BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdf · Penguasaan tambang dan migas yang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdf · Penguasaan tambang dan migas yang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan mega competition,
investor semakin leluasa dalam berinvestasi.1 Untuk itu penerima modal harus
menyiapkan berbagai sarana dalam menarik investor. Artinya persaingan dalam
merebut calon investor semakin terbuka dan penuh kompetisi. Investasi terutama
penanaman modal asing (PMA) telah menjadi suatu fenomena yang bersentuhan
dengan berbagai aspek kehidupan umat manusia pada hampir seluruh belahan
dunia. Apabila tidak diberikan kesempatan, melalui berbagai kreativitas, inovasi
dan terobosan-terobosannya, maka investasi akan menciptakan sendiri atau
berusaha mendorong-dorong agar peluang itu terbuka. Oleh karena itu, sudah
tidak dapat lagi hanya mengandalkan adanya keunggulan komparatif.
Untuk menciptakan keunggulan komparatif tersebut perlu adanya stabilitas
ekonomi, politik dan pengaturan hukum yang akan menciptakan kepastain
terhadap investor, dan kenyamanan terhadap penanaman modal dalam negeri dan
pemerintah nasional agar tidak didominasi oleh investor asing.
Pengaturan yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk
menjaga agar tidak didominasi oleh Penanaman Modal Asing (PMA) yaitu
dengan tindakan “Nasionalisasi”. Nasionalisasi adalah pengambilalihan secara
1. Sentosa Sembiring, 2007, Hukum Investasi Pembahasan Dilengkapi dengan Undang - Undang
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Nuansa Aulia, Bandung, hal. 97.
1
2
menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan asing dengan tujuan untuk
mengakhiri penanaman modal asing di dalam ekonomi atau sektor-sektor
ekonomi dalam negeri dengan tetap memberikan kompensasi.
Nasionalisasi dianggap sebagai salah satu resiko terbesar PMA pasca
periode kolonialisme. Perlindungan terhadap ancaman nasionalisasi kemudian
dilakukan melalui instrumen hukum internasional. Tidakan melakukan
Nasionalisasi terhadap perusahaan asing merupakan bukan semata ada di ranah
ekonomi, tetapi juga sosial, politik dan keaulatan suatu negara. Sikap tidak
bersahabat ini dapat diwujudkan dalam keputusan politik untuk menasionalisasi
atau mengambilalih modal asing. Nasionalisasi juga dapat dilatarbelakangi oleh
dekolonisasi ekonomi, yakni keiinginan untuk mengubah sistem ekonomi kolonial
menjadi sistem ekonomi nasional.
Tindakan nasionalisasi tersebut telah seseuai dengan amanah konstitusi
negara Indonesia yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam Pasal 33 UUD
1945, yang menentukan bahwa sebagai berikut:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan,
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara,
(3) Menyebutkan; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan
ayat
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
3
Dari Pasal 33 ayat (3), secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta
penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang
ataupun seorang. Dengan kata lain monopoli, tidak dapat dibenarkan namun fakta
saat ini berlaku di dalam praktek-praktek usaha, bisnis dan investasi dalam bidang
pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan tambang dan migas yang mayoritas
dikuasai modal asing, secara nyata bertentangan dengan konstitusi Pasal 33 UUD
1945 ini. Makna dari kemandirian dalam pembangunan nasional yang dijalankan
dewasa ini adalah bahwa meskipun penggunaan dana yang dimiliki oleh
pemerintah lebih diutamakan, pembangunan nasional tersebut tidak terlepas dari
bantuan dan kerjasama pihak luar, sepanjang dana dari pihak luar tersebut
berfungsi sebagai pelengkap.2
Dalam survei yang dilakukan oleh The Organisation for Economic
Cooperation and Development (OECD) menemukan bahwa hukum internasional
tidak melarang tindakan nasionalisasi atas modal asing yang dilakukan oleh
negara penerima investasi sepanjang memenuhi sejumlah persyaratan. Disebutkan
bahwa ”Customary International law does not preclude host states from
expropriating foriegn invesment for a public purpose, as procided by law, in a
non-discriminatory manner with compesation”. 3
Perjanjian internasional di bidang penanaman modal didasari oleh konsep
untuk mendorong aliran modal asing demi kemakmuran bersama negara penerima
2. Sumantoro, 1986, Hukum Ekonomi, UI-Press, Jakarta, hal. 5
3. Directorate for Financial and Enterprise Affairs, Organisation fo Economic Co-operation and
Development, 2004, “Indicect Expropritation” And The”right to Regulate ”In International
Investment law, Working Papers on International Investmen, Number 4 Semtember 2004, hal. 3.
4
modal, negara asal modal asing dan barang tentu PMA sendiri. Sesuai dengan
adagium “pacta sunt servanda”, perjanjian internasional harus dilaksanakan
dengan etikat baik (good faith) atau dengan penuh ketaatan (uberrima fiders atau
with utmost fidelity). Hal ini penting untuk digaris bawahi, bahwa persoalan
nasionalisasi tidak semata-mata menyangkut urusan hukum dan ekonomi, tetapi
juga yang kadang-kadang terasa tidak rasional dan berkembang menjadi
emosianal semata.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui hak negara tuan rumah, penerima
penanaman modal asing untuk melakukan nasionalisasi dengan beberapa
persyaratan tertentu. Pengakuan ini merupakan penghormatan terhadap
Kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam, Nomor 1803 Tahun 1962 (United
Nations General Assembly Resolution On Permanent Sovereigny Over Natural
Resources),menentukan bahwa:
“Nationalization, eexpropriation or requisitioning shall be based on
grounds or reasons of public utility, security or the national interesy which
are recognized as overrinding purely individual or private interests, both
domestic and foriegn. In such cases the owner shall be paid appropriate
compensation, in accordance with the rules in force in the State taking such
measures in the exercise of its sovereignty and in accordance with
international law. In any case where the question of compensation gives rise
to a controversy, the national jurisdition of the State taking such measure
shall be exhusted. However, upon agreement by sovereign State and other
parties concerned, sattlement of the dispute should be made throgh
arbitration or international adjudication”.4
Selanjutnya dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 3281 Tahun 1974
tentang Chacter of Economic Right and Duties of States mengakui hak setiap
4. United Nations General Assembly Resolution Number 1803 of 1962 on Permanent Soverignty
over Natural Resources.
5
negara untu secara bebas melaksanakan kedaulatannya, termasuk dalam pemilikan
dan penggunaan sumberdaya alam dalam kegiatan-kegiatan ekonominya.
