Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh...

53
Autonomic Drugs Prof Ngatidjan ELS Editor: Anna Bismillahirrahmaanirrahiim. . mari kita berpusing-pusing ria menghadapi pusingan kata-kata tentang obat-obatan yang aneh-aneh. . langsung sajaa. . . Pengantar Farmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, baik pada tingkat molekular, subselular, selular, organ atau jaringan maupun pada tingkat organisme bahkan antar organisme. Sebagai contoh misalnya morfin (obat analgesik yang selain mempunyai efek analgesik juga dapat menimbulkan euforia, ketagihan dan ketergantungan) beraksi dengan menstimulasi reseptor μ (mu), κ (kappa), δ (delta) dan ε (epsilon) yang pada tingkat molekular berinteraksi dengan reseptor opiat itu sehingga terjadi penutupan voltage gated Ca 2+ channels pada membran ujung saraf presinaptik sehingga pelepasan transmitor turun, dan menimbulkan hiperpolarisasi serabut saraf pascasinaptik melalui pembukaan K + channels. Pada tingkat organ (otak) morfin menimbulkan efek analgesik, euforia, miosis, mual, muntah dan depresi respirasi. Efek euforia lah yang menyebabkan obat ini disalahgunakan, yang jika digunakan dalam jangka waktu lama dapat berakibat adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan). Oleh karena itu morfin juga mempunyai efek pada tingkat hubungan antar individu sebagai akibat adiksi dan dependensi misalnya, acuh pada sekitar, malas bekerja, berusaha dengan segala cara unttuk mendapatkan morfin, jika perlu tidak segan melakukan kejahatan. Pada prinsipnya, dalam menimbulkan efek pada tubuh obat dapat beraksi melalui cara (mekanisme aksi) yang spesifik (khas) atau non-spesifik (tidak khas). Sebagai contoh, obat antasida [campuran Al(OH)3 dan Mg(OH)2] beraksi secara tidak khas, mengikat asam lambung (HCl) sehingga timbul AlCl 3 dan MgCl2 yang keduanya tidak larut di dalam air (mengendap). Mengapa keduanya diberikan bersama-sama? Karena AlCl3 bersifat konstipatif (inhibisif) sedangkan MgCl 2 bersifat katartik (stimulatif) pada saluran cerna dan jika keduanya diberikan bersama-sama dapat memberikan efek saling menetralkan. Reaksi Al(OH)3 dan Mg(OH)2 dengan asam lambung itu tidak spesifik karena hal itu tidak hanya terjadi di dalam lambung tetapi juga dapat terjadi di tempat lain bahkan di luar tubuhpun terjadi demikian. Banyak obat yang beraksi secara tidak spesifik misalnya obat desinfektan mercurochrom, jodium tinctur, dan absorben. Meskipun banyak obat beraksi secara non-spesifik, sebagian besar obat beraksi secara spesifik pada molekul protein target, dapat berupa reseptor, enzim atau transporter. Obat-obat itu dapat menstimulasi (memacu), memblok (menyekat) molekul target agar tidak terstimulasi agonis endogen, atau dapat juga berikatan dengan molekut protein target dan menghambat kerjanya.

Transcript of Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh...

Page 1: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Autonomic Drugs

Prof Ngatidjan

ELS

Editor: Anna

Bismillahirrahmaanirrahiim. . mari kita berpusing-pusing ria menghadapi pusingan

kata-kata tentang obat-obatan yang aneh-aneh. . langsung sajaa. . .

Pengantar

Farmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek,

baik pada tingkat molekular, subselular, selular, organ atau jaringan maupun pada

tingkat organisme bahkan antar organisme. Sebagai contoh misalnya morfin (obat

analgesik yang selain mempunyai efek analgesik juga dapat menimbulkan euforia,

ketagihan dan ketergantungan) beraksi dengan menstimulasi reseptor µ (mu), κ

(kappa), δ (delta) dan ε (epsilon) yang pada tingkat molekular berinteraksi dengan

reseptor opiat itu sehingga terjadi penutupan voltage gated Ca2+ channels pada

membran ujung saraf presinaptik sehingga pelepasan transmitor turun, dan

menimbulkan hiperpolarisasi serabut saraf pascasinaptik melalui pembukaan K+

channels. Pada tingkat organ (otak) morfin menimbulkan efek analgesik, euforia,

miosis, mual, muntah dan depresi respirasi. Efek euforia lah yang menyebabkan obat

ini disalahgunakan, yang jika digunakan dalam jangka waktu lama dapat berakibat

adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan). Oleh karena itu morfin juga

mempunyai efek pada tingkat hubungan antar individu sebagai akibat adiksi dan

dependensi misalnya, acuh pada sekitar, malas bekerja, berusaha dengan segala

cara unttuk mendapatkan morfin, jika perlu tidak segan melakukan kejahatan.

Pada prinsipnya, dalam menimbulkan efek pada tubuh obat dapat beraksi

melalui cara (mekanisme aksi) yang spesifik (khas) atau non-spesifik (tidak khas).

Sebagai contoh, obat antasida [campuran Al(OH)3 dan Mg(OH)2] beraksi secara tidak

khas, mengikat asam lambung (HCl) sehingga timbul AlCl3 dan MgCl2 yang keduanya

tidak larut di dalam air (mengendap).

Mengapa keduanya diberikan bersama-sama?

Karena AlCl3 bersifat konstipatif (inhibisif) sedangkan MgCl2 bersifat katartik

(stimulatif) pada saluran cerna dan jika keduanya diberikan bersama-sama dapat

memberikan efek saling menetralkan. Reaksi Al(OH)3 dan Mg(OH)2 dengan asam

lambung itu tidak spesifik karena hal itu tidak hanya terjadi di dalam lambung tetapi

juga dapat terjadi di tempat lain bahkan di luar tubuhpun terjadi demikian. Banyak

obat yang beraksi secara tidak spesifik misalnya obat desinfektan mercurochrom,

jodium tinctur, dan absorben. Meskipun banyak obat beraksi secara non-spesifik,

sebagian besar obat beraksi secara spesifik pada molekul protein target, dapat

berupa reseptor, enzim atau transporter. Obat-obat itu dapat menstimulasi (memacu),

memblok (menyekat) molekul target agar tidak terstimulasi agonis endogen, atau

dapat juga berikatan dengan molekut protein target dan menghambat kerjanya.

Page 2: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Nah, di atas disebutkan kata agonis. Apakah agonis itu? Apa pula antagonis itu?

Check this out! >,<

Agonis dan Antagonis

Obat yang beraksi pada reseptor harus punya afinitas tinggi pada reseptor

(agar dapat berikatan dengan reseptor) dan mampu menimbulkan efek setelah

berikatan dengan reseptor. Kemampuan obat menimbulkan efek setelah berikatan

dengan reseptor berbeda antara obat satu dengan lainnya dan oleh Arien disebut

aktivitas intrinsik (α), diberi harga 0 – 1. Dengan demikian obat yang beraksi pada

reseptor dapat merupakan agonis kuat (afinitas pada reseptor besar dan mampu

menimbulkan efek kuat setelah berikatan dengan reseptor, α = 1), agonis parsial

(afinitas pada reseptor besar dan mampu menimbulkan efek lemah sampai kuat

setelah berikatan dengan reseptor, 0 <α< 1), dan antagonis kompetitif (afinitas pada

reseptornya besar tetapi tidak mampu menimbulkan efek setelah berikatan dengan

reseptor, α= 0). Antagonis kompetitif merupakan obat yang mempunyai efek melawan

atau menghambat stimulasi reseptor oleh agonisnya (endogen atau eksogen) dengan

memblok reseptor itu (berkompitisi dengan agonis), sedangkan antagonis non-

kompetitif melawan atau memghambat efek stimulasi reseptor oleh agonisnya dengan

cara selain berebut reseptor dengan agonisnya. Sebagai contoh, adrenalin atau obat

simpatomimetik lain yang berefek vasokonstriksi (melalui stimulasi r-α pada dinding

pembuluh darah) merupakan antagonis non-kompetitifnya histamin karena adrenalin

dan obat simpatomimetik stimulan r-α lainnya melawan efek vasodilatasi histamin

melalui stimulasi r-H1.

Page 3: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Sistem Saraf Autonomik

Pada dasarnya, komponen sistem saraf dibagi menjadi tiga substansi, pertama sel

saraf itu sendiri, kedua, neurotransmiternya, dan yang terakhir, reseptornya.

Sel saraf atau populer disebut neuron, terdiri atas badan sel, dendrit, dan neurit.

Fungsinya untuk menyintesis neurotransmitter yang kemudian dilepaskan dalam celah

sinaps. Sedangkan neurotransmitter, fungsinya untuk menghantarkan (transmit) impuls

dari satu sel saraf ke sel saraf yang lain, atau dari satu sel saraf ke sel efektor.

Neurotransmitter terdiri dari asetilkolin (Ach) dan noradrenalin (NA). Reseptor

bertugas untuk berinteraksi dengan si neurotransmitter yaitu memediasi penghantaran

impuls atau menginisiasi respons sel efektor.

AUTONOMIC DRUGS AND RECEPTORS

Ceritanya sejarah penyelidikan aksi obat ni. . sampai tahun 1970, dogma masyarakat

ilmiah menyatakan bahwa semua situs pengikat spesifik obat disebut reseptor. Situs

pengikat spesifik = specific binding site disingkat sbs.

Misalnya, blockernya adrenaline, phenylephrine dan adrenoceptor memiliki sbs di

substansi reseptif. Ca2+ antagonis, quinidine, dll memiliki sbs yaitu ion channel.

Reserpine memiliki sbs carrier molecule (transport system). Digitalis, papaverine,

theophyline memiliki sbs enzim.

Page 4: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Aksi Obat Pada Reseptor

Obat yang dalam menimbulkan efek bekerja pada molekul protein spesifik

berupa reseptor dapat menstimulasi atau menyekatnya (blokade). Obat atau zat

endogen yang mampu menstimulasi reseptor sehingga metimbulkan serangkaian

proses baik biokimiawi, biofisik maupun biomekanik di dalam sel yang bermuara

pada timbulnya efek disebut agonis, yang dapat berisifat endogen atau eksogen.

Agonis endogen berperan penting dalam berbagai macam fungsi fisiologis seperti

Page 5: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

asetilkolin (r-M dan N), noradrenalin (r-α1), dopamin (r-D dan r-ß1), adrenalin (r-α dan

r-ß), serotonin (r-5HT), histamin (r-H), GABA (gamma amino butyric acic) untuk r-GABA,

endorfin (r-µ, κ dan δ) dan leukotrien (r-LT). Agonis eksogen dapat berupa obat

misalnya muscarin (r-M), nikotin (r-N), fenilefrin (r-α1), acebutolol (r-ß1), salbutamol (r-

ß2), morfin (r-µ, κ dan δ) atau alkaloida seperti pilokarpin (r-M). Di samping itu ada

obat atau zat lain yang jika berikatan dengan reseptor dapat menimbulkan tersekat

atau terblokadenya reseptor itu sehingga mencegah agonis (baik endogen maupun

eksogen) untuk menstimulasi reseptor itu. Obat demikian disebut antagonis kompetitif

misalnya atropin (r-M), tubokurarin (r-N), prazosin (r-α1), acebutolol (r-ß1), idazoxan

(r-ß2), ganiseron (r-5HT), difenhidramin (r-H1), simetidin (r-H2), nalokson (r-µ, κ dan δ)

dan zafirlukas (r-LTD4).

Aksi Obat Pada Enzim

Obat yang beraksi pada enzim biasanya berupa penghambat enzim seperti

NSAIDs (non-steroidal anti-inflammatory drugs), dalam bahasa Indonesia disebut obat

AINS (anti-inflamasi non-steroidal) yang menghambat enzim siklooksigenase

(cyclooxygenase: COX), katalisator dalam sintesis prostaglandins (PGs), terdiri atas

atas COX-1 (cyclooxygenase-1), katalisator sintesis PGs yang penting dalam banyak

fungsi fisiologis, seperti PG-E, tromboksan dan prostasiklin, dan COX-2

(cyclooxygenase-2) menkatalisasi sintesis PGs dan mediator kimiawi lainnya yang

berperan dalam proses radang. Dengan demikian obat NSAIDs yang lebih selektif

pada COX-2 (seperti diklofenac dan meloksikam) lebih aman daripada yang tidak

selektif (seperti indometasin dan asam mefenamat) karena menghambat sintesis

mediator kimiawi radang tetapi sedikit pengaruhnya pada fungsi fisiologis PGs34.

