BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdf · Penguasaan tambang dan migas yang...

43
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan mega competition, investor semakin leluasa dalam berinvestasi. 1 Untuk itu penerima modal harus menyiapkan berbagai sarana dalam menarik investor. Artinya persaingan dalam merebut calon investor semakin terbuka dan penuh kompetisi. Investasi terutama penanaman modal asing (PMA) telah menjadi suatu fenomena yang bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan umat manusia pada hampir seluruh belahan dunia. Apabila tidak diberikan kesempatan, melalui berbagai kreativitas, inovasi dan terobosan-terobosannya, maka investasi akan menciptakan sendiri atau berusaha mendorong-dorong agar peluang itu terbuka. Oleh karena itu, sudah tidak dapat lagi hanya mengandalkan adanya keunggulan komparatif. Untuk menciptakan keunggulan komparatif tersebut perlu adanya stabilitas ekonomi, politik dan pengaturan hukum yang akan menciptakan kepastain terhadap investor, dan kenyamanan terhadap penanaman modal dalam negeri dan pemerintah nasional agar tidak didominasi oleh investor asing. Pengaturan yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menjaga agar tidak didominasi oleh Penanaman Modal Asing (PMA) yaitu dengan tindakan “Nasionalisasi”. Nasionalisasi adalah pengambilalihan secara 1. Sentosa Sembiring, 2007, Hukum Investasi Pembahasan Dilengkapi dengan Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal , Nuansa Aulia, Bandung, hal. 97. 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdf · Penguasaan tambang dan migas yang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di era liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan mega competition,

investor semakin leluasa dalam berinvestasi.1 Untuk itu penerima modal harus

menyiapkan berbagai sarana dalam menarik investor. Artinya persaingan dalam

merebut calon investor semakin terbuka dan penuh kompetisi. Investasi terutama

penanaman modal asing (PMA) telah menjadi suatu fenomena yang bersentuhan

dengan berbagai aspek kehidupan umat manusia pada hampir seluruh belahan

dunia. Apabila tidak diberikan kesempatan, melalui berbagai kreativitas, inovasi

dan terobosan-terobosannya, maka investasi akan menciptakan sendiri atau

berusaha mendorong-dorong agar peluang itu terbuka. Oleh karena itu, sudah

tidak dapat lagi hanya mengandalkan adanya keunggulan komparatif.

Untuk menciptakan keunggulan komparatif tersebut perlu adanya stabilitas

ekonomi, politik dan pengaturan hukum yang akan menciptakan kepastain

terhadap investor, dan kenyamanan terhadap penanaman modal dalam negeri dan

pemerintah nasional agar tidak didominasi oleh investor asing.

Pengaturan yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk

menjaga agar tidak didominasi oleh Penanaman Modal Asing (PMA) yaitu

dengan tindakan “Nasionalisasi”. Nasionalisasi adalah pengambilalihan secara

1. Sentosa Sembiring, 2007, Hukum Investasi Pembahasan Dilengkapi dengan Undang - Undang

Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Nuansa Aulia, Bandung, hal. 97.

1

2

menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan asing dengan tujuan untuk

mengakhiri penanaman modal asing di dalam ekonomi atau sektor-sektor

ekonomi dalam negeri dengan tetap memberikan kompensasi.

Nasionalisasi dianggap sebagai salah satu resiko terbesar PMA pasca

periode kolonialisme. Perlindungan terhadap ancaman nasionalisasi kemudian

dilakukan melalui instrumen hukum internasional. Tidakan melakukan

Nasionalisasi terhadap perusahaan asing merupakan bukan semata ada di ranah

ekonomi, tetapi juga sosial, politik dan keaulatan suatu negara. Sikap tidak

bersahabat ini dapat diwujudkan dalam keputusan politik untuk menasionalisasi

atau mengambilalih modal asing. Nasionalisasi juga dapat dilatarbelakangi oleh

dekolonisasi ekonomi, yakni keiinginan untuk mengubah sistem ekonomi kolonial

menjadi sistem ekonomi nasional.

Tindakan nasionalisasi tersebut telah seseuai dengan amanah konstitusi

negara Indonesia yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam Pasal 33 UUD

1945, yang menentukan bahwa sebagai berikut:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas

kekeluargaan,

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara,

(3) Menyebutkan; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan

ayat

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam

undang-undang.

3

Dari Pasal 33 ayat (3), secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta

penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang

ataupun seorang. Dengan kata lain monopoli, tidak dapat dibenarkan namun fakta

saat ini berlaku di dalam praktek-praktek usaha, bisnis dan investasi dalam bidang

pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan tambang dan migas yang mayoritas

dikuasai modal asing, secara nyata bertentangan dengan konstitusi Pasal 33 UUD

1945 ini. Makna dari kemandirian dalam pembangunan nasional yang dijalankan

dewasa ini adalah bahwa meskipun penggunaan dana yang dimiliki oleh

pemerintah lebih diutamakan, pembangunan nasional tersebut tidak terlepas dari

bantuan dan kerjasama pihak luar, sepanjang dana dari pihak luar tersebut

berfungsi sebagai pelengkap.2

Dalam survei yang dilakukan oleh The Organisation for Economic

Cooperation and Development (OECD) menemukan bahwa hukum internasional

tidak melarang tindakan nasionalisasi atas modal asing yang dilakukan oleh

negara penerima investasi sepanjang memenuhi sejumlah persyaratan. Disebutkan

bahwa ”Customary International law does not preclude host states from

expropriating foriegn invesment for a public purpose, as procided by law, in a

non-discriminatory manner with compesation”. 3

Perjanjian internasional di bidang penanaman modal didasari oleh konsep

untuk mendorong aliran modal asing demi kemakmuran bersama negara penerima

2. Sumantoro, 1986, Hukum Ekonomi, UI-Press, Jakarta, hal. 5

3. Directorate for Financial and Enterprise Affairs, Organisation fo Economic Co-operation and

Development, 2004, “Indicect Expropritation” And The”right to Regulate ”In International

Investment law, Working Papers on International Investmen, Number 4 Semtember 2004, hal. 3.

4

modal, negara asal modal asing dan barang tentu PMA sendiri. Sesuai dengan

adagium “pacta sunt servanda”, perjanjian internasional harus dilaksanakan

dengan etikat baik (good faith) atau dengan penuh ketaatan (uberrima fiders atau

with utmost fidelity). Hal ini penting untuk digaris bawahi, bahwa persoalan

nasionalisasi tidak semata-mata menyangkut urusan hukum dan ekonomi, tetapi

juga yang kadang-kadang terasa tidak rasional dan berkembang menjadi

emosianal semata.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui hak negara tuan rumah, penerima

penanaman modal asing untuk melakukan nasionalisasi dengan beberapa

persyaratan tertentu. Pengakuan ini merupakan penghormatan terhadap

Kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam, Nomor 1803 Tahun 1962 (United

Nations General Assembly Resolution On Permanent Sovereigny Over Natural

Resources),menentukan bahwa:

“Nationalization, eexpropriation or requisitioning shall be based on

grounds or reasons of public utility, security or the national interesy which

are recognized as overrinding purely individual or private interests, both

domestic and foriegn. In such cases the owner shall be paid appropriate

compensation, in accordance with the rules in force in the State taking such

measures in the exercise of its sovereignty and in accordance with

international law. In any case where the question of compensation gives rise

to a controversy, the national jurisdition of the State taking such measure

shall be exhusted. However, upon agreement by sovereign State and other

parties concerned, sattlement of the dispute should be made throgh

arbitration or international adjudication”.4

Selanjutnya dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 3281 Tahun 1974

tentang Chacter of Economic Right and Duties of States mengakui hak setiap

4. United Nations General Assembly Resolution Number 1803 of 1962 on Permanent Soverignty

over Natural Resources.