Pelaksanaan hak ini antara lain mencakup tindakan nasionalisasi. Dalam Pasal 2
ayat (2) huruf C Resolusi ini menyatakan bahwa “setiap negara berhak untuk
melakukan nasionalisasi atau ekspropriasi denga beberapa syarat”. Rumusan
selengkapnya adalah sebagai berikut:
“To nationalize,expropriate or transfer ownership of foriegn property, in
which case appropriate compensation should be paid by the State adopting
such measures, taking into accont its relevant laws and regulations and all
circumstances that the State considers pertinent. In any case where the
question of compensation gives rise to controversy. It shall be settled under
the domestic law of the nationalizing State and by peaceful means be sought
in the basis of the soverign equality of States and in accodance with the
principle of free choice of means.”5
Indonesia sebagai negara berdaulat sekaligus sebagai negara berkembang
mempunyai pola tertentu terhadap konsep hukum dalam kegiatan ekonomi,
meliputi konsep pencapaian masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
konsep ekonomi kekeluargaan yang Pancasilais, konsep ekonomi kerakyatan
untuk membela kepentingan rakyat.
Pembangunan ekonomi haruslah didukung oleh pembangunan hukum
karena antara keduanya saling menunjang, dimana pembangunan ekonomi hanya
dapat tercapai apabila ada kepastian hukum. Antara hukum dan ekonomi
merupakan dua sistem dari sistem kemasyarakatan yang saling berinteraksi satu
5. United Nations General Assembly Resolution Number 3281 (XXIX) of 1974 on Charter of
Economic Right an Duties of State.
6
sama lain.6 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan, salah satu konsep
dari globalisasi adalah meletakkan segala kegiatan dan hubungan ekonomi pada
peran masyarakat. Berdasarkan konsep ini, maka kesiapan materi hukum harus, di
satu pihak diarahkan pada mempersiapkan masyarakat untuk menjadi pelaku
ekonomi yang utama termasuk hubungan-hubungan ekonomi global. Di pihak
lain, mengurangi atau meniadakan aturan-aturan hukum yang memberikan
kewenangan kepada administrasi negara. Pada saat ini, yang terpenting adalah
kesiapan dan kepastian dari aturan hukum yang dapat lebih memberdayakan
masyarakat/pelaku usaha agar menjadi pelaku ekonomi yang mandiri, mampu
bersaing dengan pelaku ekonomi lain.7
Tantangan lainnya yang dihadapi calon investor asing di Indonesia adalah
bagaimana pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat
memberikan iklim yang kondusif untuk terselenggaranya investasi. Pada tingkatan
pemerintah pusat, masalah yang dihadapi adalah masih belum terlihatnya yang
jelas dalam strategi pengembangan industrilialisasi. Strategi yang demikian sangat
diperlukan sehingga birokrasi pada pemerintah daerah provinsi dan pemerintah
daerah kabupaten/kota dapat menyatukan dan melakukan koordinasi atas
rancangan-rancangan pengembangan investasinya di daerah untuk dapat
mendukung tercapainya target - target dari strategi industrilisasi nasional tersebut.
6. Dhaniswara K Harjono, 2007, Hukum Penanaman Modal Tinjauan Terhadap Undang - Undang
Nomor. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 91.
7.Bagir Manan, “Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi Nasional dalam Globalisasi”,Makalah
dalam Seminar Tentang Pendekatan Ekonomi dalam Pengembangan Sistem Hukum Nasional
Dalam Rangka Globalisasi, Penyelenggara FH Unpad Bandung, 30 April 1998.
7
Untuk menarik minat investor menanamkan modal diperlukan sejumlah
faktor-faktor yang dapat menarik minat investor, yakni semata, akan tetapi harus
dapat menciptakan iklim yang kondusif dan sehat sehingga meningkatnya daya
saing Indonesia sebagai tujuan penanaman modal:
1. Faktor Politik
Orientasi dari politik di dunia investasi merupakan kekuasaan dan sebuah
pengakuan akan status (kepentingan), tetapi jika itu dilandasi pada sebuah
investasi sosial yang santun, niscaya kekuasaan dan status yang dimenangkan
akan dipergunakan sebaik-baiknya demi kemakmuran rakyat dan arah
pembangunan yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat secara murni.
Pentingnya kestabilan politik dalam setiap pengambilan keputusan yang
diambil oleh pemerintah agar tidak terjadinya diskriminasi dan investasi tidak
dijadikan sebagai alat pengusaha atau oknum asing dalam mempengaruhi
perekonomian nasional. Dengan adanya kestabilan politik tersebut gampang
memprediksi kebijakan dan sikap apa yang akan diambil oleh pemerintah
yang berkaitan dengan dunia usaha.
2. Faktor Ekonomi
Pembentukan investasi merupakan faktor penting terhadap pembangunan
ekonomi suatu negara. Ketika pengusaha atau individu atau pemerintah
melakukan investasi, maka ada sejumlah modal yang ditanam atau
dikeluarkan, atau pembelian sejumlah barang untuk tidak dikonsumsi. Di
dalam suatu Negara, terutama di Negara yang sedang berkembang, modal
merupakan salah satu syarat utama dalam mencapai kemajuan ekonomi.
8
Dengan modal itulah para pelaku ekonomi dapat meningkatkan kemampuan
produksinya, dan sebaliknya kekurangan modal akan menghambat proses
produksi.
3. Faktor Hukum
Berbagai ketentuan hukum yang terkait dengan investasi dirasakan perlu
untuk menyesuaikan dengan berbagai perjanjian multilateral, regional
maupun bilateral yang diikuti oleh pemerintah Indonesia. Pentingnya
peraturan yang berkenaan untuk mengetahui hak, kewajiban, kewenangan
yang dimiki oleh para pihak-pihak yang terlibat dalam penanaman modal.8
Banyak langkah yang dirancang dan dilaksanakan dalam rangka
memanfaatkan dan meningkatkan iklim investasi yang kondusif dan memihak
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) merupakan sebagai suatu instrumen
kesejahteraan rakyat pada dasarnya yang merupakan bagian dari nilai-nilai
falsafah Indonesia. Pentingnya peraturan yang berkenaan dengan pencegahan
investasi menjadi alat eksploitasi, mengembalikan gairah PMDN untuk
berinvestasi, mengurangi ketergantungan kepada asing dan pengaturan masuk
dan operasional termasuk penjaminan dalam berinvestasi merupakan kompetensi
pengaturan hukum.9
Investor asing akan menanamkan modal di Indonesia apabila adanya
perangkat hukum yang jelas. Artinya antara satu ketentuan dengan ketentuan
8. Sentosa Sembiring,op.cit, hal. 57.
9.Putu Sudarma Sumadi, 2012, “The Indonesian Investment Law In A Nutshell”,
http://www.ciblac.com/index.php?p=arsip-vol-1, yang diakses tanggal 19 Desember 2014).