Demikian juga obat penghambat phosphodiesterase (PDE) misalnya papaverin

(inhibitor PDE non-selektif), milrinon (inhibitor PDE3), teofilin (inhibitor PDE4) dan

sildenafil (inhibitor PDE5)34. Papaverin dapat menimbulkan efek samping berupa

konstipasi jika diberikan pada wanita hamil yang akan mengalami abortus karena

obat ini menghambat PDE secara tidak selektif, sedangkan sildenafil yang berefek

ereksi (akibat dilatasinya pembuluh darah di corpus cavernosus penis) tetapi tidak

punya efek pada saluran cerna, dan teofilin yang menimbulkan efek terapi berupa

bronkodilatasi tidak menimbulkan efek samping konstipasi karena keduanya lebih

selektif pada PDE5 dan PDE4

Selain enzim sebagai tempat aksi obat seperti COX dan PDE, enzim yang

berperan dalam metabolisme obat (cytochrome P-450s) juga dapat dihambat atau

distimulasi (proliferasinya) oleh obat sehingga dapat berpengaruh pada efek obat

lainnya. Pengaruh itu merupakan interaksi antara obat satu dengan obat lainnya

(antaraksi) misalnya antara rifampin dan omeprazol dengan imipramin. Rifampin yang

diberikan lebih dari satu minggu dapat menstimulasi proliferasi CYP-2C19

(cytochrome-2C19) sehingga waktu paro (t1/2) imipramin berkurang. Sebaliknya,

omeprazol yang mempunyai efek menghambat CYP-2C19 dapat memperpanjang

waktu paro imipramin sehingga memperlama efeknya.

Page 6: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Uraian di atas menunjukkan bahwa semakin selektif suatu obat pada enzim

semakin kecil risiko timbulnya efek samping karena obat itu hanya beraksi pada enzim

yang dikehendaki (selektif) sehingga efek yang timbul juga dapat dibatasi pada efek

yang dikehendaki dalam terapi.

Aksi Obat Pada Transporter

Pada prinsipnya pada pemberian obat (apapun cara pemberiannya), obat

pindah dari tempat pemberiannya ke tempat obat beraksi melewati sawar biologik

(biological barrier) yang dapat terdiri atas satu atau banyak membran sel. Sebagai

contoh, obat asma bronkial yang diberikan secara oral harus menembus lapisan epitel

lambung atau usus dan dinding pembuluh darah untuk mencapai otot polos bronkus

sebagai sasaran aksi obat. Pindahnya obat melewati satu atau beberapa lapis

membran sel itu dapat berlangsung secara pasif (dengan cara berdifusi, baik lipid-

maupun water-diffusion) atau mengalami transport aktif menggunakan suatu molekul

carrier sebagai transporter. Untuk ion tertentu transporter itu bisa berupa ion channels

yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand gated ion channels),

aktivitas beda potensial (voltage gated ion channels) atau akibat simpanan ion yang

harus direstorasi (storage gated ionchannels). Untuk senyawa atau zat tertentu

biasanya molekul carrier berupa protein yang mengikat senyawa yang diangkut ke

dalam atau ke luar sel pada salah satu sisi membran kemudian kompleks zat-carrier

pindah ke sisi lainnya kemudian melepaskan senyawa atau zat itu. Probenesid (obat

anti-inflamasi) misalnya diekskresi dengan cara trsnsport aktif oleh sel tubulus ginjal

dan carrier yang sama juga berperan dalam ekskresi penisilin. Oleh karena itu

probenesid dapat menghaambat ekskresi penisilin dari dalam tubuh dan ini

dimanfaatkan untuk menghambat ekskresi penisilin sehingga dapat meningkatkan

efektivitas antibiotik itu

Transporter lainnya ialah P-glikoprotein MDR-1 (multi drug resistance 1), MRP-1

(multi drug resistance associated protein type-1) dan MRP-5 (multi drug resistance

associated protein type-5) yang berperan dalam retransport obat anti-kanker keluar

dari sel kanker sehingga obat kanker yang diberikan tidak berefek2. Suatu

glikoprotein serupa yang disandi oleh gena MDR-1 juga berperan di dalam

retransport beberapa obat penghambat protease virus HIV seperti doksorubisin dari

peredaran darah fetus pada ibu penderita HIV yang hamil. Akibatnya kadar

doksorubisin di dalam janin tidak cukup efektif sebagai obat anti-HIV janin yang

mendapat infeksi dari ibunya, penderita HIV. Obat yang dapat mengikat molekul

transporter ini dapat meningkatkan efektivitas obat antikanker atau anti-HIV itu.

Beberapa obat yang cara kerjanya melibatkan transporters antara lain obat

diuretik, antagonis kalsium, insulin (dalam kaitan dengan timbulnya hipokalemia pada

infus insulin), probenesid, dan sulfonilurea dalam terapi diabetes melitus.

Page 7: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

1. Kebanyakan obat diuretik bekerja dengan cara menghambat Na+/K+/Cl-

contransport (menghambat Na/K-ATP-ase pada proses reabsorpsi Na

sehingga terjadi diuresis yang diikuti keluarnya K.

2. Antagonis kalsium memblok calcium channel dengan cara menghambat

potential operated calcium channels sehingga terjadi penurunan jumlah ion

kalisium intraselular dan berakibat fungsi eksitatif sel terkait.

3. Insulin menstimulasi reseptornya meningkatkan masuknya glukose ke dalam

sel. Di samping itu, insulin juga dapat menimbulkan hipokalemia karena

insulin menstimulasi Na/K-ATP-ase (dalam transport Na dan K sehingga K

banyak masuk ke dalam sel dan menimbulkan hipokalemia. Untuk itu,

pemberian infus insulin dalam terapi emergensi hiperglikemia dengan

ketoasidosis sebaiknya disertai dengan pemberian kalium..

4. Probenecid, turunan asam benzoat yang dapat menghambat ekskresi

penisilin (melalui penghambatan sekresi aktif tubuler) diberikan untuk

meningkatkan kadar penisilin di dalam darah. Probenesid ternyata juga

dapat menghambat reabsorpsi asam urat oleh tubulus ginjal sehingga

dapat menurunkan kadar asam urat darah dan bermanfaat dalam terapi

penyakit gout.

5. Sulfonilurea menghambat ATP-dependent potassium efflux yang terkait

dengan sekresi insulin sehingga dapat meningkatkan pelepasan insulin dari

(oleh) sel-ß pankreas. Efek ini menjadi tidak ada jika sel-ß sudah rusak

akibat proses imunologis (pada diabetes tipe II) sehingga terjadi defisiensi

insulin absolut.

RECEPTORS

SITE OF DRUG ACTION

Page 8: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand
Page 9: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Reseptor sebagai tempat aksi obat sudah diteliti lebih dari satu abad paling tidak

sejak Langley seorang dosen yang juga peneliti dari Cambridge University pada

tahun 1878 mempublikasikan hasil penelitiannya efek nikotin dan muskarin pada

kelenjar ludah anjing dan pada tahun 1905 menggunakan istilah receptive substance

untuk suatu molekul pada otot rangka sebagai tempat beraksinya (site of action)

nikotin dan kurare. Ketiga tempat obat beraksi (reseptor, enzim dan transporter)

semuanya berupa molekul protein makro, tetapi reseptor mempunyai substansi atau

zat yang secara fisiologis menstimulasinya, meskipun ada reseptor (orphan receptor)

yang belum diketahui zat endogen sebagai agonisnya. Secara prinsip reseptor

merupakan molekul protein makro sebagai komponen sebuah sel atau organisme yang

dapat berinteraksi dengan suatu zat endogen atau eksogen (dapat sebagai obat

atau racun) untuk memicu rangkaian proses baik biokimiawi, biofisik ataupun

biomekanik di dalam sel sehingga menimbulkan efek yang dapat diamati. Obat yang

beraksi pada reseptor menimbulkan efek melalui cara kerja (mekanisme) berikut: (1)

pengendalian penutupan dan pembukaan ion channels, (2) memicu rangkaian proses

biokimiawi terkait protein-G, (3) menstimulasi kinase dan (4) mempengaruhi

pengaturan transkripsi pada sintesis protein dalam sel.

HOW DRUGS ELICITES ITS EFFECTS (VIA DRUG-RECEPTOR BINDING)

Page 10: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand
Page 11: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Pertama, reseptor yang terkait dengan pengendalian ion channels dikenal sebagai

ionotrophic receptor, dan ion channel demikian disebut ligand gated ion channels

misalnya r-N yang terkait dengan ion channel Na+, reseptor GABA yang terkait ion

channel Cl-, reseptor serotonin (r-5HT3A, r-5HT3B dan r-5HT3C) terkait ion channel Na+,

reseptor glisin terkait dengan ion channel Cl-, dan r-NMDA terkait dengan ion channel

Na+ dan Ca2+. Sebagai ilustrasi, jika r-N terstimulasi maka ion channel Na+ akan

terbuka selama 0,2 detik dan setiap detiknya masuk 10 juta Na+ sehingga

menginisiasi aksi potensial dengan segala rangkaian proses yang mengikutinya seperti

penjalaran impuls atau kontraksi otot rangka.

Kedua, reseptor yang terkait dengan protein-G (G-protein linked receptor), jika

terstimulasi akan menginisiasi proses biokimiawi di dalam sel yang melibatkan protein-

G dan reseptor ini dikenal sebagai reseptor metabotropik (metabotrophic receptors).

Ada lebih dari 100 jenis reseptor dalam kelompok ini, antara lain r-α, r-ß, r-M,

reseptor untuk glukagon, purin, glutamat dan hormon. Sebagai contoh, stimulasi r-α

akan mengaktivasi fosfolipase yang mengkatalisasi reaksi biokimiawi yang

menghasilkan IP3 (inositol triphosphate). Akumulasi IP3 intraselular ini akan berakibat

dilepaskannya Ca2+ dari endoplasmic reticulum yang kemudian memicu kontraksi otot

polos terkait. Demikian juga jika r-M terstimulasi akan mengaktivasi enzim adenilat

siklase dalam sintesis cGMP (cyclic guanosine monophosphate). Akumulasi cGMP

berakibat pelepasan Ca2+ dari endoplasmic reticulum yang akan memicu kontraksi otot

atau sekresi kelanjar terkait.

Ketiga, reseptor yang cara kerjanya terkait dengan (kinase linked receptor). Stimulasi

reseptor ini dapat mengaktivasi enzim kinase karena sisi eksktraselular reseptor ini

yang berikatan dengan ligand sedangkan sisi intraselular merupakan enzim

sitoplasmik (berupa protein tyrosine kinase). Reseptor dengan mekanisme kerja

Page 12: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

melibatkan kinase seperti ini antara lain reseptor insulin, EGF (epidermal growth

factor), PDGF (platelet derived growth factor), TGF-ß (transforming growth factor-ß),

interferon dan beberapa hormon tropik lainnya.

Keempat, reseptor nuklear atau intracellular merupakan cytosolic receptor

sebagai sasaran (tempat aksi) zat atau obat yang bersifat lipofilik. Sintesis semua

protein disandi oleh DNA yang ditranskripsi ke RNA, dan translasi RNA ke dalam

protein dikendalikan oleh seperangkat molekul lain yang dikenal sebagai regulator

atau faktor transkripsi (transcription regulators or factors). Hormon steroida adalah

contoh zat atau obat yang mudah masuk ke dalam sel yang kemudian menstimuli

regulataor atau faktor transkripsi ini di dalam sitoplasma atau nukleus. Dengan

demikian zat atau obat ini dapat menimbulkan efek pada sintesis protein tertentu

yang sintesisnya disandi oleh gena tertentu yang terkode di dalam DNA, misalnya

efek anabolik dari steroida tertentu seperti nandrolon.

Reseptor Nikotinik

Page 13: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand
Page 14: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand
Page 15: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand
Page 16: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Yeahh. . itu tadi segunung bacaan yang ternyata baru pengantar dari materi

intinya. .

Sambutlaaaah. . . . . . .hhh. . .

AUTONOMIC DRUGS

Page 17: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Obat Otonomik

Obat otonomik adalah obat yang berefek pada sistem saraf otonom. Sistem

saraf otonom ialah sistem saraf yang tidak dikendalikan sepenuhnya oleh kesadaran

sehingga juga disebut sistem saraf tidak sadar atau vegetatif. Secara anatomis sistem

saraf ini meliputi semua serabut eferen yang keluar dari sistem saraf pusat selain

serabut somatomotorik. Serabut preganglioner simpatis keluar dari sistem saraf pusat

pada segmen torakolumbal kemudian berganti neuron pada ganglion paravertebrale

di sebelah kiri dan kanan columna vertebralis. Serabut preganglioner parasimpatis

keluar dari sistem saraf pusat sebagai nervi craniales (N. III, VII, IX, dan X) dan

serabut saraf yang keluar dari segmen sakral ke 3 dan 4. Serabut ini bersinapsis

dengan saraf yang badan – selnya membentuk ganglion parasimpatikus yang

letaknya dekat atau pada organ yang diinervasi.

Pembagian sistem saraf otonom menjadi sistem saraf simpatis dan parasimpatis

lebih bersifat anatomis dan seringkali rancu kerena serabut saraf simpatis yang

menuju ke kelenjar keringat yang secara anatomis merupakan saraf simpatis tetapi

secara fisiologis melepaskan asetilkolin. Oleh karena itu sistem saraf otonom juga

dapat dibagi berdasarkan transmitor yang dilepaskan oleh ujung serabut saraf itu

jika terstimulasi, menjadi serabut saraf kolinergik dan noradrenergik.

