Calvinisme (salah satu varian dari
Kekristenan Protestan) bahkan memandang Arbeit sebagai ibadah kepada Tuhan
dan kemalasan merupakan dosa. Mereka memahami bahwa Tuhan telah memilih
manusia-manusia tertentu dan memberikan karunianya melalui penghidupan yang
baik. Artinya, kekayaan yang didapatkan oleh seorang manusia merupakan bukti
bahwa dia telah terpilih sebagai orang yang dikaruniai oleh Tuhan.5
Dari beberapa peribahasa juga terungkap bagaimana pentingnya makna
Arbeit dalam kehidupan masyarakat Jerman, misalnya: „Wer nicht arbeitet, soll
auch nicht essen.“ (siapa yang tidak bekerja, seharusnya juga tidak makan);
„Arbeit macht das Leben süß.“ (Bekerja membuat hidup menjadi manis); „Wie
die Arbeit, so der Lohn.“ (Bagaimana pekerjaan, begitulah imbalannya); „Erst die
24 juta Protestan, sekitar 1,2 juta Orthodox. Di samping itu ada sekitar 4 juta muslim dan kira-kira 100.000 Yahudi.) Sumber: http://de.statista.com/statistik/faktenbuch/338/a/laender/deutschland/bevoelkerung-in-deutschland/, diunduh tgl. 7 September 2013. 4 [...] dengan bersusah payah engkau akan mencari rezkimu dari tanah seumur hidupmu (Alkitab, 3: 17). 5 Lihat Schößler (2006: 20): „Der Calvinismus [...] geht davon aus, dass Gott bestimmte Menschen auserwählt hat und seine Gnade durch ein prosperierendes Leben offenbart, das heißt Reichtum beweist die Gnadenwahl.“
4
Arbeit, dann das Vergnügen.“ (Bekerja dahulu, kemudian bersenang-senang.). Di
era NAZI (Nationalsozialist) bahkan tertulis dengan jelas di bagian pintu gerbang
kamp konsentrasi di Auschwitz, Dachau, Sachsenhausen dan Flossenbürg:
„Arbeit macht frei“ (Bekerja membuat ‘kamu’ bebas).
Tidak hanya dalam peribahasa Jerman, arti penting Arbeit dalam
masyarakat Jerman semakin terlihat dari cara mereka membagi waktu dengan
menggunakan kategori Arbeit seperti yang dipaparkan oleh Hermanns dan Zhao
(1999). Pembagian periode kehidupan manusia didasarkan atas usia kerja dengan
istilah Arbeitsleben (usia kerja). Usia anak-anak dan remaja dikategorikan belum
masuk usia kerja (noch nicht im ‘Arbeitsleben’), usia dewasa (schon im
‘Arbeitsleben’) dan para purnabakti atau orang-orang tua masuk dalam kategori
tidak lagi dalam masa kerja (nicht mehr im ‘Arbeitsleben’). Demikian halnya
tahun, bulan dan hari dibagi berdasarkan kriteria kerja. Dalam hitungan tahun
dibagi menjadi dua kelompok besar yakni Arbeit (bulan-bulan bekerja) dan
Urlaub (bulan-bulan liburan). Dalam seminggu juga terdiri dari Arbeitstagen
(hari-hari kerja) dan Wochenende (akhir pekan). Setiap perjalanan satu hari, orang
Jerman juga membaginya dalam Arbeitszeit (waktu kerja) dan Freizeit (waktu
istirahat). Hal ini pulalah yang menjadikan dasar, mengapa Hermanns (1999)
memandang Arbeit sebagai salah satu kata kunci dalam memahami budaya
Jerman atau kulturelles Schlüsselwort.
Dalam dunia perpolitikan Jerman, tema Arbeit tetap merupakan tema yang
selalu hangat dan menjadi isu utama. Berbagai partai mengusung slogan berbeda
guna mengatasi masalah ketenagakerjaan di Jerman. Sozialdemokratische Partei
5
Deutschland (SPD) misalnya menyatakan: „Wir wollen mehr Arbeit schaffen und
weniger Arbeitslosigkeit haben in Deutschland.“ (Kami akan menciptakan lebih
banyak lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.). Christlich-
Demokratische Union (CDU) dan koalisinya Christlich-Soziale Union (CSU)
dengan slogannya: „Sengkung von Lohnzusatzkosten für mehr Arbeitsplätze.“
(Penurunan pajak penghasilan untuk peningkatan lapangan kerja.). Demikian
halnya dengan Bündnis 90/Die Grünen: „Mehr Jobs im Dienstleistungssektor
durch niedrigere Lohnnebenkosten.“ (Peningkatan sektor jasa melalui
pengurangan pajak penghasilan.).
Uraian di atas membuktikan bahwa tema Arbeit tidak pernah lepas dari
perkembangan kehidupan masyarakat Jerman dalam berbagai aspek. Dengan kata
lain, tema Arbeit merupakan tema yang representatif dan memiliki arti penting
dalam budaya Jerman. Tema semacam ini menurut Wierlacher (1980, 2003)
merupakan tema yang mampu menjadi jembatan guna memahami secara lebih
mendalam suatu kebudayaan dalam rangka melahirkan pemahaman antar budaya
atau transkulturelle Verständigung.
Khusus dalam dunia sastra Jerman, kehadiran tema Arbeit memang tidak
terbantahkan seperti telah disinggung di atas, namun demikian kehadirannya juga
mengalami pasang-surut. Di masa-masa perang dingin ketika Jerman harus dibagi
menjadi dua negara (1949-1990), khususnya di Jerman Barat, tema Arbeit hampir
luput dalam karya-karya sastra. Tema ini baru menguat kembali kira-kira sejak
awal reunifikasi Jerman di tahun 1990 (Heimburger, 2010). Keengganan penulis
Jerman Barat untuk mengangkat tema Arbeit dalam karya sastra mereka saat itu,
6
menurut Rothe (dalam Heimburger, 2010) disebabkan oleh adanya kecenderungan
para penulis yang lebih senang menyoroti kehidupan yang bersifat batinia
(Innerlichkeit) dibandingkan dengan masalah-masalah sosial (soziale Probleme).
Kecenderungan ini menurut Neumark (dalam Heimburger, 2010) -seorang
ekonom yang menyoroti masalah-masalah ekonomi dalam roman- disebabkan
oleh adanya sikap publikum atau pembaca yang memang kurang tertarik dengan
masalah-masalah ekonomi (baca: Arbeit), selain karena adanya kondisi ekonomi
yang relatif stabil pada saat itu. Alasan Neumark ini tentu sangat berdasar,
mengingat stabilitas ekonomi Jerman Barat yang sangat monumental ditandai
dengan terjadinya keajaiban ekonomi (Wirtschaftswunder) pada dasawarsa 1950-
an dan 1960-an. Kondisi ini juga mampu mempercepat proses integrasi orang-
orang Jerman yang terusir dari wilayahnya di bagian timur Jerman. Kondisi
berbeda justru terjadi di Jerman Timur yang berafiliasi dengan Uni Soviet
berhaluan Marxis-Leninis. Sistem sosialis ini disinyalir telah mengantarkan
Jerman Timur ke ambang kehancuran khususnya dalam bidang ekonomi. Maka
tidaklah mengherankan jika tema-tema Arbeit justru lebih sering dijumpai dalam
karya-karya sastra di Jerman Timur.
Setelah penyatuan Jerman kembali atau Wiedervereiningung pada tanggal
3 Oktober 1990, dinamika dan proses perkembangan kehidupan sosial, ekonomi
dan politik Jerman termasuk tema Arbeit ikut mewarnai dunia kesusastraan. Di
awal-awal pascareunifikasi, pemerintahan Jerman bersatu harus bekerja keras
untuk memulihkan perekonomian bekas wilayah Jerman Timur. Penyatuan mata
uang sebagai langkah awal, ternyata tidak serta-merta memberikan perbaikan
7
signifikan dalam bidang fiskal. Ketidakmampuan perusahaan-perusahaan di
Timur untuk bersaing dengan saudara mereka dari Barat dan diperparah oleh
kecenderungan orang-orang Timur yang lebih senang mengkomsumsi produk-
produk dari wilayah barat dituding sebagai penyebabnya. Kondisi ini memaksa
pemerintah untuk memberikan dana solidaritas (Solidaritätszuschlag), namun
karena kehancuran ekonomi di timur begitu parah yang ditandai dengan jumlah
pengangguran yang sangat tinggi, menyebabkan dana solidaritas ini harus
dialokasikan duapertiga hanya untuk jamiman sosial dalam dasawarsa pertama
pascareunifikasi.6 Hal ini tentunya membawa dampak terhambatnya pertumbuhan
ekonomi di Jerman sebagai negara bersatu.
Di akhir dekade pertama setelah reunifikasi, sekitar tahun 1997, Jerman
mulai memasuki era pasar baru (neuer Markt) mengikuti tren New Economy yang
sudah dikenal sebelumnya di Amerika Serikat. Era ini dipahami sebagai transisi
dari ekonomi berbasis manufaktur ke ekonomi berbasis layanan atau jasa dengan
penerapan teknologi mutakhir yang kehadirannya ditandai dengan munculnya
perusahaan-perusahaan baru (Start-up-Unternehmen) khususnya dalam sektor
teknik informasi, multimedia, bioteknologi, dan telekomunikasi yang juga dikenal
sebagai industri masa depan (Zukunftsbranchen).
Dalam merespon perkembangan masyarakat pascareunifikasi, setidaknya
ada empat isu utama yang secara periodik mewarnai dunia sastra Jerman yang
6 Lihat: Reunifikasi Jerman. Pembangunan di Timur: Uang dan Janji. Sumber: http://www.dw.de/pembangunan-di-timur-uang-dan-janji/a-6067721, diunduh tgl. 23 September 2014.