9
lainnya yang berkaitan dengan investasi tidak saling berbenturan. Perlunya
mempersiapkan peta penanaman modal yang memuat peluang apa saja yang
komprehensif sehingga dapat dijadikan pegangan bagi para calon investor,
ketentuan investasi yang komprehensif sehingga dapat dijadikan pegangan bagi
para calon investor jika ia ingin menanamkan modalnya di Indonesia dan adanya
kepastian hukum.10
Peranan hukum dalam mendorong penanaman modal asing sangat
diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum. Para investor sangat
membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan melalui kepatuhan
terhadap kontrak atau kerjasama yang telah dibuat serta adanya kepastian tentang
mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa.11
Sehubungan dengan hal tersebut, investasi di Indonesia sudah memiliki
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut seperti
nasionalisasi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958
tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda dan penanaman
modal secara langsung sejak tahun 1967 dengan diundangkan Undang - Undang
No. 1 Tahun 1967 jo Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 Tentang Penanaman
Modal Asing (UUPMA), dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo Undang -
Undang No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman. Modal Dalam Negeri
10.
Sentosa Sembiring, op.cit, hal. 103.
11.
Marten Lucky Zebua, 2010, “Penanaman Modal Asing dan Ketidakpastian Hukum Sebagai
Salah Satu Kendala Dalam Investasi Asing di Indonesia”,
http://hukumbisnislucky.blogspot.com/2010/06/penanamanmodal-asing-dan.html, diakses pada
tanggal 26 Desember 2014.
10
(UUPMDN) yang kemudian diganti dengan Undang - Undang Nomor 25 Tahun
2007 Tentang Penanaman Modal.
Dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (PMA). Pada masa tahun 1967 pemerintah banyak melakukan langkah-
langkah insentif di bidang perpajakan, upaya untuk menarik investor terus
dilakukan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
a. Memperkenanakan pengelolaan perusahaan oleh personel asing.
b. Menjamin transfer modal dan keuntungan sesuai dengan mata uang
yang dikehendaki.
c. Jaminan untuk tidak nasionalisasi kecuali dalam keadaan khusus dan
dengan kompensasi yang layak, efektif dan segera.
Tindakan untuk pemerintah untuk tindakan nasionalisasikan terhadap
perusahaan asing juga diatur UUPMA, yaitu dalam Pasal 21 UUPM. Menentukan
bahwa:
“Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/ pencabutan hak
milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau
tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus
perusahaan yang bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang
dinyatakan kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian.”
Namun dalam Pasal 22 ayat (1) UU Penanaman Modal Asing, pemerintah
dapat melakukan tindakan nasionalisasi dengan wajib memberikan
kompensasi/ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui
oleh kedua belah pihak sesuai dengan asas-asas hukum internasional yang
berlaku.
11
Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang diakibatkan
oleh perilaku bisnis yang kurang bertanggung jawab yaitu berperilaku buruk
dalam menjaga kekuatan perekonomian Indonesia. Krisis tersebut telah mengubah
keadaan dari krisis ekonomi menjadi krisis kepercayaan. Untuk menyikapi hal
tersebut pemerintah membuat program pembangunan untuk meningkatkan iklim
investasi di indonesia, seperti program Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2003-2004 dan dilanjutkan prorgam tersebut sampai
2009. Dalam rangka pemenuhan program pembangunan di bidang investasi
tersebut, pada tahun 2007, pemerintah telah mengesahkan dan mengundangkan
undang-undang di bidang penanaman modal yaitu Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (disingkat menjadi UUPM).12
Di dalam UUPM penanaman modal asing jika ingin berinvestasi di wilayah
negara republik Indonesia perusahaannya harus berbentuk perseroan terbatas (PT)
sesuai dengan yang telah ditentukan dalam Pasal 5 UUPM, bahwa”Penanaman
modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia
dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali
ditentukan oleh undang-undang”.
Dengan demikian investor asing termasuk perusahaan-perusahaan
multinasional (Multinational Erterprieses atau MNE), yang ingin berinvestasi di
Indonesia harus berbentuk Suatu Perseroan Terbatas seagaimana diatur dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dengan status sebagai
12.
Ana Rokhmatussa’dyah, dan Suratman, 2010, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Cet. I, Sinar
Grafika, Jakarta., hal. 55.
12
perusahaan PMA. Dengan demikian perusahaan PMA merupakan suatu perseroan
terbatas yang didirikan berdasarkan undang-undang perseroan terbatas di
Indonesia, dimna di dalamnya terdapat unsur modal asing, tanpa memperhatikan
besarnya modal asing tersebut dalam struktur permodalan suatu perseroan
terbatas.13
Di dalam UUPM ada satu pasal mengatur mengenai kewenangan
pemerintah untuk melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak
terhadap perusahaan PMA. Walaupun pengaturan nasionalisasi tersebut telah
mengakomodasi asas-asas hukum umum yang telah diterima dalam hukum
internasional bahwa nasionalisasi harus dilakukan dengan Undang-Undang
disertai dengan pemberian kompensasi tetap saja masih menimbulkan
ketidakpasitian hukum dalam klausula Pasal 7.
Pengaturan mengenai nasionalisasai dalam UUPM dijumpai dalam Pasal 7,
yang menentukan bahwa:
(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilan
hal kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.
(2) Dalam hal pemerintah melalakukan tindakan nasionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana pada ayat (1), pemerintah
akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan
harga pasar.
Pengaturan Nasionalisasi dalam UUPM tersebut menimbulakan
ketidakpasian hukum dikarnakan norma tersebut berifat “norma kabur”.
Dijelaskan bahwa Pasal 7 ayat (1) tersebut berkaitan dengan kewenangan
Pemerintah untuk tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau
13.
David Kairupan, 2013, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, cet. I, Kencana
Prenada Media Group, hal. 100.
13
pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-
undang. Walaupun dalam ketentuan ini Pemerintah tidak akan melakukan
nasionalisasi dan pengambilalihan hak, namun dalam ketentuan ayat (2)
ditegaskan bahwa dalam hal pemerintah melakukan tindakan masionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikan, pemerintah akan memberikan kompensasi
yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.14
Ketentuan ini menunjukan bahwa tidak adanya kepastian hukum bagi
investor asing dalam menanamkan investasinya di Indonesia dikarnakan ketentuan
ini bersifat dualisme, yaitu dikarenakan disatu sisi pemerintah tidak akan
melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan hak, namun disatu sisi pemerintah
dapat melakukan kedua tindakan itu, dengan syarat pemerintah akan memberikan
kompensasi atau ganti rugi kedapa investor asing yang telah dinasionalisasi atau
didivestasi sahamnya.15
Sebagaimana hal diatas, kekaburan norma yang tercantum dalam Pasal 7
UUPM dapat juga menyebabkan kemunduran terhadap iklim investasi masa
depan, dikarnakan ketidakjelasan dari pengaturan peraturan perundang-undangan
terutama tentang tindakan pemerintah dalam melakukan penanaman modal.
Dengan melihat paparan diatas mengenai legal issue di atas, adanya norma
kabur yang mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi investor asing dalam
14.