Page 18: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Serabut saraf yang mensintesis dan melepaskan acetylcholine (ACh) sebagai

transmitor pada waktu terstimulasi merupakan serabut saraf kolinergik. Ini meliputi

serabut preganglioner otonom, serabut kolinergik di dalam sistem saraf pusat, serabut

somatomotorik, serabut postganglioner parasimpatis dan beberapa serabut di dalam

sistem saraf simpatis. Serabut saraf yang mensintesis dan melepaskan NA

(noradrenalin) sebagai transmitornya pada waktu terstimulasi disebut serabut saraf

noradrenergik dan sering disebut juga saraf adrenergik, meliputi serabut saraf

noradrenergik di dalam sistem saraf pusat dan hampir semua serabut postganglioner

saraf simpatis.

ACh disintesis di dalam sitoplasma ujung saraf kolinergik dari acethylcoenzyme A

(dibuat oleh mitokondria dalam sitoplasma pada ujung saraf itu) dan choline (diambil

dari cairan ekstraseluler) dengan katalisator acethylcholinetransferase. Transport aktif

kolin dari luar sel menggunakan suatu carrier yang bersifat Na+-dependent dan dapat

dihambat oleh hemikolinium. ACh kemudian dimasukkan ke dalam vesikel (granul)

penyimpan dengan transport aktif yang menggunakan suatu carrier yang dapat

dihambat oleh vesamicol. Sintesis ACh berlangsung sangat cepat dan tiap vesikel

dapat berisi 1.000 - 50.000 molekul ACh. Setelah dilepaskan ke dalam celah sinaptik

ACh dapat menstimulasi reseptor kolinergik nikotinik (N) atau muskarinik (M) pra- atau

pasca-sinaptik, atau segera dihidrolisis oleh acetylcholinesterase (AChE) menjadi kolin

dan asetat.

Dalam sistem saraf noradrenergik, transmitor NA disintesis dari tirosin yang

dimasukkan ke dalam ujung saraf simpatis secara aktif oleh suatu carrier lalu

dihidroksilasi oleh tyrosine hydroxylase menjadi dopa yang selanjutnya mengalami

dekarboksilasi menjadi dopamin. Dopamin lalu dimasukkan kedalam vesikel

penyimpan secara aktif dengan carrier yang dapat dihambat oleh reserpin. Di dalam

vesikel dopamin diubah menjadi NA oleh dopamine -hydroxylase, sehingga selain NA,

dopamin dan dopamine -hydroxylase pada waktu ada stimulasi ATP juga ikut

dicurahkan ke dalam celah sinaptik.

Proses pelepasan transmitor ke dalam celah sinaptik terjadi secaca exocytosis.

Setelah impuls mencapai ujung saraf, terjadi fusi antara membran vesikel penyimpan

transmitor dengan membran sel (ujung saraf), kemudian terjadi lisis membran hasil fusi

itu. Isi vesikel seolah dicurahkan ke dalam celah sinaptik. Transmitor (NA atau ACh) di

dalam celah sinaptik dapat terjadi hal berikut.

a. mengaktivasi reseptor pra- atau pasca-sinaptik sehingga timbul efek,

b. diambil lagi oleh ujung saraf (neuronal uptake) atau oleh jaringan di sekitar

ujung saraf (extra-neuronal uptake),

c. mengalami deaminasi oleh MAO, atau diubah menjadi normetanefrin oleh

COMT, (misalnya noradrenalin)

d. dihidrolisis oleh cholinesterase (misalnya asetilcholin).

Page 19: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Stimulasi reseptor pascasinaptik (r-M, N, -α dan-ß) menimbulkan proses

biokimiawi, biofisik atau biomekanik pada sel efektor dengan melibatkan enzim atau

substansi kimia lain di dalam sel antara lain adenilat siklase, guanilat siklase, ATP

(adenosine triphosphate), ADP (adenosinediphosphate), GMP (guanosinemonophosphate),

cAMP (cyclicadenosinemonophosphate) dan cGMP (cyclic guanosine mono-phosphate).

Akibat dari rangkaian proses itu dapat timbul kontraksi atau relaksasi otot polos,

sekresi kelenjar dan sebagainya sebagai respons efektor pada stimulasi saraf yang

berkaitan.

Page 20: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand
Page 21: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand
Page 22: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

SYMPATHOMIMETICS

Adrenergic drugs & Noradrenergic drugs

c. Obat Simpatomimetik

Obat simpatomimetik (mempunyai efek mirip dengan stimulasi saraf simpatis)

juga disebut obat adrenergik, atau obat noradrenergik. Efek obat simpatomimetik

pada tubuh antara lain stimulasi (kontraksi) otot polos dinding pembuluh darah pada

kulit dan mukosa sehingga timbul vasokonstriksi, stimulasi jantung yang berakibat

Page 23: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

meningkatnya kontraksi jantung (kekuatannya : inoktropik positif dan frekuensinya :

kronotropik positif), inhibisi (relaksasi) otot polos usus dan bronkus (bronkodilatasi),

inhibisi otot polos dinding pembuluh darah di dalam bundel otot rangka (vasodilatasi),

stimulasi sistem saraf pusat (timbul peningkatan kewaspadaan) dan efek metabolik

berupa peningkatan pemecahan glikogen (glikogenolisis) dan lemak (lipolisis).

Dalam sistem saraf simpatis transmitor yang berperan ialah NA (noradrenalin)

yang disintesis di dalam ujung saraf itu dari tirosin. Di dalam sitoplasma tirosin

dihidroksilasi (tyrosine hydroxylase) menjadi dopa yang kemudian mengalami

dekarboksilasi menjadi dopamin. Dopamin dimasukkan ke dalam vesikel penyimpan

transmitor secara aktif menggunakan suatu carrier, dan proses ini dapat dihambat oleh

reserpin. Di dalam vesikel dopamin diubah menjadi noradrenalin oleh enzim dopamine

ß-hydroxylase. Oleh sebab itu selain noradrenalin, dopamin dan enzim itu di dalam

vesikel juga ada ATP yang ikut dilepaskan bersama transmitor ke dalam celah sinaptik

pada waktu terjadi pacuan sarafi, yang terjadi secara exocytosis.

Noradrenergic Nerve Ending

Page 24: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

NA yang dilepaskan pada waktu ada stimulasi sarafi itu dapat mengaktivasi

adrenoseptor pra- atau pasca-sinaptik, atau mengalami uptake, neuronal atau extra-

neuronal uptake, atau diinaktivasi dengan deaminasi oleh MAO atau diubah menjadi

normetanefrin oleh COMT. Stimulasi adrenoseptor pascasinaptik menimbulkan efek

misalnya vasokonstriksi, stimulasi jantung, bronkodilatasi dan relaksasi usus. Menurut

Ahlquist (1948) ada 2 tipe adrenoseptor yang menyebabkan ada perbedaan efek

itu. Adrenoseptor alfa (α) yang bertanggung jawab atas fungsi eksitatif (misalnya

Page 25: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

vasokonstriksi dan kontraksi otot dilator pupil), dan inhibisif (misalnya relaksasi otot

polos usus) dan adrenoseptor beta (ß) yang bertanggung jawab atas fungsi inhibisif

(vasodilatasi pembuluh darah di dalam bundel otot rangka, relaksasi otot uterus dan

bronkus) dan fungsi eksitatif yaitu stimulasi jantung. Pembagian adrenoseptor oleh

Ahlquist dilanjutkan oleh Lands (1967) yang membagi adrenoseptor-ß menjadi 2

subtipe yaitu subtipe-ß1 pada jantung dan sub-tipe-ß2 pada bronkus dan uterus. Saat

ini ada 6 subtipe adrenoseptor-α yaitu adrenoseptor-α1A, α1B, α1D, α2A, α2B dan α2C.

Adrenoseptor-ß dibagi menjadi subtipe-ß1 pada jantung, subtipe-ß2 pada bronkus dan

uterus serta subtipe-ß3 pada sel lemak.

Stimulasi adrenoseptor-α1 berakibat hidrolisis polifosfoinositida, sintesis inositol

1,4,5-triphosphate (IP3) dan diacylglycerol (DAG). Pada otot polos stimulasi

adrenoseptor-α1 menimbulkan infuks Ca2+, dan pada beberapa otot polos lainnya

menyebabkan pemecahan polifosfoinositida menjadi IP3 dan DAG. IP3 memacu

pelepasan Ca2+ dari ikatan-simpanannya, meningkatkan Ca2+ pada endoplasmic

reticulum sehingga memacu potein kinase yang calcium-dependent. IP3 segera

difosforilasi menjadi inositol. Stimulasi adrenoseptor-α2 menghambat adenylate cyclase

sehingga berakibat cAMP intraseluler turun. Bagaimana reaksi selanjutnya belum

diketahui dengan jelas. Stimulasi reseptor-ß1, -ß2 dan -ß3 mengaktivasi adenylate

cyclase sehingga konversi AMP menjadi cAMP naik. Berbeda dengan bronkus, pada

otot jantung stimulasi reseptor-ß menyebabkan influk Ca2+ naik dan sekuestrasi Ca2+

turun, akibatnya kontraksi. Pada bronkus aktivasi adrenoseptor-ß2 justru meningkatkan

cAMP dan ini meningkatkan sekuestrasi Ca2+ sehingga Ca2+ bebas yang siap dipakai

untuk kontraksi turun, berakibat relaksasi otot.

(1) Efek Farmakologis Obat Simpatomimetik

Page 26: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Obat simpatomimetik menstimulasi sistem saraf simpatis dapat beraksi langsung

pada adrenoseptor-α atau ß, atau tidak langsung, dengan menghambat proses uptake

noradrenalin, atau menghambat MAO (monoamine oxydase) sehingga terjadi

akumulasi NA sehingga NA menstimulasi adrenoseptor.

Pada sistem kardiovaskuler, tonus otot polos dinding pembuluh darah diatur oleh

saraf simpatis melalui aktivasi adrenoseptor-α yang menimbulkan vasokonstriksi. Pada

jantung adrenoseptor-ß1 bersifat dominan atas aktivitas jantung sehingga meskipun

adrenoseptor-α dan -ß2 juga ada tetapi tidak dominan. Stimulasi adrenoseptor-ß1

menimbulkan eksitasi otot jantung, sel nodus dan jaringan konduksi sehingga kontraksi

jantung meningkat (frekuensi dan kekuatannya). Stimulasi adrenoseptor-ß2 pada otot

polos pembuluh darah koroner dan pembuluh darah di dalam bundel otot lurik

berakibat relaksasi sehingga terjadi vasodilatasi kedua macam pembuluh darah itu.

Pada tekanan darah obat simpatomimetik menaikkan tekanan darah sistolik melalui

kenaikan tahanan periferi sebagai akibat dari vasokonstriksi. Naiknya tekanan darah

yang ditimbulkan oleh agonis selektif pada adrenoseptor-α diikuti dengan reflek

homeostasis melalui aktivasi baroreseptor, tonus Vagus naik dan frekuensi denyut

jantung turun (bradikardia). Simpatomimetika yang selektif pada adrenoseptor-ß1

meningkatkan kontraksi jantung (kekuatan dan frekuensi) sehingga meningkatkan

tekanan darah. Obat agonis adrenoseptor-ß2 sedikit pengaruhnya pada tekanan

darah dan kalaupun ada, tekanan darah turun sedikit akibat dari vasodilatasi

pembuluh darah pada otot lurik.

Pada saluran nafas inervasi saraf parasimpatis mencapai otot polos bronkus

tetapi tidak demikian halnya dengan serabut simpatis. Meskipun serabut saraf

simpatis tidak sampai pada otot polos itu, adrenoseptor-ß2 dipastikan ada pada otot

itu. Aktivasi reseptor-ß2 oleh obat agonis yang selektif pada reseptor itu (misalnya

salbutamol, terbutalin dan klenbuterol) berefek bronkodilatasi. Dalam terapi asma

bronkial dahulu digunakan adrenalin tetapi karena adrenalin selain memacu reseptor-

ß2 (sebagai efek yang diharapkan) juga memacu reseptor-ß1 dan-α sehingga timbul

takikardia (bahkan dapat sampai aritmia), vasokonstriksi sehingga menaikkan tekanan

darah sebagai efek yang tidak diinginkan (efek samping). Oleh karena itu adrenalin

sekarang tidak digunakan lagi dalam terapi asma bronkial.

Pada saluran nafas bagian atas (hidung) obat simpatomimetik berefek

decongesti pada mukosa hidung. Pada mukosa itu terdapat pembuluh darah yang

dapat terdilatasi pada keadaan radang catharal sehingga timbul congesti jalan

nafas. Obat agonis adrenoseptor-α1 menyebabkan vasokonstriksi sehingga kongesti

berkurang. Oleh karena itu obat dari golongan ini (fenilefrin, fenilpropanolamin dan

neosinefrin) sering digunakan sebagai obat tetes atau semprot hidung dan sebagai

campuran obat racikan untuk selesma.