8
berhubungan langsung dengan tema Arbeit.7 Pertama, proses transformasi
masyarakat di Jerman Timur menuju pembentukan model masyarakat baru (ein
neuer Gesellschaftstypus) akibat perbedaan perkembangan dunia kerja dengan
tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Slogan yang kerap muncul dalam
wacana ini adalah Leistungsgesellschaft8. Kedua, prinsip-prinsip
Leistungsgesellschaft ini teraplikasi dalam bentuk-bentuk dan hubungan-
hubungan dunia kerja, di mana faktor individu sangat dominan. Hal ini memicu
tuntutan adanya fleksibilitas waktu kerja (Flexibilisierung der Arbeitszeit)
demikian halnya masalah kewajiban atau tanggungjawab pekerja. Dengan kata
lain, muncul hubungan baru antara subjek dan pekerjaan yang mengakhiri tradisi
“rutinitas“ dalam dunia kerja yang selama ini terjadi. Ketiga, perubahan
paradigma terhadap prinsip Arbeit, di mana sebelumnya sering diungkapkan
„Jede Arbeit ist besser als keine“ (setiap pekerjaan lebih baik daripada tidak ada)
menjadi „Arbeit haben könne, wer Arbeit wolle“ (yang bisa mendapat pekerjaan
adalah siapa yang mau bekerja). Ungkapan ini menyiratkan makna, bahwa Arbeit
lebih merupakan hak yang bisa diperoleh atau diabaikan dari pada sebagai
kewajiban. Keempat, perkembangan New Economy di paruh kedua tahun 1990-an.
Dalam era ekonomi baru ini, Arbeit menjadi gaya hidup atau Lifestyle dan lebih
merupakan sarana untuk mengokohkan eksistensi individu dengan cara
7 Lihat: Matties. Arbeit und Arbeitslosigkeit in der deutschsprachigen Literatur seit 1989. Sumber: http://www.germanistik.uni.halle.de, diunduh tgl. 14.03.2013. 8 Leis|tungs|ge|sell|schaft, die: Gesellschaft (1), in der vor allem die persönlichen Leistungen des Einzelnen für dessen soziale Stellung, Ansehen, Erfolg usw. ausschlaggebend sind.© Duden - Deutsches Universalwörterbuch 2001 (Masyarakat, dimana keberhasilan individu atau kelompok tertentu dinilai berdasarkan hasil yang mereka peroleh.)
9
memanfaatkan semua potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh individu.
Konsep ini dikenal dalam konteks Jerman dengan istilah Selbstverwirklichung.9
Dari uraian di atas terlihat bahwa setelah memasuki dekade kedua (2000-
2010) pascareunifikasi, dalam dunia sastra terjadi pergeseran isu khususnya yang
berhubungan dengan tema Arbeit. Pada dekade ini, wacana tentang pengangguran
di timur dan di barat, mentalitas kerja orang timur dan barat yang sering
diungkapkan dengan istilah Ossi (si Timur) dan Wessi (si Barat) sudah tidak
terlalu intens lagi dibicarakan. Wacana yang mencuat dalam dekade ini adalah
terjadinya perubahan struktur dunia kerja (Strukturwandel der Arbeitswelt) yang
membawa dampak pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Jerman.
Hubungan kerja yang normal (Normalarbeitsverhältnisse) seperti yang dikenal
sebelumnya dalam masyarakat industri telah berubah menjadi hubungan kerja
yang tanpa pola atau dikenal dengan istilah atypische Beschäftigungsverhältnisse.
Hubungan kerja semacam ini, ditandai dengan semakin banyaknya jenis pekerjaan
yang bersifat prekär atau labil, misalnya kontrak kerja yang senantiasa harus
diperbaharui. Dalam era ini juga terlihat semakin meleburnya dikotomi antara
waktu kerja (Arbeitszeit) dan waktu tidak bekerja (Freizeit), antara ruang kerja
dan ruang privat, dan yang paling penting adalah orang akan dituntut untuk terus-
menerus belajar sepanjang hidupnya (zur ständigen Weiterbildung atau
Lebenslanges Lernen) dalam rangka mendapatkan pekerjaan-pekerjaan lain
9 Selbst|ver|wirk|li|chung, die (bes. Philos., Psych.): Entfaltung der eigenen Persönlichkeit durch das Realisieren von Möglichkeiten, die in jmdm. selbst angelegt sind. © Duden - Deutsches Universalwörterbuch 2001 (Pengembangan kepribadian dengan memanfaatkan semua kemungkinan dan kemampuan yang dimiliki.)
10
berikutnya. Kondisi semacam ini menurut Seibring (2011) dalam editorialnya,
telah melahirkan penyakit masyarakat yang baru (eine neue Volkskrankheit) dalam
bentuk depresi (Depressionen) yang berakibat pada penurunan waktu kerja
(Fehlzeiten), dan akhirnya terjadi pensiun dini (Frühverrentungen).
Wacana tentang perubahan struktur dunia kerja yang disinyalir mulai
mencuat sejak awal dekade kedua pascareunifikasi seperti uraian di atas, menjadi
sangat relevan untuk dipertanyakan dan diteliti lebih lanjut guna memahami
aktualitalis tema Arbeit dalam masyarakat Jerman melalui karya sastra. Validitas
kajian semacam ini didasarkan pada pemahaman, bahwa karya sastra sebagai
fakta kultural yang lahir dan berkembang dalam sosiohistoris tertentu tidak hanya
dipahami sebagai gejala individual, tetapi juga sebagai gejala sosial (lihat Wellek
dan Warren, 1990; Becker, 2006; Faruk, 2012a). Di antara genre utama karya
sastra, genre prosalah, khususnya roman atau novel dianggap paling dominan
dalam menampilkan unsur-unsur sosial ini. Hal ini didasarkan pada ciri yang
ditampilkan oleh karya sastra semacam ini yang tidak hanya menampilkan unsur-
unsur cerita paling lengkap, memiliki media paling luas, menyajikan masalah-
masalah kemasyarakatan paling kompleks, tetapi juga kecenderungan roman atau
novel menggunakan bahasa sehari-hari yang paling umum digunakan dalam
masyarakat. Untuk itu, dipilih tiga roman Jerman yang lahir dalam rentang dekade
kedua pascareunifikasi. Ketiga roman yang dimaksud adalah: Das Jahr der
Wunder karya Reiner Merkel (2001); wir schlafen nicht karya Katrin Röggla
(2004); dan Mobbing karya Annette Pehnt (2007).
11
Ketiga roman di atas tidak hanya terbit dalam dekade kedua
pascareunifikasi, tetapi juga kekentalan tema Arbeit di dalamnya. Artinya, Arbeit
bukanlah sekedar tema sampingan (Nebenthema), tetapi menjadi tema utama
(Hauptthema). Di samping itu, ketiga roman tersebut dapat dikategorikan sebagai
roman realis10 yang tidak memberikan porsi lebih banyak terhadap imajinasi dan
idealisasi. Realitas yang dimaksud tidak hanya tergambar dari latar, plot ataupun
penokohannya saja, melainkan unsur-unsur realitas ini sudah terbaca sejak proses
penciptaan karya tersebut.
Reiner Merkel (lihat Knott, 2001) dalam sebuah interview
mengungkapkan bahwa tokoh Christian Schlier dalam romannya Das Jahr der
Wunder tidak lepas dari pengalamannya sebagai seorang pekerja di salah satu
Agentur. Annette Pehnt, penulis Mobbing mengungkapkan hal yang tidak jauh
berbeda. Hanya saja Pehnt terinspirasi dari pengalaman suaminya sendiri yang
tercermin dalam diri tokoh Joachim Rühler.11 Bahkan proses penulisan yang lebih
riil ditunjukkan oleh Kathrin Röggla yang terlebih dahulu melakukan semacam
penelitian sosial berupa interview secara intensif dengan orang-orang yang
bekerja dalam bidang Informationstechnologie (IT) dan konsultan perusahaan
(Beratungsfirmen) untuk kemudian diwujudkan dalam keenam figur dalam
romannya wir schlafen nicht.12
10 Dalam sastra Jerman, karya sastra realis ditemukan tersendiri dalam satu babakan kesusastraan yang dikenal dengan Realimus (1850-1890). Kata Realimus sendiri berasal dari bahasa Latin yang dipahami dalam bahasa Jerman sebagai Ding (hal), Sache (perihal) dan Wirklichkeit (kenyataan/realitas). Teks-teks yang ditampilkan patut dipercaya dan menggambarkan kenyataan. 11 Lihat: Mobbing ist psychologische Kriegsführung. Sumber: http://www.spiegel.de/kultur/literatur/autorin-annette-pehnt-mobbing-ist-psychologische-kriegsfuehrung-a-514650-druck.html, diunduh tgl. 27.09.2014. 12 Lihat: Kathrin Röggla: wir schlafen nicht. Sumber: www.veritas.at/vproduct/download/download/sku/OM_12593_21, diunduh tgl. 27.09.2014.
12
Unsur-unsur realitas dalam karya juga tercermin dalam ketiga roman
tersebut. Jerman pascareunifikasi yang secara simultan masuk dalam era New
Economy, di mana sektor jasa (Diensleistungsbereich) menguasai tigaperempat
lapangan kerja yang ada13 terekam dalam ketiga roman ini. Tokoh-tokoh yang
ditampilkannya pun bekerja di sektor ini. Christian Schlier, tokoh utama dalam
roman Das Jahr der Wunder adalah seorang konseptor di Start-Up-Agentur
GFPD. Dalam roman Mobbing, tokoh Joachin Rühler bekerja di pemerintahan
kota (Stadtverwaltung) bagian kebudayaan (kulturelle Angelegenheiten) dan
istrinya adalah seorang penerjemah roman-roman Perancis ke dalam bahasa
Jerman di salah satu percetakan. Demikian halnya keenam tokoh yang tampil
dalam roman Wir schlafen nicht: Silke Mertens (usia 37 tahun, die Key Account
Managerin); Nicole Damaschke (24, die Praktikantin); Andrea Bülow (42,
sebelumnya tv-redakteurin sekarang online-redakteurin); Sven (34, der „nein,
nicht it-supporter); Oliver Hannes Bender (32, der „senior associate“); dan Herr
Gehringer (48, der Partner).
Berdasarkan profil pekerjaan para tokoh yang hadir dalam tiga roman
tersebut, secara sekilas dapat dipahami bahwa mereka memiliki kualifikasi
pendidikan yang relatif tinggi dan hampir dapat dipastikan, bahwa mereka adalah
alumni perguruan tinggi (kecuali Nicole Damaschke yang masih dalam tahap
pendidikan dan sedang melakukan praktek lapangan sebagai Praktikantin dalam
roman wir schlafen nicht). Kondisi ini tentu terlihat kontras dengan kondisi pada
umumnya, di mana yang lebih banyak mengalami masalah dengan pekerjaan
13 Lihat: Dienstleistungen. Sumber: http://www.bmwi.de/DE/Themen/Mittelstand/Mittelstandspolitik/dienstleistungen,did=239886.html, diunduh tgl. 30.09. 2014.