5

negara untu secara bebas melaksanakan kedaulatannya, termasuk dalam pemilikan

dan penggunaan sumberdaya alam dalam kegiatan-kegiatan ekonominya.

Pelaksanaan hak ini antara lain mencakup tindakan nasionalisasi. Dalam Pasal 2

ayat (2) huruf C Resolusi ini menyatakan bahwa “setiap negara berhak untuk

melakukan nasionalisasi atau ekspropriasi denga beberapa syarat”. Rumusan

selengkapnya adalah sebagai berikut:

“To nationalize,expropriate or transfer ownership of foriegn property, in

which case appropriate compensation should be paid by the State adopting

such measures, taking into accont its relevant laws and regulations and all

circumstances that the State considers pertinent. In any case where the

question of compensation gives rise to controversy. It shall be settled under

the domestic law of the nationalizing State and by peaceful means be sought

in the basis of the soverign equality of States and in accodance with the

principle of free choice of means.”5

Indonesia sebagai negara berdaulat sekaligus sebagai negara berkembang

mempunyai pola tertentu terhadap konsep hukum dalam kegiatan ekonomi,

meliputi konsep pencapaian masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,

konsep ekonomi kekeluargaan yang Pancasilais, konsep ekonomi kerakyatan

untuk membela kepentingan rakyat.

Pembangunan ekonomi haruslah didukung oleh pembangunan hukum

karena antara keduanya saling menunjang, dimana pembangunan ekonomi hanya

dapat tercapai apabila ada kepastian hukum. Antara hukum dan ekonomi

merupakan dua sistem dari sistem kemasyarakatan yang saling berinteraksi satu

5. United Nations General Assembly Resolution Number 3281 (XXIX) of 1974 on Charter of

Economic Right an Duties of State.

6

sama lain.6 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan, salah satu konsep

dari globalisasi adalah meletakkan segala kegiatan dan hubungan ekonomi pada

peran masyarakat. Berdasarkan konsep ini, maka kesiapan materi hukum harus, di

satu pihak diarahkan pada mempersiapkan masyarakat untuk menjadi pelaku

ekonomi yang utama termasuk hubungan-hubungan ekonomi global. Di pihak

lain, mengurangi atau meniadakan aturan-aturan hukum yang memberikan

kewenangan kepada administrasi negara. Pada saat ini, yang terpenting adalah

kesiapan dan kepastian dari aturan hukum yang dapat lebih memberdayakan

masyarakat/pelaku usaha agar menjadi pelaku ekonomi yang mandiri, mampu

bersaing dengan pelaku ekonomi lain.7

Tantangan lainnya yang dihadapi calon investor asing di Indonesia adalah

bagaimana pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat

memberikan iklim yang kondusif untuk terselenggaranya investasi. Pada tingkatan

pemerintah pusat, masalah yang dihadapi adalah masih belum terlihatnya yang

jelas dalam strategi pengembangan industrilialisasi. Strategi yang demikian sangat

diperlukan sehingga birokrasi pada pemerintah daerah provinsi dan pemerintah

daerah kabupaten/kota dapat menyatukan dan melakukan koordinasi atas

rancangan-rancangan pengembangan investasinya di daerah untuk dapat

mendukung tercapainya target - target dari strategi industrilisasi nasional tersebut.

6. Dhaniswara K Harjono, 2007, Hukum Penanaman Modal Tinjauan Terhadap Undang - Undang

Nomor. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 91.

7.Bagir Manan, “Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi Nasional dalam Globalisasi”,Makalah

dalam Seminar Tentang Pendekatan Ekonomi dalam Pengembangan Sistem Hukum Nasional

Dalam Rangka Globalisasi, Penyelenggara FH Unpad Bandung, 30 April 1998.

7

Untuk menarik minat investor menanamkan modal diperlukan sejumlah

faktor-faktor yang dapat menarik minat investor, yakni semata, akan tetapi harus

dapat menciptakan iklim yang kondusif dan sehat sehingga meningkatnya daya

saing Indonesia sebagai tujuan penanaman modal:

1. Faktor Politik

Orientasi dari politik di dunia investasi merupakan kekuasaan dan sebuah

pengakuan akan status (kepentingan), tetapi jika itu dilandasi pada sebuah

investasi sosial yang santun, niscaya kekuasaan dan status yang dimenangkan

akan dipergunakan sebaik-baiknya demi kemakmuran rakyat dan arah

pembangunan yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat secara murni.

Pentingnya kestabilan politik dalam setiap pengambilan keputusan yang

diambil oleh pemerintah agar tidak terjadinya diskriminasi dan investasi tidak

dijadikan sebagai alat pengusaha atau oknum asing dalam mempengaruhi

perekonomian nasional. Dengan adanya kestabilan politik tersebut gampang

memprediksi kebijakan dan sikap apa yang akan diambil oleh pemerintah

yang berkaitan dengan dunia usaha.

2. Faktor Ekonomi

Pembentukan investasi merupakan faktor penting terhadap pembangunan

ekonomi suatu negara. Ketika pengusaha atau individu atau pemerintah

melakukan investasi, maka ada sejumlah modal yang ditanam atau

dikeluarkan, atau pembelian sejumlah barang untuk tidak dikonsumsi. Di

dalam suatu Negara, terutama di Negara yang sedang berkembang, modal

merupakan salah satu syarat utama dalam mencapai kemajuan ekonomi.

8

Dengan modal itulah para pelaku ekonomi dapat meningkatkan kemampuan

produksinya, dan sebaliknya kekurangan modal akan menghambat proses

produksi.

3. Faktor Hukum

Berbagai ketentuan hukum yang terkait dengan investasi dirasakan perlu

untuk menyesuaikan dengan berbagai perjanjian multilateral, regional

maupun bilateral yang diikuti oleh pemerintah Indonesia. Pentingnya

peraturan yang berkenaan untuk mengetahui hak, kewajiban, kewenangan

yang dimiki oleh para pihak-pihak yang terlibat dalam penanaman modal.8

Banyak langkah yang dirancang dan dilaksanakan dalam rangka

memanfaatkan dan meningkatkan iklim investasi yang kondusif dan memihak

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) merupakan sebagai suatu instrumen

kesejahteraan rakyat pada dasarnya yang merupakan bagian dari nilai-nilai

falsafah Indonesia. Pentingnya peraturan yang berkenaan dengan pencegahan

investasi menjadi alat eksploitasi, mengembalikan gairah PMDN untuk

berinvestasi, mengurangi ketergantungan kepada asing dan pengaturan masuk

dan operasional termasuk penjaminan dalam berinvestasi merupakan kompetensi

pengaturan hukum.9

Investor asing akan menanamkan modal di Indonesia apabila adanya

perangkat hukum yang jelas. Artinya antara satu ketentuan dengan ketentuan

8. Sentosa Sembiring,op.cit, hal. 57.

9.Putu Sudarma Sumadi, 2012, “The Indonesian Investment Law In A Nutshell”,

http://www.ciblac.com/index.php?p=arsip-vol-1, yang diakses tanggal 19 Desember 2014).