Pada saluran cerna, obat ini berefek mengurangi motilitas. Otot polos pada

saluran cerna selain diinervasi oleh saraf kolinergik juga dipengaruhi oleh obat

adrenergik melalui adrenoseptor-α dan -ß pada otot lolosnya dan α2-prasinaptik

Page 27: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

pada ujung saraf cholinergik di dalam saluran cerna (ganglion Meisner atau

Auerbach). Stimulasi reseptor-α dan ß itu berakibat relaksasi otot polos saluran cerna

dan kontraksi otot sfingternya. Hal ini perlu dipertimbangkan jika kita menggunakan

obat simpatomimetik secara sistemik dapat timbul meteorrhismus.

Pada saluran genitourinaria obat adrenergik berefek tidak tetap, tergantung

pada spesies dan siklus estrus. Uterus manusia berisi adrenoseptor-α dan -ß2 yang jika

terstimulasi terjadi relaksasi. Oleh karena itu pada abortus imminent dapat diberikan

agonis reseptor-ß2 (ritrodrin) untuk merelaksasi uterus, dan sebaliknya pada

perdarahan pasca curetage serta inersia uterus postpartum dapat diberi penyekat

reseptor-α berupa alkaloid ergot yang memacu kontraksi uterus.

Pada kelenjar ludah yang dipelihara oleh saraf kolinergik dan adrenergik,

stimulasi saraf adrenergik menyebabkan sekresi ludah lebih mukus (kaya amilase)

sedangkan stimulasi saraf kolinergik berefek meningkatkan skresi lebih sereous (encer).

Oleh karena itu pada terapi dengan klonidin (obar simpatolitik yang beraksi memacu

adrenoseptor-α2 prasinaptik) dapat timbul efek samping kering mulut.

Kelenjar keringat diinervasi oleh saraf simpatis tetapi sekresinya melibatkan r-M.

Obat adrenergik dan obat muskarinik meningkatkan produksi keringat dan sebaliknya

blokade r-M mengurangi keringat.

Efek metabolik obat simpatomimetik, lipolisis dan glikogenolisis. Lipolisis terjadi

melalui aktivasi adrenoseptor-ß1 pada sel lemak, sedangkan aktivasi adrenoseptor-α2

berakibat menghambat lipolisis. Glikogenolisis dalam hepar terjadi melalui aktivasi

adrenoseptor-ß2 yang secara fisiologis dipacu oleh adrenalin. Obat simpatomimetik

juga dapat mempengaruhi sekresi hormon. Sekresi insulin terjadi melalui aktivasi

reseptor-ß dan dihambat oleh aktivasi reseptor-α2.

Beberapa obat simpatomimetik seperti adrenalin, noradenalin, isoprenalin,

fenilefrin, terbutalin dan salbutamol memacu reseptor-α atau -ß secara langsung.

Adrenalin menstimulasi adrenoseptor -α, -ß1 dan -ß2. Noradrenalin menstimulasi

adrenoseptor-α dan –ß, tetapi efeknya pada reseptor-ß1 jauh lebih kuat daripada -

ß2. Fenilefrin memacu reseptor- α1 jauh lebih kuat daripada - α2 dan pada dosis

rendah nyaris tidak berefek pada reseptor-ß. Isoprenalin tidak selektif memacu

reseptor- ß (ß1 dan - ß2), tetapi salbutamol dan terbutalin selektif menstimulasi

adrenoseptor- ß 2.

Page 28: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

(2) Kegunaan Obat Simpatomimetik

Berdasarkan efeknya pada sistem kardiovaskular, bronkus dan sistem saraf

pusat obat simpatomimetik banyak digunakan di dalam terapi antara lain pada

kongesti nasal (akibat selesma dan rhinitis), sebagai campuran obat anestetik lokal,

hemostatika, syok anafilaksi, asma bronkial, dan kehamilan terganggu.

Sebagai decongestant obat simpatomimetik (fenilefrin) diberikan sebagai obat

tetes atau semprot hidung. Sebagai decongestan obat simpatomimetik juga dapat

diberikan secara oral (fenilpropanolamin) sebagai sediaan campuran dengan obat

analgesik dan antihistamin (cold remedy). Obat yang diberikan secara oral dapat

menimbulkan efek sistemik berupa naiknya tekanan darah. Oleh karena itu nasal

decongestant sediaan topikal (tetes atau semprot hidung) lebih aman.

Obat simpatomimetik sering digunakan sebagai campuran obat anestetik lokal

untuk menghambat absorpsi obat anestetik agar lebih lama berefek. Sebagai

vasokonstriktor dalam sediaan obat anestetik lokal, dipakai adrenalin dan fenilefrin.

Oleh karena itu sediaan obat anestetik yang berisi obat simpatomimetik tidak boleh

diberikan pada pasien hipertensi, penyakit jatung koroner dan gagal jantung.

Obat simpatomimetik juga digunakan sebagai hemostatika pada perdarahan

kecil dan difus akibat luka kecil misalnya pasca cabut gigi atau robek kulit muka

akibat pukulan (pada pertandingan tinju). Obat simpatomimetik yang selektif pada

reseptor- α1 berefek vasokonstriksi dan menghentikan perdarahan itu.

Obat simpatomimetik misalnya adrenalin merupakan obat pilihan pertama (drug

of choice) dalam terapi syok anafilaksi. Syok sendiri merupakan sindroma

kardiovaskuler akut dengan gejala khas berupa turunnya tekanan darah secara

drastis sehingga berakibat perfusi darah ke organ vital turun sampai tingkat kritis.

Dilihat dari penyebab utamanya syok dapat dikelompokkan ke dalam syok

Page 29: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

hipovolemik, kardiogenik, septik dan anafilaktik. Pada syok hipovolemik kehilangan

cairan darah merupakan penyebab syok sehingga penggantian cairan atau darah

yang hilang merupakan tindakan yang tepat dan obat simpatomimetik tidak

bermanfaat sebab obat itu justru dapat lebih menurunkan perfusi darah ke dalam

jaringan. Pada syok kardiogenik yang penyebabnya gagal jantung akut, obat

simpatomimetik justru dapat memperburuk gagal jantungnya, sedangkan pada syok

septik yang paling penting adalah mengatasi sepsis yang ada.

Syok anafilaksi (yang terjadi karena reaksi hipersensitif terhadap suatu zat atau

obat), penggunaan adrenalin merupakan pilihan tepat karena selain efek

vasokonstriksi, obat ini juga berefek menstimulasi jantung dan bronkodilatasi karena

afinitas adrenalin pada reseptor- α, -ß1 dan - ß2 sama kuatnya. Vasokonstriksi akibat

stimulasi reseptor- α1 berakibat tekanan darah naik dan edema mukosa berkurang.

Naiknya kontraksi jantung akibat stimulasi adrenoseptor- ß1 berakibat tekanan darah

naik sedangkan stimulasi adrenoseptor- ß2 berakibat bronkodilatasi, vasodilatasi

koroner dan dalam bundel otot rangka. Seperti obat simpatomimetik lainnya,

adrenalin hanya punya manfaat untuk syok anafilaksi pada tahap awal sebab pada

syok tahap lanjut adrenalin justru lebih mengurangi perfusi darah jaringan.

Pasa asma bronkial, adrenalin, isoprenalin, efedrin, salbutamol dan terbutalin

mempunyai efek melebarkan bronkus (bronkodilatasi) melalui stimulasi adrenoseptor-

ß2 pada otot polos bronkus. Terbutalin dan salbutamol yang selektif pada reseptor-

ß2 berefek bronkodilatasi, dan efek samping yang terkait dengan stimulasi reseptor-

ß1 minimal. Adrenalin selain menimbulkan bronkodilatasi juga menimbulkan efek

samping berupa naiknya tekanan darah secara drastis dan aritmia akibat dari

stimulasi reseptor-α dan - ß1.

Obat simpatomimetik digunakan sebagai midriatikum. Biasanya, untuk

pemeriksaan bagian dalam bola mata diperlukan obat yang berefek melebarkan

pupil (midriasis). Obat antimuskarinik (misalnya homatropin) memblok r-M sehingga

menimbulkan midriasis. Efek midriasis yang ditimbulkan oleh obat antimuskarinik

disertai dengan sikloplegia sehingga dapat berakibat pengelihatan penderita kabur.

Obat simpatomimetik yang menimbulkan midriasis dengan memacu reseptor-α pada

otot polos iris pars radier tidak disertai sikloplegia sebagaimana yang terjadi pada

pemberian obat antimuskarinik.

Page 30: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

(3) Efek Samping dan Toksisitas

Obat simpatomimetik yang tidak selektif bisa menimbulkan efek samping yang

terkait dengan stimulasi reseptor-α dan ß1 misalnya naiknya tekanan darah, rasa

dingin pada ekstremitas, dan takikardia (dirasakan sebagai palpitasi). Meskipun

demikian penggunaan obat simpatomimetik topikal dapat memperkecil risiko efek

samping dari pada jika digunakan secara sistemik (oral dan injeksi).

Pada kelebihan dosis obat simpatomimetik dapat menimbulkan efek yang dapat

membahayakan jiwa penderita seperti hemorrhagia cerebral, kambuhnya penyakit

jantung dan nekrosis jaringan.

Page 31: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

SYMPATHOLYTICS

Antiadrenergics

Obat Simpatolitik

Obat simpatolitik yaitu obat yang mempunyai efek menghambat sistem saraf

simpatis dan dapat beraksi pada (1) ujung saraf simpatis dengan menghambat

sintesis, penyimpanan dan pelepasan NA pada ujung saraf noradrenergik, (2) beraksi

di otak dengan mengurangi sympathetic drives dan (3) memblok adrenoseptor baik r-α

ataupun- ß. Obat simpatolitik dapat bekerja melalui satu atau lebih mekanisme itu.

(1) Penghambat Neuron (Neuron Blockers)

Obat penghambat fungsi neuron bekerja dengan menghambat sintesis,

penyimpanan dan pelepasan NA sehingga obat golongan ini tidak mempengaruhi

efek NA yang sudah berada di dalam sirkulasi, NA eksogen dan obat simpatomimetik

yang beraksi langsung pada reseptor pasca sinaptik. Golongan ini meliputi

guanetidin, bretilium, betanidin, debrisokuin, reserpin dan metirosin.

Guanetidin yang masuk ke dalam tubuh mengalami up-take oleh ujung saraf

simpatis lalu dimasukkan ke dalam vesikel penyimpan transmitor. Proses uptake ini

bersifat kompetitif dengan NA yang telah dilepaskan ke dalam celah sinaptik (dalam

proses reuptake) sehingga vesikel penyimpan transmitor tidak berisi NA. Guanetidin

yang ikut disimpan dalam vesikel juga ikut dilepaskan pada waktu ada stimulus sarafi,

juga berada di dalam celah sinaptik tetapi tidak mempunyai kemampuan menstimulasi

adrenoseptor (sebagai false transmitter). Guanetidin mempunyai efek anestetik lokal

meskipun hanya terjadi pada kadar tinggi. Guanetidin dapat mendesak noradrenalin

keluar dari vesikel dan segera dirusak oleh MAO. Pemberian guanetidin dalam waktu

Page 32: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

lama selain mengakibatkan ujung saraf simpatis tidak mampu melepaskan

noradrenalin pada waktu ada pacuan sarafi, juga berakibat sel efektor menjadi lebih

sensitif terhadap katekolamin seperti pada denervasi saraf noradrenergik post

ganglioner. Hal ini terjadi karena ada proliferasi adrenoseptor-α dan ß (sebagai

akibat dari up regulation). Guanetidin pernah dipakai dalam terapi hipertensi berat

tetapi karena tidak selektif dan irreversibel sekarang obat ini tidak digunakan lagi,

apalagi sudah banyak obat yang lebih selektif.

Bretilium menghambat pelepasan NA dari vesikel penyimpannya melalui efek

anestetik lokal pada ujung saraf. Efek ini menyebabkan ujung saraf menjadi tidak

responsif terhadap stimulasi sarafi yang sampai pada tempat itu. Di samping itu

bretilium juga menghambat uptake noradrenalin pada ujung saraf sehingga

meningkatkan efek katekolamin yang sudah berada di dalam sirkulasi.

Reserpin merupakan ekstraks tanaman Rouwofia serpentina, mempunyai efek

mengosongkan vesikel penyimpan NA, A dan 5-HT (serotonin) dalam ujung saraf

noradrenergik, medula kelenjar adrenal, dan saraf serotoninergik di dalam otak.