13
adalah mereka yang memilki kualifikasi pendidikan yang relatif rendah. Dari
kenyataan ini mulai memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Apakah pendidikan
yang selama ini diyakini sebagai jaminan dalam menempuh kehidupan dunia kerja
sudah tergoyahkan? atau apakah jenis pekerjaan untuk mereka yang berkualifikasi
tinggi sangat terbatas dan mereka tidak rela bekerja di luar kualifikasinya?
Dari segi isi cerita, roman Mobbing menampilkan tokoh Joachim Rühler
yang harus merasakan bagaimana pedihnya menjadi pengangguran yang tersisih
dan terbuang dari kehidupan. Namun di sisi lain, dua roman lainnya (baca: Das
Jahr der Wunder dan wir schlafen nicht) menampilkan tokoh-tokohnya yang
sukses dalam karier, tetapi mereka sesungguhnya merasa terpenjara dalam
pekerjaannya. Mereka dituntut tidak hanya bekerja yang banyak, tetapi mereka
diharuskan bekerja ekstra banyak. Gambaran ini sudah terlihat dari judul roman
wir schlafen nicht yang artinya “kami tidak tidur“. Bahkan tokoh protagonis
roman Das Jahr der Wunder tak pernah sekalipun menikmati matahari terbit
(Sonnenaufgang) di pagi hari karena kelelahan bekerja sepanjang malam.
Melihat kenyataan yang tergambar dalam ketiga roman ini, mengingatkan
peneliti terhadap konsep awal Arbeit yang identik dengan perbudakan (lihat:
subbab 2.1 Dinamika Pemaknaan Arbeit sebagai sebuah Konsepsi). Apakah
konsep semacam ini kembali lahir dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda
dan akhirnya semakin mengokohkan pertarungan antara kelas seperti dalam
kacamata Marxisme? atau mungkin saja kelahiran teknologi menjadi penyebab
semua ini dan semakin menguatkan kecaman Herbert Marcuse (lihat: subbab 1.5.2
Arbeit dan Lahirnya Masyarakat Satu Dimensi) terhadap teknologi yang
14
sesungguhnya telah membantu memperbudak dan menindas individualitas
sehingga tercipta masyarakat berdimensi satu yang kehilangan daya kritisnya.
Dari sejumlah kontradiksi yang melahirkan serangkaian pertanyaan seperti
terurai di atas, semakin mengokohkan bahwa kajian tentang tema Arbeit dalam
tiga roman yang lahir dalam dekade kedua pascareunifikasi ini, tidak hanya
semakin menarik untuk diteliti lebih lanjut, tetapi juga menjanjikan sebuah hasil
kajian yang lebih komprehensif mengingat keunikan karya sastra yang tidak
hanya memotret kehidupan figur-figur yang ditampilkannya, tetapi juga
memberikan ruang seluas mungkin bagi mereka (baca: tokoh-tokoh) untuk
mengungkap dan berbicara mengenai diri dan lingkungannya, sehingga
pemahaman yang diperoleh tidak hanya sampai pada tataran luar semata, tetapi
jauh ke dalam diri individu sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat.
Untuk itu mempertanyakan Arbeit -yang notabene sudah merupakan suatu
konsepsi yang mapan dalam sebuah negara modern seperti halnya Jerman-
melalui karya sastra, tidak hanya layak tetapi juga penting untuk dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas dapat dipahami, bahwa
pascareunifikasi yang simultan dengan kehadiran era New Economy telah
membawa Jerman memasuki babak baru khususnya dalam bidang ekonomi (baca:
Arbeit). Sektor manufaktur yang sebelumnya menguasai pasar kerja di Jerman
telah digeser oleh sektor pelayanan (Dienstsleistungsbereiche). Pemanfaatan
teknologi mutakhir dan daya inovasi menjadi kunci keberhasilan. Hal ini
membawa dampak terhadap terjadinya perubahan struktur dunia kerja
15
(Strukturwandel der Arbeitswelt) di Jerman. Dalam era ini, Arbeit telah menjelma
menjadi „jimat“ (Fetisch) dalam masyarakat (Merkel dalam Ebbinghaus, 2001).
Setiap individu –bahkan yang memiliki kualifikasi pendidikan tinggi sekalipun-
tidak lepas dengan masalah Arbeit. Di satu sisi, mereka yang kehilangan Arbeit
akan merasa terbuang dan tersingkirkan, sementara di sisi lain, mereka yang
bekerja akan terpenjara dalam pekerjaannya. Kenyataan dan dilema inilah yang
tertangkap dalam ketiga roman yang menjadi korpus penelitian. Dengan
demikian, konsepsi Arbeit yang telah dianggap mapan dalam sebuah negara
modern seperti halnya Jerman ternyata masih harus terus dipertanyakan. Lantas
apa sesungguhnya yang ditawarkan oleh ketiga roman tersebut sebagai respon
terhadap kondisi masyarakat yang telah melahirkannya itu, baik berupa negasi,
inovasi ataupun afirmasi sebagai bentuk hubungan hakiki antara karya sastra
dengan masyarakatnya. Respon yang tertuang dalam ketiga roman tersebut tentu
menjadi sarana utama dalam memahami kondisi kekinian dunia kerja dan
ideologi pengarang sebagai kreator penting dan wakil dari kelompoknya yang
mampu mengkombinasikan antara fakta-fakta dalam masyarakat dengan ciri-ciri
fiksional sebuah karya sastra.
Untuk sampai pada uraian jawaban permasalahan di atas, maka
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang hendak dijawab melalui penelusuran lebih
lanjut terhadap korpus penelitian adalah:
1. Bagaimana pemahaman konsepsi Arbeit sebagai tema-budaya yang
tertuang dalam ketiga roman tersebut?
16
2. Aspek-aspek apa saja yang dominan mendapatkan kritikan dari masing-
masing pengarang terkait dengan konsepsi Arbeit dalam ketiga roman
tersebut?
3. Apa dan di mana posisi ideologis para pengarang dalam menanggapi
situasi dunia kerja pada dekade kedua pascareunifikasi dan mengapa
posisi ideologi tersebut yang dipilih?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Jawaban atas pertanyaan penelitian di atas akan bermuara pada pencapaian
tujuan penelitian yang secara umum akan memberikan pemahaman yang lebih
komprehensif tentang respon karya sastra terhadap situasi dunia kerja atau
Arbeitswelt di Jerman khususnya dalam dekade kedua pascareunifikasi. Tujuan
lain dari penelitian ini adalah untuk memetakan posisi ideologis masing-masing
pengarang dalam menyikapi dinamika dan proses perkembangan konsepsi Arbeit
pascareunifikasi di Jerman.
Adapun manfaat teoritis yang bisa diperoleh dari hasil penelitian ini adalah
pengembangan kajian-kajian kesastraan yang memanfaatkan pendekatan
sosiologi sastra guna memahami secara lebih utuh eksistensi manusia baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok sosial yang berkaitan dengan tema Arbeit
pada khususnya dan tema-budaya lain pada umumnya.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan ataupun
bandingan dalam menyikapi masalah dunia ketenagakerjaan di tanah air yang
tidak hanya berfokus pada aspek pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan
angka-angka statistik, namun mengabaikan aspek-aspek humanis dan
17
mengorbankan sebagian besar manusia sebagai pelaku ekonomi, baik secara fisik
maupun psikis. Dalam konteks bilateral Jerman-Indonesia, hasil penelitian ini
diharapkan menjadi pembuka dialog antarbudaya guna melahirkan kehidupan
yang lebih toleran di era global dewasa ini.
1.4 Tinjauan Pustaka
Tema Arbeit merupakan salah satu tema yang memiliki tradisi panjang
dalam kesusastraan Jerman. Bahkan sejak abad pertengahan (Mittelalter) tema
Arbeit telah menjadi topos dalam dunia sastra Jerman seperti yang diuraikan oleh
Gentry (1978) dalam tulisannya Arbeit in der mittelalterlichen Gesellschaft. Die
Entwicklung einer Theorie der Arbeit vom 11. bis zum 14. Jahrhundert. Dalam
berbagai periode kesusastraan Jerman baik pada periode Weimar Klasik,
Realismus dan Natularismus, tema Arbeit ini memiliki bentuk dan pola tersendiri
(Fetscher, 2008; Berghahn/Müller, 1979). Demikian halnya dengan kesusastraan
Jerman pada abad ke 20 telah menjadikan Arbeit sebagai salah satu tema dalam
berbagai genre sastra. Kehadiran karya Ernst Jünger Der Arbeiter, Herrschaft und
Gestalt pada tahun 1932 menurut Eggerstorfer (1988) –dalam bukunya
Schönheit und Adel der Arbeit: Arbeitsliteratur im Dritten Reich- menjadi titik
awal munculnya tema Arbeit dalam era Nationalsozialismus atau NAZI yang
menggambarkan Arbeit sebagai kekuatan dasar pembebasan atau eine elementare,
befreiende Kraft.
Akibat perang dunia kedua (1939-1945), Jerman harus terbagi menjadi dua
negara yakni Deutsche Demokratische Republik (DDR) yang dikenal dengan
Jerman Timur dan Bundesrepublik Deutschland (BRD) atau Jerman Barat dari
18
tahun 1945 sampai tahun 1990. Di kedua negara pecahan ini, tema Arbeit tetap
menjadi topos dalam nuansa yang berbeda. Di wilayah Jerman Timur, tema Arbeit
senantiasa mewarnai karya-karya sastra yang hadir hingga penyatuan Jerman
kembali atau Wiedervereinigung sejak tahun 1990. Situasi yang berbeda terjadi di
Jerman Barat, Arbeit tidak lagi menjadi tema sentral dalam dunia sastra kira-kira
sejak akhir tahun 1970-an seperti uraian Nowak (1977) dalam tulisannya Arbeiter
und Arbeit in der westdeutschen Literatur 1945-1961. Namun dalam tahun 1990-
an atau dalam era Jerman bersatu tema Arbeit kembali mencuat dan menjadi
wacana sentral dalam kehidupan masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat seperti uraian di atas, sejak
pertengahan tahun 1990-an ditemukan banyak karya sastra di Jerman yang
mengangkat tema Arbeit dan tidak sekedar menjadi kategori “akibat”
(Residualkategorie), melainkan menjadi topos utama. Di wilayah Jerman Timur
ditemukan penulis-penulis kritis yang mengangkat tema Arbeit dalam karya-
karyanya, di antaranya Angela Krauß yang menulis roman Sommer auf dem Eis
pada tahun 1998, Christoph Hein (2000) dengan romannya Willenbrock, Volker
Braun (2008) dengan roman Machwerk oder Das Schichtbuch des Flick von
Lauchhammer. Di samping itu, Hein dan Braun banyak mementaskan karya-
karya drama bertema Arbeit dalam satu dekade terakhir. Juga ada beberapa
penulis yang telah meninggalkan Jerman Timur sejak tahun 1980-an seperti Katja
Lauge-Müller (2000) yang menulis roman Die Letzten atau Monika Maron (2002)
dengan roman Endmoränen.