9

lainnya yang berkaitan dengan investasi tidak saling berbenturan. Perlunya

mempersiapkan peta penanaman modal yang memuat peluang apa saja yang

komprehensif sehingga dapat dijadikan pegangan bagi para calon investor,

ketentuan investasi yang komprehensif sehingga dapat dijadikan pegangan bagi

para calon investor jika ia ingin menanamkan modalnya di Indonesia dan adanya

kepastian hukum.10

Peranan hukum dalam mendorong penanaman modal asing sangat

diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum. Para investor sangat

membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan melalui kepatuhan

terhadap kontrak atau kerjasama yang telah dibuat serta adanya kepastian tentang

mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa.11

Sehubungan dengan hal tersebut, investasi di Indonesia sudah memiliki

perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut seperti

nasionalisasi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958

tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda dan penanaman

modal secara langsung sejak tahun 1967 dengan diundangkan Undang - Undang

No. 1 Tahun 1967 jo Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 Tentang Penanaman

Modal Asing (UUPMA), dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo Undang -

Undang No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman. Modal Dalam Negeri

10.

Sentosa Sembiring, op.cit, hal. 103.

11.

Marten Lucky Zebua, 2010, “Penanaman Modal Asing dan Ketidakpastian Hukum Sebagai

Salah Satu Kendala Dalam Investasi Asing di Indonesia”,

http://hukumbisnislucky.blogspot.com/2010/06/penanamanmodal-asing-dan.html, diakses pada

tanggal 26 Desember 2014.

10

(UUPMDN) yang kemudian diganti dengan Undang - Undang Nomor 25 Tahun

2007 Tentang Penanaman Modal.

Dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal

Asing (PMA). Pada masa tahun 1967 pemerintah banyak melakukan langkah-

langkah insentif di bidang perpajakan, upaya untuk menarik investor terus

dilakukan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai berikut:

a. Memperkenanakan pengelolaan perusahaan oleh personel asing.

b. Menjamin transfer modal dan keuntungan sesuai dengan mata uang

yang dikehendaki.

c. Jaminan untuk tidak nasionalisasi kecuali dalam keadaan khusus dan

dengan kompensasi yang layak, efektif dan segera.

Tindakan untuk pemerintah untuk tindakan nasionalisasikan terhadap

perusahaan asing juga diatur UUPMA, yaitu dalam Pasal 21 UUPM. Menentukan

bahwa:

“Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/ pencabutan hak

milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau

tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus

perusahaan yang bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang

dinyatakan kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian.”

Namun dalam Pasal 22 ayat (1) UU Penanaman Modal Asing, pemerintah

dapat melakukan tindakan nasionalisasi dengan wajib memberikan

kompensasi/ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui

oleh kedua belah pihak sesuai dengan asas-asas hukum internasional yang

berlaku.

11

Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang diakibatkan

oleh perilaku bisnis yang kurang bertanggung jawab yaitu berperilaku buruk

dalam menjaga kekuatan perekonomian Indonesia. Krisis tersebut telah mengubah

keadaan dari krisis ekonomi menjadi krisis kepercayaan. Untuk menyikapi hal

tersebut pemerintah membuat program pembangunan untuk meningkatkan iklim

investasi di indonesia, seperti program Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) tahun 2003-2004 dan dilanjutkan prorgam tersebut sampai

2009. Dalam rangka pemenuhan program pembangunan di bidang investasi

tersebut, pada tahun 2007, pemerintah telah mengesahkan dan mengundangkan

undang-undang di bidang penanaman modal yaitu Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (disingkat menjadi UUPM).12

Di dalam UUPM penanaman modal asing jika ingin berinvestasi di wilayah

negara republik Indonesia perusahaannya harus berbentuk perseroan terbatas (PT)

sesuai dengan yang telah ditentukan dalam Pasal 5 UUPM, bahwa”Penanaman

modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia

dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali

ditentukan oleh undang-undang”.

Dengan demikian investor asing termasuk perusahaan-perusahaan

multinasional (Multinational Erterprieses atau MNE), yang ingin berinvestasi di

Indonesia harus berbentuk Suatu Perseroan Terbatas seagaimana diatur dalam

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dengan status sebagai

12.

Ana Rokhmatussa’dyah, dan Suratman, 2010, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Cet. I, Sinar

Grafika, Jakarta., hal. 55.

12

perusahaan PMA. Dengan demikian perusahaan PMA merupakan suatu perseroan

terbatas yang didirikan berdasarkan undang-undang perseroan terbatas di

Indonesia, dimna di dalamnya terdapat unsur modal asing, tanpa memperhatikan

besarnya modal asing tersebut dalam struktur permodalan suatu perseroan

terbatas.13

Di dalam UUPM ada satu pasal mengatur mengenai kewenangan

pemerintah untuk melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak

terhadap perusahaan PMA. Walaupun pengaturan nasionalisasi tersebut telah

mengakomodasi asas-asas hukum umum yang telah diterima dalam hukum

internasional bahwa nasionalisasi harus dilakukan dengan Undang-Undang

disertai dengan pemberian kompensasi tetap saja masih menimbulkan

ketidakpasitian hukum dalam klausula Pasal 7.

Pengaturan mengenai nasionalisasai dalam UUPM dijumpai dalam Pasal 7,

yang menentukan bahwa:

(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilan

hal kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.

(2) Dalam hal pemerintah melalakukan tindakan nasionalisasi atau

pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana pada ayat (1), pemerintah

akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan

harga pasar.

Pengaturan Nasionalisasi dalam UUPM tersebut menimbulakan

ketidakpasian hukum dikarnakan norma tersebut berifat “norma kabur”.

Dijelaskan bahwa Pasal 7 ayat (1) tersebut berkaitan dengan kewenangan

Pemerintah untuk tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau

13.

David Kairupan, 2013, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, cet. I, Kencana

Prenada Media Group, hal. 100.

13

pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-

undang. Walaupun dalam ketentuan ini Pemerintah tidak akan melakukan

nasionalisasi dan pengambilalihan hak, namun dalam ketentuan ayat (2)

ditegaskan bahwa dalam hal pemerintah melakukan tindakan masionalisasi atau

pengambilalihan hak kepemilikan, pemerintah akan memberikan kompensasi

yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.14

Ketentuan ini menunjukan bahwa tidak adanya kepastian hukum bagi

investor asing dalam menanamkan investasinya di Indonesia dikarnakan ketentuan

ini bersifat dualisme, yaitu dikarenakan disatu sisi pemerintah tidak akan

melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan hak, namun disatu sisi pemerintah

dapat melakukan kedua tindakan itu, dengan syarat pemerintah akan memberikan

kompensasi atau ganti rugi kedapa investor asing yang telah dinasionalisasi atau

didivestasi sahamnya.15

Sebagaimana hal diatas, kekaburan norma yang tercantum dalam Pasal 7

UUPM dapat juga menyebabkan kemunduran terhadap iklim investasi masa

depan, dikarnakan ketidakjelasan dari pengaturan peraturan perundang-undangan

terutama tentang tindakan pemerintah dalam melakukan penanaman modal.