Pengosongan dapat dicapai sesudah 24 jam. Reserpin beraksi pada proses uptake

dopamin ke dalam vesikel penyimpan (dengan transport aktif, menggunakan ATP dan

ion Mg) di dalam ujung saraf noradrenergik dan serotoninergik. Di dalam klinik

reserpin pernah digunakan dalam terapi hipertensi, tetapi kerena efeknya lambat

berkembang maka pada pemakaian kronis dapat terjadi kumulasi efek. Pada dosis

kurang dari 1,0 mg/hari sudah efektif untuk mengurangi jumlah noradrenalin di dalam

vesikel, sehingga efek yang ditimbulkan tampak nyata. Efek sentral reserpin dapat

berupa sedasi, acuh pada sekitar dan depresi sehingga jangan diberikan pada orang

hipertensi yang menderita depresi. Sediaan obat berisi reserpin padat berisi reserpin

saja (Serpasil(R)) atau dalam kombinasi dengan obat lain, misalnya Serapes(R) yang

berisi serpasil (reserpin), aprezolin (vasodilator) dan esidrex (diuretika).

Metirosin merupakan zat kompetitor tirosin pada biosintesis NA yang beraksi

dengan menghambat tirosinehydroxylase suatu enzim katalisator sintesis dopa dalam

ujung saraf simpatis. Oleh karena itu sintesis NA terhambat dan vesikel tidak terisi NA

baik sentral maupun periferi. Di dalam klinik metirosin pernah dipakai dalam

pengelolaan penyakit feokromositoma.

(2) Simpatolitika yang Berefek Sentral

Meskipun sistem saraf simpatis itu bersifat otonom tetapi secara fisiologis

aktivitasnya tetap dipengaruhi oleh sistem saraf pusat lewat mekanisme yang sangat

kompleks. Pengaruh kejiwaan pada aktivitas saraf simpatis dapat disaksikan dalam

kejadian sehari-hari. Diduga, bagian otak seperti korteks, batang otak, hipotalamus

dan nukleus solitarius berperan dalam mengatur aktivitas sistem saraf simpatis.

Obat simpatolitik yang beraksi di dalam otak memodifikasi efek sentral pada

sistem saraf simpatis (sebagai sympathetic drives atau sympathettic out flow). Dengan

Page 33: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

menurunnya sympathetic drives maka tonus simpatis juga turun sehingga timbul

vasodilatasi, berkurangnya kontraksi jantung (frekuensi dan kekuatannya).

Klonidin, guanabenz dan guanfasin. Klonidin menghambat saraf simpatis dengan

menstimulasi adrenoseptor-α2 prasinaptik sehingga pelepasan NA dari ujung saraf

noradrenergik berkurang. Efek klonidin terutama timbul pada saraf noradrenergik di

dalam otak sehingga sympatetic out flow berkurang dan tekanan darah turun.

Guanabenz dan guanfasin juga merupakan agonis adrenoseptor-α2 seperti pada

klonidin dan kedua obat ini mempunyai efek sentral lebih menonjol.

Metildopa menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis dengan menghambat

biosintesis NA. Sebagai kompetitornya dopa metildopa juga mengalami

dekarboksilasi menjadi α-metildopamin, dan seperti halnya dopamin α-metildopamin

juga dimasukkan ke dalam vesikel, kemudian juga dihidroksilasi menjadi α-

metilnoradrenalin. Senyawa ini juga dilepaskan pada waktu ada pacuan sarafi tetapi

tidak dapat memacu adrenoseptor pasca sinaptik sebagaimana NA. Sebaliknya, α-

metilnoradrenalin justru mempunyai efek memacu adrenoseptor-α2 prasinaptik,

sehingga pelepasan transmitor lebih berkurang lagi dan aktivitas saraf noradrenergik

turun. Seperti klonidin, efek metildopa lebih menonjol di dalam otak sehingga

sympathetic drives berkurang.

(3) Obat Penyekat Adrenoseptor (Receptor Blockers)

Secara fisiologis amin endogen terutama NA dan A mempunyai peranan penting

dalam mengendalikan sistem saraf simpatis melalui aktivasi reseptor-α dan- ß. Obat

receptor blockers menghalangi amin endogen (A dan NA) menstimulasi adrenoseptor-α

dan - ß. Penemuan obat adrenoseptor blockers baik α maupun ß -blockers sangat

penting artinya dalam terapi hipertensi. Dari beberapa obat α-blockers hanya

prazozin dan terazosin (α1-selective blockers) yang mempunyai arti klinis dalam terapi

hipertensi. Sebaliknya banyak obat ß-blockers baik yang cardioselective maupun yang

noncardioselective efektif untuk menurunkan tekanan darah penderita hipertensi.

(1) Obat Penyekat Adrenoseptor-α

Ikatan obat penyekat adrenoseptor- α dengan reseptornya dapat bersifat

reversible (misalnya pada prazosin, fentolamin dan tolazolin) dan dapat pula

irreversible (misalnya pada fonoksibenzamin). Obat penyekat adrenoseptor- α juga

dapat berbeda selektivitas dan afinitas nya pada subtipe adrenoseptor- α. Prazosin

dan fenoksibenzamin lebih selektif pada reseptor- α 1 daripada- α 2, tetapi fentolamin

berefek tidak selektif pada adrenoseptor- α1 dan - α2 sedangkan yohimbin dan

idazoxan lebih selektif pada adrenoseptor- α2.

Fenoksibenzamin efeknya lambat dan eliminasinya juga lambat sehingga pada

dosis tunggal efeknya berkurang menjadi separonya sesudah 24 jam. Efek itu dapat

Page 34: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

bertahan sampai 3-4 hari. Pada sistem kardiovaskuler fenoksibensamin menurunkan

tekanan darah, timbul hipotensi postural karena hilangnya mekanisme homeostasis

yang melibatkan adrenoseptor- α.

Fentolamin memblok adrenoseptor- α 1 dan - α 2 dan efeknya berpengaruh pada

mekansime pelepasan transmitor NA. Blokade reseptor- α2 prasinaptik berakibat

meningkatnya pelepasan NA oleh ujung saraf simpatis. Karena fentolamin juga

memblok reseptor- α 1 (pascasinaptik) maka kenaikan pelepasan NA hanya memacu

adrenoseptor-ß. Oleh karena itu obat yang memblok adrenoseptor- α secara tidak

selektif selain menurunkan tekanan darah juga akan menimbulkan efek samping

berupa takikardia atau aritmia. Takikardia juga dapat timbul sebagai manifestasi

dari adanya reaksi homeostasis pada jantung akibat turunnya tekanan darah.

Prazosin memblok adrenoseptor- α1 secara selektif. Karena efek prazosin pada

reseptor- α2 relatif sangat kecil, efek prazosin pada pelepasan NA juga tidak berarti

dan prazosin jarang menimbulkan efek samping takikardia seperti yang terjadi pada

fentolamin. Jika terjadi takikardia sebaagi efek samping, tidak seberat fentolamin.

(2) Obat Penyekat Adrenoseptor-ß

Obat penyekat adrenoseptor- ß (ß -blockers) menghambat sistem saraf simpatis

dengan menyekat reseptor- ß. Di antara obat penyekat adrenoseptor- ß terdapat

beberapa jenis yang selain mempunyai efek antagonistik juga mempunyai efek

agonistik pada reseptor itu. Efek ini dikenal sebagai ISA (instinsic sympathomimetic

activity) atau agonis parsial dan dapat mengurangi efek antagonisnya dsan

menurunkan efektivitasnya. Meskipun demikian efek itu tidak selalu merugikan terapi,

karena adanya efek agonis parsial dapat mencegah terjadinya blokade total pada

reseptor- ß yang dapat berakhir sebagai cardiac arrest. Obat penyekat

adrenoseptor- ß tanpa ISA (antagonis kuat) memblok reseptor- ß sepenuhnya yang

pada penderita takikardia efek ini menurunkan frekuensi denyut jantung dan

menguntungkan terapi tetapi pada penderita bradikardia efek ini dapat merugikan

karena denyut jantung pada malam hari (terutama pada dini hari) turun lagi sehingga

dapat timbul cardiac arrest (denyut jantung berhenti). Jika pada penderita hipertensi

dengan denyut jantung normal diberikan obat penyekat adrenoseptor- ß dengan ISA

positif (agonis parsial) maka blokade yang timbul tidak total dan obat itu masih

menstimulasi denyut jantung selain juga memblokade.

Selain itu sifat kardioselektif juga perlu diperhatikan karena obat ß -blockers

yang noncardioselective selain memblok adrenoseptor- ß 1 pada jantung juga memblok

r- ß2 pada bronkus sehingga dapat timbul efek samping bronkokonstriksi. Penderita

yang mempunyai masalah respirasi dan membutuhkan terapi ß -blockers (menderita

hipertensi) harus diberi obat ß -blockers yang kardioseletif, jika obat lainnya tidak

bleh diberikan. Obat ß -blockers cepat diabsorpsi oleh saluran cerna dan kadar

puncak dalam plasma dicapai sesudah 1-3 jam Kecepatan metabolisme obat

Page 35: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

penyekat reseptor- ß tidak sama. Propranolol cepat mengalami first pass metabolism

dan ketersediaan hayati (bioavailability) rendah (30%) sedangkan pindolol

ketersediaan hayatinya cukup tinggi (90%). Obat ß -blockers umumnya volume

distribusinya besar dan mudah menembus sawar darah-otak.

Berdasar sifat farmakokinetiknya obat ß -blockers dapat dibagi menjadi 3

golongan yaitu yang mudah larut dalam lemak, mudah larut dalam air dan yang

mudah larut baik dalam air maupun lemak. Obat ß -blockers yang mudah larut dalam

lemak (propranolol, okprenolol, alprenolol, labetolol, metoprolol dan timolol) mudah

diabsorpsi oleh saluran cerna (90%). Meskipun demikian karena mengalami first pass

metabolism maka ketersediaan hayati rendah, apalagi metabolisme utamanya yang

berlangsung di hepar sangat ekstensif maka waktu paronya rata-rata 2-6 jam.Obat ß

-blockers yang mudah larut dalam air misalnya satolol, nadolol dan atenolol. Satolol

diabsorpsi dengan baik oleh saluran cerna tetapi mengalami first pass metabolism.

Nadolol dan atenolol sukar diabsorpsi, sehingga ketersediaan hayati nadolol, atenolol

dan satolol rendah. Obat ß -blockers yang mudah larut di dalam air dan lemak yaitu

atenolol, pindolol dan asebutolol. Pindolol mudah diabsorpsi oleh saluan cerna dan

tidak mengalami first pass metabolism. Distribusi obat ß -blockers sesuai dengan sifat

kelarutannya dalam lemak. Alprenolol dan propranolol yang lebih mudah larut dalam

lemak, lebih mudah menembus sawar darah otak sehingga lebih mudah sampai diotak.

Atenolol dan nadolol lebih sukar larut dalam lemak sehingga lebih sukar mencapai

jaringan otak.

Efek Farmakologis

Blokade reseptor- ß pada jantung, ginjal dan otak oleh ß -blockers merupakan

efek utama yang dimanfaatkan dalam terapi hipertensi. Blokade reseptor- ß1 pada

sel nodus, jaringan konduksi dan sel otot jantung berakibat berkurangnya frekuensi

denyut jantung (kronotropik negatif) dan kekuatan kontraksi jantung (inotropik negatif)

sehingga cardiac out put turun. Pada ginjal ß -blockers menghambat sekresi renin oleh

sel juksta glomerularis sehingga sistem renin angiotensin aldosteron juga terhambat.

Efek ß -blockers pada otak menurunkan sympathetic drive atau sympathetic outflow

sehingga tonus sistem saraf simpatis juga turun. Ketiga efek itu bersama-sama

menurunkan tekanan darah. Selain itu turunnya frekuensi dan kekuatan kontraksi

jantung berakibat kebutuhan oksigen (oxygen demand) otot jantung turun sehingga

dapat mengurangi serangan angina pektoris.

Pada saluran nafas, obat ß -blockers terutama yang nonselektif memblok

reseptor- ß2 pada otot polos bronkus selain reseptor- ß ? pada jantung. Pada asma

bronkial, blokade ini berakibat bronkokonstriksi yang dapat menimbulkan kambuhnya

(eksaserbasi) asma bronkial. Oleh karena itu penggunaan obat ß -blockers terutama

nonselektif pada penderita dengan riwayat asma bronkial harus dihindari.

Pada mata, obat ß -blockers misalnya timolol mempunyai efek menurunkan

tekanan intraokuler. Mekanisme yang pasti bagaimana obat ini menurunkan tekanan

Page 36: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

intraokuler belum jelas tetapi diduga melalui hambatan pada produksi humor aqueous

atau menaikkan resorpsinya. Timolol telah digunakan dalam terapi glaukoma.

Pengaruh obat ß -blockers pada metabolisme ialah menghambat glikogenolisis

hepar dan otot rangka. Efek itu dapat menghambat efek hiperglikemik dari amin

endogen pada keadaan hipoglikemia. Akibat dari itu ialah reaksi untuk

mengembalikan reaksi hipoglikemia (pada overdosis insulin) terhambat. Karena sekresi

insulin juga melibatkan reseptor- ß2 maka penggunaan obat ß -blockers terutama

yang tidak selektif akan mengurangi sekresi insulin dan penggunaan ß -blockers pada

penderita diabetes melitus harus memperhitungkan efek itu.