19
Dalam bentuk pamplet juga ditemukan ulasan-ulasan yang mengangkat
tema Arbeit seperti dalam pamplet Bert Papenfuß-Gorek (2001) Haarbogensturz.
Versuche über Staat und Welt. Pada tahun 2004, Papenfuß-Gorek juga telah
menerbitkan antologi puisi berjudul Rumbalotte. Dalam hubungannya dengan era
New Economy dan situasi dunia kerja di Jerman pada dekade kedua
pascareunifikasi, di samping ketiga roman yang menjadi korpus dalam penelitian
disertasi ini -Das Jahr der Wunder (Merkel, 2001), Wir schlafen nicht (Röggla,
2004), dan Mobbing (Pehnt, 2007)- juga ditemukan dalam roman Wenn wir
sterben karya Ernst-Wilhelm Händler (2002). Dalam roman Rolf Dobelli (2004)
Und was machen Sie beruflich? juga mengangkat tema Arbeit dengan
menggambarkan seorang figur protagonis yang mencoba memberi arti dari
kehidupannya di luar dunia kerja. Hal yang sama juga ditemukan dalam roman
Herr Jansen steigt aus karya Jakob Hein yang terbit pada tahun 2006.
Dari paparan beberapa roman yang mengangkat tema Arbeit terlihat
adanya kesatuan pandangan bahwa tokoh-tokoh protagonis yang ditampilkan
sepertinya tidak memiliki „kehidupan“ selain di dunia kerja dan jika ditelusuri
lebih jauh terlihat ada dua tendensi kuat yang mewarnai karya-karya sastra
modern Jerman yang mengangkat tema Arbeit. Pertama adalah kritik terhadap
dunia kerja yang masih belum memberikan solusi. Kehadiran karya-karya sastra
trivial di tahun 1990-an yang mengusung ideologi Selbstverwirklichung dalam
dunia kerja mendapat kritikan dari karya-karya sastra murni dengan menampilkan
fakta-fakta sederhana yang memberikan pencerahan tentang „kekosongan“
ideologi ini. Namun demikian bukan berarti bahwa kedua konsep ini
20
dipertentangkan satu sama lain. Tendensi kedua adalah kritikan karya-karya sastra
Jerman terhadap dunia kerja dituangkan secara estetis dengan lebih
mengedepankan karakter dokumentasi dibandingkan dengan analitis.
Kehadiran tema Arbeit dalam kesusastraan Jerman, juga terlihat semakin
intens dibahas dalam berbagai forum-forum akademik14 atau dituangkan dalam
bentuk tulisan, baik berupa buku maupun jurnal-jurnal institusional dengan
dimensi yang lebih luas. Hubungan antara ekonomi dan sastra yang mendapat
perhatian semakin intens dalam beberapa tahun terakhir ini terlihat misalnya
dalam buku: Kopf oder Zahl. Die Poesie des Geldes (Hörisch,1996); Kalkül und
Leidenschaft. Poetik des ökonomischen Menschen (Volg, 2002);
Tauschverhältnisse: Zur Ökonomie des Literarischen und zum Ökonomischen in
der Literatur von Gellert bis Goethe (Wegmann, 2002). Pada tahun 2007 juga
telah diterbitkan sebuah bunga rampai Arbeit-Kultur-Identität. Zur
Transformation von Arbeitschlandschaften in der Literatur oleh Kift dan Palm.
Bunga rampai ini membahas bagaimana peran sastra dalam menyikapi perubahan
drastis dunia kerja di Jerman. Di tahun 2008 setidaknya ada dua bunga rampai
yang diterbitkan yakni: Ökonomien der Armut. Soziale Verhältnisse in der
Literatur oleh Brüns yang mengupas berbagai perspektif kemiskinan di Jerman
dalam tinjauan historis dan Gedächtnis und Identität. Die deutsche Literatur nach
der Vereinigung oleh Cambi yang menyoroti masalah identitas dalam karya sastra
14 Pada Januari 2006 di Berliner Literaturhaus. Seminar. Tema: Literarische Kritik der ökonomischen Kultur. Zur Rückkehr der Arbeitswelt in die Literatur (Kritik sastra dalam budaya ekonomi. Mengembalikan dunia kerja ke dalam sastra). 15 April sampai 15 Juli 2007 di Universität Hamburg. Vortragsreihe (Serangkaian Diskusi). Tema: Denn wovon lebt der Mensch? Literatur und Wirtschaft: Eine Bestandaufnahme. (Karena dari mana manusia hidup? Sastra dan Ekonomi: Sebuah Pencatatan). Di Universität Salzburg. Semester Musim Dingin 2010. Vortragsreihe. Tema: Literatur und Ökonomie.
21
Jerman setelah penyatuan kembali. Salah seorang kritikus sastra Jerman, Viviana
Chilese dalam bunga rampai ini menyoroti secara spesifik kehidupan dunia kerja
dalam nuansa kesusastraan Jerman masa kini dengan judul tulisan Menschen im
Büro: Zur Arbeitswelt in der deutschen Gegenwartsliteratur. Hempel dan Künzel
(2009) juga mengeluarkan bunga rampai yang berusaha mengulas kilas-balik
ekonomi Jerman dengan judul Denn wovon lebt der Mensch? Literatur und
Wirtschaft. Salah satu tulisan yang ditampilkan dalam bunga rampai ini adalah
ulasan dari Peter von Matt Der Chef in der Krise. Zur Inszenierung des
Unternehmers in der Literatur yang menyoroti hubungan antara pekerja dan
perusahaan yang tergambar dalam beberapa karya sastra pilihan.
Kajian terhadap karya sastra dengan melihat keterkaitannya dengan
perkembangan dunia kerja dewasa ini juga telah dipaparkan oleh Heimburger
(2010) dalam bukunya Kapitalistischer Geist und literarische Kritik.
Arbeitswelten in deutschsprachigen Gegenwartstexten. Dalam bukunya ini,
Heimburger menguraikan tentang respon karya sastra (roman dan drama) terhadap
lahirnya sistem produksi Fordisme dan Postfordisme. Kedua sistem ini ternyata
mendapat kritikan keras dalam dunia sastra dengan melihat kedua sistem ini yang
ternyata tidak menempatkan kaum pekerja dalam posisi yang sepatutnya.
Dari uraian kajian pustaka ini terlihat bahwa tema Arbeit dalam karya
sastra Jerman bukan merupakan hal baru dalam dunia sastra Jerman. Bahkan
interes terhadap bidang ekonomi dewasa ini semakin kuat, terlihat dari semakin
banyaknya karya sastra modern bertema ekonomi (baca: Arbeit). Hal ini
sesungguhnya semakin menunjukkan pentingnya penelitian yang lebih intensif
22
guna melihat keterkaitan antara sastra dan bidang ekonomi. Di samping itu,
kekayaan hasil penelitian sebelumnya dapat memberikan landasan kuat untuk
meneliti beberapa aspek yang mungkin belum tersentuh sebelumnya dalam
perspektif yang berbeda seperti hasil penelitian Susanne Heimburger (2010) yang
menyoroti dua objek materil yang sama dalam penelitian ini (Das Jahr der
Wunder karya Reiner Merkel dan wir schlafen nicht karya Kathrin Röggla).
Heimburger dalam kajiannya lebih banyak menyoroti aspek formal berupa
penokohan dan kajian kebahasaan dalam kedua roman tersebut. Namun dalam
penelitian ini diberikan penekanan berbeda dengan memfokuskan kajian tematik
terhadap konsepsi Arbeit khususnya dalam dekade kedua pascareunifikasi dengan
memanfaatkan tiga roman dengan karakter dan sudut pandang beragam di bawah
payung sosiologi sastra.
1.5 Landasan Teori
Berdasarkan uraian sebelumnya pada bagian latar belakang masalah,
secara eksplisit terlihat adanya upaya pemanfaatan karya sastra guna memahami
konsepsi Arbeit sebagai salah satu tema-budaya dalam masyarakat Jerman dan
mengkaji kritikan dan ideologi yang diusung oleh ketiga pengarang dalam
menyikapi perubahan struktur dunia kerja pada dekade kedua pascareunifikasi.
Hal ini mengisyaratkan bahwa karya sastra dipandang sebagai bagian integral dari
sistem sosial. Karya sastra dipahami sebagai produk dari sebuah jalinan antara
bahasa dan masyarakat yang berkembang dalam kondisi politik dan ekonomi
tertentu. Dengan demikian perkembangan kehidupan sosialbudaya dan
sosialpolitik dalam suatu masyarakat diyakini telah ikut mewarnai isi dan nilai-
23
nilai estetik suatu karya sastra. Karya sastra sebagai hasil kerja manusia yang
dilahirkan dalam kerangka sosiohistoris tertentu akhirnya juga harus dipahami
dalam kerangka yang sama. Pengalaman penulis sebagai subjek kreator yang
tertuang dalam karya sastra dengan demikian tidak dipandang sebagai pengalaman
otonom yang bersifat individual, melainkan cerminan dari hasil interaksi sosial
seorang penulis (die gesellschaftliche Erfahrung des Autors). Dasar pemahaman
ini memberikan konsekuensi terhadap status karya sastra yang tidak lagi
dipandang sebagai suatu produk yang otonom, melainkan sebagai ekspresi atau
perwujudan masyarakat baik secara kultural maupun sosial. Karya sastra secara
implisit merupakan referensi dari kenyataan di luar teks atau realitas sosial (lihat
Becker, 2006: 238-241). Pemahaman semacam ini merupakan dasar pijakan yang
melahirkan pendekatan sosiologi dalam bidang sastra yang dikenal dalam tradisi
kritik sastra Jerman dengan istilah Sozialgeschichte der Literatur.