H. Salim HS , 2010, Hukum Divestasi Di Indonesia, Erlangga, Jakarta (selanjutnya disingkat
Salim HS I), hal. 110.
15.
Ibid.
14
menamankan modalnya di Indonesia dan keweangan pemerintah dalam
mengambil sikap untuk melakukan nasionalisasi perusahaan PMA di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka dibuatlah suatu karya tulis ilmiah dalam
bentuk skripsi yang berjudul “PENGATURAN NASIONALISASI
TERHADAP PERUSAHAAN PENANMAN MODAL ASING DI
INDONESIA (DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN
2007 TENTANG PENANAMAN MODAL)”.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana sejarah pengaturan nasionalisasi perusahaan penanaman modal
asing di Indonesia?
2. Apa relevansi pengaturan nasionalisasi terhadap Penanaman Modal Asing
di Indonesia?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan mengenai
materi yang diatur di dalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah
dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun
ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
15
1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi
pembahasan mengenai sejarah pengaturan nasionalisasi perusahaan asing
di Indonesia ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia. Penulis akan menggunakan sejarah hukum, teori jenjang
norma dan mencari konsistensi dari pemerintah dalam pengaturan dari
nasionalisasi perusahaan PMA di Indonesia. Selain itu penulis akan
mendalami (bindingness) perkembangan nasionalisasi dewasa ini
sehingga dapat menemukan dan mendapat syarat-syarat, manfaat, tujuan
dan hakekat dari tindakan nasionalisasi.
2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi
pembahasan mengenai eksistensi PMA akibat dari nasionalisasi dan
bagamai mana implementasi dari ketentuan nasionalisasi di Indonesia.
jadi penulis akan membahas terkait eksistensi PMA akibat dari
Nasionalisasi, implementasi di Indonesia.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan skripsi ini merupakan hasil
buah karya asli dari penulis, merupakan satu buah pemikiran penulis yang
dikembangkan sendiri oleh penulis. Sepanjang sepengetahuan penulis dan setelah
melakukan pengecekan atau pemeriksaan (baik dalam ruangan Gedung Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Udayana dan dalam Internet) tidak ditemukan
adanya suatu karya ilmiah atau sripsi yang membahas atau mengangkat
permasalahan tentang “Pengaturan Nasionalisasi Terhadap Perusahaan Penanman
16
Modal Asing (Dintinjau Dari Undang-Undang Nomor25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal)”, sehingga dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat
di dalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk
mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan
menampilkan beberapa judul penelitian jurnal ilmiah atau skripsi terdahulu
sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan
menampilkan 2 (dua) jurnal ilmiah yang terdahulu berkaitan dengan nasionalisasi
dan tentang bentuk-bentuk perusahaan Penanaman Modal Asing di Indonesia,
yaitu sebagai berikut:
NO JUDUL PENULIS TAHUN RUMUSAN MASALAH
1 Perlindungan
Hukum Bagi
Investor Terhadap
Pengambilalihan
Perusahaan
Penanaman Modal
Asing Di Indonesia
I Gusti Made
Wisnu
Pradiptha
2013 1. Bagaimana
perlindungan hukum
investor terhadap
pengambilalihan
perusahaan Penanaman
modal asing di
indonesia.
2 Kepastian Hukum
Penanaman Modal
Asing
Dalam Bentuk
Perseroan Terbatas
(Naamloze
Vennotschap)
Komang Eva
Jayanti
2014 1. Mengapa penanaman
modal asing wajib
dalam bentuk badan
Hukum PT.
www.e-jurnal.com/2014/05/perlindungan–hukum-bagi-investor.html dan www.e-
jurnal.com2014/01/kepastian-hukum-penanaman-modal-asing.html diakses pada tanggal 16 Juni 2015.
Dengan demikian penelitian tentang Pengaturan Nasionalisasi Terhadap
Perusahaan Penanaman Modal Asing (Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25
17
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal), dengan rumusan: Bagaimana sejarah
pengaturan dari nasionalisasi di Indonesia dan apa relevansi pengaturan
nasionalisasi terhadap Penanaman Modal Asing di Indonesia. Belum ada yang
meneliti sehingga orisinalitas penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan sesuatu yang berguna untuk menentukan hasil
apa yang akan diperoleh. Pada penulisan suatu karya tulis ilmiah, haruslah
mempunyai tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan penelitian meliputi
tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum (het doel van het onderzoek)
berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma
ilmu sebagai proses (science as a process). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan
pernah final dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-
masing. Sedangkan tujuan khusus (het doel in het onderzoek) mendalami
permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan permasalahan
penelitian. Penjelasan lebih lanjut mengenai tujuan umum dan khusus dari
pembuatan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.5.1. Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui konsep-konsep dari Nasionalisasi
2. Untuk mengetahui asas-asas dari Nasionalisasi.
3. Untuk mengetahui akibat hukum dari tindakan Nasionalisasi.
4. Untuk mengetahui kewenangan dari pemerintah dalam melakukan
tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan PMA.
18
1.5.2. Tujuan Khusus
1. Untuk memahami mengenai bagaimana pengaturan Nasionalisasi
terhadap Perusahaan Asing di Indonesia.
2. Untuk memahami syarat-syarat dari perusahaan PMA yang akan
dikenakan tindakan Nasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia.
3. Untuk memahami eksistensi pengaturan nasionalisasi perusahaan
penanaman modal asing di Indonesia.
1.6. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian, terdapat suatu manfaat penelitian. Selain
bermanfaat bagi penulis, diharapkan juga bisa bermanfaat bagi semua pihak dan
tentunya mempunyai manfaat yang dianggap positif. Manfaat penelitian dibagi
menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis. Adapun penjelasan sebagai
berikut :
1.6.1. Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya serta
menambah wawasan ilmiah dalam khasanah ilmu hukum khususnya hukum
Investasi. Dengan adanya penelitian ini di harapkan dapat memberi dan
menghasilkan suatu penjelasan tentang hakekat, konsep-konsep, syarat-syarat dan
asas-asas dari nasionaslisasi terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing.
1.6.2. Manfaat Praktis
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan skripsi ini
diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
19
1. Dapat menjadi sebagai pedoman dalam memahami tindakan dari
pemerintah dalam melakukan Nasionalisasi terhadap perusahaan
penanam modal asing di Indonesia.
2. Dapat menjadi sebagai pedoman/acuan dalam menyelesaikan kasus
Nasionalisasi terhadap perusahaan penanam modal asing di Indonesia.
1.7. Landasan Teoritis
Sebelum membahas permasalahan dalam skripsi ini lebih mendalam, maka
terlebih dahulu akan diuraikan beberapa teori atau landasan-landasan yang
dimungkinkan untuk menunjang pembahasan yang ada. dengan adanya teori-teori
yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas, dan mendukung
unutk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini.