Pemilihan obat ß -blockers dalam terapi hipertensi didasarkan atas adanya

penyakit lain di samping hipertensinya. Pasien hipertensi yang juga menderita gagal

jantung kronis tidak boleh diberi terapi dengan obat ß -blockers karena obat itu justru

dapat memperburuk gagal jantungnya. Pendapat yang membolehkan digunakannya

obat ß -blockers pada gagal jantung kronis derajad ringan itu menyesatkan sebab

tidak didukung evidence based. Hipertensi dengan gagal ginjal juga tidak boleh diberi

obat ß -blockers karena obat ini justru dapat menurunkan aliran darah ginjal dan

dapat memperburuk gagal ginjal. Penderita hipertensi yang juga menderita asma

bronkial dan diabetes melitus sebaiknya tidak diberi ß -blockers. Penderita hipertensi

yang menderita bradikardi dipilihkan ß -blockers agonis parsial.

Obat ß -blockers dapat diberikan untuk terapi angina pektoris. Pada penderita

ini obat ß -blockers dapat menurunkan kebutuhan oksigen. Selain itu obat ß -blockers

juga efektif untuk terapi aritmia ventrikuler dan supraventrikuler. Pada denyut jantung

ektopik akibat katekolamin, obat ß -blockers dapat diberikan.

Obat ß -blockers juga digunakan dalam terapi glaukoma seperti telah diuraikan

di depan. Timolol tetes mata banyak digunakan sebab timolol tidak mempunyai

membrane stabilizing effect (efek anestetik lokal) sehingga tidak berbahaya untuk

kornea dan mudah diabsorpsi. Obat yang relatif lebih baru misalnya betaksolol dan

levobunolol juga digunakan dalam terapi penyakit ini.

Pada hipertiroidi, obat ß -blockers berefek menghambat aktivasi adrenoseptor-

ß1 jantung oleh agonis endogen dan juga menghambat konversi tiroksin menjadi

triyodotironin.

Obat penyekat adrenoseptor- ß terutama nonkardioselektif selain memblok

reseptor- ß1 juga memblok adrenoseptor- ß2 pada otot polos bronkus sehingga dapat

menimbulkan bronkospasme pada penderita asma bronkial. Meskipun aksi ß -blockers

yang bersifat kardioselektif pada reseptor- ß2 kurang kuat tetapi resiko

bronkospasme tetap ada pada penderita yang sentitif. Oleh sebab itu penderita

hipertensi yang mempunyai riwayat asma bronkial sebaiknya tidak diberi obat itu.

Blokade adrenoseptor- ß1 pada jantung menekan pembentukan dan konduksi

impuls untuk kontraksi jantung dan berakibat turunnya frekuensi dan kekuatan

kontraksi jantung. Pada penderita AV-block (blokade atrioventrikuler) ß -blockers

Page 37: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

dapat mengakibatkan cardiac arrest. Blokade reseptor- ß menurunkan eksitabilitas

dan kontraktilitas otot jantung yang pada pasien dengan kelainan otot jantung

berakibat terhambatnya stimulasi agonis endogen pada jantung sehingga dapat

berakibat kontraksi jantung menjadi decompensata.

Pada penggunaan obat ß -blockers yang lama jika dihentikan tiba-tiba dapat

terjadi peningkatan denyut jantung secara drastis sebagai akibat dari timbulnya up

regulation reseptor- ß 1 yang manifestasinya dapat muncul sebagai naiknya tekanan

darah secara mendadak atau drastis (sebagai krisis hipertensi), atau serangan angina.

Page 38: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

PARASYMPATHOMIMETICS

Cholinergic Drugs

a. Obat Parasimpatomimetik

Page 39: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Reseptor yang berperan dalam transmisi impuls sistem saraf parasimpatis ialah

reseptor muskarinik (r-M) yang dapat dibagi dalam 3 tipe r-M yaitu r-M1, -M2 dan -

M3. Reseptor-M1 terdapat pada serabut saraf di dalam otak, serabut postganglionik

parasimpatis dan pleksus mienterikus (termasuk di dalamnya sel ECL atau

enterochromafin like cell dalam mukosa lambung). Reseptor-M2 terdapat pada sel

nodus, otot jantung dan sel otot polos. Reseptor-M3 terdapat pada otot polos dinding

pembuluh darah, sel endotel dan kelenjar eksokrin.

Stimulasi r-M meningkatkan IP3 (inositol-1,4,5-triphosphate) dan DAG

(diaglycerol) intraseluler, pembukaan K+-channels dan inhibisi adenylate cyclase.

Stimulasi r-M berakibat aktivasi guanilat siklase sehingga kadar cGMP (cyclic

guanosine monophosphate) sebagai second messenger naik dan hal ini berakibat

penurunan sekuestrasi Ca2+ sehingga kadar Ca2+ intraseluler naik. Stimulasi r-M pada

otot polos menimbulkan kontraksi, pada kelenjar eksokrin meningkatkan sekresi dan

pada sel ECL memacu pelepasan histamin yang lalu menstimulasi r-H2 pada sel

parietal sehingga sekresi H+ naik.

ACh yang dilepaskan oleh ujung saraf parasimpatis pada waktu terstimulas

dapat langsung menstimulasi r-M (pada sel efektor) atau dapat dihidrolisis oleh AChE

menjadi kolin dan asetat untuk terminasi efeknya. Obat parasimpatomimetik yang

beraksi langsung (langsung menstimulasi r-M) atau beraksi tidak langsung (stimulasi r-M

secara tidak langsung) dengan menghambat AChE. Hambatan pada AChE berakibat

akumulasi ACh di dalam celah sinaptik r-M terstimulasi. Oleh karena ACh merupakan

transmitor yang secara fisiologis memacu reseptor kolinergik baik muskarinik (r-M)

maupun nikotinik (r-N) maka obat parasimpatomimetik yang beraksi tidak langsung,

terjadi akumulasi ACh sehingga timbul efek muskarinik dan nikotinik.

(1) Obat Parasimpatomimetik Beraksi Langsung

Obat yang langsung memacu r-M terdiri atas 2 golongan yaitu ester kolin dan

alkaloida. Ester kolin umumnya sukar larut di dalam lemak sehingga sukar diabsorpsi

dan sukar mencapai sistem saraf pusat. Ester kolin mudah dihidrolisis oleh enzim dalam

saluran cerna sehingga tidak efektif jika diberikan secara oral. Kecepatan hidrolisis

obat di dalam golongan ini tidak sama, ada yang cepat dihirolisis ada yang lebih

tahan sehingga dapat lebih lama berada di dalam tubuh. ACh cepat dihidrolisis

sehingga pada injeksi intravena (dosis besar sekalipun) hanya dapat berefek selama

5-20 detik. Oleh karena itu ACh tidak punya arti terapi. Methacholine (acetyl-ß-

methylcholine) yang lebih lambat dihidrolisis oleh AChE punya efek lebih lama. Ester

kolin asam karbamat carbachol (carbamoylcholine) dan bethanechol (carbamoyl-ß-

methylcholine) lebih tahan lagi dari hidrolisis.

Efek pada mata. Pada mata obat parasimpatomimetik memacu r-M pada iris

(serabut otot sirkuler berkontraksi, timbul miosis), kanal Schlemn terbuka. Otot siliare

berkontraksi, penggantung lensa kendur dan lensa mata bertambah cembung. Dengan

demikian dapat timbul penglihatan kabur, aliran humor aqueous dari camera occuli

Page 40: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

anterior ke vena melalui kanal Schlemm lebih lancar dan tekanan dalam bola mata

turun. Efek ini dipakai dalam terapi narrow angle glaucoma.

Pada sistem kardiovaskuler stimulasi r-M menurunkan tahanan vaskular periferi.

Obat muskarinik menyebabkan sel endotel melepas EDRF (endothelium derived relaxing

factor) yang berefek relaksasi otot polos dinding pembuluh darah. Obat muskarinik

menimbulkan perubahan denyut jantung yang semula bradikardia Vagal kemudian

menjadi takikardia. Hal ini timbul karena efek muskarinik pada jantung menurunkan

frekuensi dan kekuatan kontraksi, tekanan darah turun dan diikuti takikardia

reflektoris. Stimulasi r-M pada jantung berakibat (1) aliran K+ pada sel otot atrium, sel

nodus SA dan AV naik, (2) aliran Ca2+ otot jantung turun dan (3) aliran ion akibat

hiperpolarisaasi turun. Semua itu menghambat pembentukan impuls pada sel nodus

(pace maker). Karena inervasi muskarinik pada ventrikel jauh lebih sedikit dibanding

atrium maka efek muskarinik pada atrium lebih menonjol.

Pada saluran nafas, stimulasi r-M menimbulkan kontraksi otot polos bronkus

sehingga timbul bronkokonstriksi dan pada kelenjar eksokrin trakeobronkial terjadi

peningkatan sekresi. Akibatnya timbul sesak nafas. Stimulasi r-M pada kelenjar dan

otot polos saluran cerna berakibat kenaikan aktivitas motorik dan sekretorik sehingga

timbul hiperperistaltik, hipersalivasi, hipersekresi asam lambung dan enzim pankreas

meskipun efeknya tidak sekuat pada kelenjar ludah. Pada saluran kemih stimulasi r-M

berakibat kontraksi otot dinding kandung kemih dan relaksasi otot sfingternya.

Pada sistem saraf pusat r-M mempunyai peran penting dalam pengaturan sistem

gerak. Pada parkinsonisme terjadi dominasi relatif saraf kolinergik akibat dari

defisiensi dopamin pada ganglia basales. Oleh karena itu terapi dapat dilakukan

dengan obat antimuskarinik (benztropin) untuk mengurangi dominasi relatif saraf

kolinergik atau dengan pemberian dopamin untuk menutup defisiensi dopamin itu.

(2) Obat Parasimpatomimetik Beraksi Tidak Langsung

Obat parasimpatomimetik yang beraksi secara tidak langsung menghambat

AChE, hidrolisis ACh terhambat, timbul akumulasi ACh yang menstimulasi r-M dan r-N

dan timbul efek muskarinik dan efek nikotinik. Ada 2 macam penghambat AChE, yang

bersifat reversible dan irreversible. Penghambat AChE yang bersifat reversible misalnya

golongan karbamat (edrofonium fisostigmin, piridostigmin, prostigmin dan propoxur)

sedangkan yang bersifat irreversible misalnya racun golongan fosfat organis berupa

insektisida (paration, malation dan tetraetilpirofosfat) dan gas perang (tabun, soman

dan sarin).

Umumnya karbamat sukar diabsorpsi tetapi fisostigmin mudah diabsorpsi pada

pemberian secara topikal. Racun golongan fosfat organis mudah diabsorpsi melalui

mukosa konjungtiva, paru dan usus bahkan beberapa di zat mudah diabsorpsi melalui

kulit sehingga mudah menimbulkan keracunan pada manusia. Beberapa jenis racun

serangga golongan fosfat organis umumnya cepat dimetabolisme oleh mamalia dan

burung sehingga toksisitasnya terhadap kedua organisme itu lebih kecil. Selain itu zat

Page 41: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

penghambat AChE umumnya mudah larut dalam lemak sehingga mudah sampai ke

dalam otak. Gejala keracunan penghambat AChE ini antara lain kejang, koma dan

kelumpuhan pernafasan. Efek bahan ini pada organ lainnya mirip efek

parasimpatomimetik yang beraksi langsung ditambah dengan stimulasi r-N pada

ganglion otonom dan motor end plate.

(3) Kegunaan Obat Parasimpatomimetik

Di dalam klinik beberapa obat parasimpatomimetik digunakan dalam terapi

beberapa penyakit dan gangguan kesehatan seperi glaukoma, gangguan motilitas

saluran cerna, myasthenia gravis, dan retensio urin fungsional, .

Pada narrow angel glaucoma obat parasimpatomimetik berefek kontraksi otot

siliare dan iris (pars sirkularis iridis) sehingga ruang intertrabeculae yang membentuk

kanal Schelmn melebar dan aliran humor aqueous lebih lancar, tekanan intraokuler

turun. Biasanya, diberikan metakolin 2%, karbakol 3% atau pilokarpin 4% tetes mata.

Gangguan gerak saluran cerna dan urin dapat diterapi dengan obat

parasimpatomimetik jika gangguan itu tidak disertai obstruksi dengan menaikkan tonus

dan kontraksi otot polos saluran itu. Untuk ganguan saluran cerna digunakan betanekol

10-15 mg 3-4 kali sehari peroral dan pada retensio urin neurogenik betanekol

diberikan secara suntikan subkutan 5 mg, kalau perlu dapat diulangi sesudah 30

menit. Dapat juga diberikan neostigmin subkutan dosis 0,5-1 mg.