Sebagai kajian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra, penelitian
disertasi ini menggunakan beberapa konsepsi di luar bidang sastra yang berkenaan
dengan variabel-variabel penelitian. Untuk itu pada bagian landasan teori ini akan
diuraikan terlebih dahulu konsepsi Arbeit sebagai tema-budaya dalam sastra untuk
kemudian masuk ke uraian tentang Arbeit sebagai sebuah konsepsi.
1.5.1 Arbeit sebagai Tema-Budaya dalam Sastra
Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini telah mengantar manusia masuk dalam era globalisasi.
Dalam era ini, kontak antar manusia dari berbagai latar budaya berbeda tidak
24
terhindarkan. Rela atau tidak rela, baik karena alasan pekerjaan ataupun alasan
pribadi, akan semakin banyak manusia hidup dalam lingkungan budaya yang
asing baginya (in fremden Kulturen). Hal ini juga diperkuat dari hasil pengalaman
sejarah manusia yang menunjukkan bahwa tak satu pun kebudayaan mampu
bertahan dalam isolasi budayanya dan tak satu pun negara di dunia ini memiliki
etnis homogen. Untuk itu Wierlacher dan Albrecht (1995) menyebut juga era ini
sebagai Epoche der Internaliesierung atau babak internalisasi:
“Wir leben in einer Epoche der Internalisierung unserer geistigen, wirtschaftlichen, politischen, wissenschaftlichen und persönlichen Kontakte. Sehr viele Menschen werden in Zukunft freiwillig oder unfreiwillig einer Berufstätigkeit innerhalb einer für sie fremden Kultur nachgehen und täglich mit Ausländern interagieren und kooperieren müssen.“ Wierlacher dan Albrecht (1995: 9).
Kita hidup dalam babak internalisasi hubungan, baik yang bersifat mental, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, maupun hubungan yang bersifat pribadi. Di masa-masa mendatang, rela atau tidak akan semakin banyak orang yang hidup dalam budaya asing dan setiap hari harus bekerja sama dengan orang asing.
Kontak antarmanusia dari latar budaya berbeda tentu akan melahirkan
berbagai macam kemungkinan. Secara sederhana dapat terlihat adanya
kemungkinan-kemungkinan yang bersifat oposisional misalnya, keberterimaan
atau penolakan, kedamaian atau konflik dan berbagai kemungkinan-kemungkinan
lainnya.
Dalam konteks Jerman, baik secara teritorial maupun kultural, kondisi
semacam ini telah menjadi perhatian dalam berbagai kajian keilmuan sejak
beberapa dekade terakhir. Salah satu bidang ilmu yang berhubungan langsung
dengan masalah kontak budaya ini adalah Germanistik yang fokus kajiannya pada
bahasa dan sastra Jerman. Untuk itu dalam pengembangan kajian keilmuannya,
25
Germanistik tidak lagi hanya memfokuskan diri pada Germanistik an sich, tetapi
melibatkan kajian-kajian yang bersifat lintas budaya yang dikenal sebagai
Interkulturelle Germanistik.
Budaya sebagai objek kajian interkulturelle Germanistik tentu memiliki
kompleksitas yang tinggi. Untuk mengurai kompleksitas ini dan merangsang
munculnya pola pemikiran perbandingan budaya, interkulturelle Germanistik
memanfaatkan konsep tematologi atau thematics yang sudah lama dikenal di
wilayah-wilayah berbahasa Perancis dan Inggris seperti yang ditawarkan oleh
Hudson-Wiedenmann (2003) dalam tulisannya Kulturthematische
Literaturwissenschaft (tema-budaya dalam kajian ilmu sastra). Tema-tema yang
layak untuk dikaji menurut Hudson-Wiedenmann adalah tema-tema yang bisa
ditransfer. Artinya tema-tema tersebut juga ditemukan di budaya-budaya lain.
Untuk menemukan tema-tema pilihan yang tepat, Hudson-Wiedenmann mengutip
teori Themes of Culture atau Kulturthemen (Jer.) yang diterjemahkan dalam
penelitian disertasi ini sebagai tema-budaya yang dikembangkan oleh seorang
sosioantropolog asal Amerika pada pertengahan tahun 1940 bernama Morris E.
Opler. Menurut Opler (1969: 609-611), tema-budaya adalah tema-tema yang hadir
dalam semua budaya dan merupakan suatu sikap mental yang secara dinamis, baik
secara eksplisit maupun implisit, mempengaruhi aktivitas yang terimplementasi
dalam bentuk tindakan dan keyakinan baik berupa tingkah-laku, larangan-
larangan, anjuran-anjuran, dan semacamnya. Tema-budaya-tema-budaya ini
menurut Opler muncul di setiap budaya dan nantinya akan saling melengkapi,
bahkan membentuk suatu sistem hubungan antartema. Lebih lanjut Opler
26
menjelaskan bahwa tema-budaya merupakan bentuk-bentuk kompleks dari suatu
budaya dalam suatu rentang waktu. Dengan demikian, suatu tema-budaya
merepresentasikan prinsip-prinsip dasar atau tendensi hakiki suatu budaya.
Kehadiran tema-budaya itu sendiri menurut Opler dapat teridentifikasi
melalui intensitas kemunculannya dalam praktik kehidupan dan tema-tema ini
juga tidak muncul secara singular, melainkan hadir dalam hubungannya dengan
sub-sub tema ataupun tema-tema yang berlawanan (Gegenthemen). Dengan
demikian, pembacaan secara interrelation and balance of themes lanjut Opler
menjadi sangat penting, karena hanya dengan penelusuran hubungan antartema
dan lawan tema akan mampu mengungkap prinsip-prinsip hakiki suatu budaya.
Pertanyaan selanjutnya adalah tema-tema apa saja yang dapat
dikategorikan sebagai tema-budaya seperti uraian Opler di atas. Bagaimana
halnya dengan tema Arbeit. Jawaban atas pertanyaan ini diuraikan secara
gamblang oleh Wierlacher dalam Handbuch Interkulturelle Germanistik:
“Besonders geeignet für eine interkulturelle Germanistik sind jene Kulturthemen, die in den öffentlichen Diskursen zugleich auf universelle Probleme verweisen, in der interkulturellen Fremderfahrung konstitutive Bedeutung haben und weltweit Anknüpfungsmöglichkeiten bieten. Zu solchen Themen gehören heute kulturantropologische Problemfelder wie das Verhältnis von Eigenem und Fremdem, der Lebensunterhalt, die Toleranz, die Arbeit, das Wohnen, das Essen oder die Gesundheit und die Religion. Solch transdisziplinäre und interdisziplinäre Kulturthemenforschung ist zugleich eine Bedingungsforschung interkulturelle Kommunikation“ (Wierlacher, 2003: 14).
Tema-tema budaya sangat relevan dalam kajian Germanistik interkultural, karena tema-tema ini mampu menyajikan keuniversalan masalah, memberikan pengalaman yang lebih menyeluruh dan mampu menawarkan jaringan yang lebih luas. Tema-tema dalam bidang antropologi budaya seperti hubungan antara the self dan the other, pemenuhan kebutuhan hidup, toleransi, kerja, tempat tinggal, makanan atau kesehatan, dan agama
27
masuk dalam kategori tema-budaya. Kajian tema-budaya yang bersifat transdisiplin dan interdisiplin juga merupakan dasar dalam kajian komunikasi antarbudaya.
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tema-budaya menjadi sangat
penting karena mampu menunjukkan universalitas suatu masalah dengan nilai-
nilai fundamentalnya. Di samping itu, tema-budaya juga memiliki daya jaring
yang luas (weltweit Anknüpfungsmöglichkeit), karena hadir di setiap bentuk
kebudayaan. Wierlacher kemudian menyebutkan beberapa tema yang
dikategorikannya sebagai tema-budaya, yakni Toleranz (toleransi), Arbeit (kerja),
Wohnen (tempat tinggal), Essen (makanan), Gesundheit (kesehatan), dan Religion
(agama).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa tema Arbeit merupakan
salah satu contoh tema-budaya dan olehnya itu Arbeit diharapkan menjadi pintu
masuk untuk memahami pola pikir, perasaan, keinginan dan akhirnya menuju
kepada pemahaman mentalitas yang spesifik dari suatu kebudayaan atau suatu
babakan kebudayaan dalam hal ini Jerman sebagai budaya tujuan (Zielkultur).
Sebagai tema-budaya, Arbeit juga merupakan salah satu tema penting
dalam dunia sastra Jerman (lihat Daemrich, 1995).15 Tema sebagai fondasi dalam
penciptaan karya sastra atau Grundbausteine literarischer Werke tidak hanya
memperkuat struktur suatu teks, tetapi juga memberikan sinyal kuat terhadap
orientasi dalam proses pembacaan menuju kepada pemahaman suatu teks. Tema
dalam teks memiliki fungsi imperatif yang menghadirkan asosiasi-asosiasi yang
menuntun pembaca untuk lebih dekat terhadap pemaknaan suatu teks dan menguji 15 Pembahasan tentang tema Arbeit dalam sastra Jerman juga tergambar pada bagian tinjauan pustaka dalam disertasi ini.
28
gambaran-gambaran analogi pembaca. Jadi sebuah tema menghadirkan ruang
dialog antara pembaca dan teks. Dengan cara kerja yang demikian, tema akan
memperluas dan mempertajam daya tangkap seorang pembaca.
Dalam studi sastra komparatif, para pakar baik di Jerman, Inggris, Perancis
maupun Amerika Serikat pada umumnya sepakat bahwa ide utama suatu karya
mengakar kuat dalam tema: [...], daß im Thema die zentrale Idee eines Werkes
verankert ist. (Daemmrich, 1995: xxii) dan ide utama ini bisa ditemukan baik
melalui pengungkapan secara konseptual dalam teks maupun tergambar melalui
perkembangan karakter figur dalam cerita, seperti yang dikemukakan oleh Levin
dan Schulze dalam Daemmrich (ibid): [...], daß diese Grundgedanke entweder im
Text begrifflich angesprochen wird oder aus der Figurenentwicklung abzulesen
ist. (bahwa ide utama bisa ditemukan baik secara konseptual di dalam teks,
maupun melalui perkembangan karakter figur).