1.7.1. Teori Sejarah Hukum
Menurut Munir Fuady, sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang
merupakan cabang dari ilmu sejarah (karenanya bukan cabang ilmu hukum), yang
mempelajari, menganalisis, memverivikasi, mengintepretasi, menyusun dalil dan
kecenderungan, dan menarik kesimpulan tertentu tentang setiap fakta, konsep,
kaidah, dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku, baik
secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat serta ketersentuhannya
dengan bidang lain dari hukum. 16
Sejarah hukum juga mempelajarai proses terjadi dan pelaksanaan sejarah di
masa lalu serta perkembangannya dan keterkaitannya dengan apa yang terjadi di
16.
Munir Fuady, 2009, Sejarah Hukum, cet. I, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 1.
20
masa kini, baik seperti yang terdapat dalam literatur, naskah, bahkan tuturan
tuturan lisan, terutama penekanannya atas karakteristik keunikan fakta dan norma
tersebut sehingga dapat menemukan gejala, dalil, dan perkembangan hukum di
masa lalu yang dapat memberikan wawasan yang luas bagi orang yang
mempelajarinya, dalam mengartikan dan memahami hukum yang berlaku saat ini.
Jadi sejarah hukum merupakan cabang dari ilmu sejarah, bukan cabang dari
ilmu hukum, memang, ada bagian dari ilmu hukum yang erat kaitannya dengan
sejarah, yaitu disebut dengan “Historical Jurisprudance”, tetapi ini berbeda
dengan ilmu sejarah hukum.
Fungsi dan kegunaan dari mempelajari sejarah hukum, yaitu sebagai
berikut:
1. Untuk mempertajam pemahaman dan penghayatan tentang hukum yang
berlaku sekarang. Kita dapat mengetahui dan menghayati bahwa hukum
yang berlaku seakarang sudah cukup baik jika dibandingkan dengan
konsepsi tentang hukum di bidang yang bersangkutan di masa lalu.
2. Untuk mempermudah para perancang dan pembuat hukum sekarang
dengan menghindari kesalahan di masa lalu serta mengambil manfaat dari
perkembangan positif dari hukum dimasa lalu. Ini penting bagi pembuat
dan perancang hukum untuk tidak membuat hukum seperti yang terjadi di
masa lalu. Mungkin saja hukum di masa lalu penuh dengan berbagai
kelemahan yang dapat menimbulkan malapetaka dan tragedi bagi umat
manusia. Jadi jangan sampai ada keledai yang tersandung kakinya dua kali
di batu yang sama.
21
3. Untuk mengetahui makna hukum positif bagi para akademisi maupun
praktisi hukum
4. Dengan melakukan penelusuran dan penafsiran yang bersifat sejarah.
Karena umumnya hukum berkembang secara evolutif dalam sejarah, maka
konsep dan pengertian hukum yang berlaku saat ini akan dipahami dengan
baik dan utuh jika kita juga memahami akar sejarah dan alur
perkembangan konsep dan pengertian hukum di masa lalu.
5. Sejarah hukum dapat mengungkap atau setidaknya memberikan suatu
indikasi tentang dari mana hukum tertentu berasal, bagaimana posisinya
sekarang dan hendak ke mana arah perkembangannya.17
Menurut Soerjono Soekanto, sejarah hukum juga berguna karena dapat
mengungkap fungsi dan efektivitas dari lembaga-lembaga hukum tertentu.
Artinya, dalam keadaan yang bagaimana suatu lembaga hukum dapat efektif
dalam menyelesaikan persoalan hukum dan dalam keadaan yang bagaimana pula
lembaga tersebut gagal. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan yang ada dalam
sejarah hukum tersebut.18
Jhon Gillssen dan Frizt Gorle juga menambahkan
beberapa fungsi dari sejarah hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Hukum tidak hanya berubah menurut dimensi ruang dan letak, tetapi juga
berubah menurut dimensi waktu dari masa ke masa.
17.
Ibid, hal. 7.
18.
Soerjono Soekanto, 1983, Pengantar Sejarah Hukum, Alumni, Bandung, hal. 41.
22
2. Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat di mengerti
melalui sejarah hukum.
3. Pengetahuan tentang sejarah hukum penting bagi ahli hukum pemula
untuk mengetahui budaya dan pranata hukum.
4. Mempelajari sejarah hukum erat kaitannya dengan prinsip perlindungan
hak asasi manusia, pelanggaran-pelanggaran hak asasi, seperti dalam
sejarah hukum di masa lampau, bukan zamannya lagi untuk diberlakukan
di masa ini.19
Karena berbagai fungsi dan kegunaan dari sejarah hukum seperti di atas,
maka disiplin sejarah hukum telah menjadi suatu ilmu dan metode yang
mempelajari oleh banyak orang dan telah menjadi mata kuliah wajib maupun
pilihan di berbagai sekolah hukum.
1.7.2. Stufentheorie (Jenjang Norma)
Kaitan dengan hirarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teori
mengenai jenjang norma hukum (stufentheori). Hans Kelsen berpendapat bahwa:
“Norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu nirma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri
lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar
(Groundnorm).”20
19.
Jhon Gillssen dan Frizt Gorle, et al, 2005, Sejarah Hukum, Pt Refika Aditama, Bandung, hal. 1.
20.
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal. 41,
dikutip dari Hans Kelsen, 1945, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York,
hal. 113.
23
Norma Dasar yaitu merupakan norma tertinggi dalam suatu sistemm norma
tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma
dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang
merupakan gangutan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu
Norma Dasar itu dikatakan presupposed.
Teori jenjang norma dari hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya
yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma itu selalu
memiliki dua wajah (das depoppelte rechtsantlizt). Adolf Merkl berpandangan
bahwa:
“Suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma
yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber
bagi norma hukum do bawahnya sehingga suatu norma hukum itu
mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang realtif oleh karena masa
berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang
berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di ayasnya
dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang di bawahnya tercabut
atau terhapus pula.”21
Berdasarkan teori Adofl Merkel dapat dijelaskan bahwa teori jenjang
normanya Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma itu selalu
berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu
juga menjadi sumber dan menjadi norma yang lebih rendah daripadanya.
Teori Hans Kelsen, kemudian dikembangkan oleh muridnya Hans Nawiasky
dengan jenjang norma dalam kaitannya suatu negara, bahwa selain norma hukum
21.
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2009, hal. 48 dikutip dari Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-
Undangan 1, Kanisius, Yogyakarta, hal. 26.