Dengan melihat paparan diatas mengenai legal issue di atas, adanya norma

kabur yang mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi investor asing dalam

14.

H. Salim HS , 2010, Hukum Divestasi Di Indonesia, Erlangga, Jakarta (selanjutnya disingkat

Salim HS I), hal. 110.

15.

Ibid.

14

menamankan modalnya di Indonesia dan keweangan pemerintah dalam

mengambil sikap untuk melakukan nasionalisasi perusahaan PMA di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, maka dibuatlah suatu karya tulis ilmiah dalam

bentuk skripsi yang berjudul “PENGATURAN NASIONALISASI

TERHADAP PERUSAHAAN PENANMAN MODAL ASING DI

INDONESIA (DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN

2007 TENTANG PENANAMAN MODAL)”.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana sejarah pengaturan nasionalisasi perusahaan penanaman modal

asing di Indonesia?

2. Apa relevansi pengaturan nasionalisasi terhadap Penanaman Modal Asing

di Indonesia?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan mengenai

materi yang diatur di dalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari

menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah

dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun

ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

15

1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi

pembahasan mengenai sejarah pengaturan nasionalisasi perusahaan asing

di Indonesia ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang ada di

Indonesia. Penulis akan menggunakan sejarah hukum, teori jenjang

norma dan mencari konsistensi dari pemerintah dalam pengaturan dari

nasionalisasi perusahaan PMA di Indonesia. Selain itu penulis akan

mendalami (bindingness) perkembangan nasionalisasi dewasa ini

sehingga dapat menemukan dan mendapat syarat-syarat, manfaat, tujuan

dan hakekat dari tindakan nasionalisasi.

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi

pembahasan mengenai eksistensi PMA akibat dari nasionalisasi dan

bagamai mana implementasi dari ketentuan nasionalisasi di Indonesia.

jadi penulis akan membahas terkait eksistensi PMA akibat dari

Nasionalisasi, implementasi di Indonesia.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan skripsi ini merupakan hasil

buah karya asli dari penulis, merupakan satu buah pemikiran penulis yang

dikembangkan sendiri oleh penulis. Sepanjang sepengetahuan penulis dan setelah

melakukan pengecekan atau pemeriksaan (baik dalam ruangan Gedung Skripsi

Fakultas Hukum Universitas Udayana dan dalam Internet) tidak ditemukan

adanya suatu karya ilmiah atau sripsi yang membahas atau mengangkat

permasalahan tentang “Pengaturan Nasionalisasi Terhadap Perusahaan Penanman

16

Modal Asing (Dintinjau Dari Undang-Undang Nomor25 Tahun 2007 Tentang

Penanaman Modal)”, sehingga dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat

di dalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk

mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan

menampilkan beberapa judul penelitian jurnal ilmiah atau skripsi terdahulu

sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan

menampilkan 2 (dua) jurnal ilmiah yang terdahulu berkaitan dengan nasionalisasi

dan tentang bentuk-bentuk perusahaan Penanaman Modal Asing di Indonesia,

yaitu sebagai berikut:

NO JUDUL PENULIS TAHUN RUMUSAN MASALAH

1 Perlindungan

Hukum Bagi

Investor Terhadap

Pengambilalihan

Perusahaan

Penanaman Modal

Asing Di Indonesia

I Gusti Made

Wisnu

Pradiptha

2013 1. Bagaimana

perlindungan hukum

investor terhadap

pengambilalihan

perusahaan Penanaman

modal asing di

indonesia.

2 Kepastian Hukum

Penanaman Modal

Asing

Dalam Bentuk

Perseroan Terbatas

(Naamloze

Vennotschap)

Komang Eva

Jayanti

2014 1. Mengapa penanaman

modal asing wajib

dalam bentuk badan

Hukum PT.

www.e-jurnal.com/2014/05/perlindungan–hukum-bagi-investor.html dan www.e-

jurnal.com2014/01/kepastian-hukum-penanaman-modal-asing.html diakses pada tanggal 16 Juni 2015.

Dengan demikian penelitian tentang Pengaturan Nasionalisasi Terhadap

Perusahaan Penanaman Modal Asing (Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25

17

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal), dengan rumusan: Bagaimana sejarah

pengaturan dari nasionalisasi di Indonesia dan apa relevansi pengaturan

nasionalisasi terhadap Penanaman Modal Asing di Indonesia. Belum ada yang

meneliti sehingga orisinalitas penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan sesuatu yang berguna untuk menentukan hasil

apa yang akan diperoleh. Pada penulisan suatu karya tulis ilmiah, haruslah

mempunyai tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan penelitian meliputi

tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum (het doel van het onderzoek)

berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma

ilmu sebagai proses (science as a process). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan

pernah final dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-

masing. Sedangkan tujuan khusus (het doel in het onderzoek) mendalami

permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan permasalahan

penelitian. Penjelasan lebih lanjut mengenai tujuan umum dan khusus dari

pembuatan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1.5.1. Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui konsep-konsep dari Nasionalisasi

2. Untuk mengetahui asas-asas dari Nasionalisasi.

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari tindakan Nasionalisasi.

4. Untuk mengetahui kewenangan dari pemerintah dalam melakukan

tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan PMA.

18

1.5.2. Tujuan Khusus

1. Untuk memahami mengenai bagaimana pengaturan Nasionalisasi

terhadap Perusahaan Asing di Indonesia.

2. Untuk memahami syarat-syarat dari perusahaan PMA yang akan

dikenakan tindakan Nasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia.

3. Untuk memahami eksistensi pengaturan nasionalisasi perusahaan

penanaman modal asing di Indonesia.

1.6. Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian, terdapat suatu manfaat penelitian. Selain

bermanfaat bagi penulis, diharapkan juga bisa bermanfaat bagi semua pihak dan

tentunya mempunyai manfaat yang dianggap positif. Manfaat penelitian dibagi

menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis. Adapun penjelasan sebagai

berikut :

1.6.1. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya serta

menambah wawasan ilmiah dalam khasanah ilmu hukum khususnya hukum

Investasi. Dengan adanya penelitian ini di harapkan dapat memberi dan

menghasilkan suatu penjelasan tentang hakekat, konsep-konsep, syarat-syarat dan

asas-asas dari nasionaslisasi terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing.

1.6.2. Manfaat Praktis

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan skripsi ini

diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

19

1. Dapat menjadi sebagai pedoman dalam memahami tindakan dari

pemerintah dalam melakukan Nasionalisasi terhadap perusahaan

penanam modal asing di Indonesia.