Lebih rinci Daemrich (1995) memaparkan bahwa tema dalam karya sastra
sesungguhnya menyajikan sebuah karakter dasar manusiawi, memberikan
pemahaman tentang hakekat keberadaan sesuatu, menyatukan antara perasaan,
kesadaran dan kebutuhan. Tema juga mengaktualisasikan harapan dan juga
kecemasan, serta mempertegas gambaran fantasi manusiawi yang kembali
muncul. Jadi tema merupakan sumber informasi tentang pola pikir kolektif yang
menautkan antara kehidupan aktual dan apa yang telah terbentuk dalam sebuah
tradisi. Dengan demikian sifat sebuah tema akan selalu dinamis, karena dia
29
merupakan bagian integral dari proses perubahan yang terus-menerus terjadi.16
Dengan dasar ini dapat dipahami bahwa dengan tema tertentu, sebuah karya sastra
dapat dilahirkan oleh seorang pengarang, bahkan dari intensitas kehadirannya,
tema pun mampu membentuk tradisi tersendiri yang melahirkan babakan baru
dalam periodesasi sastra.
1.5.2 Arbeit dan Lahirnya Masyarakat Satu Dimensi
Kehadiran Arbeit sebagai tema-budaya dalam karya sastra seperti
diuraikan di atas semakin menegaskan pentingnya tema ini dalam kehidupan
masyarakat manusia. Dengan demikian tidaklah mengherankan, jika dalam kajian
sosiologi baik klasik maupun modern menempatkan Arbeit sebagai bagian
integral pembentukan teori dalam rangka memahami secara lebih akurat hakikat
masyarakat manusia. Pemahaman ini terlihat jelas dalam kerangka teoritis
pemikiran marxisme.
Kehadiran Arbeit memang tidak bisa dipisahkan dari konsep besar Karl
Marx (1818-1883). Marx secara jelas memulai analisis-analisisnya tentang
masyarakat dengan menguraikan bagaimana hubungan hakiki antara manusia
dengan Arbeit. Arbeit dalam pandangan Marx adalah sesuatu yang bersifat
esensial spesies dan potensi manusia. Arbeit dan manusia adalah dua hal yang
sangat terkait, karena esensi keberadaan manusia terletak pada Arbeit.
16Außerdem erfassen sie prinzipiell menschliche Verhaltensweise. Sie vermitteln Grunderfahrungen des Daseins, erschließen die Zusammenhänge zwischen Empfindungen, Bewußtsein und Bedürfnissen; sie vergegenwärtigen sowohl die Hoffnungen wie auch Angstvorstellungen und beleuchten wiederkehrende menschliche Phantasiegebilde. [...]. Sie geben Auskunft über kollektive Denkformen und Zusammenhänge, die sowohl im Leben gegeben sind als auch in der Tradition gestaltet wurden. Sie sind dynamisch, denn sie haben teil am Vorgang ständiger Neugestaltung. (Daemrich, 1995: xii).
30
Kemampuan manusia berinteraksi dengan alam kemudian mengubahnya sesuai
dengan kebutuhannya merupakan wujud dari proses mengubah hakikat dari diri
manusia itu sendiri. Hal ini dapat terjadi karena proses kerja dalam diri manusia
menurut Marx bergerak dari alam imajinasinya untuk kemudian diwujudkan
dalam bentuk materi dengan tujuan-tujuan tertentu (Ritzer, 2012: 84). Dari
pandangan Marx ini terlihat dengan jelas bahwa proses kerja dalam diri manusia
tercipta melalui apa yang disebut dengan objektivasi pemikiran-pemikiran bagian
dalam ke objek-objek luar. Kerja yang demikian ini adalah kerja material yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Jadi Arbeit atau kerja dalam
pemikiran Marx tidak sekedar mentransformasi aspek-aspek material alam, tetapi
sekaligus mentransformasi diri kita, termasuk kebutuhan-kebutuhan kita,
kesadaran kita, dan hakikat diri kita sebagai manusia. Perlu dipahami bahwa
konsepsi Arbeit yang dimaksud oleh Marx tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan
ekonomi semata, namun menyangkut seluruh tindakan produktif yang mengubah
aspek material alam sesuai dengan maksud manusia, karena apapun yang
dilakukan melalui kegiatan yang memiliki maksud termasuk kegiatan dalam
bidang seni, itu sesungguhnya merupakan ungkapan hakikat kemanusiaan kita dan
juga transformasi terhadapnya.
Eksistensi Arbeit sesungguhnya merupakan reaksi atau tanggapan terhadap
suatu kebutuhan, dan transformasi yang dihasilkan oleh Arbeit juga
mentransformasi kebutuhan-kebutuhan kita. Kepuasan terhadap kebutuhan-
kebutuhan kita dapat menyebabkan terciptanya kebutuhan-kebutuhan baru (Ritzer,
2012: 86). Semua rangkaian kerja ini tidaklah bersifat individual semata,
31
melainkan senantiasa melibatkan orang lain, sehingga Arbeit dipahami sebagai
suatu kegiatan sosial. Dengan demikian Arbeit tidak hanya mentransformasi
manusia individu, tetapi juga mentransformasi masyarakat. Transformasi dari
kebutuhan-kebutuhan melalui Arbeit inilah yang menjadi mesin sejarah manusia
yang akan terus berlangsung. Pemahaman inilah yang kemudian menjadikan
konsepsi Marx tentang sejarah manusia dikenal dengan istilah historical
materialism atau historische Materialismus (materialisme historis).
Hubungan Arbeit dan hakikat manusia seperti diutarakan di atas, dalam
perkembangan selanjutnya –masyarakat industri- menurut Marx telah disesatkan
oleh kapitalisme. Dalam masyarakat kapitalis, Arbeit atau kerja tidak lagi sebagai
pengungkapan suatu maksud dan tidak ada lagi objektivasi di dalamnya. Yang
ditemukan kemudian adalah kita bekerja sesuai dengan maksud pemilik modal
yang menggaji kita dan bukan sesuai dengan maksud kita sebagai manusia yang
bebas. Kerja dalam masyarakat kapitalis menjadi alat bagi suatu tujuan yaitu
memperoleh “uang”. (Ritzer, 2012: 87). Kerja akhirnya bukan milik kita sendiri,
kerja tidak lagi mengubah kita. Kita teralienasi atau terasing dari kerja kita yang
artinya kita teralienasi dari hakikat kemanusiaan kita.
Konsep alienasi ini menurut Marx merupakan efek yang diproduksi oleh
kapitalis yang menghancurkan manusia dan masyarakat. Lahirnya struktur
masyarakat dengan dua kelas yakni kelas pekerja atau proletar dan kelas pemilik
modal atau borjuis, membuat kelas pekerja -yang tidak memiliki alat produksi dan
juga tidak memiliki hak untuk setiap produk akhir- terpaksa harus menjual waktu
kerja mereka kepada kaum kapitalis. Pembagian kerja inilah yang menjadi dasar
32
lahirnya alienasi bagi para pekerja, baik terhadap kegiatan produktifnya, terhadap
produk yang dihasilkannya, terhadap rekan kerjanya, maupun terhadap potensi
manusiawinya. Kondisi semacam ini menurut Marx hanya bisa diakhiri melalui
perubahan sosial (Ritzer, 2012: 87-92).
Dalam proses perubahan sosial inilah Marx melihat bahwa masyarakat
tidak pernah lepas dari pertarungan untuk memperebutkan sumber-sumber
ekonomi yang ada di lingkungan sekitar mereka. Masyarakat menjadi medan
pertarungan kepentingan ekonomi (lihat Faruk, 2012a: 25-28; 2012b:157-159).
Dari sinilah kemudian Marx melihat bahwa ekonomi atau materi merupakan
landasan terhadap tindakan manusia. Pandangan ini dikemukakan Marx dengan
menggambarkan hadirnya dua struktur yang saling terkait. Struktur pertama
adalah infrastruktur atau struktur dasar berupa material menjadi sturktur penopang
lahirnya pola hubungan sosial pada struktur kedua yakni superstruktur berupa
institusi-institusi hukum, politik, agama, seni, keluarga, dan lain-lain. Jadi, Marx
memahami bahwa intelektual manusia ditentukan oleh kondisi material kehidupan
manusia atau dengan kata lain kebutuhan material mendahului kesadaran manusia.
Pandangan ini diungkapkan oleh Marx pada bagian kata pengantar dalam buku
Zur Kritik der Politischen Ökonomie:
“Die Produktionsweise des materiellen Lebens bedingt den sozialen, politischen und geistigen Lebensprozeß überhaupt. Es ist nicht das Bewußtsein der Menschen, das ihr Sein, sondern umgekehrt ihr gesellschaftliches Sein, das ihr Bewußtsein bestimmt. Auf einer gewissen Stufe ihrer Entwicklung geraten die materiellen Produktivkräfte der Gesellschaft in Widerspruch mit den vorhandenen Produktions-verhältnissen oder, was nur ein juristischer Ausdruck dafür ist, mit den Eigentumsverhältnissen, innerhalb deren sie sich bisher bewegt hatten. Aus Entwicklungsformen der Produktivkräfte schlagen diese Verhältnisse in Fesseln derselben um. Es tritt dann eine Epoche sozialer Revolution ein. Mit der Veränderung der ökonomischen Grundlage wälzt sich der ganze
ungeheure Überbau langsamer oder rascher um.“ (Marx, 1859: 2-3).
“Cara memproduksi kehidupan yang bersifat materi menentukan proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang
33
menentukan keberadaannya, melainkan sebaliknya, keadaan sosiallah yang menentukan kesadarannya. Pada tahap perkembangan tertentu, kekuatan produksi material dalam masyarakat berbenturan dengan hubungan produksi yang ada, atau secara resmi, hubungan milik tempat mereka bekerja. Karena situasi perkembangan produksi, hubungan kepemilikan ini menjadi belenggu bagi mereka. Kemudian mulailah periode revolusi sosial. Dengan perubahan yang terjadi pada basis ekonomi, semua struktur-atas tersebut cepat atau lambat dirombak.“ (terjemahan dalam buku Fokkema, 1998: 106).