24
itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum itu juga berkelompok-kelompok.22
Hans Nawiasky, mengelompokan norma-norma hukum dalam suatu negata itu
menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas kelompok, yaitu:
1. Staatsfundamentalnorm, yaitu Norma Fundamental Negara;
2. Staatsgrundgesetz, yaitu Aturan Dasar atau Pokok Negara;
3. Formal Gesetz, yaitu Undang-Undang Formal, dan
4. Verordnung & Autinime Satzung, yaitu Aturan Pelaksana & Aturan
Otonom
Berkaitan dengan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia, khususnya dalam konteks pembentukan undang-undang, teori norma
hukum setidaknya akan dapat memberikan pemahaman dan memudahkan dalam
mengindentifikasi serta melihat pelbagi probkematika dalam sistem perundang-
undangan. Banyak dasar dan ukuran untuk menentukan pernah berlaku di
Indonesia. Pertama, dapat dilihat dari fase perjalanan ketatanegaraan, yakni masa
sebelum kemerdekaan Republik Indonesia (zaman Hindia Belanda), dan masa
setelah kemerdekaan. Dalam fase setelah kemerdekaan untuk menentukan
bentuknya peraturan perundang-undangank dapat dilihat dari berlakunya perlabgi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi).
Kedua, bentuk peraturan perundang-undangan dilihat dari perlabgi ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang jenis-jenis dan bentuk peraturan perundang-
undangan.
22.
Ibid, dikutip dari Hans Nawiasky, 1948, Allgemeine Rechtslehre als System der Grendbegriffe,
Cet. II, Einsiendeln/Zurich/Koln. Benziger, hal 40
25
Memang, untuk menjelaskan tentang bentuk-bentuk peraturan perundang-
undangan, pada akhirnya perlu mengkaji tata ururtan peraturan perundang-
undangan, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Dalam hukum positif
Indonesia mengatur ketentuan tentang jenis dan hirarkit (tata ururtan) peraturan
perundang-undangan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (disingkat menjadi
UU PPPU). Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU PPPU, ditentukan jenis dan hirarki
peraturan perundang-undangan yaitu sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
1.7.3. TeoriKompensasi
Menurut kamus hukum, kompensasi ialah perjumpaan utang piutang.
Apabila debitor mempunyai tagihan terhadap kreditornya, maka dengan
kompensasi utang piutang itu saling mematikan sampai jumlah yang sama.
Kompensasi ada hanya mungkin apabila utang piutang itu mengenai seperti uang
atau barang yang jenis.23
Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia, Kompensasi ialah:
23.
Subekti dan Tjitrisoedibio, 2002, Kamus Hukum, cet., XIV, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 67.
26
1. Ganti rugi;
2. Pemberesan piutang dengan memberikan barang-barang yang seharga
dengan utangnya;
3. Pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh
keseimbangan dari kecewaan dalam bidang lain;
4. Imbalan berupa uang atau bukan uang, yang diberikan kepada karyawan
dalam perusahaan atau organisasi.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,
Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang Berat, kompensasi diatur dalam Pasal 1 angka 4, yang menentukan bahwa
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku
tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya.”
Dikatakan adanya kompensasi (perjumpaan utang) apabila utang piutang
debitor dan kreditor secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan
perhitungan itu utang piutang menjadi leyap. Menurut Pasal 1426 KUHPerdata
menetukan bahwa perhitungan “ Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan tanpa
setahu debitur, dan kedua utang itu saling dihapuskan pada saat utang itu
bersama-sama ada, bertimbal balik untuk jumlah yang sama.”
Yang artinya tidak perlu para pihak untuk menuntut untuk diadakannya
perhitungan itu. Untuk perhitungan itu juga tidak diperlukan bantuan dari
27
siapapun, untuk dapat dapat diperhitungkan satu sama lain, kedua pitang itu harus
mengenai sejumlah barang yang semacam, misalnya barang atau uang.24
Agar utang tersebut dapat diperjumpakan, perlu dipenuhi syarat-syarat:
1. Berupa sejumla uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis dan
kualitas yang sama;
2. Utang tersebut sudah dapat ditagih; dan
3. Utang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya (Pasal
1427 KUHPerdata).
Pada umumnya undang-undang tidak menghiraukan sebab-sebab yang
menimbulkan suatu piutang. Hanya dalam Pasal 1429 KUHPerdata disebutkan
lima kekecualian piutang-piutang yang tidak dapat diperhitungkan/diperjumpakan
satu sama lain:
1. Jika satu pihak menuntut dikembalikannya barang miliknya dengan
secara melawan hukum hak telah diambil oleh pihak lawannya,
misalnya karena pencurian;
2. Jika satu pihak menuntut dikembalikannya suatu barang yang dititip atau
dipinjamkan pada pihak lawan itu.
3. Jika kalau satu pihak menuntut diberlakukannya suatu tunjangan nafkah
yang telah menjadi haknya dan telah dinyatakan tidak dapat disita (Pasal
1429 KUHPerdata).
4. Utang-utang negara berupa pajak, tidak mungkin dilakukan perjumpaan
utang (yurisprudensi) dan;
24.
Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet., XXVIII, Intermasa, Bandung, hal. 158.
28
5. Utang-utang yang timbul dari perikatan wajar tidak mungkin
perjumpaan (yurisprudensi).25
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kompensasi, antara lain sebagai
berikut:
1. Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja.
2. Kemampuan dan Kesediaan Perusahaan/Pemerintah.
3. Pemerintah dengan Undang-Undang dan Keppresnya.
Pemerintah dengan Undang-Undang dan Keppresnya dapat menetapkan
besarnya batas upah/balas jasa minimum. Peraturan pemerintah ini sangat penting
supaya pengusaha tidak sewenang-wenang mentapkan besarnya balas jasa bagi
karyawan. Pemerintah berkewajiban melindungi masyarakat dari tindakan
sewenag-wenang.
1.7.4. Teori Ganti Rugi.
Ada 2 sebab timbulnya ganti rugi, yaitu karena ganti rugi karena
wanprestasi dan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. ganti rugi karena
wanprestasi diatur dalam buku III KUHPerdata yang dimulai dari Pasal 1243
KUHPerdata sampai dengan 1252 KUHPerdata, sedangkan ganti rugi karena
perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Ganti rugi
karena perbuatan melawan hukum adalah suatu ganti rugi yang dibebankan
kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan pada pihak yang dirugikan.
Ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.
25.
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Cet. Revisi, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal 284.
29
Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan
kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat dengan
debitur.26
Pembebanan ganti rugi ini atas perintah pengadilan setelah melalui
proses somasi minimal tiga kali.
Menurut ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti kerugian karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan, baru diwajibkan jika debitor setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya; atau sesuatu yang harus diberikan
atau dikerjakan, hanyadapat diberikan atau dikerjakan dalam tegang waktu yang
telah dilewatkannya.
Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam pasal di atas adalah kerugian
yang timbul karena debitor melakukan wanprestasi (lalai dalam memenuhi
perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitor terhitung sejak dia
dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu terdiri atas tiga unsur, yaitu:
a. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya
materai, dan biaya iklan.
b. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik
kreditor akibat kelalaian debitor, misalnya ambruknya gedung karena
kesalahan kontruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga.
c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan
selama piutang terlambat dilunasi, keuntungan yang tidak diperoleh
karena kelambatan penyerahan bendanya (Pasal 1246 KHPerdata).