2. Dapat menjadi sebagai pedoman/acuan dalam menyelesaikan kasus

Nasionalisasi terhadap perusahaan penanam modal asing di Indonesia.

1.7. Landasan Teoritis

Sebelum membahas permasalahan dalam skripsi ini lebih mendalam, maka

terlebih dahulu akan diuraikan beberapa teori atau landasan-landasan yang

dimungkinkan untuk menunjang pembahasan yang ada. dengan adanya teori-teori

yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas, dan mendukung

unutk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini.

1.7.1. Teori Sejarah Hukum

Menurut Munir Fuady, sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang

merupakan cabang dari ilmu sejarah (karenanya bukan cabang ilmu hukum), yang

mempelajari, menganalisis, memverivikasi, mengintepretasi, menyusun dalil dan

kecenderungan, dan menarik kesimpulan tertentu tentang setiap fakta, konsep,

kaidah, dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku, baik

secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat serta ketersentuhannya

dengan bidang lain dari hukum. 16

Sejarah hukum juga mempelajarai proses terjadi dan pelaksanaan sejarah di

masa lalu serta perkembangannya dan keterkaitannya dengan apa yang terjadi di

16.

Munir Fuady, 2009, Sejarah Hukum, cet. I, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 1.

20

masa kini, baik seperti yang terdapat dalam literatur, naskah, bahkan tuturan

tuturan lisan, terutama penekanannya atas karakteristik keunikan fakta dan norma

tersebut sehingga dapat menemukan gejala, dalil, dan perkembangan hukum di

masa lalu yang dapat memberikan wawasan yang luas bagi orang yang

mempelajarinya, dalam mengartikan dan memahami hukum yang berlaku saat ini.

Jadi sejarah hukum merupakan cabang dari ilmu sejarah, bukan cabang dari

ilmu hukum, memang, ada bagian dari ilmu hukum yang erat kaitannya dengan

sejarah, yaitu disebut dengan “Historical Jurisprudance”, tetapi ini berbeda

dengan ilmu sejarah hukum.

Fungsi dan kegunaan dari mempelajari sejarah hukum, yaitu sebagai

berikut:

1. Untuk mempertajam pemahaman dan penghayatan tentang hukum yang

berlaku sekarang. Kita dapat mengetahui dan menghayati bahwa hukum

yang berlaku seakarang sudah cukup baik jika dibandingkan dengan

konsepsi tentang hukum di bidang yang bersangkutan di masa lalu.

2. Untuk mempermudah para perancang dan pembuat hukum sekarang

dengan menghindari kesalahan di masa lalu serta mengambil manfaat dari

perkembangan positif dari hukum dimasa lalu. Ini penting bagi pembuat

dan perancang hukum untuk tidak membuat hukum seperti yang terjadi di

masa lalu. Mungkin saja hukum di masa lalu penuh dengan berbagai

kelemahan yang dapat menimbulkan malapetaka dan tragedi bagi umat

manusia. Jadi jangan sampai ada keledai yang tersandung kakinya dua kali

di batu yang sama.

21

3. Untuk mengetahui makna hukum positif bagi para akademisi maupun

praktisi hukum

4. Dengan melakukan penelusuran dan penafsiran yang bersifat sejarah.

Karena umumnya hukum berkembang secara evolutif dalam sejarah, maka

konsep dan pengertian hukum yang berlaku saat ini akan dipahami dengan

baik dan utuh jika kita juga memahami akar sejarah dan alur

perkembangan konsep dan pengertian hukum di masa lalu.

5. Sejarah hukum dapat mengungkap atau setidaknya memberikan suatu

indikasi tentang dari mana hukum tertentu berasal, bagaimana posisinya

sekarang dan hendak ke mana arah perkembangannya.17

Menurut Soerjono Soekanto, sejarah hukum juga berguna karena dapat

mengungkap fungsi dan efektivitas dari lembaga-lembaga hukum tertentu.

Artinya, dalam keadaan yang bagaimana suatu lembaga hukum dapat efektif

dalam menyelesaikan persoalan hukum dan dalam keadaan yang bagaimana pula

lembaga tersebut gagal. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan yang ada dalam

sejarah hukum tersebut.18

Jhon Gillssen dan Frizt Gorle juga menambahkan

beberapa fungsi dari sejarah hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Hukum tidak hanya berubah menurut dimensi ruang dan letak, tetapi juga

berubah menurut dimensi waktu dari masa ke masa.

17.

Ibid, hal. 7.

18.

Soerjono Soekanto, 1983, Pengantar Sejarah Hukum, Alumni, Bandung, hal. 41.

22

2. Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat di mengerti

melalui sejarah hukum.

3. Pengetahuan tentang sejarah hukum penting bagi ahli hukum pemula

untuk mengetahui budaya dan pranata hukum.

4. Mempelajari sejarah hukum erat kaitannya dengan prinsip perlindungan

hak asasi manusia, pelanggaran-pelanggaran hak asasi, seperti dalam

sejarah hukum di masa lampau, bukan zamannya lagi untuk diberlakukan

di masa ini.19

Karena berbagai fungsi dan kegunaan dari sejarah hukum seperti di atas,

maka disiplin sejarah hukum telah menjadi suatu ilmu dan metode yang

mempelajari oleh banyak orang dan telah menjadi mata kuliah wajib maupun

pilihan di berbagai sekolah hukum.

1.7.2. Stufentheorie (Jenjang Norma)

Kaitan dengan hirarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teori

mengenai jenjang norma hukum (stufentheori). Hans Kelsen berpendapat bahwa:

“Norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu

hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu nirma yang lebih rendah berlaku,

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih

tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,

demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri

lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar

(Groundnorm).”20

19.

Jhon Gillssen dan Frizt Gorle, et al, 2005, Sejarah Hukum, Pt Refika Aditama, Bandung, hal. 1.

20.

Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal. 41,

dikutip dari Hans Kelsen, 1945, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York,

hal. 113.

23

Norma Dasar yaitu merupakan norma tertinggi dalam suatu sistemm norma

tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma

dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang

merupakan gangutan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu

Norma Dasar itu dikatakan presupposed.

Teori jenjang norma dari hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya

yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma itu selalu

memiliki dua wajah (das depoppelte rechtsantlizt). Adolf Merkl berpandangan

bahwa:

“Suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma

yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber

bagi norma hukum do bawahnya sehingga suatu norma hukum itu

mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang realtif oleh karena masa

berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang

berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di ayasnya

dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang di bawahnya tercabut

atau terhapus pula.”21

Berdasarkan teori Adofl Merkel dapat dijelaskan bahwa teori jenjang

normanya Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma itu selalu

berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu

juga menjadi sumber dan menjadi norma yang lebih rendah daripadanya.

Teori Hans Kelsen, kemudian dikembangkan oleh muridnya Hans Nawiasky

dengan jenjang norma dalam kaitannya suatu negara, bahwa selain norma hukum

21.

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Rajagrafindo

Persada, Jakarta, 2009, hal. 48 dikutip dari Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-

Undangan 1, Kanisius, Yogyakarta, hal. 26.