Kecenderungan penafsiran pemikiran Marx yang menganggap sistem
ekonomi yang paling menentukan dibanding sektor lainnya -seperti politik,
agama, sistem ide dan lainnya- setidaknya dalam masyarakat kapitalis,
menjadikan Marx dianggap sebagai seorang pemikir yang menganut paham
determinisme ekonomi. Penafsiran semacam ini menurut Agger (Ritzer, 2012:
470) mencapai puncaknya selama periode International Komunis Kedua antara
tahun 1889 dan 1914 yang secara historis dilihat sebagai awal kapitalisme pasar
yang memperlihatkan ledakan keuntungan, namun di sisi lain juga menampakkan
kegagalannya. Kondisi ini diprediksi oleh Marxian sebagai awal hancurnya kaum
kapitalis dan kemenangan sosialisme berkat perjuangan kaum proletariat.
Penafsiran determinisme ekonomi terhadap pemikiran Marx kemudian
dianggap mengabaikan sifat dialektis sebagai ciri dari teori ini. Dialektika sebagai
sebuah cara berpikir melihat adanya umpan balik terus-menerus dan interaksi
mutual dari berbagai sektor dalam masyarakat. Perluasan penafsiran terhadap
pemikiran Marx, akhirnya ditemukan dalam kajian George Lukács. Lukács
melihat bahwa dalam sistem kapitalis, produk atau komoditas yang dihasilkan dari
interaksi antara manusia dan alam telah diberi nilai oleh pasar secara independen.
Fetisisme terhadap komoditas inilah yang diperluas oleh Lukács yang dikenal
34
dengan istilah reifikasi yang tidak hanya terbatas pada lembaga ekonomi, tetapi
juga pada lembaga-lembaga lain seperti negara ataupun hukum (lihat: Ritzer,
2012: 473).
Pemanfaatan pemikiran Marx secara lebih luas juga ditemukan dalam
mazhab Frankfurt (Frankfurter Schule) yang berusaha memberikan kritik terhadap
berbagai aspek kehidupan sosial dan intelektual untuk menyingkap secara lebih
akurat hakikat dari masyarakat. Orientasi kajian mazhab Frankfurt –yang
kemudian melahirkan teori kritis atau Die kritische Theorie der Gesellschaft-
tidak hanya terfokus kepada aspek ekonomi atau infrastruktur, tetapi meluas
kepada aspek budaya masyarakat atau superstruktur khususnya dalam masyarakat
kapitalis modern. Dasar dari perluasan kajian ini adalah pandangan mereka yang
melihat bahwa “dalam masyarakat modern penindasan yang dihasilkan oleh
rasionalitas merupakan masalah sosial yang dominan menggantikan eksploitasi
ekonomi“ (Ritzer, 2012: 480). Pemahaman ini tercermin dari peningkatan
kemakmuran masyarakat khususnya di Amerika Serikat pasca perang dunia kedua
yang tampaknya telah menghilangkan kontradiksi-kontradiksi ekonomi internal
secara umum dan konflik antar-kelas secara khusus.
Apa yang telah dilakukan oleh Herbert Marcuse sebagai salah seorang
tokoh penting dalam aliran kritis ini merupakan perluasan kajian pemikiran Marx.
Mazhab Frankfurt secara umum memang mencoba memberikan penafsiran
kembali terhadap ajaran-ajaran Marx dan menempatkannya dalam kerangka
humanisme yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Marcuse yang
hidup dalam konteks zaman yang berbeda dengan Marx memiliki pandangan
35
tersendiri tentang masyarakat kontemporer yang tak lain adalah masyarakat
kapitalis modern.
Marcuse memandang teknologi dalam masyarakat kapitalis modern bukan
sesuatu yang netral, tetapi merupakan alat untuk mendominasi manusia khususnya
para pekerja. Teknologi menurut Marcuse dibuat tampak netral, namun
sesungguhnya memperbudak manusia. Teknologi membantu menindas
individualitas dengan cara menyerang dan mengurangi kebebasan batin aktor dan
hasilnya adalah terciptanya masyarakat berdimensi satu atau der eindimensionale
Mensch yang membuat individu-individu kehilangan kemampuan untuk berpikir
secara kritis dan negatif tentang masyarakat. Marcuse sesungguhnya tidak
menyalahkan teknologi, dia bahkan sepakat dengan pandangan Marx yang melihat
teknologi secara alami bukan masalah dan dapat digunakan untuk
mengembangkan suatu masyarakat yang lebih baik. Hanya saja penekanan
Marcuse adalah bagaimana cara memutus hubungan fatal antar teknologi dan
manusia secara revolusioner untuk mengembalikan teknologi tunduk kepada
kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan manusia bebas. Inilah sesungguhnya yang
menjadi fungsi utama dari kerja rasio atau rasionalitas substantif seperti dalam
pandangan Maximilian Weber (1864-1920) yang berusaha menafsirkan alat-alat
dari segi nilai-nilai tertinggi manusia yakni perdamaian dan kebahagiaan (Ritzer,
2012).
Lebih jauh Marcuse melihat bahwa masyarakat industri maju dewasa ini
memperlihatkan semakin kuatnya jangkauan penguasaan manusia terhadap alam.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat kontemporer baik
36
dari segi intelektual maupun material jauh melebihi masyarakat sebelumnya.
Namun pertanyaan yang muncul adalah apakah semua kemajuan ini sudah mampu
meningkatkan derajat kepuasaan manusia secara optimal dengan tingkat
penderitaan dan beban kerja yang seminimal mungkin. Inilah yang menjadi
perhatian Marcuse yang dituangkan dalam bukunya One-Dimensional Man yang
terbit pertama kali pada tahun 1964 di Amerika Serikat dan diterjemahkan dalam
bahasa Jerman oleh Alfred Schmidt tiga tahun kemudian dengan judul Studien zur
Ideologie der fortgeschrittenen Industriegesellschaft.
Di dalam masyarakat industri maju menurut Marcuse (2002: xlv-xlvi)
peralatan produktif cenderung menjadi totalitarian sampai tingkat tertentu di
mana hal ini tidak hanya menentukan jenis pekerjaan, kemampuan dan sikap yang
dibutuhkan secara sosial, akan tetapi juga menentukan kebutuhan dan aspirasi
individu atau manusia. Inilah yang kemudian bergerak dan menghapus oposisi
antara eksistensi pribadi dan publik, antara kebutuhan individu dan sosial.
Kehadiran teknologi sejatinya tidak akan mengurangi kebebasan individu
secara otonom, jika diarahkan semata untuk pemenuhan kepuasaan atas kebutuhan
vital manusia. Namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, teknologi telah
memaksakan persyaratan politik dan ekonomi demi mengekspansi waktu kerja
dan waktu senggang, dan juga terhadap kebudayaan material dan intelektual.
Teknologi telah membebani manusia dengan menghadirkan kebutuhan-kebutuhan
palsu (false needs) kepada individu karena kepentingan sosial, kebutuhan-
kebutuhan yang merepresi individu untuk mengabadikan kerja (Arbeit),
agresivitas, penderitaan dan ketidakadilan (Marcuse, 2002: 7). Kontrol teknologi
37
telah menjadi sangat esensial dalam masyarakat kontemporer. Teknologi telah
menjadi dasar nalar demi keuntungan semua kelompok sosial hingga semua
kontradiksi dalam masyarakat terlihat dan terkesan irasional dan semua bentuk
perlawanan menjadi tidak mungkin:
But in the contemporary period, the technological controls appear to be very embodiment of Reason for the benefit of all social groups and interests –to such an extent that all contradiction seems irrational and all counteraction impossible. (Marcuse, 2002: 11).
Realitas teknologi telah memasuki ruang-ruang pribadi dan mengubah
nalar menjadi penyerahan diri terhadap kenyataan hidup. Masyarakat industri
telah menjadikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu
perangkat dominasi: “[...]: that of an advanced society which makes scientific and
technical progress into an instrument of domination.” (Marcuse, 2002: 18).
Manusia telah berada di bawah kontrol teknologi dan ini tidak hanya terjadi pada
bidang industri semata, tetapi telah masuk ke semua lini kehidupan manusia.
Kehadiran teknologi yang sejatinya sebagai alat untuk mempermudah interaksi
manusia dengan alam, justru dalam masyarakat industri, teknologi menjadi alat
untuk merepresi manusia.
Keterpurukan yang dialami oleh kaum pekerja dalam masyarakat kapitalis
dengan tingkat kemajuan teknologi yang semakin canggih ini, jika dihubungkan
dengan persoalan gender terlihat bahwa pekerja perempuan justru memiliki
kondisi yang lebih buruk dari pekerja laki-laki, seperti yang dikemukakan oleh
Ann Foreman (Tong, 2010: 147):
“Laki-laki eksis dalam dunia sosial bisnis dan industri, serta di dalam keluarga, dan karena itu mampu mengekspresikan dirinya dalam ranah-ranah yang berbeda ini. Bagi perempuan, bagaimanapun juga, tempatnya
38
adalah di dalam rumahnya. Objektivikasi terhadap laki-laki di dalam industri, melalui pengambilalihan produk dari kerja mereka, mewujud dalam alienasi. Tetapi efek alienasi atas hidup dan kesadaran perempuan, mewujud bahkan dalam bentuk yang lebih opresif. Laki-laki mencari kelegaan dari alienasinya melalui hubungannya dengan perempuan; bagi perempuan, tidak ada kelegaan itu. Karena hubungan yang intim ini adalah benar-benar hubungan yang merupakan struktur esensial dari opresi terhadapnya.” Efek alienasi yang lebih buruk yang diterima oleh kaum pekerja
perempuan inilah yang kemudian menjadi pijakan bagi feminis Marxis untuk
menciptakan dunia di mana perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia
yang utuh, sebagai manusia yang terintegrasi dan bukan terfregmentasi.
Kondisi ini ternyata tidak memberikan kemungkinan lahirnya
penghapusan kelas, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dalam masyarakat
kapitalis modern ini, kelas pekerja atau proletar semakin dikukuhkan dengan
dimensi dan mekanisme yang berbeda. Kondisi inilah yang kemudian disebutkan
oleh Marcuse (1965) sebagai repressive tolerance atau toleransi represif yang
seolah-olah memberikan kesan kebebasan luas kepada manusia (baca: pekerja),
namun tidak lain merupakan bentuk penindasan yang baru.