26.
Salim HS, 2011, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. VII, Sinar Grafika, Jakarta
(selanjutnya disingkat Salim HS II), hal.182.
30
Yang diartikan dengan biaya-biaya (ongkos-ongkos), adalah ongkos yang
telah dikeluarkan oleh kreditor untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian adalah
berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian,
sedangkan bunga-bunga yang keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditor.
Pengantian biaya-biaya, kerugian, kerugian, dan bunga itu harus merupakan
akibat langsung dari wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadi
perjanjian.27
Di dalam Pasal 1249 KUHPerdata, ditentukan bahwa penggantian kerugian
yang disebabkan karena wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang.
Namun, dalam perkembangannya menurut para ahlidan yurisprudensi bahwa
kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materiil dan ganti
rugi inmateriil.28
Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang diderita kreditor
dalam bentuk uang/kekayaan/benda, sedangkan kerugian inmateriil adalah suatu
kerugian yang diderita oleh kreditor yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit,
mukanya pucat dan lain-lain.
Untuk melindungi debitor dari tuntutan dari kesewenang-wenangan dari
pihak kreditor, undang-undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian
yang wajib dibayar oleh debitor sebagai akibat dari kesalahan dari kelalaian
(wanprestasi). Kerugian yang harus dibayar oleh debitor hanya meliputi:
27.
Ibid.
28.
Asser’C., 1991, Pengajian Hukum Perdata Belanda, Diterjemahkan oleh Sulaeman, Dian
Rakyat, Jakarta, hal. 274
31
a. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan. Dapat diduga itu
tidak hanya mengenai kemungkinan timbulnya kerugian, tetapi juga
meliputi besarnya jumlah kerugian. Jika jumlah kerugian melampaui
batas yang dapat diduga, kelebihan yang melampaui batas dugaan itu
tidak boleh dibebankan kepada kreditor, kecuali jika debitor ternyata
telah melakukan tipu daya (Pasal 1247 KUHPerdata).
b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprstasi (kelalaian) debitor,
seperti yang ditentukan dalam Pasal 1248 KUHPerdata. Untuk
menentukan syarat akibat langsung dipakai teori adequate. Menurut
teori ini, akibat langsung adalah akibat yang menurut pengalaman
manusia normal dapat diharapkan atau dapat diduga akan terjadi.
Dengan terjadinya wanprestasi, debitor selaku manusia normal dapat
menduga akan merugikan kreditur. Teori adequate ini diikuti dalam
praktek peradilan.
c. Bunga dalam terlambatnya pembayaran sejumlah hutang (Pasal 1250
ayat (1) KUHPerdata). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Menurut
Yurisprudensi, Pasal 1250 KUHPerdata tidak dapat diberlakukan
terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.29
29.
Sri Soedewi Maschoen, 1974, Hukum Perutangan, Seksi Hukum Perdata, Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 36.
32
1.7.5.Teori Efektivitas Hukum
Ada beberapa teori tentang efektivitas yang dijelaskan oleh para sarjana
yaitu Teori Efektivitas menurut Soerjono Soekanto, hukum sebagai kaidah
merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode
berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga
menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang
hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Metode berpikir
yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai
tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan
tertentu.30
Pengertian efektifitas hukum menurut Hans Kelsen efektifitas hukum,
dibicarakan pula tentang Validitas Hukum. Validitas hukum berarti bahwa norma-
norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang
diharuskan oleh norma-norma hukum. Bahwa orang harus mematuhi dan
menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-
benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus
berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.
Hal berlakunya hukum:
1. Secara Filosofis
Berlakunya hukum secara filosofis berarti bahwa hukum tersebut sesuai
dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi.
30.
Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegagkan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 6.
33
2. Secara Yuridis
Berlakunya hukum secara secara yuridis, dijumpai anggapan-anggapan
sebagai berikut:
- Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa kaidah hukum mempunyai
kelakuan yuridis, apabila penetuannya berdasarkan kaidah yang lebih
tinggi tingkatannya. Ini berhubungan dengan teori “stufenbau” dari
kelsen
- W. Zevenbergen, menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai
kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut “op de verischte ize is tot
sand gekomen”
3. Secara Sosiologis
Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif,
artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa
walaupun tidak diterima oleh warga masyarakt (teori kekuasaan), atau
kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori
pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut teori
pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima dan diakui
masyrakat. Sedangkan menurut teori paksaan berlakunya kaidah hukum
apabila kaidah hukum tersebut dipaksakan oleh penguasa.
Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui
apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal
mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil
mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya
34
atau tidak. Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan
yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya
dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan
mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi
negatif atau sanksi positif, yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar
manusia tidak melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.
Diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar hukum
mempunyai pengaruh terhadap sikap tindak atau perilaku manusia. Kondisi-
kondisi yang harus ada adalah antara lain bahwa hukum harus dapat
dikomunikasikan. Komunikasi hukum lebih banyak tertuju pada sikap, oleh
karena sikap merupakan suatu kesiapan mental sehingga seseorang mempunyai
kecendurangan untuk memberikan pandangan yang baik atau buruk, yang
kemudian terwujud di dalam perilaku nyata.
Apabila yang dikomunikasikan tidak bisa menjangkau masalah-masalah
yang secara langsung dihadapi oleh sasaran komunikasi hukum maka akan
dijumpai kesulitan-kesulitan. Hasilnya yaitu hukum tidak punya pengaruh sama
sekali atau bahkan mempunyai pengaruh yang negatif. Hal itu disebabkan oleh
karena kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi dan dipahami, sehingga
mengakibatkan terjadinya frustasi, tekanan, atau bahkan konflik.
Untuk mengetahui apakah hukum itu benar benar diterapkan atau dipatuhi
oleh masyarakat maka harus dipenuhi beberapa faktor yaitu :
35
1. Faktor Hukumnya Sendiri
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas
yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak
yang positif. Artinya, supaya undang-undang tersebut mempunyai
tujuannya, sehingga efektif. Asas-asas tersebut antara lain :
1. Undang-undang tidak berlaku surut, artinya undang-undang hanya
boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undang-
undang tersbut, serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan
berlaku.
2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tingg,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
3. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingka undang-
undang yang bersifat umum apabila pembuatnya sama. Artinya,
terhadap peristiwa khusus diberlakukan undang-undang yang
menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa kasus tersebut
dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebutkan
peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum, yang juga dapat
mencakup peristiwa khusus tersebut.
4. Undang-undang yang berlaku di lapangan, membatalkan undang-
undang yang berlaku terdahulu. Artinya undang-undang lain yang
lebih dulu berlaku dimana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak
berlaku lagi apabila ada undang-undang baru yang berlaku
belakangan yang mengatur pula hal tersebut, akan tetapi makna atau
36
tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang yang
lama tersebut.