Pada myastenia gravis (penyakit autoimun dengan ciri adanya gangguan

aktivasi r-N pada motor end plate) timbul kelemahan otot skelet terutama daerah

muka, leher dan ekstremitas. Gejala penyakit meliputi diplopia (penglihatan kembar,

kabur), ptosis (palpebra jatuh), sukar menelan atau bicara, kelemahan otot lengan dan

tungkai. Obat yang diberikan biasanya dari golongan penghambat AChE seperti

edrofonium injeksi 8 mg terbagi dalam 2 dosis 3 dan 5 mg dengan interval 45 detik,

neostigmin oral 7,5 mg atau piridostigmin 30 mg.

(4) Toksisitas Obat Parasimpatomimetik

Manifestasi keracunan obat parasimpatomimetik dapat tampak sebagai stimulasi

r-M saja atau stimulasi r-M dan r-N. Keracunan obat direct acting

parasympathomimetics (misalnya pilokarpin, muskarin) timbul gejala mual, muntah,

diare, hipersalivasi, banyak berkeringat, sesak nafas dan gangguan penglihatan

sebagai akibat stimulasi r-M. Keracunan obat atau racun indirect acting

parasympathomimetics (penghambat AChE) timbul gejala sebagai akibat dari efek

muskarinik (stimulasi r-M : miosis, hipersalivasi, berkeringat banyak, sesak nafas,

muntah dan diare) dan efek nikotinik (stimulasi r-N sentral maupun perifer : misalnya

fasikulasi diikuti paralisis otot skelet).

(5) AChE dan Reaktivator Cholinesterase

Page 42: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Ada 2 macam AChE yaitu AChE di dalam celah sinaptik sebagai true

cholinesterase (spesifik untuk ACh) dan pseudokoliesterase atau butyrylcholinesterase (di

dalam darah, plasma dan eritrosit), hati, sel glia dan jaringan lain. True cholinesterase

bersifat spesifik untuk ACh sedangkan pseudocholinesterase tidak spesifik, dapat

menghidrolisis ACh dan estercholine lainnya.

Inhibisi AChE oleh karbamat (obat maupun racun) terjadi secara reversible artinya

ikatan obat atau racun karbamat dengan enzim itu tidak stabil dan dapat balik.

Ikatan AChE dengan racun fosfat organis lebih stabil sehingga berakibat regenerasi

enzim itu sangat lambat atau nyaris tidak terjadi. Efek penghambatan AChE yang

ditimbulkan oleh fosfat organis tidak bersifat kumulatif tetapi hidrolisis ikatan fosfat

organis dengan AChE dapat dipercepat (reaktivasi AChE) dengan reaktivator AChE

yaitu senyawa oksim (misalnya pralidoksim).

Page 43: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

PARASYMPATHOLYTICS

Anticholinergic Drugs

Page 44: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

b. Obat Parasimpatolitik atau Antimuskarinik

Obat parasimpatolitik atau obat antikolinergik beraksi dengan memblok r-M

sehingga disebut sebagai obat antimuskarinik. Dilihat dari sumbernya obat

antimuskarinik dapat dikelompokkan ke dalam golongan alkaloida alami (atropin,

hyoscin dan skopolamin) dan obat antimuskarinik atau atropinik sintetik dan

semisintetik.

(1) Atropin dan Obat Antimuskarinik Alami

Atropin merupakan campuran dari isomer d- dan l-hyosciamine yang diperoleh

dari ekstraksi tumbuhan Atropa belladona. Isomer-l mempunyai potensi 100 kali lebih

kuat daripada isomer-d. Hyoscine, alkaloida tumbuhan Hyosciamus niger dan

skopolamin dari tanaman Scopolia carniolisa berefek mirip atropin. Atropin dan

skopolamin merupakan antagonis kompetitif ACh pada r-M. Oleh karena itu obat

parasimpatolitik juga disebut obat antimuskarinik atau obat atropinik.

Reseptor muskarinik terdapat pada otot polos beberapa organ seperti iris, otot

siliare, saluran cerna, bronkus, jantung, kandung kemih, kelenjar ekskrin dan

sebagainya. Ternyata r-M pada bronkus, usus dan kelenjar eksokrin tidak sama.

Berdasarkan respon terhadap pirenzepin (antagonis spesifik terhadap reseptor

muskarinik pada sel ECL di dalam mukosa lambung) para ahli sepakat bahwa reseptor

muskarinik yang menunjukkan afinitas besar pada pirenzepin dikenal sebagai reseptor

M1 dan yang kecil afinitasnya merupakan r-M2.

Atropin memblok r-M1, -M2 dan -M3 secara tidak selektif, sering minimbulkan

banyak efek samping. Skopolamin juga nonselective, efeknya lebih kuat pada iris, otot

siliare, kelenjar bronkus, ludah dan kelenjar keringat sedangkan atropin lebih kuat

Page 45: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

efeknya pada jantung, bronkus dan usus. Atropin pada dosis terapi tidak menekan

sistem saraf pusat tetapi skopolamin lebih menonjol efeknya pada sistem saraf pusat

dan skopolamin lebih cocok untuk medikasi praanestesi dengan eter.

Pada mata, obat atropinik menghambat kontraksi otot sfingter pupil dan otot

siliare sehingga timbul midriasis dan sikloplegi. Efek ini berbeda dari midriasis yang

ditimbulkan oleh obat simpatomimetik karena obat simpatomimetik menimbulkan

midriasis melalui kontraksi pars radier iridis sehingga tidak disertai sikloplegia. Obat

atropinik juga menghambat sekresi air mata (lakrima) via blokade r-M pada kelenjar

lakrima sehingga mata terasa pedih (sandy sensation).

Pada jantung obat atropinik melambatkan denyut jantung akibat dari efek

stimulasi Vagus sentral. Pada dosis besar timbul takikardi karena blokade r-M pada

sel nodus. Pada dosis terapi obat atropinik tidak mempengaruhi tekanan darah tetapi

dapat melawan turunnya tekanan darah akibat ester kolin. Obat atropinik juga dapat

menyebabkan vasodilatasi pada wajah.

Pada saluran cerna dan saluran nafas, r-M heterogen. Reseptor-M1 terdapat pada

sel ECL (enterochromafin like) dan sel-sel pleksus mienterikus sedangkan r-M3 ada

pada kelenjar eksokrin, termasuk sel parietal. Pada saluran nafas r-M ialah dari tipe-

M2 yaitu pada otot polos bronkus dan tipe-M3 pada kelenjar eksokrinnya. Atropin

yang tidak selektif mempunyai efek antispasmodik dan mengurangi sekresi kelenjar

ludah serta lambung. Berkurangnya sekresi ludah berakibat mulut menjadi kering,

sukar menelan dan berbicara. Efek atropin pada sekresi asam lambung (sekresi

lambung turun) hanya terjadi pada dosis besar. Oleh karena itu atropin tidak aman

jika digunakan untuk terapi ulkus peptik. Pada saluran nafas, atropin menghambat

sekresi kelenjar mukus hidung, mulut, faring dan bronkus sehingga obat atropinik

dapat digunakan untuk medikasi praanestesi terutama pada anestesi dengan eter.

Pada kelenjar keringat, atropin menghambat sekresi keringat. Sebenarnya

kelenjar diinervasi oleh sistem saraf simpatis tetapi berisi serabut kolinergik. Karena

kelenjar keringat berfungsi sebagai alat pembuang panas dalam pengaturan suhu

badan, hambata aktivitas kelenjar ini oleh atropin akan menaikkan suhu badan yang

pada bayi yang demam hal ini dapat membahayakan jiwanya.

(2) Obat Atropinik Sintetis

Obat atropinik ialah obat antimuskarinik sintetik yang efeknya mirip atropin.

Obat antimuskarinik golongan alkaloida umumnya tidak selektif pada r-M sehingga

pada penggunaannya dapat timbul efek samping yang mengganggu. Beberapa obat

antimuskarinik sintetik menunjukkan beberapa kelebihan karena lebih selektif pada

subtipe r-M tertentu. Tropicanide misalnya, efeknya pada iris lebih cepat baik onset

maupun durasinya daripada homatropin. Sebagai midriatikum tropicanide lebih

menguntungkan. Obat lain seperti deksiklomin-HCl, oksifensiklinin dan tifenamil

mempunyai efek spasmolitik lebih kuat pada saluran cerna, saluran empedu, ureter

dan uterus tanpa atau sedikit sekali efeknya pada kelenjar saluran cerna, ludah dan

Page 46: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

kelenjar keringat. Karena selektivitas relatifnya, masing-masing obat sintetik mirip

atropin mempunyai kegunaan khusus dalam terapi. Pirenzepin yang lebih selektif

memblok r-M1 pada sel ECL berefek menurunkan pelepasan histamin oleh sel itu

sehingga stimulasi reseptor-H2 pada sel parietal turun dan sekresi HCl juga turun.

Pada saluran nafas atropin pernah dipakai dalam terapi asma bronkial tetapi

karena efek bronkodilatasi baru timbul pada dosis besar yang disertai dengan efek

samping kering mulut, sikloplegia, takikardia dan sebagainya, sekarang obat ini tidak

digunakan lagi. Akhir-akhir ini dikenalkan ipratropium yang selektif pada r-M2 pada

otot polos bronkus sehingga dapat dipakai sebagai bronkodilator dalam terapi COPD

(chronic Obstructive Pulmonary Disesase).

(3) Kegunaan Obat Antimuskarinik

Di dalam klinik obat atropinik umumnya digunakan dalam terapi gangguan

saluran cerna misalnya hipermotilitas saluran cerna, diarea dan ulkus peptik, diagnosis

dan terapi gangguan atau penyakit pada mata (sebagai midriatikum dan miotikum),

gangguan pada sistem saraf pusat (misalnya motion sickness dan penyakit Parkinson),

sebagai medikasi praanestesi, antidotum keracunan kolinomimetik dan hiperhidrosis.

Pada gangguan saluran cerna, obat antimuskarinik yang selektif pada r-M1

(misalnya pirenzepin) dahulu sering digunakan untuk terapi ulkus peptik tetapi sejak

dikenalkannya obat antagonis reseptor-H2 (simetidin) dalam terapi penyakit itu sudah

tidak dianjurkan lagi. Dalam sejarahnya, untuk terapi ulkus peptik pernah digunakan

obat antimuskarinik (glikopirolat) dosis besar tetapi pada dosis itu sering timbul

penglihatan kabur (blurred vision), kering mulut dan gangguan kencing. Selain itu, obat

antimuskarinik terutama yang nonselektif juga mempunyai efek memperpanjang waktu

pengosongan lambung sehingga juga memperpanjang kontak ulkus dengan asam

lambung. Oleh karena itu obat antimuskarinik terutama yang nonselektif tidak lagi

boleh digunakan (kontraindikasi) untuk ulkus lambung. Jika obat antimuskarinik tetap

digunakan, harus dipilih yang selektif pada r-M1 (misalnya pirenzepin) dan diberikan

bersama obat antagonis-H2. Pada hipermotilitas saluran cerna (misalnya pada batu

empedu) dan obat antimuskarinik diberikan bersama obat analgesik opiat.

Pada hipersekresi kelenjar saluran nafas akibat dari iritasi obat anestetik umum

(misalnya eter), obat antimuskarinik menghambat sekresi. Oleh karena itu obat

antimuskarinik sering digunakan dalam medikasi praanestesi. Dalam terapi asma

bronkial orang telah lama mengenal rokok kecubung (tumbuhan bernama Datura

stramonium) yang dapat meredakan sesak nafas meskipun keamanannya masih

dipertanyakan. Saat ini ada ipratropium (suatu obat antimuskarinik sintetik yang

selektif pada reseptor-M2) diberikan perinhalasi sebagai aerosol dapat menimbulkan

bronkodilatasi pada COPD dengan sedikit saja menimbulkan efek samping.

Pada penyakit Parkinson dan parkinsonism terjadi gangguan dominasi saraf

kolinergik atas saraf dopaminergik di ganglia basales (yang berperan dalam

pengaturan tonus dan gerak otot skelet), ada hipofungsi relatif saraf dopaminergik.

Page 47: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Oleh karena itu dapat diberikan terapi untuk mengurangi dominasi saraf kolinergik

(dengan benztropin yang memblok r-M3) atau levodopa untuk menstimulasi

dopaminergik.

Pada gangguan vestibuler misalnya motion sickness (mabuk gerak) obat

antimuskarinik dapat menghilangkan gejala. Skopolamin efektif untuk mengurangi

mabuk laut dan dapat diberikan secara oral atau injeksi. Sediaan obat muskarinik

topikal atau transdermal yang memberikan kadar obat itu dalam darah secara tetap

selama 24 - 48 jam dapat menimbulkan efek samping kering mulut dan mengantuk.

Beberapa obat antihistamin yang mempunyai efek antimuskarinik menonjol juga sering

dipakai dalam terapi gangguan vestibular itu.