Kelas pekerja dalam masyarakat industri maju memang telah mengalami
transformasi penting dalam sistem kapitalisme modern. Pandangan Marx dalam
kapitalisme klasik melihat kaum pekerja manual yang mengeluarkan dan
menghabiskan energi fisiknya dalam proses kerja, -bahkan jika mereka bekerja
dengan menggunakan mesin- berada dalam kondisi subhuman dan senantiasa
memberontak dari sistem eksploitasi ini. Kondisi semacam ini menurut Marcuse
(2002: 26-27) ternyata terus berlanjut dan bahkan dalam kapitalisme modern,
sistem eksploitasi ini semakin lengkap dengan adanya upaya memodifikasi sikap
39
dan status dari pihak yang dieksploitasi (baca: kelas pekerja). Kapitalisme modern
yang mengandalkan pertumbuhan telah mentransformasi sikap dan status para
pekerja melalui mekanisasi. Para pekerja pada masa kapitalisme sebelumnya
hidup layaknya hewan pekerja yang mempekerjakan tubuhnya untuk memenuhi
berbagai kebutuhan dan kenikmatan hidup orang lain (baca: pemilik modal),
sementara mereka harus hidup dalam kekotoran dan kemelaratan (Marcuse, 2002:
28). Dalam masyarakat dengan teknologi modern, para pekerja terorganisir secara
maju dan sistem mekanisasi dengan produktivitasnya yang melimpah yang
dikenal dengan Überflussgesellschaft atau the affluent society mampu membius
hidup para pekerja.
Kemampuan kelas pekerja untuk menikmati apa yang selama ini dinikmati
oleh para pemilik modal sekali lagi tidaklah berarti bahwa telah terjadi
penghapusan kelas, namun yang terjadi sesungguhnya adalah kebutuhan dan
tingkat kepuasan yang berperan dalam pemeliharaan kemapanan (establisment)
diperankan bersama oleh masyarakat bawah (Marcuse, 2002: 10). Jadi dalam
masyarakat kontemporer yang paling berkembang adalah transplantasi sosial ke
dalam kebutuhan-kebutuhan individu begitu efektif sehingga perbedaan antara
kelas tampak secara murni hanya bersifat sosial semata. Perbudakan model baru
pun telah lahir dengan mekanisme yang berbeda. Segala sesuatu tidak lagi
menindas seperti sebelumnya, tetapi perbudakan lahir dalam bentuk buaian
terhadap instrumen-instrumen manusia yang tidak hanya pada tubuh manusia,
tetapi juga pikiran, dan bahkan jiwanya. Transformasi pekerja ini telah
menghasilkan masyarakat yang cenderung mempertahankan status-quo akibat dari
40
terbelenggunya nilai-nilai kemanusiaan berupa otonomi dan kebebasan oleh
buaian rasionalitas teknologi atau technological rasionality. Posisi negatif kaum
pekerja tidak lagi nampak kontradiksi. Jiwa revolusioner mereka semakin
meredup dan bahkan menjadi pembela sistem kerja itu sendiri. Sekali lagi,
terpenuhinya kebutuhan para pekerja tidak berarti hilangnya sistem kelas dalam
masyarakat kontemporer ini. Perbudakan dalam peradaban masyarakat industri ini
menurut Marcuse (2002: 36) justru merupakan bentuk perbudakan yang
sesungguhnya: ”the pure form of servitude”.
1.6 Metode Penelitian
Seperti yang telah disinggung pada bagian latar belakang masalah, bahwa
korpus dalam penelitian disertasi ini terdiri dari tiga roman Jerman yang lahir
pada dekade kedua pascareunifkasi (2000-2010), yakni: Das Jahr der Wunder
(Merkel, 2001); wir schlafen nicht (Röggla, 2004); dan Mobbing (Pehnt, 2007).
Tiga roman ini merupakan hasil sampling secara purposive dari total sepuluh
roman Jerman yang mengangkat tema Arbeit dan lahir pada dekade kedua
pascareunifikasi (2000-2010). Tujuh roman lainnya yang menjadi populasi
adalah: Willenbrock (Christoph Hein, 2000), Die Letzten (Katja Lange-Müller,
2000), Endmoränen (Monika Maron, 2002), Wenn wir sterben (Ernst-Wilhelm
Händler, 2002), Und was machen Sie beruflich (Rolf Dobelli, 2004), Herr Jansen
steigt aus (Jakob Hein, 2006), dan terakhir adalah Machwerk oder Das
Schichtbuch des Flick von Lauchhammer (Volker Braun, 2008).
Penetapan ketiga roman menjadi objek material penelitian dengan
mempertimbangkan: Pertama, tahun penerbitan roman pascareunifikasi (masa
41
awal, tengah, dan akhir dekade kedua); Kedua, ‘kekentalan’ tema Arbeit sebagai
objek formal dalam roman. Artinya, Arbeit betul-betul menjadi tema utama
(Hauptthema) dan tidak sekedar sebagai tema sampingan (Nebenthema); Ketiga,
unsur-unsur realis yang tertuang dalam karya, baik pada latar atau setting, alur
atau plot, maupun penokohan.
Secara tekstual, penelitian disertasi ini difokuskan pada pengungkapan
konsepsi Arbeit yang tertuang dalam ketiga roman yang menjadi korpus penelitian
dan mengidentifikasi kritikan-kritikan serta memetakan posisi ideologis masing-
masing pengarang dalam menyikapi perubahan struktur dunia kerja atau
Strukturwandel der Arbeitswelt yang terjadi di Jerman khususnya pada dekade
kedua pascareunifikasi. Secara kontekstual, penelitian ini akan diarahkan untuk
melihat hubungan dinamis antara karya sastra (baca: tiga roman teranalisis
sebagai objek material) dengan masyarakat Jerman pascareunifikasi yang
merupakan lingkungan tempat karya tersebut dilahirkan. Untuk itu, sumber data
dalam penelitian disertasi ini terdiri dari dua kategori yakni, sumber data primer
yang terangkum dalam tiga roman dan sumber data sekunder berupa teks-teks
hasil kajian dari berbagai bidang keilmuan terutama kajian sosiologi, ekonomi,
politik, dan historis. Bidang-bidang ini sangat diperlukan dalam rangka melihat
konteks Arbeit di luar karya. Hal ini menjadi penting, karena sifat dari kajian
sosiologi sastra selalu bergerak dari kajian struktur dalam teks menuju kajian
struktur di luar teks (baca: struktur masyarakat).
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode “simak”
yakni, pertama, menyimak satuan-satuan linguistik –baik berupa kata, frase,
42
kalimat maupun wacana- yang signifikan dalam tiga roman Jerman tersebut
sebagai data primer. Langkah selanjutnya adalah menganalisis unsur-unsur
penting dalam bangunan sebuah roman, baik dari aspek plot, setting, penokohan,
sudut pandang hingga akhirnya sampai pada analisis tema yang lebih mendalam.
Proses pembacaan secara kritis juga diperlakukan untuk data sekunder dengan
memperhatikan karakter masing-masing teks.
Data-data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif
analitis. Teknik analisis ini dimulai dengan mendeskripsikan semua fakta-fakta
yang ditemukan dalam korpus penelitian sebagai sumber data primer maupun data
sekunder yang ditemukan di luar teks. Data-data ini kemudian dianalisis
sedemikian rupa untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan penelitian
baik yang menyangkut pemahaman konsepsi Arbeit, kritikan maupun ideologi
yang diusung oleh masing-masing pengarang dalam menyikapi perubahan struktur
dunia kerja yang terjadi di Jerman pascareunifikasi.
Untuk memudahkan penelitian, berikut digambarkan kerangka pikir
penelitian disertasi ini:
43
Pemahaman tentang dinamika dan proses perkembangan konsepsi Arbeit
dalam masyarakat Jerman khususnya pada periode pascareunifikasi -yang
diperoleh dari sumber-sumber sekunder di luar korpus penelitian- menjadi
penopang awal untuk melihat konteks sosiohistoris ketiga roman yang menjadi
korpus penelitian. Dari sini kemudian terlihat kondisi-kondisi spesifik Arbeit
yang kemudian mendapatkan respon dari ketiga pengarang yang tertuang dalam
karya mereka. Bentuk-bentuk respon ini terlihat dari pemahaman tentang konsepsi
Arbeit dan kritikan-kritikan yang tertuang dalam roman melalui para tokoh dan
semua komponen pembentuk cerita. Dari hasil analisis ini kemudian
mengantarkan kepada pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana posisi
ideologis dari masing-masing pengarang.
1.7 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dalam disertasi ini dibagi dalam enam bab. Bab
pertama sebagai bab pendahuluan berisi uraian mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian dan sistematika penyajian.
Bab kedua difokuskan pada konsepsi Arbeit ditinjau dari aspek
historisnya. Dalam bab kedua ini diuraikan bagaimana dinamika dan
perkembangan pemaknaan konsepsi Arbeit di Eropa khususnya di Jerman mulai
zaman Antik sampai pada dekade kedua pascareunifikasi (2000-2010) dengan
memperhatikan nuansa politik, ekonomi, dan sosial masyarakat. Bab kedua ini
dimaksudkan untuk memberikan peta awal tentang pemahaman Arbeit sebagai
sebuah tema-budaya secara kontekstual.
44
Bab ketiga menyajikan konstruksi Arbeit yang tertuang dalam ketiga
roman teranalisis. Bab ketiga ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan
penelitian tentang bagaimana pemahaman konsepsi Arbeit sebagai tema-budaya
yang tertuang dalam ketiga roman teranalisis.
Bab keempat memuat kritikan ketiga pengarang terhadap kondisi struktur
dunia kerja di Jerman pascareunifikasi yang ditemukan dalam ketiga roman
mereka. Bab keempat ini merupakan uraian dari hasil analisis terhadap pertanyaan
penelitian kedua berupa aspek-aspek yang dominan mendapatkan kritikan dari
para pengarang terkait dengan konsepsi Arbeit dalam ketiga roman tersebut.
Bab kelima memuat hasil analisis tentang pandangan ideologis ketiga
pengarang dalam menyikapi perubahan struktur dunia kerja atau Strukturwandel
der Arbeitswelt yang terjadi di Jerman khususnya pada dekade kedua
pascareunifikasi. Bab kelima ini menjawab pertanyaan penelitian ketiga tentang
posisi ideologis pengarang. Terakhir adalah bab keenam sebagai bab penutup
yang berisi kesimpulan dan saran.