5. Undang-undang tersebut tidak dapat digugat.
6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai
kesehjateraan spritual dan materiil bagi masyarakat maupun pribadi,
melalui pelestarian atau pembaharuan (inovasi). Artinya supaya
pembuat undang-undang tidak sewenang-wenang atau supaya
undang-undang itu tidak menjadi huruf mati. 31
2. Faktor Penegak Hukum
Peranan yang seharusnya dari kalangan penegak hukum tertentu, telah
dirumuskan di dalam beberapa undang-undang. Di samping itu, di dalam
undang-undang tersebut juga dirumuskan perihal peranan yang ideal.
Secara berturut peranan yang ideal dan yang seharusnya, adalah:
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kepolisian Negara:
- Peranan yang ideal :
Pasal 1 ayat (2), menentukan bahwa “Kepolisian Negara dalam
menjalankan tugasnya selalu menunjang tinggi hak-hak asasi
rakyat dan hukum negara”.
- Peranan yang seharusnya:
31.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi,
Alumni, Bandung, hal. 20.
37
Pasal 1 ayat (1), yang menentukan bahwa “Kepolisan Negara
Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara, ialah
alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara
keamanan negara.32
3. Faktor Sarana Atau Fasilitas Yang Mendukung Penegakan Hukum
Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam
penegak hukum. tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual. 33
4. Faktor Masyarakat Itu Sendri
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena, dipandang dari
sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan
hukum tersebut.
5. Faktor Budaya
Dari sudut pandang budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat
majemuk (plural society), terdapat banyak golongan etnik dengan
kebudayaan-kebudayaan khusus. Di samping itu, maka bagian terbesar
dari penduduk Indoensia tinggal di wilayah itu, maka bagian terbesar
penduduk tinggal di wilayah pedesaan yang berbeda ciri-cirinya dengan
wilayah perkotaan. Masalah-masalah yang timbul di wilayah pedesaan
32.
Soerjono Soekanto, op.cit, hal. 23.
33.
Ibid, hal. 45.
38
mungkin harus lebih banyak ditangani dengan cara-cara tradisional; di
wilayah perkotaan tidak masalh diselesaikan tanpa menggunakan cara-
cara tradisional.34
Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum itu, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas hukum. Jadi
apabila semua faktor itu telah terpenuhi barulah keadilan dalam masyarakat dapat
dirasakan sepenuhnya. Dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah tujuan utama
dari penerapan hukum. Berarti dengan adanya keadilan hukum itu bisa diterima
oleh masyarakat umum dan barulah efektivitas hukum itu terwujud.
1.8. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu pedoman untuk mempelajari dan
memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi, dan digunakan dalam setiap
penelitian ilmiah. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab
isu hukum yang dihadapi.35
Dalam penelitian hukum, seorang peneliti hukum dapat melakukan
aktivitas-aktivitas untuk mengungkapkan kebenaran hukum yang dilakukannya
secara terencana, metodologis, sistematis, dan konsisten. Sebagai suatu penelitian
ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian ini akan diawali dari teknik
34.
Ibid, hal. 50.
35.
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Cet. VII, Kencana, Jakarta, hal. 35.
39
pengumpulan data sampai dengan teknik analisis data, dengan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut :
1.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan karya tulis skripsi ini
adalah penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian secara yuridis merupakan
suatu metode yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum dan perundang-
undangan yang berlaku. Sedangkan penelitian hukum normatif ini dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)
atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas. Sumber data yang digunakan hanyalah
data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, atau
bahan hukum tersier.36
1.8.2. Jenis Pendekatan
Jenis Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan sejarah (Historical
approach), pendekatan perbandingan (Comparative Appoach) dan pendekatan
analisis hukum (Analitical & Conseptual Approach). Pendekatan peraturan
perundang-undangan (Statute Approach) yaitu dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani, pendekatan sejarah (Historical Approach) ialah dengan menelaah
peristiwa hukum dengan melihat peristiwa yang dulu dengan membandingkannya
36.
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo,
Jakarta, hal. 119.
40
pada zaman ini sedangkan pendekatan perbandingan (Comparative Approach)
ialah menelaah ilmu hukum dengan melakukan perbandingan antara norma
dengan norma. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang
ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah
konsistensi dan kesesuaiaan antara suatu undang-undang dengan undang-undang
lainnya, hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan
isu yang dihadapi.37
Dalam penelitian ini pendekatan perundang-undangan
dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang penananam modal, dalam pendekatan sejarah dilakukan dengan melihat
dan mengkaji peristiwa nasionalisasi terhadap perusahaan penanaman modal asing
dari zaman orde lama sampai sekarang dan pendekatan perbandingan dilakukan
dengan membangdingkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
nasionalisasi dari zaman orde lama sampai sekarang.
1.8.3. Bahan Hukum
Dalam skripsi ini bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum
yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mengkaji bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan
pengetahuan ilmiah yang baru dan muktahir, ataupun pengertian baru
tentang fakta-fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan
ide.38
Penelitian menggunakan bahan hukum primer dapat berupa asas
37.
Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hal. 93
41
dan kaidah hukum dimana perwujudan asas dan kaidah hukum ini dapat
berupa peraturan dasar, dalam penelitian ini antara lain:
1. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2. Peraturan perundang-undangan, yakni Undang-undang dan peraturan
yang setara, Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf,
Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf, Keputusan Menteri
dan peraturan yang setara, serta Peraturan Daerah.
3. Yurisprudensi.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-
undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan
seterusnya. Dalam hal ini yang terkait dengan nasionalisasi perusahaan
penanaman modal asing, hasil penelitian, pendapat para pakar (doktrin),
jurnal-jurnal hukum, serta situs dalam internet yang memuat tulisan-
tulisan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan
hukum sekunder yakni, kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
38.
Ibid.
42
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam pembuatan
skripsi ini yakni teknik studi dokumen. Teknik studi dokumen bagi penelitian
hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini harus
diperiksa ulang validitas dan realibilitasnya, sebab hal ini sangat menentukan hasil
suatu penelitian.39
Teknik ini dilakukan dengan cara mencari, menginventarisasi,
dan mempelajari peraturan perundang-undangan yang terkait. Selain itu juga
dilakukan penghimpunan data melalui penelaahan bahan kepustakaan atau data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:
- Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum atau non-
hukum.
- Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak
setuju, benar atau salah, sah atau tidak sa terhadap suatu pandangan.
- Teknik Konstruksi, berupa pembentukan konstruksi dengan melakukan
analogi atau pembalikan proposisi.
- Teknik Argumentasi, berupa penilaian yang bersifat penalaran hukum.
39.
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, op.cit, hal. 68.
43
- Teknik Sitematisasi, berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep
hukum antara perundang-undangan yang sederajat antara perundang-
undangan yang sederajat maupun tidak sederajat.40
40.
Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, hal. 77.