Di dalam ophthalmology pemeriksaan anomali refraktif pada penderita yang

tidak kooperatif atau pada penderita anak seringkali mengalami kesulitan karena

reflek cahaya. Untuk mempermudah pemeriksaan bagian dalam bola mata perlu

dilakukan pelebaran pupil dengan obat antimuskarinik yang berefek midriasis dan

sikloplegia. Homatropin memblok r-M pada otot polos pars sirkuler iridis dan

menimbulkan midriasis. Blokade r-M juga terjadi pada corpus siliare sehingga timbul

sikloplegia sehingga terjadi gangguan penglihatan blurred vision. Oleh karena itu jika

yang diperlukan midriasis saja (tanpa efek sikloplegia) maka obat yang dianjurkan

ialah midriatikum dari golongan simpatomimetika (misalnya fenilefrin). Kegunaan lain

obat antimuskarinik dalam optalmologi ialah untuk mencegah sinekia pada iritis atau

uveitis. Dalam kasus ini obat antimuskarinik berefek midriasis sehingga tepi bebas iris

tertarik ke pangkalnya dan iris terbebas dari perlekatannya dengan lensa (sinekia

posterior) atau perlekatannya dengan kornea (pada sinekia anterior).

Pada keracunan obat parasimpatomimetik beraksi langsung seperti muskarin dan

pilokarpin, timbul gejala yang berkaitan dengan stimulasi r-M seperti hipersekresi

kelenjar eksokrin (hipersalivasi, lakrimasi, hipersekresi kelenjar saluran nafas dan

saluran cerna), bronkokonstriksi, hipermotilitas saluran cerna dan kontraksi muskulus

detrusor vesicae. Terapi keracunan ini dengan obat antimuskarinik seperti atropin untuk

memblok r-M pada organ itu. Pada keracunan obat parasimpatomimetik dengan aksi

tidak lansung misalnya racun serangga golongan karbamat dan fosfatorganis, gejala

yang timbul berkaitan dengan stimulasi r-M dan r-N sehingga terapinya tidak cukup

hanya diberi obat antimuskarinik saja.

Pada keracunan senyawa karbamat berupa obat (fisostigmin, neostigmin atau

edrofonium) atau racun (misalnya propoxur), ikatan antara senyawa karbamat

dengan AChE bersifat reversible sehingga obat antimuskarinik seperti atropin saja

sudah cukup efektif untuk mengurangi efek muskarinik racun itu. Pada keracunan

fosfstorganis (paration, malation, dichlorvos, mevinphos, tabun, soman dan sarin) yang

mengikat AChE secara irreversible, pemberian atropin saja tidak cukup sehingga perlu

disertai pemberian reaktivator kolinesterase berupa obat dari golongan oksim

misalnya pralidoksim (PAM) dan diasetilmonooksim (DAM).

Page 48: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Obat antimuskarinik juga bermanfaat untuk terapi hiperhidrosis dan diberikan

berupa bedak. Gejala hiperhidrosis berupa berkeringat banyak pada telapak

tangan dan kaki sebagai akibat dari banyaknya kelenjar keringat pada kedua

tempat itu yang normalnya sedikit saja.

e. Obat Ganglionic

Obat ganglionik ialah obat yang beraksi pada ganglion otonom baik simpatis

maupun parasimpatis, baik memacu atau menghambat. Secara fisiologis transmisi

ganglionik terjadi jika r-N terstimulasi oleh ACh, transmitor yang dilepaskan oleh

serabut saraf preganglionik. Reseptor ini juga dapat terstimulasi oleh agonis eksogen

misalnya nikotin dan obat nikotinik lain. Sebaliknya, transmisi ganglionik dapat

terhambat oleh blokade r-N pada ganglion, atau oleh terhambatnya pelepasan

transmitor (ACh) oleh serabut saraf preganglionik. Obat yang menstimulasi r-N pada

ganglion (langsung atau tidak langsung) disebut ganglionic stimulants, dan yang

berefek memblok r-N pada ganglion disebut ganglionic blockers.

Selain terdapat pada ganglion otonom, r-N juga terdapat pada motor end plate.

Secara fungsional r-N dapat dibedakan menjadi 3 tipe yaitu r-N pada motor end

plate, ganglion dan sistem saraf pusat. Hampir semua agonis r-N berefek pada

ganglion dan motor end plate tetapi beberapa senyawa obat seperti nikotin, lobelin

dimethylphenyl-piperazinum (DMPP) lebih banyak berefek pada ganglia. Ganglionic

stimulants seperti nikotin, lobelin, DMPP tidak digunakan dalam terapi meskipun pada

dekade tahun 70an lobelin pernah digunakan dalam terapi sebagai stimulan sistem

saraf pusat. Nikotin, ekstrak tanaman Nicotina tobacum menstimulasi sistem saraf pusat

tetapi toleransi dapat berkembang jika nikotin masuk tubuh secara kronis (misalnya

pada perokok). Efek menahun nikotin pada sistem saraf pusat itu berakibat ketagihan

sehingga sukar bagi perokok untuk berhenti dari merokok. Keluhan pada kelenjar

respirasi, lesu, lunglai dan sukar berkonsentrasi terkait dengan penghentian stimulasi

nikotinik.

Ganglionic blockers bekerja dengan cara menghambat aksi ACh pada r-N pada

ganglion otonomik baik simpatis maupun parasimpatis. Obat ini juga memblok r-N

pada motor end plate dan blokade tersebut dapat tanpa atau disertai dengan

depolarisasi (nondepolarizing atau depolarizing blokade). Nikotin, karbamilkolin dan

bahkan ACh sendiri jika diberikan bersama dengan obat penghambat AChE mula-

mula terjadi stimulasi tetapi segera diikuti dengan blokade r-N disertai dengan

timbulnya depolarisasi yang persisten. Obat lain memblok r-N tanpa disertai

timbulnya depolarisasi. Beberapa ganglionic blockers seperti tetraetilamonium (TEA),

heksametonium dan trimetafan tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga

tidak berpengaruh pada otak. Mekamilamin dapat menembus sawar darah otak,

menimbulkan efek sedasi, tremor, gerakan chorea dan gangguan mental.

Pada mata ganglionic blockers menyebabkan sikloplegia dan midriasis

sehingga pandangan menjadi kabur, karena tidak dapat berakomodasi. Ini terjadi

sebagai akibat dari blokade ganglion saraf parasimpatis yang memelihara otot

Page 49: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

siliare dan iris. Pada sistem kardiovaskular obat ini menyebabkan tekanan darah

turun, hipotensi ortostatik karena baroreflek (reflek terhadap perubahan posisi bagian

tubuh) terhambat sebagai akibat dari blokade ganglion. Pada jantung terjadi

takikardia reflektoris akibat dari turunnya tekanan darah. Pada sistem genito-urinaria

yang fungsinya banyak diatur oleh sistem saraf otonom blokade ganglion dapat

menimbulkan gangguan fungsi yaitu retensio urin, disuria, gangguan ereksi dan

ejakulasi. Obat ganglionic blockers juga dapat mengakibatkan timbulnya gangguan

berkeringat sehingga dapat timbul hiperthermia. Meskipun demikian gangguan itu

dapat diatasi dengan reaksi kompensasi (vasodilatasi).

Alhamdulillah . . selesai juga editanku ini. silakan kerjakan soal-soal di bawah ini

dan cari jawabannya. .

Enzim berikut ini merupakan tempat beraksinya (site of action) obat untuk radang

(antiinflamasi) :

adenylate cyclase.

fosfodiesterase.

siklooksigenase.

sitokrom oksidase.

lipooksigenase. Enzim ini terlibat dalam timbulnya variasi efek obat meskipun enzim itu bukan merupakan sasaran aksi obat : fosfodiesterase. dihydrofolate reducase. siklooksigenase. cytchrome P450s. Na+K+-ATPase.

Perbedaan antara agonis dan antagonis kompetitif ialah pada kemampuannya menimbulkan

efek setelah berikatan dengan reseptor. Kemampuan itu disebut :

afinitas.

aktivitas intrinsik.

agonis parsial.

xenobiotics.

efikasi (efficacy)

Takikardia, bronkodilatasi dan vasokonstriksi kulit dan mukosa dapat diakibatkan oleh

pemberian obat berikut dengan dosis yang cukup :

isoprenalin.

adrenalin.

dopamin.

noradrenalin.

Page 50: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

fenilefrin. Berikut ini merupakan unit terkecil dari sel yang dapat dioperasikan oleh (terkait dengan) reseptor : membran sel. pori berisi air pada membran sel. ion channels. glomerulus. retikulum endoplasmik.

Reseptor berikut ini merupakan reseptor metabotropik : r-beta r-N. r-BDZ. r-glycin. r-GABA.

Jika reseptor nikotinik terstimulasi oleh asetilkolin (endogen) atau obat golongan ester kolin (eksogen) yang sesuai, akan timbul proses berikut ini : ion channels untuk klorida terbuka lebih lebar. transport aktif ion kalsium keluar sel terstimulasi. enzim guanylate cyclase terhambat. terbukanya ion channels untuk natrium. terstimulasinya fosforilasi oksidatif intraselular.

Berikut ini merupakan reseptor yang terkait dengan terstimulasinya enzim adenylate cyclase sehingga sintesis cAMP meningkat : reseptor mukarinik. reseptor nikotinik. reseptor-beta2. reseptor BDZ. reseptor alfa.

Agonis ialah zat, senyawa atau obat yang cara kerja dan efeknya sebagai berikut : memblok reseptor sehingga agonis endogen tidak dapat beraksi. menstimulasi reseptor yang fisiologis terpacu oleh zat endogen. menghambat enzim tertentu yang penting dalam sintesis transmitor. menstimulasi ion channels yang terkait dengan proses inhibisi. memblok enzim yang berperan dalam sintesis protein sel.

Reseptor noradrenergik berikut ini bersifat eksitatif pada organ atau jaringan yang terkait (di dalam kurung) : r-alfa (pada saluran cerna). r-alfa (pada pembuluh darah). r-beta (pada arteria koronaria). r-beta (pada uterus). r-beta (pada bronkus).

Page 51: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

Dalam menimbulkan efek umumnya obat yang beraksi pada komponen sel berikut ini baik yang berefek menstimulasi atau menghambat :

water filled poreous.

retikulum endoplasma.

reseptor.

chromosom.

nukleus.

Naiknya tekanan darah akibat stimulasi jantung dan vasokonstriksi tanpa ada efek apapun pada

bronkus dapat diakibatkan oleh obat berikut :

adrenalin.

isoprenalin.

noradrenalin.

fenilpropanolamin.

dopamin.

Jika kita menghendaki bronkodilatasi saja dan tidak menghendaki efek vasokonstriksi dan

stimulasi jantung, pasien kita berikan :

eferin

salbutamol.

noradrenalin.

isoprenalin.

adrenalin.

Jika kita menghendaki bronkodilatasi saja dan tidak menghendaki efek vasokonstriksi dan

stimulasi jantung, pasien kita berikan :

eferin

salbutamol.

noradrenalin.

isoprenalin.

adrenalin.

Hal berikut ini merupakan efek samping obat antihipertensi obat pemblok reseptor alfa

(prazosin) :

bronkokonstriksi.

sekersi insulin berkuarng.

takikardia.

depresi mental.

cardiac arrest.

Penghentian tiba-tiba pemberian obat pemblok reseptor beta (misalnya propranolol) yang

sudah digunakan dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan :

krisis hipertensi.

Page 52: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

diabetes melitus memburuk.

biotransformasi.

sekresi tubuler.

filtrasi glomeruler.

Obat berikut beraksi dengan memblok reseptor beta dan alfa sekaligus :

propranolol.

acebutolol.

prazosin.

alprenolol.

labetolol.

Selektivitas pada reseptor untuk suatu obat mempunyai arti penting terkait dengan :

metabolisme obat.

efek obat.

waktu paro (t1/2) obat.

ekskresi obat.

dosis obat.

Polimorfisme dalam hal berikut ini mengakibatkan timbulnya perbedaan aksi dan efek obat

antara satu orang dengan orang lain :

gen penyandi sintesis reseptor.

gen penyandi sintesis enzim.

gen penyandi sintesis integrin.

A dan B betul.

A, B, C dan D tidak ada yang benar.

Ikhwal berikut ini menunjukkan adanya pengaruh faktor genetik pada efek obat melalui variasi

keberadaan enzim pemetabolisme obat :

hemolisis pada defisiensi G6PD.

nekrosis hepar akibat parasetamol.

asetilator cepat dan lambat.

jawaban A, B dan C benar.

jawaban A dan C benar.

Adanya keragaman efek warfarin ditimbulkan oleh polimorfisme gen penyandi sintesis enzim

berikut ini :

cyclooxigenase.

cytochrom oxidase.

cytochrom CYP2C9.

cytochrom CYP2D6.

acetylcholinesterase.

Terjadinya neuropatia pada penderita yang diberi terapi INH diakibatkan oleh ketersediaan

enzim pemetabolisme di hepar yang berperan dalam proses :

hidroksilasi obat.

hidrolisis obat.

Page 53: Autonomic Drugs Prof Ngatidjan - · PDF fileFarmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, ... yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand

conjugasi glucuronat.

conjugasi glisin.

asetilasi obat.