24

itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum itu juga berkelompok-kelompok.22

Hans Nawiasky, mengelompokan norma-norma hukum dalam suatu negata itu

menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas kelompok, yaitu:

1. Staatsfundamentalnorm, yaitu Norma Fundamental Negara;

2. Staatsgrundgesetz, yaitu Aturan Dasar atau Pokok Negara;

3. Formal Gesetz, yaitu Undang-Undang Formal, dan

4. Verordnung & Autinime Satzung, yaitu Aturan Pelaksana & Aturan

Otonom

Berkaitan dengan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang ada di

Indonesia, khususnya dalam konteks pembentukan undang-undang, teori norma

hukum setidaknya akan dapat memberikan pemahaman dan memudahkan dalam

mengindentifikasi serta melihat pelbagi probkematika dalam sistem perundang-

undangan. Banyak dasar dan ukuran untuk menentukan pernah berlaku di

Indonesia. Pertama, dapat dilihat dari fase perjalanan ketatanegaraan, yakni masa

sebelum kemerdekaan Republik Indonesia (zaman Hindia Belanda), dan masa

setelah kemerdekaan. Dalam fase setelah kemerdekaan untuk menentukan

bentuknya peraturan perundang-undangank dapat dilihat dari berlakunya perlabgi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi).

Kedua, bentuk peraturan perundang-undangan dilihat dari perlabgi ketentuan-

ketentuan yang mengatur tentang jenis-jenis dan bentuk peraturan perundang-

undangan.

22.

Ibid, dikutip dari Hans Nawiasky, 1948, Allgemeine Rechtslehre als System der Grendbegriffe,

Cet. II, Einsiendeln/Zurich/Koln. Benziger, hal 40

25

Memang, untuk menjelaskan tentang bentuk-bentuk peraturan perundang-

undangan, pada akhirnya perlu mengkaji tata ururtan peraturan perundang-

undangan, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Dalam hukum positif

Indonesia mengatur ketentuan tentang jenis dan hirarkit (tata ururtan) peraturan

perundang-undangan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (disingkat menjadi

UU PPPU). Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU PPPU, ditentukan jenis dan hirarki

peraturan perundang-undangan yaitu sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

1.7.3. TeoriKompensasi

Menurut kamus hukum, kompensasi ialah perjumpaan utang piutang.

Apabila debitor mempunyai tagihan terhadap kreditornya, maka dengan

kompensasi utang piutang itu saling mematikan sampai jumlah yang sama.

Kompensasi ada hanya mungkin apabila utang piutang itu mengenai seperti uang

atau barang yang jenis.23

Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia, Kompensasi ialah:

23.

Subekti dan Tjitrisoedibio, 2002, Kamus Hukum, cet., XIV, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 67.

26

1. Ganti rugi;

2. Pemberesan piutang dengan memberikan barang-barang yang seharga

dengan utangnya;

3. Pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh

keseimbangan dari kecewaan dalam bidang lain;

4. Imbalan berupa uang atau bukan uang, yang diberikan kepada karyawan

dalam perusahaan atau organisasi.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,

Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia

yang Berat, kompensasi diatur dalam Pasal 1 angka 4, yang menentukan bahwa

“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku

tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung

jawabnya.”

Dikatakan adanya kompensasi (perjumpaan utang) apabila utang piutang

debitor dan kreditor secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan

perhitungan itu utang piutang menjadi leyap. Menurut Pasal 1426 KUHPerdata

menetukan bahwa perhitungan “ Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan tanpa

setahu debitur, dan kedua utang itu saling dihapuskan pada saat utang itu

bersama-sama ada, bertimbal balik untuk jumlah yang sama.”

Yang artinya tidak perlu para pihak untuk menuntut untuk diadakannya

perhitungan itu. Untuk perhitungan itu juga tidak diperlukan bantuan dari

27

siapapun, untuk dapat dapat diperhitungkan satu sama lain, kedua pitang itu harus

mengenai sejumlah barang yang semacam, misalnya barang atau uang.24

Agar utang tersebut dapat diperjumpakan, perlu dipenuhi syarat-syarat:

1. Berupa sejumla uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis dan

kualitas yang sama;

2. Utang tersebut sudah dapat ditagih; dan

3. Utang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya (Pasal

1427 KUHPerdata).

Pada umumnya undang-undang tidak menghiraukan sebab-sebab yang

menimbulkan suatu piutang. Hanya dalam Pasal 1429 KUHPerdata disebutkan

lima kekecualian piutang-piutang yang tidak dapat diperhitungkan/diperjumpakan

satu sama lain:

1. Jika satu pihak menuntut dikembalikannya barang miliknya dengan

secara melawan hukum hak telah diambil oleh pihak lawannya,

misalnya karena pencurian;

2. Jika satu pihak menuntut dikembalikannya suatu barang yang dititip atau

dipinjamkan pada pihak lawan itu.

3. Jika kalau satu pihak menuntut diberlakukannya suatu tunjangan nafkah

yang telah menjadi haknya dan telah dinyatakan tidak dapat disita (Pasal

1429 KUHPerdata).

4. Utang-utang negara berupa pajak, tidak mungkin dilakukan perjumpaan

utang (yurisprudensi) dan;

24.

Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet., XXVIII, Intermasa, Bandung, hal. 158.

28

5. Utang-utang yang timbul dari perikatan wajar tidak mungkin

perjumpaan (yurisprudensi).25

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kompensasi, antara lain sebagai

berikut:

1. Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja.

2. Kemampuan dan Kesediaan Perusahaan/Pemerintah.

3. Pemerintah dengan Undang-Undang dan Keppresnya.

Pemerintah dengan Undang-Undang dan Keppresnya dapat menetapkan

besarnya batas upah/balas jasa minimum. Peraturan pemerintah ini sangat penting

supaya pengusaha tidak sewenang-wenang mentapkan besarnya balas jasa bagi

karyawan. Pemerintah berkewajiban melindungi masyarakat dari tindakan

sewenag-wenang.

1.7.4. Teori Ganti Rugi.

Ada 2 sebab timbulnya ganti rugi, yaitu karena ganti rugi karena

wanprestasi dan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. ganti rugi karena

wanprestasi diatur dalam buku III KUHPerdata yang dimulai dari Pasal 1243

KUHPerdata sampai dengan 1252 KUHPerdata, sedangkan ganti rugi karena

perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Ganti rugi

karena perbuatan melawan hukum adalah suatu ganti rugi yang dibebankan

kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan pada pihak yang dirugikan.

Ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.

25.

Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Cet. Revisi, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal 284.

29

Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan

kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat dengan

debitur.26

Pembebanan ganti rugi ini atas perintah pengadilan setelah melalui

proses somasi minimal tiga kali.

Menurut ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti kerugian karena tidak

dipenuhinya suatu perikatan, baru diwajibkan jika debitor setelah dinyatakan lalai

memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya; atau sesuatu yang harus diberikan

atau dikerjakan, hanyadapat diberikan atau dikerjakan dalam tegang waktu yang

telah dilewatkannya.

Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam pasal di atas adalah kerugian

yang timbul karena debitor melakukan wanprestasi (lalai dalam memenuhi

perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitor terhitung sejak dia

dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu terdiri atas tiga unsur, yaitu:

a. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya

materai, dan biaya iklan.

b. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik

kreditor akibat kelalaian debitor, misalnya ambruknya gedung karena

kesalahan kontruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga.

c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan

selama piutang terlambat dilunasi, keuntungan yang tidak diperoleh

karena kelambatan penyerahan bendanya (Pasal 1246 KHPerdata).

26.

Salim HS, 2011, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. VII, Sinar Grafika, Jakarta

(selanjutnya disingkat Salim HS II), hal.182.

30

Yang diartikan dengan biaya-biaya (ongkos-ongkos), adalah ongkos yang

telah dikeluarkan oleh kreditor untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian adalah

berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian,

sedangkan bunga-bunga yang keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditor.

Pengantian biaya-biaya, kerugian, kerugian, dan bunga itu harus merupakan

akibat langsung dari wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadi

perjanjian.27

Di dalam Pasal 1249 KUHPerdata, ditentukan bahwa penggantian kerugian

yang disebabkan karena wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang.

Namun, dalam perkembangannya menurut para ahlidan yurisprudensi bahwa

kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materiil dan ganti

rugi inmateriil.28

Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang diderita kreditor

dalam bentuk uang/kekayaan/benda, sedangkan kerugian inmateriil adalah suatu

kerugian yang diderita oleh kreditor yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit,

mukanya pucat dan lain-lain.

Untuk melindungi debitor dari tuntutan dari kesewenang-wenangan dari

pihak kreditor, undang-undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian

yang wajib dibayar oleh debitor sebagai akibat dari kesalahan dari kelalaian

(wanprestasi). Kerugian yang harus dibayar oleh debitor hanya meliputi:

27.

Ibid.

28.

Asser’C., 1991, Pengajian Hukum Perdata Belanda, Diterjemahkan oleh Sulaeman, Dian

Rakyat, Jakarta, hal. 274

31

a. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan. Dapat diduga itu

tidak hanya mengenai kemungkinan timbulnya kerugian, tetapi juga

meliputi besarnya jumlah kerugian. Jika jumlah kerugian melampaui

batas yang dapat diduga, kelebihan yang melampaui batas dugaan itu

tidak boleh dibebankan kepada kreditor, kecuali jika debitor ternyata

telah melakukan tipu daya (Pasal 1247 KUHPerdata).

b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprstasi (kelalaian) debitor,

seperti yang ditentukan dalam Pasal 1248 KUHPerdata. Untuk

menentukan syarat akibat langsung dipakai teori adequate. Menurut

teori ini, akibat langsung adalah akibat yang menurut pengalaman

manusia normal dapat diharapkan atau dapat diduga akan terjadi.

Dengan terjadinya wanprestasi, debitor selaku manusia normal dapat

menduga akan merugikan kreditur. Teori adequate ini diikuti dalam

praktek peradilan.

c. Bunga dalam terlambatnya pembayaran sejumlah hutang (Pasal 1250

ayat (1) KUHPerdata). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Menurut

Yurisprudensi, Pasal 1250 KUHPerdata tidak dapat diberlakukan

terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.29

29.

Sri Soedewi Maschoen, 1974, Hukum Perutangan, Seksi Hukum Perdata, Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 36.

32

1.7.5.Teori Efektivitas Hukum

Ada beberapa teori tentang efektivitas yang dijelaskan oleh para sarjana

yaitu Teori Efektivitas menurut Soerjono Soekanto, hukum sebagai kaidah

merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode

berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga

menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang

hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Metode berpikir

yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai

tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan

tertentu.30

Pengertian efektifitas hukum menurut Hans Kelsen efektifitas hukum,

dibicarakan pula tentang Validitas Hukum. Validitas hukum berarti bahwa norma-

norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang

diharuskan oleh norma-norma hukum. Bahwa orang harus mematuhi dan

menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-

benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus

berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.

Hal berlakunya hukum:

1. Secara Filosofis

Berlakunya hukum secara filosofis berarti bahwa hukum tersebut sesuai

dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi.

30.

Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegagkan Hukum, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal. 6.

33

2. Secara Yuridis

Berlakunya hukum secara secara yuridis, dijumpai anggapan-anggapan

sebagai berikut:

- Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa kaidah hukum mempunyai

kelakuan yuridis, apabila penetuannya berdasarkan kaidah yang lebih

tinggi tingkatannya. Ini berhubungan dengan teori “stufenbau” dari

kelsen

- W. Zevenbergen, menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai

kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut “op de verischte ize is tot

sand gekomen”

3. Secara Sosiologis

Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif,

artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa

walaupun tidak diterima oleh warga masyarakt (teori kekuasaan), atau

kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori

pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut teori

pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima dan diakui

masyrakat. Sedangkan menurut teori paksaan berlakunya kaidah hukum

apabila kaidah hukum tersebut dipaksakan oleh penguasa.

Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui

apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal

mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil

mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya

34

atau tidak. Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan

yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya

dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan

mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi

negatif atau sanksi positif, yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar

manusia tidak melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.

Diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar hukum

mempunyai pengaruh terhadap sikap tindak atau perilaku manusia. Kondisi-

kondisi yang harus ada adalah antara lain bahwa hukum harus dapat

dikomunikasikan. Komunikasi hukum lebih banyak tertuju pada sikap, oleh

karena sikap merupakan suatu kesiapan mental sehingga seseorang mempunyai

kecendurangan untuk memberikan pandangan yang baik atau buruk, yang

kemudian terwujud di dalam perilaku nyata.

Apabila yang dikomunikasikan tidak bisa menjangkau masalah-masalah

yang secara langsung dihadapi oleh sasaran komunikasi hukum maka akan

dijumpai kesulitan-kesulitan. Hasilnya yaitu hukum tidak punya pengaruh sama

sekali atau bahkan mempunyai pengaruh yang negatif. Hal itu disebabkan oleh

karena kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi dan dipahami, sehingga

mengakibatkan terjadinya frustasi, tekanan, atau bahkan konflik.

Untuk mengetahui apakah hukum itu benar benar diterapkan atau dipatuhi

oleh masyarakat maka harus dipenuhi beberapa faktor yaitu :

35

1. Faktor Hukumnya Sendiri

Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas

yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak

yang positif. Artinya, supaya undang-undang tersebut mempunyai

tujuannya, sehingga efektif. Asas-asas tersebut antara lain :

1. Undang-undang tidak berlaku surut, artinya undang-undang hanya

boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undang-

undang tersbut, serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan

berlaku.

2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tingg,

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

3. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingka undang-

undang yang bersifat umum apabila pembuatnya sama. Artinya,

terhadap peristiwa khusus diberlakukan undang-undang yang

menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa kasus tersebut

dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebutkan

peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum, yang juga dapat

mencakup peristiwa khusus tersebut.

4. Undang-undang yang berlaku di lapangan, membatalkan undang-

undang yang berlaku terdahulu. Artinya undang-undang lain yang

lebih dulu berlaku dimana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak

berlaku lagi apabila ada undang-undang baru yang berlaku

belakangan yang mengatur pula hal tersebut, akan tetapi makna atau

36

tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang yang

lama tersebut.

5. Undang-undang tersebut tidak dapat digugat.

6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai

kesehjateraan spritual dan materiil bagi masyarakat maupun pribadi,

melalui pelestarian atau pembaharuan (inovasi). Artinya supaya

pembuat undang-undang tidak sewenang-wenang atau supaya

undang-undang itu tidak menjadi huruf mati. 31

2. Faktor Penegak Hukum

Peranan yang seharusnya dari kalangan penegak hukum tertentu, telah

dirumuskan di dalam beberapa undang-undang. Di samping itu, di dalam

undang-undang tersebut juga dirumuskan perihal peranan yang ideal.

Secara berturut peranan yang ideal dan yang seharusnya, adalah:

a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kepolisian Negara:

- Peranan yang ideal :

Pasal 1 ayat (2), menentukan bahwa “Kepolisian Negara dalam

menjalankan tugasnya selalu menunjang tinggi hak-hak asasi

rakyat dan hukum negara”.

- Peranan yang seharusnya:

31.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi,

Alumni, Bandung, hal. 20.

37

Pasal 1 ayat (1), yang menentukan bahwa “Kepolisan Negara

Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara, ialah

alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara

keamanan negara.32

3. Faktor Sarana Atau Fasilitas Yang Mendukung Penegakan Hukum

Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam

penegak hukum. tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan

mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya

dengan peranan yang aktual. 33

4. Faktor Masyarakat Itu Sendri

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena, dipandang dari

sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan

hukum tersebut.

5. Faktor Budaya

Dari sudut pandang budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat

majemuk (plural society), terdapat banyak golongan etnik dengan

kebudayaan-kebudayaan khusus. Di samping itu, maka bagian terbesar

dari penduduk Indoensia tinggal di wilayah itu, maka bagian terbesar

penduduk tinggal di wilayah pedesaan yang berbeda ciri-cirinya dengan

wilayah perkotaan. Masalah-masalah yang timbul di wilayah pedesaan

32.

Soerjono Soekanto, op.cit, hal. 23.

33.

Ibid, hal. 45.

38

mungkin harus lebih banyak ditangani dengan cara-cara tradisional; di

wilayah perkotaan tidak masalh diselesaikan tanpa menggunakan cara-

cara tradisional.34

Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi

dari penegakan hukum itu, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas hukum. Jadi

apabila semua faktor itu telah terpenuhi barulah keadilan dalam masyarakat dapat

dirasakan sepenuhnya. Dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah tujuan utama

dari penerapan hukum. Berarti dengan adanya keadilan hukum itu bisa diterima

oleh masyarakat umum dan barulah efektivitas hukum itu terwujud.

1.8. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu pedoman untuk mempelajari dan

memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi, dan digunakan dalam setiap

penelitian ilmiah. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab

isu hukum yang dihadapi.35

Dalam penelitian hukum, seorang peneliti hukum dapat melakukan

aktivitas-aktivitas untuk mengungkapkan kebenaran hukum yang dilakukannya

secara terencana, metodologis, sistematis, dan konsisten. Sebagai suatu penelitian

ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian ini akan diawali dari teknik

34.

Ibid, hal. 50.

35.

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Cet. VII, Kencana, Jakarta, hal. 35.

39

pengumpulan data sampai dengan teknik analisis data, dengan tetap

memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut :

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan karya tulis skripsi ini

adalah penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian secara yuridis merupakan

suatu metode yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum dan perundang-

undangan yang berlaku. Sedangkan penelitian hukum normatif ini dikonsepkan

sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)

atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

berperilaku manusia yang dianggap pantas. Sumber data yang digunakan hanyalah

data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, atau

bahan hukum tersier.36

1.8.2. Jenis Pendekatan

Jenis Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan

perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan sejarah (Historical

approach), pendekatan perbandingan (Comparative Appoach) dan pendekatan

analisis hukum (Analitical & Conseptual Approach). Pendekatan peraturan

perundang-undangan (Statute Approach) yaitu dengan menelaah semua undang-

undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani, pendekatan sejarah (Historical Approach) ialah dengan menelaah

peristiwa hukum dengan melihat peristiwa yang dulu dengan membandingkannya

36.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo,

Jakarta, hal. 119.

40

pada zaman ini sedangkan pendekatan perbandingan (Comparative Approach)

ialah menelaah ilmu hukum dengan melakukan perbandingan antara norma

dengan norma. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang

ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah

konsistensi dan kesesuaiaan antara suatu undang-undang dengan undang-undang

lainnya, hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan

isu yang dihadapi.37

Dalam penelitian ini pendekatan perundang-undangan

dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang penananam modal, dalam pendekatan sejarah dilakukan dengan melihat

dan mengkaji peristiwa nasionalisasi terhadap perusahaan penanaman modal asing

dari zaman orde lama sampai sekarang dan pendekatan perbandingan dilakukan

dengan membangdingkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

nasionalisasi dari zaman orde lama sampai sekarang.

1.8.3. Bahan Hukum

Dalam skripsi ini bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum

yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mengkaji bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan

pengetahuan ilmiah yang baru dan muktahir, ataupun pengertian baru

tentang fakta-fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan

ide.38

Penelitian menggunakan bahan hukum primer dapat berupa asas

37.

Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hal. 93

41

dan kaidah hukum dimana perwujudan asas dan kaidah hukum ini dapat

berupa peraturan dasar, dalam penelitian ini antara lain:

1. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

2. Peraturan perundang-undangan, yakni Undang-undang dan peraturan

yang setara, Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf,

Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf, Keputusan Menteri

dan peraturan yang setara, serta Peraturan Daerah.

3. Yurisprudensi.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-

undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan

seterusnya. Dalam hal ini yang terkait dengan nasionalisasi perusahaan

penanaman modal asing, hasil penelitian, pendapat para pakar (doktrin),

jurnal-jurnal hukum, serta situs dalam internet yang memuat tulisan-

tulisan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan

hukum sekunder yakni, kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa

Indonesia.

38.

Ibid.

42

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam pembuatan

skripsi ini yakni teknik studi dokumen. Teknik studi dokumen bagi penelitian

hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini harus

diperiksa ulang validitas dan realibilitasnya, sebab hal ini sangat menentukan hasil

suatu penelitian.39

Teknik ini dilakukan dengan cara mencari, menginventarisasi,

dan mempelajari peraturan perundang-undangan yang terkait. Selain itu juga

dilakukan penghimpunan data melalui penelaahan bahan kepustakaan atau data

sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:

- Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum atau non-

hukum.

- Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak

setuju, benar atau salah, sah atau tidak sa terhadap suatu pandangan.

- Teknik Konstruksi, berupa pembentukan konstruksi dengan melakukan

analogi atau pembalikan proposisi.

- Teknik Argumentasi, berupa penilaian yang bersifat penalaran hukum.

39.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, op.cit, hal. 68.

43

- Teknik Sitematisasi, berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep

hukum antara perundang-undangan yang sederajat antara perundang-

undangan yang sederajat maupun tidak sederajat.40

40.

Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar, hal. 77.